UJI TOKSISITAS SUBKRONIS INFUSA DAUN SIRIH MERAH (Piper
crocatum Ruiz & Pav.) PADA TIKUS : STUDI TERHADAP GAMBARAN
MIKROSKOPIS GINJAL DAN KADAR KREATININ
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Hertarinda
NIM : 098114070
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS INFUSA DAUN SIRIH MERAH (Piper
crocatum Ruiz & Pav.) PADA TIKUS : STUDI TERHADAP GAMBARAN
MIKROSKOPIS GINJAL DAN KADAR KREATININ
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Hertarinda
NIM : 098114070
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
“Dear God, sometimes it’s hard for me to
understand what You really want to happen but i
trust You. I know you will give me what’s best”
Dalam segala perkara Tuhan punya rencana yang lebih besar dari semua yang terpikirkan..
Apapun yang Kau perbuat tak ada maksud jahat sebab itu kulakukan semua denganMu..
Ku tak akan menyerah pada apapun juga sebelum kucoba semua yg kubisa, tetapi ku berserah kepada kehendakMu..
hatiku percaya Tuhan punya rencana..
“He has made everything beautiful in it’s time”
(Ecclesiastes 3 : 11)
vii
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Toksisitas Subkronis
Infusa Daun Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) Pada Tikus : Studi
Terhadap Gambaran Mikroskopis Ginjal Dan Kadar Kreatinin” sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm).
Dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini penulis telah banyak
mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka dari itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Bapak Prof. Dr. C. J. Soegihardjo, Apt. dan Ibu Phebe Hendra, M.Si.,
Ph.D., Apt. selaku Dosen Penguji skripsi yang telah memberikan
dukungan, masukan dan saran kepada penulis.
3. Bapak Ipang Djunarko,M.Sc., Apt. selaku Dosen Pembimbing dan Dosen
Penguji untuk bimbingan, saran, serta pengarahan dalam proses
pengerjaan skripsi ini.
4. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt. selaku Dosen Pembimbing Akademik
penulis selama masa studi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
5. Ibu Rini Dwiastuti, M.Si., Apt. selaku Kepala Penanggung jawab
Laboratorium Fakultas Farmasi yang telah memberikan izin dalam
penggunaan semua fasilitas laboratorium untuk kepentingan penelitian
viii
6. Pak Heru, Pak Parjiman, Pak Kayatno, Pak Wagiran, selaku laboran
laboratorium Fakultas Farmasi yang telah banyak memberikan bantuan
selama proses pelaksanaan penelitian.
7. Papa, mama, dan adek OO yang tersayang untuk doa, kasih sayang, serta
dukungan yang tiada henti kepada penulis.
8. Seluruh keluarga besarku, atas semangat dan doa kalian sehingga skripsi
ini terselesaikan.
9. Ningsie, Carli, dan Catur terima kasih untuk kebersamaan kita, suka duka
dan bantuan selama penelitian sehingga skripsi kita terselesaikan.
10.Berta Triffina atas perhatian, motivasi, doa, dan semangat yang diberikan.
11.Sahabat-sahabatku tersayang Chissa, Ningsie, Raisa, Defi, Riri, Viena,
Michael atas segala motivasi dan semangat kalian.
12.Rina“sule”, Sefoii, Yohana, Metri, dan Triana terimakasih atas semangat
dan bantuan serta kegalauan kalian yang selalu menghibur.
13.Para penghuni Wisma Amakusa yang sudah mengisi hari-hari penulis dan
memberikan semangat, “We won’t live together forever, but we spent so
many times together and make them special”.
14.56fiders atas doa, keceriaan dan semua semangat kalian.
15.Segenap dosen, staf, dan teman-teman FSM B 09, FKK B 09, serta seluruh
angkatan 2009 Fakultas Farmasi yang telah mendampingi dan mendukung
penulis selama menempuh studi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata
ix
16.Semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari
keterbatasan dan kekurangan penulis. Oleh karena itu penulis mengharapkan
kritik dan saran demi kebaikan skripsi ini. Besar harapan penulis skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang
Farmasi.
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
PRAKATA ... vii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
INTISARI ... xvii
ABSTRACT ... xviii
BAB I PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Perumusan masalah ... 3
2. Keaslian penelitian ... 3
3. Manfaat penelitian ... 5
B. Tujuan Penelitian ... 5
1. Tujuan umum ... 5
xi
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 6
A. Daun Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) ... 6
1. Morfologi tanaman ... 6
2. Taksonomi tanaman ... 7
3. Kandungan kimia ... 7
4. Khasiat dan penggunaan ... 8
B. Toksikologi ... 8
C. Ginjal ... 12
1. Anatomi ginjal ... 12
2. Fisiologi ginjal ... 14
3. Patologi ginjal ... 15
4. Kreatinin ... 16
D. Infusa ... 18
1. Definisi ... 18
2. Pembuatan ... 18
E. Keterangan Empiris ... 18
BAB III. METODE PENELITIAN ... 19
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 19
B. Variabel Penelitian ... 19
1. Variabel utama ... 19
2. Variabel pengacau ... 20
xii
D. Bahan Penelitian ... 21
E. Alat Penelitian ... 21
F. Tata Cara Penelitian ... 22
1. Determinasi tanaman ... 22
2. Pengumpulan bahan uji ... 22
3. Pembuatan serbuk kering daun sirih merah ... 22
4. Penetapan kadar air serbuk daun sirih merah ... 22
5. Pembuatan infusa daun sirih merah ... 23
6. Penetapan dosis infusa daun sirih merah ... 23
7. Penetapan dosis aquadest ... 24
8. Penyiapan hewan uji ... 24
9. Pengelompokan hewan uji ... 24
10.Prosedur pelaksanaan toksisitas subkronis ... 25
11.Pemeriksaan histopatologis ... 25
12.Histopatologi ginjal ... 26
13.Pengamatan dan pengumpulan data ... 26
14.Analisis data ... 27
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29
A.Determinasi Tanaman ... 29
B.Serbuk dan Kadar Air Daun Sirih Merah ... 30
xiii
D.Kadar Kreatinin Darah Tikus Betina Akibat Pemberian Infusa Daun Sirih
Merah ... 34
E. Pemeriksaan Histologis Ginjal ... 36
F. Perubahan Berat Badan Tikus ... 41
G.Asupan Pakan Tikus ... 45
H.Asupan Minum Tikus ... 46
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 48
A.Kesimpulan ... 48
B.Saran ... 48
DAFTAR PUSTAKA ... 49
LAMPIRAN ... 53
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I. Nilai pre dan post Kadar Kreatinin Darah Pemberian Infusa
Daun Sirih Merah Pada Tikus Jantan ... 32
Tabel II. Nilai pre dan post Kadar Kreatinin Darah Pemberian Infusa
Daun Sirih Merah Pada Tikus Betina ... 34
Tabel III. Hasil Pemeriksaan Histologis Ginjal Pada Tikus Jantan ... 36
Tabel IV Hasil Pemeriksaan Histologis Ginjal Pada Tikus Betina ... 37
Tabel V Purata Berat Badan ± SE Tikus Jantan Akibat Pemberian
Infusa Daun Sirh Merah ... 41
Tabel VI. Purata Berat Badan ± SE Tikus Betina Akibat Pemberian
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Tanaman Piper crocatum ... 6
Gambar 2. Anatomi ginjal ... 12
Gambar 3. Struktur nefron ... 13
Gambar 4. Diagram batang rerata ± SE kadar kreatinin darah tikus jantan ... 32
Gambar 5. Diagram batang rerata ± SE kadar kreatinin darah tikus betina ... 34
Gambar 6. Histologi ginjal tikus dengan perbesaran 400x ... 38
Gambar 7. Grafik perubahan berat badan tikus jantan selama pemberian infusa sirih merah ... 42
Gambar 8. Grafik perubahan berat badan tikus betina selama pemberian infusa sirih merah ... 43
Gambar 9. Grafik asupan pakan tikus jantan ... 45
Gambar 10. Grafik asupan pakan tikus betina ... 45
Gambar 11. Grafik asupan minum tikus jantan ... 46
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Gambar simplisia daun sirih merah ... 54
Lampiran 2. Gambar serbuk daun sirih merah ... 54
Lampiran 3. Gamba infusa daun sirih merah ... 54
Lampiran 4. Gambar kandang metabolit ... 55
Lampiran 5. Gambar hewan uji... 55
Lampiran 6. Gambar organ histopatologi ... 55
Lampiran 7. Perhitungan penetapan peringkat dosis infusa sirih merah ... 56
Lampiran 8. Konversi dosis untuk manusia ... 57
Lampiran 9. Perhitungan rendemen daun sirih merah dan penetapan kadar air ... 57
Lampiran 10. Surat pengesahan determinasi tanaman sirih merah ... 59
Lampiran 11. Surat pengesahan hasil histopatologis ... 60
Lampiran 12. Surat Ethical Clearence ... 61
Lampiran 13. Analisis statistik Paired T Test kadar kreatinin pre dan post tikus jantan... 62
Lampiran 14. Analisis statistik Paired T Test kadar kreatinin pre dan post tikus betina... 63
Lampiran 15. Analisis statistik kreatinin tikus jantan sebelum pemberian infusa daun sirih merah ... 65
Lampiran 16. Analisis statistik kreatinin tikus jantan setelah pemberian infusa daun sirih merah ... 68
Lampiran 17. Analisis statistik kreatinin tikus betina sebelum pemberian infusa daun sirih merah ... 71
Lampiran 18. Analisis statistik kreatinin tikus betina setelah pemberian infusa daun sirih merah ... 74
Lampiran 19. Analisis statistik berat badan tikus jantan ... 77
Lampiran 20. Analisis statistik berat badan tikus betina ... 80
xvii
INTISARI
Piper crocatum Ruiz & Pav dikenal sebagai tanaman hias yang berfungsi
sebagai antioksidan, antidiabetik, antikanker, dan antiinflamasi. Namun bukti ilmiah tentang ketoksikan penggunaan secara subkronis belum dilaporkan khususnya risiko penggunaan jangka panjang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek toksik pemberian sirih merah secara subkronis terhadap gambaran histologis ginjal dan kadar kreatinin pada tikus.
Penelitian ini merupakan eksperimental murni dengan rancangan acak pola searah. Tikus jantan dan betina masing-masing dua puluh ekor galur Wistar umur 2-3 bulan, dibagi secara acak empat kelompok perlakuan. Kelompok I (kontrol negatif) diberi aquadest 15,525 g/KgBB. Kelompok II sampai IV diberi infusa sirih merah dengan dosis berturut-turut 1,28; 2,07; 3,105 g/KgBB secara peroral satu kali sehari selama 28 hari. Pada hari ke-0 dan ke-28 diambil darah dan diukur kadar kreatinin, sedangkan pada hari ke-28 dan ke-42 dibedah untuk histologis ginjal. Analisis kadar kreatinin menggunakan Kolmogrov-Smirnov dan dilanjutkan dengan one way Anova untuk mengetahui perbedaan kadar kreatinin tiap kelompok perlakuan. Uji paired-T untuk mengetahui perbedaan kadar kreatinin sebelum dan sesudah perlakuan.
Hasil penelitian menunjukkan pemberian infusa daun sirih merah selama 28 hari tidak menimbulkan efek toksik pada kadar kreatinin dan histologis ginjal.
xviii
ABSTRACT
Piper Crocatum Ruiz & Pav is known as an ornamental plants that can be used as antioxidants, antidiabetic, anticancer, and antiinflammatory. Unfortunately, science has no evidence about the toxicity of the sub-chronic use especially in long-term use yet. The objective of this study is to find out the toxic effects of sub-chronic giving of red betel leaf towards the renal histological and creatinine levels in mice.
This research is a pure experimental study with randomized undirectional pattern. Twenty mice for each male and female for about 2-3 month are divided randomly into four groups. Give distilled water 15,525 g/KgBW to group 1 (negative control). Give the infusion of red betel leaf to the group 2-4 with sequentially dose 1,28; 2,07; 3,105 g/KgBW. Give the dose once a day for 28 days. On days 0 and 28, take the blood and measure the creatinine levels on it, whereas on day 28 and 42, dissect the mice for histological kidney. Analyze the serum creatinine levels using Kolmogrov-Smirnov and proceed it with one way Anova to find out the differences of creatinine levels in each treatment group. Paired-T test to find out the differences of creatinine levels before and after treatment.
The results show that the giving of red betel infusion for 28 days didn't give any toxic effects in creatinine levels and kidney histopatology.
1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Saat ini salah satu tanaman obat yang secara empiris biasa digunakan
sebagai obat tradisional adalah sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.).
Tanaman sirih merah lebih banyak dikenal sebagai tanaman hias dan tumbuh
merambat di pagar atau pohon, namun selain digunakan sebagai tanaman hias
sirih merah juga bermanfaat sebagai tanaman obat yang dapat menyembuhkan
penyakit diantaranya diabetes mellitus, kolesterol, asam urat dan hipertensi
(Sudewo, 2005).
Dalam daun sirih merah terkandung senyawa fitokimia yakni alkaloid,
saponin, tanin dan flavonoid. Dilaporkan bahwa senyawa alkaloid dan flavonoid
memiliki aktivitas hipoglikemik atau penurun kadar glukosa darah. Kandungan
kimia lainnya yang terdapat di daun sirih merah adalah minyak atsiri,
hidroksikavicol, kavicol, kavibetol, allylprokatekol, karvakrol, eugenol,
p-cymene, cineole, caryofelen, kadimen estragol, dan ter-penena. Karena banyaknya
kandungan senyawa kimia bermanfaat inilah, daun sirih merah memiliki manfaat
yang sangat luas sebagai bahan obat (Manoi,2007). Beberapa penelitian terkait
manfaat sirih merah telah dilakukan, antara lain penelitian yang dilakukan
oleh Wicaksono, et al (2009) juga meneliti tentang efek antiproliferatif dari
ekstrak metanol sirih merah pada sel T47D. Hasil dari penelitian tersebut
menyatakan bahwa ekstrak metanol sirih merah mampu menghambat
p44/p42 secara in-vitro. Hartini, Subagus, Sitarina, dan Yuswanto (2013) dalam
penelitiannya menunjukkan senyawa Pc-2 dari ekstrak metanolik daun sirih merah
dosis 10 mg/kgbb mampu meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag peritonial
mencit yang diinduksi dengan bakteri Lysteria monocytogenes. Sebelumnya juga
sudah pernah dilakukan penelitian tentang toksisitas akut oleh Salim (2006),
bahwa rebusan daun sirih merah hingga dosis 20 g/kg BB tidak bersifat toksik
bagi hewan uji dan juga dapat menurunkan kadar glukosa darah.
Pada masyarakat lingkungan Kraton Jogjakarta, telah terbukti dengan
meminum air rebusan sirih merah setiap hari dapat menurunkan kadar gula darah
sampai tingkat normal (Werdhany, Marton, dan Setyorini, 2008). Karena obat
diabetes biasanya digunakan dalam kurun waktu yang lama, maka setiap obat
antidiabetes harus aman pemakaiannya untuk jangka panjang. Demikian juga
terhadap pengembangan tanaman sirih merah untuk antidiabetes harus tersedia
data toksisitas subkronik untuk mengetahui efek yang ditimbulkan pada
organ-organ penting tubuh dalam hal ini dilihat dari kerusakan ginjal dan kadar kreatinin
darah.
Ginjal merupakan organ eliminasi penting bagi tubuh. Ginjal mempunyai
peran dalam mengeliminasi zat-zat dari darah terutama produk akhir metabolisme
seperti urea, kreatinin, asam urat, dan garam-garam asam urat, yang direabsorbsi
sedikit dan diekskresikan dalam jumlah besar ke dalam urin (Donatus, 2001).
Kreatinin merupakan salah satu hasil buangan dari ginjal yang difiltrasi oleh
glomerulus di dalam ginjal dan jika terdapat gangguan pada fungsi filtrasi ginjal
digunakan sebagai indikator gangguan fungsi ginjal (Wahjuni dan Bijanti, 2006).
Infusa dipilih pada penelitian ini karena pembuatan infus merupakan cara yang
paling sederhana untuk membuat sediaan herbal (Direktorat Obat Asli Indonesia,
2010).
1. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang dapat diuraikan
sebagai berikut :
a. Seberapa besar spektrum efek toksik infusa daun sirih merah (Piper crocatum)
terhadap wujud struktural ginjal yang dinilai dari perubahan wujud biokimia
kadar kreatinin dan wujud struktural histopatologi ginjal ?
b. Apakah terjadi keterbalikan (reversibilitas) spektrum efek toksik infusa daun
sirih merah ?
c. Apakah terdapat hubungan kekerabatan antara dosis infusa daun sirih merah
dengan spektrum efek toksik pada kadar kreatinin dan histopatologi ginjal ?
2. Keaslian penelitian
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait sirih merah antara lain
sebagai berikut :
a. Antiproliferative Effect of the Methanol Extract of Piper crocatum Ruiz & Pav
Leaves on Human Breast (T47D) Cells In-vitro. Hasil dari penelitian
menyatakan bahwa ekstrak metanol sirih merah mampu menghambat
pertumbuhan dari sel kanker payudara manusia (T47D) melalui inhibisi
b. Uji Aktivitas Fagositosis Makrofag Senyawa Kode Pc-2 dari Daun Sirih Merah
(Piper crocatum Ruiz & Pav) Secara in vivo. Pengujian aktivitas fagositosis
makrofag yang dinyatakan dalam persen fagositosis (PF), indeks fagositosis
(IF) dan efektifitas fagositosis (EF) menggunakan mencit yang diinduksi
bakteri Lysteria monocytogenes menunjkkan senyawa Pc-2 dari ekstrak
metanolik daun sirih merah dosis 10 mg/kgbb mampu meningkatkan aktivitas
fagositosis makrofag peritonial mencit yang diinduksi dengan bakteri Lysteria
monocytogenes, serta tidak ada korelasi antara IF dan PF (Hartini, et al., 2013).
c. Potensi Rebusan Daun Sirih Merah (Piper crocatum) Sebagai Senyawa
Antihiperglikemia Pada Tikus Putih Galur Sprague-Dawley. Dari penelitian ini
diperoleh rebusan daun sirih merah hingga dosis 20 g/kg BB tidak bersifat
toksik bagi hewan uji dan juga dapat menurunkan kadar glukosa darah (Salim,
2006).
d. Uji Sitotoksisitas Ekstrak Etanolik Daun Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz &
Pav) Terhadap Kultur Sel HeLa. Hasil uji sitotoksik oleh Atmaningsih (2008)
diperoleh hasil ekstrak etanolik sirih merah memiliki efek sitotoksik dengan
harga LC50 sebesar 1.143,1 µg/ml.
Berdasarkan studi pustaka, sejauh pengetahuan penulis belum ada
penelitian mengenai toksisitas subkronis infusa sirih merah (Piper crocatum Ruiz
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kajian
efek toksik daun sirih merah (Piper crocatum) secara subkronis.
b. Manfaat praktis. Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai wujud efek toksik toksisitas subkronis infusa daun
sirih merah (Piper crocatum) terhadap kadar kreatinin dan histopatologi
ginjal.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Secara umum tujuan dari penelitian untuk mengetahui wujud efek toksik
dari infusa daun sirih merah (Piper crocatum) secara subkronik.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui perbedaan gambaran mikroskopis ginjal dan kadar kreatinin
tikus Wistar setelah pemberian infusa daun sirih merah (Piper crocatum)
secara subkronik.
b. Mengungkapkan spektrum efek toksik (perubahan struktural dan
perubahan biokimia) infusa daun sirih merah terhadap kerusakan ginjal
yang dinilai dari perubahan kadar kreatinin dan histopatologi ginjal.
c. Mengungkapkan kekerabatan antara dosis infusa daun sirih merah
6
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Tanaman Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav)
1. Morfologi tanaman
Sirih merah merupakan salah satu jenis dari sirih Piper betle. Sirih merah
tanaman yang merambat dengan bentuk daun saperti hati namun warnanya bukan
hijau melainkan kemerah-merahan. Rasanya sangat pahit dan aromanya lebih
tajam bila dibandingkan dengan sirih hijau (Nurmalina dan Valley, 2012).
Sirih merah tanaman berbatang bulat dengan warna hijau keunguan dan
tidak berbunga. Batang beruas dengan jarak buku 5-10 cm. Daun berangkai
membentuk jantung dengan bagian atas meruncing, bertepi rata, dan
permukaannya mengkilap atau tidak berbulu. Panjang daunnya bisa mencapai
15-20 cm. Daunnya berlendir, berasa sangat pahit dan beraroma khas sirih. Warna
daun bagian atas hijau bercorak putih keabuan-abuan, bagian bawah daun
berwarna merah hati cerah (Sudewo, 2005). Tanaman sirih merah dapat dilihat
pada gambar 1.
Sirih merah biasanya hidup di daerah dataran tinggi. Bila sirih merah di
tanam didaerah yang memiliki kadar panas atau terkena sinar matahari langsung
maka batang pada sirih merah akan cepat mengering dan zat warna merah pada
bagian daun akan perlahan memudar (Nurmalina dan Valley, 2012).
2. Taksonomi tanaman
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Magnoliidae
Ordo : Piperales
Famili : Piperaceae (suku sirih-sirihan)
Genus : Piper
Spesies : Piper crocatum Ruiz. & Pav
(Plantamor, 2011)
3. Kandungan kimia
Kandungan kimia yang terdapat di daun sirih merah adalah minyak atsiri,
hidroksikaficol, kaficol, kafibetol, allylprokatekol, karfakrol, eugenol, p-cymene,
cineole, caryofelen, kadimen, estragol, terpena, dan fenil propada (Agoes, 2010).
Selain itu kandungan lainnya adalah flavonoid, polifenol, alkaloid, tannin, saponin
Secara empiris, khasiat kandungan senyawa dari sirih merah antara lain,
flavonoid dan polifenol berfungsi sebagai antioksidan, antidiabetes, antikanker,
antiseptik, dan antiinflamasi. Senyawa eugenol berfungsi sebagai analgetik,
senyawa tanin sebagai penyembuh sakit perut pada diare dan antiseptik pada luka
(Nurmalina dan Valley, 2012).
4. Khasiat dan penggunaan
Sirih merah digunakan untuk mengobati diabetes melitus, hipertensi,
kanker, keputihan, radang mata, batu ginjal, dan asam urat (Agoes, 2010). Khasiat
sirih merah antara lain, antioksidan, antidiabetes, antikanker, antiseptik, dan
antiinflamasi (Handita, 2010). Selain sebagai obat, sirih merah juga dimanfaatkan
sebagai alat kecantikan yaitu untuk menghaluskan kulit (Nurmalina dan Valley,
2012).
B. Toksikologi
Loomis (1978) mendefinisikan toksikologi sebagai ilmu tentang aksi
berbahaya suatu senyawa kimia atas suatu sistem biologi. Definisi ini bermakna
suatu senyawa kimia yang dipelajari memiliki interaksi terhadap sistem biologi
dengan mekanisme tertentu kemudian dapat menimbulkan efek toksik dengan
wujud dan sifat tertentu. Dengan mempelajari wujud dan sifat efek toksik yang
ditimbulkan, dapat mengetahui seberapa bahaya penggunaan bahan kimia
tersebut, dan dapat ditentukan batas keamanan penggunaannya.
Wujud efek toksik suatu racun dapat berupa perubahan biokimia,
terbalikkan atau tak terbalikkan. Jenis wujud perubahan biokimia tidak
menunjukkan bukti secara langsung terhadap patologi organ, apabila mekanisme
homeostatis normal makhluk hidup masih dapat bekerja maka perubahan biokimia
bersifat timbal balik (Donatus, 2005).
Menurut Williams, James, dan Roberts (2000) keterbalikan toksisitas
terjadi apabila efek buruk atau efek yang tidak diinginkan dapat dikembalikan
apabila pemaparan dihentikan. Keterbalikan toksisitas tergantung pada sejumlah
faktor, termasuk tingkat pemaparan (waktu dan jumlah racun) dan kemampuan
jaringan yang terkena untuk memperbaiki atau meregenerasi.
Uji toksikologi dibagi menjadi dua yaitu uji ketoksikan tak khas dan uji
ketoksikan khas. Uji ketoksikan tak khas adalah uji toksikologi yang dirancang
untuk mengevaluasi keseluruhan efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam
jenis hewan uji, sedangkan uji ketoksikan khas adalah uji toksikologi yang
dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek toksik yang khas dari suatu
senyawa pada semua hewan uji. Uji potensiasi, kekarsinogenetikan,
kemutagenetikan, keteratogenetikan, reproduksi, kulit dan mata, dan perilaku
termasuk dalam uji ketoksikan khas (Donatus, 2005).
Konsep dosis merupakan prinsip dasar dalam toksikologi. Pernyataan
tersebut memberi gambaran bahwa adanya toksisitas yang timbul dipengaruhi
oleh paparan dosis yang diberikan (Schrager, 2006).
Ada banyak cara organisme dapat
menanggapi senyawa beracun, jenis respon tergantung pada banyak faktor. Oleh
(1) Tindakan beracun secara langsung,
(2) farmakologi, fisiologi, efek biokimia,
(3) teratogenesis,
(4) imuno toksisitas,
(5) karsinogenesis (Timbrell, 2008).
Sarana utama dalam mendeteksi respon beracun apabila tidak terdapat
kematian seperti organisme atau jaringan adalah :
1. Perubahan biokimia, melibatkan efek pada enzim seperti inhibitor atau
perubahan jalur metabolik tertentu. Munculnya enzim atau substansi lain dalam
cairan tubuh dapat menunjukkan kebocoran dari jaringan karena merusak dan
merupakan indikasi perubahan patologis.
2. Perubahan status normal, terdapat sejumlah penanda toksisitas. Dengan
demikian, perubahan berat badan, asupan makanan dan minum, luaran urin,
dan berat organ merupakan indikator yang umum dan spesifik untuk toksisitas.
Oleh karena itu, hewan yang mengonsumsi lebih sedikit makanan dan
kehilangan bobot setelah terpapar senyawa beracun atau peningkatan berat
organ karena terpapar senyawa beracun, perubahan ini dikonfirmasi dengan
pengukuran kimia, biokimia, dan histopatologi (Timbrell, 2008).
Toksisitas subkronis merupakan salah satu jenis uji toksikologi. Uji
ketoksikan subkronis adalah uji ketoksikan sesuatu senyawa yang diberikan
dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari tiga bulan. Uji
memperlihatkan apakah spektrum efek toksik tersebut berkaitan dengan takaran
dosis (Donatus, 2001).
Pengamatan dan pemeriksaan yang dilakukan dalam uji ketoksikan
subkronis, meliputi:
1. Perubahan berat badan yang diperiksa paling tidak 7 hari sekali,
2. Asupan makanan untuk masing-masing hewan atau kelompok hewan, diukur
paling tidak 7 hari sekali,
3. Gejala-gejala klinis umum yang diamati setiap hari,
4. Pemeriksaan terhadap hematologi, paling tidak diperiksa dua kali, pada awal
akhir uji coba,
5. Pemeriksaaan kimia darah, paling tidak diperiksa dua kali, pada awal akhir uji
coba,
6. Analisis urin, paling tidak sekali,
7. Pemeriksaan histopatologi organ pada akhir uji coba
( Donatus, 2001)
Hasil uji ketoksikan subkronis akan memberikan informasi yang
bermanfaat tentang efek utama senyawa uji dan organ sasaran yang
dipengaruhinya. Selain itu juga dapat diperoleh info tentang perkembangan efek
toksik yang lambat berkaitan dengan takaran yang tidak teramati pada uji
ketoksikan akut. Kekerabatan antar kadar senyawa pada darah dan jaringan
terhadap perkembangan luka toksik dan keterbalikan efek toksik (Donatus, 2001).
Hewan uji yang disarankan paling tidak satu jenis hewan dewasa sehat,
metabolisme terhadap senyawa uji yang semirip mungkin dengan manusia
(Donatus, 2001). Spesies hewan dapat digunakan rodent dan non-rodent. Spesies
hewan rodent menggunakan tikus.
Hewan dimasukkan dalam dua kategori kelompok yaitu kelompok
kontrol dan perlakuan yang dilakukan secara acak (Gad, 2002). Jumlah kelompok
hewan uji paling tidak sebanyak empat kelompok yaitu satu kelompok kontrol dan
tiga kelompok peringkat dosis. Jumlah hewan uji untuk jangka waktu penelitian
selama empat minggu, paling tidak terdapat lima jantan dan lima betina dalam
satu kelompok (Derelanko and Hollinger, 2002).
C. Ginjal
1. Anatomi ginjal
Ginjal adalah sepasang organ bersimpai yang terletak di area
retroperitoneum (McPhee and Ganong, 2010). Bentuk ginjal seperti biji kacang,
jumlahnya ada dua buah kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan
(Syaifuddin,2006). Anatomi ginjal dapat dilihat pada gambar 2.
Dari gambar anatomi ginjal (gambar 2), setiap ginjal terbungkus oleh
selaput tipis yang disebut kapsula renalis yang terdiri dari jaringan fibrus
berwarna ungu tua. Lapisan luar terdapat lapisan korteks (substansia kortekalis)
dan lapisan sebelah dalam bagian medulla (substansia medularis) berbentuk
kerucut yang disebut renal piramid. Puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang
rediri dar lubang-lubang kecil disebut papila renalis. Masing-masing piramid
saling dilapisi oleh kolumna renalis, jumlah renalis 15-16 buah (Syaifuddin,2006).
Satuan anatomis fungsi ginjal adalah nefron, suatu struktur yang terdiri
atas berkas kapiler yang dinamai glomerulus (tempat darah yang disaring) dan
tubulus ginjal (tempat air dan garam dalam filtrat diserap kembali) (McPhee and
Ganong, 2010). Pada setiap ginjal diperkirakan ada 1.000.000 nefron, selama 24
jam dapat menyaring darah 170 liter (Syaifuddin,2006). Gambar
Komponen tubular nefron adalah suatu tabung berongga yang berisi
cairan yang dibentuk oleh satu lapisan sel epitel. Komponen tubulus berawal dari
kapsul Bowman, suatu invaginasi berdinding rangkap yang melingkupi
glomerulus untuk mengumpulkan cairan dari kapiler glomerulus
(Syaifuddin,2006).
Dari kapsula Bowman, cairan yang difiltrasi mengalir ke dalam tubulus
proksimal, yang seluruhnya terletak didalam korteks dan membentuk gulungan
gulungan rapat sepanjang perjalanannya. Segmen berikutnya ansa Henle,
membentuk lengkung berbentuk U tajam atau hairpin yg masuk ke dalam medula
ginjal. Pars desenden ansa Henle masuk dari korteks kedalam medula, pars
asendens berjalan balik ke korteks (Syaifuddin,2006).
Aparatus jugstaglomerulus suatu struktur yang terletak disamping
glomerulus yang berperan dalam mengatur fungsi ginjal. Setelah Aparatus
jugstaglomerulus, tubulus kembali membentuk kumparan erat menjadi tubulus
distal, tubulus distal mengalirkan isinya ke dalam duktus atau tubulus koligentes
(Syaifuddin,2006).
2. Fisiologi ginjal
Menurut Price (1985) fungsi utama ginjal dapat dibagi menjadi dua, yaitu
fungsi ekskresi dan nonekskresi. Fungsi ekskresi ginjal antara lain :
a. mempertahankan osmolalitas plasma,
b. mempertahankan volume cairan ekstraseluler dan tekanan darah,
c. mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam
d. mempertahankan pH plasma,
e. mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (terutama
urea, asam urat dan kreatinin), dan
f. bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat.
Sedangkan fungsi nonekskresi ginjal yaitu mensintesis dan mengaktifkan
hormon, yaitu renin, eritropoetin, 1,25-dihidroksivitamin D3, prostaglandin,
insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan, hormon anti
diuretik (ADH), hormon gastrointestinal, serta degradasi hormon polipeptida.
3. Patologi ginjal
Sebagian penyakit glomerulus bermanifestasi sebagai proteinuria berat
tetapi tanpa tanda reaksi peradangan selular (penyakit nefrotik), sementara yang
lain memperlihatkan proteinuria dengan derajat bervariasi yang disertai oleh
adanya sel darah merah dan putih di urin (penyakit nefritik). Penyakit nefrotik
biasanya memperlihatkan pengendapan kompleks imun tepat di atau di bawah sel
epitel. Sedangkan penyakit nefritik memperlihatkan pengendapan kompleks imun
di lokasi subendotel atau di membran basal glomerulus atau mesangium (McPhee
and Ganong, 2010).
Penyakit mengenai tubulus dan interstisium antara lain reaksi peradangan
di tubulus dan interstisium (nefritis tubulointerstisium). Nefritis tubulointerstisium
dapat bersifat akut atau kronis. Nefritis tubulointerstisium akut memperlihatkan
secara histologiss ditandai dengan edema interstisial, sering kali disertai infiltrasi
leukositik di interstisum dan tubulus, dan nekrosis tubulus fokal. Nekrosis adalah
membesar dan lebih asidofik (merah) daripada sel normal. Nekrosis melibatkan
kematian sekelompok sel dan terlihat adanya respon peradangan. Pada nefritis
tubulointerstisium kronik, terjadi infiltrasi terutama oleh leukosit menonukleus,
fibrosis interstisium, dan atrofi tubulus luas. Gambaran morfologik yang
membedakan bentuk akut dan kronik pada nefritis tubulointerstisium adalah
edema dan (jika ada) eosinofil dan neutrofil pada bentuk akut, dan fibrosis serta
atrofi tubulus pada bentuk kronik (Kumar, Abbas, and Fausto, 2010).
Nefritis interstitial yaitu peradangan pada daerah interstisium yang
disebabkan oleh reaksi alergi obat, penyakit autoimun, infeksi atau infiltrasi
penyakit lainnya. Dalam nefritis interstitial akut, kerusakan tubular menyebabkan
disfungsi tubular ginjal, dengan atau tanpa gagal ginjal. Terlepas dari tingkat
keparahan kerusakan epitel tubular, disfungsi ginjal ini umumnya bersifat
reversibel (Kumar, et al., 2010).
4. Kreatinin
Kreatinin merupakan produk akhir dari metabolisme kreatin otot dan
kreatin fosfat (protein), yang disintesis dalam hati, ditemukan dalam otot rangka
dan darah, dan diekskresikan dalam urine. Meningkatnya kadar kreatinin dalam
darah merupakan indikasi rusaknya fungsi ginjal (Sutedjo, 2008).
Kreatinin berasal dari pemecahan kreatinifosfat otot. Kreatinin adalah
produk akhir dari metabolisme kreatin. Kreatin sebagian besar ditemukan di otot
rangka, tempat zat ini terlibat dalam penyimpanan energi sebagai kreatin fosfat.
Dalam sintesis ATP dari ADP, kreatin fosfat diubah menjadi kreatin dengan
energi sehingga dihasilkan kreatin fosfat. Dalam prosesnya, sejumlah kecil kreatin
diubah secara ireversibel menjadi kreatinin, yang dikeluarkan dari sirkulasi oleh
ginjal. Jumlah kreatinin yang dihasilkan setara dengan massa otot rangka yang
dimilikinya (Sacher and Richard, 2004).
Metode pemeriksaan kreatinin antara lain :
a. Jaffe Reaction. Dasar dari metode ini adalah kreatinin dalam suasana alkalis
dengan asam pikrat membentuk senyawa kuning jingga. Alat yang digunakan
photometer.
b. Kinetik. Dasar metodenya relatif sama hanya dalam pengukuran dibutuhkan
sekali pembacaan. Alat yang digunakan autoanalyzer.
c. Enzimatik. Dasar metode ini adalah dengan adanya substrat dalam sampel
bereaksi dengan enzim membentuk senyawa enzim substrat dengan menggunakan
alat photometer.
Meskipun sejumlah kecil disekresi, tes kliren kreatinin merupakan suatu
tes untuk memperkirakan GFR dalam klinik (Price and Wilson, 1985).
Glomerulus filtration rate (GFR) didefinisikan sebagai volume filtrat yang masuk
ke dalam kapsula Bowman per satuan waktu. Untuk mengukur GFR, dilakukan
pengambilam sampel darah, pengumpulan urin secara berkala dalam waktu
tertentu, dan pengukuran konsentrasi kreatinin dalam darah dan urin (Crowin,
D. Infusa
1. Definisi
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi
simplisia nabati dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit. Infus merupakan
cara yang paling sederhana untuk membuat sediaan herbal dari bahan lunak
seperti daun dan bunga. Infusa dapat diminum panas atau dingin (Direktorat Obat
Asli Indonesia, 2010).
2. Pembuatan
Proses pembuatan sediaan infusa yaitu dengan mencampur simplisia
dengan derajat halus yang sesuai dalam panci dengan air secukupnya, kemudian
dilakukan pemanasan di atas tangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu
mencapai 90oC sambil sekali-sekali diaduk-aduk. Serkai selagi panas melalui kain
flanel, lalu menambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh
volume infus yang dikehendaki (Direktorat Obat Asli Indonesia, 2010).
E. Keterangan Empiris
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif untuk mendapatkan bukti
adanya efek toksisitas subkronis dari infusa daun sirih merah pada ginjal dan
19
BAB III
METODE PENELITIAN
A.Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian pengaruh pemberian infusa daun sirih merah pada tikus jantan
dan betina galur wistar secara subkronis terhadap ginjal dan kreatinin termasuk
penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah.
Rancangan acak lengkap merupakan cara menetapkan sampel yang digunakan
dalam penelitian dengan pengacakan agar setiap sampel memperoleh kesempatan
yang sama untuk dapat masuk ke dalam kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol. Pola searah ditunjukkan dengan diberikannya perlakuan yang sama pada
kelompok perlakuan, yaitu pemberian infusa daun sirih merah secara per oral
dengan dosis yang berbeda.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel utama
a. Variabel bebas. Variabel bebas dari penelitian ini adalah dosis infusa daun
sirih merah/KgBB tikus.
b. Variabel tergantung. Variabel tergantung dari penelitian ini adalah
histopatologi ginjal dan kadar kreatinin tikus jantan dan betina yang
2. Variabel pengacau
a. Variabel pengacau terkendali
Hewan uji galur Wistar , umur 2-3 bulan, jenis kelamin jantan dan betina,
berat badan 100-200 gram dan bahan uji berupa daun sirih merah (daun
sirih merah diambil yang masih muda dan waktu pengambilan pagi hari,
diperoleh dari bapak Yohanes Dwiatmaka).
b. Variabel pengacau tak terkendali
Variabel pengacau tak terkendali dari penelitian ini adalah keadaan
patologis dan fisiologis hewan uji.
C. Definisi Operasional
1. Infusa daun sirih merah diperoleh dengan cara menginfundasi sejumlah 20 g
serbuk kering daun sirih merah dalam air 180,0 ml pada suhu 90oC selama 15
menit.
2. Dosis infusa daun sirih merah yang diberikan pada kelompok perlakuan yaitu
sejumlah mg serbuk daun sirih merah yang dibuat dalam bentuk infusa sebesar
1,38 ; 2,07 ; 3,105 g/KgBB.
3. Pengaruh pemberian infusa daun sirih merah didefinisikan sebagai efek yang
ditimbulkan oleh infusa daun sirih merah terhadap histopatologi ginjal dan
kadar kreatinin dalam darah tikus jantan dan betina.
4. Kadar kreatinin merupakan indikasi rusaknya fungsi ginjal. Kreatinin adalah
5. Histopatologi ginjal adalah pemeriksaan morfologi sel atau jaringan pada
sediaan mikroskopik dalam hal ini ginjal dengan cara membuat preparat dari
ginjal dengan proses pewarnaan untuk menetapkan diagnosis kelainan.
D. Bahan Penelitian
1. Daun sirih merah yang digunakan diambil pada bagian tengah antara pucuk
dan pangkal daun dalam kondisi segar berwarna hijau dan utuh,
2. Tikus jantan dan betina galur Wistar berumur 2–3 bulan dengan berat badan
100-200 g yang diperoleh dari Laboratorium Hayati Imono, Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
3. Aquadest sebagai pelarut infusa daun sirih merah yang diperoleh dari
Laboratorium Farmakologi-Toksikologi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.
4. Asupan pakan hewan uji yaitu pelet BR-2 dan minum hewan uji yaitu aquadest
yang diperoleh dari Laboratorium Hayati Imono, Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.
E. Alat Penelitian
Kandang tikus (metabolic cage), timbangan, pipa kapiler (haematokrit),
Eppendorf, spuit injeksi per oral 5 cc, Bekker glass, batang pengaduk, gelas ukur,
panci infusa, heater, Stopwatch, kain flannel, kapas, mesin penyerbuk, oven,
F. Tata Cara Penelitian
1. Determinasi daun sirih merah
Determinasi dilakukan di Laboratorium Farmakognosi Fitokimia
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dengan
mencocokkan tanaman pada determinasi tanaman sirih merah yang telah
dilakukan oleh Martinus Supriyadi Krisyanto. Hasil determinasi tanaman sirih
merah dilakukan sampai ke tingkat spesies dan disahkan oleh Yohanes
Dwiatmaka, M.Si
2. Pengumpulan bahan uji
Bahan uji yang digunakan adalah daun sirih merah. Daun yang dipilih
adalah daun dalam kondisi segar dan berwarna hijau pada bagian tengah antara
pucuk dan pangkal daun. Daun diperoleh dari bapak Yohanes Dwiatmaka.
3. Pembuatan serbuk kering daun sirih merah
Daun sirih merah yang telah dipetik, dicuci, dikeringkan, kemudian
dimasukkan ke dalam oven dengan suhu ± 50oC selama 24 jam. Daun yang telah
kering kemudian diserbuk dan diayak dengan menggunakan ayakan no. 30 dan
dilakukan perhitungan rendemen serbuk daun sirih merah.
4. Penetapan kadar air serbuk daun sirih merah
Penetapan kadar air menggunakan metode gravimetri dengan bantuan
alat Moisture Balance. Dimasukkan ± 5 g serbuk daun sirih merah ke dalam alat,
kemudian diratakan. Timbang bobot zat sebagai bobot sebelum pemanasan (bobot
setelah pemanasan (bobot b). Selisih bobot a dan bobot b merupakan kadar air
yang diselidiki.
5. Pembuatan infusa daun sirih merah
Infusa daun sirih merah dibuat dengan menimbang 20 g serbuk kering
daun sirih merah dengan menambahkan 100 ml aquadest. Campuran ini
dipanaskan selama 15 menit dengan suhu 90oC pada heater. Waktu 15 menit
dihitung ketika suhu campuran telah mencapai 90oC. Air yang diperoleh
kemudian disaring menggunakan kain flanel dan apabila belum mencapai volume
100 ml maka dapat ditambahkan air panas melalui ampas rebusan hingga volume
yang diinginkan tercapai. Konsentrasi infusa yang didapat adalah 20%.
6. Penetapan dosis infusa daun sirih merah
Penetapan dosis didasarkan pada pemakaian daun sirih merah di
masyarakat yaitu sebanyak 7-8 helai daun sirih merah (23 g). Sehingga dosis
terapi infusa daun sirih merah adalah 23 g/70KgBB. Konversi manusia (70 kg ke
tikus 200 g) = 0,018 (Laurence and Bacharach, 1964).
Dosis untuk 200 g tikus = 0,018 x 23g
= 0,414g/200g BB
= 2,07x10-3g/g BB
= 2,07 g/Kg BB
Dalam penelitian ini dibuat 3 peringkat dosis, dengan cara menggunakan
kelipatannya. Angka kelipatan yang digunakan sebesar satu setengah kalinya,
7. Penetapan dosis aquadest sebagai kontrol negatif
Untuk penentuan dosis aquadest digunakan dosis tertinggi untuk
mengetahui jumlah volume maksimum yang diberikan kepada hewan uji. Dosis
tertinggi 3,105 g/kgBB, berdasarkan rumus didapatkan volume maksimum yaitu :
D x BB = C x V
3,105g/Kg BB x 200g = 20% x V
V = 3,105 ml/200g BB
Maka dosis aquadest adalah :
V = 0,015525 ml/g BB
V = 0,015525 g/g BB (karena 1ml aquadest sama dengan 1g)
V = 15,525 g/KgBB
8. Penyiapan hewan uji
Hewan uji yang digunakan terdiri dari tikus jantan dan betina, galur
Wistar, umur 2-3 bulan, berat badan 100-200 g, berjumlah 40 ekor (20 jantan dan
20 betina) disiapkan dan ditempatkan dalam metabolic cage. Pada setiap
metabolic cage berisi satu tikus. Tiga hari sebelum dilakukan perlakuan hewan uji
diadaptasikan pada metabolic cage.
9. Pengelompokan hewan uji
Pada penelitian ini digunakan empat puluh ekor tikus, dibagi menjadi
empat kelompok secara acak, yaitu satu kelompok kontrol dan tiga kelompok
perlakuan, masing-masing kelompok uji terdiri dari sepuluh ekor tikus (lima
jantan dan lima betina). Kelompok I, yaitu kelompok kontrol negatif diberi
sirih merah dengan peringkat dosis berturut-turut, yaitu 1,38 ; 2,07 ; 3,105 g/kgBB
tikus.
10. Prosedur pelaksanaan toksisitas subkronis
Sediaan uji berupa infusa daun sirih merah diberikan pada hewan uji
sesuai dosis pemberian dengan kekerapan pemberian satu kali sehari selama 28
hari pada tikus jantan dan betina dengan tetap diberi makan dan minum. Pada
awal masa uji yaitu pada hari pertama, darah semua tikus diambil melalui sinus
orbitalis mata. Pengambilan darah dilakukan dengan menusukkan pipa kapiler
langsung ke sinus orbitalis mata. Sampel darah yang diambil kemudian ditampung
pada eppendorf yang telah diberi kode kemudian dikirim ke Parahita Medical Lab
untuk dilakukan pengukuran kadar kreatinin darah tikus. Pemberian infusa daun
sirih merah dilakukan selama 28 hari pada setiap kelompok perlakuan sesuai
dengan peringkat dosis. Pada hari ke-29 darah semua tikus diambil melalui vena
orbitalis mata ditampung pada eppendorf untuk diambil serum darah kemudian
dilakukan kembali pengukuran kadar kreatinin tikus. Pada hari ke-29 juga
dilakukan pembedahan setengah dari hewan uji baik jantan maupun betina untuk
dilakukan pemeriksaan histopatologi ginjal. Kemudian pada hari ke-42 (14 hari
setelah hari ke-28) pembedahan hewan uji yang tersisa untuk melihat
reversibilitas wujud toksik ginjal.
11. Pemeriksaan histopatologis
Untuk pemeriksaan histopatologis, sebelumnya tikus dikorbankan dengan
cara diskolasi leher yaitu cara mematikan hewan uji dengan cara menarik leher
pembedahan terhadap tikus. Tikus diletakkan secara terlentang diatas papan
pembedahan (gabus/steroform) dan dibedah dengan membuat irisan digaris tengah
ventral tubuh mulai dari area bukaan genitalia hingga ke leher. Rongga perut dan
rongga dada dibuka. Setelah pembedahan, organ ginjal diambil untuk dilakukan
pemeriksaan histopatologis. Organ kemudian dicuci bersih dengan akuades
kemudian difiksasi, diletakkan didalam pot yang berisi formalin 10%.
12. Histopatologi ginjal
Organ ginjal yang telah diambil selanjutnya dibuat preparat agar mudah
diamati dibawah mikroskop. Pembuatan preparat histopatologi tersebut secara
berurutan difiksasi di dalam larutan buffer netral formalin, trimming, dehidrasi,
infiltrasi dengan parafin, diiris dengan mikrotom dan diwarnai dengan
hematosilin-eosin (HE). Pewarnaan dilakukan dengan cara menginkubasi preparat
otot dengan larutan Mayer’s hematoxilyn selama 5 menit, kemudian diinkubasi
dalam larutan Eosin 0,5% yang sudah ditambah asam asetat (100 : 1).
13. Pengamatan dan pengumpulan data
a. Pengamatan berat badan hewan uji
Pengamatan berat badan terhadap hewan uji dilakukan dengan cara
menimbang hewan uji dengan timbangan. Penimbangan berat badan hewan uji
dilakukan setiap hari. Perhitungan purata berat badan tikus dilakukan dengan cara
menambahkan berat badan tikus kemudian dibagi dengan jumlah tikus di tiap
kelompok dilakukan pada hari 0, 7, 14, 21, 28. Kemudian data yang diperoleh
b. Pengukuran asupan pakan hewan uji
Hewan uji diberikan asupan pakan setiap hari sebanyak 20 g dan
dilakukan penggantian pakan setiap harinya. Cara mengukur besarnya asupan
pakan tikus yaitu dengan menimbang pakan yang diberikan pada hari pertama,
kemudian pada hari kedua pakan yang masih tertinggal pada wadah ditimbang.
Selisih penimbangan antara berat pakan hari kedua dengan berat badan hari
pertama, dihitung sebagai asupan makanan yang dihabiskan pada hari pertama.
c. Pengukuran asupan minum hewan uji
Hewan uji diberikan minum berupa air aquadest sebanyak 150 ml.
Minum diberikan dalam wadah botol kaca yang diberi pipa yang berlubang pada
ujungnya. Pengukuran asupan minum hewan uji dilakukan dengan cara
memasukkan 150 ml air pada wadah dihari pertama, kemudian pada hari kedua
jumlah sisa air yang masih terdapat dalam botol dihitung. Air minum yang
dihabiskan tikus pada hari pertama dihitung dengan cara mengurangkan jumlah
air minum yang diberikan pada hari pertama dengan jumlah air minum sisa pada
hari kedua.
14. Analisis Data
Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan bermakna sebelum dan
sesudah perlakuan dilakukan uji paired-T test untuk semua kelompok perlakuan.
Selanjutnya data kadar kreatinin dianalisis dengan uji Kolmogorov Smirnov untuk
melihat distribusi data tiap kelompok perlakuan. Apabila distribusi data normal
maka analisis dilanjutkan dengan analisis pola searah (One Way ANOVA) dengan
untuk mengetahui perbedaan masing-masing kelompok. Apabila hasil analisis
dengan uji Kolmogorov Smirnov data menunjukkan distribusi yang tidak normal
maka analisis dilanjutkan dengan analisis non parametrik, yaitu Kruskal Walis
untuk melihat perbedaan kadar kreatinin darah antar kelompok, dilanjutkan
dengan uji Mann Whitney untuk mengetahui perbedaan uji tiap kelompok.
Untuk data berat badan dianalisis dengan General Linear Model (metode
Multivariate). Dari hasil Multivariate akan terbaca nilai sig berat badan sehingga
29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian toksisitas subkronis infusa daun sirih merah dengan tiga
peringkat dosis yaitu 1,38 ; 2,07 ; 3,105 g/kgBB pada tikus jantan dan betina galur
wistar ini bertujuan mengetahui ada tidaknya potensi efek toksik dari infusa daun
sirih merah, serta secara khusus bertujuan untuk mengungkapkan spektrum efek
toksik infusa daun sirih merah terhadap kadar kreatinin darah yang dinilai dari
perubahan kadar kreatinin darah dan mengungkapkan kekerabatan antara dosis
dengan spektrum efek toksik.
A. Determinasi Tanaman
Determinasi ini bertujuan untuk menghindari kesalahan dan untuk
memastikan bahwa tanaman yang diteliti benar merupakan tanaman Piper
crocatum Ruiz & Pav. Determinasi dilakukan dengan mencocokkan tanaman pada
determinasi tanaman sirih merah yang telah dilakukan oleh Martinus Supriyadi
Krisyanto. Hasil determinasi tanaman sirih merah dilakukan sampai tingkat
spesies.
Dari hasil determinasi dapat disimpulkan bahwa tanaman yang
digunakan dalam penelitian ini adalah benar tanaman Piper crocatum Ruiz &
Pav. (lampiran 10). Determinasi ini telah disahkan oleh Yohanes Dwiatmaka,
B.Serbuk dan Kadar Air Daun Sirih Merah
Daun sirih yang telah dikumpulkan sebanyak 1 kg , dicuci dan
dikeringkan. Proses pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu
± 50oC selama 24 jam. Daun sirih merah yang sudah kering kemudian dibuat
serbuk menggunakan mesin penyerbuk. Kemudian serbuk kering diayak
menggunakan ayakan nomor 30.
Pengayakan ini bertujuan untuk menyeragamkan ukuran serbuk daun
sirih merah. Dari penyerbukkan dan pengayakan diperoleh serbuk kering daun
sirih merah sejumlah 230,18 g, selanjutnya dilakukan perhitungan rendemen.
Perhitungan rendemen ini bertujuan untuk mengetahui berapa persen serbuk daun
sirih merah dari daun sirih merah basah yang diperoleh. Dari perhitungan
diperoleh nilai rendemen sebesar 23,018%.
Selanjutnya serbuk yang sudah dibuat dilakukan penetapan kadar air
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 661/Menkes/SK/VII/1994
tentang Persyaratan Obat Tradisional, standar kadar air maksimum simplisia
adalah 10%. Penetapan kadar air menggunakan metode gravimetri. Prinsip metode
ini yaitu analisis kuantitatif berdasarkan berat tetapnya (berat konstan) (Sudjadi,
2010). Dari serbuk sirih merah yang dibuat diperoleh kadar air sebesar 9,48 %,
kadar air ini telah memenuhi syarat Menteri Kesehatan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa serbuk yang digunakan sudah memenuhi syarat simplisia
C. Kadar Kreatinin Darah Tikus Jantan Akibat Pemberian Infusa Daun
Sirih Merah
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan spektrum efek toksik
infusa daun sirih merah terhadap kadar kreatinin darah. Pengukuran kadar
kreatinin dalam penelitian ini menggunakan metode creatinine assay dengan
prinsip alkaline picrate. Pada pH alkali, kreatinin didalam sampel bereaksi dengan
picrate untuk membentuk komplek antara kreatinin-picrate, kemudian diukur pada
absorbansi 500 nm yang akan secara langsung menunjukkan besar kadar kreatinin
didalam serum darah. Pengukuran kadar kreatinin pada penelitian ini dilakukan di
Parahita Medical Lab.
Pemeriksaan kadar kreatinin darah dilakukan sebelum dan setelah
pemberian infusa daun sirih merah selama 28 hari. Tujuan pemeriksaan sebelum
pemberian infusa daun sirih merah adalah untuk mengetahui kadar kreatinin
sebelum perlakuan dan kemungkinan adanya kondisi patologi yang terkait dengan
fungsi ginjal. Kadar kreatinin darah sebelum dan setelah pemberian infusa daun
sirih merah pada tiap kelompok dianalisis menggunakan Paired T-test, uji ini
dilakukan karena subjek uji yang digunakan sama namun memiliki perlakuan
yang berbeda dan melihat apakah terdapat pengaruh pemberian infusa daun sirih
merah yang bermakna pada pre dan post perlakuan ditiap kelompok perlakuan.
Penelitian ini menggunakan empat kelompok perlakuan, yaitu kelompok
kontrol aquadest dosis 15,525 g/kgBB dan kelompok perlakuan infusa daun sirih
kontrol bertujuan untuk melihat apakah penggunaan aquadest sebagai pelarut
infusa daun sirih merah dapat memberikan pengaruh terhadap kadar kreatinin.
Tabel I. Nilai pre dan post kadar kreatinin darah pemberian infusa daun sirih merah pada tikus jantan
Kelompok Perlakuan n Kadar Kreatinin (mg/dL) Nilai p
Pre
(Mean ± SE)
Post
(Mean ± SE) I Kontrol aquadest
15,525 g/kgBB
5 0,44 ± 0,00 0,49 ± 0,01 0,016B
II IDSM 1,38 g/kgBB 5 0,46 ± 0,01 0,48 ± 0,12 0,019B III IDSM 2,07 g/kgBB 5 0,42 ± 0,12 0,47 ± 0,01 0,010B IV IDSM 3,105 g/kgBB 5 0,45 ± 0,26 0,46 ± 0,02 0,665TB
Keterangan : TB = berbeda tidak bermakna (p>0.05) B = berbeda bermakna (p<0.05) IDSM = infusa daun sirih merah
Pre = sebelum pemberian infusa daun sirih merah Post = setelah pemberian infusa daun sirih merah SE = Standar Error of Mean
Gambar 4. Diagram batang rerata ± SE kadar kreatinin darah tikus jantan
Dari tabel I menunjukkan bahwa adanya peningkatan rerata kadar
kreatinin tikus jantan sebelum dan sesudah perlakuan selama 28 hari. Terlihat
pada kontrol aquadest menunjukkan hasil berbeda bermakna (p>0,05) begitu juga
kebermaknaan perbedaan pada kelompok kontrol aquadest dan perlakuan infusa
daun sirih merah dosis 1,38 dan 2,07 g/kgBB disebabkan terjadinya peningkatan
kadar kreatinin yang signifikan, dilihat dari nilai rerata ± SE. Selain itu perbedaan
yang bermakna pada kelompok kontrol aquadest ini lebih dikarenakan faktor
individu tikus itu sendiri. Hal ini diperkuat dengan hasil uji One-Way Anova yang
menunjukkan hasil berbeda tidak bermakna antara kelompok kontrol aquadest
dengan kelompok perlakuan infusa daun sirih merah.
Dari hasil uji normalitas kadar kreatinin tikus jantan dengan uji statistik
Kolmogorov-Smirnov diperoleh hasil bahwa distribusi keempat kelompok
perlakuan adalah normal. Hal ini dilihat dari nilai p pada keempat kelompok
adalah 0,569 (p> 0,05) (statistik pada lampiran 16). Selanjutnya kadar kreatinin
darah post pemberian infusa daun sirih merah dianalisis secara statistik
menggunakan One Way Anova, bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian
infusa daun sirih merah pada kelompok perlakuan infusa daun sirih merah yang
dibandingkan terhadap kelompok kontrol. Hasil analisis One Way Anova terhadap
kadar kreatinin darah post pemberian infusa daun sirih merah diperoleh nilai
probabilitas sebesar 0,605 (p>0,05) menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna
antara kelompok kontrol aquadest dan kelompok perlakuan. Hal ini berarti
pemberian infusa daun sirih merah selama 28 hari tidak memberikan pengaruh
terhadap kadar kreatinin tikus jantan. Diagram batang (gambar 4) menunjukkan
bahwa tidak terdapat kekerabatan antara spektrum efek toksik dengan dosis infusa
D. Kadar Kreatinin Darah Tikus Betina Akibat Pemberian Infusa Daun Sirih
Merah
Rerata kadar kreatinin tikus betina sebelum dan sesudah perlakuan
selama 28 hari juga menunjukkan adanya peningkatan (tabel II).
Tabel II. Nilai pre dan post kadar kreatinin darah pemberian infusa daun sirih merah pada tikus betina
Kelompok Perlakuan n Kadar Kreatinin (mg/dL) Nilai p
Pre
(Mean ± SE)
Post
(Mean ± SE) I Kontrol aquadest
15,525 g/kgBB
5 0,46 ± 0,01 0,52 ± 0,02 0,006B
II IDSM 1,38 g/kgBB 5 0,49 ± 0,01 0,55 ± 0,02 0,008B III IDSM 2,07 g/kgBB 5 0,52 ± 0,01 0,54 ± 0,03 0,502TB IV IDSM 3,105 g/kgBB 5 0,49 ± 0,01 0,52 ± 0,02 0,087TB
Keterangan : TB = berbeda tidak bermakna (p>0.05) B = berbeda bermakna (p<0.05) IDSM = infusa daun sirih merah
Pre = sebelum pemberian infusa daun sirih merah Post = setelah pemberian infusa daun sirih merah SE = Standar Error of Mean
Gambar 5. Diagram batang rerata ± SE kadar kreatinin darah tikus betina
Berdasar tabel II, kelompok kontrol aquadest dan perlakuan infusa daun
sirih merah dosis 1,38 g/kgBB, antara kadar kreatinin pre dan post pemberian
Perbedaan yang bermakna pada kelompok kontrol aquadest dan perlakuan infusa
daun sirih merah 1,38 g/kgBB disebabkan terjadinya peningkatan kadar kreatinin
darah yang signifikan, dilihat dari nilai rerata ± SE. Selain itu adanya
kebermaknaan perbedaan pada kelompok kontrol aquadest ini lebih dikarenakan
faktor individu tikus itu sendiri. Hal ini diperkuat dengan hasil uji One-Way Anova
setelah pemberian infusa daun sirih merah kadar kreatinin darah pada dosis
tersebut dibandingkan dengan kadar kreatinin darah kelompok kontrol aquadest
menunjukkan hasil berbeda tidak bermakna yang berarti peningkatan kadar
kreatinin darah yang terjadi masih dalam batas normal.
Normalitas distribusi dari keempat kelompok perlakuan pada tikus betina
juga normal, ditunjukkan dari nilai p yang diperoleh yaitu 0,651 (p> 0,05)
(statistik pada lampiran 18). Hasil uji One Way Anova kadar kreatinin tikus betina
setelah pemberian infusa daun sirih merah selama 28 hari diperoleh nilai
probabilitas sebesar 0,817 (p>0,05) menunjukan terdapat perbedaan yang tidak
bermakna antar kelompok kontrol aquadest dan kelompok perlakuan infusa daun
sirih merah. Hal ini berarti pemberian infusa daun sirih merah selama 28 hari
tidak mempengaruhi kadar kreatinin tikus betina. Diagram batang (gambar 5) juga
menunjukkan bahwa tidak terdapat kekerabatan antara spektrum efek toksik
dengan dosis infusa daun sirih merah.
Dari penelitian diperoleh hasil pemberian dosis 1,38 ; 2,07 dan 3,105
g/kgBB infusa daun sirih merah secara subkronis selama 28 hari tidak
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat kekerabatan antara spektrum efek toksik
dengan dosis infusa daun sirih merah.
E.Pemeriksaan Histologis Ginjal
Tujuan pemeriksaan histologi ginjal yaitu untuk melihat perubahan
secara struktural pada ginjal. Hasil pemeriksaan gambaran histologis ginjal tikus
jantan dan betina masing-masing kelompok dideskripsikan pada tabel III dan IV.
Tabel III. Hasil pemeriksaan histologis ginjal pada tikus jantan
Perlakuan
Gambaran Histologis Ginjal
Hari ke-28 Hari ke-42
Kontrol aquadest dosis 3,105
g/kgBB
Dua tikus jantan mengalami
perubahan secara struktural pada gambaran histologis yaitu nefritis interstitialis (infiltrasi limfosit di daerah interstisium), sedangkan satu tikus lainnya tidak mengalami perubahan atau normal.
Satu tikus mengalami degenerasi hidropik epitel tubulus (adanya vakuola berbatas dalam sitoplasma dan hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit), dan satu tikus lainnya tidak mengalami perubahan atau normal.
IDSM dosis 1,38
g/kgBB
Satu tikus jantan mengalami perubahan secara struktural pada gambaran histologis yaitu nefritis interstitialis (infiltrasi limfosit di daerah interstisium), dan satu tikus mengalami degenerasi hidropik epitel tubulus (adanya vakuola berbatas dalam sitoplasma dan hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit), sedangkan satu tikus lainnya tidak mengalami perubahan atau normal.
Dua tikus lainnya tidak mengalami perubahan atau normal.
IDSM dosis 2,07
g/kgBB
Satu tikus mengalami nekrosis epitel tubulus, sedangkan dua tikus lainnya tidak mengalami perubahan atau normal.
Satu tikus mengalami degenerasi hidropik epitel tubulus (adanya vakuola berbatas dalam sitoplasma dan hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit), dan satu tikus lainnya tidak mengalami perubahan atau normal
IDSM dosis 3,105
g/kgBB
Ketiga tikus tidak mengalami perubahan atau normal (gambaran glomerulus, tubulus, dan interstisium dalam batas normal).
Tabel IV. Hasil pemeriksaan histologis ginjal pada tikus betina
Perlakuan Gambaran Histologis Ginjal
Hari ke-28 Hari ke-42
Kontrol aquadest dosis 3,105
g/kgBB
Satu tikus betina mengalami perubahan secara struktural pada gambaran histologis yaitu nefritis interstitialis (infiltrasi limfosit di daerah interstisium), dan dua tikus mengalami degenerasi hidropik epitel tubulus (adanya vakuola berbatas dalam sitoplasma dan hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit).
Satu tikus mengalami degenerasi hidropik epitel tubulus (adanya vakuola berbatas dalam sitoplasma dan hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit), dan satu tikus lainnya tidak mengalami perubahan atau normal.
IDSM dosis 1,38
g/kgBB
Tiga tikus mengalami degenerasi hidropik epitel tubulus (adanya vakuola berbatas dalam sitoplasma dan hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit).
Satu tikus mengalami degenerasi hidropik epitel tubulus (adanya vakuola berbatas dalam sitoplasma dan hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit), dan satu tikus lainnya tidak mengalami perubahan atau normal.
IDSM dosis 2,07
g/kgBB
Ketiga tikus tidak mengalami perubahan atau normal (gambaran glomerulus, tubulus, dan interstisium dalam batas normal).
Satu tikus betina mengalami dua perubahan sekaligus secara struktural yaitu nefritis interstitialis (infiltrasi limfosit di daerah interstisium), dan degenerasi hidropik epitel tubulus (adanya vakuola berbatas dalam sitoplasma dan hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit), sedangkan satu tikus lainnya tidak mengalami perubahan atau normal IDSM
dosis 3,105 g/kgBB
Dua tikus mengalami degenerasi hidropik epitel tubulus (adanya vakuola berbatas dalam sitoplasma dan hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit), dan satu tikus lainnya tidak mengalami perubahan atau normal.
Kedua tikus mengalami degenerasi hidropik epitel tubulus (adanya vakuola berbatas dalam sitoplasma dan hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit.
Dari tabel III dan IV terlihat gambaran histopatologi ginjal sebagian
besar tikus jantan dan betina baik kontrol maupun perlakuan selama menerima
pemejanan infusa daun sirih merah selama 28 hari menunjukkan adanya
tubulus, kecuali pada tikus jantan perlakuan infusa daun sirih merah dosis 3,105
g/kgBB baik pada masa pemejanan maupun reversibilitas sama sekali tidak
menunjukkan adanya kerusakan pada sel-sel ginjal. Gambaran histologis organ
dicantumkan pada gambar 6.
Gambar 6. Histologi ginjal tikus dengan perbesaran 400x (a) tikus normal, (b) nekrosis epitel tubulus, (c) degenerasi hidropik epithel tubulus, dan (d) nefritis interstitialis
Pada kelompok kontrol akuadest dosis 15,525 g/kgBB maupun perlakuan
infusa daun sirih merah dosis 1,38 g/kgBB ditemukan adanya perubahan secara
struktural pada ginjal tikus jantan yaitu nefritis intertitialis dan degenerasi hidrofik
tubulus.
b a
Nefritis interstitialis merupakan kelainan pada ginjal di mana ruang
antara tubulus ginjal mengalami pembengkakan ditandai adanya infiltrasi limfosit.
Nefritis interstitialis biasanya hasil dari reaksi alergi obat, bisa juga disebabkan
oleh penyakit autoimun, infeksi atau infiltrasi penyakit lainnya. Oleh karena itu,
adanya nefritis intertitialis yang terjadi pada kontrol ini bisa dikatakan bukan
dikarenakan pemberian infusa daun sirih merah, melainkan faktor patologis dari
individu tikus. Perubahan struktural ini bersifat reversibel hal ini bisa dilihat pada
dosis 1,38 g/kgBB, rentang setelah pemberian infusa daun sirih merah dihentikan
dan pada hari ke-42 (masa reversibilitas), tidak ditemukan adanya perubahan pada
sel ginjal (sel tampak normal).
Selain mengalami nefritis interstitial, tikus jantan pada perlakuan infusa
daun sirih merah dosis 1,38 g/kgBB mengalami degenerasi hidropik epitel tubulus
(gambar b). Degenerasi hidropik ini ditandai adanya vakuola dalam sitoplasma
dan sel mengalami hipertrofi sehingga lumen tubulus tampak menyempit.
Selain itu juga terlihat pada perlakuan infusa daun sirih merah dosis 2,07
g/kgBB mengalami nekrosis pada sel tubulus (gambar c) nekrosis hanya terjadi
pada satu ekor tikus sedangkan pada tikus lainnya tidak ditemukan, maka dapat
dikatakan nekrosis yang terjadi bukan dikarenakan oleh perlakuan tetapi oleh
faktor patologi dari individu tikus itu sendiri. Nekrosis ini bersifat irreversibel.
Nekrosis yang terjadi ditandai dengan adanya inti sel yang mengalami
kariopiknotis. Piknosis atau pengerutan inti merupakan homogenisasi sitoplasma
dan peningkatan eosinofil. Piknosis dapat terjadi karena adanya kerusakan di