• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

4.1 Kondisi Geografis

4.1.1 Konteks Kabupaten Raja Ampat

Kabupaten Raja Ampat terletak pada posisi di bawah garis khatulistiwa, antara 0” 14’ s dan 130” 31’ e. Dengan posisi di bawah garis khatulistiwa, suhu udara minimum sekitar 24°C, dan suhu udara maksimum sekitar 32,4°C (catatan Badan Meteorologi dan Geofisika stasion DEO Raja Ampat dikutip BPS Raja Ampat 2010). Sedangkan kelembaban udara rata-rata tercatat 85 persen dengan curah hujan tercatat 2458,9 milimeter dan cukup merata sepanjang tahun. Kepulauan ini berada dibagian paling barat pulau induk Papua, Indonesia dan membentang di area seluas kurang lebih 4,6 juta ha. Batas-batas geografis Kabupaten Raja Ampat adalah sebagai berikut :

Sebelah barat : Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara Sebelah utara : Republik Federal Palau, Samudra Pasifik

Sebelah timur : Kota Sorong, Kabupaten Sorong

Sebelah selatan : Kabupaten Seram Utara, Provinsi Maluku

Raja Ampat dideklarasikan sebagai Kabupaten baru pada tanggal 3 Mei Tahun 2002 berdasarkan UU No. 26 tentang pembentukan Kabupaten Sarmi, Kabupaten Kerom, Kabupaten Sorong Selatan, dan Kabupaten Raja Ampat. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong dan termasuk salah satu dari 14 kabupaten baru di tanah Papua. Kabupaten Raja Ampat terdiri dari empat pulau besar yaitu Waigeo, Misool, Salawati, dan Batanta, serta 600 pulau-pulau kecil. Selain itu, Kabupaten ini terbagi menjadi 17 distrik dengan total luas wilayah adalah 6.084,50 km persegi1. Pusat pemerintahan berada di Waisai, Distrik Waigeo Selatan, sekitar 36 mil dari kota Sorong, dan baru berlangsung efektif pada tanggal 16 September 2005 (Pemda Raja Ampat 2009).

1

(2)

Tabel 4 dibawah ini menggambarkan luas wilayah Kabupaten Raja Ampat menurut distrik.

Tabel 4. Luas dan Persentase Wilayah Kabupaten Raja Ampat menurut Distrik

Distrik Luas / area (km²) Persentase (%)

Misool 318, 71 5,24 Kofiau 639,97 10,52 Misool Timur 403,14 6,63 Kep. Sembilan 123,95 2,04 Waigeo Selatan 275,87 4,55 Teluk Mayalibit 207,40 3,41 Waigeo Timur 122,19 2,01 Meosmansar 169,70 2,79 Waigeo Barat 1264,58 20,78 Waigeo Barat Kepulauan 711,32 11,69 Waigeo Utara 120,10 1,97 Warwabomi 46,70 0,77 Kepulauan Ayau 256,75 4,22 Misool Selatan 469,11 7,71 Misool Barat 203,11 3,34 Salawati Utara 405,49 6,66 Selat Sangawin 345,41 5,68 Jumlah/total 6.084,50 100,00

Sumber : BPS Kabupaten Raja Ampat (2010)

4.1.2 Konteks Kampung

Kampung Saporkren merupakan salah satu kampung yang terletak di Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat dengan luas wilayah ± 32 Ha. Bentuk topografi daratan pulau berbukit dengan ketinggian 20m hingga 30m dari permukaan laut sedangkan tekstur pulaunya berpasir. Kampung Saporkren dapat dijangkau dari pusat pemerintahan yaitu Waisai dengan perahu bermotor tempel 15 pk selama satu jam dengan jarak enam mil, dan jika dijangkau

(3)

menggunakan perahu bermesin katinting2 dapat ditempuh dalam waktu dua jam. Kondisi kampung ini didominasi oleh sumberdaya laut dan sumberdaya hutan. Sebelah selatan kampung terdapat laut dan sebelah utara terdapat pegunungan yang dijadikan masyarakat sebagai lahan perkebunan. Ekosistem daratan dan lautan keduanya saling mempengaruhi.

Saporkren berasal dari bahasa Biak Berser yaitu “sapor” yang artinya tanjung dan “kren” yang artinya miring. Jadi Saporkren memiliki arti tanjung miring. Adapun sejarah terbentuknya kampung dan gambaran berbagai kegiatan yang berlangsung yang dianggap penting oleh masyarakat lokal adalah sebagai berikut:

1. Sebelum Tahun 1940 : Saat itu orang kafir yang berdomisili di pulau Urai dan pemimpin yang terakhir di pulau itu adalah bapak Abraham Mambrasar. Saat itu pulau tersebut masih berada dibawah pemerintah kampung Yembeser.

2. Tahun 1942 : Beberapa pemuda dari pulau Urai berkumpul di pulau Friwen untuk berperang melawan jepang (PD II)

3. Tahun 1945 : Setelah Perang dunia II berakhir mereka kembali menetap di pulau Urai

4. Tahun 1950-an : Penduduk dari pulau Urai berpindah ke Saporkren dibawah pimpinan Moses Sauyai (Kepala Dusun I)

5. Tahun 1962 - 1971: Mulai dibangunlah beberapa sarana penting di dusun Saporkren yaitu sarana pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan sarana peribadatan (Gereja)

6. Tahun 1973 : Diadakan pemilihan kepala dusun kedua yaitu Philipus Mambrasar

7. Tahun 1992 : Pergantian status dari dusun menjadi kampung dengan kepala kampung pertama adalah Melkianus Mambrasar

8. Tahun 2002 : Dilakukan kembali pengangkatan kepala kampung II yaitu Zadrak Mambrasar

2

Perahu Katingting merupakan perahu tradisional berukuran kecil dengan panjang 5 m, lebar 4-5 m, dan berbahan baku kayu. Perahu ini menggunakan mesin berkekuatan kurang dari 14-5 PK dan mengeluarkan bunyi raungan yang berat.

(4)

9. Tahun 2005 : Lalu pada tahun ini masuklah program COREMAP di Raja Ampat

4.2 Kondisi Demografi

4.2.1 Konteks Kabupaten Raja Ampat

Hingga Tahun 2009, tercatat jumlah penduduk Kabupaten Raja Ampat adalah 41.860 jiwa, sekitar 52 persen dari total penduduk adalah laki-laki dan sisanya sebesar 48 persen adalah perempuan.

Tabel 5. Persentase Jumlah Penduduk menurut Distrik dan Jenis Kelamin di Kabupaten Raja Ampat Tahun 2009

Kecamatan/

Distrik Laki-laki(%) Perempuan(%) Populasi(%)

Misool 5,60 5,78 5,68 Kofiau 6,42 6,58 6,50 Misool Timur 5,08 4,23 4,68 Kep. Sembilan 5.51 5,88 5,69 Waigeo Selatan 6,66 6,60 6,63 Teluk Mayalibit 4,50 4,38 4,44 Waigeo Timur 4,08 4,23 4,15 Meosmansar 5,59 5,30 5,50 Waigeo Barat 2,96 3,11 3,03 Waigeo Barat Kepulauan 6,25 6,07 6,16 Waigeo Utara 5,29 5,56 5,42 Warwabomi 3,52 3,37 3,45 Kepulauan Ayau 6,66 6,81 6,73 Misool Selatan 6,31 6,39 6,35 Misool Barat 2,71 2,68 2,70 Salawati Utara 9,60 9,61 9,60 Selat Sangawin 13,29 13,44 13,36 Jumlah/total 100 100 100

(5)

Hingga Tahun 2009, tercatat jumlah penduduk Kabupaten Raja Ampat adalah 41.860 jiwa, dengan jumlah penduduk total laki-laki adalah 21.965 orang dan jumlah penduduk perempuan adalah 19.895 orang. Tabel 5 menunjukkan komposisi penduduk laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan dengan Persentase laki-laki 52,48 persen dari total penduduk dan persentase perempuan adalah 47,52 persen.

4.2.2 Konteks Kampung

Berdasarkan data Monografi Kampung Saporkren (2011), jumlah penduduk pada Tahun 2010 adalah sebanyak 374 orang. Jumlah penduduk laki-laki adalah 212 orang dengan persentase 57 persen, sedangkan jumlah penduduk perempuan memiliki persentase 43 persen dengan total 162 orang. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Jumlah dan Persentase Penduduk Saporkren menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah

(Jiwa) (Persen)

Laki-laki 212 57

Perempuan 162 43

Total 374 100

Sumber : Data Monografi Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat (2011)

4.3 Kondisi Ekonomi

Pada umumnya, mayoritas masyarakat Raja Ampat dan khususnya Kampung Saporkren bermukim di daerah pesisir. Hal ini mendorong masyarakat bermata pencaharian sebagai nelayan, dan dianggap sebagai mata pencaharian pokok atau utama yang dapat memberikan hasil lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Bagi masyarakat Kampung Saporkren dan beberapa kampung lainnya, laut adalah segalanya bagi mereka karena dari situlah mereka bisa hidup sehingga membuat masyarakat menggantungkan hidup secara penuh terhadap hasil-hasil laut, namun, tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat untuk bekerja di ladang ataupun kebun. Jika masyarakat yang bermata

(6)

pencaharian sebagai nelayan menghadapi cuaca yang buruk atau yang dikenal dengan istilah mereka “angin selatan”, maka para nelayan akan berganti profesi untuk berkebun demi menjamin kehidupan selama cuaca yang buruk terjadi.

Masyarakat Kampung Saporkren rata-rata bekerja sebagai nelayan, mulai dari anak-anak kecil hingga dewasa telah dianggap sebagai nelayan, sedangkan sebagian masyarakat bekerja sebagai petani di ladang, sebagaimana diungkapkan oleh salah satu tokoh adat di kampung ini, PD (65 tahun) bahwa :

“…disini itu semua nelayan, dari anak kecil sampe orang besar juga itu sama-sama kerjanya tangkap ikan, itu karena kami memang anak-anak laut jadi, kalo berkebun itu hanya sampingan kalau angin kencang di laut.”

Berdasarkan data Tahun 2010, terdapat 56 kepala keluarga yang berprofesi sebagai nelayan dan sebanyak 41 kepala keluarga bekerja sebagai petani di ladang.

Gambar 5. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Saporkren

Pada umumnya nelayan di Raja Ampat, dan khususnya di Saporkren masih menggunakan alat yang tradisional ketika menangkap ikan ataupun hasil laut lainnya. Peralatan yang tradisional dan sangat sederhana itu hanyalah seutas tali nelon dan pancing. Alat-alat itu pun bermacam-macam bentuknya dan berbeda dalam penggunaannya sesuai dengan jenis ikan yang akan ditangkap oleh mereka. Para nelayan melakukan aktivitasnya pada pagi hari hingga menjelang sore hari, setelah itu akan dilanjutkan dengan melakukan penjualan di pusat pemerintahan yaitu daerah Waisai. Selain menangkap ikan disiang hari, adapula nelayan yang

58% 42%

Mata Pencaharian

(7)

mencari ikan pada malam hari dengan menggunakan alat tradisional yang disebut kalawai3 ataupun memakai sistem akar bore4.

4.4 Kondisi Sosial 4.4.1 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan masyarakat Kampung Saporkren tergolong relatif rendah karena sebagian besar penduduk yang termasuk usia kerja hanya menempuh pendidikan hingga tingkat SD. Berdasarkan data terbaru dari balai kampung dan hasil pengumpulan data di lapangan terhadap responden, golongan dewasa yang bekerja sebagai nelayan merupakan lulusan SD dan SMP, walaupun ada beberapa yang merupakan tamatan SMA. Sedangkan anak-anak sekolah di Kampung Saporkren hingga Tahun 2011 tercatat anak-anak yang menempuh pendidikan di SMP sebanyak lima orang, pendidikan di SMA sebanyak tiga orang, bangku kuliah sebanyak dua orang, dan anak-anak lainnya masih menempuh pendidikan di tingkat SD.

Rendahnya pendidikan di kampung ini disebabkan oleh dua faktor utama, pertama karena ketidakmampuan orangtua dari segi ekonomi untuk menyekolahkan hingga jenjang pendidikan yang tinggi. Kedua adalah minimnya fasilitas pendidikan di zaman dahulu yang kemudian menyebabkan para guru tidak optimal dalam melaksanakan proses belajar mengajar dan juga minimnya tenaga kerja yaitu guru. Hingga kini, kampung ini hanya memiliki satu gedung Sekolah Dasar (SD) dan satu gedung pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai fasilitas anak-anak Kampung Saporkren untuk menuntut ilmu. Gedung PAUD baru saja didirikan dengan bantuan dana dari pemerintah yaitu dana bantuan PNPM, dan sebagian perlengkapan Sekolah Dasar (SD) juga diperlengkapi dengan dana tersebut. Sedangkan anak-anak Kampung Saporkren yang menuntut ilmu hingga tingkat SMP dan SMA harus keluar kampung dan menuntut ilmu di Distrik atau di ibukota Kabupaten yaitu Waisai dengan waktu tempuh dua jam menggunakan perahu tradisional.

3

Jenis alat tangkap yang berbentuk seperti tombak panjang dengan ujung runcing dan sering digunakan saat menangkap di malam hari

4

(8)

4.4.2 Budaya/Tradisi

Kampung Saporkren didominasi oleh etnik asli Raja Ampat, dan hanya sebagian yang merupakan penduduk pendatang karena adanya ikatan pernikahan yang membuat mereka menjadi penduduk kampung tersebut. Proses komunikasi diantara masyarakat berjalan harmonis dan dinamis yang ditandai penggunaan bahasa lokal (bahasa suku Raja Ampat) sebagai bahasa komunikasi sehari-hari oleh penduduk baik asli maupun pendatang, tetapi tidak menutup kemungkinan penggunaan bahasa Indonesia.

Masyarakat di Kampung Saporkren hampir seluruhnya menganut agama Kristen Protestan, dan hanya satu warga menganut agama Islam. Walau kuantitas yang tidak seimbang, kampung ini memiliki tenggang rasa yang sangat tinggi antara kedua agama dan kegotongroyongan yang begitu kuat diantara masyarakat. Hal ini dapat dilihat ketika ada salah satu warga yang meninggal kemudian warga yang lainnya datang dan memberi beberapa sumbangan bagi keluarga yang ditinggalkan seperti gula, kopi, beras, minyak, ikan, uang, dan lain-lain.

Gotong royong dan kerjasama yang sifatnya tradisional sangat melekat di dalam diri masyarakat Saporkren. Ketika peneliti melakukan penelitian, saat itu sedang diadakan pembuatan pagar di depan rumah semua warga dengan menggunakan dana PNPM. Masyarakat bekerjasama untuk melakukannya dan terkesan menarik karena anak muda dan orangtua hingga lansia ikut bekerjasama. Kebiasaan lainnya yang menarik dari masyarakat Saporkren adalah ketika akan mengumpulkan masyarakat. Jika kepala kampung hendak mengumpulkan semua warganya, cukup dengan meniupkan bia atau kerang besar sebagai tanda kepada warga untuk berkumpul di rumah kepala kampung. Jika yang akan mengumpulkan warga adalah pihak gereja maka tanda yang digunakan adalah membunyikan lonceng gereja, sedangkan rapat dan acara Sosialisasi berkaitan dengan program lain akan dikumpulkan di pondok informasi dengan menggunakan bel. Masing-masing berbeda cara dan alat yang digunakan untuk mengumpulkan masyarakat.

Kampung ini juga memiliki aturan yang kuat terkait kegiatan di hari sabtu dan hari minggu. Masyarakat yang pekerjaannya sebagai nelayan hanya bisa menangkap dari hari senin hingga sabtu, dan pada hari minggu semua kegiatan

(9)

dihentikan, begitu pula dengan yang berkegiatan selain sebagai nelayan. Larangan ini berlaku untuk semua usia dari anak kecil hingga orang dewasa. Masyarakat harus sudah berada dikampung pada hari sabtu pukul tujuh malam atau 19.00 WIT, artinya tidak boleh ada yang keluar kampung khususnya untuk melaut maupun ke kampung lain. Hal ini bertujuan untuk mempersiapkan diri beribadah di hari minggu. Jika ada yang melanggar maka pihak pengurus gereja akan memberikan teguran, tetapi larangan ini dilonggarkan bagi warga yang ingin berobat ke rumah sakit di Waisai.

4.4.3 Kelembagaan Desa

PengorganiSasian masyarakat dan proses-proses pembangunan lainnya di tingkat kampung difasilitasi oleh sebuah lembaga pemerintah kampung/desa yang terdiri dari kepala kampung dan dibantu oleh aparat yang lain. Disamping itu terdapat pula LPSTK (Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang), Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas), dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dimana pembentukan ketiga lembaga ini diinisiasi oleh Program Pengelolaan dan Rehabilitasi Terumbu Karang Tahap II (Coral reef Rehabilitation and Management Program Phase II/COREMAP II) dan dikelola oleh masyarakat lokal. Program Coremap II merupakan program pemerintah dibawah tanggung jawab Kementrian Kelautan dan Perikanan, dan di kampung ini dibawah Dinas Kelautan dan Perikanan Raja Ampat.

LPSTK secara umum memiliki fungsi dan peran dalam mengkoordinasikan kegiatan kelompok-kelompok masyarakat (Pokmas) di kampung/desa dengan pengelola program Coremap II tingkat kabupaten dibawah koordinasi DKP Kabupaten Raja Ampat. Sedangkan Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas) merupakan pelaksana pengawasan di tingkat lapangan yang terdiri dari unsur-unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan, petani ikan, dan pemerhati lingkungan/terumbu karang. Pokmaswas memiliki peran untuk melakukan pengawasan terhadap daerah Perlindungan Laut (DPL). Pokmaswas dibentuk atas inisiatif masyarakat yang difasilitasi oleh unsur seorang anggota masyarakat dalam Pokmaswas yang berfungsi sekaligus sebagai mediator antara masyarakat dengan pemerintah atau petugas. Siapapun di dalam

(10)

masyarakat bisa menjadi anggota Pokmaswas, asalkan mereka dipilih secara bersama.

4.5 Potensi Pesisir dan Kelautan 4.5.1 Perhubungan

Kampung Saporkren dapat dijangkau dengan menggunakan transportasi laut dan darat dari pusat pemerintahan Raja Ampat, Waisai. Transportasi laut yang digunakan adalah perahu tradisional yang disebut katingting dan speed boat, sedangkan bila melewati darat dapat menggunakan motor dengan waktu tempuh satu jam. Alat transportasi yang dimiliki masyarakat masih bersifat tradisional baik yang menggunakan perahu dayung maupun perahu dengan menggunakan mesin berkekuatan kurang dari 15 PK. Bagi masyarakat, memiliki perahu menjadi hal yang utama atau prioritas, hal ini dikarenakan perahu membantu mereka untuk mencari makan di laut dan menjual hasil tangkapan ikan bagi para nelayan.

4.5.2 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana merupakan salah satu aset kampung yang mendukung aktivitas penduduk kampung. Kampung Saporkren memiliki sarana dan prasarana umum yang kondisinya relatif masih baik. Jenis sarana dan prasarana tersebut dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Jumlah dan KondisiSarana-Prasarana Kampung Saporkren

No. Sarana-Prasarana Jumlah Kondisi

1. Kantor Desa/kampung 1 Buruk

2. Puskesmas pembantu 1 Baik

3. Gereja 1 Baik

4. Pondok Informasi/ Coremap Kampung

1 Baik

5. Sekolah Dasar 1 Baik

6. PAUD 1 Baik

7. MCK 5 Buruk

8. Pembangkit Listrik Tenaga Solar (PLTS)

(11)

Tabel 7 menunjukkan jenis, jumlah, dan kondisi sarana-prasarana yang ada di Kampung Saporkren. Data tersebut diambil berdasarkan pengamatan langsung peneliti selama kegiatan pengumpulan data. Pada umumnya, prasarana dan sarana yang ada tergolong “baik”, tetapi untuk jenis balai kampung atau MCK tergolong “buruk”. Hal ini dilihat dari segi pemeliharaan akan kebersihan gedung tersebut. Balai kampung sudah berdiri sejak lama, tetapi saat ini tidak berfungsi lagi. Gedung yang ada hanya berdiri secara formal tetapi tidak dimanfaatkan oleh aparat kampung, dan segala kegiatan administrasi kampung hanya dilakukan di rumah kepala kampung ataupun sekretaris kampung. Sedangkan dari lima bangunan fasilitas MCK yang ada, hanya satu yang tergolong baik, dan empat bangunan lainnya tidak layak dipakai karena tidak dikelola kebersihannya.

4.5.3 Sumberdaya Perikanan Tangkap

Sumberdaya perairan laut di Kampung Saporkren sebagian besar dimanfaatkan untuk perikanan tangkap. Wilayah penangkapan masyarakat berada di sekitar area kampung dan tergantung pula pada musim. Jenis alat tangkap yang sering digunakan masyarakat Kampung Saporkren adalah alat pancing menggunakan nilon atau sering disebut oleh masyarakat sebagai mata kail, dan tombak yang menurut istilah lokal kalawai. Masyarakat lokal dilarang keras menggunakan jaring ketika menangkap ikan, tetapi ada kasus-kasus terdahulu sebelum adanya larangan terkait DPL, dimana terdapat sebagian nelayan menggunakan potassium ataupun akar beracun atau istilah lokal disebut akar bore. Sedangkan sumberdaya ikan yang melimpah adalah ikan karang seperti ikan mubara, ikan cakalang, ikan lakorea, ikan merah, gutila, dan ikan oci. Selain itu, adapula masyarakat yang khusus menangkap ikan hiu untuk mengambil bagian sirip ikan lalu dijual. Selain itu berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Coremap II Raja Ampat, ditemukan 57 jenis ikan karang di lokasi DPL Yenmangkwan dan didominasi oleh jenis ikan target kemudian diikuti jenis ikan mayor dan jenis kelompok ikan indikator. Jenis ikan kelompok target terdiri dari suku Serranidae, Labridae, Lutjanidae, Holocentridae, Mullidae, Haemulidae, Scaridae, Scolopsidae, dan Acanthuridae. Sedangkan jenis kelompok ikan mayor

(12)

terdiri dari suku Pomacentridae, Apogonidae, Pomacanthidae, Siganidae, dan jenis kelompok ikan indikator terdiri dari suku Chaetodontidae.

4.5.4 Terumbu Karang

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Coremap II dalam kegiatan evaluasi dan monitoring terumbu karang di DPL Yenmangkwan, Saporkren, kondisi tutupan karang termasuk dalam kategori “sedang” (Coremap II 2009). Adapun persentase rata-rata tutupan karang keras hidup adalah sebagai berikut:

Tabel 8. Persentase Tutupan Karang menurut Jenis Karang di DPL Yenmangkwan Tahun 2009

No. Jenis karang Persentase tutupan karang (%)

1. Karang Acropora (AC) 17,0

2. Karang Non Acropora (NA) 20,0

3. Dead Coral With Algae (DCA) 10,0

4. Soft Coral (SC) 15,0

5. Tipe abiotik (algae/FS) 2,0

6. Tipe abiotik (Rubble, Rock, Sand, OT, dan Sponge

19,0 Sumber : Coremap II (2009)

4.6 Karakteristik Responden

Karakteristik umum responden di Kampung Saporkren diperoleh berdasarkan survai terhadap 39 orang nelayan. Karakteristik umum ini dijelaskan dari beberapa kriteria seperti yang dijelaskan di bawah ini :

4.6.1 Jenis Kelamin Responden

Responden dari penelitian ini adalah berjenis kelamin laki-laki yang tergolong dalam usia kerja.

(13)

4.6.2 Tingkat Usia Responden

Tingkat usia responden cukup bervariasi dengan distribusi usia antara 25 tahun hingga 65 tahun. Jumlah responden tertinggi terdapat pada sebaran usia 25-30 tahun sebanyak 11 orang, dan jumlah responden terendah berada pada sebaran usia 61-65 tahun sebanyak satu orang, dan responden lainnya menyebar pada golongan usia 31-60 tahun.

Gambar 6. Jumlah Responden menurut Golongan Usia

Tingkat usia seseorang biasanya mencerminkan tingkat kedewasaan orang tersebut dalam mengambil keputusan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan diriya. Dalam penelitian ini, hal tersebut berkaitan dengan pengambilan keputusan untuk terlibat dalam proses penetapan DPL dari sejak perencanaan hingga evaluasi yang dilakukan dan terhadap respon nelayan, apakah positif atau negatif terhadap program pembentukan DPL itu. Walaupun jumlah responden terbanyak berada pada golongan usia 25-30 atau golongan usia paling muda diantara golongan usia semua responden, mereka termasuk kedalam golongan nelayan yang memiliki respon positif terhadap pembentukan DPL.

0 2 4 6 8 10 12 25-30 31-35 36-40 41-45 46-50 51-55 56-60 61-65 Ju m lah Golongan Usia

(14)

4.6.3 Tingkat pendidikan Formal Responden

Tingkat pendidikan formal yang telah ditempuh oleh responden bervariasi dari pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Hampir keseluruhan nelayan menempuh pendidikan hingga tingkat SD saja dengan Persentase sebesar 62 persen, kemudian diikuti responden yang menempuh pendidikan hingga SMP dengan Persentase 28 persen, SMA sebesar 10 persen, sedangkan untuk kategori tingkat pendidikan S0/S1/S2/S3 dan yang tidak bersekolah memiliki persentase 0 persen.

Gambar 7. Tingkat Pendidikan Formal Responden

Rendahnya tingkat pendidikan responden disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah minimnya sarana dan prasarana pendidikan seperti gedung sekolah. Hingga saat ini kampung ini hanya memiliki satu gedung SD, sedangkan masyarakat yang ingin menempuh pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi harus ke luar kampung. Menurut responden yang hanya menempuh pendidikan hingga SD, mereka sebenarnya ingin bersekolah hingga sekolah tinggi tetapi pada masa mereka kecil, fasilitas pendidikan sangat sulit dan juga karena keterbatasan ekonomi keluarga untuk menyekolahkan anaknya ke luar kampung. Sedangkan responden yang dapat menempuh pendidikan hingga ke tingkat SMP dan SMA dikarenakan keberanian mereka untuk ke luar kampung bersekolah dan kemampuan perekonomian orangtua.

0% 62% 28% 10% 0% Tidak Bersekolah SD SMP Umum/Kejuruan SMA Umum/Kejuruan S0/S1/S2/S3

Gambar

Tabel  4  dibawah  ini  menggambarkan  luas  wilayah  Kabupaten  Raja  Ampat  menurut distrik
Tabel 5. Persentase  Jumlah  Penduduk  menurut  Distrik  dan  Jenis  Kelamin  di
Gambar 6. Jumlah Responden menurut Golongan Usia
Gambar 7. Tingkat Pendidikan Formal Responden

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, dirancanglah sebuah pengaman brankas dengan menggunakan motor servo sebagai output pergerakan pintu pada brankas, mikrokontroller sebagai otak, bluetooth

Dan ketika kita berjuang untuk bergairah terhadap hal-hal yang telah dipaparkan (Gairah akan Allah, keluarga, gereja, kesucian, Firman dan Roh Kudus, kerendahan

Situasi tak tentu (indeterminate situation), yakni timbulnya situasi ketegangan didalam pengalaman yang perlu dijabarkan secara spesifik. Diagnosi, yakni mempertajam masalah

Kebiasaannya, sistem pemeliharaan begini diamalkan oleh penternak-penternak yang tidak mempunyai kawasan ragut atau untuk ibu-ibu kambing yang akan beranak

Tenaga kerja yang dikatakan rendah apabila memiliki jumlah tenaga kerja sebanyak 1-4 orang dan 5-8 orang, Berdasarkan hasil penelitian pada Kecamatan Mojoanyar yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama penyimpanan spermatozoa pada suhu ruang maka motilitas dan viabilitas akan semakin turun dimana motilitas dan

Nomor Perkara Jenis Uang Titipan Banyaknya Pelaksanaannya/ Penggunaannya Saldo Keterangan N H 31 Juli 2017 Panitera Drs/'Asmar Josen... LAPORAN BIAYA PEMERIKSAAN BANDING

Produksi kedelai mempengaruhiimpor kedelai nasional sebesar 9,42%, konsumsi kedelai mempengaruhi impor kedelai nasional sebesar 40,13%, dan harga kedelai nasional