• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV Hasil dan Pembahasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab IV Hasil dan Pembahasan"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

Bab IV Hasil dan Pembahasan

IV.1 Perumusan Lingkup Studi dan Skenario Perencanaan

Secara geografis wilayah studi merupakan wilayah di bagian paling Barat dari Nusantara dan ujung bagian Utara dari pulau Sumatera. Dengan mengambil suatu garis batasan (cordon line) wilayah studi maka pergerakan keluar (external trips) dari wilayah studi pada saat ini hanya dilakukan ke bagian Selatan yaitu provinsi Sumatera Utara. Kajian ini difokuskan pada sistem jaringan jalan nasional dan provinsi dalam wilayah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan lebih fokus lagi pada sistem jaringan jalan yang berada pada wilayah daratan. Masih terdapat beberapa ruas jalan provinsi yang berada di luar dari wilayah daratan, seperti di Sabang, kawasan Pulau Aceh, Simeulue dan kawasan Pulau Banyak. Dari penjelasan tersebut, maka dalam pemodelan transportasi, yang menjadi zona eksternal dari studi ini adalah: Provinsi Sumatera Utara di bagian Selatan, Sabang di bagian utara dan Simeulue di bagian Barat dari wilayah studi. Untuk lebih jelasnya tentang wilayah studi ini dapat dilihat pada Gambar IV.1.

Objek studi adalah jaringan jalan nasional dan provinsi dalam wilayah provinsi NAD. Salah satu koridor jalan nasional dalam wilayah studi adalah bagian dari lintas Sumatera yang dikenal dengan jalan Lintas Timur. Lintas Timur ini membentang dari Banda Aceh di bagian Utara menuju ke bagian Tenggara sampai di perbatasan Sumatera Utara sepanjang 488 km. Kota-kota besar yang dilalui lintas timur ini adalah: Sigli-Bireuen, Lhok Seumawe, Lhok Sukon, Langsa dan Kuala Simpang. Koridor jalan nasional lainnya adalah Lintas Barat Sumatera. Lintas Barat ini membentang dari Banda Aceh di bagian Utara menuju Selatan sampai di perbatasan Provinsi Sumatera Utara sepanjang 595 km. Kota-kota yang dilalui lintas Barat ini adalah: Calang, Maulaboh, Blang Pidie, Tapak Tuan dan Subulussalam.

(2)

Gambar IV.1Wilayah Studi Penelitian

Sumber: BAPPEDA NAD (2006)

Jaringan jalan provinsi dalam wilayah studi ini, secara fungsional terdapat jalan kolektor primer dan sekunder. Di samping itu terdapat juga jalan provinsi di daerah pulau. Mengingat studi ini dilakukan untuk jalan antar kota dan pengambilan zona studi kabupaten/kota dalam provinsi NAD, maka jaringan jalan provinsi yang menjadi objek kajian adalah jalan dengan status kolektor primer. Dengan demikian jalan-jalan yang termasuk di dalamnya adalah penghubung antar ibukota kabupaten/kota. Untuk lebih jelasnya jaringan jalan yang menjadi objek kajian dapat dilihat pada Gambar IV.2.

(3)

Gambar IV.2Jaringan Jalan Objek Penelitian

Sumber: Dinas Praswil NAD (2005)

Secara garis besar dari sisi tinjauan geometrik jalan, terdapat dua nilai yang menentukan kinerja suatu ruas jalan. Ukuran pertama adalah kualitas perkerasan dan kedua adalah daya tampung yang berkaitan dengan kapasitas jalan. Kualitas perkerasan akan menurun seiring dengan berjalannya waktu, di antaranya akibat beban lalu lintas maupun faktor cuaca. Untuk mempertahankan kualitas

P. Banyak P. Aceh

LEGE NDA

Ibu Kota Kabupaten Jalan Nasional Jalan Provi nsi Batas Provi nsi Batas Kab u pat en Sungai

(4)

perkerasan agar selalu berada dalam kondisi mantap maka diperlukan penanganan jalan seperti: rutin, berkala dan peningkatan struktur.

Sementara berkaitan dengan kapasitas, lebih banyak ditentukan oleh faktor pertumbuhan lalu lintas. Pertumbuhan lalu lintas yang berdampak pada menurunnya kinerja jalan, ditangani dengan melakukan peningkatan kapasitas melalui cara pelebaran perkerasan atau pembangunan jalan baru. Sejalan dengan IRMS disebutkan bahwa terdapat lima jenis program penanganan jalan, yaitu: rutin, berkala, peningkatan struktur, peningkatan kapasitas, dan pembangunan baru.

Dalam konteks penanganan sistem jaringan jalan dilakukan dalam dua istilah, perencanaan (planning) dan pemrograman (programming). Planning berkaitan dengan penetapan tahun tinjauan perencanaan dan prediksi kebutuhan transportasi. Sementara programming adalah upaya penyusunan tindakan penanganan apa yang harus dikerjakan pada masing-masing tahun tinjauan. Dengan demikian masing-masing kegiatan perencanaan dan pemrograman mempunyai kriteria dan metode yang berbeda.

Dari penjelasan di atas, dalam konteks perencanaan dalam penelitian ini dilakukan untuk perencanaan: jangka pendek. Perencanaan jangka pendek tahunan dilakukan pada lima tahun pertama. Untuk keperluan perencanaan, analisis kebutuhan transportasi dikaitkan dengan RTRW provinsi NAD tahun 2006 dan Revisi Tatrawil NAD tahun 2007. Tahun dasar perencanaan dimulai tahun 2007. Selanjutnya dilakukan tinjauan tiap tahun sampai 2011. Sementara dalam konteks programming, hal yang dilakukan adalah bagai mana menentukan jenis penanganan sistem jaringan jalan untuk masing-masing ruas untuk setiap jaringan pada setiap tahun tinjauan dalam perencanaan.

Pelaksanaan program penanganan sistem jaringan jalan sangat tergantung pada jumlah biaya yang diperlukan dan yang dapat disediakan. Besarnya biaya yang diperlukan untuk penanganan jalan tergantung pada tujuan penanganan tersebut.

(5)

Tingkat kerusakan perkerasan lama, menentukan jenis penanganan untuk perbaikan perkerasan. Di samping itu diperlukan juga untuk penambahan kapasitas, hingga lahir jenis penanganan pelebaran perkerasan. Sedangkan untuk tujuan yang lebih luas dan menyeluruh diperlukan penanganan dengan melakukan pembangunan jalan baru. Jumlah biaya penanganan jalan yang diperlukan sangat besar, sebagai gambaran bahwa perkiraan biaya penanganan jalan nasional dengan fungsi arteri untuk tahun 2007 untuk rutin adalah sebesar 40-50 juta rupiah dan biaya pembangunan jalan baru adalah 10-15 milyar rupiah per kilometer panjang jalan (Dep. PU, 2007).

Kondisi saat ini di Indonesia bahwa umumnya jumlah biaya yang diperlukan untuk keperluan penanganan jalan lebih besar dari jumlah yang dapat disediakan. Artinya, tidak semua keperluan biaya dapat disediakan, dengan demikian tidak semua keperluan penanganan dapat dilaksanakan. Untuk itu model perangkingan penanganan harus dilakukan dengan kondisi keterbatasan biaya (budget constrained). Asumsi yang digunakan adalah bahwa jalan yang seharusnya ditangani pada tahun rencana, bila tidak dapat ditangani, maka akan menjadi prioritas pada tahun berikutnya. Sebagai ilustrasi, pada penelitian disertasi ini dilakukan skenario ketersediaan biaya penanganan hanya 75% dan 50% dari yang diperlukan dan hanya dilakukan pada tahun rencana 2007, 2008 dan 2009.

IV.2 Perumusan Penentu Kebijakan

Di balik lahirnya suatu keputusan tertentu, dipastikan bahwa ada pihak yang bertindak selaku pengambil keputusan (decision maker). Pihak tersebut dapat bersifat organisasi maupun pribadi. Keputusan yang diambil oleh pihak pengambil keputusan akan mempengaruhi pihak lain yang sering disebut sebagai

stakeholders. Pengaruh tersebut baik yang berdampak menguntungkan maupun yang merugikan. Keputusan yang paling tepat adalah bila keputusan yang diambil telah sejalan juga dengan keinginan pihak stakeholders, karena stakeholders juga ada kalanya memiliki program dan minimal pandangan yang harus sejalan dengan program pengambil keputusan, hingga stakeholders juga mempunyai persepsi

(6)

tentang bagaimana sesuatu hal harus diputuskan. Kedua belah pihak disebut sebagai penentu kebijakan. Keputusan dalam pengelolaan jalan nasional dan provinsi dalam wilayah studi, ada di Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Provinsi NAD. Dalam penentuan program di tingkat provinsi, dalam hal ini dibentuk tim teknis yang anggotanya ditambah instansi Dinas Perhubungan dan Bappeda Provinsi NAD. Dengan demikian, maka yang ditetapkan sebagai pengambil keputusan dalam penelitian disertasi ini adalah: Dinas Bina Marga dan Cipta Karya, Dinas Perhubungan, dan Bappeda Provinsi NAD.

Dalam penelitian ini, selain telah menetapkan pihak pengambil keputusan juga telah dikumpulkan data kuesioner untuk memperoleh gambaran komponen mana dari stakehoders yang dirasa penting dan tingkat kepentingannya terlibat sebagai penentu kebijakan. Di samping hal tersebut pada kuesioner masih dibuka kesempatan untuk menambahkan instansi, badan atau pribadi yang kiranya penting untuk dimasukkan sebagai stakehoders menurut pandangan para penentu kebijakan. Sejalan dengan contoh kuesioner seperti pada Lampiran A, maka bobot tertinggi 5 untuk amat sangat penting dan 1 untuk tidak penting untuk perannya dalam pengambilan keputusan.

Kepada pihak pengambil keputusan dan stakeholders ditanyakan tingkat kepentingan instansi dalam pengambilan keputusan. Hasil analisis dikelompokkan berdasarkan kelompok pengambil keputusan dan stakeholders. Jawaban dari beberapa responden selanjutnya dirata-ratakan. Hasil rekapitulasi jawaban tersebut untuk masing-masing kelompok pengambil keputusan dan stakeholders, seperti yang dapat dilihat pada Tebel IV.1.

Dari Tabel IV.1 tersebut, dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan persepsi terhadap tingkat pentingnya pihak dimaksud yang perlu dilibatkan dalam perencanaan pemrograman tersebut. Dari semua instansi, badan, dan organisasi yang ditawarkan maka terlihat bahwa semua dirasa perlu untuk terlibat mulai dari sedang dan sangat penting, namun karena keterbatasan sumber daya maka

(7)

stakehoders dalam analisis hanya dibatasi pada instansi terkait di tingkat kabupaten/kota dan ditambah dari perguruan tinggi.

Tabel IV.1 Tingkat kepentingan keterlibatan instansi sebagai penentu kebijakan berdasarkan persepsi pengambil keputusan dan stakeholders

Bobot

No. Instansi Pengambil

Keputusan

Stakeholders

1 Dinas Praswil Propinsi 4.25 4.34

2 Departemen PU 4.25 3.79

3 BAPPEDA Propinsi 4.25 4.20

4 BAPPENAS 3.58 3.52

5 Dishub Propinsi 3.58 3.77

6 DPRD Propinsi 3.33 3.07

7 Dinas PU/Praswil Kab./Kota 3.33 3.66 8 Departemen Perhubungan 3.33 3.32 9 Perguruan Tinggi 2.92 3.48 10 BAPPEDA Kab./Kota 2.92 3.45 11 LSM 2.83 2.68 12 Dishub Kab./Kota 2.75 3.33 13 Tokoh Masyarakat 2.33 2.59 14 DPRD Kab./Kota 2.33 2.57 15 Organisasi Profesi 2.08 2.43 Keterangan bobot:

1 = tidak penting 2 = sedang 3 = penting 4 = sangat penting 5 = amat sangat penting

IV.3 Perumusan Kriteria dan Analisis Bobot Kriteria Pemrograman

IV.3.1 Perumusan Kriteria

Dalam penetapan suatu keputusan, tentu harus didasarkan kepada kriteria. Dengan demikian perumusan kriteria perlu dilakukan secara hati-hati. Perumusan keputusan yang paling mudah dilakukan adalah bila menggunakan kriteria yang sedikit dan dengan besaran yang kuantitatif. Namun kriteria yang sedikit dan hanya mempertimbangkan kriteria yang bersifat kuantitatif belum tentu dapat mewakili semua aspirasi baik bagi pengambil keputusan maupun bagi

(8)

stakeholders. Untuk itu perlu dirumuskan semua kriteria yang dapat mewakili keputusan pmrograman, artinya secara komprehensif, baik kriteria yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Kriteria yang dibangun dapat menjadi luas hingga sering membingungkan, untuk itu perlu dilakukan pengelompokkan kriteria hingga menjadi kriteria yang lebih general. Kriteria-kriteria tersebut dapat terdiri dari sub-sub kriteria hingga kriteria menjadi lengkap. Dalam kondisi ideal kriteria dan sub-kriteria dapat digali dari pihak penentu keputusan, dimulai dari proses usulan kriteria dalam bentuk long list menjadi short list, namun hal ini tentu memerlukan waktu penelitian dan biaya yang lebih lama.

Kriteria dan sub-kriteria dalam penelitian ini dirumuskan terlebih dahulu. Selanjutnya responden memberikan penilaian untuk menghasilkan bobot kriteria, sub-kriteria dan alternatif. Kriteria yang dirumuskan untuk perencanaan pemrograman jaringan jalan nasional dan provinsi dalam wilayah provinsi NAD ada yang bersifat kuantitatif, namun ada juga yang bersifat kualitatif. Kriteria dan sub kriteria yang dirumuskan kemudian diberikan pembobotan oleh pihak pengambil keputusan dan stakeholders. Kriteria dan Sub-kriteria yang dirumuskan sebagai yang dapat dilihat pada Tabel IV.2. Dalam analisis simulasi penanganan program maka kriteria yang digunakan untuk proses top down adalah kriteria teknis, dalam tabel tersebut empat sub-kriteria pada kriteria peningkatan layanan transportasi langsung menjadi kriteria pada proses top down ini. Sementara untuk proses gabungan top down dan bottom up maka empat kriteria pada tabel tersebut bersama dengan masing-masing sub kriterianya dianalisis dalam memperoleh skala prioritas penanganan.

IV.3.2 Analisis Bobot Kriteria

Dari kuesioner yang diedarkan ke responden baik pihak pengambil keputusan maupun stakeholders selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan bobot kriteria. Analisis dilakukan dengan menggunakan program komputer MS EXCEL dengan menggunakan metode analisis pada Sub-bab III.10. Mengacu pada kuesioner yang digunakan, untuk pertanyaan dalam penentuan: program penanganan, dalam

(9)

penetuan bobot kriteria dan sub-kriteria, terdapat dua format yang digunakan. Format pertama adalah dengan memberikan rangking/urutan tingkat kepentingan dari setiap pilihan. Format kedua adalah dengan model pertanyaan perbandingan berpasangan (pair-wise comparisson). Maksud dari kuesioner untuk menampilkan kedua format tersebut adalah untuk memperoleh informasi dengan lengkap dan memudahkan bagi setiap responden. Karena jawaban yang diisikan pada format pertama (model rangking) akan menjadi panduan untuk menjawab kuesioner pada format kedua (perbandingan berpasangan).

Tabel IV.2 Kriteria dan Sub-kriteria Penyusunan Program Penanganan Jaringan Jalan

No. Kriteria Sub Kriteria

1. Pengembangan wilayah 1. Kesepadanan dengan hirarki jaringan jalan 2. Keterkaitan antar PKN, PKW dan PKL 3. Peningkatan kawasan tertinggal 4. Pengembangan kawasan khusus 5. Keterpaduan antar moda transportasi 2. Efisiensi Ekonomi 1. Total biaya yang dibutuhkan

2. Kelayakan ekonomi

3. Penghematan Biaya Operasi Kendaraan (BOK) 3. Peningkatan Layanan

Transportasi

1. Indeks Aksessibilitas 2. Indeks Mobilitas

3. Tingkat kinerja lalu lintas (V/C) 4. Kondisi kerusakan jalan

4. Lingkungan dan Sosial Berkelanjutan

1. Dampak terhadap kelestarian kawasan 2. Dampak terhadap ganti rugi lahan 3. Terciptanya lapangan kerja

Ketika memasuki tahap analisis penentuan bobot pilihan, jawaban yang menggunakan perbandingan berpasangan, lebih dari 50% dari jawaban responden tidak konsisten (inconsistent). Syarat konsisten adalah dengan perolehan Indeks Konsistensi (CI) dan Rasio Konsistensi (CR). Penetapan suatu matriks analisis dianggap konsisten jika nilai CR lebih kecil atau sama dengan 0,1. Analisis konsistensi pembobotan ini mengacu pada penjelasan di bab III pada bagian III.10.2. Artinya adalah, responden sulit membandingkan secara berpasangan sesuai dengan arahan pada bagian awal dari kusioner. Semakin banyak pilihan

(10)

yang harus diberikan penilaian berpasangan, maka semakin besar kemungkinan tidak konsisten. Jumlah maksimum pilihan yang paling mungkin bagi manusia untuk memberikan penilaian perbandingan berpasangan adalah sembilan (Saaty, 1994). Untuk itu dalam analisis ini digunakan format pertanyaan pertama (sistem rangking) untuk memperoleh bobot alternatif, kriteria dan sub-kriteria.

Analisis penentuan bobot kriteria dari penentu kebijakan pmrograman ditampilkan pada Lampiran B. Bobot kriteria dari masing-masing pihak pengambil keputusan dan stakeholders selanjutnya dirata-ratakan, analisis dapat dilihat pada Lampiran C. Bobot kriteria rata-rata yang diperoleh untuk masing-masing pihak pengambil keputusan dan stakeholders dapat dilihat pada Tabel IV.3 dan Gambar IV.3.

Tabel IV.3 Bobot Kriteria Pihak Pengambil Keputusan dan Stakeholders Bobot

No. Kriteria Pengambil

Keputusan Stakeholders

1. Pengembangan wilayah 0,256 0,270

2. Efisiensi Ekonomi 0,207 0,213

3. Peningkatan Layanan Transportasi 0,402 0,322

4. Lingkungan dan Sosial Berkelanjutan 0,136 0,195

Baik pihak pengambil keputusan maupun stakeholders secara garis besar memberikan pola yang yang sama terhadap kriteria penanganan. Artinya, jika diurut dalam bentuk rangking, kriteria peningkatan layanan transportasi menempati rangking pertama, kriteria pengembangan wilayah rangking kedua, kriteria efisiensi ekonomi rangking ketiga, dan kriteria lingkungan dan sosial berkelanjutan menempati rangking ke empat. Namun demikian, dari pihak pengambil keputusan, bobot kriteria dengan besaran yang cukup signifikan diberikan pada kriteria peningkatan layanan transportasi sebesar 0,402. Dapat dibaca di sini bahwa kriteria pihak pengambil keputusan lebih dominan diwakili oleh kriteria nyang sangat teknis dan terukur.

(11)

0,0 0,2 0,4 0,6 P e ng em ba ng a n wi la y a h E fis ie n s i E k on om i P e ni ng k a ta n La y a n a n Tr a n s p L in g k & So s ia l B e rk el an ju ta n kriteria bobot k ri te ri a Pengambil Keputusan Stakeholders

Gambar IV.3 Perbandingan bobot kriteria antara pengambil keputusan dan

stakeholders

Bobot kriteria yang diperoleh dari stakeholders lebih terdistribusi. Walaupun kriteria layanan transportasi menempati rangking pertama dengan bobot 0,322 namun bobot yang lain lebih merata dan lebih besar dibandingkan dengan bobot yang diberikan oleh pengambil keputusan. Artinya adalah, bobot kriteria yang diberikan oleh stakeholders lebih terdistribusi dengan kriteria yang lain, tidak tertumpu semata-mata pada kriteria yang sangat teknis, yaitu kriteria peningkatan layanan transportasi.

Masing-masing kriteria memiliki sub-kriteria. Dengan menggunakan formula yang sama pada analisis bobot kriteria, maka dilakukan juga analisis bobot untuk masing-masing sub-kriteria. Pada bagian berikut ini ditampilkan analisis bobot sub-kriteria dari masing-masing pihak pengambil keputusan dan stakeholders. Dengan demikian dapat dilihat perbandingan nilai bobot sub-kriteria yang diberikan oleh kedua pihak.

IV.3.2.1 Analisis Bobot Sub-kriteria Pengembangan Wilayah

Perbandingan bobot sub-kriteria pengembangan wilayah yang diberikan oleh pihak pengambil keputusan dan stakeholders dapat dilihat pada Tabel IV.4 dan

(12)

Gambar IV.4. Dari tabel dan gambar tersebut dapat dilihat bahwa bobot tertinggi yang diberikan oleh pengambil keputusan adalah untuk kesepadanan dengan hirarki jaringan jalan, sementara dari stakeholders diberikan pada bobot peningkatan kawasan tertinggal. Bobot terkecil diberikan oleh kedua pihak pada sub kriteria pengembangan kawasan khusus.

Tabel IV.4 Bobot Sub-Kriteria Pengembangan Wilayah

Bobot

No. Kriteria Pengambil

Keputusan Stakeholders

1. Kesepadanan dengan hirarki jaringan jalan

0,262 0,211

2. Keterkaitan antar PKN, PKW dan PKL 0,211 0,192

3. Peningkatan kawasan tertinggal 0,212 0,287

4. Pengembangan kawasan khusus 0,094 0,144

5. Keterpaduan antar moda transportasi 0,221 0,165

0,0 0,2 0,4 H ira rk i ja ri ngan jala n K a itan ant. PK N , PK W & PK L P eni ngk . ka w . ter tinggal P engem b. Ka w . k hus us M u lti moda tr ans por ta s i sub-kriteria bobo t s ub-k ri te ri a Pengambil Keputusan Stakeholders

Gambar IV.4 Perbandingan bobot sub-kriteria pengembangan wilayah antara pengambil keputusan dan stakeholders.

(13)

IV.3.2.2 Analisis Bobot Sub-kriteria Efisiensi Ekonomi

Perbandingan bobot sub-kriteria efisiensi ekonomi yang diberikan oleh pihak pengambil keputusan dan stakeholders dapat dilihat pada Tabel IV.5 dan

Gambar IV.5. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa bobot tertinggi yang diberikan oleh pengambil keputusan dan stakeholders diberikan pada sub-kriteria kelayakan ekonomi. Persepsi pengambil keputusan juga memberikan bobot yang cukup signifikan untuk sub-kriteria penghematan biaya operasi kendaraan (BOK). Sementara kedua pihak memberikan bobot terkecil kepada sub kriteria total biaya yang dibutuhkan.

Tabel IV.5 Bobot Sub-kriteria Efisiensi Ekonomi

Bobot

No. Kriteria Pengambil

Keputusan Stakeholders

1. Total biaya yang dibutuhkan 0,208 0,252

2. Kelayakan ekonomi 0,401 0,468

3. Penghematan Biaya Operasi Kendaraan (BOK) 0,391 0,280 0,0 0,2 0,4 0,6 T o t. bi ay a y g di but uhk an K e la ya ka n ek onom i P enghem at an BO K sub-kriteria bobot s ub-k ri te ri a Pengambil Keputusan Stakeholders

Gambar IV.5 Perbandingan bobot sub-kriteria Efisiensi Ekonomi antara pengambil keputusan dan stakeholders

(14)

IV.3.2.3 Analisis Bobot Sub-Kriteria Peningkatan Layanan Transportasi

Perbandingan bobot sub-kriteria peningkatan layanan transportasi yang diberikan oleh pihak pengambil keputusan dan stakeholders dapat dilihat pada Tabel IV.6

dan Gambar IV.6. Dari tabel dan gambar tersebut dapat dilihat bahwa bobot tertinggi yang diberikan oleh PK jatuh pada sub-kriteria tingkat kinerja lalu lintas dan peringkat kedua adalah bobot kondisi kerusakan jalan juga dengan dengan bobot yang cukup besar. SH memberikan bobot terbesar pada sub-kriteria kondisi kerusakan jalan dan juga memberikan bobot yang cukup berimbang antara sub-kriteria indeks aksessibilitas dan tingkat kinerja lalu lintas.

Tabel IV.6 Bobot Sub-kriteria Peningkatan Layanan Transportasi

Bobot

No. Kriteria Pengambil

Keputusan Stakeholders

1. Indeks Aksessibilitas 0,193 0,238

2. Indeks Mobilitas 0,155 0,175

3. Tingkat kinerja lalu intas (V/C) 0,344 0,234

4. Kondisi kerusakan jalan 0,309 0,353

0,0 0,2 0,4 Indek s A k s e s s ib ilit a s Indek s M o b ilit a s T k t k in e rja la lin (V /C ) K ondi s i ke ru sa ka n ja la n sub-kriteria bobot s ub-k ri te ri a Pengambil Keputusan Stakeholders

Gambar IV.6 Perbandingan bobot sub-kriteria peningkatan layanan transportasi antara pengambil keputusan dan stakeholders.

(15)

IV.3.2.4 Analisis Bobot Sub-Kriteria Lingkungan dan Sosial Berkelanjutan

Perbandingan bobot sub-kriteria lingkungan dan sosial berkelanjutan yang diberikan oleh PK dan SHdapat dilihat pada Tabel IV.7 dan Gambar IV.7. Dari tabel dan gambar tersebut dapat dilihat bahwa bobot tertinggi yang diberikan oleh pengambil keputusan dan stakeholders adalah pada sub-kriteria dampak terhadap kelestarian kawasan. SH juga memberikan bobot yang cukup signifikan untuk sub-kriteria terciptanya lapangan kerja. Kedua pihak memberikan bobot terkecil kepada sub-kriteria dampak terhadap ganti rugi lahan.

Tabel IV.7 Bobot Sub-kriteria Lingkungan dan Sosial Berkelanjutan

Bobot

No. Kriteria Pengambil

Keputusan Stakeholders

1. Dampak terhadap kelestarian kawasan

0,470 0,409

2. Dampak terhadap ganti rugi lahan 0,240 0,250

3. Terciptanya lapangan kerja 0,290 0,340

0,0 0,2 0,4 0,6 Dp k t h p ke le st a ri a n ka w . Dp k t h d ga nt i r ugi lahan T e rc ip tany a la p . k e rj a sub-kriteria bobot s ub-k ri te ri a Pengambil Keputusan Stakeholders

Gambar IV.7 Perbandingan bobot sub-kriteria lingkungan dan sosial berkelanjutan antara pengambil keputusan dan stakeholders

(16)

IV.4 Perumusan Alternatif dan Bobot Alternatif Penanganan

Dari kuesioner yang diedarkan ke responden baik pihak pengambil keputusan maupun stakeholders selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan bobot alternatif. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode yang sama untuk memperoleh bobot kriteria. Hasil bobot alternatif dari masing-masing pihak pengambil keputusan dan stakeholders selanjutnya dirata-ratakan. Bobot alternatif rata-rata yang diperoleh untuk masing-masing pihak pengambil keputusan dan

stakeholders dapat dilihat pada Tabel IV.8 dan Gambar IV.8.

Tabel IV.8 Bobot Alternatif Pihak Pengambil Keputusan dan Stakeholders Bobot

No. Kriteria Pengambil

Keputusan Stakeholders

1. Pemeliharaan rutin 0,301 0,270

2. Pemeliharaan berkala 0,274 0,213

3. Peningkatan jalan 0,308 0,322

4. Pembangunan jalan baru 0,117 0,195

Dari tabel dan gambar tersebut dapat dilihat bahwa pihak pengambil keputusan memberikan bobot terbesar pada alternatif peningkatan jalan, dengan bobot hampir berimbang dengan pemeliharaan rutin. Stakeholders juga memberikan bobot terbaik yang cukup menonjol pada peningkatan jalan, diikuti dengan bobot yang hampir berimbang pada pemeliharaan rutin dan berkala. Sementara untuk alternatif pembangunan jalan baru, baik pihak pengambil keputusan maupun

stakeholders tidak memberikan prioritas yang tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari perolehan bobot yang mereka berikan hanya dikisaran 0,1.

Hasil analisis pada sub bab IV.3 selanjutnya digunakan dalam perencanaan pemrograman penanganan sistem jaringan jalan nasional dan provinsi. Sementara hasil analisis pada sub bab IV.4 tidak digunakan dalam analisis penentuan program penanganan, akan tetapi hasil ini dapat menjadi masukan berupa aspirasi penentu kebijakan terhadap tingkat kepentingan alternatif penanganan jalan.

(17)

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 P emel ihar aan ru tin P emel ihar aan ber k a la P eni ngk at an ja la n P embangunan ja lan bar u Alternatif Pilihan B o b o t A lte rn a ti f Pi lih a n Pengambil Keputusan Stakeholders

Gambar IV.8 Perbandingan Bobot Pilihan Penanganan pihak PK dan SH

IV.5 Hasil Pemodelan Transportasi

IV.5.1 Sistem Zona

Untuk keperluan pemodelan transportasi maka wilayah penelitian dibagi menjadi beberapa zona sebagai agregasi wilayah pembangkit/penarik (asal/tujuan) perjalanan. Zona dapat dikategorikan menjadi 2 (dua), yakni:

1. Zona internal, yaitu zona yang berada di dalam garis batas wilayah studi, 2. Zona eksternal, yaitu zona yang berada di luar garis batas wilayah studi yang

digunakan untuk mencerminkan kondisi di luar wilayah studi.

Pembagian zona pada studi ini didasarkan pada batas administrasi kabupaten/kota. Jika dilihat dari administrasi dan geografi wilayah, Provinsi NAD memiliki 21 kabupaten/kota. Dua kabupaten/kota terletak di daerah pulau yang terpisah dengan daratan Provinsi NAD, yaitu Sabang dan Simeulue. Pertimbangan teknis dan objek kajian (jalan nasional dan provinsi), artinya pergerakan antar kota, maka Sabang dan Simelue dimasukkan sebagai zona eksternal. Zona eksternal yang lain

(18)

yang dimasukkan adalah kota Medan dan sekitarnya. Data nomor zona dan nama zona untuk wilayah studi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel IV.9 berikut.

Tabel IV.9 Nama dan Nomor Zona

No Nama Zona Nomor

Zona No Nama Zona

Nomor Zona

1 Banda Aceh 1001 12 Aceh Selatan 1012 2 Aceh Besar 1002 13 Aceh Singkil 1013 3 Pidie 1003 14 Aceh Barat Daya 1014

4 Bireun 1004 15 Aceh Barat 1015

5 Lhokseumawe 1005 16 Nagan Raya 1016 6 Aceh Utara 1006 17 Aceh Jaya 1017 7 Aceh Timur 1007 18 Aceh Tengah 1018 8 Langsa 1008 19 Bener Meriah 1019 9 Aceh Tamiang 1009 20 Simeulue 1020

10 Gayo Lues 1010 21 Sabang 1021

11 Aceh Tenggara 1011 22 Medan 1022 Keterangan: zona no 20, 21, dan 22 adalah zona eksternal

IV.5.2 Sistem Jaringan Jalan

Jaringan jalan terdiri dari ruas jalan atau link yang umumnya diberi atribut panjang, kapasitas, dan kecepatan operasinya. Pertemuan antar ruas jalan disebut dengan simpul atau node yang dapat berupa persimpangan jalan (dengan atau tanpa lampu pengatur lalu lintas), sedangkan untuk studi jaringan transportasi regional antar kota simpul dapat berupa kota.

Setiap ruas jalan yang dikodefikasi harus dilengkapi dengan beberapa atribut ruas yang menyatakan perilaku, ciri, dan kemampuan ruas jalan dalam mengalirkan arus lalu lintas. Beberapa atribut tersebut adalah panjang ruas, kecepatan ruas (kecepatan arus bebas atau kecepatan sesaat), dan kapasitas ruas yang dinyatakan dalam bentuk Satuan Mobil Penumpang (smp) per jam. Pada Gambar IV.10

(19)

Gambar IV.9Model Sistem Jaringan Jalan di Wilayah Studi

(Peta Dasar Dinas Praswil NAD (2005))

IV.5.3 Persamaan Bangkitan/Tarikan

Hal ini mencakup bangkitan dan tarikan pergerakan pada suatu wilayah studi. Pergerakan lalu lintas merupakan fungsi tata guna lahan yang menghasilkan pergerakan lalulintas. Hasil keluaran dari analisis bangkitan dan tarikan lalulintas adalah berupa jumlah kendaraan, orang, atau angkutan barang per satuan waktu, misalnya kendaraan/jam. Dalam analisisnya, bangkitan pergerakan harus dianalisis secara terpisah dengan tarikan pergerakan. Jadi, tujuan akhir analisis tahapan bangkitan pergerakan adalah menaksir setepat mungkin bangkitan dan tarikan pergerakan pada masa sekarang, yang akan digunakan untuk meramalkan pergerakan pada masa mendatang.

Keterangan: Pusat Zona Node Link

(20)

Model bangkitan/tarikan dikembangkan dari data OD Nasional 2001 dan data sosio-ekonomi pada tahun yang sama. Dengan metoda step-wise, fungsi yang mengkaitkan antara data sosio-ekonomi (yang terukur dan terdapat data tahunannya) dengan bangkitan/tarikan. Bentuk persamaan yang dipilih adalah persamaan regresi linier berganda. Dan sesuai dengan metoda step-wise, maka untuk model bangkitan/tarikan adalah persamaan yang memiliki nilai parameter-parameter statistik tertinggi (dari alternatif yang ada) dan persamaan konsisten dengan hipotesa umum (misalnya semakin tinggi jumlah penduduk, semakin tinggi pula jumlah bangkitan/tarikan atau semakin tinggi PDRB suatu zona, semakin tinggi juga bangkitan/tarikannya). Langkah analisis model bangkitan/tarikan pergerakan, dapat dilihat pada Lampiran D. Persamaan bangkitan/tarikan untuk penumpang dan barang adalah:

1. Persamaan Bangkitan Penumpang:

Oi = 652949,24+0.808 (Jlh Penduduk Zona i)+13.245(Jlh kendaraan zona i)

2. Persamaan Tarikan Penumpang:

Dd = 531561,89 +82.7868 (Jumlah PDRB Zona d)+9.34 (Jlh kendaraan zona d)

3. Persamaan Bangkitan Barang:

Oi = 306607,54+47.201 (Jlh PDRB Zona i)+4.745(Jlh kendaraan zona i)

4. Persamaan Tarikan Barang:

Dd = 621500,188 +0,6587 (Jlh Penduduk Zona d)

Pada tabel berikut disajikan bangkitan/tarikan tiap tahun tinjauan baik untuk penumpang maupun barang.

(21)

Tabel IV.10 Bangkitan Pergerakan Penumpang (pergerakan/tahun) Bangkitan Pergerakan Penumpang (pergerakan/tahun) No. Nama Zona

2006 2007 2008 2009 2010 2011 1 Aceh Singkil 853,319 856,829 860,409 864,059 867,781 871,577 2 Aceh Selatan 994,779 1,001,430 1,008,223 1,015,161 1,022,249 1,029,488 3 Aceh Tenggara 830,963 833,707 836,498 839,337 842,225 845,162 4 Aceh Timur 1,175,701 1,185,578 1,195,662 1,205,956 1,216,467 1,227,199 5 Aceh Tengah 1,138,783 1,149,202 1,159,860 1,170,762 1,181,915 1,193,324 6 Aceh Barat 902,046 906,616 911,281 916,041 920,898 925,856 7 Aceh Besar 1,182,844 1,193,011 1,203,394 1,213,996 1,224,824 1,235,882 8 Pidie 1,442,578 1,457,489 1,472,712 1,488,255 1,504,123 1,520,325 9 Bireun 1,550,830 1,569,697 1,588,990 1,608,720 1,628,898 1,649,533 10 Aceh Utara 2,165,115 2,197,897 2,231,435 2,265,747 2,300,853 2,336,771 11 Aceh Barat Daya 1,009,281 1,017,051 1,025,000 1,033,133 1,041,454 1,049,969 12 Gayo Lues 735,300 736,660 738,044 739,455 740,891 742,354 13 Aceh Tamiang 1,019,285 1,026,107 1,033,069 1,040,176 1,047,430 1,054,834 14 Nagan Raya 821,907 825,004 828,165 831,390 834,681 838,039 15 Aceh Jaya 795,910 798,655 801,459 804,322 807,246 810,233 16 Banda Aceh 3,564,011 3,634,327 3,706,371 3,780,185 3,855,812 3,933,297 17 Langsa 1,554,470 1,575,632 1,597,306 1,619,503 1,642,238 1,665,523 18 Lhokseumawe 1,743,582 1,769,431 1,795,909 1,823,031 1,850,812 1,879,269 19 Bener Meriah 2,459,607 2,503,574 2,548,625 2,594,786 2,642,087 2,690,553 20 Simeulue 749,365 751,058 752,783 754,542 756,335 758,164 21 Sabang 716,403 717,691 719,007 720,353 721,728 723,134 22 Medan 18,133,447 19,674,069 21,360,734 23,207,439 25,229,520 27,443,788

Sumber: Hasil Analisis

Tabel IV.11 Tarikan Pergerakan Penumpang (pergerakan/tahun) Tarikan Pergerakan Penumpang (pergerakan/tahun) No. Nama Zona

2006 2007 2008 2009 2010 2011 1 Aceh Singkil 835,381 837,134 838,924 840,751 842,615 844,518 2 Aceh Selatan 975,191 978,925 982,743 986,646 990,637 994,718 3 Aceh Tenggara 743,483 744,275 745,084 745,911 746,755 747,618 4 Aceh Timur 1,347,767 1,353,182 1,358,715 1,364,368 1,370,145 1,376,048 5 Aceh Tengah 1,169,308 1,175,880 1,182,606 1,189,489 1,196,533 1,203,742 6 Aceh Barat 857,184 859,463 861,794 864,177 866,614 869,107 7 Aceh Besar 1,111,264 1,116,687 1,122,234 1,127,909 1,133,714 1,139,652 8 Pidie 1,032,022 1,039,235 1,046,624 1,054,195 1,061,951 1,069,897 9 Bireun 1,317,716 1,328,884 1,340,321 1,352,034 1,364,030 1,376,316 10 Aceh Utara 2,481,743 2,501,751 2,522,248 2,543,247 2,564,758 2,586,796 11 Aceh Barat Daya 961,864 966,853 971,959 977,184 982,533 988,008 12 Gayo Lues 734,406 734,971 735,548 736,136 736,736 737,349 13 Aceh Tamiang 899,657 903,056 906,533 910,090 913,729 917,452 14 Nagan Raya 829,885 831,482 833,113 834,779 836,481 838,221

(22)

Tarikan Pergerakan Penumpang (pergerakan/tahun) No. Nama Zona

2006 2007 2008 2009 2010 2011 15 Aceh Jaya 968,108 969,836 971,599 973,397 975,231 977,102 16 Banda Aceh 2,708,635 2,756,670 2,805,901 2,856,357 2,908,071 2,961,072 17 Langsa 1,407,756 1,422,053 1,436,698 1,451,700 1,467,068 1,482,811 18 Lhokseumawe 2,719,834 2,737,636 2,755,869 2,774,543 2,793,669 2,813,259 19 Bener Meriah 1,977,863 2,008,290 2,039,471 2,071,424 2,104,170 2,137,728 20 Simeulue 988,311 989,395 990,496 991,615 992,751 993,905 21 Sabang 925,289 926,412 927,553 928,712 929,890 931,087 22 Medan 13,089,754 14,162,827 15,338,678 16,627,173 18,039,125 19,586,386

Sumber: Hasil Analisis

Tabel IV.12 Bangkitan Pergerakan Barang (ton/tahun)

Bangkitan Pergerakan Barang (ton/tahun) No. Nama Zona

2006 2007 2008 2009 2010 2011 1 Aceh Singkil 476,298 477,210 478,140 479,089 480,057 481,044 2 Aceh Selatan 551,302 553,225 555,191 557,200 559,253 561,353 3 Aceh Tenggara 425,741 426,150 426,568 426,995 427,431 427,876 4 Aceh Timur 760,381 763,179 766,037 768,956 771,938 774,983 5 Aceh Tengah 655,041 658,409 661,855 665,381 668,988 672,680 6 Aceh Barat 487,170 488,342 489,540 490,766 492,018 493,299 7 Aceh Besar 624,848 627,633 630,481 633,394 636,373 639,420 8 Pidie 574,392 578,065 581,829 585,684 589,633 593,679 9 Bireun 728,113 733,812 739,648 745,625 751,745 758,012 10 Aceh Utara 1,369,919 1,380,113 1,390,554 1,401,250 1,412,207 1,423,431 11 Aceh Barat Daya 540,359 542,914 545,528 548,203 550,941 553,742 12 Gayo Lues 421,130 421,424 421,723 422,029 422,341 422,659 13 Aceh Tamiang 508,754 510,498 512,283 514,108 515,975 517,884 14 Nagan Raya 473,302 474,128 474,971 475,832 476,711 477,609 15 Aceh Jaya 552,110 553,011 553,928 554,864 555,819 556,792 16 Banda Aceh 1,428,951 1,453,365 1,478,387 1,504,032 1,530,315 1,557,252 17 Langsa 771,563 778,849 786,312 793,956 801,786 809,807 18 Lhokseumawe 1,511,481 1,520,562 1,529,862 1,539,385 1,549,139 1,559,127 19 Bener Meriah 1,056,279 1,071,754 1,087,611 1,103,861 1,120,514 1,137,579 20 Simeulue 565,394 565,972 566,558 567,153 567,757 568,370 21 Sabang 529,351 529,948 530,553 531,169 531,793 532,428 22 Medan 6,773,524 7,318,796 7,916,278 8,570,983 9,288,404 10,074,562

Sumber: Hasil Analisis

(23)

Tabel IV.13 Tarikan Pergerakan Barang (ton/tahun)

Bangkitan Pergerakan Barang (ton/tahun) No. Nama Zona

2006 2007 2008 2009 2010 2011 1 Aceh Singkil 719,184 720,404 721,640 722,890 724,157 725,439 2 Aceh Selatan 746,926 748,517 750,127 751,758 753,410 755,082 3 Aceh Tenggara 735,141 736,591 738,060 739,547 741,054 742,579 4 Aceh Timur 832,224 834,890 837,589 840,323 843,091 845,894 5 Aceh Tengah 735,305 736,743 738,198 739,672 741,165 742,676 6 Aceh Barat 729,904 731,263 732,639 734,033 735,444 736,873 7 Aceh Besar 825,182 827,763 830,376 833,023 835,703 838,417 8 Pidie 938,810 942,805 946,850 950,946 955,094 959,294 9 Bireun 856,534 859,491 862,485 865,516 868,586 871,695 10 Aceh Utara 950,701 954,836 959,023 963,262 967,554 971,901 11 Aceh Barat Daya 696,529 697,476 698,435 699,406 700,389 701,384 12 Gayo Lues 667,635 668,218 668,809 669,407 670,012 670,625 13 Aceh Tamiang 776,529 778,499 780,495 782,516 784,562 786,635 14 Nagan Raya 696,125 697,072 698,031 699,002 699,985 700,981 15 Aceh Jaya 674,927 675,587 676,255 676,931 677,616 678,309 16 Banda Aceh 782,989 785,021 787,078 789,161 791,270 793,406 17 Langsa 712,798 713,959 715,134 716,324 717,529 718,750 18 Lhokseumawe 715,152 716,339 717,541 718,757 719,990 721,238 19 Bener Meriah 700,585 701,584 702,596 703,620 704,657 705,707 20 Simeulue 669,822 670,445 671,075 671,714 672,360 673,016 21 Sabang 640,869 641,110 641,354 641,601 641,851 642,104 22 Medan 1,980,524 1,998,871 2,017,465 2,036,311 2,055,411 2,074,769

Sumber: Hasil Analisis

Selanjutnya besar bangkitan/tarikan dalam satuan pergerakan/tahun (penumpang) dan ton/tahun (barang) akan dikonversikan ke dalam satuan smp/jam.

Metoda konversi ke dalam satuan smp/jam, adalah:

a. Penumpang, asumsi 5 pergerakan sama dengan 1 smp dan nilai k = 0,11, (jalan luar kota, dalam MKJI 1997),

b. Barang, asumsi 8 ton sama dengan 1 kendaraan truk sedang dengan nilai emp = 4,2 (daerah luar kota dengan gradien 5%) dan nilai k = 0,11 (jalan luar kota, dalam MKJI 1997).

(24)

Tabel IV.14 Total Bangkitan Penumpang dan Barang (smp/jam) Total Bangkitan Pergerakan (smp/jam)

No. Nama Zona

2006 2007 2008 2009 2010 2011 1 Aceh Singkil 127 127 128 128 128 129 2 Aceh Selatan 147 148 149 149 150 151 3 Aceh Tenggara 117 118 118 118 118 119 4 Aceh Timur 191 192 193 194 195 197 5 Aceh Tengah 172 173 175 176 177 178 6 Aceh Barat 131 132 132 133 133 134 7 Aceh Besar 170 171 172 173 175 176 8 Pidie 178 179 181 182 184 186 9 Bireun 209 211 213 215 217 219 10 Aceh Utara 347 351 355 358 362 366

11 Aceh Barat Daya 146 147 148 149 150 151

12 Gayo Lues 111 111 111 111 111 112 13 Aceh Tamiang 142 143 143 144 145 146 14 Nagan Raya 124 125 125 125 126 126 15 Aceh Jaya 135 136 136 136 137 137 16 Banda Aceh 441 449 457 466 475 483 17 Langsa 216 218 221 223 226 229 18 Lhokseumawe 344 347 350 353 357 360 19 Bener Meriah 315 320 326 331 337 342 20 Simeulue 135 135 135 135 135 136 21 Sabang 127 127 127 127 128 128 22 Medan 2,165 2,344 2,540 2,755 2,990 3,248

Sumber: Hasil Analisis

Tabel IV.15 Total Tarikan Penumpang dan Barang (smp/jam) Total Tarikan Pergerakan (smp/jam)

No. Nama Zona

2006 2007 2008 2009 2010 2011 1 Aceh Singkil 194 198 202 206 211 216 2 Aceh Selatan 210 214 218 223 228 234 3 Aceh Tenggara 191 195 198 203 207 212 4 Aceh Timur 252 257 263 269 276 282 5 Aceh Tengah 221 226 231 236 242 247 6 Aceh Barat 198 202 206 210 215 220 7 Aceh Besar 234 239 244 250 256 262 8 Pidie 250 255 261 268 274 281 9 Bireun 254 260 267 273 280 287 10 Aceh Utara 355 364 373 382 392 403

11 Aceh Barat Daya 199 203 208 212 217 222

12 Gayo Lues 177 181 184 188 192 196

13 Aceh Tamiang 210 214 219 223 229 234

14 Nagan Raya 190 193 197 201 206 210

(25)

Total Tarikan Pergerakan (smp/jam)

No. Nama Zona

2006 2007 2008 2009 2010 2011 16 Banda Aceh 340 350 360 372 383 396 17 Langsa 234 239 245 251 258 264 18 Lhokseumawe 328 335 343 351 360 369 19 Bener Meriah 272 280 287 295 304 313 20 Simeulue 196 200 204 208 212 217 21 Sabang 186 190 193 197 201 205 22 Medan 1,305 1,410 1,527 1,657 1,802 1,964

Sumber: Hasil Analisis

IV.5.4 Penentuan Matriks Asal Tujuan (MAT)

Bangkitan pergerakan memperlihatkan banyaknya lalulintas yang dibangkitkan oleh setiap tata guna lahan, sedangkan sebaran perjalanan/pergerakan menunjukkan ke mana dan dari mana lalulintas tersebut. Dibentuknya Matriks Asal-Tujuan (MAT) adalah cara yang sering digunakan oleh perencana untuk menggambarkan pola pergerakan tersebut.

Matriks Asal Tujuan (MAT) dibentuk dari matriks biaya dan besarnya bangkitan/tarikan (Tabel IV.14 dan Tabel IV.15) dari tiap zona dengan menggunakan model gravity (GR). Matriks biaya dalam hal ini yang digunakan adalah jarak antar pusat zona. Penggunaan variabel jarak adalah sesuai dengan studi Isya et al. (2006). Pada Tabel IV.16 disajikan matriks jarak yang digunakan sebagai fungsi hambatan. Jarak tersebut merupakan jarak antar pusat zona dengan perjalanan darat jalan raya. Analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer C++.

MAT Tahun Dasar 2007 diperoleh dengan menggunakan “Prior Matrix” hasil sebaran pergerakan bangkitan tarikan dengan metoda gravity yang kemudian dikalibrasi dengan data volume lalu lintas Tahun 2007 hasil survey sehingga diperoleh hasil berupa “Up To Date MAT”. Proses estimasi MAT dengan data arus lalu lintas disebut dengan proses ME2 (Matrix Estimation from Maximum Entropy) yang telah tersedia dalam software SATURN.

(26)

Tabel IV.16 Matriks Jarak Antar Zona (Km)

Nama & No. Zona 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

Banda Aceh 1 0 52 112 218 274 305 392 436 470 315 319 578 472 125 244 300 389 449 673 434 42 647 Aceh Besar 2 52 0 80 186 242 273 360 404 438 283 287 556 450 177 296 352 441 501 725 486 94 615 Pidie 3 112 80 0 106 162 193 311 355 389 203 207 476 370 237 356 412 501 561 661 546 154 566 Bireuen 4 218 186 106 0 56 87 205 249 283 97 101 370 264 343 462 518 650 590 555 652 260 460 Lhokseumawe 5 274 242 162 56 0 31 149 193 227 153 157 426 320 399 518 574 594 534 499 708 316 404 Aceh Utara 6 305 273 193 87 31 0 118 162 196 294 298 567 461 395 514 570 594 536 468 704 347 373 Aceh Timur 7 392 360 311 205 149 118 0 44 78 302 306 575 469 491 636 692 624 564 529 826 434 255 Langsa 8 436 404 355 249 193 162 44 0 34 346 350 619 513 561 677 647 532 472 367 867 478 211 Aceh Tamiang 9 470 438 389 283 227 196 78 34 0 380 384 653 547 530 573 543 428 368 333 763 512 177 Bener Meriah 10 315 283 203 97 153 294 302 346 380 0 20 289 183 440 559 615 704 687 652 749 357 557 Aceh Tengah 11 319 287 207 101 157 298 306 350 384 20 0 269 163 409 528 584 673 691 656 718 361 496 Aceh Tenggara 12 578 556 476 370 426 567 575 619 653 289 269 0 106 598 509 479 363 303 268 699 620 227 Gayo Lues 13 472 450 370 264 320 461 469 513 547 183 163 106 0 572 614 584 469 409 374 538 514 333 Aceh Jaya 14 125 177 237 343 399 395 491 561 530 440 409 598 572 0 119 175 264 324 514 309 167 917 Aceh Barat 15 244 296 356 462 518 514 636 677 573 559 528 509 614 119 0 56 145 205 395 190 286 798 Nagan Raya 16 300 352 412 518 574 570 692 647 543 615 584 479 584 175 56 0 83 143 333 246 342 736 A Barat Daya 17 389 441 501 650 594 594 624 532 428 704 673 363 469 264 145 83 0 60 310 189 431 713 Aceh Selatan 18 449 501 561 590 534 534 564 472 368 687 691 303 409 324 205 143 60 0 190 129 491 593 Aceh Singkil 19 673 725 661 555 499 468 529 367 333 652 656 268 374 514 395 333 310 190 0 319 715 403 Simeulue 20 434 486 546 652 708 704 826 867 763 749 718 699 538 309 190 246 189 129 319 0 476 722 Sabang 21 42 94 154 260 316 347 434 478 512 357 361 620 514 167 286 342 431 491 715 476 0 689 Medan 22 647 615 566 460 404 373 255 211 177 557 496 227 333 917 798 736 713 593 403 722 689 0

(27)

Zona Banda

Aceh Aceh Besar Pidie Bireun

Lhokseu mawe Aceh Utara Aceh Timur Langsa Aceh Tamiang Gayo Lues Aceh Tenggara Aceh Selatan Aceh Singkil Aceh Barat Daya Aceh Barat Nagan Raya Aceh Jaya Aceh Tengah Bener

Meriah Simeulue Sabang Medan

Banda Aceh 0 97 49 14 8 11 7 3 4 7 5 7 6 8 16 11 46 7 6 12 97 12 Aceh Besar 66 0 30 7 4 5 3 1 2 3 2 2 2 2 4 3 10 3 2 4 11 5 Pidie 30 27 0 22 9 11 5 2 3 5 3 3 3 3 5 4 9 7 6 4 8 8 Bireun 9 6 22 0 35 27 8 3 3 7 4 2 3 1 3 2 4 16 13 3 3 8 Lhokseumawe 6 4 12 42 0 121 12 4 5 5 3 2 4 2 2 2 3 8 7 2 2 10 Aceh Utara 8 5 13 33 120 0 25 8 8 4 3 3 6 2 3 2 5 5 4 3 3 16 Aceh Timur 5 3 6 8 10 21 0 48 27 3 2 2 4 2 2 2 3 4 3 2 2 24 Langsa 2 1 2 3 3 6 43 0 43 1 1 2 4 1 1 1 1 1 1 1 1 15 Aceh Tamiang 2 1 3 3 3 6 25 45 0 1 1 3 6 2 1 1 2 2 1 2 1 26 Gayo Lues 3 2 4 5 3 3 3 1 1 0 28 4 7 3 2 2 2 9 6 4 1 15 Aceh Tenggara 3 1 3 3 2 2 1 1 1 30 0 6 12 4 3 3 2 4 3 3 1 27 Aceh Selatan 3 1 2 1 1 2 2 1 2 3 5 0 15 44 8 12 4 1 1 25 1 5 Aceh Singkil 3 2 3 3 3 4 4 3 5 7 11 18 0 8 6 7 4 2 1 14 1 18

Aceh Barat Daya 3 1 2 1 1 1 1 1 1 2 3 42 6 0 11 23 5 1 1 13 1 3

Aceh Barat 7 3 3 2 1 2 1 1 1 2 2 8 5 12 0 46 18 1 1 14 2 3 Nagan Raya 4 2 2 1 1 1 1 1 1 2 2 12 6 24 44 0 9 1 1 9 1 3 Aceh Jaya 24 8 8 4 2 4 3 1 2 3 2 5 5 7 22 12 0 2 2 9 6 4 Aceh Tengah 3 2 6 12 5 3 3 1 1 9 4 1 2 1 1 1 2 0 88 2 1 5 Bener Meriah 3 2 4 10 4 2 2 1 1 6 3 1 1 1 1 1 1 84 0 1 1 3 Simeulue 5 2 3 2 1 2 2 1 1 4 2 27 12 14 14 9 8 1 1 0 2 7 Sabang 66 11 8 3 2 2 2 1 1 2 1 2 2 2 3 2 8 2 1 3 0 3 Medan 15 9 15 16 15 26 46 32 54 37 64 15 44 10 9 9 8 12 8 18 5 0

Metode yang digunakan dalam analisis MAT adalah metode Gravity Model jenis dua batasan seperti yang telah disampaikan pada bagian II.4.4.5 tentang Gravity Model. Hasil analisis untuk satu tahun tinjauan seperti yang dapat dilihat pada

Tabel IV.17 disajikan MAT tahun 2007.

Tabel IV.17 Matriks Asal Tujuan (smp/jam) tahun 2007

Selengkapnya MAT tiap tahun tinjauan ditampilkan pada Lampiran E.

IV.5.5 Kinerja Jaringan Jalan

Garis keinginan (desire line) menggambarkan besarnya pergerakan antar zona di wilayah kajian. Garis keinginan merupakan bentuk grafis dari MAT. Nama ini diberikan karena pola pergerakan selain mempunyai dimensi jumlah pergerakan, juga mempunyai dimensi ruang yang lebih mudah digambarkan secara grafis.

Dari matriks asal tujuan (MAT) dapat diketahui arus pergerakan antar zona tetapi tidak diketahui gambaran arahan atau orientasi pergerakan tersebut. Hal ini dapat diatasi dengan bantuan garis keinginan (desire line) yang menunjukkan gambaran pergerakan yang terjadi, meskipun ada juga kelemahannya berupa tidak tepatnya informasi arus pergerakan (besar arus pergerakan dinyatakan dengan tebal garis keinginan). Garis keinginan (desire line) dan demand flow untuk dua tahun tinjauan di wilayah kajian disajikan pada Gambar IV.10 dan IV.11.

(28)

200

0 Keterangan gambar (smp/jam)

100

Gambar IV.10 Desire Line Tahun 2007

(Peta Dasar Dinas Praswil NAD (2005))

Gambar IV.11 Demand Flow Tahun 2007

(Peta Dasar Dinas Praswil NAD (2005))

3.000

1.500 0 Keterangan gambar (smp/jam)

(29)

Pada tiap tahun kajian akan dilakukan analisis kinerja operasional sistem jaringan jalan hasil simulasi pembebanan lalu lintas. Kinerja operasional sistem jaringan jalan yang perlu dilihat dalam penelitian ini adalah degree of saturated atau V/C Ratio (perbandingan Volume dengan Kapasitas), kecepatan pada ruas jalan, serta parameter International Roughness Index (IRI) dalam menentukan kondisi konstruksi jalan. Analisis kapasitas dapat dilihat pada Lampiran F dan Kinerja jaringan pada Lampiran G. Sebagai contoh hasil analisis kinerja jaringan seperti yang dapat dilihat pada Tabel IV.18.

Tabel IV.18 Kinerja Jaringan Jalan Tahun 2007

Tahun 2007

No Nama Ruas

Kec (Km/jam) VCR IRI Akhir

1 Banda Aceh-Indrapuri 31.80 0.46 2.73 2 Indrapuri-Seulimeun 22.89 0.46 2.86 3 Seulimum-Padangtiji 23.60 0.42 2.83 4 Seulimum-Padangtiji 22.84 0.49 3.48 5 Seulimum-Padangtiji 22.84 0.49 4.09 6 Padangtiji-Sigli 22.79 0.50 3.98 7 Padangtiji-Sigli 22.81 0.49 3.06 8 Sigli-Beureunuen 22.12 0.58 3.07 9 Beureunuen-Uleglee 23.77 0.39 3.30 10 Uleglee-Bireuen 23.26 0.35 3.23 11 Bireuen-Geurugok 23.83 0.49 2.98 12 Geurugok-Kruenggeukuh 23.83 0.49 3.28 13 Kruenggeukuh-Lhokseumawe 24.87 0.41 3.15 14 Lhokseumawe-Bayu 26.04 0.24 4.18 15 Bayu-Blangjuron 24.40 0.43 2.53 16 Blangjruen-Pantonlabu 24.15 0.39 2.71 17 Pantonlabu-Peureulak 24.15 0.39 3.37 18 Pereulak-Bayeun 24.35 0.47 2.87 19 Bayeun-Langsa 22.53 0.44 3.37 20 Langsa-Tualangcut 24.65 0.19 3.38

Sumber: Hasil Analisis

IV.6 Penilaian Kriteria

Kriteria prioritasi program penanganan jaringan jalan dapat dispesifikasi dari sasaran penyelenggaraan jaringan jalan. Adapun peranan jalan seperti dalam amanat UU No. 38 Tahun 2004, disampaikan bahwa: “jalan mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan serta

(30)

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Selain itu disampaikan juga bahwa “jalan mempunyai peranan untuk mendorong pengembangan semua satuan wilayah pengembangan, dalam usaha mencapai tingkat perkembangan antar daerah yang semakin merata”. Tujuan tersebut dapat diekstraksi sebagai berikut, yakni: efisiensi operasi, efektifitas dorongan bagi pengembangan ekonomi, pemerataan akses, fungsi sosial, dan fungsi hankam.

Dari sasaran pengembangan sistem transportasi wilayah, sejumlah kepentingan lainnya dan batasan/hambatan dalam penyelenggaraan jaringan jalan dapat dispesifikasi menjadi sejumlah kriteria yang berkenaan dengan tujuan/sasaran pengembangan sistem jaringan jalan di Provinsi NAD, seperti yang telah disampaikan pada anak sub bab IV.3.1

Proses penilaian kinerja suatu usulan terhadap kriteria penanganan jaringan jalan dilakukan dengan memberikan skor yang dilakukan oleh pakar (expert judgement) yang berkompeten di bidang transportasi, khususnya jalan. Dalam hal ini skor diberikan dengan skala antara 0 s/d 10, di mana angka 10 diberikan untuk usulan penanganan yang mampu memenuhi syarat kriteria yang tertinggi, dan sebaliknya angka 0 diberikan untuk penilaian terendah. Sehubungan dengan adanya kriteria yang bersifat kuantitatif dan kualitatif, maka proses skoring untuk kedua jenis kriteria tersebut dibedakan. Penilaian terhadap tiap kriteria dijabarkan sebagai berikut.

A. Pengembangan Wilayah

Kriteria pengembangan wilayah terdiri dari 5 (lima) sub-kriteria, antara lain: 1. Hirarki jaringan jalan,

Hirarki ruas jalan berdasarkan fungsi (Arteri, Kolektor Primer atau Kolektor Sekunder), di mana untuk ruas hirarki arteri diberi nilai 10, ruas hirarki kolektor primer diberi nilai 8, dan ruas hirarki kolektor sekunder diberi nilai 6.

(31)

Kota dengan hirarki PKN, PKW, PKL yang dihubungkan oleh setiap ruas, di mana untuk kota hirarki PKN diberi nilai 10, kota hirarki PKW diberi nilai 8, dan kota hirarki PKL diberi nilai 6.

3. Peningkatan kawasan tertinggal,

Kawasan tertinggal di sekitar tiap ruas jalan. Ruas jalan akan memperoleh nilai 10 atau menjadi prioritas penanganan jika di sekitar ruas jalan tersebut terdapat kawasan tertinggal berdasarkan RTRW Provinsi NAD. 4. Pengembangan kawasan khusus,

Kawasan khusus di sekitar tiap ruas jalan. Ruas jalan akan memperoleh nilai 10 atau menjadi prioritas penanganan jika di sekitar ruas jalan tersebut terdapat kawasan khusus berdasarkan RTRW Provinsi NAD. Hal ini karena penanganan ruas jalan di sekitar kawasan khusus akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian daerah.

Nilai 10 diberikan untuk kawasan Kapet Bandar Aceh Darussalam, nilai 8 diberikan untuk kawasan potensi khusus, nilai 6 diberikan untuk kawasan andalan berkembang, nilai 4 diberi untuk kawasan prospektif untuk berkembang dan nilai 2 diberi untuk kawasan kritis.

5. Keterpaduan antar moda transportasi.

Simpul yang yang terkait dengan setiap ruas jalan, seperti jalan raya, jalan rel, moda udara dan moda laut. Ruas jalan yang terkait dengan simpul terbanyak akan menjadi prioritas penanganan atau diberi nilai tinggi.

B. Efisiensi Ekonomi

Kriteria efisiensi ekonomi terdiri dari 3 (tiga) sub-kriteria, antara lain: 1. Total biaya,

Skoring total biaya didasarkan terhadap biaya penanganan setiap ruas jalan. Ruas jalan dengan biaya penanganan yang kecil akan menjadi prioritas. Hal ini didasarkan terhadap keterbatasan dana yang tersedia.

(32)

2. Kelayakan ekonomi,

Kelayakan ekonomi didasarkan terhadap besarnya potensi wilayah dan jumlah penduduk yang dianggap menjadi faktor yang mempengaruhi perubahan perekonomian wilayah dengan adanya penanganan ruas jalan. 3. Penghematan BOK.

Skoring sub-kriteria ini didasarkan terhadap besarnya penghematan biaya operasional kendaraan (BOK) di tiap ruas jalan tanpa dan dengan adanya penanganan.

C. Peningkatan Layanan Transportasi

Kriteria peningkatan layanan transportasi terdiri dari 4 (empat) sub-kriteria, antara lain:

1. Indeks aksesibilitas,

Sumbangan ruas jalan bagi mobilitas penduduk di kabupaten/kota yang dilalui oleh masing-masing ruas jalan diperoleh dari besarnya indeks mobilitas ruas jalan terhadap indeks mobilitas wilayah dimana ruas jalan tersebut berada.

2. Indeks mobilitas,

Sumbangan ruas jalan bagi aksesibilitas penduduk di kabupaten/kota yang dilalui oleh masing-masing ruas jalan diperoleh dari besarnya indeks aksesibilitas ruas jalan terhadap indeks aksesibilitas wilayah dimana ruas jalan tersebut berada.

3. Tingkat kinerja lalu lintas (Volume/Capacity),

Ruas jalan dengan tingkat kinerja yang rendah yang digambarkan dengan nilai VCR yang tinggi, akan menjadi prioritas penanganan.

4. Kondisi kerusakan jalan (International Roughness Index (IRI)).

Ruas jalan dengan kondisi kerusakan jalan rusak berat yang digambarkan dengan nilai IRI yang tinggi, akan menjadi prioritas penanganan.

(33)

D. Lingkungan dan Sosial Berkelanjutan

Kriteria lingkungan dan sosial berkelanjutan terdiri dari 4 (empat) sub-kriteria, antara lain:

1. Dampak kelestarian lingkungan,

Dampak terhadap kelestarian lingkungan didasarkan terhadap keberadaan kawasan lindung di wilayah Provinsi NAD.

2. Dampak terhadap ganti rugi,

Dampak terhadap ganti rugi didasarkan terhadap harga satuan pekerjaan di setiap wilayah dimana ruas jalan tersebut berada.

3. Penciptaan lapangan kerja.

Skoring dalam hal penciptaan lapangan kerja didasarkan pada jumlah tenaga kerja di wilayah dimana ruas jalan tersebut berada. Penanganan ruas jalan diharapkan akan membuka lapangan pekerjaan.

Hasil skoring kriteria untuk masing-masing ruas jalan dapat dilihat pada bagian

Lampiran H.

IV.7 Penyusunan Prioritas Penanganan Jalan

Pada bagian ini akan disampaikan mengenai proses dan hasil prioritasi kegiatan penanganan jalan di wilayah studi. Proses prioritasi dilakukan dengan alat bantu metoda Analisis Multi Kriteria (AMK). Prioritas penanganan jalan tersebut ditinjau dengan 2 (dua) skenario kriteria penanganan, yakni:

a. Metoda top-down, yaitu metoda penentuan prioritas penanganan jalan berdasarkan masukan dan rencana atau kriteria dari pengambil keputusan

dengan kriteria seperti yang telah disampaikan pada bagian IV.3.1.

b. Metoda kombinasi bottom-up dengan top-down, yaitu metoda penentuan prioritas penanganan jalan berdasarkan masukan dan rencana atau kriteria

gabungan dari pengambil keputusan dan stakeholders, seperti yang telah disampaikan juga pada bagian IV.3.1.

(34)

Terdapat dua hal penting dalam penentuan rangking prioritas, pertama bobot kriteria dan kedua adalah skoring ruas jalan untuk kriteria yang ditinjau. Dasar penetapan skoring, seperti yang dikemukakan Nazir (2005). Metode analisis perangkingan dilakukan berdasarkan metode analisis perangkingan yang disampaikan pada sub-bab III.10. bagian penentuan prioritas penanganan jalan.

Kenyataannya permasalahan keterbatasan biaya penyelenggaraan pembinaan jalan menyebabkan tidak semua ruas dapat tertangani sesuai dengan kebutuhan penanganan. Untuk itu dalam dalam analisis ini dilakukan tinjauan untuk dua skenario pembiayaan. Skenario tersebut adalah:

a. Skenario 1, yaitu 100% total biaya penanganan jalan tersedia. Dengan skenario ini semua jalan akan dapat tertangani setiap tahunnya.

b. Skenario 2, yaitu hanya 50% dari total biaya penanganan jalan tersedia. Dengan skenario ini hanya sebagian jalan yang tertangani sesuai urutan prioritas penanganan. Sisanya menjadi prioritas pada tahun berikutnya.

IV.7.1 Skenario 1 Biaya Penanganan Jalan

IV.7.1.1 Metoda Top-Down

Metoda Top-Down (TD) dalam aplikasi penelitian ini adalah metoda penentuan prioritas program penanganan jalan berdasarkan kriteria teknis terukur dari kriteria Peningkatan Layanan Transportasi dengan empat sub-kriterianya. Bobot kriteria dan sub-kriteria metode TD ini merupakan hasil analisis bobot hasil wawancara dari pihak pengambil keputusan. Pada Tabel IV.19 berikut disajikan urutan prioritas penanganan ruas jalan di Provinsi NAD berdasarkan metoda TD dengan skenario 1 penanganan. Urutan prioritas dianalisis untuk semua tahun tinjauan.

(35)

Tabel IV.19 Urutan Prioritas Penanganan Jalan Dengan Metoda TD dengan Skenario 1 Biaya Penanganan Jalan

Rangking

No Nama Ruas Tahun

2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 1 Banda Aceh-Indrapuri 29 37 37 43 44 2 Indrapuri-Seulimeun 36 42 42 47 48 3 Seulimum-Padangtiji 44 43 43 53 55 4 Seulimum-Padangtiji 15 21 16 28 26 5 Seulimum-Padangtiji 16 35 31 30 27 6 Padangtiji-Sigli 18 27 25 35 30 7 Padangtiji-Sigli 35 31 27 49 51 8 Sigli-Beureunuen 21 26 24 36 36 9 Beureunuen-Uleglee 27 33 30 19 19 10 Uleglee-Bireuen 17 20 17 14 14 11 Bireuen-Geurugok 19 23 15 11 13 12 Geurugok-Kruenggeukuh 24 29 26 16 16 13 Kruenggeukuh-Lhokseumawe 40 45 45 34 29 14 Lhokseumawe-Bayu 48 53 54 45 45 15 Bayu-Blangjuron 41 14 10 26 25 16 Blangjruen-Pantonlabu 47 49 47 41 38 17 Pantonlabu-Peureulak 22 28 23 13 12 18 Pereulak-Bayeun 30 38 34 23 22 19 Bayeun-Langsa 32 40 38 22 21 20 Langsa-Tualangcut 56 56 56 52 54 21 Tualangcut-Batas Sumut 54 54 53 44 39 22 Meulaboh-Kualatuha 14 19 19 9 9 23 Kualatuha-Lamie 26 34 32 17 17 24 Lamie-Aluebili 43 46 46 33 31 25 Aluebili-Blangpidie 4 4 5 4 4 26 Blangpidie-Tapaktuan 1 1 1 1 2 27 Tapaktuan-Bakongan 9 12 8 5 5 28 Bakongan-Kruengluas 33 9 35 20 20 29 Bakongan-Kruengluas 31 11 39 18 18 30 Kruengluas-Penanggalan 13 16 12 8 8 31 Penanggalan-Batas Sumut 5 5 4 12 11 32 Seulimum-Jantho 55 57 57 51 53 33 Keumala-Tangse 46 52 51 57 59 34 Tangse-Geumpang 25 32 29 56 58 35 Angkop-Takengon 12 24 21 32 35 36 Takengon-Isak 57 47 48 54 56 37 Isak-Uwak 45 30 28 42 41 38 Uwak-Rikitgaib 42 17 13 37 37 39 Rikitgaib-Blangkejeren 50 36 33 46 47 40 Blangkejeren-Kutacane 23 13 9 15 15 41 Blangkejeren-Kutacane 37 25 22 24 24

(36)

Rangking

No Nama Ruas Tahun

2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 42 Kutacane-Batas Sumut 2 2 2 2 1 43 Bireuen-Blang Kuyu 3 3 3 3 3

44 Blang Kuyu-Sp Tiga 8 6 6 7 6

45 Sp. Tiga-Takengon 53 55 55 48 50 46 Peureulak-lokop 34 39 40 29 32 47 Lokop-Pinding 7 8 7 6 7 48 Blangkejeren-Pinding 38 41 41 31 34 49 Angkop-Simpang Kelaping 52 51 52 39 42 50 Simpang Kelaping-Beutong 49 48 49 38 40 51 Beutong-Bungangtalu 51 50 50 40 43 52 Beutong-Bungangtalu 39 44 44 25 28 53 Bungangtalu-Jeuram 10 18 14 27 33 54 Jeuram-Kualatuha 28 7 36 21 23 55 Geumpang-Tutut 6 10 18 55 57 56 Tutut-Meulaboh 20 22 20 50 52 57 Beutong-Jagong 58 58 58 60 64 58 Jagong-Isak 59 59 59 61 67 59 Banda Aceh-Ulele - - - 67 66 60 Ulele-Lhoknga - - - 65 63 61 Lhoknga-Lhong - - - 66 65 62 Lhoknga-Lhong - - - 63 61 63 Lhong-Lhokkruet - - - 62 60 64 Lhokkruet-Calang - - - 64 62 65 Calang-Meulaboh - - - 58 46 66 Calang-Meulaboh - - - 59 49 67 Tangse-Lhokkruet 11 15 11 10 10

Keterangan: ruas 59 -66 diasumsikan beroperasi kembali tahun 2010 Sumber: Hasil Analisis

IV.7.1.2 Metoda Kombinasi Top Down dan Bottom-Up

Metoda kombinasi bottom-up dan Bottom-Up adalah metoda penentuan prioritas penanganan jalan berdasarkan bobot kinerja hasil wawancara dari para PK dan SH untuk penanganan jaringan jalan di provinsi NAD. Pada Tabel IV.20 berikut disajikan urutan prioritas penanganan ruas jalan di Provinsi NAD berdasarkan metoda bottom-up, juga dianalisis untuk semua tahun tinjauan.

Tabel IV. 19 Urutan Prioritas Penanganan Jalan Dengan Metoda TD dengan Skenario 1 Biaya Penanganan Jalan (Lanjutan)

(37)

Tabel IV.20 Urutan Prioritas Penanganan Jalan Dengan Metoda TD dan BU dengan Skenario 1 Biaya Penanganan Jalan

Rangking

No Nama Ruas Tahun

2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 1 Banda Aceh-Indrapuri 15 15 15 20 20 2 Indrapuri-Seulimeun 20 23 23 28 28 3 Seulimum-Padangtiji 24 25 25 37 35 4 Seulimum-Padangtiji 26 27 27 35 33 5 Seulimum-Padangtiji 9 9 9 19 19 6 Padangtiji-Sigli 2 2 2 12 12 7 Padangtiji-Sigli 5 4 4 15 14 8 Sigli-Beureunuen 8 7 8 17 17 9 Beureunuen-Uleglee 22 22 22 21 21 10 Uleglee-Bireuen 25 24 24 23 23 11 Bireuen-Geurugok 12 11 11 8 10 12 Geurugok-Kruenggeukuh 3 3 3 2 2 13 Kruenggeukuh-Lhokseumawe 1 1 1 1 1 14 Lhokseumawe-Bayu 4 5 5 4 4 15 Bayu-Blangjuron 11 12 12 6 6 16 Blangjruen-Pantonlabu 6 8 6 5 5 17 Pantonlabu-Peureulak 10 10 10 7 8 18 Pereulak-Bayeun 16 18 20 16 15 19 Bayeun-Langsa 13 13 13 10 9 20 Langsa-Tualangcut 35 36 35 33 32 21 Tualangcut-Batas Sumut 34 34 31 30 27 22 Meulaboh-Kualatuha 17 16 19 13 13 23 Kualatuha-Lamie 30 30 30 26 25 24 Lamie-Aluebili 37 37 37 32 30 25 Aluebili-Blangpidie 18 17 18 14 16 26 Blangpidie-Tapaktuan 7 6 7 3 3 27 Tapaktuan-Bakongan 23 21 21 18 18 28 Bakongan-Kruengluas 48 51 51 51 50 29 Bakongan-Kruengluas 45 48 48 42 38 30 Kruengluas-Penanggalan 29 29 28 24 24 31 Penanggalan-Batas Sumut 21 19 16 27 26 32 Seulimum-Jantho 40 42 42 44 42 33 Keumala-Tangse 32 33 34 49 46 34 Tangse-Geumpang 31 31 32 59 58 35 Angkop-Takengon 42 43 43 36 59 36 Takengon-Isak 57 57 57 64 63 37 Isak-Uwak 52 54 54 58 57 38 Uwak-Rikitgaib 56 56 56 61 60 39 Rikitgaib-Blangkejeren 54 53 53 53 52 40 Blangkejeren-Kutacane 47 47 46 43 41

(38)

Rangking

No Nama Ruas Tahun

2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 41 Blangkejeren-Kutacane 46 49 49 50 48 42 Kutacane-Batas Sumut 19 20 17 11 7 43 Bireuen-Blang Kuyu 14 14 14 9 11

44 Blang Kuyu-Sp Tiga 33 35 36 31 31

45 Sp. Tiga-Takengon 44 46 45 46 47 46 Peureulak-lokop 28 26 26 22 22 47 Lokop-Pinding 41 39 39 34 34 48 Blangkejeren-Pinding 43 41 41 39 37 49 Angkop-Simpang Kelaping 49 45 47 41 40 50 Simpang Kelaping-Beutong 55 52 52 52 53 51 Beutong-Bungangtalu 53 50 50 47 49 52 Beutong-Bungangtalu 50 44 44 40 39 53 Bungangtalu-Jeuram 36 32 33 25 43 54 Jeuram-Kualatuha 39 38 38 29 29 55 Geumpang-Tutut 38 40 40 60 65 56 Tutut-Meulaboh 27 28 29 48 45 57 Beutong-Jagong 58 58 58 66 66 58 Jagong-Isak 59 59 59 67 67 59 Banda Aceh-Ulele - - - 54 51 60 Ulele-Lhoknga - - - 57 56 61 Lhoknga-Lhong - - - 56 55 62 Lhoknga-Lhong - - - 55 54 63 Lhong-Lhokkruet - - - 65 64 64 Lhokkruet-Calang - - - 63 62 65 Calang-Meulaboh - - - 45 44 66 Calang-Meulaboh - - - 38 36 67 Tangse-Lhokkruet 51 55 55 62 61

Sumber: Hasil Analisis

Untuk melihat perbandingan perubahan rangking antara proses TD dan kombinasi TD-BU maka dapat diplot ke dalam grafik seperti yang dapat dilihat pada

Gambar IV.13 (hanya contoh untuk tahun 2007). Terdapat perbedaan rangking untuk setiap ruas yang menandakan terjadinya perubahan skala prioritas.

Tabel IV.20 Urutan Prioritas Penanganan Jalan Dengan Metoda TD dan BU dengan Skenario 1 Biaya Penanganan Jalan (Lanjutan)

(39)

0 10 20 30 40 50 60 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Nomor ruas jalan

R

angki

n

g

TD

TD-BU

Gambar IV.12 Perbandingan prioritas penanganan antara proses TD dan gabungan TD-BU.

IV.7.2 Skenario 2 Biaya Penanganan Jalan

Skenario 2 biaya penanganan jalan adalah dilakukan dengan asumsi bahwa biaya penanganan yang dapat dialokasikan hanya 50% dari total kebutuhan biaya penanganan dalam satu tahun. Analisis perangkingan skenario 2 ini dilakukan untuk tahun tinjauan 2008 dan 2009. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel IV.21

dan analisis selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran I.

Dari Tabel IV.21 tersebut dapat dilihat bahwa, prioritas penanganan pada ruas jalan yang sama dapat dillihat perbedaannya untuk tahun yang berbeda. Perbedaan prioritas penanganan juga dapat dilihat atas dasar bobot kriteria dari pengambil keputusan (disebut dengan metode top-down) dan kombinasi pengambil keputusan dan stakeholders (disebut dengan top-down dan bottom-up).

(40)

Tabel IV.21 Urutan Prioritas Penanganan Jalan Berdasarkan Skenario 2 Biaya Penanganan dengan Metoda TD dan Kombinasi TD- BU

Top-Down Top-Down dan Bottom-Up No Nama Ruas Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2008 Tahun 2009 1 Banda Aceh-Indrapuri 37 37 15 14 2 Indrapuri-Seulimeun 42 42 24 23 3 Seulimum-Padangtiji 43 43 16 15 4 Seulimum-Padangtiji 21 16 25 22 5 Seulimum-Padangtiji 35 31 9 8 6 Padangtiji-Sigli 27 25 3 3 7 Padangtiji-Sigli 31 27 1 1 8 Sigli-Beureunuen 26 24 7 6 9 Beureunuen-Uleglee 33 30 23 24 10 Uleglee-Bireuen 20 17 26 25 11 Bireuen-Geurugok 23 15 12 11 12 Geurugok-Kruenggeukuh 29 26 4 4 13 Kruenggeukuh-Lhokseumawe 45 45 2 2 14 Lhokseumawe-Bayu 53 54 5 5 15 Bayu-Blangjuron 14 10 10 9 16 Blangjruen-Pantonlabu 49 47 8 7 17 Pantonlabu-Peureulak 28 23 11 10 18 Pereulak-Bayeun 38 34 19 18 19 Bayeun-Langsa 40 38 13 12 20 Langsa-Tualangcut 56 56 35 33 21 Tualangcut-Batas Sumut 54 53 33 30 22 Meulaboh-Kualatuha 19 19 17 20 23 Kualatuha-Lamie 34 32 30 29 24 Lamie-Aluebili 46 46 36 36 25 Aluebili-Blangpidie 4 5 18 19 26 Blangpidie-Tapaktuan 1 1 6 21 27 Tapaktuan-Bakongan 12 8 22 35 28 Bakongan-Kruengluas 9 35 47 43 29 Bakongan-Kruengluas 11 39 44 41 30 Kruengluas-Penanggalan 16 12 28 27 31 Penanggalan-Batas Sumut 5 4 20 16 32 Seulimum-Jantho 57 57 40 39 33 Keumala-Tangse 52 51 32 32 34 Tangse-Geumpang 32 29 31 31 35 Angkop-Takengon 24 21 55 55 36 Takengon-Isak 47 48 57 57 37 Isak-Uwak 30 28 53 53 38 Uwak-Rikitgaib 17 13 56 56 39 Rikitgaib-Blangkejeren 36 33 52 51 40 Blangkejeren-Kutacane 13 9 45 47 41 Blangkejeren-Kutacane 25 22 48 48 42 Kutacane-Batas Sumut 2 2 21 17 43 Bireuen-Blang Kuyu 3 3 14 13

(41)

Top-Down Top-Down dan Bottom-Up No Nama Ruas Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2008 Tahun 2009 45 Sp. Tiga-Takengon 55 55 41 42 46 Peureulak-lokop 39 40 27 26 47 Lokop-Pinding 8 7 39 38 48 Blangkejeren-Pinding 41 41 38 40 49 Angkop-Simpang Kelaping 51 52 43 45 50 Simpang Kelaping-Beutong 48 49 51 52 51 Beutong-Bungangtalu 50 50 49 49 52 Beutong-Bungangtalu 44 44 42 44 53 Bungangtalu-Jeuram 18 14 46 46 54 Jeuram-Kualatuha 7 36 37 37 55 Geumpang-Tutut 10 18 50 50 56 Tutut-Meulaboh 22 20 29 28 57 Beutong-Jagong 58 58 58 58 58 Jagong-Isak 59 59 59 59 59 Banda Aceh-Ulele - - 54 54 60 Ulele-Lhoknga - - - - 61 Lhoknga-Lhong - - - - 62 Lhoknga-Lhong - - - - 63 Lhong-Lhokkruet - - - - 64 Lhokkruet-Calang - - - - 65 Calang-Meulaboh - - - - 66 Calang-Meulaboh - - - - 67 Tangse-Lhokkruet 15 11 51 55

Sumber: Hasil Analisis

Untuk melihat perbandingan prioritas dan jenis program penanganan untuk suatu ruas jalan pada tahun tinjauan (hanya untuk tahun 2008 dan 2009) atas dasar kriteria dari pengambil keputusan (top-down) dan kriteria dari gabungan pengambil keputusan dan stakeholders (top-down dan bottom-up), dapat dilihat pada Tabel IV.22 berikut.

Tabel IV.21 Urutan Prioritas Penanganan Jalan Berdasarkan Skenario 2 Biaya Penanganan dengan Metoda TD dan Kombinasi TD- BU (Lanjutan)

(42)

Tabel IV.22 Perbandingan urutan prioritas penanganan jalan

Top-Down

Top-Down dan Bottom-Up

Penanganan 100% Penanganan 50% Penanganan 100% Penanganan 50%

No Nama Ruas Lokasi (KM) Tahun

Tinjauan Jenis PenangananRangking Jenis PenangananRangking Jenis PenangananRangking Jenis Penanganan Rangking

2008 Rutin 30 Rutin 37 Rutin 15 Rutin 15

1 Banda Aceh-Indrapuri 0+000 - 26+000

2009 Rutin 31 Rutin 37 Rutin 15 Rutin 14

2008 Rutin 44 Rutin 43 Rutin 25 Rutin 16

2 Seulimum-Padangtiji 41+000 - 57+000

2009 Rutin 44 Rutin 43 Rutin 25 Rutin 15

2008 Rutin 35 Rutin 31 Rutin 4 Rutin 1

3 Padangtiji-Sigli 105+000 - 112+000

2009 Rutin 35 Rutin 27 Rutin 4 Rutin 1

2008 Rutin 40 Rutin 45 Rutin 1 Rutin 2

4 Kruenggeukuh-Lhokseumawe 270+000 - 274+000

2009 Rutin 40 Rutin 45 Rutin 1 Rutin 2

2008 Rutin 48 Rutin 53 Rutin 5 Rutin 5

5 Lhokseumawe-Bayu 274+000 - 287+000

2009 Rutin 48 Rutin 54 Rutin 5 Rutin 5

2008 Berkala 39 Berkala 14 Berkala 12 Rutin 10

6 Bayu-Blangjuron 287+000 - 307+000

2009 Berkala 38 Berkala 10 Berkala 12 Rutin 9

2008 Rutin 56 Rutin 56 Rutin 36 Rutin 35

7 Langsa-Tualangcut 440+000 - 455+000

2009 Rutin 56 Rutin 56 Rutin 35 Rutin 33

2008 Rutin 53 Rutin 54 Rutin 34 Rutin 33

8 Tualangcut-Batas Sumut 455+000 - 491+000

2009 Rutin 50 Rutin 53 Rutin 31 Rutin 30

2008 Rutin 14 Rutin 19 Rutin 16 Rutin 17

9 Meulaboh-Kualatuha 244+000 - 262+000

2009 Rutin 14 Rutin 19 Rutin 19 Rutin 20

2008 Rutin 26 Rutin 34 Rutin 30 Rutin 30

10 Kualatuha-Lamie 262+000 - 305+000

2009 Rutin 27 Rutin 32 Rutin 30 Rutin 29

2008 Rutin 9 Rutin 12 Rutin 21 Rutin 22

11 Tapaktuan-Bakongan 449+000 - 505+000

Gambar

Tabel IV.2  Kriteria dan Sub-kriteria Penyusunan Program Penanganan Jaringan
Tabel IV.3  Bobot Kriteria Pihak Pengambil Keputusan dan Stakeholders
Gambar IV.3  Perbandingan bobot kriteria antara pengambil keputusan dan
Gambar IV.4. Dari tabel dan gambar tersebut dapat dilihat bahwa bobot tertinggi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tapi kenyataannya, beberapa makanan yang memiliki IG yang rendah atau kandungan karbohidrat yang sangat kecil ternyata dapat menyebabkan suatu respons insulin yang tinggi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan yang mendasar bagi Perguruan Tinggi dalam rangka meningkatkan tingkat pemahaman mahasiswa fakultas

Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan dalam penelitian, maka penelitan ini dilaksanakan di Kabupaten Kampar dimana titik pengambilan data penelitian tentang

Menetralkan permukaan logam untuk mencegah bahan pembersih terbawa ke dalam proses Phosphating, sebab pembersih yang bersifat basa yang terbawa oleh benda kerja akan menetralisasi

Sinarmas Multifinance Cabang Bima dan umumnya pada organisasi atau perusahan agar dapat membantu karyawan dalam mengatasi stres kerja, karena kalao karyawan mengalami

Tes KGS berbentuk tes objektif (pilihan ganda) mencakup ketiga materi percobaan, yaitu: 1) sintesis dan karakterisasi natrium tiosulfat pentahidrat, 2)

Mari kita kembali kepada Tuhan, biarlah diri kita berada dalam kuasa Yesus untuk mengalahkan iblis.. Jangan pernah menyerah terhadap iblis karena Yesuslah yang lebih

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Ada hubungan positif antara konformitas guild dengan loyalitas gamer MMORPG.” Semakin tinggi konformitas guild maka