• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kuantifikasi HbsAg Sebagai Kriteria Penghentian Terapi Pada Pasien Hepatitis B Kronik HbeAg Negatif yang Mendapat Terapi Analog Nukleosida/Nukleotida

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kuantifikasi HbsAg Sebagai Kriteria Penghentian Terapi Pada Pasien Hepatitis B Kronik HbeAg Negatif yang Mendapat Terapi Analog Nukleosida/Nukleotida"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Evidence Based Case Report

Kuantifikasi HbsAg Sebagai Kriteria Penghentian Terapi

Pada Pasien Hepatitis B Kronik HbeAg Negatif yang

Mendapat Terapi Analog Nukleosida/Nukleotida

Oleh:

Irene Purnamawati

1306399752

Divisi Hepatobilier

Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

Jakarta, April 2015

(2)

ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... ii

BAB 1PENDAHULUAN ... 1

BAB 2ILUSTRASI KASUS ... 3

BAB 3 METODE ... 4

BAB 4 HASIL ... 6

BAB 5 DISKUSI ... 8

BAB 6 KESIMPULAN ... 10

(3)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Infeksi virus hepatitis B masih merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia maupun di dunia. Diperkirakan prevalensi hepatitis B pada populasi sehat di Indonesia mencapai 4-20,3%, sedangkan prevalensi penderita hepatitis B di dunia berkisar antara 350-400 juta penduduk. Infeksi hepatitis B yang tidak diterapi dengan baik dapat berkembang menjadi sirosis dan karsinoma hepatoselular.1

Pasien dengan infeksi hepatitis B kronik bisa merupakan HBeAg positif atau HBeAg negatif. HBeAg menunjukkan replikasi virus yang aktif dan sering kali didapatkan kadar HBV DNA yang tinggi. Pada pasien hepatitis B dengan HBeAg negatif, respon terapi jangka panjang lebih sulit diprediksi dan lebih sering dijumpai relaps.1

Saat ini pengobatan hepatitis B dapat dilakukan dengan pemberian peg-interferon atau dengan analog nukleosida/nukelotida. Peg-interferon memiliki kelebihan lama terapi yang terbatas, maksimal 48 minggu, dengan kemungkinan seroklirens HBsAg yang lebih baik. Sedangkan terapi menggunakan analog nukleosida/nukleotida (NA) umumnya diberikan dalam jangka panjang dengan kemungkinan relaps virologis yang cukup tinggi setelah penghentian terapi.2

Sesuai pedoman dari Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI), Asian Pacific Association for the Study of the Liver (APASL), dan European Association for the Study of the Liver (EASL), pada pasien hepatitis B HBeAg positif terapi NA dapat dihentikan 12 bulan setelah mengalami serokonversi HBeAg dengan HBV DNA tidak terdeteksi.1,3,4 Sedangkan untuk pasien hepatitis B HBeAg negatif, PPHI dan APASL merekomendasikan penghentian terapi NA setelah lama terapi minimal dua tahun dengan pemeriksaan HBV DNA tidak terdeteksi pada tiga pemeriksaan dalam jangka waktu enam bulan.1,3 Namun, beberapa studi melaporkan tingginya angka relaps pasca penghentian terapi menggunakan pedoman tersebut, yaitu 45% dan 91% satu tahun pasca penghentian terapi.5,6

American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD) dan EASL merekomendasikan penghentian terapi pada hepatitis B HBeAg negatif setelah terjadi seroklirens HBsAg.4,7 Kendalanya adalah seroklirens HBsAg relatif jarang terjadi, hanya sekitar 0-3% pada terapi NA selama satu tahun dan 0-10% pada terapi NA selama 5 tahun.2 Oleh karena itu, dibutuhkan pemeriksaan alternatif yang dapat dijadikan pedoman penghentian terapi pada hepatitis B kronik HBeAg negatif.

(4)

2 Pemeriksaan HbsAg kuantitatif telah terbukti dapat membantu memprediksi keberhasilan terapi hepatitis B menggunakan peg-interferon, baik pada kelompok HBeAg positif maupun negatif. Pada hepatitis B kronik HBeAg negatif yang mendapat terapi peg-interferon, penurunan kadar HbsAg serum telah terbukti dapat memprediksi terjadinya respon virologis maupun seroklirens HBsAg.8 Namun, bagaimana pengaruhnya pada pasien yang mendapat terapi NA masih belum diketahui dengan pasti.

(5)

3

BAB 2

ILUSTRASI KASUS

2.1 Ilustrasi Kasus

Pasien laki-laki 35 tahun rutin berobat ke poliklinik hepatologi RSCM untuk penyakit hepatitis B. Dari rekam medis didapatkan HBeAg saat pasien pertama kali berobat nonreaktif dan USG abdomen terakhir menunjukkan gambaran chronic liver disease dengan hasil fibroscan F2. Pasien sudah dua tahun terakhir rutin minum obat telbivudin 1x600 mg dan saat ini menanyakan sampai kapan dia harus minum obat karena satu tahun terakhir pemeriksaan HBV DNA sudah tidak terdeteksi.

2.2 Pertanyaan Klinis

Dari ilustrasi kasus di atas timbul pertanyaan apakah HBsAg kuantifikasi dapat digunakan sebagai panduan kapan sebaiknya terapi analog nukleosida/nukleotida dapat dihentikan pada pasien hepatitis B kronik dengan HBeAg negatif.

P: pasien hepatitis B HBeAg negatif I: pemeriksaan HBsAg kuantifikasi C: tak ada

(6)

4

BAB 3

METODE

3.1 Metode Penelusuran

Pencarian literatur untuk menjawab pertanyaan klinis tersebut dilakukan menggunakan mesin pencari di situs Pubmed dan Cochrane pada tanggal 12 April 2015 dengan kata kunci (HBsAg quantification OR HBsAg quantitative OR “HBsAg levels”) AND (stop OR cessation OR

off-therapy OR off-treatment OR discontinuation) AND HBeAg-negative NOT

(peginterferon[Title]) NOT (interferon[Title]). Penelusuran awal tersebut menghasilkan sembilan artikel, tiga di antaranya adalah artikel review sehingga dieksklusi. Dari enam artikel sisanya tersebut, dilakukan abstract review dan didapatkan tiga literatur yang dapat menjawab pertanyaan klinis.

Gambar 1. Diagram alur penelusuran literatur

3.2 Telaah Kritis

Penilaian jurnal dilakukan menggunakan alat bantu yang diunduh dari situs Center of Evidence Based Medicine. Hasilnya ditampilkan pada tabel di bawah.

Pubmed Cochrane

9 artikel 0 artikel

Abstract review

3 artikel

(HBsAg quantification OR HBsAg quantitative OR “HBsAg levels”) AND (stop OR cessation OR off-therapy OR off-treatment OR discontinuation) AND HBeAg-negative

(7)

5

Tabel 1. Telaah kritis pada studi prognostik

Kriteria Chan HYL

et al Chen CH et al Seto WK et al Valid itas

Was the defined representative sample of patients assembled at a common (usually early) point in the course of their disease?

Yes Yes Yes

Was patient follow-up sufficiently long and complete?

Yes Yes Yes

Were outcome criteria either objective or applied in a ‘blind’ fashion?

Yes Yes Yes

If subgroups with different prognoses are identified, did adjustment for important prognostic factors take place?

Yes Yes Yes

Setelah menelaah artikel tersebut kami simpulkan bahwa studi-studi di atas memiliki validitas yang baik. Studi tersebut juga dapat diaplikasikan mengingat karakteristik sampel pada studi tersebut mirip dengan pasien-pasien di Indonesia. Hasil penelitian dari studi-studi tersebut akan dibahas di bab selanjutnya.

(8)

6

BAB 4

HASIL

Tabel 2. Hasil penelusuran literatur

Variabel Chan HLY et al9 Chen CH et al10 Seto WK et al5

Design studi Kohort retrospektif Kohort retrospektif Prospektif, multicenter, observasional

Domain 53 pasien hepatitis B kronik HBeAg negatif

yang mendapat terapi lamivudine > 12 bulan (durasi terapi 27 + 15 bulan) dan menjalani follow-up > 12 bulan pasca terapi

188 pasien dengan hepatitis B kronik naïve (83 HBeAg positif dan 105 HBeAg negatif) yang mendapat terapi lamivudine (durasi terapi 89,3 + 35,9 minggu) dan telah stop terapi > 12 bulan

Follow-up hingga 6 tahun pasca penghentian terapi

184 pasien dengan hepatitis B kronik HBeAg negatif yang mendapat terapi entecavir > 2 tahun (durasi terapi 3,06 + 0,64 tahun) yang memenuhi kriteria penghentian terapi menurut APASL Follow up hingga 48 minggu pasca penghentian terapi

Kriteria eksklusi

Koinfeksi dengan hepatitis C Sirosis dekompensata, HCC, pemakaian obat-obat imunosupresan, HBsAg loss saat terapi

HCC, sirosis dekompensata, terapi sebelumnya selain entecavir, koinfeksi HCV, riwayat transplantasi atau HCC Intervensi Pemeriksaan serum HBsAg kuantitatif dan

HBV DNA

Pemeriksaan serum HBsAg kuantitatif HBV DNA dan HBsAg kuantitatif

Kontrol Tak ada Tak ada Tak ada

Outcome Sustained response (SR-12), yaitu HBV DNA < 200 IU/ml pada bulan ke-12 pasca terapi

Relaps virologis pasca terapi, yaitu HBV DNA > 2000 IU/ml pada dua pemeriksaan berurut-turut dengan selang waktu

minimal tiga bulan

Relaps virologis pasca terapi, yaitu HBV DNA > 2000 IU/ml tanpa memandang serum ALT

(9)

7

HBsAg loss

Hasil Nilai cut-off kadar HBsAg di akhir terapi untuk

memprediksi SR-12 adalah 100 IU/ml dengan sensitivitas 78%, spesifisitas 96%, PPV 78%, dan NPV 96%.

Penurunan kadar HBsAg > 1 log pada akhir terapi dari baseline dapat memprediksi SR-12 dengan sensitivitas 78%, spesifisitas 96%, PPV 78%, dan NPV 96%.

Nilai HBsAg < 100 IU/ml dan penurunan HBsAg > 10 IU/ml dapat memprediksi SR-12 dengan PPV 100%.

Kadar HBsAg di akhir terapi < 200 IU/ml dapat memprediksi relaps virologis dengan sensitivitas 97% dan spesifisitas 73%. Kadar HBsAg < 120 IU/ml dapat memprediksi HBsAg loss dengan sensitivitas 95% dan spesifisitas 76%.

Kadar HBsAg saat terapi entecavir dimulai, saat terapi dihentikan, dan rerata penurunan HBsAg tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan relaps virologis.

(10)

8

BAB 5

DISKUSI

Terapi NA telah diketahui efektif dalam menekan replikasi virus hepatitis B. Namun, relaps virologis pasca penghentian terapi masih sering terjadi karena masih adanya covalently closed circular DNA (cccDNA) di hepatosit, yaitu suatu petanda replikasi virus intrahepatik.11 Pemeriksaan HBsAg kuantitatif telah diketahui memiliki korelasi dengan konsentrasi cccDNA di hati. Penurunan kadar HBsAg pada pasien yang mendapat terapi peginterferon dapat menandakan berhasilnya kontrol imun terhadap virus hepatitis B, sehingga dapat digunakan untuk memprediksi respon terapi.11,12

Studi-studi yang dibahas di atas merupakan studi-studi yang dilakukan di Asia dimana genotip virus hepatitis B yang dominan adalah genotip B dan C (Seto WK et al tidak mencantumkan genotip virus dalam laporannya). Rerata usia sampel penelitian Chen CH et al sedikit lebih muda dibandingkan sampel Chan HLY et al dan Seto WK et al, yaitu 48 tahun, 56 tahun, 53 tahun berturut-turut. Ketiga studi memiliki baseline kadar HBV DNA yang hampir sama, yaitu 5 log IU/ml pada studi Chen CH et al, 5,8 log IU/ml pada studi Chan HYL et al, dan 2,8 x 5 log IU/ml pada studi Seto WK. Begitu juga dengan baseline kadar HBsAg, yaitu 3,1 log IU/ml pada Chen CH et al, 3,2 log IU/ml pada Chan HYL, dan 3,05 IU/ml pada Seto WK et al. Chan HYL et al dan Chen CH et al melihat respon terapi lamivudine sedangkan Seto WK et al melihat respon terapi entecavir dengan rerata durasi terapi ketiga studi tersebut lebih dari dua tahun dan follow-up pasca penghentian terapi minimal satu tahun.

Dari studi yang dilakukan oleh Chan HLY et al, kadar HBsAg di akhir terapi lamivudine dan penurunan kadar HBsAg di akhir terapi dibandingkan baseline pada pasien dengan infeksi hepatitis B HBeAg negatif dapat memprediksi terjadinya sustained response

pada 12 bulan pasca terapi. Pasien dengan kadar HBsAg < 100 IU/ml atau penurunan kadar HBsAg > 1 log memiliki sensitivitas 78% dan spesifisitas 96% untuk mengalami sustained response 12 bulan pasca terapi. Nilai cut-off tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Chen CH et al, dimana kadar HBsAg di akhir terapi < 200 IU/ml dapat memprediksi relaps virologis dengan sensitivitas 97% dan spesifisitas 73%. Hasil yang berbeda didapat oleh Seto WK et al dimana tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara kadar HBsAg saat terapi entecavir dimulai, saat terapi dihentikan, ataupun rerata penurunan HBsAg dengan kejadian relaps virologis.

Kekurangan dari studi yang dilakukan oleh Chan HLY et al dibandingkan dua studi lainnya adalah jumlah sampel yang relatif lebih sedikit, yaitu 53 sampel, dibandingkan 105 dan 184 sampel

(11)

9

pada studi Chen CH et al dan Seto WK et al berturut-turut. Selain itu, durasi follow-up studi Chan HYL et al juga relatif lebih singkat dimana hanya melihat sustained response pada 12 bulan pasca penghentian terapi, sedangkan Chen CH et al melihat sustained response hingga enam tahun pasca penghentian terapi dan Seto et al 48 minggu pasca penghentian terapi. Adanya perbedaan tersebut mungkin yang menyebabkan adanya ketidaksamaan hasil pada studi-studi tersebut.

Hal lain yang mungkin dapat menjelaskan perbedaan hasil penelitian dari studi-studi di atas adalah definisi relaps virologis yang dipakai sedikit berbeda, dimana Chen CH et al menggunakan kriteria HBV DNA > 2000 IU/ml pada dua pemeriksaan berurut-turut dengan selang waktu minimal tiga bulan, sedangkan Seto WK et al menggunakan kriteria HBV DNA > 2000 IU/ml saja.

Berdasarkan data-data di atas, kadar HBsAg mungkin berguna dalam memprediksi reaktivasi virus setelah penghentian terapi nukleosida/nukleotida pada pasien hepatitis B kronik HBeAg negatif, namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut.

(12)

10

BAB 6

KESIMPULAN

Studi-studi mengenai peran HBsAg kuantitatif dalam memprediksi relaps virologis pasca penghentian terapi analog nukleosida/nukleotida pada pasien hepatitis B kronik dengan HBeAg negatif masih memberikan hasil yang berbeda-beda. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan untuk mengetahui peran HBsAg kuantitatif dalam membantu menentukan kriteria penghentian terapi pada pasien hepatitis B kronik HBeAg negatif.

(13)

11

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus nasional penatalaksanaan hepatitis B Jakarta; 2012.

2. Pérez-Cameo C, Pons M, Esteban R. New therapeutic perspectives in HBV: when to stop NAs. Liver Int. 2014 Feb; 34: p. 146-53.

3. Liaw YF, Kao JH, Piratvisuth T, Chan HLY, Chien RN, Liu CJ, et al. Asian-Pacific consensus statement on the management of chronic hepatitis B: a 2012 update. Hepatol Int. 2012; 6: p. 531-61.

4. European Association for the Study of the Liver. EASL clinical practice guidelines: management of chronic hepatitis B virus infection. J Hepatol. 2012; 57: p. 167-85. 5. Seto WK, Hui AJ, Wong VWS, Wong GLH, Liu KSH, Lai CL, et al. Treatment

cessation of entecavir in Asian patients with hepatitis B e antigen negative chronic hepatitis B: a multicentre prospective study. Gut. 2015 Apr; 64(4): p. 667-72. 6. Jeng WJ, Sheen IS, Chen YC, Hsu CW, Chien RN, Chu CM, et al. Off-therapy

durability of response to entecavir therapy in hepatitis B e antigen-negative chronic hepatitis B patients. Hepatology. 2013 Dec; 58(6): p. 1888-96.

7. Lok ASF, McMahon BJ. Chronic hepatitis B: update 2009. Hepatol. 2009 September; 50(3): p. 1-36.

8. Viganò M, Invernizzi F, Lampertico P. Optimal therapy of chronic hepatitis B: how do I treat my HBeAg-negative patients? Liver Int. 2015 Jan; 35: p. 107-13.

9. Chan HLY, Wong GLH, Chim AML, Chan HY, Chu SHT, Wong VWS. Prediction of off-treatment response to lamivudine by serum hepatitis B surface antigen quantification in hepatitis B e antigen-negative patients. Antivir Ther. 2011; 16(8): p. 1249-57.

10. Chen CH, Lu SN, Hung CH, Wang JH, Hu TH, Changchien CS, et al. The role of hepatitis B surface antigen quantification in predicting HBsAg loss and HBV relapse after discontinuation of lamivudine treatment. Journal of Hepatology. 2014; 61: p. 512-22.

11. Chen CH, Chiu YC, Lu SN, Lee CM, Jing-Houng Wang THH, Hung CJ. Serum hepatitis B surface antigen levels predict treatment response to nucleos(t)ide analogues. World J Gastroenterol. 2014 June 28; 20(24): p. 7686-95.

12. Hadziyannis E, Hadziyannis SJ. Hepatitis B surface antigen quantification in chronic hepatitis B and its clinical utility. Gastroenterol Hepatol. 2014; 8(2): p. 185-95.

Gambar

Gambar 1. Diagram alur penelusuran literatur
Tabel 2. Hasil penelusuran literatur

Referensi

Dokumen terkait

Jadi penerapan mesin absensi sidik jari (fingerprint) sangat efektif dalam penggunaannya karena hanya menggunakan sidik jari pegawai dan tidak merepotkan penggunanya,

Pemusatan adalah kemampuan untuk menyeberangi garis pisah antara bagian atas dan bawah tubuh serta mengaitkan fungsi dari bagian atas dan bawah otak, bagian tengah

Abdul Hakim, M.Si

NO NAMA NIM PRODI JUMLAH KETERANGAN BULAN

Hal yang sama menurut Chaplin (2004) penerimaan diri merupakan sikap yang mencerminkan perasaan seseorang sehubungan dengan kenyataan yang ada pada dirinya sehingga individu yang

Apoteker dapat menggunakan wawancara motivasi untuk membantu pasien mengatasi masalah terkait pengelolaan diabetes melitus (DM) tipe 2, terutama pasien dengan

Direct Obstetric deaths, yaitu kematian ibu yang langsung disebabkan oleh komplikasi obstetric pada masa hamil, bersalin dan nifas atau kematian yang disebabkan oleh

Air merupakan kebutuhan yang sangat pokok bagi kehidupan. Semua makhluk hidup memerlukan air. Tanpa air tak akan ada kehidupan. Demikian pula manusia tak dapat hidup tanpa