• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

3

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba

Domba diklasifikikasikan dalam Kingdom: Animalia; Phylum: Chordata (hewan bertulang belakang); kelas: Mamalia (menyusui); Ordo: Artiodactyla (berkuku genap); sub ordo: Ruminansia; famili: Bividae; genus: Ovis; species: Ovisaries (Hiendleder et al., 1998). Domba merupakan ternak yang pertama kali didomestikasi, dimulai dari daerah Kaspia, Iran, India, Asia Barat, Asia Tenggara, dan Eropa samapai ke Afrika (Salamena dan Fred, 2003).

Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap iklim tropis, makanan yang kualitasnya rendah, penyakit dan gangguan caplak, sumber gen yang khas, produktif dipelihara dengan biaya rendah serta dapat beranak sepanjang tahun (FAO, 2002). Jenis domba lokal yang ada di Indonesia ada tiga jenis yaitu domba ekor tipis (DET), domba ekor gemuk (DEG), dan domba Priangan atau yang dikenal dengan domba Garut. Asal usul domba ini belum diketahui dengan pasti, namun diduga berasal dari India dan domba ekor gemuk berasal dari Asia Barat (Mulyono dan Sarwono, 2004).

Domba ekor tipis merupakan domba asli Indonesia, penyebaran domba ekor tipis banyak terdapat di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Domba ekor tipis mempunyai lebar pangkal ekor kurang dari 4 cm, domba ekor sedang 4-8 cm, dan domba ekor gemuk lebih dari 8 cm. Domba ekor tipis mempunyai karakteristik reproduksi yang spesifik, yang dipengaruhi oleh gen prolifikasi dan dapat beranak sepanjang tahun, domba ini kurang produktif jika diusahakan secara komersial karena karkas yang dihasilkan sangat rendah (45%-55% dari bobot hidup) dan pertumbuhannya lambat (Rianto et al,. 2006).

Domba termasuk ternak penghasil daging yang sangat potensial. Peluang pasar untuk domba di dalam negeri sangat terbuka lebar hal ini terlihat dari permintaan akan domba cukup tinggi. Potensi pasar ini akan terus berkembang sejalan dengan pesatnya pertambahan penduduk (saat ini penduduk di Indonesia telah mencapai 225 juta orang dan diproyeksikan akan mencapai 234 juta orang pada tahun 2010), di samping itu peningkatan pendapatan, peningkatan kesadaran akan pentingnya gizi asal protein hewani, dan kesadaran masyarakat akan pentingnya

(2)

4 domba untuk meningkatkan kecerdasan balita ini berdampak pada peningkatan permintaan akan domba di dalam negeri (Hudallah, 2007).

Domba di UP3 Jonggol adalah salah satu jenis domba ekor tipis yang sudah dikenal oleh civitas akademik Fakultas Peternakan, IPB. Populasi domba di UP3 Jonggol yang digembalakan setiap hari yaitu 611 ekor (Harahap, 2008). Domba ini memiliki beberapa keunggulan diantaranya memiliki daya adaptasi dan toleransi yang cukup baik terhadap suhu yang cukup panas, sehingga berpotensi dijadikan salah satu sumber genetik untuk dikembangkan pada masa yang akan datang (Ilham, 2008). Domba ini mampu hidup di daerah yang gersang, mempunyai tubuh yang kecil sehingga disebut domba kacang atau domba jawa. Selain badannya kecil, ciri lainnya yaitu : ekor relatif kecil dan tipis, bulu badan berwarna putih, hanya kadang-kadang ada warna lain seperti belang-belang hitam di sekitar mata, hidung, atau bagian lainnya, domba betina umumnya tidak bertanduk, sedangkan domba jantan bertanduk kecil dan melingkar, berat domba jantan dewasa berkisar 30-40 kg dan berat domba betina dewasa sekitar 15-20 kg (Mulyono, 2005).

Pakan Rumput Brachiaria humidicola

Brachiaria humidicola merupakan rumput tahunan yang memiliki perkembangan vegetatif dengan stolon yang begitu cepat sehingga bila ditanam di lapang akan segera membentuk hamparan, memiliki warna bunga ungu atau ungu kecoklatan, helai daun berwarna hijau terang dan berbentuk gepeng dengan lebar 5-6 cm dan panjang 12-25 cm. Panjang malai 7-12 cm dan batang yang berkembang dapat mencapai tinggi 20-60 cm. Malai terdiri dari 3-5 tandan, dengan panjang tandan 2-5 cm. Panjang spikilet kira-kira 5 mm sedangkan panjang floret 4 mm. Daunnya tidak berbulu dan umumnya menggulung untuk menahan penguapan air (Jayadi, 1991).

Tanaman ini dapat berkembang melalui stolon yang begitu cepat tumbuh sehingga bila ditanam di lapang segera membentuk hamparan dan dapat pula diperbanyak dengan biji. Perbanyakan dengan stolon dengan panjang 1-2 m. produksi bahan kering 34.018 kg/ha. Dengan pemupukan nitrogen 452 kg/ha. Tanaman ini sangat palatabel apabila dipangkas pada waktu muda dan pada produsi maksimum palatabilitasnya menurun. Produksi biji dapat mencapai 10–50 kg/ha.

(3)

5 Gambar 1. Rumput Brachiaria humidicola di UP3J

Elia (2005) mengungkapkan bahwa penggunaan rumput kombinasi dapat meningkatkan konsumsi bahan kering, pertambahan bobot badan, kondisi fisik domba serta mengurangi nilai konversi pakan. Penggunaan rumput Brachiaria humidicola lebih baik dikombinasikan dengan rumput Brachiaria decumbens dan rumput alam untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. Komposisi nutrien rumput Brachiaria humidicola disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrien Rumput Brachiaria humidicola

KandunganNutrien (% BK) Protein kasar 7,04 Serat kasar 25,09 Lemak kasar 2,80 Abu 5,62 BETN 59,45

Hasil Analisa Laboratorium Biologi Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (2009).

Rumput Brachiaria humidicola merupakan hijauan yang palatabel dan dapat digunakan sebagai rumput potongan dan rumput penggembalaan. Rumput ini mempunyai kemampuan menekan pertumbuhan gulma, adaptif terhadap pengairan yang terbatas, toleran terhadap penggembalaan yang berat, dan masih tumbuh dengan baik pada tanah-tanah marjinal, sehingga mempunyai peranan yang cukup besar bagi pengembangan dan pengadaan hijauan di daerah tropik. Sebagai pakan ternak, rumput Brachiaria humidicola mempunyai kandungan PK 5,9%, Fosfor 0,20%, Ca 0,38% (Mansyur et al., 2005).

(4)

6

Daun Lamtoro (Leucaena leucocephala)

Leucaena leucocephala (Lamtoro) berasal dari Amerika tropis. Tanaman ini biasa ditemukan di pekarangan sebagai tanaman pagar atau peneduh, kadang tumbuh liar dan dapat ditemukan dari 1-1500 m di atas permukaan laut. Penamaan daun lamtoro juga berbeda-beda di berbagai daerah, di Sumatera dinamakan pete selona atau pete cina; di Jawa dinamakan lamtoro, metir, kemladingan, selamtara, pelending (Sunda); sedangkan di Madura dikenal sebagai kalandingan (Arif, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Januarti (2009), lamtoro memiliki kandungan protein kasar tertinggi dan serat kasar terendah dibandingkan hijauan tropis lainnya dengan kandungan nutrien yaitu protein kasar 23,69%, serat kasar 15,11%, dan lemak kasar 6,45%.

Gambar 2. Daun Leucaena leucocephala di UP3J

Daun lamtoro sebagai tanaman makanan ternak yang dapat memenuhi kebutuhan zat-zat makanan mempunyai faktor pembatas dengan adanya mimosin (Joshi, 1979). Hal ini juga ditegaskan oleh Winugroho dan Widiawati (2009) yang melaporkan bahwa senyawa sekunder utama yang ditemukan dalam daun lamtoro adalah mimosin, namun jumlahnya relatif kecil yaitu sekitar 3%-4%. Mimosin merupakan senyawa asam amino heterosiklik yang mempunyai gugus keton pada inti pirimidinnya yang bersifat racun. Mimosin sebagai faktor pembatas ini dapat mengakibatkan pertumbuhan terhambat, konsumsi rendah, dan kerontokan bulu (Moulen et al., 1979). Oleh karena itu, penggunaan daun lamtoro dalam ransum direkomendasikan tidak lebih dari 50% total ransum yang diberikan (Rohmatin, 2010).

Kandungan mineral pada daun lamtoro adalah nitrogen (N), fosfor (P), potassium (K), sulfur (S), kalsium (Ca), dan mangan (Mn) yang masing – masing 2, 0.24, 0.49 % dan 325 ppm (Jones, 1979), sedangkan menurut D’ Mello dan Fraser

(5)

7 (1981) dalam daun lamtoro tersebut juga terkandung mineral kalsium (Ca) sebesar 1,81%, fosfor (P) 0,25 %, potasium (K) 0,80 % dan magnesium (Mg) 0,51 %. Kandungan nutrien daun Leucaena leucocephala (Lamtoro) pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Nutrien Daun Leucaena leucocephala

KandunganNutrien (% BK) Protein kasar 18,88 Serat kasar 17,32 Lemak kasar 4,31 Abu 7,44 BETN 52,05

Hasil Analisa Laboratorium Biologi Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (2009).

Budisatria (1996) mengungkapkan bahwa pemberian daun lamtoro dalam bentuk segar memberikan hasil yang lebih baik pada domba dibandingkan dengan bentuk tepung daun. Makin tinggi persentase pemberian daun lamtoro segar cenderung menghasilkan pertambahan bobot badan dan konsumsi pakan yang lebih baik.

Daun Gamal (Gliricidia sepium)

Gamal (Gliricidia sepium) mempunyai nama lain di Indonesia yaitu liriksida (Jawa) dan cebreng (Sunda). Dua jenis lain dari genus ini adalah G. brennigii dan G. maculata. Gamal merupakan tanaman tahunan berbentuk pohon, tumbuh tegak dengan ukuran sedang, dan mempunyai akar yang dapat menembus tanah cukup dalam. Sebagai makanan ternak tanaman ini cukup potensial dan berkualitas baik, terutama untuk ternak ruminansia, yang didasarkan pada pertimbangan tingginya produksi hijauan yang dihasilkan dalam bentuk segar ataupun bentuk kering, dan tingginya kandungan zat-zat makanan tersebut.

Menurut Smith dan Van Houtert (2000) bahwa daun gamal mempunyai kandungan PK sekitar 23,00 %, SK 20,70 %, dan Ca 1,71 %. Kandungan nutrien daun gamal pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.

(6)

8 Tabel 3. Kandungan Nutrien Daun Gamal (Gliricidia sepium)

KandunganNutrien (% BK) Protein kasar 17,89 Serat kasar 13,39 Lemak kasar 3,62 Abu 8,14 BETN 56,96

Hasil Analisa Laboratorium Biologi Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (2009).

Di Indonesia, gamal belum populer sebagai pakan ternak. Bila dilihat dari nilai nutrisi yang dikandungnya, gamal tergolong hijauan yang baik untuk pakan ternak (Jayadi, 1991). Sutikno dan Supriyadi (1995) menyatakan bahwa bau yang ditimbulkan oleh daun gamal berasal dari senyawa coumarin, sehingga untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan pelayuan daun gamal sebelum diberikan pada ternak. Pelayuan daun gamal selama 12-24 jam sebelum pemberiannya kepada ternak dapat meningkatkan konsumsi pakan serta pertambahan bobot badan ternak dibandingkan dengan pemberian dalam bentuk segar. Pemberian suplementasi menggunakan daun gamal pada ruminansia sebesar 2% dari berat badan ternak akan meningkatkan konsumsi protein kasar dan kecernaan zat-zat makanan (Firdus, 2008).

Gambar 3. Daun Gliricidia sepium (Gamal) di UP3J

Konsentrat

Konsentrat merupakan makanan yang mengandung serat kasar rendah, tetapi mengandung protein dan energi yang tinggi, sehingga digunakan sebagai pakan sumber protein. Penggunaan konsentrat (terutama yang banyak mengandung biji-bijian) yang lebih tinggi akan mempercepat pertambahan bobot badan dan efisiensi

(7)

9 pakan. Penentuan jumlah konsentrat yang tepat merupakan salah satu cara optimasi kapasitas pencernaan untuk mendapatkan efisiensi pemanfaatan pakan yang lebih baik (Purbowati, 2001). Menurut Munier et al. (2004), pemberian pakan tambahan (konsentrat) pada domba ekor gemuk selama pengkajian memperlihatkan produktivitas yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa pemberian pakan tambahan. Pertambahan bobot badan harian dan bobot akhir lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pemberian pakan tambahan yaitu pada perlakuan pemberian pakan tambahan terjadi peningkatan bobot badan sebesar 27,3 gram dan pada perlakuan tanpa pemberian pakan tambahan terjadi penurunan bobot 12 gram.

Pemberian konsentrat dapat membantu dalam penambahan bobot badan, namun pemberian konsentrat yang terlampau banyak akan meningkatkan konsentrasi energi pakan dan dapat menurunkan tingkat konsumsi sehingga tingkat konsumsi tersebut berkurang. Tingkat energi dapat mempengaruhi bobot badan (Parakkasi, 1999). Hal ini dibuktikan oleh Purbowati (2001) dalam penelitiannya yaitu peningkatan aras konsentrat dari 60% ke 70% dan 80% meningkatkan pertambahan bobot badan harian yang dihasilkan. Peningkatan aras 60% ke 70% meningkatkan pertambahan bobot badan harian sebesar 42,19% sedangkan aras konsentrat 60% ke 80% meningkatkan pertambahan bobot badan harian sebesar 47,88%.

Konsumsi

Konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah pakan yang dimakan oleh ternak. Zat makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan baik hidup pokok maupun untuk kebutuhan produksi (Tillman et al., 1991). Salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi adalah palatabilitas. Palatabilitas dipengaruhi oleh bentuk, bau, rasa, dan tekstur yang diberikan. Bentuk bahan makanan yang mengandung serat kasar tinggi apabila diolah menjadi pellet maka dapat dikonsumsi lebih banyak daripada yang tidak diolah. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat konsumsi ransum yaitu bobot badan, keadaan ternak, tipe dan tingkat produksi serta beberapa faktor lain seperti temperatur lingkungan, kesehatan ternak dan bentuk makanan (Church, 1979). Siregar (1984) juga menambahkan bahwa jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas, dan lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara juga mempengaruhi tingkat konsumsi. Sifat fisik dan komposisi kimia pakan

(8)

10 merupakan faktor yang mempengaruhi konsumsi bahan kering untuk ruminansia (Parakkasi, 1999).

Haryanto dan Djajanegara (1993) yang mengutarakan bahwa kebutuhan bahan kering per ekor per hari untuk domba Indonesia dengan bobot 10-20 kg adalah 3,1%-4,7% dari bobot badan untuk pertambahan bobot badan harian sebesar 0-100 gram. Kearl (1982) juga menambahkan bahwa domba dengan bobot badan 10-20 kg membutuhkan konsumsi bahan kering sebesar 4,2%-7,1% dari bobot badan untuk mencapai pertambahan bobot badan sebesar 100 g/ekor/hari. Ternak yang sedang tumbuh membutuhkan tambahan zat-zat makanan terus sejalan dengan pertambahan bobot tubuh yang dicapai hingga batas umur dimana tidak terjadi lagi pertumbuhan (Siregar, 1984).

Ternak yang dimiliki Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol adalah domba lokal yang semuanya digembalakan. Padang rumput UP3J, saat ini diduga kualitas hijaunnya kurang bagus sehingga menghasilkan bobot badan domba yang tidak sesuai permintaan pasar. Pemeliharaan domba dengan diberikan rumput saja, yang kualitas dan jumlahnya tidak mencukupi mengakibatkan performa dan pertumbuhan domba kurang baik. Untuk mengatasi hal tersebut perlu diberikan pakan tambahan seperti legum yang memiliki kandungan protein cukup tinggi sehingga dapat meningkatkan bobot badan domba dengan tetap mempertahankan produk domba organik (Jarmuji, 2008).

Pertumbuhan

Pertumbuhan merupakan suatu yang meliputi peningkatan ukuran sel-sel tubuh. Pertumbuhan tersebut mencakup tiga komponen utama yaitu peningkatan bobot otot, ukuran skeleton dan jaringan lemak tubuh (Rose, 1997). Menurut McDonald et al. (2002), pertumbuhan ternak ditandai dengan peningkatan ukuran, bobot, dan adanya perkembangan. Pengukuran bobot badan sangat berguna untuk menentukan tingkat konsumsi, efisiensi pakan, dan harga pakan. Laju pertumbuhan adalah rataan pertambahan bobot per satuan waktu. Pertambahan bobot badan ternak dapat digunakan untuk mengontrol kecepatan pertumbuhan.

Pertambahan bobot badan harian ternak jantan lebih tinggi dibandingkan dengan betina dikarenakan ternak jantan lebih efisien dalam mengubah makanan menjadi bobot tubuh dibandingkan ternak betina. Untuk mencapai bobot potong yang

(9)

11 sama ternak betina membutuhkan waktu dan makanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ternak jantan. Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain total protein yang diperoleh setiap harinya, jenis ternak, umur, keadaan genetik, lingkungan kondisi setiap individu dan manajemen tata laksana (NRC, 2006).

Tillman et al. (1991) menyatakan bahwa pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran kenaikan bobot badan yang dilakukan dengan penimbangan berulang-ulang dan diketengahkan dengan pertambahan bobot badan tiap hari, tiap minggu, atau tiap waktu lainnya. Pertumbuhan mempunyai beberapa tahap yaitu tahap cepat dan lambat. Tahap cepat terjadi pada saat pubertas dan tahap lambat terjadi pada saat kedewasaan tubuh telah tercapai. Kurva pertumbuhan domba dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Rataan Bentuk Sigmoid Simulasi Umur terhadap Bobot Badan Domba Genotipe Sumatra

Sumber: Suparyanto (1999)

Pertumbuhan umumnya diukur dengan berat badan dan tinggi, tetapi ukuran ini tidak memperlihatkan banyak perubahan selama tumbuh kembang. Pertumbuhan sebagian berlangsung sebelum lahir kemudian dilanjutkan dengan pertumbuhan setelah lahir. Derajat pertumbuhan setelah lahir akan cepat apabila kondisi lingkungannya baik, yaitu pakan yang tercukupi dan bebas dari penyakit. Domba muda mencapai 75% bobot dewasanya pada umur satu tahun dan 25% lagi pada enam bulan kemudian (umur 18 bulan), dengan pakan yang sesuai dengan kebutuhan. Pada tahun pertama, pertumbuhan sangat cepat terutama beberapa bulan setelah lahir, 50% bobot pada umur satu tahun dicapai pada tiga bulan pertama, 25%

(10)

12 lagi pada tiga bulan kedua, dan 25% lagi dicapai pada enam bulan terakhir (Herman, 2003). Smith dan Soesanto (1988) menambahkan, bobot lahir domba berkisar antara satu hingga lima kilogram, dan bobot dewasanya berkisar antara 20 kg-100 kg, tingkat pertumbuhan domba berkisar antara 20 hingga 200 gram per hari.

Pertumbuhan pada domba dipengaruhi dari apa yang dikonsumsi oleh domba tersebut. Syamsu (2003) menyimpulkan bahwa pemberian legum dapat memberikan pengaruh positif yang juga sejalan dengan meningkatnya palatabilitas ransum sehingga konsumsi pakan meningkat yang juga sejalan dengan meningkatnya konsumsi protein. Legum pohon seperti gamal dan lamtoro merupakan salah satu hijauan pakan yang memiliki kandungan protein kasar yang cukup baik. Dengan demikian, penggunaan legum tersebut dapat meningkatkan konsumsi protein pada ternak sehingga dapat meningkatkan produktivitas ternak domba (Winugroho dan Widiawati, 2009).

Efisiensi Pakan

Efisiensi pakan adalah perbandingan antara pertambahan bobot badan yang dihasilkan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Card dan Nesheim (1972) menyatakan bahwa nilai efisiensi penggunaan pakan menunjukkan banyaknya pertambahan bobot badan yang dihasilkan dari satu kilogram pakan. Efisiensi pakan merupakan kebalikan dari konversi pakan, semakin tinggi nilai efisiensi pakan maka jumlah pakan yang diperlukan untuk menghasilkan satu kilogram daging semakin sedikit. Lemak dan energi dalam ransum dapat memperbaiki efisiensi pakan karena semakin tinggi kadar lemak dan energi dalam ransum menyebabkan ternak mengkonsumsi pakan lebih sedikit tetapi menghasilkan pertambahan bobot badan yang tinggi.

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa penambahan protein dalam ransum dapat meningkatkan pertambahan bobot badan sedangkan pertambahan serat kasar dalam ransum akan menurunkan bobot badan. Efisiensi pakan dapat ditingkatkan dengan menambahkan lemak pada ransum tetapi akan berakibat penurunan konsumsi pakan. Penambahan lemak dalam ransum dapat meningkatkan efisiensi karena lemak dalam ransum tersebut akan dideposisi dalam tubuh sehingga akan meningkatkan bobot badan. Bentuk fisik pakan juga berpengaruh terhadap efisiensi, rumput yang dipotong-potong atau memiliki ukuran lebih pendek akan lebih efisien dibandingkan

(11)

13 dengan rumput yang lebih panjang (Freer dan Dove, 2002). Forbes (2007) menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi efisiensi pakan diantaranya adalah laju perjalanan pakan dalam saluran pencernaan, bentuk fisik bahan makanan, dan komposisi zat makanan pakan. Hasil penelitian Mulyaningsih (2006) menunjukkan bahwa efisiensi domba lokal dalam penelitiannya berkisar antara 0,04 sampai 0,17. Domba di UP3 Jonggol yang dikandangkan dengan pakan kombinasi rumput Brachiaria humidicola dapat mencapai angka efisiensi pakan sebesar 0,03 hingga 0,04 (Elia, 2005).

Income Over Feed Cost

Income Over Feed Cost (IOFC) merupakan salah satu cara dalam menentukan indikator keuntungan ekonomis dalam usaha peternakan. IOFC biasa digunakan untuk mengukur performa pada program pemberian pakan. Pendapatan didapat dari perkalian pertambahan bobot badan dengan harga jual ternak dalam bobot hidup, sedangkan biaya pakan adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan pertambahan bobot badan tersebut (Hermanto, 1996).

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perhitungan IOFC antara lain pertambahan bobot badan, konsumsi pakan, dan harga pakan pada saat pemeliharaan. Pertambahan bobot yang tinggi belum menjamin akan mendapatkan keuntungan maksimum, akan tetapi pertumbuhan yang baik dengan konversi pakan yang baik serta biaya pakan yang rendah akan mendapatkan keuntungan maksimum (Setyono, 2006). Kualitas pakan yang baik pun belum dapat menjamin keuntungan maksimum. Haryanto (1992) mengungkapkan bahwa semakin tinggi kualitas pakan dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan zat-zat makanan meskipun belum tentu efisien secara ekonomis.

Gambar

Tabel 1. Kandungan Nutrien Rumput Brachiaria humidicola
Tabel 2. Kandungan Nutrien Daun Leucaena leucocephala
Gambar 3. Daun Gliricidia sepium (Gamal) di UP3J

Referensi

Dokumen terkait

Tindakan pemberian terapi akupuntur efektif dalam menurunkan nyeri lutut pada pasien dengan osteoartritis, dengan rata-rata skala nyeri sebelum diberikan terapi

Pada beberapa sungai besar yang berada di zona peman- faatan (Kali Sanen, Bandealit dan Suka- made) pada bulan Agustus menunjukkan kondisi aliran masih kontinyu dan keada- an

Kesimpulan dari penelitian ini dapat dirumuskan bahwa, mekanisme pemisahan emas dengan metode agregasi hidrofobik yang dimulai dari sistem larutan terdiri atas empat tahap yaitu:

Gambar 5 adalah grafik Sum Square Error (SSE) proses learning Jaringan saraf tiruan (JST) yang digunakan pada sistem ini menggunakan jenis multi layer perceptron.. Lapisan

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, khususnya di Kantor Kepolisian Resort Kota Besar Makassar, dengan menggunakan metode kepustakaan

Sama halnya seperti yang terjadi kepada keseluruhan informan, walaupun mereka menyaksikan sinetron dengan adegan yang sama, yaitu aksi-aksi yang terkesan negatif

Deskripsi : Ular berukuran sedang dengan bentuk tubuh yang ramping, tubuhnya berwarna merah atau merah kecoklatan dengan bintik-bintik hitam pada bagian dorsal, kepala

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia, segala nikmat, dan kekuatan sehingga Penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi)