• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 DATA DAN ANALISA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 DATA DAN ANALISA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

DATA DAN ANALISA

2.1. Sumber Data

Data dan informasi untuk mendukung proyek Tugas Akhir ini diperoleh dari berbagai sumber, antara lain:

• Buku-buku tentang perfilman nasional • Data literatur Sinematek Indonesia • Kuisioner

2.2 Perfilman Indonesia Era 1970-1980

Menurut data literatur dari Sinematek Indonesia, sampai pada periode tahun 1965-1970an dunia perfilman Indonesia dipengaruhi oleh gejolak politik yang diakibatkan oleh peristiwa G30S PKI yang membuat pengusaha bioskop mengalami dilema karena mekanisme peredaran film rusak akibat adanya gerakan anti imperialisme, sedangkan produksi film nasional masih sedikit sehingga pasokan untuk bioskop tidak mencukupi. Saat itu inflasi yang sangat tinggi melumpuhkan industri film. Kesulitan ini ditambah dengan kebijakan pemerintah mengadakan sanering (pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang tapi tidak pada harga barang sehingga daya beli masyarakat menurun) pada tahun 1966 yang menyebabkan inflasi besar-besaran dan melumpuhkan daya beli masyarakat. Pada akhir era ini perfilman Indonesia cukup terbantu dengan membanjirnya film impor sehingga turut memulihkan bisnis perbioskopan dan juga meningkatkan animo masyarakat untuk menonton yang pada akhirnya meningkatkan jumlah penonton.

Baru pada tahun 1970 industri film nasional menunjukkan gairahnya kembali. Sebanyak 20 film diproduksi pada tahun tersebut namun banyak adegan ciuman atau seks yang diloloskan oleh badan sensor film untuk menarik minat penonton dan mendongkrak industri film lokal. Hal ini bagaimanapun juga berhasil menekan peredaran film impor. Selain banyak diproduksinya film-film bertema seks akibat longgarnya sensor film, genre komedi mencetak sukses dengan menerbitkan bintang-bintang seperti Benyamin S, Bing Slamet dan Ateng cs. Memang film Indonesia sukses meraih penonton, terutama kalangan menegah ke bawah, dan berhasil mengurangi film impor, namun tidak diimbangi dengan kualitas film yang dihasilkan. Dikatakan pembuat film dan bioskop hanya mengejar keuntungan daripada membuat cerita bermutu.

Di tahun 80-an, produksi film terus meningkat. Tema-tema komedi, seks, seks-horor dan musik (dangdut) mendominasi pada saat itu. Warkop, Catatan Si Boy dan Lupus juga sukses meraih untung dari jumlah penonton yang mencapai rekor. Namun secara keseluruhan terdapat peningkatan kualitas dari sisi sinematografi pada film-film produksi tahun 80 an. Nama-nama seperti Alex Komang, Marissa Haque dan Christine Hakim mendapat perhatian besar

(2)

dan banyak dipuji orang atas peran-perannya. Bioskop-bioskop di daerah dan pinggiran kota besar yang semakin banyak membuat penonton semakin pintar untuk menentukan pilihan menonton.

Semakin dewasanya penonton dalam memilih pilihan film, ternyata minat menonton film lokal cenderung berkurang. Hal ini disebabkan karena monotonnya tema film yang ada sehingga penonton cenderung memilih film Hollywood. Selain itu juga karena kepimilikan televisi yang terus bertambah membuat masyarakat mempunyai pilihan (TVRI). Distribusi film impor yang dikelola oleh swasta dan film lokal yang dikelola oleh pemerintah mengakibatkan semakin terpuruknya film nasional. Praktek-praktek tertentu seperti KKN dalam peredaran film Indonesia seringkali merugikan film nasional. Sedangkan bioskop-bioskop besar (21 Group) hanya mau memutarkan film-film Hollywood dan sama sekali tidak memberi kesempatan bagi industri film lokal. Di akhir tahun 80 an, hadirnya stasiun televisi swasta yang menayangkan film-film impor, sinetron serta telenovela membuat kondisi film nasional semakin terpuruk.

2.3 Masyarakat dan Film Indonesia

Budaya menonton yang terjadi dalam masyarakat kian meningkat seiring berkembangnya zaman. Roger Manvell sebagai seorang kritikus terbesar pernah mengatakan, “Film dan bioskop sudah menjadi sebagian dari hidup sosial dalam ukuran yang begitu luas, sehingga orang-orang pria dan wanita, tua dan muda, menonton film tanpa menanyakan dirinya lebih dulu apakah mereka akan menikmati film itu. Film itu sudah seperti makanan: sekali-kali kita mendapat makanan yang enak, tetapi bagaimanapun juga, kita tetap membutuhkan makanan.” Dengan kata lain film memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat saat ini dan sudah menjadi gaya hidup yang boleh dibilang pokok setelah sandang dan pangan. Karena aktifitas menonton pun dapat dibarengi sambil makan. Film memang merupakan suatu fenomena baru dari cabang yang paling muda, tetapi merupakan yang paling berpengaruh. Dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar menampilkan gambar bergerak, namun juga diikuti oleh muatan-muatan seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup.

Menonton film di bioskop masih merupakan hiburan utama pada masa 1970 an hingga pertengahan 1990-an. Karena televisi masih didominasi TVRI dengan tayangan terbatas dan layar hitam putih serta masih jarang masyarakat yang mempunyai televisi saat itu. Selain itu harga tiket masih seharga Rp 75,- sampai Rp 150,- saja. Selepas masa Orla, film impor Hollywood yang disenangi masyarakat, terutama menengah ke atas mulai ditayangkan lagi di bioskop-bioskop. Sedangkan masyarakat golongan bawah lebih menyenangi film India dan Indonesia yang waktu itu mulai banyak diproduksi lagi. Waktu itu bioskop dibagi menjadi tiga kelas dengan harga yang berbeda-beda (Lubis, Firman. Jakarta 1960-an. 2008. p.195). Kelas paling depan disebut kelas kambing, kelas tengah disebut stalles, dan kelas paling belakang disebut loge, adalah yang termahal.

Menurut data yang dicatat dari buku “Menilai Film” oleh Gayus Siagian (Siagian, DKJ 2006, p.25) bahwa 48% dari penonton film pergi dulu

(3)

ke bioskop baru kemudian menanyakan film apa yang sedang diputar, ini berarti hampir separuh dari masyarakat tidak menghiraukan apa yang akan mereka lihat, yang penting menonton. Kira-kira 23 % pergi saja ke suatu bioskop dan tidak peduli film apa yang diputar. Kurang lebih 19% pergi menonton film-film tertentu, tetapi jika bioskop tersebut berdekatan dengan rumahnya. Ini menunjukkan adanya seleksi bahwa golongan ini tidak punya banyak waktu untuk pergi jauh-jauh. Kemungkinan, mereka masih ada hiburan lain selain film. Kira-kira 10% pergi ke suatu bioskop jika sudah lebih dulu mengetahui dari orang lain atau resensi lainnya tentang film yang ada di bioskop.

Timbul tenggelamnya perfilman Indonesia turut mempengaruhi animo masyarakat dalam menonton film-film nasional. Peter Roffman dan Jim Purdy (Pantulan Layar Putih, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, p.36) menulis “Apabila sebuah film disenangi banyak orang, jelas film tersebut mencerminkan sesuatu terhadap penonton yang banyak itu melakukan identifikasi diri mereka”. Jika pendapat ini dianalisa maka tidak heran apabila film-film Indonesia memang populer dan laris di penonton kalangan bawah terutama dengan film yang menjual anggota tubuh sebagai daya tariknya. Masyarakat masa kini sudah terlanjur kental berpersepsi, “Tidak ada film Indonesia yang bagus.” Sungguh persepsi yang berbeda ketika sutradara seperti Arifin C Noer atau Teguh Karya masih berkarya. Memang tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena film bertemakan horor masih mencapai jumlah penonton yang termasuk tinggi dari puluhan judul film yang diproduksi tiap tahunnya. Jadi juga banyak film Indonesia berkualitas yang diacuhkan masyarakat karena mispersepsi karena memang yang lebih banyak ditonton masyarakat adalah film yang bermutu rata-rata.

Sampai saat ini kalangan pembuat film dengan orientasi kualitas dan kalangan pembuat film dengan orientasi uang masih berlanjut. Walau masih banyak film-film nasional bertemakan horor dan komedi yang menjual adegan dewasa, namun banyak genre yang tak kalah laris seperti religi, romansa dan drama.

2.4 Festival Film di Indonesia

Kata festival sendiri berasal dari bahasa Latin festivus yang berarti perayaan, pesta, upacara, kegembiraan. Dalam perkembangannya festival telah digunakan oleh seluruh bangsa untuk menggambarkan suatu usaha mengumpulkan orang banyak dengan menampilkan acara-acara yang menggembirakan. Berdasarkan adaptasi tersebut deskripsi festival film adalah sebuah acara terorganisir yang menampilkan deretan film-film di bioskop atau beberapa tempat publik. Film-film yang ditampilkan dapat diseleksi misalnya berdasarkan film terbaru, film dari negara tertentu atau genre tertentu. Festival film biasanya diselenggarakan secara tahunan dan tidak dipungut biaya. Festival film internasional yang paling dikenal mungkin seperti Cannes Film Festival (Perancis) Berlin Film Festival (Jerman), Venice Film Festival (Italia), Toronto Film Festival (Kanada) dan Sundance Film

(4)

Festival (Amerika). Acara festival film sudah dilangsungkan sejak pertama kali tahun 1932 di Venesia.

Menurut H. Amura (Perfilman Indonesia Dalam Orde Baru. Lembaga Komunikasi Massa Islam Indonesia, Jakarta, 1989), International Federation of Film Producers Association (IFFPA) memberi pengakuan resmi pada festival seperti Cannes, Venesia dan Berlin dan membagi festival-festival tersebut dalam tiga kategori. Kategori A bersifat kompetitif (Venesia, Cannes dan Berlin). Kategori B sifatnya non kompetitif (Festival di San Sebastian, Sao Paolo, dan Mardel Plata). Dan kategori C ditentukan sebagai festival untuk film-film khusus seperti dokumenter atau film anak-anak. Kategori C ditentukan sebagai festival-festival film nasional dari berbagai negara.

Di Indonesia terdapat juga ajang penghargaan Festival Film Indonesia atau lebih dikenal dengan Piala Citra sejak tahun 1955 sebagai salah satu ajang penghargaan bagi insan-insan perfilman dan film-film terbaik sepanjang tahun. FFI sempat mati suri juga selama matinya perfilman nasional pada era 90 an dan baru diselenggarakan kembali pada tahun 2004. Perkembangan acara festival film di Indonesia sendiri tidak begitu terdengar sampai sekitar satu dekade yang lalu. Sempat terdengar nama JIFFEST (Jakarta International Film Festival) yang sempat meramaikan festival film di Indonesia, tapi dihentikan sejak tahun 2011 karena kurangnya biaya penyelanggaraan acara. Dan kini lebih didominasi oleh festival film asing antara lain Festival Sinema Perancis, Europe On Screen, Chopshots dan masih banyak lagi. Bentuk lain selain festival untuk pemutaran film-film terbuka dan gratis antara lain seperti program Sejarah Adalah Sekarang (Kineforum) atau program acara bulanan dari tempat-tempat cultural center seperti Salihara dan Bentara Budaya.

2.5 Data Kuisioner

Kuisioner disebar kepada 100 orang responden berusia17-25 tahun di wilayah Jakarta melalui form survey online

(http://www.surveymonkey.com/s/ZZWVF5V). Kuisioner disebar untuk mengetahui minat anak muda terhadap film-film lawas Indonesia dan kesadaran terhadap acara Psikosinema Festival.

Menurut hasil kuisioner, responden akan memilih menonton suatu film berdasarkan alur ceritanya atau berdasarkan award yang dimenangi film tersebut. Data ini menunjukkan bahwa penonton juga sudah lebih kritis dan selektif dalam menonton film yang akan dinikmatinya karena mereka membayar untuk menonton sebuah film sehingga kualitas film benar-benar menjadi otoritasnya.

Kesimpulan yang dapat diambil bahwa sebagian besar kaum muda di Jakarta masih menghargai dan mau menonton film Indonesia bila dianggap bagus dan menarik. Dengan keberadaan Psikosinema Festival yang sudah mulai bergaung di kalangan masyarakat, maka dari itu visual event termasuk

(5)

salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertimbangan penonton untuk datang ke suatu acara.

2.6 Data Penyelenggara

Psikosinema Festival merupakan acara film non-profit yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Fakultas Psikologi (HIMAPSI) UNIKA Atma Jaya setiap tahunnya. Tahun ini merupakan ketujuh kalinya acara ini diadakan sejak tahun 2006. Sesuai dengan namanya, Psikosinema Festival merupakan suatu kegiatan yang bergerak di bidang film dan dikaitkan dengan ilmu psikologi. Dengan demikian, melalui acara ini para peserta maupun panitia yang terlibat baik psikologi maupun non psikologi diharapkan mendapat pengetahuan baru berdasarkan diskusi dari film-film yang ditayangkan yang ditilik dari sudut pandang psikologi.

Adapun visi dan misi dari acara ini adalah memberikan edukasi dan hiburan dengan menggunakan film sebagai media pembelajaran bagi mahasiswa. Rangkaian acara Psikosinema Festival meliputi pemutaran film, diksusi film, pameran fotografi dan pertunjukan musik. Acara ini akan melibatkan beberapa psikolog dan bintang tamu sebagai pembicara dalam diskusi. Acara ini diharapkan menjadi suatu sarana belajar bagi peserta, sehingga sadar dan berani melakukan perubahan, baik kecil maupun besar, untuk orang-orang di sekitarnya.

2.6.1 Identitas Visual Psikosinema Festival

(6)

Gambar 2: Poster Psikosinema Festival 5 dan 6

(7)

Gambar 4: Banner dan x-banner Psikosinema Festival 6

Gambar 5: Kaos panitia Psikosinema Festival 6

Gambar 6: Tiket Psikosinema Festival 6

2.6.2 Program Acara Psikosinema Festival 6

• Tanggal Pelaksanaan: 11-16 Februari 2013 • Pre Event

1. Pengenalan acara dan penjualan tiket early bird Tempat: Hall C Universitas Atma Jaya

2. Parade karakter-karakter film nasional yang akan diputar di Psikosinema Festival

Tempat: Universitas Atma Jaya • Event

(8)

Tempat: Hall C Universitas Atma Jaya, Bentara Budaya Jakarta 2. Pertunjukan musik dengan bintang tamu Payung Teduh, The

Experience Brother dan L’Alphalpha Tempat: Teater Salihara

• HTM

Pemutaran Film : Rp 8000 Pemutaran Film + Diskusi : Rp 13000 Pemutaran Film 1 hari : Rp 15000 Pertunjukan musik : Rp 25000

2.7 Festival Pembanding

Sejarah Adalah Sekarang

Diselenggarakan sejak tahun: 2007

Deskripsi: Sejarah Adalah Sekarang merupakan program dari Kineforum dalam memperingati Bulan Film Nasional yaitu setiap bulan Maret. Acaranya berupa pemutaran film-film Indonesia terbaik, serta beragam diskusi yang akan melengkapi rangkaian acara ini. Acara ini bertujuan untuk menumbuhkan apresiasi masyarakat terhadap film Indonesia makin meningkat dan memberi manfaat besar bagi para pecinta film Indonesia dan tercipta suatu ruang yang terbuka, sehat, bagi pertumbuhan budaya menonton film Indonesia.

Documentary Days (Universitas Indonesia) Diselenggarakan sejak tahun: 2008

Deskripsi: Docdays merupakan acara dokumenter terbesar di UI yang diselenggarakan oleh FEUI. Acara ini memiliki tiga rangkaian acara yaitu Documentary-Making Competition, Screening In dan Screening Out.

2.8 Target Audiens Demografi: Pria-wanita

Usia 16-25 tahun

Pelajar, mahasiswa, pekerja muda SES B

Warga negara Indonesia Geografis: Kota Jakarta

(9)

2.9 SWOT STRENGHT

• Festival non-profit sehingga terbuka untuk umum dengan harga terjangkau untuk pelajar, mahasiswa dan umum

• Memutarkan film-film nasional (mayoritas film lawas) terbaik pada masanya yang terbatas aksesnya ke publik

• Mengadakan program diskusi film yang ada sehingga menambah pengetahuan dan sudut pandang tentang nilai sosio-budaya di Indonesia

WEAKNESS

• Karena diselenggarakan oleh himpunan mahasiswa akademi tertentu, mayoritas penonton jadi hanya sebatas kalangan tertentu

OPPORTUNITY

• Kesadaran dan apresiasi awam, khususnya anak muda terhadap film-film nasional sudah semakin tinggi dan terbuka lebar

• Pemutaran festival dengan tayangan film nasional masih terbilang sedikit

THREAD

• Tidak semua orang mau meluangkan waktunya untuk menonton film sekalipun gratis

• Film lawas cenderung membosankan bagi anak-anak muda

• Animo terhadap film-film nasional yang masih jauh dibandingkan dengan film Hollywood

Gambar

Gambar 2: Poster Psikosinema Festival 5 dan 6
Gambar 5: Kaos panitia Psikosinema Festival 6

Referensi

Dokumen terkait

Model perencanaan energi yang digunakaan adalah software LEAP, LEAP digunakan untuk memprediksi tingkat konsumsi bahan bakar dan emisi faktor CO 2 Non-Biogenic,

Kesalahan yang dilakukan siswa meliputi: (1) kesalahan konsep yaitu kesalahan dalam menerapkan rumus keliling dan luas lingkaran; (2) kesalahan fakta yaitu kesalahan dalam

Dalam Renstra ini akan dipaparkan semua aspek strategis yang akan dicapai oleh FMIPA Unesa, meliputi: (1) mengembangkan tridarma perguruan tinggi dalam bidang

ara pemekai laporan keuangan ara pemekai laporan keuangan sekto sektor r publi publik k untuk mena"sir untuk mena"sirkan kan in"or in"ormassi yang massi yang

VIEW TO SITE YANG TERLIHAT DARI JALAN TEUKU UMAR ADALAHVIEW TUGU PERTIGAAN KALIWIRU YANG BERADA DI SELATAN TAPAK VIEW TO SITE YANG TERLIHAT APABILA. BANGUNAN RUKO DIHILANGKAN

Iklim organisasi (organizing) di Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan (UPTD Pendidikan) dan atau dengan sebutan Unit Pelaksana Teknis Kurikulum (UPTK) Kecamatan Jasinga Kabupaten

Karena ketika sekeliling Stadion Persija sudah berkembang menjadi area komersial, yang tentunya tidak sesuai dengan keberadaan semula daerah Menteng, maka menjadi sulit bagi

Cara Produksi Kosmetika yang Baik meliputi seluruh aspek yang menyangkut produksi dan pengendalian mutu untuk menjamin produk jadi kosmetika yang diproduksi senantiasa