• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Peranan - SLAMET WAHYUDIN, BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Peranan - SLAMET WAHYUDIN, BAB II"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

Istilah "peran" kerap diucapkan banyak orang. Sering kita mendengar

kata peran dikaitkan dengan posisi atau kedudukan seseorang. Kata "peran"

dikaitkan dengan "apa yang dimainkan" oleh seorang aktor dalam suatu

drama. Kamus Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian peran adalah :

a. Peran adalah pemain yang diandaikan dalam sandiwara maka ia adalah

pemain sandiwara atau pemain utama;

b. Peran adalah bagian yang dimainkan oleh seorang pemain dalam

sandiwara, ia berusaha bermain dengan baik dalam semua peran yang

diberikan;

c. Peran adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.

Peranan berasal dari kata peran, berarti sesuatu yang menjadi bagian

atau memegang pimpinan yang utama. Analisis terhadap perilaku peranan

dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu :

a. Ketentuan peranan;

b. Gambaran peranan;

c. Harapan peranan (Sarjono Sukamto 1984).

Ketentuan peranan adalah pernyataan formal dan terbuka tentang

perilaku yang harus ditampilkan oleh seseorang dalam membawa perannya.

Gambaran peranan adalah suatu gambaran tentang perilaku yang secara

(2)

pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan peranan adalah pernyataan

formal dan terbuka tentang perilaku yang harus ditampilkan oleh seseorang

dalam membawa perannya. Gambaran peranan adalah suatu gambaran

tentang perilaku yang secara aktual ditampilkan seseorang dalam

membawakan perannya. Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan

mengenai pengertian peranan dalam hal ini peran pemerintah dalam

melaksanakan fungsi dan tujuannya dalam pelayanan, pembangunan,

pemberdaya, dan pengatur masyarakat. Peranan adalah merupakan aspek

dinamis dari kedudukan apabila seseorang melaksanakan hak-hak serta

kewajiban sesuai dengan kedudukannya maka ia telah melakukan sebuah

peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan adalah untuk

kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan

karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya (Soekanto 2009:

213).

Peranan menurut Levinson sebagaimana dikutip oleh Soekanto

(2009: 213), sebagai berikut “Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat,

peranan meliputi norma-norma yang dikembangkan dengan posisi atau

tempat seseorang dalam masyarakat, peranan dalam arti ini merupakan

rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan

bermasyarakat”. Soekanto (2009: 213) mengatakan peranan mencakup tiga hal, antara lain:

(3)

tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan

rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam

kehidupan bermasyarakat;

2. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan

oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi;

3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting

bagi struktur sosial masyarakat.

B. Tinjauan Umum Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Dasar patut dipidananya suatu perbuatan berkaitan erat dengan

masalah sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu

perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan. Istilah tindak pidana merupakan

suatu pengertian dasar dalam hukum pidana yang dipakai sebagai pengganti

atau dimaksudkan sebagai terjemahan dari bahasa Belanda yaitu

“straafbaarfeit”. Beberapa pakar hukum pidana memberikan pengertian yang berbeda-beda mengenai tindak pidana, yakni Menurut Moeljatno tindak

pidana adalah “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dengan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi

barang siapa yang melanggar larangan tersebut”(Moeljatno 1983: 71).

Menurut Evi Hartanti (2005: 5) tindak pidana adalah tindakan

melanggar hukum yang telah dengan sengaja oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-undang telah

(4)

Guse Prayudi (2010: 5) menggunakan istilah peristiwa pidana sebagai

terjemahan dari “straafbaarfeit”, dan mendefinisikannya sebagai suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan

undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya terhadap

perbuatan mana dilakukan penghukuman.

Peristilahan untuk menyebutkan ”strafbaarfeit” tersebut di atas,

Menurut Leden Marpaung, istilah “delik” lebih cocok, di mana “delik”

berasal dari kata delict (Jerman dan Belanda), delit (Prancis) yang berarti perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran

terhadap undang-undang.

Perbedaan peristilahan tersebut hendaknya tidak membingungkan

setiap orang, karena pemakaian istilah yang berlainan itu tidak menjadi soal,

asal diketahui apa yang dimaksudkan, dan dalam hal ini yang penting ialah isi

dari pengertian itu. Adanya perbedaan pemakaian istilah itu sebenarnya tidak

menjadi suatu persoalan yang prinsipil apabila dalam suatu perumusan tindak

pidana terdapat pengaturan yang jelas dalam arti terdapat kejelasan dari apa

yang diatur. Istilah “tindak pidana” mengandung pengertian yang tepat dan jelas dengan istilah hukum, juga sangat praktis untuk diucapkan, di samping

itu di dalam peraturan perundang-undangan negara Indonesia pada umumnya

menggunakan istilah tindak pidana (Guse Prayudi 2010: 5).

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut diatas tampaknya para

pembentuk undang-undang lebih memilih istilah tindak pidana, hal ini terlihat

(5)

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang dicantumkan dalam

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau

keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, artinya larangan itu ditujukan

pada perbuatannya. Sedangkan ancaman pidananya itu ditujukan pada

orangnya.

Antara larangan yang ditujukan pada perbuatan, dengan ancaman

pidana ada hubungan yang erat, dan oleh karena itu perbuatan yang berupa

kejadian yang ditimbulkan orang yang melanggar larangan, dengan orang

yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula. Untuk menyatakan

adanya hubungan yang erat itulah maka lebih tepat digunakan istilah

perbuatan pidana. Pengertian tersebut merujuk pada dua keadaan yaitu

pertama adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan kedua adanya orang yang

berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

a. Unsur Subjektif

1) Kesengajaan atau kelalaian.

2) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud

dalam Pasal 53 Ayat (1) KUHP.

3) Berbagai maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian,

penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam kejahatan

(6)

5) Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana

menurut Pasal 308 KUHP.

b. Unsur Objektif

1) Sifat melawan hukum;

2) Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil

melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 415 KUHP;

3) Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab

dengan kenyatan sebagai akibat.

C. Proses Penanganan Perkara

Proses penanganan perkara dimaksudkan untuk menunjukan rangkaian

tindakan/perbuatan dalam rangka penanganan sesuatu perkara. Proses

penanganan perkara antara lain sebagai berikut:

1. Penyelidikan

Pengertian “penyelidikan” dimuat pada Pasal 1 butir 5 KUHAP yang berbunyi “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk

mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ini”.

Berdasarkan adanya data awal tersebut diatas maka diterbitkan “Surat Perintah Penyelidikan” untuk mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana

korupsi yang terjadi, dengan diperolehnya bukti permulaan yang cukup.

Tetapi dengan diterbitkan surat perintah penyelidikan, banyak orang

(7)

merupakan suatu kekeliruan karena adakalanya tidak diperoleh bukti

permulaan yang cukup.

Jika tidak diperoleh bukti permulaan yang cukup, maka penyelidikan

tersebut tidak dilanjutkan. Sedang jika ditemukan bukti permulaan yang

cukup, maka penyelidikan ditingkatkan ke tahap penyidikan, dan selanjutnya

diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.

2. Penyidikan

Penyidikan berasal dari kata dasar “Sidik” yang mempunyai awalan “pe” dan akhiran “an”. Kata sidik mempunyai arti penyelidikan jari untuk mengetahui dan membedakan orang dengan meneliti garis-garis ujung jari

(Sutarto, 1987: 943). Sedangkan istilah penyidikan menurut Suryono Sutarto

adalah “Serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan

guna menemukan tersangkanya.”

Pengertian penyidikan yang dimuat pada Pasal 1 angka 2 KUHAP

yang berbunyi “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal

dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak

pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

Tahap penyidikan sangat penting peranannya dalam menentukan

apakah ada atau tidaknya tindak pidana. Sehingga sebelum diadakannya

penyidikan diadakan penyelidikan, sebagai tindakan yang mendahului

(8)

terjadinya suatu tindak pidana, yang mana dugaan tentang terjadinya tindak

pidana ini dapat diperoleh dari beberapa sumber yaitu :

a. Kedapatan tertangkap tangan;

b. Karena laporan;

c. Karena pengaduan;

d. Diketahui sendiri.

Aparat penyidik yang mengemban tugas dalam Surat Perintah, segera

membuat “Rencana Penyidikan” (Rendik) dengan memahami hasil

penyelidikan dan peraturan-peraturan yang terkait dengan tindak pidana

korupsi yang sedang disidiknya sehingga akan dapat menentukan

penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi dan bukti-bukti yang

mendukung penyimpangan tersebut agar dengan demikian akan dapat

ditentukan modus operandinya (Sutarto, 1987: 945).

Penyidik tindak pidana korupsi akan mulai melakukan penyidikan

setelah mendapatkan surat perintah penyidikan dari Kepala Kejaksaan Negeri

apabila yang melakukan penyidikan adalah Jaksa pada kejaksaan negeri.

Pelaksanaan penyidikan dalam praktek biasanya dilakukan oleh beberapa

Jaksa. Terdiri dari tiga Jaksa satu orang Jaksa sebagi pimpinan dan dua orang

Jaksa sebagai anggota. Penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana

untuk mendapatkan keterangan-keterangan mengenai :

1. Tindak pidana apa yang telah dilakukan;

2. Kapan tindak pidana itu dilakukan;

(9)

4. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan;

5. Mengapa tindak pidana itu dilakukan.

Hal yang harus diperhatikan oleh penyidik untuk memulai penyidikan

adalah memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penuntut Umum.

Apabila penyidikan tindak pidana korupsi dilakukan oleh Polisi

pemberitahuan ini sifatnya wajib, supaya tidak terjadi adanya dua penyidik

yaitu dari Kejaksaan atau dari Polisi dalam tindak pidana tertentu khususnya

korupsi.

Dalam tindak pidana korupsi dimana yang menjadi penyidik Jaksa

maka pemberitahuan dimulainya penyidikan dalam praktek tidak dilakukan,

karena Jaksa penyidik nantinya akan sebagai Jaksa penuntut umum sehingga

Jaksa penuntut umum sudah jelas mengetahui dimulainya penyidikan. Dalam

menjalankan tugasnya Penyidik dalam tindak pidana korupsi baik Jaksa

maupun Polisi mempunyai kewenangan sama yaitu yang diatur dalam pasal 7

ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang menyebutkan :

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a karena

kewajibannya mempunyai wewenang :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak

pidana;

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri

tersangka;

(10)

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

g. Memanggil orang untuk diperiksa sebagai terdakwa atau saksi;

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

i. Mengadakan penghentian penyidikan;

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab (Leden

marpaung, 2008:12)

Tidak semua tindak pidana korupsi yang disidik dapat ditingkatkan ke

tahap penuntutan. Jika ada salah satu unsur tidak didukung alat bukti, atau

adanya alasan-alasan pemaaf berdasarkan Yurisprudensi, karena sifat

melawan hukum tidak terbukti, maka perkara tersebut diterbitkan Surat

Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3). Apabila penyidikan telah selesai

dilakukan, dan dari hasil penyidikan itu diperoleh bukti-bukti mengenai

tindak pidana yang terjadi, maka hasil penyidikan tersebut dituangkan dalam

berkas perkara.

Jika perkara yang disidik didukung dengan alat bukti yang kuat maka

penyidikan dilanjutkan ke tahap penuntutan. Umumnya sebelum ditentukan

suatu perkara ditingkatkan ke tahap penuntutan atau di SP3-kan, dilakukan

pemaparan. Pada pemaparan tersebut tampak jelas hasil-hasil penyidikan.

Penyidikan telah selesai apabila penuntut umum dalam waktu tujuh

hari tidak mengembalikan hasil penyidikan atau sebelum waktu tersebut

(11)

penyidikan telah lengkap. Bila penyidikan telah selesai dan berkasnya

diterima penuntut umum maka penuntut umum dengan berdasarkan hasil

penyelidikan tersebut menyusun surat dakwaan dan kemudian melakukan

penuntutan.

3. Penuntutan

Penuntut umum setelah menerima berkas perkara dari penyidik, dan

menurut penuntut umum berkas tersebut sudah lengkap dan dapat dilakukan

penuntutan, maka selanjutnya penuntut umum secepat mungkin membuat

surat dakwaan. Adapun pengertian penuntutan dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana dapat dilihat dalam pasal 1 butir 7 yang menyebutkan:

“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara

pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal menurut cara yang

diatur dalam Undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa oleh

hakim disidang pengadilan”

Dalam mempersiapkan penuntutan, Penuntut Umum setelah menerima

berkas perkara yang sudah lengkap dari penyidik, segera menentukan apakah

berkas perkara tersebut memenuhi syarat untuk dapat atau tidak dilimpahkan

ke Pengadilan. Ada dua kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Penuntut

umum terhadap berkas perkara tersebut, yaitu melakukan penuntutan atau

menghentikan penuntutan. Penuntutan dalam hal ini dapat dilakukan, jika

berkas perkara yang diajukan oleh penyidik dipandang sudah lengkap dan

perkara tersebut dapat dilakukan penuntutan oleh Penuntut Umum, maka

(12)

Penghentian penuntutan dapat terjadi, dalam hal penuntut umum

berpendapat bahwa :

a. Tidak cukupnya bukti dalam perkara tersebut;

b. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana;

c. Perkara ditutup demi hukum.

Penghentian penuntutan ini dilakukan oleh Penuntut Umum dengan

membuat surat penetapan penghentian penuntutan. Dalam hal penuntutan

dihentikan, maka bagi tersangka yang berada dalam tahanan harus

dibebaskan, jika kemudian ada alasan baru yang diperoleh penuntutan umum

dari penyidik, yang berasal dari keterangan saksi, benda atau petunjuk, maka

tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penuntutan.

D. Tindak Pidana Korupsi

1. Pengertian korupsi

Secara umum korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan

kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Robert Klitgaard (2002),

merumuskan pengertian umum korupsi dalam rumus:

C = M + D–A

(13)

kewenangan, akan tetapi tidak ada mekanisme akuntabilitas atau

pertanggungjawaban kepada publik (Robert, 2002).

Secara etimologi, kata korupsi berasal dari Bahasa Latin, yaitu

corruptus yang merupakan kata sifat dari kata kerja corrumpere yang bermakna menghancurkan, com memiliki arti intensif atau keseungguh-sungguhan, sedangkan rumpere memiliki arti merusak atau menghancurkan. Dengan gabungan kata tersebut, dapat ditarik sebuah arti secara harfiah

bahwa korupsi adalah suatu tindakan menghancurkan yang dilakukan secara

intensif.

Sejatinya ada begitu banyak pengertian dari korupsi yang disampaikan

oleh para ahli, Huntington (1968) menyebutkan pengertian korupsi sebagai

perilaku pejabat publik atau para pegawai yang menyimpang dari

norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini

ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.

Secara Bahasa korupsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama danrumpereyang berarti pecah atau jebol. Istilah korupsi juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang

dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih

dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa

ada catatan administrasinya (Andi Hamzah, 1984).

Secara Hukum pengertian korupsi merupakan tindak pidana

(14)

mengatur tentang tindak pidana korupsi. Pengertian korupsi lebih ditekankan

pada perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas

untuk keuntungan pribadi atau golongan.

Selama ini istilah korupsi mengacu pada berbagai aktivitas atau

tindakan secara tersembunyi dan ilegal untuk mendapatkan keuntungan demi

kepentingan pribadi atau golongan. Dalam perkembangannya terdapat

penekanan bahwa korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasan (abuse of power) atau kedudukan publik untuk kepentingan pribadi.

2. Faktor Penyebab Korupsi

Tindak pidana korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri.

Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks.

Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga

berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan

korupsi (Hartanti, 2006).

Selo Sumardjan mengatakan bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme

adalah dalam satu nafas karena ketiganya melanggar kaidah-kaidah kejujuran

dan norma hukum. Adapaun faktor sosial pendukung KKN adalah :

a. Fokus budaya bergeser, nilai utama orientasi sosial beralih menjadi orientasi

harta, kaya tanpa harta (sugih tanpo bondho) menjadi kaya dengan harta; b. Pembangunan ekonomi menjadi panglima pembangunan bukan

pembangunan sosial atau budaya;

(15)

d. Paternalisme, korupsi tingkat tinggi, menurun, menyebar, meresap dalam

kehidupan masyarakat. Bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan

menjadi kaya (aji mumpung);

Evi Hartanti menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi

dikarenakan lemahnya pendidikan agama dan etika, kolonialisme, kurangnya

pendidikan, kemiskinan, tidak adanya sanksi yang keras, kelangkaan

lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi, struktur pemerintahan,

perubahan radikal, dan keadaan masyarakat. Namun demikian faktor yang

paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral dan intelektual

para pemimpin masyarakat (Hartanti, 2006).

3. Korupsi menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah

dijelaskan dalam 13 Pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor

20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan

kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut

menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan

sanksi pidana karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi

tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kerugian keuangan Negara.

Pasal 2 (1);

(16)

dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).

Pasal 3 :

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar ruiah).

Melawan hukum dalam pasal tersebut mencakup perbuatan melawan

hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yang perbuatan tersebut

tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan

tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau

norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut

dapat dipidana. Dalam ketentuan ini kata dapat sebelum terasa sangat

merugikan keuangan atau perekonomian Negara menunjukan bahwa tindak

pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi

cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan

bukan dengan timbulnya akibat.

2. Suap-menyuap.

Pasal 5 (1) :

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :

(17)

penyelenggara Negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara

karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Pasal 5 (2) :

Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana yang dimaksud pasal 5 (1) huruf a atau b diatas dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 (1) tersebut.

Pasal 6 (1) :

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), setiap orang yang :

a. Memberi atau menjajikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau

b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri siding pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Pasal 11 :

Dipidana dengan penjara pidana paling singkat 1 (satu ) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Pasal 12 :

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) : a. Pegawai negari atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah

(18)

tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

b. Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

c. Hakim yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

d. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundng-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan, berhubungan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Pasal 13 :

Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukan nya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

3. Penggelapan dalam jabatan.

Pasal 8 :

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu , dengan sengaja mengelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.

Pasal 9 :

(19)

jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

Pasal 10 :

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugasa menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja :

a. Menggelapkan, menghancurkan, merusak, atau membuat tidak dapat dipakai barang,akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk menyakinkan atau untuk membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau

b. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akata, surat, atau daftar tersebut; atau

c. Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, memusnahkan,atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

4. Pemerasan.

Pasal 12 huruf e, f, g :

e. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau menyalah gunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; f. Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang pada waktu

menjalankan tugas meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

g. Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang pada waktu menjalankan tugas minta atau menerima pekerjaan atau menyerahkan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang.

5. Perbuatan curang.

(20)

palinglama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah):

a. Pemborong, ahli bagunan yang pada waktu membuat bangunan, atau menjual behan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam keadaan perang;

b. Setiap orang yang bertugas mengawasi bangunan atau menyerahkan bahan bagunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud huruf a;

c. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negaara dalam keadaan perang; atau

d. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

Pasal 7 (2) :

Bagi orang yang menerima penyerahankan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 7 huruf a atau huruf c dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal 7;

Pasal 12 huruf h

h. Pegawai negeri atau peyelenggara Negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah Negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahui bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

6. Gratifikasi.

Pasal 12 B :

1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :

(21)

b. Yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,-(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

Pasal 12 C :

1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 B (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterima kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

3. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu palinglambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik Negara.

4. Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi selain yang sudah dijelaskan diatas, masih ada

tindak pidana lain yang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang

tertuang pada UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001.

Jenis tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi itu adalah:

a. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;

b. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar;

c. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka;

d. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan

(22)

e. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau

memberikan keterangan palsu;

f. Saksi yang membuka identitas pelapor.

4 Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi

Unsur-unsur yang terdapat pada tindak pidana korupsi sebenarnya

dapat kita lihat dengan sangat jelas jika dilihat pada pengertian tindak pidana

korupsi atau delik yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan dan

perundang-undangan yang berlaku, dan beberapa pengertian dan rumusan delik tindak

pidana korupsi seperti di kemukakan di atas.

Mengenai adanya kriteria utama, sehingga suatu tindakan

dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, menurut pendapat Romli

Atmasasmita:

Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, adanya unsur kerugian negara sebagai unsur utama sehingga tindakan dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi, tetapi pada kenyataannya unsur kerugian negara sulit pembuktiannya karena deliknya delik materiil. Namun dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 unsur kerugian negara tetap ada tetapi rumusannya diubah menjadi delik formil sehingga tidak perlu dibuktikan adanya kerugian negara atau tidak.

Menurut Victor M. Situmorang dalam bukunya mengenai tindak

pidana pegawai negeri sipil menyatakan bahwa korupsi yaitu :

Secara umumnya dapat dikatakan sebagai perbuatan dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, yang langsung maupun tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau keuangan suatu badan yang menerima bantuan keuangan negara yang mana perbuatan tersebut dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau wewenang yang ada padanya.

(23)

kemukakan di atas, maka menurut Husein (1991: 66) tindak pidana korupsi

mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang;

b. Korupsi pada umumnya dilakukan penuh kerahasiaan;

c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik; d. Korupsi dengan berbagai macam akal berlindung di balik pembenaran

hukum;

e. Mereka yang terlibat korupsi adalah yang menginginkan keputusan yang tegas dan mereka mampui mempengaruhi keputusan;

f. Tindakan korupsi mengandung penipuan baik pada badan publik atau masyarakat;

g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan; h. Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan

pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.

Adapun unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dapat penulis

inventarisir dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah:

1. Tindakan seorang atau atau badan hukum melawan hukum. 2. Tindakan tersebut menyalahgunakan wewenang.

3. Dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. 4. Tindakan tersebut merugikan negara atau perekonomian.

5. Memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatanya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

6. Memberikan sesuatu kepada pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan dalam jabatannya.

7. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang deserahkan kepadanya untuk diadili.

8. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. 9. Adanya perbuatan curang atau sengaja membiarkan terjadi perbuatan

curang tersebut.

(24)

sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.

11. Dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusak, atau membuat barang tidak dapat dipakai,atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatanya dan membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat barang tidak dapat dipakai, akta, surat, atau daftar tersebut serta membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat barang tidak dapat dipakai, akta, surat, atau daftar tersebut. 12. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau

janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatan.

Dengan memiliki unsur tindak pidana korupsi yang ditempatkan

dalam peraturan perundang-undangan, maka setiap perilaku atau tindakan

setiap korporasi yang memenuhi rumusan delik diatas, dapat kepadanya

dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

E. Kejaksaan

1. Pengertian Kejaksaan

Kejaksaan R.I. adalah lembaga negara yang melaksanakan

kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang

berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin

oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada

Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri

merupakan kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan, dimana

semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan

(25)

Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor

penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan

menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. Oleh

karena itu, keberadaan Lembaga Kejaksaan salah satu unsur sistem

peradilan pidana mempunyai kedudukan yang penting dan peranannya

yang strategis di dalam suatu negara hukum karena Lembaga Kejaksaan

menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di

persidangan, sehingga keberadaannya dalam kehidupan masyarakat harus

mampu mengemban tugas penegakan hukum (Efendy, 2005:2).

Mengacu pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 yang

menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan

RI. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk

lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan

kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam Undang-undang

Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga negara yang

melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan

fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh

kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat 2

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004).

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dipimpin

oleh Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 33

(26)

Negeri di seluruh Indonesia. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa

Lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis

dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros

dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di

persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan

pengadilan. Sehingga Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses

perkara (Dominus Litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak

berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.

Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan

pengadilan (executive ambtenaar). Selain berperan dalam perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha

Negara, yaitu dapat mewakili Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata

Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai pelaksana

kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta

melaksanakan putusan pengadilan dan wewenang lain berdasarkan

Undang-undang.

2. Tugas Jaksa Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi

Pada Pasal 1 Angka 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa Jaksa adalah

pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

(27)

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain

berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004. Kejaksaan Republik

Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan

negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak

manapun. Dalam penuntutan dilaksanakan secara merdeka terlepas dari

pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.

Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih

berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan

umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi

(Hartanti,2005: 32).

Pada dasarnya lembaga Kejaksaan adalah alat negara penegak

hukum, pelindung dan pengayom masyarakat berkewajiban untuk

memelihara tegaknya hukum. Lembaga Kejaksaan dengan demikian

berperan sebagai penegak hukum. Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga

negara yang merupakan aparat pemerintah yang berwenang melimpahkan

perkara pidana, menuntut pelaku tindak pidana di pengadilan dan

melaksanakan penetapan dan putusan hakim pidana, kekuasaan ini

merupakan ciri khas dari kejaksaan yang membedakan lembaga-lembaga

atau badan-badan penegak hukum lain.

Selain itu dalam tindak pidana umum Jaksa hanya sebagai penuntut

umum, tetapi dalam tindak pidana khusus dalam hal ini korupsi Jaksa

berperan sebagai penyidik dan penuntut umum. Sebagai penyidik maka

diperlukan suatu keahlian dan keterampilan yang khusus untuk mencari

(28)

dasarnya penyelidikan dan penyidikan setiap tindak pidana merupakan

awal dalam penanganan setiap tindak pidana terutama tindak pidana

korupsi.

Kejaksaan sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi, maka

kejaksaan berwenang untuk mengadakan penyelidikan dan penyidikan.

Setelah penyidikan dirasa oleh penyidik sudah selesai maka berkas

perkaranya diserahkan kepada kejaksaan selaku penuntut umum. Jaksa

yang ditunjuk sebagai penuntut umum setelah menerima berkas perkara

segera memeriksa, apabila berkas oleh penuntut umum dianggap kurang

lengkap maka dalam waktu tujuh hari atau sebelumnya, penuntut umum

harus sudah mengembalikan berkas pada penyidik disertai dengan

petunjuk untuk kelengkapan berkas tersebut. Apabila dalam waktu tujuh

hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik penuntut umum tidak

mengembalikan berkas, maka berkas tersebut sudah lengkap. Dengan

dikembalikannya berkas perkara oleh penuntut umum pada penyidik

disertai dengan petunjuk untuk kelengkapan berkas maka penyidik harus

mengadakan penyidikan lanjutan guna melengkapi berkas

selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari selesai dan dikirim lagi pada

penuntut umum (Sutarto, 2004: 76).

Bila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan dari

penyidik sudah lengkap maka penyidik selanjutnya menyerahkan

tanggung jawab atas barang bukti dan tersangkanya. Penuntut umum

(29)

dilakukan penuntutan atau tidak, bila dapat maka ia dalam waktu

secepatnya membuat surat dakwaan. Surat dakwaan ini sangat penting

dalam pemeriksaan perkara pidana. Sebab surat dakwaan merupakan dasar

dan menentukan batas-batas bagi pemeriksaan terdakwa dalam sidang

(Sutarto, 2004: 86).

Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP, menyatakan bahwa Penuntut

Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Dari

perumusan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Penuntut Umum adalah

Jaksa, tetapi sebaliknya jaksa belum tentu berarti penuntut umum. Atau

dengan kata lain tidak semua jaksa adalah penuntut umum, tetapi semua

penuntut umum adalah Jaksa. Karena menurut ketentuan tersebut hanya

jaksalah yang dapat bertindak sebagai penuntut umum. Seorang jaksa baru

memperoleh kapasitasnya sebagai penuntut umum apabila ia menangani

tugas penuntutan.

Pasal 1 angka 7 KUHAP merumuskan bahwa yang dimaksud

dengan Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan

perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan

supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

Dalam Pra Penuntutan, segera setelah adanya SPDP (Surat

Perintah Dimulainya Penyidikan) maka Jaksa yang ditunjuk untuk

(30)

tahap pertama yang diajukan oleh penyidik, apabila dianggap kurang

lengkap maka Jaksa penuntut umum segera mengembalikan berkas

perkara kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila

dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan

berkas perkara maka penyidikan dianggap selesai (Pasal 110 KUHAP).

Ketika seorang Jaksa menerima surat perintah mengikuti perkembangan

penyidikan (P-16), Jaksa berwenang untuk meneliti berkas perkara dan

SP-3 dari penyidik.

KUHAP memberikan batasan waktu, yaitu untuk meneliti berkas

tahap pertama diberi waktu 7 hari harus sudah memberitahukan apakah

hasil penyidikan sudah lengkap/belum. Dan dalam waktu 14 hari setelah

berkas diterima dari penuntut umum penyidik harus sudah menyampaikan

kembali berkas perkara itu ke penuntut umum (Pasal 138 KUHAP).

Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa berkas sudah

lengkap maka penuntut umum, secara teknis di Kejaksaan membuat P-21

atau menyatakan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap dan segera

penyidik menyerahkan barang bukti dan tersangkanya kepada penuntut

umum.

Dalam bidang Penuntutan, di mana Kejaksaan membuat surat P-16

A yaitu Penunjukan Jaksa Penuntut Umum untuk Penyelesaian Perkara

Tindak Pidana, di mana Jaksa berwenang untuk :

1. Melaksanakan penahanan/pengalihan penahanan/pengeluaran tahanan;

(31)

3. Melakukan penghentian penuntutan;

4. Melakukan penuntutan perkara ke pengadilan;

5. Melaksanakan penetapan hakim;

6. Melakukan perlawanan terhadap penetapan hakim;

7. Melakukan upaya hukum;

8. Memberi pertimbangan atas permohonan grasi terpidana;

9. Memberikan jawaban/tangkisan atas permohonan peninjauan kembali

putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap;

10. Menandatangani berita acara pemeriksaan PK.

Itu adalah wewenang yang terdapat dalam P-16A, Segera setelah

itu Jaksa membuat Dakwaan dan segera dilimpahkan ke Pengadilan (P-31)

dengan permintaan agar segera mengadili. Apabila Ketua Pengadilan

menyatakan berwenang untuk mengadili maka segera menentukan sidang.

Jaksa Penuntut Umum bertugas untuk membuktikan dakwaannya,

sebagaimana asas hukum kita, siapa yang menuduh maka berkewajiban

membuktikan tuduhannya, kecuali diatur tertentu oleh undang-undang

Referensi

Dokumen terkait

Menyusun daftar pertanyaan atas hal-hal yang belum dapat dipahami dari kegiatan mengmati dan membaca yang akan diajukan kepada guru berkaitan dengan materi Arus listrik

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ Hubungan Durasi Terpapar Bising

Aplikasi linier programming dengan menggunakan metode simplek dapat menghitung jumlah produksi yang optimal pada tiap jenis apam yang diproduksi oleh usaha produksi apam

Berdasarkan tabel di atas, hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen kegiatan praktik unit produksi pada aspek perencanaan praktik unit produksi di SMK kelompok Bisnis dan

Jadi iklim kerja adalah hubungan timbal balik antara faktor-faktor pribadi, sosial, dan budaya yang mempengaruhi sikap individu dan kelompok dalam lingkungan

This problem isn’t simple, but on the Internet, it’s a problem we’ve largely solved —you don’t need different browsers for CNN and Facebook.. This kind of standardization is

Orang Dengan Hiv/ Aids (Odha) Menjadi Aktivis Hiv/ Aids (Studi kualitatif tentang makna stigma... ADLN Perpustakaan

Tanpa ada tujuan terhadap akhirat, maka kebaikan dan kebahagiaan hanya berupa harta wanita dan tahta, maka ia akan melakukan apa saja untuk mencapai kebaikan dan kebahagiaan menurut