Istilah "peran" kerap diucapkan banyak orang. Sering kita mendengar
kata peran dikaitkan dengan posisi atau kedudukan seseorang. Kata "peran"
dikaitkan dengan "apa yang dimainkan" oleh seorang aktor dalam suatu
drama. Kamus Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian peran adalah :
a. Peran adalah pemain yang diandaikan dalam sandiwara maka ia adalah
pemain sandiwara atau pemain utama;
b. Peran adalah bagian yang dimainkan oleh seorang pemain dalam
sandiwara, ia berusaha bermain dengan baik dalam semua peran yang
diberikan;
c. Peran adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.
Peranan berasal dari kata peran, berarti sesuatu yang menjadi bagian
atau memegang pimpinan yang utama. Analisis terhadap perilaku peranan
dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu :
a. Ketentuan peranan;
b. Gambaran peranan;
c. Harapan peranan (Sarjono Sukamto 1984).
Ketentuan peranan adalah pernyataan formal dan terbuka tentang
perilaku yang harus ditampilkan oleh seseorang dalam membawa perannya.
Gambaran peranan adalah suatu gambaran tentang perilaku yang secara
pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan peranan adalah pernyataan
formal dan terbuka tentang perilaku yang harus ditampilkan oleh seseorang
dalam membawa perannya. Gambaran peranan adalah suatu gambaran
tentang perilaku yang secara aktual ditampilkan seseorang dalam
membawakan perannya. Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan
mengenai pengertian peranan dalam hal ini peran pemerintah dalam
melaksanakan fungsi dan tujuannya dalam pelayanan, pembangunan,
pemberdaya, dan pengatur masyarakat. Peranan adalah merupakan aspek
dinamis dari kedudukan apabila seseorang melaksanakan hak-hak serta
kewajiban sesuai dengan kedudukannya maka ia telah melakukan sebuah
peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan adalah untuk
kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan
karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya (Soekanto 2009:
213).
Peranan menurut Levinson sebagaimana dikutip oleh Soekanto
(2009: 213), sebagai berikut “Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat,
peranan meliputi norma-norma yang dikembangkan dengan posisi atau
tempat seseorang dalam masyarakat, peranan dalam arti ini merupakan
rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan
bermasyarakat”. Soekanto (2009: 213) mengatakan peranan mencakup tiga hal, antara lain:
tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan
rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam
kehidupan bermasyarakat;
2. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan
oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi;
3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting
bagi struktur sosial masyarakat.
B. Tinjauan Umum Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Dasar patut dipidananya suatu perbuatan berkaitan erat dengan
masalah sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu
perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan. Istilah tindak pidana merupakan
suatu pengertian dasar dalam hukum pidana yang dipakai sebagai pengganti
atau dimaksudkan sebagai terjemahan dari bahasa Belanda yaitu
“straafbaarfeit”. Beberapa pakar hukum pidana memberikan pengertian yang berbeda-beda mengenai tindak pidana, yakni Menurut Moeljatno tindak
pidana adalah “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dengan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut”(Moeljatno 1983: 71).
Menurut Evi Hartanti (2005: 5) tindak pidana adalah tindakan
melanggar hukum yang telah dengan sengaja oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-undang telah
Guse Prayudi (2010: 5) menggunakan istilah peristiwa pidana sebagai
terjemahan dari “straafbaarfeit”, dan mendefinisikannya sebagai suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan
undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya terhadap
perbuatan mana dilakukan penghukuman.
Peristilahan untuk menyebutkan ”strafbaarfeit” tersebut di atas,
Menurut Leden Marpaung, istilah “delik” lebih cocok, di mana “delik”
berasal dari kata delict (Jerman dan Belanda), delit (Prancis) yang berarti perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang.
Perbedaan peristilahan tersebut hendaknya tidak membingungkan
setiap orang, karena pemakaian istilah yang berlainan itu tidak menjadi soal,
asal diketahui apa yang dimaksudkan, dan dalam hal ini yang penting ialah isi
dari pengertian itu. Adanya perbedaan pemakaian istilah itu sebenarnya tidak
menjadi suatu persoalan yang prinsipil apabila dalam suatu perumusan tindak
pidana terdapat pengaturan yang jelas dalam arti terdapat kejelasan dari apa
yang diatur. Istilah “tindak pidana” mengandung pengertian yang tepat dan jelas dengan istilah hukum, juga sangat praktis untuk diucapkan, di samping
itu di dalam peraturan perundang-undangan negara Indonesia pada umumnya
menggunakan istilah tindak pidana (Guse Prayudi 2010: 5).
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut diatas tampaknya para
pembentuk undang-undang lebih memilih istilah tindak pidana, hal ini terlihat
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang dicantumkan dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau
keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, artinya larangan itu ditujukan
pada perbuatannya. Sedangkan ancaman pidananya itu ditujukan pada
orangnya.
Antara larangan yang ditujukan pada perbuatan, dengan ancaman
pidana ada hubungan yang erat, dan oleh karena itu perbuatan yang berupa
kejadian yang ditimbulkan orang yang melanggar larangan, dengan orang
yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula. Untuk menyatakan
adanya hubungan yang erat itulah maka lebih tepat digunakan istilah
perbuatan pidana. Pengertian tersebut merujuk pada dua keadaan yaitu
pertama adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan kedua adanya orang yang
berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.
2. Unsur-unsur Tindak Pidana
a. Unsur Subjektif
1) Kesengajaan atau kelalaian.
2) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud
dalam Pasal 53 Ayat (1) KUHP.
3) Berbagai maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian,
penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.
4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam kejahatan
5) Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana
menurut Pasal 308 KUHP.
b. Unsur Objektif
1) Sifat melawan hukum;
2) Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil
melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 415 KUHP;
3) Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab
dengan kenyatan sebagai akibat.
C. Proses Penanganan Perkara
Proses penanganan perkara dimaksudkan untuk menunjukan rangkaian
tindakan/perbuatan dalam rangka penanganan sesuatu perkara. Proses
penanganan perkara antara lain sebagai berikut:
1. Penyelidikan
Pengertian “penyelidikan” dimuat pada Pasal 1 butir 5 KUHAP yang berbunyi “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini”.
Berdasarkan adanya data awal tersebut diatas maka diterbitkan “Surat Perintah Penyelidikan” untuk mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana
korupsi yang terjadi, dengan diperolehnya bukti permulaan yang cukup.
Tetapi dengan diterbitkan surat perintah penyelidikan, banyak orang
merupakan suatu kekeliruan karena adakalanya tidak diperoleh bukti
permulaan yang cukup.
Jika tidak diperoleh bukti permulaan yang cukup, maka penyelidikan
tersebut tidak dilanjutkan. Sedang jika ditemukan bukti permulaan yang
cukup, maka penyelidikan ditingkatkan ke tahap penyidikan, dan selanjutnya
diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.
2. Penyidikan
Penyidikan berasal dari kata dasar “Sidik” yang mempunyai awalan “pe” dan akhiran “an”. Kata sidik mempunyai arti penyelidikan jari untuk mengetahui dan membedakan orang dengan meneliti garis-garis ujung jari
(Sutarto, 1987: 943). Sedangkan istilah penyidikan menurut Suryono Sutarto
adalah “Serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya.”
Pengertian penyidikan yang dimuat pada Pasal 1 angka 2 KUHAP
yang berbunyi “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Tahap penyidikan sangat penting peranannya dalam menentukan
apakah ada atau tidaknya tindak pidana. Sehingga sebelum diadakannya
penyidikan diadakan penyelidikan, sebagai tindakan yang mendahului
terjadinya suatu tindak pidana, yang mana dugaan tentang terjadinya tindak
pidana ini dapat diperoleh dari beberapa sumber yaitu :
a. Kedapatan tertangkap tangan;
b. Karena laporan;
c. Karena pengaduan;
d. Diketahui sendiri.
Aparat penyidik yang mengemban tugas dalam Surat Perintah, segera
membuat “Rencana Penyidikan” (Rendik) dengan memahami hasil
penyelidikan dan peraturan-peraturan yang terkait dengan tindak pidana
korupsi yang sedang disidiknya sehingga akan dapat menentukan
penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi dan bukti-bukti yang
mendukung penyimpangan tersebut agar dengan demikian akan dapat
ditentukan modus operandinya (Sutarto, 1987: 945).
Penyidik tindak pidana korupsi akan mulai melakukan penyidikan
setelah mendapatkan surat perintah penyidikan dari Kepala Kejaksaan Negeri
apabila yang melakukan penyidikan adalah Jaksa pada kejaksaan negeri.
Pelaksanaan penyidikan dalam praktek biasanya dilakukan oleh beberapa
Jaksa. Terdiri dari tiga Jaksa satu orang Jaksa sebagi pimpinan dan dua orang
Jaksa sebagai anggota. Penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana
untuk mendapatkan keterangan-keterangan mengenai :
1. Tindak pidana apa yang telah dilakukan;
2. Kapan tindak pidana itu dilakukan;
4. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan;
5. Mengapa tindak pidana itu dilakukan.
Hal yang harus diperhatikan oleh penyidik untuk memulai penyidikan
adalah memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penuntut Umum.
Apabila penyidikan tindak pidana korupsi dilakukan oleh Polisi
pemberitahuan ini sifatnya wajib, supaya tidak terjadi adanya dua penyidik
yaitu dari Kejaksaan atau dari Polisi dalam tindak pidana tertentu khususnya
korupsi.
Dalam tindak pidana korupsi dimana yang menjadi penyidik Jaksa
maka pemberitahuan dimulainya penyidikan dalam praktek tidak dilakukan,
karena Jaksa penyidik nantinya akan sebagai Jaksa penuntut umum sehingga
Jaksa penuntut umum sudah jelas mengetahui dimulainya penyidikan. Dalam
menjalankan tugasnya Penyidik dalam tindak pidana korupsi baik Jaksa
maupun Polisi mempunyai kewenangan sama yaitu yang diatur dalam pasal 7
ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang menyebutkan :
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a karena
kewajibannya mempunyai wewenang :
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. Memanggil orang untuk diperiksa sebagai terdakwa atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab (Leden
marpaung, 2008:12)
Tidak semua tindak pidana korupsi yang disidik dapat ditingkatkan ke
tahap penuntutan. Jika ada salah satu unsur tidak didukung alat bukti, atau
adanya alasan-alasan pemaaf berdasarkan Yurisprudensi, karena sifat
melawan hukum tidak terbukti, maka perkara tersebut diterbitkan Surat
Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3). Apabila penyidikan telah selesai
dilakukan, dan dari hasil penyidikan itu diperoleh bukti-bukti mengenai
tindak pidana yang terjadi, maka hasil penyidikan tersebut dituangkan dalam
berkas perkara.
Jika perkara yang disidik didukung dengan alat bukti yang kuat maka
penyidikan dilanjutkan ke tahap penuntutan. Umumnya sebelum ditentukan
suatu perkara ditingkatkan ke tahap penuntutan atau di SP3-kan, dilakukan
pemaparan. Pada pemaparan tersebut tampak jelas hasil-hasil penyidikan.
Penyidikan telah selesai apabila penuntut umum dalam waktu tujuh
hari tidak mengembalikan hasil penyidikan atau sebelum waktu tersebut
penyidikan telah lengkap. Bila penyidikan telah selesai dan berkasnya
diterima penuntut umum maka penuntut umum dengan berdasarkan hasil
penyelidikan tersebut menyusun surat dakwaan dan kemudian melakukan
penuntutan.
3. Penuntutan
Penuntut umum setelah menerima berkas perkara dari penyidik, dan
menurut penuntut umum berkas tersebut sudah lengkap dan dapat dilakukan
penuntutan, maka selanjutnya penuntut umum secepat mungkin membuat
surat dakwaan. Adapun pengertian penuntutan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana dapat dilihat dalam pasal 1 butir 7 yang menyebutkan:
“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara
pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal menurut cara yang
diatur dalam Undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa oleh
hakim disidang pengadilan”
Dalam mempersiapkan penuntutan, Penuntut Umum setelah menerima
berkas perkara yang sudah lengkap dari penyidik, segera menentukan apakah
berkas perkara tersebut memenuhi syarat untuk dapat atau tidak dilimpahkan
ke Pengadilan. Ada dua kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Penuntut
umum terhadap berkas perkara tersebut, yaitu melakukan penuntutan atau
menghentikan penuntutan. Penuntutan dalam hal ini dapat dilakukan, jika
berkas perkara yang diajukan oleh penyidik dipandang sudah lengkap dan
perkara tersebut dapat dilakukan penuntutan oleh Penuntut Umum, maka
Penghentian penuntutan dapat terjadi, dalam hal penuntut umum
berpendapat bahwa :
a. Tidak cukupnya bukti dalam perkara tersebut;
b. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana;
c. Perkara ditutup demi hukum.
Penghentian penuntutan ini dilakukan oleh Penuntut Umum dengan
membuat surat penetapan penghentian penuntutan. Dalam hal penuntutan
dihentikan, maka bagi tersangka yang berada dalam tahanan harus
dibebaskan, jika kemudian ada alasan baru yang diperoleh penuntutan umum
dari penyidik, yang berasal dari keterangan saksi, benda atau petunjuk, maka
tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penuntutan.
D. Tindak Pidana Korupsi
1. Pengertian korupsi
Secara umum korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan
kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Robert Klitgaard (2002),
merumuskan pengertian umum korupsi dalam rumus:
C = M + D–A
kewenangan, akan tetapi tidak ada mekanisme akuntabilitas atau
pertanggungjawaban kepada publik (Robert, 2002).
Secara etimologi, kata korupsi berasal dari Bahasa Latin, yaitu
corruptus yang merupakan kata sifat dari kata kerja corrumpere yang bermakna menghancurkan, com memiliki arti intensif atau keseungguh-sungguhan, sedangkan rumpere memiliki arti merusak atau menghancurkan. Dengan gabungan kata tersebut, dapat ditarik sebuah arti secara harfiah
bahwa korupsi adalah suatu tindakan menghancurkan yang dilakukan secara
intensif.
Sejatinya ada begitu banyak pengertian dari korupsi yang disampaikan
oleh para ahli, Huntington (1968) menyebutkan pengertian korupsi sebagai
perilaku pejabat publik atau para pegawai yang menyimpang dari
norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini
ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.
Secara Bahasa korupsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama danrumpereyang berarti pecah atau jebol. Istilah korupsi juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang
dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih
dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa
ada catatan administrasinya (Andi Hamzah, 1984).
Secara Hukum pengertian korupsi merupakan tindak pidana
mengatur tentang tindak pidana korupsi. Pengertian korupsi lebih ditekankan
pada perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas
untuk keuntungan pribadi atau golongan.
Selama ini istilah korupsi mengacu pada berbagai aktivitas atau
tindakan secara tersembunyi dan ilegal untuk mendapatkan keuntungan demi
kepentingan pribadi atau golongan. Dalam perkembangannya terdapat
penekanan bahwa korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasan (abuse of power) atau kedudukan publik untuk kepentingan pribadi.
2. Faktor Penyebab Korupsi
Tindak pidana korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri.
Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks.
Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga
berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan
korupsi (Hartanti, 2006).
Selo Sumardjan mengatakan bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme
adalah dalam satu nafas karena ketiganya melanggar kaidah-kaidah kejujuran
dan norma hukum. Adapaun faktor sosial pendukung KKN adalah :
a. Fokus budaya bergeser, nilai utama orientasi sosial beralih menjadi orientasi
harta, kaya tanpa harta (sugih tanpo bondho) menjadi kaya dengan harta; b. Pembangunan ekonomi menjadi panglima pembangunan bukan
pembangunan sosial atau budaya;
d. Paternalisme, korupsi tingkat tinggi, menurun, menyebar, meresap dalam
kehidupan masyarakat. Bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan
menjadi kaya (aji mumpung);
Evi Hartanti menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi
dikarenakan lemahnya pendidikan agama dan etika, kolonialisme, kurangnya
pendidikan, kemiskinan, tidak adanya sanksi yang keras, kelangkaan
lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi, struktur pemerintahan,
perubahan radikal, dan keadaan masyarakat. Namun demikian faktor yang
paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral dan intelektual
para pemimpin masyarakat (Hartanti, 2006).
3. Korupsi menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah
dijelaskan dalam 13 Pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor
20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan
kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut
menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan
sanksi pidana karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi
tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kerugian keuangan Negara.
Pasal 2 (1);
dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
Pasal 3 :
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar ruiah).
Melawan hukum dalam pasal tersebut mencakup perbuatan melawan
hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yang perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut
dapat dipidana. Dalam ketentuan ini kata dapat sebelum terasa sangat
merugikan keuangan atau perekonomian Negara menunjukan bahwa tindak
pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi
cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan
bukan dengan timbulnya akibat.
2. Suap-menyuap.
Pasal 5 (1) :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :
penyelenggara Negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Pasal 5 (2) :
Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana yang dimaksud pasal 5 (1) huruf a atau b diatas dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 (1) tersebut.
Pasal 6 (1) :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), setiap orang yang :
a. Memberi atau menjajikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri siding pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Pasal 11 :
Dipidana dengan penjara pidana paling singkat 1 (satu ) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Pasal 12 :
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) : a. Pegawai negari atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
b. Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
c. Hakim yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundng-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan, berhubungan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Pasal 13 :
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukan nya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
3. Penggelapan dalam jabatan.
Pasal 8 :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu , dengan sengaja mengelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Pasal 9 :
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Pasal 10 :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugasa menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja :
a. Menggelapkan, menghancurkan, merusak, atau membuat tidak dapat dipakai barang,akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk menyakinkan atau untuk membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
b. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akata, surat, atau daftar tersebut; atau
c. Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, memusnahkan,atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
4. Pemerasan.
Pasal 12 huruf e, f, g :
e. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau menyalah gunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; f. Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang pada waktu
menjalankan tugas meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g. Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang pada waktu menjalankan tugas minta atau menerima pekerjaan atau menyerahkan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang.
5. Perbuatan curang.
palinglama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. Pemborong, ahli bagunan yang pada waktu membuat bangunan, atau menjual behan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam keadaan perang;
b. Setiap orang yang bertugas mengawasi bangunan atau menyerahkan bahan bagunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud huruf a;
c. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negaara dalam keadaan perang; atau
d. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
Pasal 7 (2) :
Bagi orang yang menerima penyerahankan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 7 huruf a atau huruf c dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal 7;
Pasal 12 huruf h
h. Pegawai negeri atau peyelenggara Negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah Negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahui bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
6. Gratifikasi.
Pasal 12 B :
1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :
b. Yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,-(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Pasal 12 C :
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 B (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterima kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
3. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu palinglambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik Negara.
4. Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tindak pidana korupsi selain yang sudah dijelaskan diatas, masih ada
tindak pidana lain yang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang
tertuang pada UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001.
Jenis tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi itu adalah:
a. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;
b. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar;
c. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka;
d. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan
e. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau
memberikan keterangan palsu;
f. Saksi yang membuka identitas pelapor.
4 Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi
Unsur-unsur yang terdapat pada tindak pidana korupsi sebenarnya
dapat kita lihat dengan sangat jelas jika dilihat pada pengertian tindak pidana
korupsi atau delik yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan dan
perundang-undangan yang berlaku, dan beberapa pengertian dan rumusan delik tindak
pidana korupsi seperti di kemukakan di atas.
Mengenai adanya kriteria utama, sehingga suatu tindakan
dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, menurut pendapat Romli
Atmasasmita:
Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, adanya unsur kerugian negara sebagai unsur utama sehingga tindakan dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi, tetapi pada kenyataannya unsur kerugian negara sulit pembuktiannya karena deliknya delik materiil. Namun dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 unsur kerugian negara tetap ada tetapi rumusannya diubah menjadi delik formil sehingga tidak perlu dibuktikan adanya kerugian negara atau tidak.
Menurut Victor M. Situmorang dalam bukunya mengenai tindak
pidana pegawai negeri sipil menyatakan bahwa korupsi yaitu :
Secara umumnya dapat dikatakan sebagai perbuatan dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, yang langsung maupun tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau keuangan suatu badan yang menerima bantuan keuangan negara yang mana perbuatan tersebut dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau wewenang yang ada padanya.
kemukakan di atas, maka menurut Husein (1991: 66) tindak pidana korupsi
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang;
b. Korupsi pada umumnya dilakukan penuh kerahasiaan;
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik; d. Korupsi dengan berbagai macam akal berlindung di balik pembenaran
hukum;
e. Mereka yang terlibat korupsi adalah yang menginginkan keputusan yang tegas dan mereka mampui mempengaruhi keputusan;
f. Tindakan korupsi mengandung penipuan baik pada badan publik atau masyarakat;
g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan; h. Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.
Adapun unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dapat penulis
inventarisir dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah:
1. Tindakan seorang atau atau badan hukum melawan hukum. 2. Tindakan tersebut menyalahgunakan wewenang.
3. Dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. 4. Tindakan tersebut merugikan negara atau perekonomian.
5. Memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatanya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
6. Memberikan sesuatu kepada pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan dalam jabatannya.
7. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang deserahkan kepadanya untuk diadili.
8. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. 9. Adanya perbuatan curang atau sengaja membiarkan terjadi perbuatan
curang tersebut.
sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
11. Dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusak, atau membuat barang tidak dapat dipakai,atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatanya dan membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat barang tidak dapat dipakai, akta, surat, atau daftar tersebut serta membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat barang tidak dapat dipakai, akta, surat, atau daftar tersebut. 12. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatan.
Dengan memiliki unsur tindak pidana korupsi yang ditempatkan
dalam peraturan perundang-undangan, maka setiap perilaku atau tindakan
setiap korporasi yang memenuhi rumusan delik diatas, dapat kepadanya
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
E. Kejaksaan
1. Pengertian Kejaksaan
Kejaksaan R.I. adalah lembaga negara yang melaksanakan
kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang
berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin
oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada
Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri
merupakan kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan, dimana
semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan
Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor
penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan
menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. Oleh
karena itu, keberadaan Lembaga Kejaksaan salah satu unsur sistem
peradilan pidana mempunyai kedudukan yang penting dan peranannya
yang strategis di dalam suatu negara hukum karena Lembaga Kejaksaan
menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di
persidangan, sehingga keberadaannya dalam kehidupan masyarakat harus
mampu mengemban tugas penegakan hukum (Efendy, 2005:2).
Mengacu pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 yang
menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
RI. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk
lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan
kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam Undang-undang
Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga negara yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan
fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat 2
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004).
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dipimpin
oleh Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 33
Negeri di seluruh Indonesia. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa
Lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis
dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros
dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di
persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan
pengadilan. Sehingga Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses
perkara (Dominus Litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak
berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.
Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan
pengadilan (executive ambtenaar). Selain berperan dalam perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha
Negara, yaitu dapat mewakili Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata
Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai pelaksana
kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta
melaksanakan putusan pengadilan dan wewenang lain berdasarkan
Undang-undang.
2. Tugas Jaksa Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi
Pada Pasal 1 Angka 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa Jaksa adalah
pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain
berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004. Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak
manapun. Dalam penuntutan dilaksanakan secara merdeka terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih
berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan
umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi
(Hartanti,2005: 32).
Pada dasarnya lembaga Kejaksaan adalah alat negara penegak
hukum, pelindung dan pengayom masyarakat berkewajiban untuk
memelihara tegaknya hukum. Lembaga Kejaksaan dengan demikian
berperan sebagai penegak hukum. Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga
negara yang merupakan aparat pemerintah yang berwenang melimpahkan
perkara pidana, menuntut pelaku tindak pidana di pengadilan dan
melaksanakan penetapan dan putusan hakim pidana, kekuasaan ini
merupakan ciri khas dari kejaksaan yang membedakan lembaga-lembaga
atau badan-badan penegak hukum lain.
Selain itu dalam tindak pidana umum Jaksa hanya sebagai penuntut
umum, tetapi dalam tindak pidana khusus dalam hal ini korupsi Jaksa
berperan sebagai penyidik dan penuntut umum. Sebagai penyidik maka
diperlukan suatu keahlian dan keterampilan yang khusus untuk mencari
dasarnya penyelidikan dan penyidikan setiap tindak pidana merupakan
awal dalam penanganan setiap tindak pidana terutama tindak pidana
korupsi.
Kejaksaan sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi, maka
kejaksaan berwenang untuk mengadakan penyelidikan dan penyidikan.
Setelah penyidikan dirasa oleh penyidik sudah selesai maka berkas
perkaranya diserahkan kepada kejaksaan selaku penuntut umum. Jaksa
yang ditunjuk sebagai penuntut umum setelah menerima berkas perkara
segera memeriksa, apabila berkas oleh penuntut umum dianggap kurang
lengkap maka dalam waktu tujuh hari atau sebelumnya, penuntut umum
harus sudah mengembalikan berkas pada penyidik disertai dengan
petunjuk untuk kelengkapan berkas tersebut. Apabila dalam waktu tujuh
hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik penuntut umum tidak
mengembalikan berkas, maka berkas tersebut sudah lengkap. Dengan
dikembalikannya berkas perkara oleh penuntut umum pada penyidik
disertai dengan petunjuk untuk kelengkapan berkas maka penyidik harus
mengadakan penyidikan lanjutan guna melengkapi berkas
selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari selesai dan dikirim lagi pada
penuntut umum (Sutarto, 2004: 76).
Bila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan dari
penyidik sudah lengkap maka penyidik selanjutnya menyerahkan
tanggung jawab atas barang bukti dan tersangkanya. Penuntut umum
dilakukan penuntutan atau tidak, bila dapat maka ia dalam waktu
secepatnya membuat surat dakwaan. Surat dakwaan ini sangat penting
dalam pemeriksaan perkara pidana. Sebab surat dakwaan merupakan dasar
dan menentukan batas-batas bagi pemeriksaan terdakwa dalam sidang
(Sutarto, 2004: 86).
Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP, menyatakan bahwa Penuntut
Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Dari
perumusan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Penuntut Umum adalah
Jaksa, tetapi sebaliknya jaksa belum tentu berarti penuntut umum. Atau
dengan kata lain tidak semua jaksa adalah penuntut umum, tetapi semua
penuntut umum adalah Jaksa. Karena menurut ketentuan tersebut hanya
jaksalah yang dapat bertindak sebagai penuntut umum. Seorang jaksa baru
memperoleh kapasitasnya sebagai penuntut umum apabila ia menangani
tugas penuntutan.
Pasal 1 angka 7 KUHAP merumuskan bahwa yang dimaksud
dengan Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Dalam Pra Penuntutan, segera setelah adanya SPDP (Surat
Perintah Dimulainya Penyidikan) maka Jaksa yang ditunjuk untuk
tahap pertama yang diajukan oleh penyidik, apabila dianggap kurang
lengkap maka Jaksa penuntut umum segera mengembalikan berkas
perkara kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila
dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan
berkas perkara maka penyidikan dianggap selesai (Pasal 110 KUHAP).
Ketika seorang Jaksa menerima surat perintah mengikuti perkembangan
penyidikan (P-16), Jaksa berwenang untuk meneliti berkas perkara dan
SP-3 dari penyidik.
KUHAP memberikan batasan waktu, yaitu untuk meneliti berkas
tahap pertama diberi waktu 7 hari harus sudah memberitahukan apakah
hasil penyidikan sudah lengkap/belum. Dan dalam waktu 14 hari setelah
berkas diterima dari penuntut umum penyidik harus sudah menyampaikan
kembali berkas perkara itu ke penuntut umum (Pasal 138 KUHAP).
Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa berkas sudah
lengkap maka penuntut umum, secara teknis di Kejaksaan membuat P-21
atau menyatakan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap dan segera
penyidik menyerahkan barang bukti dan tersangkanya kepada penuntut
umum.
Dalam bidang Penuntutan, di mana Kejaksaan membuat surat P-16
A yaitu Penunjukan Jaksa Penuntut Umum untuk Penyelesaian Perkara
Tindak Pidana, di mana Jaksa berwenang untuk :
1. Melaksanakan penahanan/pengalihan penahanan/pengeluaran tahanan;
3. Melakukan penghentian penuntutan;
4. Melakukan penuntutan perkara ke pengadilan;
5. Melaksanakan penetapan hakim;
6. Melakukan perlawanan terhadap penetapan hakim;
7. Melakukan upaya hukum;
8. Memberi pertimbangan atas permohonan grasi terpidana;
9. Memberikan jawaban/tangkisan atas permohonan peninjauan kembali
putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap;
10. Menandatangani berita acara pemeriksaan PK.
Itu adalah wewenang yang terdapat dalam P-16A, Segera setelah
itu Jaksa membuat Dakwaan dan segera dilimpahkan ke Pengadilan (P-31)
dengan permintaan agar segera mengadili. Apabila Ketua Pengadilan
menyatakan berwenang untuk mengadili maka segera menentukan sidang.
Jaksa Penuntut Umum bertugas untuk membuktikan dakwaannya,
sebagaimana asas hukum kita, siapa yang menuduh maka berkewajiban
membuktikan tuduhannya, kecuali diatur tertentu oleh undang-undang