Gambar 5.1. Diagram yang memperlihatkan strategi penanggulangan dampak negatif terhadap lingkungan di daerah PETI.
DAMPAK NEGATIF PETI
Fisik Kimia
Strategi
Rehabilitasi Dampak Kagiatan PETI danPemutusan Rantai Penegakan Hukum
Pemberdayaan
adanya peningkatan kekeruhan air, padatan tersuspensi, dan kandungan
minyak. Sebagai konsekuensi dari peningkatan unsur-unsur itu, penetrasi
cahaya yang diperlukan untuk proses fotosintesa biota air semakin
berkurang. Kondisi itu menyebabkan tingkat produktifitas perairan semakin
menurun pula. Penurunan tingkat prodktifitas akan berakibat terganggunya
keseimbangan level tropik pada daerah terdampak, sehingga kelimpahan
biota air pada wilayah itu akan menurun. Persoalan lingkungan ini perlu
mendapatkan perhatian ekstra serius dari pemerintah dalam rangka
mendapatkan pemecahan yang tepat dan komprehensif.
5.3. Rencana Mitigasi dari Dampak Lingkungan
Dengan memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan oleh PETI,
Pemerintah Kabupaten Sarolangun, dalam hal ini adalah Dinas Lingkungan
Hidup, Pertambangan dan Energi, telah berupaya melakukan berbagai
kegiatan dalam rangka menangani praktek pertambangan ilegal itu,
diantaranya adalah:
(1) menghibau para pelaku PETI untuk menghentikan kegiatannya;
(2) memantau dan mengawasi secara ketat segala jenis limbah yang
berasal dari kegiatan PETI;
(3) memantau dan melakukan pengecekan badan-badan air secara
periodik untuk memastikan tingkat pencemaran air tidak semakin
serius;
(4) merazia semua bentuk kegiatan ilegal yang mengeksploitasi SDA
secara sembarangan dan tidak peduli dengan dampak negatif
terhadap lingkungan;
(5) memberikan mata pencaharian alternatif bagi para pelaku PETI.
Terkait dengan upaya-upaya penanganan dampak negatif tersebut, maka
Tabel 5.2. Hasil analisis kualitas air sungai untuk tiga sample dari Sungai Tembesi tahun 2005
No Parameter Satuan Sampel Baku
mutu *)
2 O terlarut (DO) mg/l <0,01 <0,01 <0,01 <6
3 BOD mg/l 2 2 2 5
4 Sulfactan anion
(MBAS) mg/l 0,045 0,035 0,025 1,0
5 Minyak&lemak mg/l 11,2 8,4 14 Nihil
6 Kesadahan
(CaCO3) mg/l 24 20 18 500 **)
7 Hg mg/l <0,001 <0,001 <0,001 <0,001
8 Pb mg/l <0,01 <0,01 <0,01 0,1
9 Zn mg/l <0,01 <0,01 <0,01 5
10 Fe mg/l <0,01 <0,01 <0,01 0,1
*) Baku mutu air berdasarkan SK Gubernur Prov. Jambi No. 84 th. 1996 tentang baku mutu lingkungan daerah untuk Prov. Jambi.
**) Baku mutu air menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 907/MENKES/SK/VII/2002 tanggal 29 Juli 2002.
Perubahan kondisi lingkungan di lokasi PETI dan sekitarnya terlihat
juga pada komponen biologi. Pembersihan/pembukaan lahan telah
mengakibatkan hilangnya beberapa jenis vegetasi, dan suksesi alamiah di
daerah ini biasanya sulit terjadi. Terkait dengan kondisi ini, maka diperlukan
upaya revegetasi yang memerlukan studi lanjut guna mendapatkan jenis
tanaman yang sesuai dengan jenis lahan. Selain vegetasi, fauna yang hidup
di daerah itupun terkena dampak langsung dari kegiatan PETI, karena areal
tempat hidupnya semakin berkurang, yang berarti pula lahan tempat mencari
makan semakin menyusut. Akibat jangka panjang dari perubahan kondisi ini
tentu terkait dengan kemampuan fauna untuk mempertahankan generasi
peningkatn debu di udara, sehingga kualitas udara menurun. Kebisingan
merupakan dampak lain dari penggunaan alat-alat penambangan tersebut.
Kondisi fisika-kimia sistem hidrologi di daerah PETI merupakan komponen
lingkungan yang juga mengalami degradasi kualitasnya. Perubahan itu dapat
dilihat dari beberapa parameter fisika dan kimia air yang dianalisis dari
conto-conto air Sungai Limun di Dam Kutur (sampel 1), Sungai Batang Asai di
Desa Pulau Pandan (sampel 2), dan Sungai Batang Asai di Desa Lubuk
Sepuh (sampel 3). Analisis dilakukan pula dari conto-conto air yang diambil
dari Sungai Tembesi di Teluk Kecimbung (sampel 1), Sungai Tembesi di
Desa Panti (sampel 2), dan Sungai Tembesi di Pasar Sarolangun. Hasil
analisis sampel-sampel tersebut diperlihatkan pada Tabel 5.1 dan Tabel 5.2.
Tabel 5.1. Hasil analisis kualitas air sungai untuk tiga sample dari Sungai Limun dan Sungai Batang Asai tahun 2005.
No Parameter Satuan Sampel Baku
mutu *)
4 TDS mg/l 165,7 19,1 20,3 1000
KIMIA
1 pH (insitu) - 7,51 7,42 7,48 5-9
2 O terlarut (DO) mg/l <0,01 <0,01 <0,01 <6
3 BOD mg/l 4 3 6 5
4 Sulfactan anion
(MBAS) mg/l 0,288 0,102 0,142 1,0
5 Minyak&lemak mg/l 17,6 18,8 18 Nihil
6 Kesadahan
(CaCO3) mg/l 24 20 18 500 **)
7 Hg mg/l <0,001 <0,001 <0,001 <0,001
8 Pb mg/l <0,01 <0,01 <0,01 0,1
9 Zn mg/l <0,01 <0,01 <0,01 5
10 Fe mg/l <0,01 <0,01 <0,01 0,1
*) Baku mutu air berdasarkan SK Gubernur Prov. Jambi No. 84 th. 1996 tentang baku mutu lingkungan daerah untuk Prov. Jambi.
(4) Penanganan dan pemecahan masalah dari kegiatan pembalakan
(illegal logging) dan PETI. Dalam konteks ini, solusi yang diberikan
oleh pemerintah yaitu memberikan bimbingan dan penerangan
lepada para pelaku kegiatan ilegal akan dampak dan bahaya yang
timbal terhadap lingkungan, dan memberikan alternatif dalam
mencari sumber kehidupan.
5.2. Penilaian Dampak Lingkungan dan Sub Proyek
Beranjak dari isu pokok seperti di uraikan di atas, penilaian terhadap
dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh PETI dapat dilakukan pada setiap
komponen lingkungan, termasuk diantaranya adalah komponen sosial
ekonomi dan budaya (sosekbud), komponen kualitas udara, komponen fisika
kimia, dan komponen biologi.
Dampak sosekbud akibat PETI terlihat dengan masuknya masyarakat
pendatang di daerah PETI, sehingga kultur budaya setempat berubah.
Secara spesifik perubahan yang terjadi yaitu munculnya praktek prostitusi
dan kegiatan asusila lainnya, perjudian, dan penggunaan miras. Dalam
mensikapi isu sosial ini, kontrol dari berbagai pihak memegang peranan
penting, diantaranya lembaga adat, tokoh masyarakat, dan aparat
pemerintah. Upaya persuasif perlu juga dilakukan kepada para pelaku
penambang ilegal. Penegakkan hukum secara konsekuen dan konsisten
harus dilakukan oleh pemerintah daerah.
Dampak sosial lain yaitu hilangnya matapencaharian penduduk
setempat, terutama yang berladang/berkebun/bersawah, karena lahan
mereka dijadikan kegiatan PETI. Dalam isu ini, masyarakat memerlukan
matapencaharian alternatif untuk menopang kehidupannya, oleh karena itu
pemerintah perlu melakukan kajian ekonomis dan memfasilitasi masyarakat
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dampak negatif
praktek PETI lebih banyak dibandingkan dengan dampak positifnya. Dampak
negatif yang dimaksud antara lain:
(1) suhu tanah meningkat, sehingga terjadi penurunan fertilitas
lahan;
(2) fungsi dan bentuk lahan berubah;
(3) akumulasi senyawa beracun semakin dekat ke permukaan
tanah;
(4) populasi hama meningkat;
(5) jenis biota tertentu menjadi punah;
(6) ekosistem air/sungai semakin rusak;
(7) kualitas air secara umum menurun;
(8) limbah batu/material galian semakin menumpuk.
Dalam rangka mengantisipasi dan mengendalikan kerusakan
lingkungan yang lebih serius, pemerintah daerah telah berupaya menyusun
program-program strategis, antara lain:
(1) Peningkatan kerjasama usaha antar kelompok. Dalam program ini
pemerintah berupaya melaksanakan/mengikuti temu usaha dan
lokakarya di dalam ataupun di luar daerah, mengundang investor,
dan melakukan penyuluhan/sosialisasi kepada masyarakat dan
dunia usaha.
(2) Pamanfaatan SDA secara optimal namun seimbang dan ramah
lingkungan. Program utama di sini mencakup upaya melakukan
penyuluhan kelestarian lingkungan, peningkatan kinerja aparatur
pengelolaan SDA dan lingkungan, pengawasan dan pembinaan
terhadap industri pengelola SDA, inventarisasi perizinan dalam
pengelolaan SDA, reboisasi dan rehabilitasi lingkungan, dan
pemeliharaan lingkungan areal.
(3) Pemberhentian eksploitasi SDA ilegal. Upaya yang telah dilakukan
oleh pemerintah daerah yaitu dengan merazia kegiatan ilegal
(2) Tercemarnya air sungai dan air permukaan yang berpengaruh juga
terhadap biota air.
(3) Rusaknya ekosistem lingkungan sekitar lokasi kegiatan PETI.
Secara rinci masalah lingkungan terdampak oleh PETI dapat
dikelompokkan menjadi 6 (enam) aspek, yaitu:
(1) Ekologi. Kerusakan ekologi diakibatkan oleh terganggunya
ekosistem, kerusakan penutupan vegetasi hutan, vegetasi perdu dan
lahan terbuka, sehingga terjadi penurunan keragaman spesies flora
dan hilangnya habitat yang ada di sekitar lokasi penambangan.
Gangguan ekologis disebabkan pula oleh penggunaan merkuri/air
raksa yang tidak terkontrol, sehingga menyebabkan pencemaran
pada air dan tanah, kondisi ini berdampak pada kesehatan manusia
dan/atau makhluk hidup lainnya.
(2) Sosial Budaya. Praktek PETI membawa dampak sosial seperti
munculnya kegiatan prostitusi, perjudian, penjualan minuman keras
(miras), dan peningkatan kriminalitas.
(3) Hukum. Kegiatan PETI dapat berlangsung dan sulit dihapuskan
karena adanya oknum-oknum dari aparat Pemerintah Daerah yang
turut mendukung (backing) praktek itu. Hal ini tentu menimbulkan
masalah hukum di Kabupaten Sarolangun.
(4) Ekonomi. Pihak-pihak yang paling dirugikan oleh PETI terutama
adalah pemerintah daerah, yaitu dalam bentuk hilangnya royalti,
pajak, dan PAD. Selain itu, masyarakat setempat tidak pula
merasakan manfaat dengan kehadiran PETI.
(5) Kelembagaan. Dampak yang timbul pada lembaga yaitu
ketidakjelasan kewenangan atau tanggungjawab dalam penanganan
PETI, karena kegiatan itu bersifat ilegal.
BAB V
SAFEGUARD SOSIAL DAN LINGKUNGAN
5.1. Penilaian Lingkungan
Kabupaten Sarolangun memiliki potensi sumberdaya alam (SDA)
cukup besar, dan sumberdaya tersebut telah dikelola sejak beberapa
dasawarsa. Dalam pengelolaan SDA terlihat belum dibarengi dengan
pengelolaan dampak yang ditimbulkan secara memadai, sehingga muncul
anggapan bahwa SDA dikelola tanpa mempertimbangkan aspek etika, moral,
adat istiadat, dan azas keadilan. Sebagi konsekuensinya kegiatan eksploitasi
SDA di daerah ini belum sepenuhnya memperhatikan aspek
keberlanjutannya. Oleh karena itu, pemanfaatan SDA sering menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan.
Kerusakan lingkungan secara umum diakibatkan karena ketidak
tahuan, kealpaan, ketidak pedulian, keserakahan, dan kesalahan kebijakan
yang diterapkan dalam kegiata itu. Dalam konteks ini, kerusakan lingkungan
sudah saatnya harus ditangani secara bersama-sama, baik oleh eksekutif,
legislatif, dunia usaha, dan bahkan masyarakat luas.
Isu kritis lingkungan di Kabupaten Sarolangun adalah kerusakan
akibat aktifitas penambangan emas tanpa izin (PETI) yang mencakup luas
lahan sekitar 2.700 hektar, meliputi Kecamatan Limun, Kecamatan
Sarolangun, dan Kecamatan Bathin VIII. Para penambang tersebut dalam
menjalankan kegiatannya telah memanfaatkan air dari aliran sungai untuk
media pembuangan limbah. Di sisi lain, sungai merupakan bagian terpenting
bagi kehidupan masyarakat setempat, terutama untuk mendukung kehidupan
sehari-hari seperti mencuci, mandi, air minum, dan bahkan untuk keramba
ikan. Terkait dengan kegiatan PETI, fungsi lingkungan di sekitar kegiatan
menjadi terganggu, yaitu:
(1) berubahnya lingkungan rona awal lingkungan, berupa lubang-lubang