• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGETAHUAN DAN SIKAP BERISIKO WARIA DENGAN KEJADIAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) PADA WARIA DI SIDOARJO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGETAHUAN DAN SIKAP BERISIKO WARIA DENGAN KEJADIAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) PADA WARIA DI SIDOARJO"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

35

INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) PADA WARIA DI SIDOARJO

Knowledge and Attitude Risky Transvestite with the Scene Sexually Transmitted Infection (STI) on

Transvestite in Sidoarjo Resti Suwandani

FKM UA, restiswandani@yahoo.com

Alamat Korespondensi: Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur, Indonesia

ABSTRAK

Pada tahun 2005 WHO menyatakan sebanyak 457 juta orang di seluruh dunia terkena infeksi menular seksual. Waria merupakan salah satu kelompok risiko tinggi untuk tertular IMS dan HIV. Prevalensi IMS pada waria masih tinggi hal ini dikarenakan penggunaan kondom masih rendah dan hal tersebut dapat memacu terjadinya IMS. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perilaku seksual berisiko waria yang meliputi pengetahuan dan sikap yang berhubungan dengan kejadian Infeksi Menular Seksual (IMS) pada waria di Sidoarjo. Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik di mana jenis penelitian adalah kasus kontrol. Responden dalam penelitian adalah waria yang berada dalam jangkauan KPA Sidoarjo sebanyak 54 orang yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok kasus 18 orang dan kelompok kontrol 36 orang. Usia responden dari kedua kelompok sama yaitu > 40 tahun, tingkat pendidikan kelompok kasus tertinggi SMP dan kelompok kontrol SMA, status pernikahan kedua kelompok sama yaitu belum kawin, pekerjaan terbanyak pada kelompok kasus yaitu pekerja seks dan pada kelompok kontrol pekerja salon, lama menjadi waria pada kelompok kasus selama 1–12 tahun dan pada kelompok kontrol 13–24 tahun. Terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kejadian IMS pada waria (p=0,007) p < α. Terdapat hubungan antara sikap dengan kejadian IMS pada waria (p=0,001) p < α.

Kata Kunci: waria, Infeksi Menular Seksual, perilaku berisiko, pengetahuan, sikap ABSTRACT

In 2005 the WHO declared as many as 457 million people worldwide were affected by sexually transmitted infections. Transvestite is one of a high-risk group for contracting STIs and HIV. STI prevalence is still high on tranvestite, this is due to the use of condoms is still low and this can trigger the occurrence of STI. This study aimed to look at sexual behavior risk of transvestites, includes knowledge and attitudes related to the incidence of sexually transmitted infections (STIs) on transvestites in Sidoarjo. This research used analytic study design in which the type of research is a case control. Respondents in the research were transvestites within the range of KPA Sidoarjo, as many as 54 people who were divided into two groups: 18 in cases group and 36 in control group. Age of the respondents from both groups were the same. > 40 years, the highest educational level in case group was senior high school and for the control group was high school junior, both groups had the same marital status which was not married, the occupation mostly in the case group was sex workers and as beauty shop workers in the control group, lenght of time been being transvestite on case group vary for 1-12 years and 13-24 years in the control group. There was a relationship between knowledge of the incidence of STIs in transgender (p = 0.007) p < α. There was a relationship between the attitude of the incidence of STIs in transgender (p = 0.001) p < α.

Keyword: transvestite, Sexual Transmitted Disease, risk behaviour, knowledge, attitude

PENDAHULUAN

Kasus infeksi menular seksual (IMS) terus mengalami peningkatan di seluruh dunia. Dari data yang dikeluarkan WHO tahun 2005, sebanyak 457 juta orang di seluruh dunia terkena infeksi menular seksual. Angka IMS saat ini cenderung meningkat di Indonesia. Penyebarannya sulit ditelusuri sumbernya, sebab tidak pernah dilakukan registrasi tehadap

penderita yang ditemukan. Jumlah penderita yang sempat terdata hanya sebagian kecil dari jumlah penderita sesungguhnya (Muallim, 2013).

Penderita IMS sebagian besar berada di Asia Selatan dan Asia Tenggara yaitu sebanyak 151 juta, diikuti Afrika sekitar 70 juta, dan yang terendah adalah Australia dan Selandia Baru sebanyak 1 juta. Semakin lama jumlah penderita IMS semakin

(2)

meningkat dan penyebarannya semakin merata di seluruh dunia. WHO memperkirakan morbiditas IMS di dunia sebesar ± 250 juta orang setiap tahunnya. Peningkatan insidensi IMS ini terkait juga dengan perilaku berisiko tinggi yang ada di masyarakat dewasa ini (Widoyono, 2011).

Menurut laporan CDC (2009), kelompok transgender merupakan salah satu dari kelompok yang mengalami banyak hambatan signifikan dalam memperoleh pelayanan dan perawatan kesehatan yang berkualitas yang diakibatkan karena meluasnya stigma yang menentang homoseksualitas di masyarakat dan terabaikannya varians gender dalam sistem kesehatan. Isolasi sosial yang di derita kelompok ini serta pemutusan akses terhadap berbagai jasa pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Hal ini menjadi sorotan dan perhatian Badan Kesehatan Dunia, sehingga pada tahun 2011 WHO dan IMS khusus ditujukan bagi kelompok LSL dan transgender di negara miskin dan berkembang. Perilaku berganti-ganti pasangan serta berpindah tempat memperbesar terjadinya risiko penularan (re-infeksi).

Pada tahun 2007 menurut Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STPB) melaporkan prevalensi HIV secara rata-rata di 3 kota di survei bahwa pada waria 24,4% dan pada LSL (lelaki seks dengan Lelaki) sebanyak 52%. Sedangkan prevalensi IMS di anus dan rectum dilaporkan oleh STPB bahwa prevalensi IMS di anus dan rectum pada waria di Jakarta 42%, di Surabaya 44% dan di Bandung 55% (anal), untuk Rektum di Jakarta 33%. Surabaya 34%, dan Bandung 29%. Perilaku hubungan seks berisiko tinggi pada kelompok waria merupakan portal transmisi berbagai penyakit kelamin. Waria rentan dan berisiko tinggi dikarenakan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya waria sering berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Selain mobilitas yang tinggi, banyak waria yang enggan menggunakan kondom, dengan alasan mengurangi kenyamanan dalam berhubungan. Hal ini bisa menimbulkan penyakit PMS (Penyakit Menular Seksual) pada waria (Sumariyah, 2012).

Surveilans terpadu HIV dan Prevalensi perilaku (STHP) menyebutkan, waria merupakan kelompok risiko tinggi penularan PMS dan HIV. Hal ini dikarenakan kaum waria memiliki kehidupan seksual yang berbeda dengan kehidupan seksual laki-laki maupun perempuan pada umumnya. Perilaku seksual yang dilakukan adalah seks anal, seks oral, dan variasi (seks oral dan seks anal).

Waria merupakan salah satu kelompok risiko tinggi (risti) untuk tertular IMS dan HIV. Aktivitas seks mereka umumnya adalah seks anal dan oral. Seks anal atau melakukan hubungan seks melalui anus mempunyai risiko perlukaan pada anus (karena anus tidak elastis), sehingga dengan adanya luka di daerah anus, jika pasangan seks terkena IMS dan HIV maka akan lebih mudah ditularkan. Menurut STBP 2011, prevalensi IMS pada waria masih tinggi hal ini dikarenakan penggunaan kondom masih rendah dan hal tersebut dapat memacu terjadinya IMS pada kelompok yang sering bergonta-ganti pasangan hal tersebut juga dibarengi dengan tingkat pengetahuan yang rendah tentang pencegahan. Sidoarjo merupakan kota yang letaknya dekat dengan Surabaya dan mobilitasnya cukup tinggi, jumlah Waria di Sidoarjo juga cukup banyak hal tersebut didukung dengan cukup banyaknya tempat-tempat lokalisasi sehingga penyebaran IMS menjadi cukup tinggi. Menurut data Komisi Penanggulangan Aids (KPA) pada tahun 2012 jumlah waria di Sidoarjo sebanyak 293 orang, yang tersebar di beberapa daerah yaitu Sidoarjo, Tulangan, Krian, Waru, Sepanjang. Dalam penelitian tersebut maka peneliti ingin melihat perilaku seksual waria yang meliputi pengetahuan dan sikap yang berhubungan dengan kejadian Infeksi Menular Seksual (IMS) pada waria di Sidoarjo.

METODE

Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik observasional yaitu dengan melakukan pengamatan dan wawancara langsung pada responden. Penelitian termasuk penelitian case control. Populasi dalam penelitian adalah waria yang berada dalam jangkauan KPA Sidoarjo, di mana terdapat populasi kasus yaitu waria yang berada dalam jangkauan KPA Sidoarjo yang terdiagnosis dan pernah menderita IMS dan populasi kontrol yaitu waria yang berada dalam jangkauan KPA Sidoarjo yang tidak terdiagnosis dan tidak pernah menderita IMS, sedangkan sampel penelitian adalah waria yang berada dalam jangkauan KPA sidoarjo, di mana terdapat sampel kasus yaitu waria yang berada dalam jangkauan KPA Sidoarjo yang terdiagnosis dan pernah menderita IMS dan sampel kontrol yaitu waria yang berada dalam jangkauan KPA Sidoarjo yang tidak terdiagnosis dan tidak pernah menderita IMS. Menentukan ukuran / besar sampel untuk uji hipotesis beda 2 proporsi menggunakan

(3)

rumus Lameshow dalam Sugiono (2009), dengan tingkat kepercayaan 95%, perbandingan 1:2 antara kelompok kasus dan kontrol.

Menggunakan rumus penentuan besar sampel didapat kelompok kasus 18 orang dan sampel kelompok kontrol yaitu 36 orang jadi besar sampel dalam penelitian ini adalah 54 orang. Responden dalam penelitian adalah waria. Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling karena populasi benar-benar mendekati homogen di mana semua individu dalam populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Lokasi penelitian dilaksanakan di tempat pelaksanaan VCT waria, yang dilakukan disalah satu tempat mami waria. Waktu penelitian ini dilaksanakan mulai dari pembuatan proposal yaitu bulan Oktober tahun 2013 sampai dengan selesainya penelitian.

Teknik dan instrumen pengumpulan data penelitian dalam penelitian terdapat data primer, data didapat dari hasil wawancara langsung yang berpedoman dengan kuesioner yang diadaptasi dari BSS (Behavioral Surveilance Survey) yang sudah di modifi kasi. Pengambilan data dilakukan oleh peneliti. Data sekunder, data yang dapat menunjang data primer berupa jumlah Waria, yang ada di kota Sidoarjo yang didapat dari data Komisi Penanggulangan AIDS Sidoarjo Data yang terkumpul akan dilakukan pemilihan atau penyisiran sebelum diolah secara deskriptif dan analitik. Pada karakteristik responden yang meliputi umur, pekerjaan, pendidikan, dan lama menjadi waria akan dilakukan analisis deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi untuk menggambarkan kondisi masing-masing variabel. Data untuk melihat hubungan antara pengetahuan responden mengenai IMS, dan melihat hubungan sikap waria dengan kejadian IMS dianalisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05 (Notoatmodjo, 2005).

HASIL

Karakteristik Waria

Jumlah total reponden dalam penelitian adalah 54 orang di mana dibedakan dalam 2 kelompok yaitu kelompok kasus 18 responden dan kelompok kontrol 36 responden. Karakteristik responden dibagi menjadi beberapa variabel yang meliputi usia, tingkat pendidikan, status pernikahan, pekerjaan dan lama menjadi waria.

Karakteristik responden menurut usia dikategorikan menjadi 5 kategori yaitu usia 20–24

tahun, 25–29 tahun, 30–35 tahun, 35–39 tahun, dan > 40 tahun. Terdapat 54 responden dalam penelitian di mana 18 responden pada kelompok kasus dan 36 responden pada kelompok kontrol. Berdasarkan tabel 1, diketahui terdapat 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan kasus, di mana kelompok kasus sebanyak 18 responden dan kelompok kontrol 36 responden. Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa umur responden sangat bervariasi, namun kelompok usia yang paling dominan. yaitu pada usia > 40 tahun pada kedua kelompok kasus maupun kontrol.

Hasil penelitian karakteristik responden menurut tingkat pendidikan dikategorikan menjadi 5 kategori yaitu tidak sekolah, SD, SMP, SMA, dan Akademi / PT. tingkat pendidikan waria yang paling banyak pada kedua kelompok kasus maupun kontrol yaitu pada tingkat SMP dan SMA di mana pada kelompok kasus sebanyak 8 responden (44,4%) pada tingkat SMP, dan kelompok kontrol sebanyak 15 responden (50,0%) pada tingkat SMA.

Karakteristik responden menurut status pernikahan dibagi menjadi 4 kategori yaitu belum kawin, kawin, cerai hidup, dan cerai mati. Sebagian besar responden dari kedua kelompok yaitu kelompok kasus dan kontrol berstatus belum kawin, dan sisanya berstatus kawin. Kategori pekerjaan menurut karakteristik responden terbagi menjadi 7 kategori yaitu karyawan, pekerja bebas, pekerja salon, panti pijat, pelayan, pekerja seks, tidak bekerja. Pada kelompok kasus pekerjaan yang banyak dilakukan adalah pekerja seks yaitu sebanyak 7 responden (44,4%), dan pada kelompok kontrol pekerjaan yang banyak dilakukan oleh responden adalah menjadi pekerja salon sebanyak 25 responden (69,4%). Hasil penelitian karakteristik responden menurut lama menjadi waria dibagi menjadi 5 kategori yaitu 1–12 tahun, 13–24 tahun, 25–36 tahun, 37–48 tahun, dan 49–60 tahun. Pada kelompok kasus responden lama menjadi waria sekitar 1–12 tahun sebanyak 9 responden (50,0%), dan untuk kelompok kontrol responden lama menjadi waria sekitar 13–24 tahun sebanyak 18 responden (50,0%).

Tingkat Pengetahuan Waria

Tingkat pengetahuan responden dibagi menjadi dua kategori yaitu, rendah dan tinggi. Di katakan rendah jika nilai skor < 6 dan dikatakan tinggi jika nila skor nilai skor 7–11. Berikut sajian distribusi tingkat pengetahuan waria pada tabel 2.

Tingkat pengetahuan responden pada kedua kelompok yaitu kelompok kasus dan kelompok

(4)

kontrol mengalami perbedaan, pada kelompok kasus sebanyak 10 responden (55,6%) mempunyai tingkat pengetahuan yang rendah, dan pada kelompok kontrol tingkat pengetahuan responden tinggi yaitu sebanyak 29 responden (80,6%). Pada tabel 2 menurut hasil uji chi-square didapatkan nilai p = 0,007 dengan α = 0,05, sehingga diketahui p <

α yang berarti ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian Infeksi Menular Seksual.

Sikap Waria

Penilaian sikap responden dibagi menjadi dua kategori yaitu, dikatakan kurang jika nilai skor < 4 dan dikatakan baik jika nila skor 5–7. Responden Tabel 1. Distribusi Karakteristik Waria di Sidoarjo Tahun 2014

Variabel Kasus Kontrol

F Persentase (%) F Persentase (%) Usia 20–24 4 22,2% 8 22,2% 25–29 0 0% 7 19,4% 30–35 1 11,1% 8 22,2% 35–39 5 27,8% 3 8,3% > 40 8 44,4% 1 27,8% Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah 0 0% 0 0% SD 6 33,3% 2 5,6% SMP 8 44,4% 15 41,7% SMA 4 22,2% 18 50,0% Akademi / PT 0 0% 1 2,8% Status Pernikahan Belum Kawin 15 31,3% 32 91,7% Kawin 3 16,7% 2 5,6% Cerai Hidup 0 0% 1 2,8% Cerai mati 0 0% 0 0% Pekerjaan Karyawan 0 0% 3 8,3% Pekerja bebas 4 22,2% 8 22,2% Pekerjaan salon 6 33,3% 25 69,4% Panti pijat 0 0% 0 0% Pelayan 0 0% 0 0% Pekerja seks 8 44,4% 0 0% Tidak bekerja 0 0% 0 0%

Lama menjadi waria

1–12 9 50,0% 14 38,9% 13–24 7 38,9% 18 50,0% 25–36 0 0% 4 11,1% 37–48 2 11,1% 0 0% 49–60 0 0% 0 0% Total 18 100% 36 100%

Tabel 2. Distribusi Tingkat Pengetahuan Waria di Sidoarjo Pada Tahun 2014

Tingkat Pengetahuan Kasus Kontrol F % F % Rendah 10 55,6% 7 19,4% Tinggi 8 44,4% 29 80,6% Total 18 100,0% 36 100,0% Nilai p = 0,007

Tabel 3. Distribusi Sikap Waria di Sidoarjo pada Tahun 2014

Sikap Kasus Kontrol

F % F %

Kurang 10 55,6% 5 13,9%

Baik 8 44,4% 31 81,6%

(5)

sebanyak 10 orang (55,6%) menunjukkan sikap kurang dalam penggunaan kondom dan pelumas dalam pencegahan IMS, dan pada kelompok kontrol sebanyak 31 responden (86,1%) menunjukkan sikap baik dalam penggunaan kondom dan pelumas. Berikut sajian distribusi sikap waria pada tabel 3.

Pada tabel 3 menurut hasil uji chi-square didapatkan nilai p = 0,001 dengan α = 0,05, sehingga diketahui p < α yang berarti ada hubungan antara sikap dengan kejadian Infeksi Menular Seksual. PEMBAHASAN

Lokasi waria di Kabupaten Sidoarjo berada di beberapa titik di Kecamatan Sidoarjo. Di antaranya adalah Tulangan, Krian, Sepanjang, Sidoarjo, Waru. Pengambilan data untuk kelompok kontrol dilakukan pada saat pemeriksaan VCT (Volunter Conceling Test) yang diadakan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Sidoarjo. Biasanya dalam pemeriksaan VCT akan diadakan di tempat salah satu mami waria yaitu di Sepanjang, Tulangan, Krian. Pengambilan data untuk kelompok kasus dilakukan tiap individu, dan saat ada VCT, karena responden biasanya datang saat diadakan VCT. Karakteristik Waria

Usia

Kelompok usia responden dari kelompok kasus dan kontrol tertinggi pada usia > 40 tahun. Meskipun usia responden leih banyak > 40 tahun, tetapi rata-rata kelompok kasus melakukan hubungan seks dengan frekuensi dalam satu minggu sebanyak 2 atau 3 kali. Pada kelompok kontrol melakukan hubungan seks sebanyak 1 kali dalam seminggu. Hasil penelitian tersebut sama dengan hasil yang ditujukan dengan STBP pada tahun 2011 yaitu usia terbanyak pada waria adalah 30 tahun ke atas.

Hasil penelitian meskipun usia responden kebanyakan usia tua, tetapi responden masih aktif dalam hubungan seksual, hal tersebut dibuktikan bahwa masih banyak responden yang melakukan hubungan seksual dalam satu minggu sebanyak dua kali. Hurlock (2005) dalam Rokhmah (2010), menyebutkan, perubahan fi sik dan psikologis akan berubah pada masa dewasa hal tersebut disertai dengan berkurangnya kemampuan reproduktif, perubahan tersebut akan nampak pada setiap orang. Bahwa sesudah usia 50 tahun frekuensi hubungan

seks akan menurun, meskipun pada laki-laki masih lebih aktif sepanjang hidup.

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan tertinggi pada kedua kelompok yaitu kelompok kasus berada pada tingkat SMP dan kelompok kontrol berada di tingkat SMA. Pada kelompok kasus tingkat pendidikan masih rendah, dan pada kelompok kontrol tingkat terdapat satu responden yang mempunyai tingkat pendidikan di perguruan tinggi, akan tetapi dari tahun ketahun tingkat pendidikan responden belum meningkat sama sekali. Hasil tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Eda (2012), yaitu didapatkan hasil tingkat pendidikan tertinggi pada waria yaitu pendidikan menengah sebanyak (61,5%) hal tersebut dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan waria masih tergolong rendah dan belum berkembang hingga sekarang. Waria yang memiliki pendidikan rendah tidak berniat menggunakan kondom secara konsisten saat melakukan hubungan seks. Hal ini terjadi karena responden tidak mau mengikuti penyuluhan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tentang risiko penularan IMS.

Hasil kuesioner masih terdapat responden yang tidak mengetahui bahwa IMS tidak dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk dan berbagi makanan dengan seseorang. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa (Anisa, 2012).

Status Pernikahan

Besar responden dari kelompok kontrol maupun kelompok kasus berstatus belum kawin. Hasil tersebut sama dengan hasil STBP (2007) di mana waria rata-rata memiliki status pernikahan belum kawin yaitu sebanyak (86%), akan tetapi status pernikahan tidak menggambarkan status pasangan seks tetap yang tidak terikat dalam pernikahan.

Hasil wawancara kebanyakan waria tinggal sendiri atau tinggal bersama teman sesama waria. Hal tersebut dapat dipahami karena keberadaan mereka sebagai waria tidak dapat diterima begitu saja oleh keluarga mereka (Koeswinarno, 1993 dalam Faulina, 2012).

(6)

Pekerjaan

Kelompok kontrol pada responden terbanyak bekerja sebagai pekerja salon, di mana kebanyakan responden sudah mempunyai pasangan tetap sehingga responden dapat terhindar dari infeksi menular seksual. Hasil tersebut sama dengan hasil dari penelitian Eda (2012) bahwa waria bekerja sebagai pekerja salon (83,0%) dan sebagian dari mereka biasanya sudah mempunyai pasangan tetap yang menjadi partner seksnya. Kelompok kasus kebanyakan waria yang bekerja sebagai pekerja seks, diketahui bahwa pekerja seks merupakan pekerjaan yang berisiko untuk tertularnya penyakit menular karena seringnya gonta-ganti pasangan dan jarangnya responden menggunakan kondom dan pelumas saat melakukan hubungan seks karena biasanya penggunaan kondom atas keputusan pelanggan.

Terdapat juga waria yang bekerja sebagai pekerja salon, meskipun biasanya bekerja sebagai pekerja salon dan mempunyai pasangan tetap akan tetapi jika saat melakukan hubungan seks responden tidak menggunakan kondom, dan pasangannya tidak setia, maka hal tersebut dapat berisiko untuk terkena IMS. Pada penelitian Cahyati (2011) menyebutkan pada kelompok waria pekerja seks disebut sebagai kelompok risiko tinggi IMS. Waria yang berprofesi sebagai pekerja seks tentunya memiliki partner seks yang lebih banyak dibandingkan dengan profesi lainnya. Meskipun terkadang mereka memiliki klien tetap, tetapi jika ada klien baru yang menggunakan jasa mereka tentunya mereka tidak akan menolak. Lama Menjadi Waria

Lamanya menjadi waria waktu responden menentukan dirinya sebagai waria pada kelompok kontrol lebih lama dibandingkan dengan kelompok kasus, semakin responden lebih awal menentukan atau menyadari dirinya sebagai waria maka perilaku seks yang mereka lakukan akan semakin lama dan sering dilakukan. Pada kelompok kasus responden lebih banyak bekerja sebagai pekerja seks, di mana jika responden sudah lama menyadari dirinya sebagai waria dan didukung dengan pekerjaannya yaitu pekerja seks, hal tersebut merupakan salah satu risiko untuk terjadinya IMS.

Risiko penularan HIV/ IMS dapat semakin meningkat sejalan dengan lamanya melakukan perilaku risiko, dilihat dari lamanya waria di indonesia mempunyai “jam terbang” yang jauh lebih

tinggi dibandingkan dengan kelompok yang lainnya, rata-rata lama waria di Indonesia sebagai kelompok berisiko sekitar 12,6 tahun (STBP, 2007).

Perilaku Waria

Hubungan Pengetahuan Waria dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual

Besar responden pada kelompok kontrol mengetahui cara pencegahan, penularan, dan gejala IMS hal tersebut dibuktikan dengan tingkat pengetahuan yang tinggi, dan pada kelompok kasus responden memiliki tingkat pengetahuan rendah, melalui beberapa pertanyaan responden masih belum mengetahui bagaimana cara penularan IMS, hal tersebut dibuktikan dengan hasil kuesioner bahwa masih terdapat responden yang menjawab tidak tahu dan tidak saat ditanyai penularan IMS dari gigitan nyamuk dan berbagi makanan dengan seseorang.

Pertanyaan penggunaan kondom secara tepat saat berhubungan seks dapat melindungi seseorang dari penyakit sebagian besar pada kelompok kasus menjawab tidak. Padahal menurut CDC (2010) penggunaan kondom secara tepat akan mengurangi risiko untuk terkena penyakit IMS dan HIV. Kondom dapat diharapkan untuk memberikan berbagai tingkat perlindungan untuk berbagai jenis IMS, tergantung pada perbedaan bagaimana penyakit atau infeksi yang ditularkan. Dengan demikian kondom cenderung memberikan perlindungan yang lebih besar terhadap risiko IMS yang ditularkan hanya melalui cairan kelamin (seperti: gonorrhea, chlamydia, thricomoniasis, and HIV), dibandingkan terhadap infeksi yang ditularkan oleh kontak kulit ke kulit, yang mungkin atau dapat menginfeksi area yang tercakup dalam kondom (seperti: genital herpes, HPV).

Hasil tersebut sama dengan hasil penelitian Eda (2012), pengetahuan waria mengenai kondom masuk dalam kategori kurang (45,9%). Hal tersebut terjadi karena mereka tidak tahu bahwa kondom dapat mencegah penularan IMS, mereka tidak tahu bahwa untuk mencegah rusaknya kondom saat melakukan anal seks dibutuhkan pelicin tambahan. Waria yang memiliki pengetahuan dalam kategori kurang mengenai IMS, tidak berniat menggunakan kondom secara konsisten saat melakukan hubungan seks karena mereka tidak tahu bahwa IMS adalah penyakit menular.

SRAN (2010), menyebutkan, program pencegahan dengan penggunaan kondom belum keliatan efektif pada waria dan LSL. Beberapa kendala upaya pencegahan melalui transmisi seksual

(7)

selama ini adalah tidak ada jaminan kepastian dana untuk penyediaan kondom oleh pemerintah, masih belum adanya kebijakan yang mendukung dan tingginya penolakan masyarakat dalam issue kondom sebagai alat pencegah penularan HIV, serta terbatasnya promosi secara luas tentang penggunaan kondom di masyarakat. Responden dari kelompok kasus yang belum mendengar tentang IMS dan untuk menyebutkan gejala IMS terdapat beberapa responden yang menjawab tidak tahu, padahal salah satu cara untuk menghindari tertularnya IMS adalah dengan mengetahui semua informasi mulai dari gejala, pencegahan dan penularan IMS.

Hasil penelitian Mattew (2007) menyebutkan pengetahuan MSM (men who sex with men) mengenai IMS kurang, sebagian responden tidak mengetahui bagaimana cara memeriksa dan tidak mengetahui bahwa pemeriksaan mengenai IMS sudah tersedia. Kelompok tersebut menghindari pemeriksaan IMS karena terdapat beberapa hambatan umum dan faktor individu yaitu, takut untuk mengetahui penyakitnya, penolakan risiko, dan keengganan untuk mengubah kegiatan seksual. WHO (2006), menyebutkan pendidikan kesehatan tentang IMS, dan konseling dari kedua orang terinfeksi dan tidak terinfeksi, termasuk konseling dan tes sukarela HIV confi dental, harus menjadi bagian integral dari setiap pelayanan kesehatan untuk infeksi tersebut, selama proses konseling menciptakan motivasi untuk mengubah perilaku seksual di kedua individu yang terinfeksi dan tidak terinfeksi. Pendidikan dan pesan konseling juga harus menjadi kebutuhan. Suatu respons efektif untuk penyebaran IMS dimulai dengan pencegahan dengan memberikan informasi yang akurat dan eksplisit mengenai seks yang lebih aman, termasuk kondom yang benar dan konsisten digunakan, menjaga untuk satu pasangan seksual atau mengurangi jumlah pasangan seksual.

Kelompok kasus sebagian besar, pada pertanyaan pencegahan IMS dengan memiliki pasangan yang setia yang tidak terinfeksi dan menghindari hubungan seksual responden menjawab tidak. Hal tersebut mungkin dikarenakan dengan pekerjaan responden yang harus berganti-ganti pasangan dan pengetahuan responden yang masih kurang. Hasil tersebut sama dengan penelitian Cempaka (2012), banyaknya pasangan seksual memiliki risiko 9 kali lebih tinggi terkena IMS dibandingkan dengan yang tidak memiliki banyak pasangan seksual. Hasil yang sama juga disebutkan oleh Astutik (2011), jumlah pasangan seksual yang banyak merupakan faktor risiko terjadinya IMS.

Penelitian Rokhmah (2010), menyebutkan hasil yang berbeda di mana seluruh responden memiliki pengetahuan seksual tentang konsekuensi dalam berhubungan seks yang sangat baik. Mereka mengetahui bahwa dengan melakukan hubungan seks dengan sesama jenis kelamin dan sering berganti-ganti pasangan dapat mendatangkan risiko tertular IMS. Depkes RI (2006), menyebutkan, langkah terbaik untuk mencegah IMS adalah menghindari kontak langsung dengan cara menghindari berganti-ganti pasangan seksual, dan memakai kondom dengan benar dan konsisten.

Hasil analitik terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kejadian Infeksi Menular Seksual. Hal tersebut membuktikan bahwa semakin pengetahuan responden rendah maka besar kemungkinan risiko terkena Infeksi Menular Seksual akan tinggi, begitu pula sebaliknya semakin pengetahuan tinggi maka responden dapat terhindar dari penyakit Infeksi menular Seksual. Notoatmodjo (2005), menyebutkan, pengetahuan merupakan hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan rendah, rendahnya informasi merupakan sebuah pesan dari pengirim kepada penerima, informasi sangat diperlukan dalam menciptakan pemikiran, ide, kreativitas dan isu yang terbaru dalam hal dunia. Bila seseorang kurang memiliki informasi yang baru maka orang tersebut akan mengalami keterbelakangan dalam hidupnya. Rendahnya motivasi pribadi akan menyebabkan seseorang mengalami kekurangan dalam hal pengetahuan. Pengetahuan tentang cara penularan HIV/IMS yang benar sangat penting untuk kelompok berisiko dan merupakan salah satu modal dasar agar mereka mau mengurangi perilaku berisikonya ataupun menggunakan berbagai alat pencegahan seperti kondom. Selain itu, pengetahuan yang benar tentang cara penularan HIV/IMS bisa juga mengurangi sikap stigma serta diskriminasi terhadap orang yang sudah terinfeksi (STBP, 2007).

Dampak perilaku seks beresiko, terlihat pada kejadian HIV dan riwayat infeksi menular seksual yang cukup tinggi, terutama pada waria. Seperti diketahui, adanya IMS dapat mempermudahkan penularan HIV. Upaya pengobatan IMS merupakan salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah penularan HIV selanjutnya pada kelompok dengan kejadian IMS yang cukup tinggi (KPA, 2002).

(8)

Hubungan Sikap Waria dengan Kejadian Infeksi Manular Seksual

Kelompok kontrol menunjukkan bahwa sikap yang ditunjukkan responden dalam penggunaan kondom dan pelumas dalam pencegahan IMS berada pada kategori baik, sebagian besar responden setuju menggunakan kondom dan pelumas saat melakukan hubungan seks. Hasil tersebut sama dengan Sanchez (2007), penggunaan kondom saat melakukan hubungan seksual terakhir dengan pasangan meningkat secara signifi kan dari 24,3% di tahun 1999 sampai 54,1% di tahun 2002 (p<0,001). Validasi estimasi penurunan penggunaan kondom di kalangan pekerja seks sulit untuk menilai dalam konteks gagal untuk mengidentifikasi apakah pasangan terakhir klien atau bukan.

Hasil berbeda ditunjukkan oleh SRAN (2010), yang menyebutkan pemakaian kondom cenderung menurun pada kelompok waria dan LSL. Penggunaan kondom pada populasi kunci dibandingkan angka tahun 2002 belum mengalami peningkatan yang bermakna. Penularan HIV/IMS melalui transmisi seksual dapat dicegah secara efektif dengan menunda melakukan hubungan seks, setia pada pasangan dan menggunakan kondom. Kelompok kasus sikap yang ditunjukkan berada pada kategori kurang. Masih terdapat responden yang menjawab tidak setuju pada pertanyaan ketersediaan kondom dan pelumas mendukung pemakaian kondom saat berhubungan seksual, hal tersebut dikarenakan terdapat beberapa responden yang untuk mendapatkan kondom dan pelumas mereka harus membeli dulu, dan terkadang responden mendapatkan kondom dari teman, bukan mendapatkan secara gratis yang biasa diberikan oleh fasilitas kesehatan dan LSM.

Hal tersebut berbeda dengan hasil STBP (2007), yang menyebutkan waria pernah menerima kondom lebih dari 3 kali dalam 3 bulan terakhir. Hasil tersebut menunjukkan bahwa memberikan kondom cuma-cuma bukan hanya dari petugas lapangan. Program promosi kondom telah dilaksanakan di lokasi dan kelompok komunitas. Jumlah outlet kondom telah dikembangkan sebanyak 15.000 unit dan sebanyak 20 juta kondom telah didistribusikan setiap tahunnya baik secara gratis maupun secara komersial (SRAN, 2010).

Responden pada kelompok kasus kebanyakan menjawab tidak setuju pada penggunaan kondom dan pelumas saat berhubungan seksual, hal tersebut dikarenakan tidak nyaman dan dari beberapa responden yang bekerja sebagai pekerja

seks biasanya untuk memakai kondom atas dasar keputusan pelanggan. Hasil tersebut sama dengan penelitian Cahyati (2012), intensitas penggunaan kondom yang rendah terjadi pada komunitas waria, seluruh responden yang berprofesi sebagai PSK mengatakan sulit meminta klien menggunakan kondom, alasan yang sering diutarakan oleh klien yaitu tidak nyaman.

Responden pada kelompok kasus masih terdapat beberapa yang tidak setuju pada penggunaan kondom yang benar saat melakukan hubungan seks, hal tersebut dikarenakan responden pada kelompok kasus saat melakukan hubungan seks merasa tidak nyaman saat menggunakan kondom. Padahal dengan memakai kondom dengan benar maka dapat menghindari tertularnya penyakit menular seksual.

Hasil tersebut sama dengan hasil penelitian dari Faulina (2012) yang menyatakan bahwa mayoritas waria tidak konsisten menggunakan kondom saat berhubungan seksual. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Palupi (2008) bahwa penggunaan kondom saat melakukan hubungan seksual pada waria di yogyakarta masih sangat minim. Hal tersebut dikarenakan oleh keengganan baik pengguna jasa waria maupun waria itu sendiri untuk menggunakan kondom alasannya karena menggunakan kondom dapat mengurangi kenikmatan. Padahal penggunaan kondom secara konsisten dan benar memberikan perlindungan terhadap infeksi menular seksual bakteri. Orang yang menggunakan kondom secara benar dan konsisten diperkirakan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk terinfeksi IMS dalam tiga bulan dibandingkan dengan responden yang tidak menggunakan kondom secara benar dan konsisten.

Hasil analitik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara sikap dengan kejadian Infeksi Menular Seksual. Responden pada kelompok kontrol menunjukkan sikap baik dengan menyatakan setuju dalam penggunaan kondom dan pelumas pada saat berhubungan. Pada kelompok kasus terdapat sebagian responden menyatakan tidak setuju memakai kondom dan pelumas saat melakukan hubungan seksual karena keputusan pemakaian kondom biasanya atas keputusan pasangan atau pelanggan. Dan hal tersebut yang membuat responden dalam pemakaian kondom dan pelumas tidak konsisten, meskipun responden ingin memakai kondom saat melakukan hubungan seks tetapi jika pelanggan atau pasangan tidak mau memakai responden tidak bisa memaksa, karena pada kelompok kasus berdasarkan pekerjaan responden

(9)

yaitu pekerja seks, dan mereka suka bergonta-ganti pasangan.

Hasil tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Faulina (2012), waria tidak selalu menggunakan kondom pada saat berhubungan seksual dengan pelanggan. Alasannya adalah karena pelanggan tidak nyaman saat melakukan hubungan seks dengan memakai kondom. CDC (2010), menyebutkan frekuensi melakukan kegiatan seks yang tidak aman dapat berisiko besar untuk tertular IMS atau HIV. IMS meningkatkan risiko penularan HIV saat berhubungan seks tanpa kondom. WHO (2006), menyebutkan bahwa kondom dapat mengurangi risiko laki-laki terinfeksi IMS dari mitra seksual mereka. Penggunaan kondom secara benar dan konsisten dikaitkan tidak hanya dengan mengurangi transmisi HIV tetapi dapat mengurangi infeksi uretheral.

Penggunaan pelumas digunakan untuk melumasi alat kelamin saat melakukan hubungan seksual bagi responden agar tidak luka dan melindungi alat kelamin responden dari penularan penyakit kelamin. Hal ini disebabkan karena kebanyakan waria melakukan anal seks (hubungan seks dengan penetrasi ke dalam anus) pada pasangannya. Perilaku tersebut merupakan perilaku berisiko karena kemungkinan luka yang memudahkan terjadinya penularan IMS dan HIV. Selain anal seks, waria juga melakukan aktivitas oral seks (Irianto, 2010).

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Karakteristik responden berdasarkan umur pada kedua kelompok sama yaitu > 40 tahun, pada kelompok kasus (44,4%) dan pada kelompok kontrol (27,8%). Pada tingkat pendidikan kelompok kasus berada pada tingkat SMP (44,4%) dan kelompok kontrol pada tingkat SMA (50,0%). Status Pernikahan pada kedua kelompok sama yaitu belum kawin. Pekerjaan yang dilakukan pada kelompok kasus yaitu pekerja seks (44,4%) dan pada kelompok kontrol pekerja salon (33,3%). Lama responden menjadi waria pada kelompok kasus 1–12 tahun, dan pada kelompok kontrol 13–24 tahun (50,0%).

Tingkat pengetahuan responden mengenai pencegahan, penularan, serta gejala Infeksi Menular Seksual pada kelompok kasus rendah (55,6%), dan pada kelompok kontrol tinggi (80,6%). Sikap responden tentang penggunaan kondom dan pelumas

dalam pencegahan Infeksi Menular Seksual pada kelompok kasus tergolong kurang (55,6%), dan pada kelompok kontrol tergolong tinggi (86,1%). Terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kejadian Infeksi Menular Seksual pada waria. Terdapat hubungan antara sikap dengan kejadian Infeksi Menular Seksual pada waria.

Saran

Memberikan pemahaman pada waria tentang perlunya memakai kondom dan pelumas secara konsisten dan benar saat berhubungan seks dapat mencegah Infeksi menular Seksual. Diharapkan pada waria untuk mendapatkan atau mencari informasi kesehatan kepada pihak yang ahli dibidangnya atau melalui media informasi. Diharapkan adanya evaluasi dan monitoring bulanan terhadap program pembagian kondom secara langsung pada waria, agar semua waria tercover dalam pembagian kondom dan pelumas. Diharapkan untuk dapat meningkatkan intensitas penyuluhan pada waria mengenai penularan, pencegahan dan gejala mengenai Infeksi Menular Seksual, dan melakukan perbaikan pada penyuluhan selanjutnya atau mungkin dengan pendekatan yang berbeda terhadap waria.

REFERENSI

Anisa, S. 2012. Jenis-jenis Pengetahuan. http:// eprints.undip.ac.id/Makalah_ Jenis_pengetahuan_ anisa_dkk. diakses tanggal 30 Juni 2014.

Astutik, Y.D. 2011. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Gonore Pada Waria di Surabaya Tahun 2011. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

Cahyati, Widya. 2011. Gambaran Perilaku Seksual Waria Penderita Infeksi Menular Seksual di Kota Semarang 2011. http://diglib.unnes.ac.id/17036/1/ Semnas_UNsoed_Sept_2011_scan.pd f. Jurnal. Diakses tanggal 18 April.

CDC. 2009. Trends in Sexually Transmitted Diseases in the United States: 2009 National Data for Gonorrhea, Chlamydia and Syphilis. http://www.cdc.gov/std/stat09/table s/trends-table-htm. diakses tanggal 5 Januari 2014. CDC. 2010a. Condom Fact Sheet In Brief. http://

www.cdc.gov/condomeffectiveness/brief.html. Diakses tanggal 10 juli 2014.

CDC. 2010. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines. http://www.cdc.gov/std/ treatment/2010. Diakses tanggal 10 Juli 2014.

(10)

Cempaka, Pande Putu A R. Kardiwinata, Made P. 2012. Pola Hubungan Seksual dan Riwayat IMS pada Gay di Bali. http://ojs.unud.ac.id/index. php/ach/ article/view/8731. Jurnal Kesehatan Masyarkat. diakses tanggal 25 Juli 2014.

Depkes R.I. 2006. Infeksi Menular Seksual dan Saluran Reproduksi Liannya pada Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu. Jakarta: Departemen Kesehatan.

Eda, Nur, Widjanarko Bagoes. Widagdo Laksmono. 2012. Niat Penggunaan Kondom pada Komunitas Waria di Kota Ternate. http://ejournal.undip. ac.id/index.php/jpki/article/download/5562/4944.

Jurnal Promosi kesehatan Indonesia. Diakses tanggal 5 januari 2014.

Faulina, Rinny. 2012. Perilaku Seks Waria di Kota tarakan provinsi Kalimantan Timur. http://ejournal.undip.ac.id/index.php/mkmi/ article/download/6168/5221. Media Kesehatan Masyarakat indonesia, Vol 11. Diakses tanggal 18 April 2014.

Irianto, K. 2010. Memahami Seksologi. Bandung: sinar Baru Algesindo.

KPA. 2002. Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, perlu penanggulangan Lebih Nyata. Jakarta

Matthew J Mimiaga, Goldhammer Hilary, Belanoff Candice, Tetu M Ashley, Mayer Kenneth. 2007. Men Who Have Sex With Men: Perception About Sexual Risk HIV and Sexually Transmitted Disease Testing and Provider Communication.http:// jounals.lww. com/stdjournal/fulltext/2007/02000. aspx.Epidemiology and SocialScience. Diakses tanggal 26 Juli 2014.

Mualim, Muh. 2013. Perilaku Pencarian Pengobatan Infeksi menular Seksual (IMS) pada Wanita Pekerja Seks (WPS) di Tempat Hiburan malam di Mamuju, Sulawesi Barat. http://repository. unhas.ac.id/handle. Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas Makassar. Diakses tanggal 3 April 2014.

Notoatmodjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo. 2005. Pengantar Pendidikan Kesehatan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.

Palupi, Triwahyuni. 2008. Fenomena Perilaku Seksual dan Potensi Penularan HIV/AIDS pada Waria di Kota Yogyakarta. Skripsi. http://etd.ugm. ac.id/index.php?mod=penelitian_detail. Diakses tanggal 4 Juli 2014.

Rokhmah, Dewi. Herawati Tri Yenike. 2010. Gaya Hidup Seksual Waria Non Pekerja seks Komersial Kota Semarang. Jurnal. http://library.unej. ac.id/client/search/asset/765;jsessionid. Diakses tanggal 3 April 2014.

Sanchez, Jorge. Lama Javier. Kusunoki Lourdes. Manrique Hugo. Goichochea Pedro. Luchetti Aldo. Rouillon Manuel. 2007. HIV-1, Sexually Transmitted Infections, and Sexual Behaviour Trends Among Men Who Have Sex With Men in Lima,Peru.http://journals.lww.com/jaids/12010. aspx. Epidemiology and SocialScience. Diakses tanggal 26 Juli 2014

SRAN. 2010. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS tahun2010-2014. http://www.aidsindonesia.or.id/rep o/ES-SRAN2010-2014.pdf. diakses tanggal 10 Juli 2014.

STBP, 2007. Pada Kelompok Beresiko Tinggi Di Indonesia-Rangkuman Surveilens Waria. Jakarta

STBP, 2011. Pada Kelompok Beresiko Tinggi Di Indonesia-Lembar Fakta Waria. Jakarta

Sugiyono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

Sumariyah, R. 2012. Studi Kualitatif Perilaku Seksual Waria Pekerja Seks dalam Pencegahan Penyakit Menular Seksual. Jurnal Kesehatan. http://unikal. ac.id/download/9- jurnal-kesehatan/14.html. Diakses tanggal 10 Juli 2014.

WHO. 2006. Global Strategy for the Prevention and Control of Sexually.

Transmitted Infection: 2006-2015. Breaking the Chain of Transmission. http://www. who.int/reproductivehealth/publications/ rtis/9789241563475/en. Diakses tanggal 10 juli 2014.

Widoyono. 2011. Panyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasan. Jakarta: Erlangga.

Gambar

Tabel 2.  Distribusi Tingkat  Pengetahuan Waria  di  Sidoarjo Pada Tahun 2014

Referensi

Dokumen terkait

Selain subektor jasa perdagangan hasil laut, beberapa subsektor lain yang memiliki nilai output total yang besar adalah subsektor penambangan migas lepas pantai,

3 Frans Sayogie Penerjemahan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia, (Bogor: lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h.. Frans Sayogie Penerjemahan

Dimana faktor kenyamanan pada pasar salah satunya adalah pencapaian yang jelas dan tidak tersamar, dan juga pada pengaturan dari pola tata ruang pada pasar.. Yaitu teraturnya

[r]

Maka dari itu didalam tesis ini akan menjelaskan fungsi-fungsi daripada pembangunan Pusat Kajian Maritim yang terletak dikawasan Ancol serta sarana dan prasarana pendidikan

Atas dasar pertimbangan yang diuraikan tersebut di atas, PARA PIHAK selanjutnya menerangkan dengan ini telah sepakat dan setuju untuk mengadakan Memorandum of Understanding/Nota

korporasi. Sebagaimana ditulis dalam surat dakwaan halaman 148, dalam bahasa bebas “menguntungkan” dapat diartikan sebagai perbaikan harta kekayaan seseorang,

Kepada peserta Pelelangan yang keberatan, diberikan kesempatan untuk menyampaikan sanggahan khususnya mengenai ketentuan dan prosedur yang telah ditentukan dalam