• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji toksisitas subkronis infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz and Pav.) pada tikus studi terhadap gambaran mikroskopis ginjal dan kadar kreatinin darah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji toksisitas subkronis infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz and Pav.) pada tikus studi terhadap gambaran mikroskopis ginjal dan kadar kreatinin darah"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

UJI TOKSISITAS SUBKRONIS INFUSA DAUN SIRIH MERAH (Piper

crocatum Ruiz & Pav.) PADA TIKUS : STUDI TERHADAP GAMBARAN

MIKROSKOPIS GINJAL DAN KADAR KREATININ

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Hertarinda

NIM : 098114070

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

UJI TOKSISITAS SUBKRONIS INFUSA DAUN SIRIH MERAH (Piper

crocatum Ruiz & Pav.) PADA TIKUS : STUDI TERHADAP GAMBARAN

MIKROSKOPIS GINJAL DAN KADAR KREATININ

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Hertarinda

NIM : 098114070

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Dear God, sometimes it’s hard for me to

understand what You really want to happen but i

trust You. I know you will give me what’s best”

Dalam segala perkara Tuhan punya rencana yang lebih besar dari semua yang terpikirkan..

Apapun yang Kau perbuat tak ada maksud jahat sebab itu kulakukan semua denganMu..

Ku tak akan menyerah pada apapun juga sebelum kucoba semua yg kubisa, tetapi ku berserah kepada kehendakMu..

hatiku percaya Tuhan punya rencana..

“He has made everything beautiful in it’s time”

(Ecclesiastes 3 : 11)

(8)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Toksisitas Subkronis

Infusa Daun Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) Pada Tikus : Studi

Terhadap Gambaran Mikroskopis Ginjal Dan Kadar Kreatinin” sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm).

Dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini penulis telah banyak

mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka dari itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Bapak Prof. Dr. C. J. Soegihardjo, Apt. dan Ibu Phebe Hendra, M.Si.,

Ph.D., Apt. selaku Dosen Penguji skripsi yang telah memberikan

dukungan, masukan dan saran kepada penulis.

3. Bapak Ipang Djunarko,M.Sc., Apt. selaku Dosen Pembimbing dan Dosen

Penguji untuk bimbingan, saran, serta pengarahan dalam proses

pengerjaan skripsi ini.

4. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt. selaku Dosen Pembimbing Akademik

penulis selama masa studi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

5. Ibu Rini Dwiastuti, M.Si., Apt. selaku Kepala Penanggung jawab

Laboratorium Fakultas Farmasi yang telah memberikan izin dalam

penggunaan semua fasilitas laboratorium untuk kepentingan penelitian

(9)

viii

6. Pak Heru, Pak Parjiman, Pak Kayatno, Pak Wagiran, selaku laboran

laboratorium Fakultas Farmasi yang telah banyak memberikan bantuan

selama proses pelaksanaan penelitian.

7. Papa, mama, dan adek OO yang tersayang untuk doa, kasih sayang, serta

dukungan yang tiada henti kepada penulis.

8. Seluruh keluarga besarku, atas semangat dan doa kalian sehingga skripsi

ini terselesaikan.

9. Ningsie, Carli, dan Catur terima kasih untuk kebersamaan kita, suka duka

dan bantuan selama penelitian sehingga skripsi kita terselesaikan.

10.Berta Triffina atas perhatian, motivasi, doa, dan semangat yang diberikan.

11.Sahabat-sahabatku tersayang Chissa, Ningsie, Raisa, Defi, Riri, Viena,

Michael atas segala motivasi dan semangat kalian.

12.Rina“sule”, Sefoii, Yohana, Metri, dan Triana terimakasih atas semangat

dan bantuan serta kegalauan kalian yang selalu menghibur.

13.Para penghuni Wisma Amakusa yang sudah mengisi hari-hari penulis dan

memberikan semangat, “We won’t live together forever, but we spent so

many times together and make them special”.

14.56fiders atas doa, keceriaan dan semua semangat kalian.

15.Segenap dosen, staf, dan teman-teman FSM B 09, FKK B 09, serta seluruh

angkatan 2009 Fakultas Farmasi yang telah mendampingi dan mendukung

penulis selama menempuh studi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata

(10)

ix

16.Semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini yang tidak

dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari

keterbatasan dan kekurangan penulis. Oleh karena itu penulis mengharapkan

kritik dan saran demi kebaikan skripsi ini. Besar harapan penulis skripsi ini dapat

memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang

Farmasi.

(11)

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

INTISARI ... xvii

ABSTRACT ... xviii

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalah ... 3

2. Keaslian penelitian ... 3

3. Manfaat penelitian ... 5

B. Tujuan Penelitian ... 5

1. Tujuan umum ... 5

(12)

xi

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 6

A. Daun Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) ... 6

1. Morfologi tanaman ... 6

2. Taksonomi tanaman ... 7

3. Kandungan kimia ... 7

4. Khasiat dan penggunaan ... 8

B. Toksikologi ... 8

C. Ginjal ... 12

1. Anatomi ginjal ... 12

2. Fisiologi ginjal ... 14

3. Patologi ginjal ... 15

4. Kreatinin ... 16

D. Infusa ... 18

1. Definisi ... 18

2. Pembuatan ... 18

E. Keterangan Empiris ... 18

BAB III. METODE PENELITIAN ... 19

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 19

B. Variabel Penelitian ... 19

1. Variabel utama ... 19

2. Variabel pengacau ... 20

(13)

xii

D. Bahan Penelitian ... 21

E. Alat Penelitian ... 21

F. Tata Cara Penelitian ... 22

1. Determinasi tanaman ... 22

2. Pengumpulan bahan uji ... 22

3. Pembuatan serbuk kering daun sirih merah ... 22

4. Penetapan kadar air serbuk daun sirih merah ... 22

5. Pembuatan infusa daun sirih merah ... 23

6. Penetapan dosis infusa daun sirih merah ... 23

7. Penetapan dosis aquadest ... 24

8. Penyiapan hewan uji ... 24

9. Pengelompokan hewan uji ... 24

10.Prosedur pelaksanaan toksisitas subkronis ... 25

11.Pemeriksaan histopatologis ... 25

12.Histopatologi ginjal ... 26

13.Pengamatan dan pengumpulan data ... 26

14.Analisis data ... 27

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

A.Determinasi Tanaman ... 29

B.Serbuk dan Kadar Air Daun Sirih Merah ... 30

(14)

xiii

D.Kadar Kreatinin Darah Tikus Betina Akibat Pemberian Infusa Daun Sirih

Merah ... 34

E. Pemeriksaan Histologis Ginjal ... 36

F. Perubahan Berat Badan Tikus ... 41

G.Asupan Pakan Tikus ... 45

H.Asupan Minum Tikus ... 46

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

A.Kesimpulan ... 48

B.Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49

LAMPIRAN ... 53

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Nilai pre dan post Kadar Kreatinin Darah Pemberian Infusa

Daun Sirih Merah Pada Tikus Jantan ... 32

Tabel II. Nilai pre dan post Kadar Kreatinin Darah Pemberian Infusa

Daun Sirih Merah Pada Tikus Betina ... 34

Tabel III. Hasil Pemeriksaan Histologis Ginjal Pada Tikus Jantan ... 36

Tabel IV Hasil Pemeriksaan Histologis Ginjal Pada Tikus Betina ... 37

Tabel V Purata Berat Badan ± SE Tikus Jantan Akibat Pemberian

Infusa Daun Sirh Merah ... 41

Tabel VI. Purata Berat Badan ± SE Tikus Betina Akibat Pemberian

(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tanaman Piper crocatum ... 6

Gambar 2. Anatomi ginjal ... 12

Gambar 3. Struktur nefron ... 13

Gambar 4. Diagram batang rerata ± SE kadar kreatinin darah tikus jantan ... 32

Gambar 5. Diagram batang rerata ± SE kadar kreatinin darah tikus betina ... 34

Gambar 6. Histologi ginjal tikus dengan perbesaran 400x ... 38

Gambar 7. Grafik perubahan berat badan tikus jantan selama pemberian infusa sirih merah ... 42

Gambar 8. Grafik perubahan berat badan tikus betina selama pemberian infusa sirih merah ... 43

Gambar 9. Grafik asupan pakan tikus jantan ... 45

Gambar 10. Grafik asupan pakan tikus betina ... 45

Gambar 11. Grafik asupan minum tikus jantan ... 46

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Gambar simplisia daun sirih merah ... 54

Lampiran 2. Gambar serbuk daun sirih merah ... 54

Lampiran 3. Gamba infusa daun sirih merah ... 54

Lampiran 4. Gambar kandang metabolit ... 55

Lampiran 5. Gambar hewan uji... 55

Lampiran 6. Gambar organ histopatologi ... 55

Lampiran 7. Perhitungan penetapan peringkat dosis infusa sirih merah ... 56

Lampiran 8. Konversi dosis untuk manusia ... 57

Lampiran 9. Perhitungan rendemen daun sirih merah dan penetapan kadar air ... 57

Lampiran 10. Surat pengesahan determinasi tanaman sirih merah ... 59

Lampiran 11. Surat pengesahan hasil histopatologis ... 60

Lampiran 12. Surat Ethical Clearence ... 61

Lampiran 13. Analisis statistik Paired T Test kadar kreatinin pre dan post tikus jantan... 62

Lampiran 14. Analisis statistik Paired T Test kadar kreatinin pre dan post tikus betina... 63

Lampiran 15. Analisis statistik kreatinin tikus jantan sebelum pemberian infusa daun sirih merah ... 65

Lampiran 16. Analisis statistik kreatinin tikus jantan setelah pemberian infusa daun sirih merah ... 68

Lampiran 17. Analisis statistik kreatinin tikus betina sebelum pemberian infusa daun sirih merah ... 71

Lampiran 18. Analisis statistik kreatinin tikus betina setelah pemberian infusa daun sirih merah ... 74

Lampiran 19. Analisis statistik berat badan tikus jantan ... 77

Lampiran 20. Analisis statistik berat badan tikus betina ... 80

(18)

xvii

INTISARI

Piper crocatum Ruiz & Pav dikenal sebagai tanaman hias yang berfungsi

sebagai antioksidan, antidiabetik, antikanker, dan antiinflamasi. Namun bukti ilmiah tentang ketoksikan penggunaan secara subkronis belum dilaporkan khususnya risiko penggunaan jangka panjang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek toksik pemberian sirih merah secara subkronis terhadap gambaran histologis ginjal dan kadar kreatinin pada tikus.

Penelitian ini merupakan eksperimental murni dengan rancangan acak pola searah. Tikus jantan dan betina masing-masing dua puluh ekor galur Wistar umur 2-3 bulan, dibagi secara acak empat kelompok perlakuan. Kelompok I (kontrol negatif) diberi aquadest 15,525 g/KgBB. Kelompok II sampai IV diberi infusa sirih merah dengan dosis berturut-turut 1,28; 2,07; 3,105 g/KgBB secara peroral satu kali sehari selama 28 hari. Pada hari ke-0 dan ke-28 diambil darah dan diukur kadar kreatinin, sedangkan pada hari ke-28 dan ke-42 dibedah untuk histologis ginjal. Analisis kadar kreatinin menggunakan Kolmogrov-Smirnov dan dilanjutkan dengan one way Anova untuk mengetahui perbedaan kadar kreatinin tiap kelompok perlakuan. Uji paired-T untuk mengetahui perbedaan kadar kreatinin sebelum dan sesudah perlakuan.

Hasil penelitian menunjukkan pemberian infusa daun sirih merah selama 28 hari tidak menimbulkan efek toksik pada kadar kreatinin dan histologis ginjal.

(19)

xviii

ABSTRACT

Piper Crocatum Ruiz & Pav is known as an ornamental plants that can be used as antioxidants, antidiabetic, anticancer, and antiinflammatory. Unfortunately, science has no evidence about the toxicity of the sub-chronic use especially in long-term use yet. The objective of this study is to find out the toxic effects of sub-chronic giving of red betel leaf towards the renal histological and creatinine levels in mice.

This research is a pure experimental study with randomized undirectional pattern. Twenty mice for each male and female for about 2-3 month are divided randomly into four groups. Give distilled water 15,525 g/KgBW to group 1 (negative control). Give the infusion of red betel leaf to the group 2-4 with sequentially dose 1,28; 2,07; 3,105 g/KgBW. Give the dose once a day for 28 days. On days 0 and 28, take the blood and measure the creatinine levels on it, whereas on day 28 and 42, dissect the mice for histological kidney. Analyze the serum creatinine levels using Kolmogrov-Smirnov and proceed it with one way Anova to find out the differences of creatinine levels in each treatment group. Paired-T test to find out the differences of creatinine levels before and after treatment.

The results show that the giving of red betel infusion for 28 days didn't give any toxic effects in creatinine levels and kidney histopatology.

(20)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Saat ini salah satu tanaman obat yang secara empiris biasa digunakan

sebagai obat tradisional adalah sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.).

Tanaman sirih merah lebih banyak dikenal sebagai tanaman hias dan tumbuh

merambat di pagar atau pohon, namun selain digunakan sebagai tanaman hias

sirih merah juga bermanfaat sebagai tanaman obat yang dapat menyembuhkan

penyakit diantaranya diabetes mellitus, kolesterol, asam urat dan hipertensi

(Sudewo, 2005).

Dalam daun sirih merah terkandung senyawa fitokimia yakni alkaloid,

saponin, tanin dan flavonoid. Dilaporkan bahwa senyawa alkaloid dan flavonoid

memiliki aktivitas hipoglikemik atau penurun kadar glukosa darah. Kandungan

kimia lainnya yang terdapat di daun sirih merah adalah minyak atsiri,

hidroksikavicol, kavicol, kavibetol, allylprokatekol, karvakrol, eugenol,

p-cymene, cineole, caryofelen, kadimen estragol, dan ter-penena. Karena banyaknya

kandungan senyawa kimia bermanfaat inilah, daun sirih merah memiliki manfaat

yang sangat luas sebagai bahan obat (Manoi,2007). Beberapa penelitian terkait

manfaat sirih merah telah dilakukan, antara lain penelitian yang dilakukan

oleh Wicaksono, et al (2009) juga meneliti tentang efek antiproliferatif dari

ekstrak metanol sirih merah pada sel T47D. Hasil dari penelitian tersebut

menyatakan bahwa ekstrak metanol sirih merah mampu menghambat

(21)

p44/p42 secara in-vitro. Hartini, Subagus, Sitarina, dan Yuswanto (2013) dalam

penelitiannya menunjukkan senyawa Pc-2 dari ekstrak metanolik daun sirih merah

dosis 10 mg/kgbb mampu meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag peritonial

mencit yang diinduksi dengan bakteri Lysteria monocytogenes. Sebelumnya juga

sudah pernah dilakukan penelitian tentang toksisitas akut oleh Salim (2006),

bahwa rebusan daun sirih merah hingga dosis 20 g/kg BB tidak bersifat toksik

bagi hewan uji dan juga dapat menurunkan kadar glukosa darah.

Pada masyarakat lingkungan Kraton Jogjakarta, telah terbukti dengan

meminum air rebusan sirih merah setiap hari dapat menurunkan kadar gula darah

sampai tingkat normal (Werdhany, Marton, dan Setyorini, 2008). Karena obat

diabetes biasanya digunakan dalam kurun waktu yang lama, maka setiap obat

antidiabetes harus aman pemakaiannya untuk jangka panjang. Demikian juga

terhadap pengembangan tanaman sirih merah untuk antidiabetes harus tersedia

data toksisitas subkronik untuk mengetahui efek yang ditimbulkan pada

organ-organ penting tubuh dalam hal ini dilihat dari kerusakan ginjal dan kadar kreatinin

darah.

Ginjal merupakan organ eliminasi penting bagi tubuh. Ginjal mempunyai

peran dalam mengeliminasi zat-zat dari darah terutama produk akhir metabolisme

seperti urea, kreatinin, asam urat, dan garam-garam asam urat, yang direabsorbsi

sedikit dan diekskresikan dalam jumlah besar ke dalam urin (Donatus, 2001).

Kreatinin merupakan salah satu hasil buangan dari ginjal yang difiltrasi oleh

glomerulus di dalam ginjal dan jika terdapat gangguan pada fungsi filtrasi ginjal

(22)

digunakan sebagai indikator gangguan fungsi ginjal (Wahjuni dan Bijanti, 2006).

Infusa dipilih pada penelitian ini karena pembuatan infus merupakan cara yang

paling sederhana untuk membuat sediaan herbal (Direktorat Obat Asli Indonesia,

2010).

1. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang dapat diuraikan

sebagai berikut :

a. Seberapa besar spektrum efek toksik infusa daun sirih merah (Piper crocatum)

terhadap wujud struktural ginjal yang dinilai dari perubahan wujud biokimia

kadar kreatinin dan wujud struktural histopatologi ginjal ?

b. Apakah terjadi keterbalikan (reversibilitas) spektrum efek toksik infusa daun

sirih merah ?

c. Apakah terdapat hubungan kekerabatan antara dosis infusa daun sirih merah

dengan spektrum efek toksik pada kadar kreatinin dan histopatologi ginjal ?

2. Keaslian penelitian

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait sirih merah antara lain

sebagai berikut :

a. Antiproliferative Effect of the Methanol Extract of Piper crocatum Ruiz & Pav

Leaves on Human Breast (T47D) Cells In-vitro. Hasil dari penelitian

menyatakan bahwa ekstrak metanol sirih merah mampu menghambat

pertumbuhan dari sel kanker payudara manusia (T47D) melalui inhibisi

(23)

b. Uji Aktivitas Fagositosis Makrofag Senyawa Kode Pc-2 dari Daun Sirih Merah

(Piper crocatum Ruiz & Pav) Secara in vivo. Pengujian aktivitas fagositosis

makrofag yang dinyatakan dalam persen fagositosis (PF), indeks fagositosis

(IF) dan efektifitas fagositosis (EF) menggunakan mencit yang diinduksi

bakteri Lysteria monocytogenes menunjkkan senyawa Pc-2 dari ekstrak

metanolik daun sirih merah dosis 10 mg/kgbb mampu meningkatkan aktivitas

fagositosis makrofag peritonial mencit yang diinduksi dengan bakteri Lysteria

monocytogenes, serta tidak ada korelasi antara IF dan PF (Hartini, et al., 2013).

c. Potensi Rebusan Daun Sirih Merah (Piper crocatum) Sebagai Senyawa

Antihiperglikemia Pada Tikus Putih Galur Sprague-Dawley. Dari penelitian ini

diperoleh rebusan daun sirih merah hingga dosis 20 g/kg BB tidak bersifat

toksik bagi hewan uji dan juga dapat menurunkan kadar glukosa darah (Salim,

2006).

d. Uji Sitotoksisitas Ekstrak Etanolik Daun Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz &

Pav) Terhadap Kultur Sel HeLa. Hasil uji sitotoksik oleh Atmaningsih (2008)

diperoleh hasil ekstrak etanolik sirih merah memiliki efek sitotoksik dengan

harga LC50 sebesar 1.143,1 µg/ml.

Berdasarkan studi pustaka, sejauh pengetahuan penulis belum ada

penelitian mengenai toksisitas subkronis infusa sirih merah (Piper crocatum Ruiz

(24)

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kajian

efek toksik daun sirih merah (Piper crocatum) secara subkronis.

b. Manfaat praktis. Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada

masyarakat mengenai wujud efek toksik toksisitas subkronis infusa daun

sirih merah (Piper crocatum) terhadap kadar kreatinin dan histopatologi

ginjal.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Secara umum tujuan dari penelitian untuk mengetahui wujud efek toksik

dari infusa daun sirih merah (Piper crocatum) secara subkronik.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui perbedaan gambaran mikroskopis ginjal dan kadar kreatinin

tikus Wistar setelah pemberian infusa daun sirih merah (Piper crocatum)

secara subkronik.

b. Mengungkapkan spektrum efek toksik (perubahan struktural dan

perubahan biokimia) infusa daun sirih merah terhadap kerusakan ginjal

yang dinilai dari perubahan kadar kreatinin dan histopatologi ginjal.

c. Mengungkapkan kekerabatan antara dosis infusa daun sirih merah

(25)

6

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tanaman Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav)

1. Morfologi tanaman

Sirih merah merupakan salah satu jenis dari sirih Piper betle. Sirih merah

tanaman yang merambat dengan bentuk daun saperti hati namun warnanya bukan

hijau melainkan kemerah-merahan. Rasanya sangat pahit dan aromanya lebih

tajam bila dibandingkan dengan sirih hijau (Nurmalina dan Valley, 2012).

Sirih merah tanaman berbatang bulat dengan warna hijau keunguan dan

tidak berbunga. Batang beruas dengan jarak buku 5-10 cm. Daun berangkai

membentuk jantung dengan bagian atas meruncing, bertepi rata, dan

permukaannya mengkilap atau tidak berbulu. Panjang daunnya bisa mencapai

15-20 cm. Daunnya berlendir, berasa sangat pahit dan beraroma khas sirih. Warna

daun bagian atas hijau bercorak putih keabuan-abuan, bagian bawah daun

berwarna merah hati cerah (Sudewo, 2005). Tanaman sirih merah dapat dilihat

pada gambar 1.

(26)

Sirih merah biasanya hidup di daerah dataran tinggi. Bila sirih merah di

tanam didaerah yang memiliki kadar panas atau terkena sinar matahari langsung

maka batang pada sirih merah akan cepat mengering dan zat warna merah pada

bagian daun akan perlahan memudar (Nurmalina dan Valley, 2012).

2. Taksonomi tanaman

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)

Sub Kelas : Magnoliidae

Ordo : Piperales

Famili : Piperaceae (suku sirih-sirihan)

Genus : Piper

Spesies : Piper crocatum Ruiz. & Pav

(Plantamor, 2011)

3. Kandungan kimia

Kandungan kimia yang terdapat di daun sirih merah adalah minyak atsiri,

hidroksikaficol, kaficol, kafibetol, allylprokatekol, karfakrol, eugenol, p-cymene,

cineole, caryofelen, kadimen, estragol, terpena, dan fenil propada (Agoes, 2010).

Selain itu kandungan lainnya adalah flavonoid, polifenol, alkaloid, tannin, saponin

(27)

Secara empiris, khasiat kandungan senyawa dari sirih merah antara lain,

flavonoid dan polifenol berfungsi sebagai antioksidan, antidiabetes, antikanker,

antiseptik, dan antiinflamasi. Senyawa eugenol berfungsi sebagai analgetik,

senyawa tanin sebagai penyembuh sakit perut pada diare dan antiseptik pada luka

(Nurmalina dan Valley, 2012).

4. Khasiat dan penggunaan

Sirih merah digunakan untuk mengobati diabetes melitus, hipertensi,

kanker, keputihan, radang mata, batu ginjal, dan asam urat (Agoes, 2010). Khasiat

sirih merah antara lain, antioksidan, antidiabetes, antikanker, antiseptik, dan

antiinflamasi (Handita, 2010). Selain sebagai obat, sirih merah juga dimanfaatkan

sebagai alat kecantikan yaitu untuk menghaluskan kulit (Nurmalina dan Valley,

2012).

B. Toksikologi

Loomis (1978) mendefinisikan toksikologi sebagai ilmu tentang aksi

berbahaya suatu senyawa kimia atas suatu sistem biologi. Definisi ini bermakna

suatu senyawa kimia yang dipelajari memiliki interaksi terhadap sistem biologi

dengan mekanisme tertentu kemudian dapat menimbulkan efek toksik dengan

wujud dan sifat tertentu. Dengan mempelajari wujud dan sifat efek toksik yang

ditimbulkan, dapat mengetahui seberapa bahaya penggunaan bahan kimia

tersebut, dan dapat ditentukan batas keamanan penggunaannya.

Wujud efek toksik suatu racun dapat berupa perubahan biokimia,

(28)

terbalikkan atau tak terbalikkan. Jenis wujud perubahan biokimia tidak

menunjukkan bukti secara langsung terhadap patologi organ, apabila mekanisme

homeostatis normal makhluk hidup masih dapat bekerja maka perubahan biokimia

bersifat timbal balik (Donatus, 2005).

Menurut Williams, James, dan Roberts (2000) keterbalikan toksisitas

terjadi apabila efek buruk atau efek yang tidak diinginkan dapat dikembalikan

apabila pemaparan dihentikan. Keterbalikan toksisitas tergantung pada sejumlah

faktor, termasuk tingkat pemaparan (waktu dan jumlah racun) dan kemampuan

jaringan yang terkena untuk memperbaiki atau meregenerasi.

Uji toksikologi dibagi menjadi dua yaitu uji ketoksikan tak khas dan uji

ketoksikan khas. Uji ketoksikan tak khas adalah uji toksikologi yang dirancang

untuk mengevaluasi keseluruhan efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam

jenis hewan uji, sedangkan uji ketoksikan khas adalah uji toksikologi yang

dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek toksik yang khas dari suatu

senyawa pada semua hewan uji. Uji potensiasi, kekarsinogenetikan,

kemutagenetikan, keteratogenetikan, reproduksi, kulit dan mata, dan perilaku

termasuk dalam uji ketoksikan khas (Donatus, 2005).

Konsep dosis merupakan prinsip dasar dalam toksikologi. Pernyataan

tersebut memberi gambaran bahwa adanya toksisitas yang timbul dipengaruhi

oleh paparan dosis yang diberikan (Schrager, 2006).

Ada banyak cara organisme dapat

menanggapi senyawa beracun, jenis respon tergantung pada banyak faktor. Oleh

(29)

(1) Tindakan beracun secara langsung,

(2) farmakologi, fisiologi, efek biokimia,

(3) teratogenesis,

(4) imuno toksisitas,

(5) karsinogenesis (Timbrell, 2008).

Sarana utama dalam mendeteksi respon beracun apabila tidak terdapat

kematian seperti organisme atau jaringan adalah :

1. Perubahan biokimia, melibatkan efek pada enzim seperti inhibitor atau

perubahan jalur metabolik tertentu. Munculnya enzim atau substansi lain dalam

cairan tubuh dapat menunjukkan kebocoran dari jaringan karena merusak dan

merupakan indikasi perubahan patologis.

2. Perubahan status normal, terdapat sejumlah penanda toksisitas. Dengan

demikian, perubahan berat badan, asupan makanan dan minum, luaran urin,

dan berat organ merupakan indikator yang umum dan spesifik untuk toksisitas.

Oleh karena itu, hewan yang mengonsumsi lebih sedikit makanan dan

kehilangan bobot setelah terpapar senyawa beracun atau peningkatan berat

organ karena terpapar senyawa beracun, perubahan ini dikonfirmasi dengan

pengukuran kimia, biokimia, dan histopatologi (Timbrell, 2008).

Toksisitas subkronis merupakan salah satu jenis uji toksikologi. Uji

ketoksikan subkronis adalah uji ketoksikan sesuatu senyawa yang diberikan

dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari tiga bulan. Uji

(30)

memperlihatkan apakah spektrum efek toksik tersebut berkaitan dengan takaran

dosis (Donatus, 2001).

Pengamatan dan pemeriksaan yang dilakukan dalam uji ketoksikan

subkronis, meliputi:

1. Perubahan berat badan yang diperiksa paling tidak 7 hari sekali,

2. Asupan makanan untuk masing-masing hewan atau kelompok hewan, diukur

paling tidak 7 hari sekali,

3. Gejala-gejala klinis umum yang diamati setiap hari,

4. Pemeriksaan terhadap hematologi, paling tidak diperiksa dua kali, pada awal

akhir uji coba,

5. Pemeriksaaan kimia darah, paling tidak diperiksa dua kali, pada awal akhir uji

coba,

6. Analisis urin, paling tidak sekali,

7. Pemeriksaan histopatologi organ pada akhir uji coba

( Donatus, 2001)

Hasil uji ketoksikan subkronis akan memberikan informasi yang

bermanfaat tentang efek utama senyawa uji dan organ sasaran yang

dipengaruhinya. Selain itu juga dapat diperoleh info tentang perkembangan efek

toksik yang lambat berkaitan dengan takaran yang tidak teramati pada uji

ketoksikan akut. Kekerabatan antar kadar senyawa pada darah dan jaringan

terhadap perkembangan luka toksik dan keterbalikan efek toksik (Donatus, 2001).

Hewan uji yang disarankan paling tidak satu jenis hewan dewasa sehat,

(31)

metabolisme terhadap senyawa uji yang semirip mungkin dengan manusia

(Donatus, 2001). Spesies hewan dapat digunakan rodent dan non-rodent. Spesies

hewan rodent menggunakan tikus.

Hewan dimasukkan dalam dua kategori kelompok yaitu kelompok

kontrol dan perlakuan yang dilakukan secara acak (Gad, 2002). Jumlah kelompok

hewan uji paling tidak sebanyak empat kelompok yaitu satu kelompok kontrol dan

tiga kelompok peringkat dosis. Jumlah hewan uji untuk jangka waktu penelitian

selama empat minggu, paling tidak terdapat lima jantan dan lima betina dalam

satu kelompok (Derelanko and Hollinger, 2002).

C. Ginjal

1. Anatomi ginjal

Ginjal adalah sepasang organ bersimpai yang terletak di area

retroperitoneum (McPhee and Ganong, 2010). Bentuk ginjal seperti biji kacang,

jumlahnya ada dua buah kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan

(Syaifuddin,2006). Anatomi ginjal dapat dilihat pada gambar 2.

(32)

Dari gambar anatomi ginjal (gambar 2), setiap ginjal terbungkus oleh

selaput tipis yang disebut kapsula renalis yang terdiri dari jaringan fibrus

berwarna ungu tua. Lapisan luar terdapat lapisan korteks (substansia kortekalis)

dan lapisan sebelah dalam bagian medulla (substansia medularis) berbentuk

kerucut yang disebut renal piramid. Puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang

rediri dar lubang-lubang kecil disebut papila renalis. Masing-masing piramid

saling dilapisi oleh kolumna renalis, jumlah renalis 15-16 buah (Syaifuddin,2006).

Satuan anatomis fungsi ginjal adalah nefron, suatu struktur yang terdiri

atas berkas kapiler yang dinamai glomerulus (tempat darah yang disaring) dan

tubulus ginjal (tempat air dan garam dalam filtrat diserap kembali) (McPhee and

Ganong, 2010). Pada setiap ginjal diperkirakan ada 1.000.000 nefron, selama 24

jam dapat menyaring darah 170 liter (Syaifuddin,2006). Gambar

(33)

Komponen tubular nefron adalah suatu tabung berongga yang berisi

cairan yang dibentuk oleh satu lapisan sel epitel. Komponen tubulus berawal dari

kapsul Bowman, suatu invaginasi berdinding rangkap yang melingkupi

glomerulus untuk mengumpulkan cairan dari kapiler glomerulus

(Syaifuddin,2006).

Dari kapsula Bowman, cairan yang difiltrasi mengalir ke dalam tubulus

proksimal, yang seluruhnya terletak didalam korteks dan membentuk gulungan

gulungan rapat sepanjang perjalanannya. Segmen berikutnya ansa Henle,

membentuk lengkung berbentuk U tajam atau hairpin yg masuk ke dalam medula

ginjal. Pars desenden ansa Henle masuk dari korteks kedalam medula, pars

asendens berjalan balik ke korteks (Syaifuddin,2006).

Aparatus jugstaglomerulus suatu struktur yang terletak disamping

glomerulus yang berperan dalam mengatur fungsi ginjal. Setelah Aparatus

jugstaglomerulus, tubulus kembali membentuk kumparan erat menjadi tubulus

distal, tubulus distal mengalirkan isinya ke dalam duktus atau tubulus koligentes

(Syaifuddin,2006).

2. Fisiologi ginjal

Menurut Price (1985) fungsi utama ginjal dapat dibagi menjadi dua, yaitu

fungsi ekskresi dan nonekskresi. Fungsi ekskresi ginjal antara lain :

a. mempertahankan osmolalitas plasma,

b. mempertahankan volume cairan ekstraseluler dan tekanan darah,

c. mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam

(34)

d. mempertahankan pH plasma,

e. mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (terutama

urea, asam urat dan kreatinin), dan

f. bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat.

Sedangkan fungsi nonekskresi ginjal yaitu mensintesis dan mengaktifkan

hormon, yaitu renin, eritropoetin, 1,25-dihidroksivitamin D3, prostaglandin,

insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan, hormon anti

diuretik (ADH), hormon gastrointestinal, serta degradasi hormon polipeptida.

3. Patologi ginjal

Sebagian penyakit glomerulus bermanifestasi sebagai proteinuria berat

tetapi tanpa tanda reaksi peradangan selular (penyakit nefrotik), sementara yang

lain memperlihatkan proteinuria dengan derajat bervariasi yang disertai oleh

adanya sel darah merah dan putih di urin (penyakit nefritik). Penyakit nefrotik

biasanya memperlihatkan pengendapan kompleks imun tepat di atau di bawah sel

epitel. Sedangkan penyakit nefritik memperlihatkan pengendapan kompleks imun

di lokasi subendotel atau di membran basal glomerulus atau mesangium (McPhee

and Ganong, 2010).

Penyakit mengenai tubulus dan interstisium antara lain reaksi peradangan

di tubulus dan interstisium (nefritis tubulointerstisium). Nefritis tubulointerstisium

dapat bersifat akut atau kronis. Nefritis tubulointerstisium akut memperlihatkan

secara histologiss ditandai dengan edema interstisial, sering kali disertai infiltrasi

leukositik di interstisum dan tubulus, dan nekrosis tubulus fokal. Nekrosis adalah

(35)

membesar dan lebih asidofik (merah) daripada sel normal. Nekrosis melibatkan

kematian sekelompok sel dan terlihat adanya respon peradangan. Pada nefritis

tubulointerstisium kronik, terjadi infiltrasi terutama oleh leukosit menonukleus,

fibrosis interstisium, dan atrofi tubulus luas. Gambaran morfologik yang

membedakan bentuk akut dan kronik pada nefritis tubulointerstisium adalah

edema dan (jika ada) eosinofil dan neutrofil pada bentuk akut, dan fibrosis serta

atrofi tubulus pada bentuk kronik (Kumar, Abbas, and Fausto, 2010).

Nefritis interstitial yaitu peradangan pada daerah interstisium yang

disebabkan oleh reaksi alergi obat, penyakit autoimun, infeksi atau infiltrasi

penyakit lainnya. Dalam nefritis interstitial akut, kerusakan tubular menyebabkan

disfungsi tubular ginjal, dengan atau tanpa gagal ginjal. Terlepas dari tingkat

keparahan kerusakan epitel tubular, disfungsi ginjal ini umumnya bersifat

reversibel (Kumar, et al., 2010).

4. Kreatinin

Kreatinin merupakan produk akhir dari metabolisme kreatin otot dan

kreatin fosfat (protein), yang disintesis dalam hati, ditemukan dalam otot rangka

dan darah, dan diekskresikan dalam urine. Meningkatnya kadar kreatinin dalam

darah merupakan indikasi rusaknya fungsi ginjal (Sutedjo, 2008).

Kreatinin berasal dari pemecahan kreatinifosfat otot. Kreatinin adalah

produk akhir dari metabolisme kreatin. Kreatin sebagian besar ditemukan di otot

rangka, tempat zat ini terlibat dalam penyimpanan energi sebagai kreatin fosfat.

Dalam sintesis ATP dari ADP, kreatin fosfat diubah menjadi kreatin dengan

(36)

energi sehingga dihasilkan kreatin fosfat. Dalam prosesnya, sejumlah kecil kreatin

diubah secara ireversibel menjadi kreatinin, yang dikeluarkan dari sirkulasi oleh

ginjal. Jumlah kreatinin yang dihasilkan setara dengan massa otot rangka yang

dimilikinya (Sacher and Richard, 2004).

Metode pemeriksaan kreatinin antara lain :

a. Jaffe Reaction. Dasar dari metode ini adalah kreatinin dalam suasana alkalis

dengan asam pikrat membentuk senyawa kuning jingga. Alat yang digunakan

photometer.

b. Kinetik. Dasar metodenya relatif sama hanya dalam pengukuran dibutuhkan

sekali pembacaan. Alat yang digunakan autoanalyzer.

c. Enzimatik. Dasar metode ini adalah dengan adanya substrat dalam sampel

bereaksi dengan enzim membentuk senyawa enzim substrat dengan menggunakan

alat photometer.

Meskipun sejumlah kecil disekresi, tes kliren kreatinin merupakan suatu

tes untuk memperkirakan GFR dalam klinik (Price and Wilson, 1985).

Glomerulus filtration rate (GFR) didefinisikan sebagai volume filtrat yang masuk

ke dalam kapsula Bowman per satuan waktu. Untuk mengukur GFR, dilakukan

pengambilam sampel darah, pengumpulan urin secara berkala dalam waktu

tertentu, dan pengukuran konsentrasi kreatinin dalam darah dan urin (Crowin,

(37)

D. Infusa

1. Definisi

Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi

simplisia nabati dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit. Infus merupakan

cara yang paling sederhana untuk membuat sediaan herbal dari bahan lunak

seperti daun dan bunga. Infusa dapat diminum panas atau dingin (Direktorat Obat

Asli Indonesia, 2010).

2. Pembuatan

Proses pembuatan sediaan infusa yaitu dengan mencampur simplisia

dengan derajat halus yang sesuai dalam panci dengan air secukupnya, kemudian

dilakukan pemanasan di atas tangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu

mencapai 90oC sambil sekali-sekali diaduk-aduk. Serkai selagi panas melalui kain

flanel, lalu menambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh

volume infus yang dikehendaki (Direktorat Obat Asli Indonesia, 2010).

E. Keterangan Empiris

Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif untuk mendapatkan bukti

adanya efek toksisitas subkronis dari infusa daun sirih merah pada ginjal dan

(38)

19

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian pengaruh pemberian infusa daun sirih merah pada tikus jantan

dan betina galur wistar secara subkronis terhadap ginjal dan kreatinin termasuk

penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah.

Rancangan acak lengkap merupakan cara menetapkan sampel yang digunakan

dalam penelitian dengan pengacakan agar setiap sampel memperoleh kesempatan

yang sama untuk dapat masuk ke dalam kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol. Pola searah ditunjukkan dengan diberikannya perlakuan yang sama pada

kelompok perlakuan, yaitu pemberian infusa daun sirih merah secara per oral

dengan dosis yang berbeda.

B. Variabel Penelitian

1. Variabel utama

a. Variabel bebas. Variabel bebas dari penelitian ini adalah dosis infusa daun

sirih merah/KgBB tikus.

b. Variabel tergantung. Variabel tergantung dari penelitian ini adalah

histopatologi ginjal dan kadar kreatinin tikus jantan dan betina yang

(39)

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali

Hewan uji galur Wistar , umur 2-3 bulan, jenis kelamin jantan dan betina,

berat badan 100-200 gram dan bahan uji berupa daun sirih merah (daun

sirih merah diambil yang masih muda dan waktu pengambilan pagi hari,

diperoleh dari bapak Yohanes Dwiatmaka).

b. Variabel pengacau tak terkendali

Variabel pengacau tak terkendali dari penelitian ini adalah keadaan

patologis dan fisiologis hewan uji.

C. Definisi Operasional

1. Infusa daun sirih merah diperoleh dengan cara menginfundasi sejumlah 20 g

serbuk kering daun sirih merah dalam air 180,0 ml pada suhu 90oC selama 15

menit.

2. Dosis infusa daun sirih merah yang diberikan pada kelompok perlakuan yaitu

sejumlah mg serbuk daun sirih merah yang dibuat dalam bentuk infusa sebesar

1,38 ; 2,07 ; 3,105 g/KgBB.

3. Pengaruh pemberian infusa daun sirih merah didefinisikan sebagai efek yang

ditimbulkan oleh infusa daun sirih merah terhadap histopatologi ginjal dan

kadar kreatinin dalam darah tikus jantan dan betina.

4. Kadar kreatinin merupakan indikasi rusaknya fungsi ginjal. Kreatinin adalah

(40)

5. Histopatologi ginjal adalah pemeriksaan morfologi sel atau jaringan pada

sediaan mikroskopik dalam hal ini ginjal dengan cara membuat preparat dari

ginjal dengan proses pewarnaan untuk menetapkan diagnosis kelainan.

D. Bahan Penelitian

1. Daun sirih merah yang digunakan diambil pada bagian tengah antara pucuk

dan pangkal daun dalam kondisi segar berwarna hijau dan utuh,

2. Tikus jantan dan betina galur Wistar berumur 2–3 bulan dengan berat badan

100-200 g yang diperoleh dari Laboratorium Hayati Imono, Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

3. Aquadest sebagai pelarut infusa daun sirih merah yang diperoleh dari

Laboratorium Farmakologi-Toksikologi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma, Yogyakarta.

4. Asupan pakan hewan uji yaitu pelet BR-2 dan minum hewan uji yaitu aquadest

yang diperoleh dari Laboratorium Hayati Imono, Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma, Yogyakarta.

E. Alat Penelitian

Kandang tikus (metabolic cage), timbangan, pipa kapiler (haematokrit),

Eppendorf, spuit injeksi per oral 5 cc, Bekker glass, batang pengaduk, gelas ukur,

panci infusa, heater, Stopwatch, kain flannel, kapas, mesin penyerbuk, oven,

(41)

F. Tata Cara Penelitian

1. Determinasi daun sirih merah

Determinasi dilakukan di Laboratorium Farmakognosi Fitokimia

Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dengan

mencocokkan tanaman pada determinasi tanaman sirih merah yang telah

dilakukan oleh Martinus Supriyadi Krisyanto. Hasil determinasi tanaman sirih

merah dilakukan sampai ke tingkat spesies dan disahkan oleh Yohanes

Dwiatmaka, M.Si

2. Pengumpulan bahan uji

Bahan uji yang digunakan adalah daun sirih merah. Daun yang dipilih

adalah daun dalam kondisi segar dan berwarna hijau pada bagian tengah antara

pucuk dan pangkal daun. Daun diperoleh dari bapak Yohanes Dwiatmaka.

3. Pembuatan serbuk kering daun sirih merah

Daun sirih merah yang telah dipetik, dicuci, dikeringkan, kemudian

dimasukkan ke dalam oven dengan suhu ± 50oC selama 24 jam. Daun yang telah

kering kemudian diserbuk dan diayak dengan menggunakan ayakan no. 30 dan

dilakukan perhitungan rendemen serbuk daun sirih merah.

4. Penetapan kadar air serbuk daun sirih merah

Penetapan kadar air menggunakan metode gravimetri dengan bantuan

alat Moisture Balance. Dimasukkan ± 5 g serbuk daun sirih merah ke dalam alat,

kemudian diratakan. Timbang bobot zat sebagai bobot sebelum pemanasan (bobot

(42)

setelah pemanasan (bobot b). Selisih bobot a dan bobot b merupakan kadar air

yang diselidiki.

5. Pembuatan infusa daun sirih merah

Infusa daun sirih merah dibuat dengan menimbang 20 g serbuk kering

daun sirih merah dengan menambahkan 100 ml aquadest. Campuran ini

dipanaskan selama 15 menit dengan suhu 90oC pada heater. Waktu 15 menit

dihitung ketika suhu campuran telah mencapai 90oC. Air yang diperoleh

kemudian disaring menggunakan kain flanel dan apabila belum mencapai volume

100 ml maka dapat ditambahkan air panas melalui ampas rebusan hingga volume

yang diinginkan tercapai. Konsentrasi infusa yang didapat adalah 20%.

6. Penetapan dosis infusa daun sirih merah

Penetapan dosis didasarkan pada pemakaian daun sirih merah di

masyarakat yaitu sebanyak 7-8 helai daun sirih merah (23 g). Sehingga dosis

terapi infusa daun sirih merah adalah 23 g/70KgBB. Konversi manusia (70 kg ke

tikus 200 g) = 0,018 (Laurence and Bacharach, 1964).

Dosis untuk 200 g tikus = 0,018 x 23g

= 0,414g/200g BB

= 2,07x10-3g/g BB

= 2,07 g/Kg BB

Dalam penelitian ini dibuat 3 peringkat dosis, dengan cara menggunakan

kelipatannya. Angka kelipatan yang digunakan sebesar satu setengah kalinya,

(43)

7. Penetapan dosis aquadest sebagai kontrol negatif

Untuk penentuan dosis aquadest digunakan dosis tertinggi untuk

mengetahui jumlah volume maksimum yang diberikan kepada hewan uji. Dosis

tertinggi 3,105 g/kgBB, berdasarkan rumus didapatkan volume maksimum yaitu :

D x BB = C x V

3,105g/Kg BB x 200g = 20% x V

V = 3,105 ml/200g BB

Maka dosis aquadest adalah :

V = 0,015525 ml/g BB

V = 0,015525 g/g BB (karena 1ml aquadest sama dengan 1g)

V = 15,525 g/KgBB

8. Penyiapan hewan uji

Hewan uji yang digunakan terdiri dari tikus jantan dan betina, galur

Wistar, umur 2-3 bulan, berat badan 100-200 g, berjumlah 40 ekor (20 jantan dan

20 betina) disiapkan dan ditempatkan dalam metabolic cage. Pada setiap

metabolic cage berisi satu tikus. Tiga hari sebelum dilakukan perlakuan hewan uji

diadaptasikan pada metabolic cage.

9. Pengelompokan hewan uji

Pada penelitian ini digunakan empat puluh ekor tikus, dibagi menjadi

empat kelompok secara acak, yaitu satu kelompok kontrol dan tiga kelompok

perlakuan, masing-masing kelompok uji terdiri dari sepuluh ekor tikus (lima

jantan dan lima betina). Kelompok I, yaitu kelompok kontrol negatif diberi

(44)

sirih merah dengan peringkat dosis berturut-turut, yaitu 1,38 ; 2,07 ; 3,105 g/kgBB

tikus.

10. Prosedur pelaksanaan toksisitas subkronis

Sediaan uji berupa infusa daun sirih merah diberikan pada hewan uji

sesuai dosis pemberian dengan kekerapan pemberian satu kali sehari selama 28

hari pada tikus jantan dan betina dengan tetap diberi makan dan minum. Pada

awal masa uji yaitu pada hari pertama, darah semua tikus diambil melalui sinus

orbitalis mata. Pengambilan darah dilakukan dengan menusukkan pipa kapiler

langsung ke sinus orbitalis mata. Sampel darah yang diambil kemudian ditampung

pada eppendorf yang telah diberi kode kemudian dikirim ke Parahita Medical Lab

untuk dilakukan pengukuran kadar kreatinin darah tikus. Pemberian infusa daun

sirih merah dilakukan selama 28 hari pada setiap kelompok perlakuan sesuai

dengan peringkat dosis. Pada hari ke-29 darah semua tikus diambil melalui vena

orbitalis mata ditampung pada eppendorf untuk diambil serum darah kemudian

dilakukan kembali pengukuran kadar kreatinin tikus. Pada hari ke-29 juga

dilakukan pembedahan setengah dari hewan uji baik jantan maupun betina untuk

dilakukan pemeriksaan histopatologi ginjal. Kemudian pada hari ke-42 (14 hari

setelah hari ke-28) pembedahan hewan uji yang tersisa untuk melihat

reversibilitas wujud toksik ginjal.

11. Pemeriksaan histopatologis

Untuk pemeriksaan histopatologis, sebelumnya tikus dikorbankan dengan

cara diskolasi leher yaitu cara mematikan hewan uji dengan cara menarik leher

(45)

pembedahan terhadap tikus. Tikus diletakkan secara terlentang diatas papan

pembedahan (gabus/steroform) dan dibedah dengan membuat irisan digaris tengah

ventral tubuh mulai dari area bukaan genitalia hingga ke leher. Rongga perut dan

rongga dada dibuka. Setelah pembedahan, organ ginjal diambil untuk dilakukan

pemeriksaan histopatologis. Organ kemudian dicuci bersih dengan akuades

kemudian difiksasi, diletakkan didalam pot yang berisi formalin 10%.

12. Histopatologi ginjal

Organ ginjal yang telah diambil selanjutnya dibuat preparat agar mudah

diamati dibawah mikroskop. Pembuatan preparat histopatologi tersebut secara

berurutan difiksasi di dalam larutan buffer netral formalin, trimming, dehidrasi,

infiltrasi dengan parafin, diiris dengan mikrotom dan diwarnai dengan

hematosilin-eosin (HE). Pewarnaan dilakukan dengan cara menginkubasi preparat

otot dengan larutan Mayer’s hematoxilyn selama 5 menit, kemudian diinkubasi

dalam larutan Eosin 0,5% yang sudah ditambah asam asetat (100 : 1).

13. Pengamatan dan pengumpulan data

a. Pengamatan berat badan hewan uji

Pengamatan berat badan terhadap hewan uji dilakukan dengan cara

menimbang hewan uji dengan timbangan. Penimbangan berat badan hewan uji

dilakukan setiap hari. Perhitungan purata berat badan tikus dilakukan dengan cara

menambahkan berat badan tikus kemudian dibagi dengan jumlah tikus di tiap

kelompok dilakukan pada hari 0, 7, 14, 21, 28. Kemudian data yang diperoleh

(46)

b. Pengukuran asupan pakan hewan uji

Hewan uji diberikan asupan pakan setiap hari sebanyak 20 g dan

dilakukan penggantian pakan setiap harinya. Cara mengukur besarnya asupan

pakan tikus yaitu dengan menimbang pakan yang diberikan pada hari pertama,

kemudian pada hari kedua pakan yang masih tertinggal pada wadah ditimbang.

Selisih penimbangan antara berat pakan hari kedua dengan berat badan hari

pertama, dihitung sebagai asupan makanan yang dihabiskan pada hari pertama.

c. Pengukuran asupan minum hewan uji

Hewan uji diberikan minum berupa air aquadest sebanyak 150 ml.

Minum diberikan dalam wadah botol kaca yang diberi pipa yang berlubang pada

ujungnya. Pengukuran asupan minum hewan uji dilakukan dengan cara

memasukkan 150 ml air pada wadah dihari pertama, kemudian pada hari kedua

jumlah sisa air yang masih terdapat dalam botol dihitung. Air minum yang

dihabiskan tikus pada hari pertama dihitung dengan cara mengurangkan jumlah

air minum yang diberikan pada hari pertama dengan jumlah air minum sisa pada

hari kedua.

14. Analisis Data

Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan bermakna sebelum dan

sesudah perlakuan dilakukan uji paired-T test untuk semua kelompok perlakuan.

Selanjutnya data kadar kreatinin dianalisis dengan uji Kolmogorov Smirnov untuk

melihat distribusi data tiap kelompok perlakuan. Apabila distribusi data normal

maka analisis dilanjutkan dengan analisis pola searah (One Way ANOVA) dengan

(47)

untuk mengetahui perbedaan masing-masing kelompok. Apabila hasil analisis

dengan uji Kolmogorov Smirnov data menunjukkan distribusi yang tidak normal

maka analisis dilanjutkan dengan analisis non parametrik, yaitu Kruskal Walis

untuk melihat perbedaan kadar kreatinin darah antar kelompok, dilanjutkan

dengan uji Mann Whitney untuk mengetahui perbedaan uji tiap kelompok.

Untuk data berat badan dianalisis dengan General Linear Model (metode

Multivariate). Dari hasil Multivariate akan terbaca nilai sig berat badan sehingga

(48)

29

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian toksisitas subkronis infusa daun sirih merah dengan tiga

peringkat dosis yaitu 1,38 ; 2,07 ; 3,105 g/kgBB pada tikus jantan dan betina galur

wistar ini bertujuan mengetahui ada tidaknya potensi efek toksik dari infusa daun

sirih merah, serta secara khusus bertujuan untuk mengungkapkan spektrum efek

toksik infusa daun sirih merah terhadap kadar kreatinin darah yang dinilai dari

perubahan kadar kreatinin darah dan mengungkapkan kekerabatan antara dosis

dengan spektrum efek toksik.

A. Determinasi Tanaman

Determinasi ini bertujuan untuk menghindari kesalahan dan untuk

memastikan bahwa tanaman yang diteliti benar merupakan tanaman Piper

crocatum Ruiz & Pav. Determinasi dilakukan dengan mencocokkan tanaman pada

determinasi tanaman sirih merah yang telah dilakukan oleh Martinus Supriyadi

Krisyanto. Hasil determinasi tanaman sirih merah dilakukan sampai tingkat

spesies.

Dari hasil determinasi dapat disimpulkan bahwa tanaman yang

digunakan dalam penelitian ini adalah benar tanaman Piper crocatum Ruiz &

Pav. (lampiran 10). Determinasi ini telah disahkan oleh Yohanes Dwiatmaka,

(49)

B.Serbuk dan Kadar Air Daun Sirih Merah

Daun sirih yang telah dikumpulkan sebanyak 1 kg , dicuci dan

dikeringkan. Proses pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu

± 50oC selama 24 jam. Daun sirih merah yang sudah kering kemudian dibuat

serbuk menggunakan mesin penyerbuk. Kemudian serbuk kering diayak

menggunakan ayakan nomor 30.

Pengayakan ini bertujuan untuk menyeragamkan ukuran serbuk daun

sirih merah. Dari penyerbukkan dan pengayakan diperoleh serbuk kering daun

sirih merah sejumlah 230,18 g, selanjutnya dilakukan perhitungan rendemen.

Perhitungan rendemen ini bertujuan untuk mengetahui berapa persen serbuk daun

sirih merah dari daun sirih merah basah yang diperoleh. Dari perhitungan

diperoleh nilai rendemen sebesar 23,018%.

Selanjutnya serbuk yang sudah dibuat dilakukan penetapan kadar air

berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 661/Menkes/SK/VII/1994

tentang Persyaratan Obat Tradisional, standar kadar air maksimum simplisia

adalah 10%. Penetapan kadar air menggunakan metode gravimetri. Prinsip metode

ini yaitu analisis kuantitatif berdasarkan berat tetapnya (berat konstan) (Sudjadi,

2010). Dari serbuk sirih merah yang dibuat diperoleh kadar air sebesar 9,48 %,

kadar air ini telah memenuhi syarat Menteri Kesehatan. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa serbuk yang digunakan sudah memenuhi syarat simplisia

(50)

C. Kadar Kreatinin Darah Tikus Jantan Akibat Pemberian Infusa Daun

Sirih Merah

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan spektrum efek toksik

infusa daun sirih merah terhadap kadar kreatinin darah. Pengukuran kadar

kreatinin dalam penelitian ini menggunakan metode creatinine assay dengan

prinsip alkaline picrate. Pada pH alkali, kreatinin didalam sampel bereaksi dengan

picrate untuk membentuk komplek antara kreatinin-picrate, kemudian diukur pada

absorbansi 500 nm yang akan secara langsung menunjukkan besar kadar kreatinin

didalam serum darah. Pengukuran kadar kreatinin pada penelitian ini dilakukan di

Parahita Medical Lab.

Pemeriksaan kadar kreatinin darah dilakukan sebelum dan setelah

pemberian infusa daun sirih merah selama 28 hari. Tujuan pemeriksaan sebelum

pemberian infusa daun sirih merah adalah untuk mengetahui kadar kreatinin

sebelum perlakuan dan kemungkinan adanya kondisi patologi yang terkait dengan

fungsi ginjal. Kadar kreatinin darah sebelum dan setelah pemberian infusa daun

sirih merah pada tiap kelompok dianalisis menggunakan Paired T-test, uji ini

dilakukan karena subjek uji yang digunakan sama namun memiliki perlakuan

yang berbeda dan melihat apakah terdapat pengaruh pemberian infusa daun sirih

merah yang bermakna pada pre dan post perlakuan ditiap kelompok perlakuan.

Penelitian ini menggunakan empat kelompok perlakuan, yaitu kelompok

kontrol aquadest dosis 15,525 g/kgBB dan kelompok perlakuan infusa daun sirih

(51)

kontrol bertujuan untuk melihat apakah penggunaan aquadest sebagai pelarut

infusa daun sirih merah dapat memberikan pengaruh terhadap kadar kreatinin.

Tabel I. Nilai pre dan post kadar kreatinin darah pemberian infusa daun sirih merah pada tikus jantan

Kelompok Perlakuan n Kadar Kreatinin (mg/dL) Nilai p

Pre

(Mean ± SE)

Post

(Mean ± SE) I Kontrol aquadest

15,525 g/kgBB

5 0,44 ± 0,00 0,49 ± 0,01 0,016B

II IDSM 1,38 g/kgBB 5 0,46 ± 0,01 0,48 ± 0,12 0,019B III IDSM 2,07 g/kgBB 5 0,42 ± 0,12 0,47 ± 0,01 0,010B IV IDSM 3,105 g/kgBB 5 0,45 ± 0,26 0,46 ± 0,02 0,665TB

Keterangan : TB = berbeda tidak bermakna (p>0.05) B = berbeda bermakna (p<0.05) IDSM = infusa daun sirih merah

Pre = sebelum pemberian infusa daun sirih merah Post = setelah pemberian infusa daun sirih merah SE = Standar Error of Mean

Gambar 4. Diagram batang rerata ± SE kadar kreatinin darah tikus jantan

Dari tabel I menunjukkan bahwa adanya peningkatan rerata kadar

kreatinin tikus jantan sebelum dan sesudah perlakuan selama 28 hari. Terlihat

pada kontrol aquadest menunjukkan hasil berbeda bermakna (p>0,05) begitu juga

(52)

kebermaknaan perbedaan pada kelompok kontrol aquadest dan perlakuan infusa

daun sirih merah dosis 1,38 dan 2,07 g/kgBB disebabkan terjadinya peningkatan

kadar kreatinin yang signifikan, dilihat dari nilai rerata ± SE. Selain itu perbedaan

yang bermakna pada kelompok kontrol aquadest ini lebih dikarenakan faktor

individu tikus itu sendiri. Hal ini diperkuat dengan hasil uji One-Way Anova yang

menunjukkan hasil berbeda tidak bermakna antara kelompok kontrol aquadest

dengan kelompok perlakuan infusa daun sirih merah.

Dari hasil uji normalitas kadar kreatinin tikus jantan dengan uji statistik

Kolmogorov-Smirnov diperoleh hasil bahwa distribusi keempat kelompok

perlakuan adalah normal. Hal ini dilihat dari nilai p pada keempat kelompok

adalah 0,569 (p> 0,05) (statistik pada lampiran 16). Selanjutnya kadar kreatinin

darah post pemberian infusa daun sirih merah dianalisis secara statistik

menggunakan One Way Anova, bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian

infusa daun sirih merah pada kelompok perlakuan infusa daun sirih merah yang

dibandingkan terhadap kelompok kontrol. Hasil analisis One Way Anova terhadap

kadar kreatinin darah post pemberian infusa daun sirih merah diperoleh nilai

probabilitas sebesar 0,605 (p>0,05) menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna

antara kelompok kontrol aquadest dan kelompok perlakuan. Hal ini berarti

pemberian infusa daun sirih merah selama 28 hari tidak memberikan pengaruh

terhadap kadar kreatinin tikus jantan. Diagram batang (gambar 4) menunjukkan

bahwa tidak terdapat kekerabatan antara spektrum efek toksik dengan dosis infusa

(53)

D. Kadar Kreatinin Darah Tikus Betina Akibat Pemberian Infusa Daun Sirih

Merah

Rerata kadar kreatinin tikus betina sebelum dan sesudah perlakuan

selama 28 hari juga menunjukkan adanya peningkatan (tabel II).

Tabel II. Nilai pre dan post kadar kreatinin darah pemberian infusa daun sirih merah pada tikus betina

Kelompok Perlakuan n Kadar Kreatinin (mg/dL) Nilai p

Pre

(Mean ± SE)

Post

(Mean ± SE) I Kontrol aquadest

15,525 g/kgBB

5 0,46 ± 0,01 0,52 ± 0,02 0,006B

II IDSM 1,38 g/kgBB 5 0,49 ± 0,01 0,55 ± 0,02 0,008B III IDSM 2,07 g/kgBB 5 0,52 ± 0,01 0,54 ± 0,03 0,502TB IV IDSM 3,105 g/kgBB 5 0,49 ± 0,01 0,52 ± 0,02 0,087TB

Keterangan : TB = berbeda tidak bermakna (p>0.05) B = berbeda bermakna (p<0.05) IDSM = infusa daun sirih merah

Pre = sebelum pemberian infusa daun sirih merah Post = setelah pemberian infusa daun sirih merah SE = Standar Error of Mean

Gambar 5. Diagram batang rerata ± SE kadar kreatinin darah tikus betina

Berdasar tabel II, kelompok kontrol aquadest dan perlakuan infusa daun

sirih merah dosis 1,38 g/kgBB, antara kadar kreatinin pre dan post pemberian

(54)

Perbedaan yang bermakna pada kelompok kontrol aquadest dan perlakuan infusa

daun sirih merah 1,38 g/kgBB disebabkan terjadinya peningkatan kadar kreatinin

darah yang signifikan, dilihat dari nilai rerata ± SE. Selain itu adanya

kebermaknaan perbedaan pada kelompok kontrol aquadest ini lebih dikarenakan

faktor individu tikus itu sendiri. Hal ini diperkuat dengan hasil uji One-Way Anova

setelah pemberian infusa daun sirih merah kadar kreatinin darah pada dosis

tersebut dibandingkan dengan kadar kreatinin darah kelompok kontrol aquadest

menunjukkan hasil berbeda tidak bermakna yang berarti peningkatan kadar

kreatinin darah yang terjadi masih dalam batas normal.

Normalitas distribusi dari keempat kelompok perlakuan pada tikus betina

juga normal, ditunjukkan dari nilai p yang diperoleh yaitu 0,651 (p> 0,05)

(statistik pada lampiran 18). Hasil uji One Way Anova kadar kreatinin tikus betina

setelah pemberian infusa daun sirih merah selama 28 hari diperoleh nilai

probabilitas sebesar 0,817 (p>0,05) menunjukan terdapat perbedaan yang tidak

bermakna antar kelompok kontrol aquadest dan kelompok perlakuan infusa daun

sirih merah. Hal ini berarti pemberian infusa daun sirih merah selama 28 hari

tidak mempengaruhi kadar kreatinin tikus betina. Diagram batang (gambar 5) juga

menunjukkan bahwa tidak terdapat kekerabatan antara spektrum efek toksik

dengan dosis infusa daun sirih merah.

Dari penelitian diperoleh hasil pemberian dosis 1,38 ; 2,07 dan 3,105

g/kgBB infusa daun sirih merah secara subkronis selama 28 hari tidak

(55)

dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat kekerabatan antara spektrum efek toksik

dengan dosis infusa daun sirih merah.

E.Pemeriksaan Histologis Ginjal

Tujuan pemeriksaan histologi ginjal yaitu untuk melihat perubahan

secara struktural pada ginjal. Hasil pemeriksaan gambaran histologis ginjal tikus

jantan dan betina masing-masing kelompok dideskripsikan pada tabel III dan IV.

Tabel III. Hasil pemeriksaan histologis ginjal pada tikus jantan

Perlakuan

Gambaran Histologis Ginjal

Hari ke-28 Hari ke-42

Kontrol aquadest dosis 3,105

g/kgBB

Dua tikus jantan mengalami

perubahan secara struktural pada gambaran histologis yaitu nefritis interstitialis (infiltrasi limfosit di daerah interstisium), sedangkan satu tikus lainnya tidak mengalami perubahan atau normal.

Satu tikus mengalami degenerasi hidropik epitel tubulus (adanya vakuola berbatas dalam sitoplasma dan hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit), dan satu tikus lainnya tidak mengalami perubahan atau normal.

IDSM dosis 1,38

g/kgBB

Satu tikus jantan mengalami perubahan secara struktural pada gambaran histologis yaitu nefritis interstitialis (infiltrasi limfosit di daerah interstisium), dan satu tikus mengalami degenerasi hidropik epitel tubulus (adanya vakuola berbatas dalam sitoplasma dan hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit), sedangkan satu tikus lainnya tidak mengalami perubahan atau normal.

Dua tikus lainnya tidak mengalami perubahan atau normal.

IDSM dosis 2,07

g/kgBB

Satu tikus mengalami nekrosis epitel tubulus, sedangkan dua tikus lainnya tidak mengalami perubahan atau normal.

Satu tikus mengalami degenerasi hidropik epitel tubulus (adanya vakuola berbatas dalam sitoplasma dan hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit), dan satu tikus lainnya tidak mengalami perubahan atau normal

IDSM dosis 3,105

g/kgBB

Ketiga tikus tidak mengalami perubahan atau normal (gambaran glomerulus, tubulus, dan interstisium dalam batas normal).

(56)

Tabel IV. Hasil pemeriksaan histologis ginjal pada tikus betina

Perlakuan Gambaran Histologis Ginjal

Hari ke-28 Hari ke-42

Kontrol aquadest dosis 3,105

g/kgBB

Satu tikus betina mengalami perubahan secara struktural pada gambaran histologis yaitu nefritis interstitialis (infiltrasi limfosit di daerah interstisium), dan dua tikus mengalami degenerasi hidropik epitel tubulus (adanya vakuola berbatas dalam sitoplasma dan hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit).

Satu tikus mengalami degenerasi hidropik epitel tubulus (adanya vakuola berbatas dalam sitoplasma dan hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit), dan satu tikus lainnya tidak mengalami perubahan atau normal.

IDSM dosis 1,38

g/kgBB

Tiga tikus mengalami degenerasi hidropik epitel tubulus (adanya vakuola berbatas dalam sitoplasma dan hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit).

Satu tikus mengalami degenerasi hidropik epitel tubulus (adanya vakuola berbatas dalam sitoplasma dan hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit), dan satu tikus lainnya tidak mengalami perubahan atau normal.

IDSM dosis 2,07

g/kgBB

Ketiga tikus tidak mengalami perubahan atau normal (gambaran glomerulus, tubulus, dan interstisium dalam batas normal).

Satu tikus betina mengalami dua perubahan sekaligus secara struktural yaitu nefritis interstitialis (infiltrasi limfosit di daerah interstisium), dan degenerasi hidropik epitel tubulus (adanya vakuola berbatas dalam sitoplasma dan hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit), sedangkan satu tikus lainnya tidak mengalami perubahan atau normal IDSM

dosis 3,105 g/kgBB

Dua tikus mengalami degenerasi hidropik epitel tubulus (adanya vakuola berbatas dalam sitoplasma dan hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit), dan satu tikus lainnya tidak mengalami perubahan atau normal.

Kedua tikus mengalami degenerasi hidropik epitel tubulus (adanya vakuola berbatas dalam sitoplasma dan hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit.

Dari tabel III dan IV terlihat gambaran histopatologi ginjal sebagian

besar tikus jantan dan betina baik kontrol maupun perlakuan selama menerima

pemejanan infusa daun sirih merah selama 28 hari menunjukkan adanya

(57)

tubulus, kecuali pada tikus jantan perlakuan infusa daun sirih merah dosis 3,105

g/kgBB baik pada masa pemejanan maupun reversibilitas sama sekali tidak

menunjukkan adanya kerusakan pada sel-sel ginjal. Gambaran histologis organ

dicantumkan pada gambar 6.

Gambar 6. Histologi ginjal tikus dengan perbesaran 400x (a) tikus normal, (b) nekrosis epitel tubulus, (c) degenerasi hidropik epithel tubulus, dan (d) nefritis interstitialis

Pada kelompok kontrol akuadest dosis 15,525 g/kgBB maupun perlakuan

infusa daun sirih merah dosis 1,38 g/kgBB ditemukan adanya perubahan secara

struktural pada ginjal tikus jantan yaitu nefritis intertitialis dan degenerasi hidrofik

tubulus.

b a

(58)

Nefritis interstitialis merupakan kelainan pada ginjal di mana ruang

antara tubulus ginjal mengalami pembengkakan ditandai adanya infiltrasi limfosit.

Nefritis interstitialis biasanya hasil dari reaksi alergi obat, bisa juga disebabkan

oleh penyakit autoimun, infeksi atau infiltrasi penyakit lainnya. Oleh karena itu,

adanya nefritis intertitialis yang terjadi pada kontrol ini bisa dikatakan bukan

dikarenakan pemberian infusa daun sirih merah, melainkan faktor patologis dari

individu tikus. Perubahan struktural ini bersifat reversibel hal ini bisa dilihat pada

dosis 1,38 g/kgBB, rentang setelah pemberian infusa daun sirih merah dihentikan

dan pada hari ke-42 (masa reversibilitas), tidak ditemukan adanya perubahan pada

sel ginjal (sel tampak normal).

Selain mengalami nefritis interstitial, tikus jantan pada perlakuan infusa

daun sirih merah dosis 1,38 g/kgBB mengalami degenerasi hidropik epitel tubulus

(gambar b). Degenerasi hidropik ini ditandai adanya vakuola dalam sitoplasma

dan sel mengalami hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit.

Selain itu juga terlihat pada perlakuan infusa daun sirih merah dosis 2,07

g/kgBB mengalami nekrosis pada sel tubulus (gambar c) nekrosis hanya terjadi

pada satu ekor tikus sedangkan pada tikus lainnya tidak ditemukan, maka dapat

dikatakan nekrosis yang terjadi bukan dikarenakan oleh perlakuan tetapi oleh

faktor patologi dari individu tikus itu sendiri. Nekrosis ini bersifat irreversibel.

Nekrosis yang terjadi ditandai dengan adanya inti sel yang mengalami

kariopiknotis. Piknosis atau pengerutan inti merupakan homogenisasi sitoplasma

dan peningkatan eosinofil. Piknosis dapat terjadi karena adanya kerusakan di

Gambar

Tabel I.  Nilai pre dan post Kadar Kreatinin Darah Pemberian Infusa
Gambar 1. Tanaman  Piper crocatum Ruiz & Pav (Plantamor, 2011).
Gambar 2. Anatomi Ginjal (BaileyBio.com, 2008)
Gambar 3. Struktur Nefron (Sherwood, 2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Sastrawidjaya, dkk, 2002, Nelayan Nusantara,Pusat Pengolahan Produk Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Identifikasi potensi area, kualitas air

Wardana (2016) meneliti tentang pengaruh variasi CDI terhadap kinerja otor bensin empat langkah 200 cc berbahan bakar premium. Parameter yang dicari adalah torsi, daya

Andy Hagen, Contemporary Worship Brings a “Joyful Spirit” (an essay taken from the internet, Illinois: Joyful Spirit Lutheran Church, 1999), p.6. Its use to refer solely to

[r]

There are two kinds of sources used in this study, namely the primary source, which is the three short stories mentioned above, and secondary sources from references, books

a) A publicity document should be distributed at the previous ICC, at other relevant events, and mailed as widely as possible. b) First call for papers, 20 months prior to the

M atriks transformasi adalah matriks yang memetakan sebuah vektor atau posisi pada satu sistem koordinat ke sistem koordinat yang lain dengan memperhatikan rotasi,