SKRIPSI
diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar
Sarjana pada FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur
OLEH :
DODIK SETYAWAN
0541010086
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
berkat, dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian
dengan judul “Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima di Sentra
PKL Jalan Dharmawangsa Kota Surabaya.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kurikulum Program Studi
Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih pada Bapak DR.
Slamet Srijono, Msi sebagai dosen pembimbing. Tak lupa juga penulis mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan sehingga
penyusunan skripsi ini diantaranya :
1. Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. DR. Lukman Arif, M.Si, Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa
Timur.
3. IBu Dra Diana Hartanti MSi, Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran“
Jawa Timur.
4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran“ Jawa Timur.
ii 7. Buat GEPUK Lover’s dan untuk sahabat dan teman-temanku yang tidak dapat
kusebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan proposal
ini.
8. Dan seluruh teman-teman Progdi Ilmu Administrasi Negara ’05.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan. Akhir kata semoga
dengan skripsi penelitian ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan khususnya bagi
penulis dan bagi fakultas pada umumnya serta para pembaca.
Surabaya, Juni 2010
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... iii
DAFTAR GAMBAR... viii
DAFTAR TABEL ... ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.4. Kegunaan Penelitian ... 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu ... 8
2.2. Landasan Teori... 10
2.2.1. Pengertian PKL (Pedagang Kaki Lima)... 10
2.2.2. Pengertian Kebijakan Publik... 11
2.2.3. Langkah-Langkah Kebijakan Publik... 12
2.2.4. Aktor Kebijakan Publik ... 13
2.2.4.1. Sifat kebijakan Publik ... 15
2.2.4.2. Manfaat kebijakan Publik ... 16
2.2.5. Tujuan Kebijakan ... 16
2.2.6. Evaluasi Kebijakan... 17
2.2.7. Pengertian Implementasi Kebijakan ... 18
2.2.7.1. Model-Model Implementasi Kebijakan ... 20
2.2.7.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan ... 21
2.2.7.3. Keberhasilan Implementasi Kebijakan ... 22
2.2.8. Penataan PKL ( Pedagang Kaki Lima ) ... 23
2.2.9. Sektor Informal ... 26
2.2.10. Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL di Kota Surabaya... 27
2.2.11. Kebersihan Lingkungan ... 31
2.3. Kerangka Berfikir... 33
BAB III GAMBARAN UMUM 3.1. Jenis Penelitian... 34
3.2.Fokus Penelitian... 35
3.3. Lokasi Penelitian ... 36
3.4. Sumber Data ... 36
3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 37
3.6. Analisis Data... 39
3.7. Keabsahan Data ... 41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran umum objek penelitian... 49
4.1.1. Deskripsi Dinas Koperasi Dan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah Pemerintah
Kota Surabaya ... 49
4.1.1.1. Sejarah Dinas Koperasi Dan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah
Pemerintah Kota Surabaya ... 49
4.1.1.2. Visi dan Misi Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah
Pemerintah Kota Surabaya ... 50
4.1.1.3. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan
Menengah Pemerintah Kota Surabaya ... 51
4.1.1.4. Struktur Organisasi Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan
Menengah Pemerintah Kota Surabaya ... 52
4.1.1.5. Tugas Pokok dan Fungsi Pegawai Dinas Koperasi Usaha Mikro
Kecil, dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya ... 54
4.1.1.6. Tujuan, sasaran dan strategi Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya... 69
4.1.1.7. Sarana dan prasarana Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah Pemerintah Kota Surabaya ... 72
4.1.2. Gambaran Umum Kecamatan Gubeng ... 73
4.1.2.1. Batas Wilayah Kecamatan Gubeng... 74
4.1.2.2. Jumlah Penduduk ... 74
4.1.3. Gambaran Umum PKL Dharmawangsa ... 83
4.2. Hasil Penelitian... 86
4.1.2. Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima Kawasan Dharmawangsa Surabaya ... 86
1. Waktu Berdagang... 87
2. Jumlah Pedagang... 89
3. Jenis Barang Dagangan ... 90
4. Alat Peraga ... 91
4.3. Pembahasan ... 93
4.3.1. Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima Kawasan Dharmawangsa Surabaya ... 93
1. Waktu Berdagang... 94
2. Jumlah Pedagang... 95
3. Jenis Barang Dagangan ... 96
4. Alat Peraga ... 97
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 99
1. Implementasi Pengaturan Waktu Berdagang ... 99
2. Implementasi Pengaturan Jumlah Pedagang... 99
3. Implementasi Pengaturan Jenis Barang Dagangan ... 100
vii
4. Implementasi Pengaturan Alat Peraga ... 100
5.2. Saran ... 101
LAMPIRAN
Gambar 1. Kerangka Berfikir………... 36
Gambar 2. Struktur Organisasi Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Pemerintah Kota Surabaya……….53
Gambar 3. Struktur Organisasi Kecamatan Gubeng………78
Gambar 4. Struktur Organisasi Paguyuban Sentra Pkl Dharmawangsa
Surabaya………84
Tabel 4.2. Komposisi Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan……….67
Tabel 4.3. Komposisi Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin………..68
Tabel 4.4. Komposisi Pegawai Berdasarkan Umur………68
Tabel 4.5. Sarana Dan Prasarana...73
Tabel 4.6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin………...74
Tabel 4.7. Jumlah Penduduk Menurut Usia...75
Tabel 4.8. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian...76
Tabel 4.9. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan...77
Tabel 4.10. Komposisi PKL Dharmawangsa Surabaya Berdasarkan Jenis Kelamin……….………93
Tabel 4.11. Karakteristik Jumlah PKL Menurut Jenis Barang Dagangan………...96
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JATIM YANG BERJUDUL “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI SENTRA PKL JALAN DHARMAWANGSA KOTA SURABAYA.
Penelitian ini didasarkan fenomena yang terjadi di Sentra PKL Dharmawangsa Surabaya, yaitu mengenai implementasi penataan pedagang kaki lima di Sentra PKL Dharmawangsa Surabaya yang meliputi waktu berdagang, jumlah pedagang, jenis barang dagangan dan alat peraga.
Tujuan penelitian ini untuk menganalisa dan menginterpretasikan tentang pengaturan waktu berdagang, pengaturan jumlah pedagang, pengaturan jenis barang dagangan dan pengaturan alat peraga untuk berdagang dalam Implementasi Penataan PKL di Kota Surabaya khususnya di jalan Dharmawangsa Surabaya.
Teknik pengolahan data yang dilakukan dengan cara observasi, wawancara penggunaan arsip dan dokumentasi foto pada Sentra PKL Dharmawangsa Surabaya dan Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya.
Metode pada penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan satu variable yaitu Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima (Studi Deskriptif Di Sentra PKL Jalan Dharmawangsa Kota Surabaya). Fokus penelitiannya meliputi :1. Pengaturan jumlah pedagang, 2. Pengaturan jenis barang dagangan, 3. Pengaturan alat peraga
Hasil penelitian menyatakan :1. Pengaturan jumlah pedagang di Sentra PKL Dharmawangsa Surabaya sebanyak 48 PKL yang semuanya merupakan anggota dari paguyuban; 2. Pengaturan jenis barang dagangan secara umum adalah makanan dan minuman serta beberapa kios yang menjual makanan ringan dan rokok; 3. Pengaturan alat peraga di Sentra PKL Dharmawangsa Surabaya berupa gerobak hasil swadaya para PKL sendiri.
1.1.Latar Belakang Masalah
Negara-negara berkembang saat ini sedang melaksanakan pembangunan
dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat, demikian juga Negara Indonesia
di mana dalam melaksanakan pembangunan tersebut mempunyai tujuan untuk
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat serta meletakkan
landasan yang kuat bagi pembangunan berikutnya.
Sebagai kota yang tengah bergulir menjadi mega urban, sudah barang tentu
perkembangan kota besar seperti Surabaya tidak bisa dibiarkan tumbuh liar,
semrawut dan tidak terciptanya ketertiban sosial. Di kota-kota besar,
ketidaktertiban tercipta dari berbagai macam hal. Diantaranya perkembangan kota
secara pesat yangt tidak disertai dengan pertumbuhan kesempatan kerja yang
memadai. Hal tersebut mengakibatkan kota-kota besar menghadapi berbagai
macam problema sosial yang sangat pelik. Hal ini menjadi ciri umum kebanyakan
perkotaan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Pada suatu
masyarakat di mana pertumbuhan ekonomi negara menganut rezim ekonomi
kapitalis, maka yang terjadi adalah kontraksi antara pasar tenaga kerja dan
pertumbuhan pencari kerja. Bila hal tersebut yang terjadi, maka rakyat kecil
berusaha mencari cara lain untuk bisa mempertahankan hidupnya. Seperti keadaan
para pedagang kaki lima yang merupakan suatu kegiatan perekonomian rakyat
kecil. Akibat dari kondisi tersebut, akhir-akhir ini banyak sekali dilakukan penataan
terhadap PKL di beberapa wilayah di Surabaya. Pemerintah Kota Surabaya saat ini
sedang gencar-gencarnya menggulirkan program pembersihan kawasan atau jalan
dari unsur pedagang kaki lima.
Kehadiran Pedagang kaki lima (PKL) di kota-kota besar merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kota. Kehadiran PKL di kota
mempunyai peranan dalam memberikan penghasilan yang relative cukup bagi
penduduk “marginal” maupun sebagai produsen barang-barang dan jasa yang
diperlukan masyarakat kelas bawah.
Namun, dibalik peranan dan fungsinya yang menopang perekonomian
rakyat bawah tersebut, kehadiran sektor informal PKL di kota-kota besar
diidentifikasikan telah memunculkan berbagai permasalahan.
Permaslahan-permasalahan yang muncul dengan hadirnya PKL di kota besar yaitu perubahan
sosial, ekonomi dan lingkungan perkotaan.
Firdausy dalam Alisjabana (2004:218) mengatakan, permasalahan sosial
ekonomi yang ditimbulkan dengan adanya sektor informal PKL ini antara lain
meningkatnya biaya penyediaan fasilitas-fasilitas umum perkotaan, mendorong
lajunya arus migrasi dari desa ke kota, menjamurnya pemukiman kumuh dan
tingkat kriminalitas kota. Sedangkan lingkungan perkotaan yang ditimbulkan antara
lain adalah kebersihan dan keindahan kota, kelancaran lalu lintas serta penyediaan
Hal yang sama juga disampaikan Kadir dan Biantoro dalam Alisjabana
(2004:218), Pedagang Kaki Lima selain pertumbuhan dan perkembangannya tidak
teratur, tampak liar, tampak kumuh, melebar dan ada yang menggunakan fasilitas
umum sebagai tempat berdagang (misalnya trotoar jalan). Kehadiran PKL juga
menyebabkan pengguna jalan tidak lagi merasakan kenyamanan saat berjalan
karena banyak PKL yang sama sekali tidak menyisakan trotoar untuk pejalan kaki,
bahkan tidak jarang pejalan kaki terganggu dengan tali-tali tenda yang diikatkan
pada pembatas trotoar.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kehadiran PKL di perkotaan
selain mempunyai manfaat juga menimbulkan permasalahan-permasalahan yang
mengganggu ketertiban, kebersihan, dan kenyamanan kota. Oleh sebab itu, sudah
sewajarnya bila permasalahan yang ditimbulkan oleh PKL ditangani bersama
dengan cara melakukan penertiban tanpa “membunuh” sektor informal itu sendiri.
Pemerintah Kota Surabaya selama beberapa tahun terakir telah memberikan
memberikan perhatian ekstra terhadap masalah PKL dengan menggelar operasi
penataan. Bahkan penataan yang dilakukan secara besar-besaran tersebut terkadang
juga tidak dapat memberikan efek jera bagi pedagang kaki lima dan mereka kerap
kali bermain petak umpet dengan petugas pasca penataan.
Di Surabaya sendiri terdapat 7 (tujuh) kawasan PKL yang telah tersentuh
program penataan oleh Pemerintah Kota Surabaya, yaitu Lapangan Karah, Taman
Bungkul, Dharmawangsa, Urip Sumoharjo, Gunungsari, Kampung Buku dan
disebut Sentra PKL Dharmawangsa. PKL yang mendiami kawasan tersebut
merupakan sentra PKL yang telah dilakukan penataan dengan menempati sebuah
tempat yang telah disediakan. PKL tersebut merupakan pedagang yang berjualan
makanan dan minuman. Selain di kawasan Dharmawangsa, penataan PKL juga
dilakukan di daerah jalan Semarang dengan mengubah lahan tersebut menjadi
kampung buku yang menjual bebagai macam jenis buku serta daerah Taman
Bungkul dengan mengubahnya menjadi food court yang menjual makanan dan
minuman. Di ketiga tempat tersebut saat ini telah berdiri tenda atau rombong hasil
dari penataan. Di Pemerintah Kota Surabaya sendiri, masalah PKL telah diatur
dengan mengeluarkan Perda No. 17 Tahun 2003 tentang Penataan dan
Pemberdayaan PKL.
Apabila bisa dilakukan penataan dan pemberdayaan, maka besar sekali
potensi yang dimiliki oleh PKL tersebut. Sebab dengan memilih menjadi PKL,
mereka sudah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, yang otomatis juga
mengurangi pengangguran yang menjadi beban pemerintah selama ini. Selain itu
padagang kaki lima memberikan kontribusi yang besar dalam aktivitas ekonomi
dan kesejahteraan masyarakat terutama golongan ekonomi lemah.
Hal senada juga diutarakan oleh Kadir dan Biantoro dalam Alisjabana
(2003:123), bahwa sektor informal atau PKL kini diperhitungkan sebagai salah satu
alternatif bagi upaya pemecahan masalah ketenagakerjaan.
Dalam Perda No. 17 Tahun 2003 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL
Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk berwenang :
a. menetapkan dan mengatur waktu kegiatan usaha PKL;
b. menetapkan dan mengatur jumlah PKL pada setiap lokasi PKL;
c. menetapkan jenis barang yang diperdagangkan;
d. mengatur alat peraga PKL;
Pedagang Kaki Lima yang saat ini berada di Sentra PKL Dharmawangsa
telah mendapatkan perhatian dari instansi terkait dengan dilakukannya penataan.
Menurut Kepala Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Kota Surabaya
Hadi Mulyono mengungkapkan “Sentra PKL Dharmawangsa merupakan salah satu
kawasan penataan PKL di Surabaya selain Lapangan Karah, Taman Bungkul, Urip
Sumoharjo, Gunungsari, Kampung Buku dan Ampel.” (www.surya online.com)
Pelaksanaan penataan pedagang kaki lima di jalan Dharmawangsa meliputi
jumlah PKL, jenis barang yang diperdagangkan serta alat peraga yang
dipergunakan PKL. Sedangkan menurut keterangan dari Bapak Jarwanto Ketua
Paguyuban Sentra PKL Dharmawangsa keberadaan mereka saat ini berjumlah
kurang lebih 48 PKL yang berjualan berbagai macam makanan di fasilitas umum
kawasan Dharmawangsa dengan waktu berdagang yang tidak ditentukan.
Berangkat dari fenomena tersebut di atas, maka mendorong penulis untuk
meneliti mengenai implementasi penataan PKL kota Surabaya dengan mengambil
salah satu dari fenomena ketujuh lokasi di atas karena terbatasnya waktu dan biaya.
Maka penulis mengambil judul “Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti ingin
mengetahui tenteng penataan Pedagang Kaki Lima di kawasan tersebut yaitu :
Bagaimanakah Implementasi Penataan PKL di Kota Surabaya khususnya di
Sentra PKL Dharmawangsa Surabaya?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk menganalisa dan menginterpretasikan tentang,
pengaturan jumlah pedagang, pengaturan jenis barang dagangan dan pengaturan
alat peraga untuk berdagang dalam Implementasi Penataan PKL di Kota Surabaya
khususnya di Sentra PKL Dharmawangsa Surabaya.
1.4. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Bagi Penulis
Untuk menerapkan dan mengembangkan teori yang sudah diperoleh
sehingga dapat membandingkan teori dengan kenyataan yang ada di
lapangan, serta dapat memberikan tambahan wawasan bagi penulis
mengenai kebijakan penataan PKL.
2. Bagi Instansi
Sebagai sumbangsih saran dan masukan untuk peningkatan dalam usaha
3. Bagi Universitas
Sebagai salah satu sumbangan pemikiran dan informasi dalam melengkapi
dan mengembangkan perbendaharaan ilmu sosial dan khususnya Ilmu
Administrasi Negara dan bagi pihak terkait / mahasiswa yang hendak
mengetahui kebijakan penataan pedagang kaki lima.
2.1. Penelitian Terdahulu
A. Nurul Qurniawati, 2003 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jatim yang berjudul “Partisipasi Pedagang
Kaki Lima Dalam Pelaksanaan Perda No. 10 Tahun 1987”; penelitian ini
menggunakan metode deskriptif kualitatif yang meneliti satu variable yaitu
partisipasi pedagang kaki lima dalam pelaksanaan Perda No. 10 Tahun 1987.
Fokus yang diteliti dalam penelitian ini adalah parisipasi pedagang kaki lima
dalam pelaksanaan Perda No. 10 Tahun 1987 di lingkungan sekitar Stren Kali
Jagir Panjang Jiwo Surabaya. Hasil dari penelitian ini adalah adanya bangunan
liar yang disebabkan oleh padagang kaki lima yang tidak mempunyai surat izin
dagang yang sah dengan menempati tanah-tanah kosong di Stern Kali Jagir.
Sedangkan dari pihak pemerintah kota dalam melaksanakan penertiban
Pedagang Kaki Lima menggunakan Perda No. 10 Tahun 1987. peraturan
tersebut harus dipatuhi oleh PKL di Stren Kali Jagir yang dianggap Pedagang
Kaki Lima yang liar. Dengan begitu pemerintah kota memerintahkan Satuan
Polisi Pamong Praja untuk mentertibkan bangunan liar maupun Pedagang Kaki
Lima yang liar yang ada di Stern Kali Jagir.
B. Eny Try Nurcahyati, 2008 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jatim yang berjudul “Implementasi
C. Astusik, 2004 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jatim yang berjudul “Penataan Pedagang Kaki Lima di
Sekitar Pasar Waru Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo”; penelitian ini
menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, yang menjadi Fokus penelitian
adalah kebijakan pemerintah Kabupaten Sidoarjo dalam penataan PKL di
sekitar Pasar Waru dan Peran Satuan Polisi Pamong Praja dalam pelaksanaan
penataan PKL.
Informan penelitian yaitu PKL di sekitar Pasar Waru, petugas Dinas Pasar
Waru dan masyarakat atau konsumen Pasar Waru. Analisis data yang
Dari hasil analisa tersebut disimpulkan bahwa Pemerintah Kabupaten Sidoarjo
telah membuat berbagai kebijakan untuk menata pedagang kaki lima di sekitar
Pasar Waru. Kebijakan tersebut adalah memberikan penyuluhan agar pedagang
di sekitar Pasar Wau bersedia menempati kios di area Pasar Waru yang telah
disediakan oleh pemerintah setempat sehingga para pedagang kaki lima (PKL)
tidak mengganggu aktivitas pengguna jalan raya.
Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini terletak pada objek yang
diteliti yaitu pedagang kaki lima (PKL), sedangkan perbedaannya terletak pada
fokus dan lokasi penelitian. Dalam penelitian ini lebih difokuskan pada penataan
pedagang kaki lima.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Pengertian PKL (Pedagang Kaki Lima)
Setthurahman dalam Alisjahbana (2003:10), memberikan istilah sektor informal
atau PKL terdiri dari unit usaha berskala kecil yang menghasilkan dan
mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan lapangan kerja
dan pendapatan bagi diri sendiri dan dalam usahanya sangat dihadapkan berbagai
kendala seperti faktor modal, faktor pengetahuan, dan ketrampilan.
Sedangkan Wirosardjono dalam Alisjahbana (2003:14), mengemukakan PKL
adalah pola kegiatannya tidak teratur, dalam artian waktu, permodalan maupun
penerimaannya, tidak tersentuh oleh peraturan atau ketentuan yang ditetapkan oleh
pemeritah, modal peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan
Dalam Perda No. 17 Tahun 2003 pasal 1 ayat 6 tentang penataan dan
pemberdayaan PKL, disebutkan PKL adalah pedagang yang menjalankan kegiatan
usahanya dalam jangka waktu tertentu dengan mempergunakan sarana atau
perlengkapan yang mudah dipindahkan, dibongkar pasang dan mempergunakan
lahan fasilitas umum sebagai tempat usaha,
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa PKL adalah mereka yang
barang dagangaannya mempergunakan tempat-tempat umum, seperti sepanjang
jalan troroar, fasilitas umum dan pinggir jalan. Sarana ataupun perlengkapan
dagang yang digunakan relative sederhana. Di samping kios-kios yang permanent
ataupun datang ke tempat lokasi dengan membawa peralatan yang dibawa dari
rumah, baik yang bersifat dorongan (gerobak / rombong) atupun bongkar pasang.
2.2.2. Pengertian Kebijakan Publik
Menurut Anderson dalam Tangkilisan (2003:19), merumuskan kebijakan
merupakan “Arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang
aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan”.
Menurut Fredrickson dan Hart dalam Tangkilisan (2003:19), mengatakan
kebijakan adalah “Suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan
dengan adanya hambatan-hambatan tertentu sambil mencari peluang-peluang untuk
mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan”.
Selanjutnya dapat diketahui definisi dari kebijakan publik yang dikemukakan
dilakukan Pemerintah. Sebab-sebab hal tersebut dilakukan dan perbedaan yang
ditimbulkan sebagai akibatnya”.
Sedangkan menurut Lester dan Stewart dalam Wibowo (2004:29), memberikan
usulan definisi kebijakan publik yaitu “Proses atau serangkaian keputusan atau
aktivitas pemerintah yang didesain untuk mengatasi masalah publik, apakah hal itu
riil ataukah masaih direncanakan (Imagined)”.
Menurut Anderson dalam Tangkilisan (2003:3), kebijakan publik adalah
kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat
pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah :
1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai
tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan;
2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah;
3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah,
jadi bukan merupakan apa yangt masih dimaksudkan untuk dilakukan;
4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan
tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat
negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan
sesuatu;
5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada
peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.
Menurut Udoji dalam Wahab (2005:5), kebijaksanaan negara adalah suatu
suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan yang
mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik
adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat,
baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi
kehidupan masyarakat.
2.2.3. Langkah-Langkah Kebijakan Publik
Menurut Dunn dalam Tangkilisan (2003:8), tahap-tahap kebijakan dibagi
menjadi:
1. Penetapan agenda kebijakan (agenda setting)
Tahap pertama penetapan agenda kabijakan adalah menentukan masalah publik
yang akan dipecahkan.
2. Formulasi Kebijakan (policy formulation)
Mengidentifikasikan kemungkinan kebijakan yabf dapat digunakan melalui
prosedur forcasting untuk memecahkan masalah yang didalamnya terkandung
konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan yang akan dipilih.
3. Adopsi Kebijakan (policy adoption)
Tahap adopsi kebijakan merupakan tahap untuk menentukan pilihan kebijakan
melalui dukungan para stakeholders atau pelaku yang terlibat.
4. Isi Kebijakan (policy implementation)
Implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk
mengorganisir, menginterprestasikan dan menerapkan kebijakanyang telah
diseleksi.
5. Evaluasi Kebijakan (policy assessment)
Tahap akhir dari proses pembuatan kebijakan adalah penilaian terhadap
kebijakan yang telah diambil dan dilakukan. Dalam penelitian ini semua proses
implementasi dinilai apakah telah sesuai dengan yang telah ditentukan atau
direncanakan dalam program kebijakan tersebut sesuai dengan ukuran-ukuran
(kriteria-kriteria) yang telah ditentukan.
2.2.4. Aktor Kebijakan Publik
a) Pejabat Pembuat Kebijakan
Menirut Agustino (2006 : 29) yang dimaksud dengan Pejabat pembuat
kebijakan adalah orang yang mempunyai wewenang yang sah untuk ikut serta
dalam formulasi hingga penetapan kebijakan publik yang termasuk dalam
pembuat kebijakan secara normatif adalah : legislatif, eksekutif, administrator
dan para hakim. Masing-masing mempunyai tugas dalam pembuatan kebijakan
yang relatif berbeda dengan lembaga lain.
b) Aktor Yang Terlibat
Menurut Agustino (2006 : 41) di Indonesia, di era reformasi ini, aktor
kebijakan (lembaga Negara dan pemerintah yang berwenang membuat
perundang-undang atau kebijakan) adalah :
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
3. Presiden
4. Pemerintah yang meliputi :
a. Presiden sebagai kepala Pemerintahan (pemerintah pusat)
b. Menteri
c. Lembaga Non-Departemen
d. Direktorat Jendral (Dirjen)
e. Badan-Badan Negara lainnya (Bank Sentral, BUMN, dan lainnya)
f. Pemerintah Daerah Propinsi
g. Pemerintah daerah kota atau kabupaten
h. Kepala desa
i. Dewan perwakilan daerah propinsi
j. Dewan perwakilan daerah kota atau kabupaten
k. Badan perwakilan desa (BPD)
Lembaga-lembaga Negara (dan pemerintah) tersebut memiliki peran dan
wewenang masing-masing untuk membuat perundang (kebijakan publik) sesuai
dengan kedudukannya dalam sistem pemerintah.
2.2.4.1. Sifat Kebijakan Publik
Menurut Wianarno (2002 : 19) sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan
dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci beberapa kategori sebagai
1. Tuntutan-Tuntutan Kebijakan
Adalah tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh aktor-aktor swasta atau pemerintah,
ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah dalam suatu sistem politik.
2. KeputusanKebijakan
Adalah keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang
mengesahkan atau memberi arah dan subtansi kepada tindakan-tindakan
kebijakan publik.
3. Peryataan-Peryataan Kebijakan
Adalah peryataan-peryataan resmi atau artikulasi-artikulasi (penjelasan)
kebijakan publik.
4. Hasil-Hasil Kebijakan
Adalah manifestasi nyata dari kebijakan-kebijakan publik hal-hal yang
sebenarnya dilakukan menurut keputusan-keputusan dan pernyataa-pernyataan
kebijakan.
5. Dampak-Dampak Kebijakan
Adalah akibat bagi masyarakat baik yang berasal dari tindakan atau tidak
adanya tindakan pemerintah.
2.2.4.2. Manfaat Kabijakan Publik
Menurut Dye dan Anderson dalam Subarsono (2005 : 4), studi kebijakan publik
1. Pengembangan ilmu pengetahuan
Dalam konteks ini, ilmuwan dapat menempatkan kebijakan publik sebagai
variabel terpengaruh (dependent variable) sehingga berusaha menentukan
variabel pengaruhnya (independent variable). Studi ini berusaha mencari
variabel-variabel yang dapat mempengaruhi isi dari sebuah kebijakan publik.
2. Membantu para praktisi dalam memecahkan masalah-masalah publik
Dengan mempelajari kebijakan publik para praktisi akan memiliki dasar
teoritis tentang bagaimana membuat kebijakan publik yang baik dan
memperkecil kegagalan dari suatu kebijakan publik. Sehingga ke depan akan
lahir kebijakan publik yang lebih berkualitas yang dapat menopang tujuan
pembangunan.
3. Berguana untuk tujuan politik
Suatu kebijakan publik yang dibuat melalui proses yang benar dengan
dukungan teori yang kuat memiliki posisi yang kuat terhadap kritik dari
lawan politik. Kebijakan publik tersebut dapat menyakinkan kepada
lawan-lawan politik yang tadinya kurang setuju. Kebijakan publik seperti itu tidak
akan mudah dicabut hanya karena alasan kepentingan sesaat dari lawan-lawan
politik.
2.2.5. Tujuan Kebijakan
Ada beberapa tujuan kebijakan menurut Hoogerwef dalam Soenarko (2000: 82)
yaitu :
b. Melancarkan perkembangan masyarakat dalam berbagai hal (Negara sebagai
perangsang, stimulator)
c. Menyesuaikan berbagai aktivitas (Negara sebagai kordinator)
d. Memperuntukkan dam membagi berbagai materi (Negara sebagai pembagi,
alokator)
Tujuan-tujuan yang demikian itu, tentu saja merupakan tujuan antara guna
untuk memcapai tujuan akhir. Untuk bangsa dan Negara Indonesia, tujuan
kebijaksanaan itu adalah :
a. Memajukan kesejahteraan umum
b. Mencerdaskan kehidupan bangsa
c. Ikut melaksanakan ketertiban dunia
Sedangkan untuk tujuan akhirnya (goal) adalah : masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan pancasila dan UUD 1945
2.2.6. Evaluasi Kebijakan
Menurut Winarno (2004 : 165), evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang
bertujuan untuk menilai mannfaat suatu kebijakan.
Menurut Jones dalam Tangkilisan (2003 : 25), mengatakan bahwa evaluasi
kebijakan adalah peninjauan ulang untuk mendapatkan perbaikan dari dampak yang
tidak diinginkan.
Menurut Moshoed (2004 : 91), mengatakan bahwa evaluasi kebijakan adalah
suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat
Dengan disimpulkan dari pengertian-pengertian diatas bahwa evaluasi
kebijakan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menilai apakah siatu kebijakan
berhasil mencapai tujuanya dan seberapa besar dampak yang ditimbulkan akibat
implementasi kebijakan tersebut.
Didalam evaluasi kebijakan terdapat beberapa tipe evaluasi, salah satunya
seperti yang dikemukakan heath dalam Tangkilisan (2003 : 27), membedakan tipe
evaluasi kebijakan publik atas 3 (tiga) tipe yaitu:
1. Tipe Evaluasi Proses
Dimana evalusai ini dilakukan, dan perhatiannya pada peryataan bagaimana
program dilaksanakan.
2. Tipe Evaluasi Dampak
Dimana evaluasi ini dilakukan untuk menjawab pertayaan mengenai apa yang
telah dicapai program.
3. Tipe Evaluasi Strategi
Dimana evaluasi ini bertujuan untuk mencari jawaban atas pertayaan
bagaimana program dapat dilaksanakan secara efektif, untuk memecahkan
persoalan-persoalan masyarakat dibanding dengan program-program lain yang
ditunjukkan pada masalah yang sama sesuai dengan topik mengenai kebijakan
publik.
2.2.7. Pengertian Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi menurut Hartono dalam Alisjahbana (2004:45), adalah proses
diwujudkan sebagai “outcome” hasil akhir kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah.
Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab (2002:65), menyatakan bahwa
implementasi yaitu memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program
dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian pada suatu
kebijakan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa implementasi adalah proses yang
sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang
bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan yang langsung atau tidak
langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat.
Adapun implementasi kebijakan menurut Islamy (2004:28), dapat diartikan
sebagai suatu upaya untuk memahami “ apa yang senyatanya ada dan terjadi”
sesudah suatu program yang dirumuskan, yaitu peristiwa-peristiwa dan
kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan publik, baik itu
menyangkut peristiwa-peristiwa.
Menurut Subakti dalam Alisjahbana (2004:28), berdasarkan pada suatu
kebijakan terlaksana, terdapat 5 (lima) tahap implementasi kebijakan, yaitu :
1. Menyediakan sumber daya bagi pelaksanaan kebijakan
2. Melaksanakan interprestasi dan penjabaran kebijakan dalam bentuk peraturan
pelaksanaan dan petunjuk pelaksanaan
3. Menyusun perencanaan sejumlah langkah kegiatan pelaksanaan menurut waktu,
4. Pengorganisasian secara rutin atas personil, anggaran dan sasaran materiil
lainnya
5. memberikan manfaat kepada individu dan masyarakat
Sedangkan menurut Wibawa dan Koryati, Hidayat dalam Tangkilisan
(2004:10), mengatakan bahwa implementasi kebijakan yaitu pengejawantahan
keputusan mengenai kebijakan yang mendasar, biasanya tertuang dalam suatu
undang-undang, namun juga dapat berbentuk instruksi-instruksi eksekutif yang
penting atau keputusan perundangan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa implementasi adalah proses yang
sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang
bertanggung jawab untuk melaksanakan program yang langsung atau tidak
langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat.
2.2.7.1. Model-Model Implementasi Kebijakan
Dalam implementasi kebijakan ada beberapa bentuk model implementasi yang
dikenal., model ini berguna untuk menyederhanakan sesuatu bentuk dan
memudahkan dalam pelaksanaan kebijakan.
Hogwood dan Gunn dalam Wahab (2004 : 71) mengemukakan model “Top
Down Approach”. Menurut Hogwood dan Gunn, untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan secaara sempurna (perfect implementation) ada
10 (sepuluh) persyaratan, yaitu :
1. Kondisi ekternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan
2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup
memadai.
3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.
4. Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan
kualitas yang andal.
5. Hubungan kualitas bersifat langsung dan hanya sedikit rantai penghubungnya.
6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.
7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.
9. Komunikasi dan kordinasi yang sempurna.
10.Pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan
kepatuhan yang sempurna.
Variable-variabel kebijaksanaan bersangkut paut dengan tujuan-tujuan yang
telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada
badan-badan pelaksana meliputi organisasi formal maupun informal sedangkan
komunikasi antar organisasi terkait beserta kegiatam-kegiatan pelaksananya
mencakup antar hubungan didalam lingkungan sistem politik dan dengan
kelompok-kelompok sasaran. Akhirnya pusat perhatian pada sikap para pelaksana
mengatarkan kita pada telaah mengenai orientasi dari mereka yang
2.2.7.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
Menurut Islamy (2004 : 107), menjelaskan bahwa kebijaksanaan akan menjadi
efektif bila dilaksanakan dan mempunyai dampak positif bagi anggota-anggota
masyarakat. Dengan kata lain, tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi
anggota masyarakat itu bersesuaian dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah
dan Negara. Dengan demikian kalau mereka tidak bertindak/berbuat sesuai dengan
keinginan pemerintah / Negara itu, maka kebijaksanaan Negara menjadi tidak
efektif.
Kebijaksanaan apapun sebenarnya mengadung resiko untuk gagal, Hogwood
dan Gunn dalam Wahab (2004 : 61) telah membagi pengertian kegagalan
kebijaksanaan (policy failure) dalam 2 (dua) kategori, yaitu : non implementation
(tidak terimplementasi) dan unsuccessful implementation (implementasi tidak
berhasil).
Tidak terimplementasi mengadung arti bahwa suatu kebijaksanaan tidak
dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat
didalam pelaksanaanya tidak mau berkerjasama, atau mereka telah sepenuhnya
menguasai permasalahan, sehingga implementasi yang efektif sulit tercapai.
Implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala suatu
kebijaksanaan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat
kondisi ekternal teryata tidak mengutungkan (semisal tiba-tiba terjadi peristiwa
pergantian kekuasaan, bencana alam dan sebagainya). Kebijaksanaan tersebut tidak
Menurut Hood dalam Wahab (2004 : 77), bahwa guna mencapai implementasi
yang sempurna barangkali diperlakukan suatu sistem satuan administrasi tunggal
(unitary administrative sistem) seperti halnya satuan tentara yang besar yang hanya
memiliki satuan tanpa kompartementalisasi atau konflik dudalamnya.
2.2.7.3. Keberhasilan Implementasi Kebijakan
Menurut Rippley dan Franklin dalam Tangkilisan (2003 : 21), menyatakan
keberhasilan implementasi kebijakan program dan ditinjau dari 3 (tiga) faktor, yaitu
:
1. Perspektif kepatuhan yang mengukur implementasi kebutuhan aparatur
pelaksana;
2. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancara rutinitas dan tiadanya
persoalan;
3. Implementasi yang berhasil maengarah pada kinerja yang memuaskan semua
pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan.
2.2.8. Penataan PKL (Pedagang Kaki Lima)
1. Kebijakan dan Penataan
Kebijakan berarti serangkaian keputusan yang sifatnya mendasar untuk
dipergunakan sebagai landasan bertindak dalam usaha mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Kebijakan menurut Perda No. 17 Tahun 2003 mengatur tentang kawasan, lokasi
pedagang, waktu berjualan, jenis barang dagangan dan alat peraga yang digunakan
tentang penataan dan pemberdayaan PKL adalah tempat untuk menjalankan usaha
PKL yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah yang berada di lahan fasilitas umum
yang dikuasai oleh Pemda.
Sesuai dengan Perda No. 17 Tahun 2003 tentang penataan dan pemberdayaan
PKL, bahwa kegiatan pedagang kaki lima merupakan usaha perdagangan sektor
informal yang perlu diberdayakan guna menunjang pertumbuhan perekonomian
masyarakat. Sehingga perlu dilakukan penataan dan pemberdayaan pedagang kaki
lima sesuai yang diatur pada pasal 3 yang meliputi waktu kegiatan usaha PKL,
mengatur jumlah PKL, menetapkan jenis barang yang diperdagangkan dan
mengatur alat peraga PKL.
Penataan dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2001:1147), adalah sebagai
pola tata perencanaan yang terorganisir untuk sebuah kota dalam membangun
misalnya jalan, taman, tempat usaha dan tempat tinggal agar kota tampak apik,
nyaman, indah belingkungan sehat, dan terarah pada masa depan.
Dengan demikian penataan juga mengandung makna sebagai pembaharuan
yaitu melakukan usaha untuk membuat sesuatu menjadi lebih sesuai atau cocok
dengan kebutuhan, menjadi lebih baik dan menjadi lebih bermanfaat.
2. Penataan Pedagang Kaki Lima
Dalam Perda No. 17 Tahun 2003 kebijakan penataan telah diatur pada pasal 2
ayat 3 dimana penetapan, pemindahan dan penghapusan lokasi PKL diatur dengan
memperhatikan kepentingan sosial, ekonomi, ketertiban dan kebersihan lingkungan
oleh Pemerintah Kota Surabaya mengarah kepada terciptanya suasana kota yang
lebih tertib, rapi, indah dan nyaman. Agar keberadaannya tidak mengganggu
kenyamanan kota maka dalam menangani PKL perlu dicari solusi yang baik dan
bijaksana, karena penertiban tanpa memberi jalan keluar dengan memberi tempat
yang memenuhi syarat, sama saja akan mematikan tumbuhnya ekonomi
kerakyatan.
Penataan menurut Supriyanto (1996:121), merupakan serangkaian kegiatan
dalam rangka melaksanakan koordinasi , integrasi dan sinkronisasi pembangunan
fisik kota, kawasan atau desa berdasarkan rencana tata ruang yang ada sehingga
tercapai efisiensi dalam pemanfaatan sumber dana, tenaga dan lahan atau ruang,
dan atau juga dapat meningkatkan produktifitas, pemerataan dan perluasan
kesempatan kerja, peningkatan kondisi sosial ekonomi, pelestarian budaya dan
sejarah serta perbaikan lingkungan hidup.
Dalam Perda No, 17 Tahun 2003 pasal 2 dijelaskan bahwa :
1. Kegiatan usaha Pedagang Kaki Lima dapat dilakukan di daerah;
2. Kepala Daerah berwenang untuk menetapkan, memindahkan dan menghapus
lokasi PKL;
3. Penetapan, pemindahan dan penghapusan lokasi PKL sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), diatur dengan memperhatikan kepentingan sosial, ekonomi,
ketertiban dan kebersihan lingkungan sekitarnya;
4. Kepala derah berwenang melarang penggunaan lahan fasilitas umum tertentu
5. Setiap orang dilarang melakukan transaksi perdagangan dengan PKL pada
fasilitas umum yang dilarang digunakan untuk tempat usaha.
Selain itu Perda No. 17 Tahun 2003 pasal 3 juga menjelaskan bahwa Kepala daerah
berwenang :
1. menetapkan dan mengatur waktu kegiatan usaha PKL;
2. menetapkan dan mengatur jumlah PKL pada setiap lokasi PKL;
3. menetapkan jenis barang yang diperdagangkan;
4. mengatur alat peraga PKL.
3. Langkah Kebijakan Penataan
Menurut Simanjuntak (Prisma No. 3, 1985:51), aktivitas program kebijakan
penataan PKL dapat dikelompokkan ke dalam 2 pendekatan, yaitu :
1. mendorong sektor yang ada menjadi formal, PKL diorientasikan nantinya dapat
mendirikan toko yang permanen tentunya didirikan pada tempat yang memang
khusus untuk menampung pedagang formal. Misalnya pasar pusat perbelanjaan
modern dan dalam jangka waktu tertentu diharapkan usaha PKL menjadi lebih
maju dan bersedia serta mampu untuk pindah ke pasar atau toko sesuai dengan
jenis barang dagangannya.
2. dilakukan relokasi, yaitu penempatan PKL di lokasi baru yang dianggap
penting karena PKL sering dianggap menimbulkan kerugian sosial dan
kemacetan jalan. Namun penempatan ini perlu dipertimbangkan faktor
perlu diperlakukan yang manusiawi oleh para petugas, akan tetapi di pihak lain
yang tidak kalah penting adalah konsistensi pengaturan yang perlu diterapkan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aktivitas-aktivitas program
kebijakan penataan PKL dapat dilakukan dengan mendorong sektor informal
menjadi formal, meningkatkan kemampuan dalam usaha sektor informal, serta
menyediakan lokasi baru bagi para PKL.
2.2.9. Sektor Informal
Menurut Sathuraman dalam Alisjahbana (2003:10), bahwa sektor informal
terdiri dari unit usaha kecil yang menghasilkan dan mendistibsikan barang dan jasa
dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dam pendapatan bagi diri
sendiri dan dalam usahanya sangat dihadapkan berbagai kendala seperti faktor
modal fisik, faktor pengetahuan dan faktor ketrampilan.
Pendapat yang dikemukakan oleh Wirosardjono dalam Alisjahbana (2003:13),
bahwa sektor informal adalah suatu kondisi nyata dari berbagai kegiatan sejumlah
tenaga kerja yang umumnya berpendidikan rendah, tidak mempunyai ketrampilan
dan bekerja di sektor ekonomi marginal atau informal.
Sedangkan menurut Hidayat dalam Alisjahbana (2003), sektor informal
mempunyai cirri-ciri sebagai berikut :
a. Kegiatan usahanya tidak terorganisir secara baik karena timbulnya unit usaha
tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor
informal.
c. Pola usaha tidak teratur, baik lokasi maupun jam kerja.
d. Tidak terkena langsung kebijaksanaan pemeritah untuk membantu ekonomi
lemah.
e. Unit usaha mudah beralih antar sub sektor.
f. Berteknologi rendah.
g. Skala operasinya kecil karena modal dan perputaran usahanya juga relative
kecil.
h. Tidak memerlukan pendidikan formal, karena hanya dibantu pekerja keluarga
yang tidak dibayar.
i. Mereka bermodal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak
resmi.
j. Pada umumnya bekerja sendiri atau hanya dibantu pekerja keluarga yang tidak
dibayar.
k. Ebagian besar hasil produksi atau jasa mereka hanya dinikmati masyarakat
berpenghasilan rendah serta sebagian kecil masyarakat golongan menengah.
2.2.10. Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Penataan dan
Pemberdayaan PKL di Kota Surabaya
Peningkatan jumlah PKL yang terjadi di kota-kota besar, seperti Surabaya telah
bedampak pada terganggunya kelancaran lalu lintas, ketertiban dan kebersihan kota
serta fungsi prasarana kota. Selain mengganggu berbagai aktivitas kota, PKL yang
merupakan usaha perdagangan sektor informal perlu dilakukan penataan untuk
satu pilihan dalam penyediaan barang dagangan yang dibutuhkan oleh masyarakat
dengan harga yang relative terjangkau.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka Pemerintah Kota Surabaya
mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor. 17 Tahun 2003 Tentang Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
Dalam Perda No. 17 Tahun 2003 pasal 2 menjelaskan tentang :
1. Kegiatan usaha Pedagang Kaki Lima dapat dilakukan di daerah;
2. Kepala Daerah berwenang untuk menetapkan, memindahkan dan menghapus
lokasi PKL;
3. Penetapan, pemindahan dan penghapusan lokasi PKL sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), diatur dengan memperhatikan kepentingan sosial, ekonomi,
ketertiban dan kebersihan lingkungan sekitarnya;
4. Kepala derah berwenang melarang penggunaan lahan fasilitas umum tertentu
untuk tempat usaha PKL;
5. Setiap orang dilarang melakukan transaksi perdagangan dengan PKL pada
fasilitas umum yang dilarang digunakan untuk tempat usaha PKL.
Selain itu Perda No. 17 Tahun 2003 pasal 3 menjelaskan bahwa Kepala Daerah
atau Pejabat yang ditunjuk berwenang :
1. menetapkan dan mengatur waktu kegiatan usaha PKL;
2. menetapkan dan mengatur jumlah PKL pada setiap lokasi PKL;
3. menetapkan jenis barang yang diperdagangkan;
Pada dasarnya Perda No. 17 Tahun 2003 dibuat untuk mengatur secara umum
tentang penataan dan pemberdayaan PKL di semua sudut kota Surabaya. Dalam
pelaksanaannya Perda No. 17 Tahun 2003 mengatur tentang Penetapan Waktu
Kegiatan, Jumlah PKL, Jenis Barang Dagangan dan Alat Peraga.
Sedangkan ketentuan Tanda Daftar Usaha diatur pada pasal 4 yang berisi :
1. setiap orang dilarang melakukan usaha PKL pada fasilitas umumyang dikuasai
oleh Kepala Daerah tanpa memiliki Tana Daftar Usaha yang dikeluarkan
Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk;
2. untuk memperoleh Tanda Daftar Usaha yang bersangkutan harus mengajukan
permohonan secara tertulis kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk;
3. permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus dilampiri :
a. Kartu Tanda Penduduk (KTP) Surabaya;
b. Rekomendasi dari Camat yang wilayah kerjanya meliputi lokasi PKL yang
dimohon;
c. Gambar alat peraga PKL yang akan dipergunakan;
d. Surat pernyataan yang berisi :
1) Tidak akan memperdagangkan barang illegal;
2) Tidak akan membuat bangunan permanent / semi permanent di lokasi tempat
usaha;
3) Mengosongkan / mengembalikan / menyerahkan lokasi PKL kepada
Pemerintah daerah apabila likasi dimaksud sewaktu-waktu dibutuhkan oleh
4) Tata cara permohonan dan pemberian Tanda Daftar Usaha ditetapkan lebih
lanjut oleh Kepala Daerah.
5) Jangka waktu Tanda Daftar Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
adalah 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang.
Selain itu juga diatur dalam Perda No. 17 Tahun 2003 pasal 5 mengenai
kewajiban dan larangan pemegang Tanda Daftar Usaha PKL, yaitu :
1. memelihara kebersihan, keindahan, ketertiban, keamanan dan kesehatan
lingkungan tempat usaha;
2. menempatkan sarana usaha dan menata barang dagangan dengan tertib dan
teratur;
3. menempati sendiri tempat usaha sesuai Tanda Daftar Usaha yang dimiliki;
4. mengosongkan tempat usaha apabila Pemerintah Daerah mempunyai kebijakan
lain atas lokasi tempat usaha tanpa meminta ganti rugi;
5. mematuhi ketentuan penggunaan lokasi PKL dan ketentuan usaha PKL yang
ditetapkan oleh Kepala Daerah;
6. mematuhi semua ketentuan yang ditetapkan dalam Tanda Daftar Usaha PKL;
7. mengosongkan tempat usaha dan tidak meninggalkan alat peraga di luar jam
operasional yang telah ditentukan oleh Kepala Daerah atau pejabat yang
ditunjuk.
Yang dijelaskan pula dalam Perda No. 17 Tahun 2003 pasal 6 yang berisi :
1. mendirikan bangunan permanen/semi permanen di lokasi PKL ;
3. menjual barang dagangan yang dilarang untuk diperjualbelikan ;
4. melakukan kegiatan usaha di lokasi PKL selain yang telah dinyatakan dalam
Tanda Daftar Usaha;
5. mengalihkan Tanda Daftar Usaha PKL kepada pihak lain dalam bentuk apapun.
Sedangkan pengawasan dan penertiban diatur dalam Perda No. 17 Tahun 2003
BAB V pasal 9, yaitu :
1. Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan pengawasan
atas pelaksanaan Peraturan Daerah ini ;
2. Dinas Polisi Pamong Praja atau Instansi lain yang mempunyai tugas untuk
menegakkan Peraturan Daerah berwenang melaksanakan penertiban atas
pelanggaran Peraturan Daerah ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;
3. Ketentuan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan oleh Kepala Daerah.
Sanksi administrtif diatur dalam Perda No. 17 Tahun 2003 pasal 10, yaitu :
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (5), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 dan Pasal
6, Kepala Dawrah berwenang memberikan peringatan-peringatan dan atau
membongkar sarana usaha atau mengeluarkan barang dagangan yang dipergunakan
untuk usaha PKL dari fasilitas umum yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah /
lokasi PKL.
2.2.11.Kebersihan Lingkungan
Kebersihan menurut Entjang (1997:100), adalah bersih dan tidak kotor. Yang
fisik saja, tetapi juga mencakup kesehatan atau sanitasi dalam arti keadaan yang
bersih dan terbebas dari pencemaran terahadap lingkungan fisik seperti polusi
udara, polusi tanah dan polusi air.
Kebersihan tidak hanya dirasakan dan dilihat secara fisik belaka, namun
mencakup kebersihan dalam arti kesehatan. Terhindarnya sampah serta akibat yang
ditimbulkannya seperti bau busuk, pemandangan yang kurang baik, tempat
bersarang berbagai serangga dan binatang lain yang menyebabkan penyakit.
Menurut Marbun (1994:107-108), dalam melakukan aktivitasnya PKL juga
dapat menyebabkan permasalahan kebersihan lingkungan. Selain kebersihan
lingkungan yaitu masalah sampah yang biasanya muncul, PKL juga membawa
akibat bagi pencemaran lingkungann yaitu :
1. bau busuk yang mengganggu warga kota yang berada di dekat pembuangan
sampah.
2. mempercepat atau sumber penularan penyakit.
3. tersumbatnya got-got dan aliran sungai yang pada musim penghujan
memperbesar bahaya banjir.
2.3. Kerangka Berfikir
Berdasarkan landasan teori di atas, penelitian ini merupakan satu macam
variable atau variable mandiri yaitu kebijakan penataan pedagang kaki lima di
kawasan Dharmawangsa Surabaya. Hal ini dapat dilihat pada susunan suatu model
alur kerangka sebagai berikut :
Gambar 1
Kerangka Berfikir
Jenis Barang
Alat Peraga Jumlah
PKL
Ketertiban dan Kebersihan Lingkungan Kawasan Dharmawangsa
Perda Nomor 17 Tahun 2003 pasal 3 Tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Kota
Surabaya
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat
deskriptif, yang mencoba menggambarkan secaras mendalam suatu obyek
penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak. Hal ini selaras dengan
pendapat Hadi (1993:03) bahwa penelitian deskriptif sebagai suatu penelitian
bertujuan untuk melukiskan keadaan obyek atau peristiwa tertentu tanpa
maksud mengambil kesimpulan yang berlaku secara umum.
Penelitian yang digunakan penelitian kualitatif dengan maksud ingin
memperoleh gambaran yang komprehensif dan mendalam tentang Kebijakan
Penataan Pedagang Kaki Lima di Jl. Dharmawangsa (kawasan lapangan
Dharmawangsa).
Secara teoritis, menurut Bagdan dan Taylor dalam Moleong (2007:4),
penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang dapat
diamati. Menurut pendapat tersebut, pendekatan penelitian diharapkan pada
latar dan individu tersebut secara holistic (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh
mengisolasikan individu atau organisasi kedalam variable atau hipotesis tetapi
perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.
Sedangkan menurut Denzin dan Lincoln dalam Moleong (2007:5)
penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar ilmiah, dengan
maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan
melibatkan berbagai metode yang ada.
Menurut Richie dalam Moleong (2007:6) penelitian kualitatif adalah upaya
untuk menyajikan dunia social dan perspektifnya didalam dunia dari segi
konsep, perilaku, persepsi dan persoalan tentang manusia yang diteliti.
Dari kajian tentang definisi-definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud menggambarkan dan
memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek penelitian, misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan
cara-cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfatkan metode ilmiah.
3.2. Fokus Penelitian
Penentuan fokus penelitian diperlukan dalam membantun pelaksanaan
penelitian, jika penelitian ditentukan tepat sesuai dengan tujuan dan masalah
penelitian, maka penelitian yang dilakukan akan terarah dan berhasil dengan
baik.
Menurut Moleong ( 2007 : 94 ) menyatakan bahwa ada dua maksuid
tertentu yang ingin peneliti capai dalam merumuskan masalah penelitian
dengan jalan memanfaatkan fokus. Pertama, fokus dapat membatasi studi, jadi
dalam hal ini fokus akan membatasi bidang inkuiri sehingga peneliti tidak perlu
kesana kemari untuk mencari subjek penelitian. Kedua, penetapan fokus itu
berfungsi untuk memenuhi criteria inklusi – eksklusi atau criteria masuk –
yang jelas dan mantap, seorang peneliti dapat membuat keputusan yang tepat
tentang data yang dikumpulkan dan mana yang tidak perlu dijamah atau mana
yang akan dibuang.
Penelitian kualitatif digunakan variable mandiri tanpa membuat
perbandingan atau menghubungkan variable yang lain dalam penelitian in yang
menjadi variable penelitian adalah. Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima di
Jl. Dharmawangsa (kawasan lapangan Dharmawangsa). Dan tidak ada satupun
yang dapat dilakukan tanpa adanya fokus. Adapun yang menjadi fokus dalam
penelitian ini adalah :
1. Implementasi Kebijakan Penataan PKL di jalan Dharmawangsa Surabaya
berpayung pada Perda Nomor 17 Tahun 2003 tentang penataan dan
pemberdayaan PKL pasal 3 yang meliputi :
a. pengaturan jumlah PKL pada setiap lokasi PKL, dengan sasaran kajian :
1) jumlah stan dan jumlah pedagang kaki lima yang menempati Sentra
PKL Dharmawangsa.
2) Mekanisme untuk mendaftar di Sentara PKL Dharmawangsa.
b. pengaturan jenis barang yang diperdagangkan, dengan sasaran kajian :
1) jenis barang apa saja yang diperdagangkan.
c. pengaturan alat peraga PKL, dengan sasaran kajian :
1) sumber atau asal usul alat peraga yamg dipergunakan oleh para
3.3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan tempat yang digunakan oleh peneliti untuk
mendapatkan keadaan sebenarnya dari obyek yang diteliti guna memperoleh
data yang akurat. Agar dapat memperoleh data yang akurat atau mendekati
kebenaran yang sesuai dengan fokus penelitian, maka penliti memilih dan
menetapkan lokasi penelitian ini di Jl. Dharmawangsa (kawasan lapangan
Dharmawangsa) yang merupakan salah satu lokasi penataan PKL di Kota
Surabaya sebagai lahan berjualan para PKL dan panelitian ini berdasarkan
secara disengaja (purposive), yaitu lokasi dipilih dengan pertimbangan yang
berkaitan dengan judul yang dipilih.
3.4. Sumber Data
Menurut Lofland dalam Moleong (2007;157), sumber data utama dalam
penelitian kualitatif adalah berasal dari informan yang berupa kata-kata dan
tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.
Sumber data adalah tempat penelitian dapat menemukan data dan informasi
yang diperlukan berkenaan dengan penelitian ini yang diperlukan melalui
informasi, peristiwa dan dokumen.
Yang dimaksud sumber data dalam penelitian ini adalah subyek dimana
data diperoleh dari informasi yang diperlukan berkenaan dengan penelitian ini
1. Informan
Dipilih secara purposive (purposive sampling) yang didasarkan pada subyek
yang menguasai permasalahan, memiliki data dan bersedia memberikan
data yang benar-benar relevan dan komprehensif dengan masalah penelitian.
Sedangkan informan yang selanjutnya diminta pula untuk menunjuk orang
lain yang dapat memberikan informasi dan seterusnya. Adapun informan
dalam penelitian ini antara lain :
a. Kepala Bidang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Dinas Koperasi dan
UMKM Pemkot Surabaya..
b. Paguyuban Sentra PKL Dharmawangsa.
c. Para PKL di Sentra PKL Dharmawangsa.
2. Tempat atau peristiwa
Tempat atau peristiwa yang dimana fenomena itu terjadi atau yang pernah
terjadi berkaitan dengan fokus penelitian, tentang Penataan PKL di Sentra
PKL Dharmawangsa Kecamatan Gubeng Kota Surabaya.
3. Dokumen
Dokumen disini adalah dipakai sebagai sumber data lain yang sifatnya
melengkapi data utama yang relevan dengan masalah dan fokus penelitian,
seperti data demografi dan monografi di lokasi penelitian.
3.5. Teknik Pengumpulan Data
Data merupakan bagian terpenting dalam penelitian, karena hakekat dari
dalam penelitian kebijakan pengumpulan data diperlukan suatu teknik untuk
memudahkan dalam upaya-upaya mengumpulkan data di lapangan.
Dalam pengumpulan data, terdapat 3 (tiga) proses kegiatan yang dilakukan
dalam penelitian ini, yaitu :
a) Wawancara atau interview
Menurut Lincoln dan Guba dalam Moleong (2007 : 186), wawancara adalah
percakapan dengan maksud tertentu dan dilakukan oleh dua pihak yaitu
pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
(interview) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Wawancara jenis ini tidak dilaksanakan dengan struktur ketat, tetapi dengan
pertanyaan yang semakin memfokus pada permasalahan sehingga informasi
yang dikumpulkan cukup mendalam. Kelonggaran semacam ini mampu
mendapatkan kejujuran informan untuk memberikan informasi yang
sebenarnya, terutama yang berkenaan dengan perasaan, sikap, dan
pandangan mereka terhadap pelaksanaan kerjanya. Teknik wawancara
semacam ini dilakukan dengan semua informan yang ada pada lokasi
peneliti terutama untuk mendapat data valid guna menjawab permasalahan
penelitian.
Dalam penelitian ini yang diwawancarai adalah : Kepala Sie Keamanan
Dan Ketertiban Kecamatan Gubeng, Paguyuban Sentra PKL
b) Pengamatan atau Observasi
Observasi dilakukan oleh peneliti untuk mengungkap dan memperoleh
deskripsi secara utuh dengan pengamatan langsung kepada para PKL, mulai
dari peringatan untuk penataan, sosialisasi dalam melaksanakan penataan
sampai dengan pelaksanaan penataan pedagang kaki lima di Jl.
Dharmawangsa kota Surabaya.
c) Dokumentasi
Teknik dokumentasi dilakukan untuk mendapat data sekunder yang
dilaksanakan dengan cara mengumpulkan data dalam penataan PKL
lapangan Dharmawangsa Surabaya yang berhubungan dengan penataan
PKL dalam bentuk gambar / foto.
3.6. Analisis Data
Menurut Sugiyono (2005 : 85), analisis data adalah proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara catatan
laporan, dan dokumen, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,
menjabarkan kedalam unit-unit, melkuakan sintesa, menyusun kedalam pola,
memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan
sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka setelah data terkumpul, proses
selanjutnya adalah menyederhanakan data yang diproleh kedalam bentuk yang
mudah dibaca, dipahami, dan diinterpretasikan yang pada hakekatnya
merupakan upaya mencari jawaban atas permasalahan yang ada sesuai dengan
selanjutnya akan dianalisa secara kualitatif, artinya dari data yang ada dianalisa
serinci mungkin dengan jalan mengabstraksikan secara teliti setiap informasi
yang diperoleh di lapangan, sehingga diharapkan dapat diperoleh kesimpulan
yang memdai.
Menurut Miles dan Huberman (1992 : 16) teknik analisis data kualitatif
meliputi tiga unsur alur kegiatan sebagai sesuatu yang terjadi pada saat
sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk sejajar untuk
membangun suatu analisis, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan / verifikasi.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
dengan menggunakan model interaktif (interactif model of analysis) yang
dikembangkan oleh Miles dan Huberman (2007 : 15-21). Dalam model ini
terdapat tiga komponen analisis, yaitu sebagai berikut :
a. Reduksi Data
Reduksi Data diartikan sebagai proses pemilihan, perumusan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar
yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan
suatu bentuk analisa menajamkan, menggolongkan, mengarahkan,
membuang yang tidak perlu hingga kesimpulan-kesimpulan akhirnya dapat
ditarik dan diverifikasi. Data yang diproleh dari lokasi penelitian atau data
di lapangan dalam uraian yang jelas dan lengkap, yang nantinya akan
penelitian kemudian dicari tema atau pola (melalui proses penyuntingan,
pemberian kode dan pembuatan tabel).
b. Penyajian Data
Penyajian data merupakan sekumpulan informasi yang telah tersusun secara
terpadu dan sudah dipahami yang member kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan mengambil tindakan.
c. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi
Penarikan kesimpulan dilakukan secara terus menerus sepanjang proses
penelitian sejak peneliti memasuki lokasi penelitian dan proses
pengumpulan data langsung, peneliti berusaha untuk menganalisis dan
mencari pola, tema, hubungan, persamaan, dan hal-hal yang sering timbul
yang dituangkan dalam kesimpulan.
Proses analisis data secara interaktif ini dapat disajikan dalam bentuk
Analisis Data
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Kesimpulan dan Verifikasi
Sumber : Miles dan Huberman (1992 : 20)
3.7. Keabsahan Data
Menurut Moleong (2007 : 324), untuk menetapkan keabsahan
(trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik
pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada 4 (empat) kriteria
yang digunakan, yaitu :
1. Derajat Kepercayaan (Credibility)
Penerapan kriterium derajat kepercayaan (kredibilitas) pada dasarnya
menggantikan konsep validitas internal dari non kualitatif. Kriterium ini
berfungsi untuk melaksanakan inkuiri sedemikian rupa sehingga tingkat
kepercayaan penemuannya dapat dicapai dan, mempetunjukkan derajat
kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti
2. Keteralihan (transferality)
Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara
konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan penglihan tersebut
seorang peneliti hendaknya mencari dan mengumpulkan kejadian empiris
tentang kesamaan konteks dengan demikian peneliti bertanggung jawab
untuk menyediakan data deskriptif secukupnya jika ia ingin membuat
keputusan tentang pengalihan tersebut. Untuk keperluan itu peneliti harus
melakukan penelitian kecil untuk memastikan usaha memverifikasi
tersebut.
3. Kebergantungan (dependability)
Kebergantungan merupakan substitusi istulah reliabilitas dalam penelitian
yang nonkualitatif. Pada cara nonkualitatif yaitu dengan diadakan
pengulangan studi dalam suatu kondisi yang sama dan hasilnya secara
esensial sama maka dikatakan reliabilitas ditunjukkan dengan jalan
mengadakan replikasi studi. Jika dua atau beberapa kali diadakan
pengulangan suatu studi dalam suatu kondisi yang sama dan hasilnya
secara esensial sama, dikatakan reliabilitasnya tercapai. Hal ini benar
sama dengan alamiah yang mengandalkan orang sebagai instrument.
Mungkin karena kelebihan, atau karena keterbatasan mengingat sehingga
membuat kesalahan-kesalahan. Namun, kekeliruan yang dibuat orang
demikian jelas tidak mengubah keutuhan kenyataan yang distudi. Konsep
kebergantungan lebih luas daripada reliabilitas. Hal tersebut disebabkan
segala-galanya, yaitu yang ada pada reliabilitas itu sendiri ditambah faktor-faktor
lainnya yang bersangkutan.
4. Kepastian (confirmability)
Kepastian berasal dari konsep objektivitas menurut nonkualitatif.
Nonkualitatif menetapkan objektivitas dari segi kesepakatan antar subjek.
Disini pemastian bahwa sesuatu itu objektif atau tidak bergantung pada
persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat, dan penemuan
seseorang. Dapatlah dikatakan bahwa pengalaman seseorang itu subjektif
sedangkan jika disepakati oleh beberapa orang atau banyak orang, barulah
dapat dikatakan objektif. Hal itu digali dari pengertian bahwa jika sesuatu
itu objektif, berarti dapat dipercaya, faktual dan dapat dipastikan .
Berdasarkan hal tersebut diatas, jelaslah bahwa data yang diperoleh di
lapangan tidak dibuktikan dengan angka-angka tetapi berisikan uraian-uraian
sahingga menggambarkan hasil yang sesuai dengan data yang telah dianalisa
kemudian diinterpertasikan. Masalah yang dihadapi diuraikan dengan
berpatokan pada teori-teori serta temuan yang diperoleh pada saat penelitian