• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KABUPATEN SIDOARJO (Studi Relokasi PKL Alun-alun ke GOR Delta Sidoarjo).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KABUPATEN SIDOARJO (Studi Relokasi PKL Alun-alun ke GOR Delta Sidoarjo)."

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Per syaratan Memperoleh Gelar Sar jana Ilmu Administrasi Negara

OLEH : ELLISA MAULINA

0741010028

YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK J URUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

(2)
(3)
(4)
(5)

Syukur alhamdulilah atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “IMPLEMENTASI KEBIJ AKAN RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KABUPATEN SIDOARJ O”

Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu segala masukan dan saran yang bersifat menyempurnakan bagi skripsi ini, penulis akan menerima dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada Ibu Dr. Ertien Rining N, Msi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dengan penuh kesabaran. Selain itu juga penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, Msi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur. 2. Bapak Dr. Lukman Arif, Msi, selaku ketua Program Studi Ilmu

(6)

4. Para Dosen pengajar Jurusan Administrasi Publik yang telah banyak memberi masukan dalam proses belajar-mengajar.

5. Bapak Radik Heru Utomo selaku Kepala UPTD Alun-alun Kabupaten Sidoarjo.

6. Bapak, Ibu dan Teman-teman yang telah memberi doa sehingga laporan skripsi ini dapat terselesaikan.

Semoga penyusunan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca, baik sebagai bahan kajian maupun sebagai salah satu sumber informasi, dan bagi pihak-pihak lain yang membutuhkan.

Sidoarjo, 5 Desember 2012

(7)

LEMBAR PE NGESAHAN

KATA PE NGANTAR ……… i

DAFTAR ISI ……… iii

DAFTAR TABEL……… v

DAFTAR GAMBAR ……….. vi

ABSTRAKSI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………. 1

1.2 Perumusan Masalah ………. 7

1.3 Tujuan Penelitian ……….. 7

1.4 Kegunaan Penelitian ……….. 7

BAB II KAJ IAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu ………... 9

2.2 Landasan Teori ……… 12

2.2.1 Kebijakan Publik ………. 12

2.2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik ……… 12

2.2.1.2 Tahap-tahap Kebijakan Publik ………. 14

2.2.1.3 Sifat Kebijakan Publik ……….. 15

(8)

2.2.3 Pengertian Pedagang Kaki Lima ……… 29

2.2.3.1 Faktor Timbulnya Pedagang Kaki Lima ………… 31

2.2.3.2 Dampak Positif dan Negatif Keberadaan PKL ….. 33

2.2.3.3 Karakteristik Pedagang Kaki Lima ……… 34

2.2.3.4 Permasalahan-permasalahan yang Dihadapi PKL 35 2.2.4 Sektor Informal ……….. 36

2.2.5 Relokasi ……….. 38

2.3 Kerangka Berfikir ……….. 39

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ……….. 40

3.2 Fokus Penelitian ……… 41

3.3 Situs Penelitian ……….. 42

3.4 Sumber Data ……….. 42

3.5 Teknik Pengumpulan Data ……….... 44

3.6 Analisis Data ………. 46

3.7 Keabsahan Data ………. 49

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……….. 51

(9)

4.1.3.1 Visi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten

Sidoarjo……… 56

4.1.3.2 Misi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo……… 57

4.1.4 Tujuan dan Sasaran Strategis Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo……….. 57

4.1.4.1 Tujuan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo……… 57

4.1.4.2 Sasaran Strategis Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo………. 58

4.1.5 Arah Kebijakan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo……….. 58

4.1.6 Struktur Organisasi………. 59

4.1.7 Tugas Pokok dan Fungsi Dinas……….. 61

4.1.8 Komposisi Pegawai……… 66

4.1.8.1 Data Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin………. 66

4.1.8.2 Data Pegawai Berdasarkan Status………. 66

4.1.8.3 Data Pegawai Berdasarkan Agama………... 67

(10)

4.1.9 Sarana dan Prasarana……….. 73

4.2 Hasil Penelitian……… 74

4.2.1 Pendataan Awal Relokasi PKL……….. 75

4.2.2 Proses Relokasi……….. 82

4.2.3 Penetapan Relokasi PKL………... 89

4.3 Pembahasan……… 96

4.3.1 Pendataan Awal Relokasi PKL………. 97

4.3.2 Proses Relokasi……….. 101

4.3.3 Penetapan Relokasi PKL……….. 106

4.3.4 Implementasi Kebijakan Relokasi PKL……… 109

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan……… 110

5.2 Saran………. 111

(11)

Tabel 1 : Data Pedagang Kaki Lima (PKL) di Alun-alun Sidoarjo

Berdasarkan Jenis Dagangan ………... 4

Tabel 2 : Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin……… 66

Tabel 3 : Komposisi Pegawai Berdasarkan Status……… 67

Tabel 4 : Jumlah Pegawai Berdasarkan Agama………... 68

Tabel 5 : Komposisi Pegawai Berdasarkan Pendidikan……….. 69

Tabel 6 : Jumlah PNS Menurut Pangkat dan Golongan……….. 70

Tabel 7 : Komposisi PNS Berdasarkan Pendidikan……… 71

Tabel 8 : Komposisi Pegawai Menurut Jabatan……….. 72

Tabel 9 : Daftar Inventaris Yang Menunjang Kelancaran Tugas Pokok dan Fungsi……… 73

Tabel 10 : Data PKL di Alun-alun Sidoarjo Berdasarkan Jenis Dagangan 76

(12)

Ga mbar 1 : Model Implementasi Kebijakan Yang Berprektif Top Down ….. 23

Ga mbar 2 : Kerangka Berfikir ………. 39

Ga mbar 3 : Analisa Interaktif Menurut Miles dan Huberman ……… 48

Ga mbar 4 : Bagan Struktur Organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo……….. 60

Ga mbar 5 : Contoh Kartu Tanda Penduduk PKL Alun-alun Sidoarjo……… 78

Ga mbar 6 : Contoh Blangko Untuk Pendataan PKL……….. 79

Ga mbar 7 : Rapat Kesepakatan Relokasi……… 83

Ga mbar 8 : Penyediaan Tenda Oleh DKP Kabupaten Sidoarjo………. 84

Ga mbar 9 : Bupati dan Ketua Dewan Mengantar Relokasi PKL……… 87

Ga mbar 10 : Para PKL Menuju Lokasi Penempatan Baru……… 87

Ga mbar 11 : Lokasi Penempatan PKL di GOR Delta Sidoarjo……… 90

(13)

Penelitian ini didasarkan pada latar belakang fenomena timbulnya sentra-sentra Pedagang Kreatif Lapangan (PKL) atau disebut juga Pedagang Kaki Lima terutama di pusat-pusat dikeramaian kota yaitu salah satunya di Alun-alun Kota Sidoarjo. Penyebaran PKL di Kabupaten Sidoarjo mulai menunjukkan gejala kurang terkendali, yang berdampak beralihnya fungsi suatu kawasan dalam hal ini adalah kawasan Alun-alun. Kawasan alun-alun kota yang seharusnya menjadi pusat pemerintahan dan merupakan Ruang Terbuka Hijau beralih fungsi menjadi pusat perekonomian menengah ke bawah.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif kualitatif dimana penelitian ini digambarkan suatu fenomena dengan jalan mendeskripsikan kebijakan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo yang bertujuan untuk mengembangkan pemahaman dan mendiskripsikan kebijakan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dalam pelaksanaan kebijakan relokasi pedagang kaki lima Alun-alun Sidoarjo.

(14)

1.1 Latar Belakang

Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan, berlandaskan kemampuan nasional, dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta harus dapat memperhatikan tantangan perkembangan global. Pelaksanaannya mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal ditujukan mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, berkeadilan, sejahtera, maju, mandiri, dan kukuh kekuatan moral dan etikanya. Dengan demikian, membangun kesejahteraan rakyat dan ketahanan budaya merupakan agenda pembangunan yang penting dan strategis.

(15)

Kepesatan pembangunan menjadikan Kabupaten Sidoarjo sebagai salah satu daerah strategis pengembangan perekonomian regional. Daya tarik wilayah yang menjanjikan, membuka peluang bagi terciptanya unit-unit usaha masyarakat yang beraneka ragam, diantaranya adalah timbulnya fenomena perkotaan yang berupa kemunculan sentra-sentra Pedagang Kreatif Lapangan (PKL) atau disebut juga Pedagang Kaki Lima terutama di pusat-pusat dikeramaian aktifitas kota.

Sektor informal merupakan unit usaha kecil maka modal yang diperlukan juga kecil bahkan sistem pengolahannya sangat sederhana. Meskipun dengan modal kecil tersebut orang-orang yang bekerja di sektor informal mampu mempertahankan hidupnya. Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sulitnya lapangan pekerjaan yang tersedia bagi anggota masyarakat yang berpendidikan rendah dengan pengalaman serta ketrampilan yang sangat terbatas.

(16)

Penyebaran PKL di Kabupaten Sidoarjo mulai menunjukkan gejala kurang terkendali, yang berdampak beralihnya fungsi suatu kawasan dalam hal ini adalah kawasan Alun-alun. Kawasan alun-alun kota yang seharusnya menjadi pusat pemerintahan dan merupakan Ruang Terbuka Hijau (RHT) beralih fungsi menjadi pusat perekonomian menengah ke bawah karena kawasan alun-alun tumbuh pesat menjadi ajang transaksi ideal bukan hanya bagi PKL yang terus meningkat tetapi juga munculnya gejala sosial lainnya seperti premanisme, gelandangan dan lain sebagainya. (Sumber : Data dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo).

(17)

Tabel 1

Data Pedagang Kaki Lima (PKL) di Alun-alun Sidoar jo Berdasar kan J enis Dagangan

No. J enis Dagangan J umlah (Pedagang) Pr osentase (% )

1. Makanan / Minuman 318 44,91

2. Pakaian / Asesoris 214 30,22

3. Sepatu / Sandal 39 5,50

4. Kosmetik 6 0,84

5. Koran / Majalah 6 0,84

6. Mainan Anak 26 3,67

7. Kerajinan 9 1,27

8. Permainan / Hiburan 11 1,55

9. Alat-alat Sekolah 21 2,96

10. Alat-alat Rumah Tangga 10 1,41

11. Alat-alat Elektronik 33 4,66

12. Alat-alat Pertukangan 15 2,11

J umlah 708 100

Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo 2010

(18)

melampaui abang batas toleransi lokasi ini untuk menampungnya. Sedangkan Alun-alun Sidoarjo sendiri memiliki luas sebesar ± 3,8 hektar.

Sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan Sidoarjo bersih dan indah serta pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH), maka pemerintah Kabupaten Sidoarjo telah melakukan perubahan kondisi kawasan Kota khususnya Alun-alun Kota Sidoarjo, dengan melakukan beberapa perencanaan pembangunan yaitu penambahan Ruang Terbuka Hijau, pemeliharaan dan perbaikan taman-taman yang sudah ada, pemagaran dan penataan sebagian PKL di alun-alun supaya kelihatan indah, teratur dan nyaman.

Dari segi hukum kehadiran PKL di sekitar lingkungan Alun-alun Kota yang memanfaatkan sebagian ruang publik jelas hal itu tidak mungkin terus dibiarkan berlarut-larut karena akan berpotensi melanggar hukum dan mengganggu ketertiban. Suasana kumuh, kesemrawutan, gelantungan spanduk yang tak beraturan, tikar-tikar yang berserakan, semuanya mungkin terasa tak sedap dipandang mata. Tetapi, sekedar menggusur PKL dan menyita barang dagangan mereka tanpa ditindaklanjuti dengan berbagai bentuk pembinaan dan penanganan yang komprehensif, niscaya tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Untuk menata dengan baik PKL di lingkungan Alun-alun Kota Sidoarjo, karena itu yang dibutuhkan adalah sebuah konsep dan model penanganan yang benar-benar komprehensif dan menyentuh akar persoalan yang sebenarnya.

(19)

Tahun 1992 tentang penataan ruang, Inmendagri Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan, dan Perda Nomor 7 Tahun 1990 tentang Pengaturan Tempat Usaha dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.

Dalam mewujudkan kawasan kota yang bersih, indah, nyaman dan tertib, Pemkap Sidoarjo membuat kebijakan dengan melakukan penataan PKL yang berada di kawasan Alun-alun Sidoarjo dengan melakukan relokasi beberapa dari PKL yang ada. Sebagian PKL yang ada di kawasan Alun-alun Sidoarjo direlokasi ke GOR Delta Sidoarjo.

(20)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti ingin mengetahui “Bagaimana implementasi kebijakan relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) Alun-alun ke GOR Delta Kabupaten Sidoarjo ?”

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah tersebut diatas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisis implementasi kebijakan relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) Alun-alun ke GOR Delta Sidoarjo.

1.4 Kegunaan Penelitian a. Bagi Penulis

Merupakan alat atau sarana yang baik untuk menerapkan dan mengembangkan teori yang sudah diperoleh sehingga dapat membandingkan teori dengan kenyataan yang ada dilapangan.

b. Bagi Instansi

(21)

c. Bagi Universitas

(22)

BAB II

KAJ IAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

1. Penelitian yang dilakukan oleh Pribadi Widasetiawan, (2008) yang berjudul “Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima Kota Surabaya (Studi Pada Pedagang Kaki Lima Lapangan Karah Surabaya)”, dari Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa dan menginterprestasikan tentang Penataan Pedagang Kaki Lima di Lapangan Karah Surabaya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan maksud ingin memperoleh gambaran yang komprehensif dan mendalam tentang suatu kebijakan penataan PKL.

(23)

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah dalam implementasi kebijakan penataan PKL di Lapangan Karah Surabaya, telah dicapai beberapa kesepakatan antara Kecamatan Jambangan bersama dengan Paguyuban PKL Lapangan Karah Surabaya, meliputi waktu berdagang yang ditetapkan pada malam hari yaitu pukul 17:00 – 24:00 wib. Lokasi berdagang yaitu di Lapangan Karah Surabaya, untuk alat peraga berdagang, PKL melakukan penyeragaman alat peraga yaitu tenda dan rombong dengan bentuk dan warna cat yang sama, jenis dagangan yang dijual oleh PKL Lapangan Karah Surabaya yaitu berbagai macam hasil kuliner (makanan dan minuman yang bervariasi).

2. Penelitian yang dilakukan oleh Dinarjati Eka Puspitasari, (2009) yang berjudul “Penataan Pedagang Kaki Lima Kuliner Untuk Mewujudkan Fungsi Tata Ruang Kota Di Kota Yogyakarta Dan Kabupaten Sleman”, dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mewujudkan fungsi tata ruang kota di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.

(24)

dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan kuisioner yang mendalam (in depth interview). Adapun alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara dan kuisioner. Hasil dari penelitian ini adalah pola penataan PKL untuk mewujudkan fungsi tata ruang kota di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah dengan membuat kebijakan mengenai kualifikasi pola penataan PKL sesuai dengan program perencanaan tata ruang kota serta membuat kebijakan pola penataan PKL dengan lebih memperhatikan aspek lingkungan hidup. Adapun pola penataan PKL untuk menunjang kinerja ekonomi di DIY adalah memberikan kesempatan bagi PKL untuk berjualan di sektor informal serta menghimbau kepada Pemerintah Daerah untuk membuka lapangan kerja dan penerimaan pendapatan daerah dengan pemberlakuan retribusi.

Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang sekarang adalah jika penelitian pertama bertujuan untuk menganalisa dan menginterprestasikan tentang Penataan Pedagang Kaki Lima di Lapangan Karah Surabaya, penelitian kedua bertujuan untuk mewujudkan fungsi tata ruang kota di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Sedangkan penelitian sekarang bertujuan untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisis implementasi kebijakan relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) Alun-alun ke GOR Delta Kabupaten Sidoarjo.

(25)

terutama di pusat-pusat dikeramaian aktifitas kota. Keberadaan PKL sebagai sektor informal di satu sisi dapat menjadi solusi bagi permasalahan sosial, khususnya di bidang penciptaan lapangan kerja. Kehadirannya merupakan representasi bentuk usaha mandiri masyarakat yang berbasis kerakyatan, akan tetapi di sisi lain, keberadaan PKL di pusat-pusat aktifitas kota justru menimbulkan permasalahan sosial dan teknis. Persoalan PKL merupakan persoalan bersama yang harus diselesaikan. Dalam hal ini perlu adanya koordinasi dari pemerintah daerah, para PKL, dan masyarakat sekitar. Koordinasi tersebut diwujudkan dengan adanya dialog yang memperbincangkan persoalan-persoalan PKL serta bagaimana penataan dan pengaturannya, sehingga keberadaan PKL di tiap daerah bisa menunjang perekonomian masyarakat daerah.

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Kebijakan Publik

2.2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Dalam kehidupan masyarakat yang ada di wilayah hukum suatu negara sering terjadi berbagai permasalahan. Negara yang memegang penuh tanggung jawab pada kehidupan rakyatnya harus mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Kebijakan publik yang dibuat dan dikeluarkan oleh negara diharapkan dapat menjadi solusi akan permasalahan-permasalahan tersebut.

(26)

seperti apa kebijakan publik itu sendiri. Berikut adalah definisi-definisi kebijakan publik menurut para ahli kebijakan publik.

Menurut Dye dalam Dwijowijoto (2003 : 3), kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda.

Menurut Edward (1984 : 18), kebijakan publik adalah apa yang pemerintah katakan dan dilakukan, atau tidak dilakukan. Kebijakan merupakan serangkaian tujuan dan sasaran dari program-program pemerintahan.

Menurut Laswell dalam Dwijowijoto (2003 : 4), mendefinisikannya sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan praktek-praktek tertentu.

Menurut Aderson dalam Tangkillisan (2003 : 3), kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintahan, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah :

1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan;

2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah;

3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan;

(27)

tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu;

5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

2.2.1.2 Tahap-Tahap Kebijakan Publik

Menurut James Anderson (1979 : 23-24) dalam Subarsono (2005) sebagai pakar kebijakan publik menetapkan dalam rangka memecahkan masalah ada beberapa tahap penting antara lain :

1. Penetapan agenda kebijakan (agenda setting)

Menentukan masalah publik yang perlu untuk dipecahkan 2. Formulasi kebijakan (policy formulation)

Mengidentifikasikan kemungkinan kebijakan yang mungkin digunakan dalam memecahkan masalah

3. Adopsi kebijakan (policy adoption)

(28)

4. Implementasi kebijakan (policy implementation)

Merupakan suatu tahap dimana kebijakan yang telah diadopsi tadi dilaksanakan oleh unit-unit tertentu dengan memobilisasi dana dan sumber daya yang ada.

5. Penilaian kebijakan (policy assessment)

Berbagai unit yang telah ditentukan melakukan penilaian tentang apakah semua proses implementasi telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan atau tidak. (Subarsono : 2005, dalam Tesis Devita Ayu M. ; 2007)

2.2.1.3 Sifat Kebijakan Publik

Menurut Agustino (2006 : 9) sifat kebijakan publik sebagai bagian dari suatu kegiatan dapat dimengerti secara baik bila dibagi-bagi dalam beberapa kategori, yaitu :

1. Policy Demands atau Permintaan Kebijakan

Merupakan permintaan atau kebutuhan atau klaim yang dibuat oleh warga masyarakat secara pribadi atau kelompok dengan resmi dalam sistem politik oleh karena adanya masalah yang mereka rasakan. 2. Policy Decision atau Putusan Kebijakan

(29)

3. Policy Statements atau Pernyataan Kebijakan

Adalah ungkapan secara formal atau artikulasi dari keputusan politik yang telah ditetapkan.

4. Policy Output atau Hasil Kebijakan

Adalah “perwujudan nyata” dari kebijakan publik atau sesuatu yang sesungguhnya dikerjakan menurut keputusan dan pernyataan kebijakan.

5. Policy Outcome atau Akibat dari Kebijakan

Adalah konsekuensi kebijakan yang diterima masyarakat, baik yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, yang berasal dari apa yang dikerjakan atau yang tidak dikerjakan oleh pemerintah.

2.2.2 Implementasi Kebijakan Publik 2.2.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan, biasanya dalam bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan, Perintah Eksekutif atau Dekrit Presiden.

(30)

Implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh publik maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan. (Metter dan Horn 1975 : 6 dalam Tesis Daru Wisakti ; 2008).

Menurut Nugroho (2006 : 158) dalam Tesis Devita Ayu M. (2007) mendefinisikan implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan adalah sebuah tahapan yang sangat penting sebagai bentuk peterjemahan (baik tujuan, sasaran serta cara) dari pernyataan-pernyataan kebijakan yang dihasilkan oleh sistem politik yang kemudian ditransformasikan ke dalam tindakan-tindakan nyata yang dilakukan pemerintah atau pejabat publik dalam rangka mencapai maksud dan tujuan-tujuan dengan cara pengalokasian sumber-sumber daya yang dimiliki dalam pencapaian dan ditujukan bagi kepentingan publik.

Relokasi pedagang kaki lima (PKL) Alun-alun Sidoarjo ke GOR Delta Sidoarjo, merupakan perintah dari Bupati Kabupaten Sidoarjo yang memberi instruksi dan kebijakan secara tidak tertulis dengan berdasarkan :

1. Perda Kabupaten Sidoarjo Nomor 5 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Ketentraman dan Ketertiban Umum, Pasal 6 (enam).

2. UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Pasal 5 (lima). 3. Imendagri Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau

(31)

4. Perda Kabupaten sidoarjo Nomor 7 Tahun 1990 tentang Pengaturan Tempat Usaha dan Pembinaan Pedagang Kaki lima.

2.2.2.2 Model Implementasi Kebijakan

Menurut Agustino (2006 : 149-153) dalam implementasi kebijakan terdapat beberapa bentuk model implementasi yang dikenal. Model tersebut berguna untuk menyederhanakan sesuatu bentuk dan memudahkan dalam pelaksanaan kebijakan. Model implementasi kebijakan yang berprespektif top down dikembangkan oleh George C. Edward III, yang menamakan model

implementasi kebijakan publiknya dengan Direct and Indirect Impact on Implementation. Dalam pendekatan oleh George C. Edward III, terdapat empat

variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu : (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi, (4) struktur birokrasi.

(32)

Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut diatas, yaitu :

1. Transmisi

Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adalah adanya salah pengertian (misskomunikasi), hal tersebut disebagiankan karena komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi, sehingga apa yang ada diharapkan terdistorsi ditengah jalan.

2. Kejelasan

Komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level-bureuacrats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu atau mendua).

3. Konsistensi

Perintah yang diberikan di dalam pelaksanaan suatu komunikasi haruslah konsisten dan jelas (untuk diterapkan). Karena jika perintah yang diberikan berubah-berubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.

(33)

1. Staf

Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebagiankan oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai ataupun tidak kompeten di bidangnya.

2. Informasi

Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk yaitu (1) informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Implementator harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan disaat mereka diberi perintah untuk melakukan tindakan. (2) informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementator harus mengetahui apakah orang lain yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum.

3. Wewenang

Pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. 4. Fasilitas

(34)

melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil. Variabel ketiga adalah disposisi. Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting dalam pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam prakteknya tidak terjadi bias.

Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi, menurut George C. Edward III, adalah :

1. Pengangkatan Birokrat

Disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan apabila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Karena itu pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga.

2. Insentif

(35)

pendorong yang membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik.

Variabel keempat yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumber daya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan.

(36)

Gambar 1

Model Implementasi Kebijakan Yang Berpr ektif Top Down Model Pendekatan

Direct and Indirect Impact on Implementation (George C. Edward III)

Sumber : Menurut George C. Edward III dalam buku Agustino (2006 : 153) 2.2.2.3Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi Kebijakan

Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Agustino (2006 : 142), dalam model kebijakan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan yaitu :

a. Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari ukuran dan tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan sasaran kebijakan terlalu ideal, maka akan sulit direalisasikan.

KOMUNIKASI

SUMBER DAYA DISPOSISI STRUKTUR

BIROKRASI

(37)

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Standar dan tujuan kebijakan memiliki hubungan erat dengan disposisi para pelaksana (implementors). Arah disposisi para pelaksana terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak atau tidak mengerti apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan.

b. Sumber daya

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan.

c. Karakteristik or ganisasi pelaksana

(38)

pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan disiplin. Pada konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selain itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.

d. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut Van Horn dan Van Mater dalam Widodo (2007 : 97), apa yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh para individu (implementors). Yang bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana. Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari berbagai sumber informasi.

e. Disposisi atau sikap par a pelaksana

(39)

yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tidak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan,

dikarenakan mereka menolak apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan. f. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik

Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan, karena itu upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif. Adanya kondisi yang kondusif ini memungkinkan implementasi kebijakan akan berjalan lancar dan terkendali.

Menurut Grindle dalam buku Agustino (2006 : 154-156), keberhasilan suatu implementasi kebijakan publik amat ditentukan oleh tingkat implementability kebijakan itu sendiri, yang terdiri atas Content of Policy dan Context of Policy.

a. Content of Policy menurut Grindle adalah :

(40)

Interest affected berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan. Indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan banyak kepentingan, dan sejauhmana kepentingan-kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya, hal inilah yang ingin diketahui lebih lanjut.

2. Type of Benefits (tipe manfaat)

Pada poin ini content of policy berupaya untuk menunjukkan atau menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan.

3. Extent of Change Envision (derajat perubahan yang ingin dicapai) Setiap kebijakan mempunyai target yang hendak dan ingin dicapai. Content of policy yang ingin dijelaskan pada poin ini adalah bahwa seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang jelas. 4. Site of Decision Making (letak pengambilan keputusan)

(41)

5. Program Implementer (pelaksana program)

Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan. Dan, ini harus sudah terdata atau terpapar dengan baik pada bagian ini.

6. Resources Committed (sumber-sumber daya yang digunakan)

Pelaksanaan suatu kebijakan juga harus didukung oleh sumberdaya-sumberdaya yang mendukung agar pelaksanaannya berjalan dengan baik.

b. Context of Policy menurut Grindle adalah :

1. Power, Interest, and Strategy of Actor Involved (kekuasaan,

kepentingan-kepentingan, dan strategi dari aktor yang terlibat)

Dalam suatu kebijakan perlu diperhintungkan pula kekuatan atau kekuasaan, kepentingan, serta strategi yang digunakan oleh para aktor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi kebijakan. Bila hal ini tidak diperhitungkan dengan matang sangat besar kemungkinan program yang hendak diimplementasikan akan jauh arang api.

2. Institution and Regime Characteristic (karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa)

(42)

dijelaskan karakteristik dari suatu lembaga yang akan turut mempengaruhi suatu kebijakan.

3. Compliance and Responsiveness (tingkat kepatuhan dan adanya respon

dari pelaksana)

Hal lain yang dirasa penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan adalah kepatuhan dan respon dari para pelaksana, maka yang hendak dijelaskan pada poin ini adalah sejauhmana kepatuhan dan respon dari pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan.

2.2.3 Pengertian Pedagang Kaki Lima (PKL)

Salah satu bentuk sektor informal yang dikaji lebih lanjut adalah pedagang kaki lima (PKL), karena pedagang kaki lima dikategorikan sebagai jenis pekerjaan yang penting dan relatif khas khususnya sebagai usaha kecil-kecilan yang kurang teratur.

Menurut Salladien dalam Mustafa (2008), mendefinisikan Pedagang Kaki Lima sebagai suatu usaha yang memerlukan modal relatif sedikit, berusaha dalam bidang produksi dan penjualan untuk memenuhi kebutuhan kelompok konsumen tertentu.

Menurut Evens dan Korff dalam Mustafa (2008 : 42), definisi pedagang kaki lima adalah bagian dan sektor informal kota yang mengembangkan aktivitas produksi barang dan jasa di luar kontrol pemerintah dan tidak terdaftar.

(43)

menawarkan barang-barang atau jasa untuk dijual di tempat umum, terutama jalan-jalan trotoar.

Dari pengertian tersebut di atas jadi yang dimaksud pedagang kaki lima (PKL) adalah kegiatan usaha yang dilakukan para pedagang di tempatkan ruangan kosong di pinggir-pinggir jalan seperti trotoar, taman-taman kota dan tempat usaha lainnya yang bukan miliknya.

Adapun pengertian pedagang kaki lima (PKL) sebagai bagian dari sektor informal dapat dijelaskan melalui ciri-ciri secara umum yang dikemukakan oleh Kartono dkk (1980) dalam Mustafa (2008 : 45-46), sebagai berikut :

1. Merupakan pedagang yang kadang-kadang juga sekaligus berarti produsen.

2. Ada yang menetap pada lokasi tertentu, ada yang bergerak dari tempat yang satu ke tempat yang lain (menggunakan pikulan, kereta dorong, tempat atau stan yang tidak permanen serta bongkar pasang).

3. Menjajakan bahan makanan, minuman, barang-barang konsumsi lainnya yang tahan lama secara eceran.

4. Umumnya bermodal kecil, kadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan atau jerih payahnya.

5. Kualitas barang yang diperdagangkan relatif rendah dan biasanya tidak berstandar.

(44)

7. Usaha skala kecil bisa berupa family enterprise, di mana ibu dan anak-anak turut membantu dalam usaha tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.

8. Tawar menawar antara penjual dan pembeli merupakan relasi ciri yang khas pada usaha perdagangan kaki lima.

9. Dalam melaksanakan pekerjaannya ada yang secara penuh, sebagian lagi melaksanakan setelah kerja atau pada waktu senggang dan ada pula yang melaksanakan secara musiman.

10.Barang yang dijual biasanya merupakan convenience goods jarang sekali specialty goods.

11.Dan seringkali berada dalam suasana psikologis tidak tenang, diliputi perasaan takut kalau tiba-tiba kegiatan mereka dihentikan oleh Tim Penertiban Umum (TEBUM) dan Satpol PP sebagai aparat pemerintah daerah.

2.2.3.1Faktor Timbulnya Pedagang Kaki Lima

(45)

ini, karena hampir tidak memerlukan biaya dan waktu yang lama. Kedua, persyaratan modal relatif kecil. Ketiga, potensi keuntungan yang cukup baik.

Selain itu, kegiatan sektor informal ini merupakan ciri ekonomi kerakyatan yang bersifat mandiri dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Mempertimbangkan keadaan dan potensi tersebut, selayaknya pola penanganan dan pembinaan kegiatan pedagang kaki lima harus didasarkan pada konsep perilaku dan karakteristik berwawasan lingkungan agar isi pengaturannya tepat. Sebagian besar pedagang kaki lima dikawasan perkotaan dan sekitarnya adalah bukan penduduk asli (pendatang dari desa atau luar provinsi) dan bukan merupakan pilihan pertama sebagai mata pencahariannya. Dengan adanya proses urbanisasi dan migrasi dengan mengacu kepada permasalahan tersebut akan timbul masalah demografi.

Ini berarti sektor informal di pandang sebagai lapangan usaha yang relatif menggiurkan, dapat dipakai sebagai arena untuk melakukan diverifikasi usaha, di kota besar contohnya Jakarta dan Surabaya banyak pula dijumpai para istri karyawan atau pegawai rendahan membuka usaha di sektor ini yang merupakan usaha sampingan keluarga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang hanya menggantungkan pada gaji suami pada sektor formal. Dalam hal ini, sektor informal memiliki peran sebagai penyangga ekonomi keluarga di sektor formal.

(46)

2.2.3.2Dampak Positif dan Negatif Keberadaan PKL

Keberadaan suatu pedagang kaki lima selain memberikan kontribusi yang besar dalam penyedia lapangan kerja di sektor formal, ternyata keberadaan pedagang kaki lima juga memberikan dampak positif dan negatif. Menurut Aditya Perkasa dalam sebuah catatannya memaparkan dampak positif dan negatif keberadaan pedagang kaki lima.

Dampak positif :

1. Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi katup pengaman bagi masyarakat perekonomian yang lemah baik sebagai profesi maupun bagi konsumen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama akibat krisis ekonomi. 2. PKL menyediakan kebutuhan barang dan jasa yang relatif murah bagi

masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah.

3. Jumlah yang besar, ragam bentuk usaha dan keunikan merupakan potensi yang besar untuk menghias wajah kota, apabila ditata dan diatur dengan baik.

4. PKL tidak dapat dipisahkan dari unsur budaya dan eksistensinya tidak dapat dihapuskan.

5. PKL menyimpan potensi pariwisata yang cukup besar. Dampak negatif :

(47)

2. Tempat atau lokasi berdagangnya PKL yang memakai fasilitas umum, contohnya trotoar, taman penghijauan, dan lain-lain.

3. Menggeser fungsi ruang publik.

4. Mengganggu kegiatan ekonomi pedagang formal karena lokasinya yang cenderung memotong jalur pengunjung seperti pinggir jalan dan di depan toko.

2.2.3.3Karakteristik Pedagang Kaki Lima (PKL)

(48)

2.2.3.4Per masalahan-per masalahan yang dihadapi PKL

Menurut Firdausy dalam Alisjahbana (2004 : 220-221) bahwa permasalahan yang dihadapi sektor informal pedagang kaki lima (PKL) dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) aspek, yaitu :

1. Aspek Ekonomi

Pedagang kaki lima merupakan kegiatan usaha ekonomi berskala kecil (micro-scale), bermodal relatif kecil, mudah dimasuki oleh pengusaha baru, input tenaga kerja tidak memerlukan syarat-syarat khusus, pasar tidak teratur, baik dalam arti konsumen, maupun lokasi usahanya, kegiatan usaha dikelola oleh satu orang. Jenis komoditi yang diperdagangkan cenderung komoditi yang cepat terjual, tidak tahan lama dan kebanyakan adalah jenis makanan dan minuman.

2. Aspek Sosial dan Budaya

(49)

3. Aspek Lingkungan

Kegiatan usaha yang mengganggu ketertiban dan kelancaran lalu lintas kota, keindahan dan kebersihan kota, serta kenyamanan dan keamanan lingkungan.

4. Aspek Pendidikan

Merupakan aspek yang paling menentukan bagi keberhasilan sektor informal PKL. Dimana dengan tingkat pendidikan yang rendah, akan lebih sulit diberi pengertian tentang kebijakan tata kota. Permasalahan yang ditimbulkan oleh PKL ini tidak semata-mata terjadi akibat dari kebiasaan PKL saja. Tetapi juga akibat dari permasalahan penataan dan keterbatasan yang dihadapi PKL serta kebijakan yang tidak terlaksana dengan baik.

2.2.4 Sektor Infor mal

Menurut Hidayat (1983) dalam Mustafa (2008), definisi secara umum dari sektor informal adalah bagian dari sistem ekonomi kota dan desa yang belum mendapatkan bantuan ekonomi dari pemerintah atau belum mampu menggunakan bantuan yang telah disediakan atau sudah menerima bantuan tetapi belum sanggup berdikari. Dari definisi tersebut dapat dibedakan antara sektor informal yang berada di daerah pedesaan yang seringkali disebut sektor informal tradisional yang bergerak di bidang pertanian, dengan sektor informal yang berada di daerah perkotaan yang sebagian besar bergerak dalam kegiatan pedagang kaki lima.

(50)

yang lebih dekat kearah konsep sektor informal, baik dalam aspek ekonomi maupun sosial adalah sebagai berikut :

a. Tidak terorganisasi secara baik, karena timbulnya tidak mempunyai hubungan langsung dengan pemerintah;

b. Unit usaha yang kebanyakan tidak mempunyai ijin usaha dari pemerintah;

c. Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti tempat maupun jam kerja;

d. Mudah untuk keluar dan mudah masuk dari bidang satu ke bidang lainnya;

e. Teknologi yang dipergunakan adalah teknologi yang sederhana dan tidak dilaksanakan administrasi yang baik;

f. Untuk mengelola usaha tidak diperlukan tingkat pendidikan tertentu, keahlian didapat dari sistem pendidikan non formal dan pengalaman; g. Kebanyakan usahanya termasuk dalam one man enterprise, atau family

enterprise

h. Sumber dana untuk modal tetap dan modal kerja berasal dari tabungan sendiri dan dari sumber keuangan yang tidak resmi;

(51)

2.2.5 Relokasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000 : 1026), Relokasi diartikan dengan perpindahan atau pemindahan lokasi, baik suatu industri ataupun tempat berdagang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan alasan-alasan tertentu.

Menurut Tim penyusun Kamus Populer (1992 : 176), mendefinisikan relokasi yaitu sebuah di fisik dari sebuah bisnis mungkin karena meningkatnya pada pengadaan, karena di lokasi yang berbeda, melalui atau untuk alasan lain.

(52)

2.3 Kerangka Berpikir

Kerangka Berpikir Gambar 2

Implementasi Kebijakan Relokasi PKL, berdasarkan : 1. Perda Nomor 5 Tahun 2007, tentang Penyelenggaraan Ketentraman dan Ketertiban Umum.

2. UU Nomor 24 Tahun 1992, tentang Penataan Ruang.

3. (Inmendagri) Nomor 14 Tahun 1988, tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan.

(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 J enis Penelitian

Metode penelitian adalah penentuan metode yang sering pula disebut dengan strategi pemecahan masalah, karena pada tahap ini memberikan gambaran bagaimana suatu masalah dalam penelitian yang ada dipecahkan atau ditemukan jawabannya. Dalam memilih metode yang tepat dalam penelitian tergantung dari maksud dan tujuan tersebut.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat deskriptif kualitatif, yang mencoba menggambarkan secara mendalam suatu obyek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan maksud ingin memperoleh gambaran yang komprehensif dan mendalam tentang suatu kebijakan relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL).

Secara teoritis, menurut Bagdan dan Taylor dalam Moleong (2002 : 3) penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang dapat diamati.

(54)

Sedangkan Azwar (1998 : 7) mengartikan penelitian deskriptif sebagai penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan antara variabel satu dengan variabel yang lain.

Ciri-ciri dari penelitian deskriptif antara lain sebagai berikut :

1. Penelitian deskriptif diupayakan untuk menggambarkan fenomena tertentu secara terperinci.

2. Hasil akhir dari penelitia adalah kesimpulan yang tidak berlaku umum tetapi hanya berlaku pada lokasi saja.

3. Menggambarkan subyek atau obyek penelitian berdasarkan fakta. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Penelitian ini berusaha menggambarkan situasi atau kejadian. (Sugiyono, 2005 : 11).

3.2 Fokus Penelitian

Fokus penelitian pada dasarnya adalah masalah-masalah dalam hal ini adalah keadaan yang membingungkan akibat adanya dua faktor atau lebih (Moleong, 2002 : 237). Fokus penelitian dalam penelitian ini merupakan batas yang harus dilalui oleh seorang peneliti dalam melaksanakan penelitian, dengan merumuskan masalah sebagai fokus penelitian untuk mencari pemecahannya.

(55)

ini yang menjadi variabel penelitian adalah kebijakan relokasi PKL di GOR Delta Sidoarjo. Dan tidak ada satupun penelitian yang dapat dilakukan tanpa adanya fokus. Adapun yang menjadi fokus dalam penelitian adalah :

1. Pendataan awal Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) yaitu yang meliputi : a. Pendataan PKL Alun-alun Sidoarjo sejak Bulan April 2010.

b. Membuat Data Base PKL Alun-alun Sidoarjo sejumlah 708 orang yang menyebar di Alun-alun dan sekitarnya.

2. Proses relokasi

Proses relokasi yaitu dimana perpindahan PKL Alun-alun Sidoarjo ke GOR Delta Sidoarjo.

3. Penetapan Relokasi PKL di GOR Delta Sidoarjo

Menetapkan lokasi tempat usaha PKL di GOR Delta Sidoarjo.

3.3 Situs Penelitian

Situs penelitian merupakan tempat yang digunakan oleh peneliti untuk mendapat keadaan yang sebenarnya dari obyek yang diteliti guna memperoleh data. Sesuai dengan fokus penelitian yang menjadi batasan masalah maka situs penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah GOR Delta Sidoarjo.

3.4 Sumber Data

(56)

informasi, peristiwa dan dokumen. Sesuai dengan fokus penelitian yang menjadi batasan dalam penelitian ini, maka sumber datanya adalah :

1. Informan kunci (key informan), dimana pemilihan secara purposive dan diseleksi melalui teknik snowball sampling yang didasarkan atas subyek yang menguasai permasalahan, memiliki data dan bersedia memberikan data yang benar-benar relevan dan kompeten dengan masalah penelitian yakni berupa data keterangan, cerita atau kata-kata yang bermakna, sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk membangun teori. Menurut Sugiyono (2005 : 97) snowball sampling yaitu teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian membesar. Oleh sebab itu dalam penelitan ini yang menjadi informan awal adalah Bapak Nawari selaku mantan Kepala UPTD Alun-alun Sidoarjo yang dulu menangani relokasi PKL Alun-alun. Sedangkan informan selanjutnya didapatkan dari Bapak Mashuri selaku Ketua Paguyuban PKL Ex. Alun-alun Sidoarjo dan PKL GOR Delta Sidoarjo.

2. Tempat dan peristiwa yaitu dimana fenomena yang terjadi berkaitan dengan fokus penelitian meliputi Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) GOR Delta Sidoarjo.

3. Dokumen sebagai sumber data yang lain yang sifanya melengkapi data utama yang relevan dengan masalah dan fokus penelitian. Adapun jenis data dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data yaitu :

(57)

bersangkutan yang memerlukannya. Data primer ini disebut juga data asli atau baru. Data primer untuk penelitian ini di dapat dari hasil wawancara

b. Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data sekunder untuk penelitian ini di dapat dari mengenai jumlah pedagang, dokumen, foto-foto yang berhubungan dengan relokasi pedagang kaki lima di GOR Delta Sidoarjo., dimana data sekunder tersebut akan mendukung data primer dan akan dianalisis oleh peneliti.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Data merupakan bagian terpenting dalam penelitian karena hakekat dari penelitian adalah pencarian data yang nantinya di analisis dalam penelitian kualitatif, di dalam pengumpulan data diperlukan suatu teknik penelitian yang sesuai dengan jenis penelitian yang digunakan untuk memudahkan upaya-upaya mengumpulkan data dilapangan.

Pengumpulan data dalam penelitian akan diperoleh melalui data primer dan data sekunder dengan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1. Observasi (pengamatan)

(58)

dokumenter, kemudian mencatat fenomena yang terjadi selama mengadakan penelitian.

Data observasi berupa deskriptif yang faktual, cermat dan terinci mengenai usaha Pemkab Sidoarjo dalam merelokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) dari Alun-alun Sidoarjo ke GOR Delta Sidoarjo.

2. Interview (wawancara)

Menurut Moleong (2002 : 135), bahwa wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Pada teknik ini, peneliti mengadakan tatap muka dan berinteraksi tanya jawab langsung dengan pihak responden atau subyek untuk memperoleh data.

(59)

Dalam hal ini wawancara dilakukan dengan informan yang terdiri dari : a. Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo dan Dinas

terkait.

b. Ketua paguyuban Pedagang Kaki Lima (PKL) Ex. Alun-alun Sidoarjo. c. Pedagang kaki lima (PKL) Ex. Alun-alun Sidoarjo.

3. Dokumentasi

Dokumen adalah setiap bahan tertulis atau film, lain dari record, yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik (Guba dan Lincoln dalam Moleong 2002 : 161). Untuk melengkapi data-data yang telah diperoleh melalui interview ataupun observasi, maka perlu juga digunakan data tertulis yang telah ada dan mampu digunakan sebagai pendukung pencapaian tujuan penelitian. Dokumen disini adalah semua jenis rekaman atau catatan sekunder sebagai pelengkap data primer yang tidak di ketemukan dalam lokasi penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk menambah perbendaharaan data suatu penelitian.

3.6 Analisis Data

Menurut Patton dalam bukunya Hasan (2002 : 97) mengartikan analisis data adalah proses pengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.

(60)

penelitian ini adalah model analisa interaktif (interactive model of analysis) yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992 : 15-20) sebagai berikut :

1. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan merupakan data yang berupa kata-kata dan bukan angka-angka. Data tersebut dikumpulkan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi.

2. Reduksi Data

Proses pemilihan pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Data yang diperoleh dari lokasi penelitian data lapangan dituangkan dalam uraian atau laporan yang lengkap dan terperinci. Laporan lapangan oleh peneliti direduksi, dirangkum dipilih hal-hal pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting kemudian dicari tema atau polanya. Reduksi data ini dilakukan secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung.

3. Penyajian Data

(61)

4. Menarik Kesimpulan / Verifikasi

Penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh. Verifikasi dalam penelitian ini dilakukan secara terus menerus sepanjang proses penelitian berlangsung.

Proses analisis data secara interaktif dapat disajikan dalam bentuk skema sebagai berikut :

Gambar 3

Analisa Interaktif Menur ut Miles dan Huber man

Sumber : Miles dan Huberman (1992 : 20), terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi.

Keempat komponen tersebut saling interaktif yaitu saling mempengaruhi dan terkait. Pertama-tama peneliti melakukan penelitian lapangan dengan mengadakan wawancara atau observasi yang disebut tahap pengumpulan data. Karena data yang dikumpulkan banyak, maka diadakan reduksi data. Setelah direduksi kemudian diadakan penyajian data. Apabila ketiga komponen tersebut

Pengumpulan Data

Reduksi data Penyajian data

(62)

selesai dilakukan maka diambil suatu kesimpulan atau verifikasi. Pada proses penyederhanaan data, peneliti melakukan pengorganisasian data yang telah ditetapkan. Metode yang digunakan ialah dengan mengatur, mengurutkan, mengelompokkan dan mengkategorikan berdasarkan permasalahan yang telah ditetapkan.

Data yang telah disederhanakan kemudian disajikan oleh peneliti dalam bentuk uraian secara ringkas untuk memudahkan data-data tersebut. Seluruh pekerjaan menganalisis data ini dilakukan peneliti dengan memusatkan segenap perhatian, pikiran serta fisik peneliti untuk mendapatkan hasil penelitian yang akurat.

3.7 Keabsahan Data

Dalam setiap penelitian memerlukan standar untuk melihat derajad kepercayaan atau kebenaran dari hasil penelitiannya. Dalam penelitian kualitatif standar tersebut disebut dengan keabsahan data. Menurut Moleong (2002 : 174) untuk menjamin keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sifat criteria yang digunakan yaitu sebagai berikut :

1. Credibility (Derajat Kepercayaan)

(63)

hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti.

2. Transferability (Keteralihan)

Adalah sebagai persoalan empiris yang bergantung pada kesamaan antara konteks pengiriman dan penerimaan. Untuk proses ini peneliti mencari dan mengumpulkan data kejadian dan empiris dalam konteks yang sama. Dengan demikian penelitian bertanggung jawab untuk menyediakan data deskripsi secukupnya.

3. Dependability (Kebergantungan)

Merupakan subsitusi istilah reliabilitas dalam penelitian yang nonkualitatif.

4. Confirmability (Kepastian)

(64)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Sidoarjo, merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia, Ibukotanya adalah Sidoarjo. Kabupaten ini berbatasan dengan Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik di utara, Selat Madura di timur, Kabupaten Pasuruan di selatan, serta Kabupaten Mojokerto di barat. Sidoarjo dikenal sebagai penyangga utama Kota Surabaya, dan termasuk kawasan Gerbang Kertosusila. Wilayah Kabupaten Sidoarjo berada di dataran rendah. Sidoarjo dikenal dengan sebutan Kota Delta, karena berada di antara dua sungai besar pecahan Kali Brantas, yakni Kali Mas dan Kali Porong. Kota Sidoarjo berada di selatan Surabaya dan secara geografis kedua kota ini seolah-olah menyatu. Kabupaten Sidoarjo terdiri atas 18 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Kota kecamatan lain yang cukup besar di Kabupaten Sidoarjo diantaranya Taman, Krian, Candi, Porong dan Waru.

(65)

Udara Juanda, memiliki sumber daya manusia yang produktif serta kondisi sosial politik dan keamanan yang relatif stabil menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di Sidoarjo. Sektor industri kecil juga berkembang cukup baik, diantaranya sentra industri kerajinan tas dan koper di Tanggulangin, sentra industri sandal dan sepatu di Wedoro - Waru dan Tebel - Gedangan, sentra industri kerupuk di Telasih- Tulangan. Untuk sarana transportasi, Bandara Internasional Juanda dan terminal bus Purabaya yang dianggap sebagai "milik" Surabaya, berada di wilayah kabupaten ini. Terminal Purabaya merupakan gerbang utama Surabaya dari arah selatan, dan salah satu terminal bus terbesar di Asia Tenggara. Kereta komuter Surabaya Gubeng - Sidoarjo - Porong menghubungkan kawasan Sidoarjo dengan Surabaya. Sarana belanja di Kabupaten Sidoarjo banyak terdapat pasar tradisional di masing-masing wilayah, untuk di dalam kotasalah satunya ada Pasar Larangan dan Pasar Buduran. Ada juga swalayan diantaranya Ramayana, Hero dan lain sebagainya.

(66)

penataan dan pengelolaan sehingga tercipta suasana visual yang nyaman dan menyenangkan pada saat pengunjung datang.

Sama halnya dengan Kota Sidoarjo yang merupakan pusat pemerintahan daerah di Kabupaten Sidoarjo, kota Sidoarjo sendiri memiliki Alun-laun yang berada di pusat kota. Alun-alun saat ini merupakan penanda masa pemerintahan Bupati pertama hingga sekarang. Akan tetapi, Alun-alun Sidoarjo mengalami pergeseran fungsi menjadi area komersil. Hal ini disebabkan banyaknya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang tidak terkendali sehingga muncul kesan semrawut dan kumuh. Untuk memunculkan identitas Kota Sidoarjo sendiri, dalam penataan PKL di Alun-alun harus ditindak lebih tegas. Padahal apabila fenomena yang ada di Alun-alun tersebut dikelola dengan mengusung PKL yang memiliki ciri khas Sidoarjo, akan muncul dengan sendirinya Alun-alun sebagai identitas kota atau perwujudan citra kota. Karena itu Pemerintah Daerah memberikan kebijakan dengan memutuskan melakukan relokasi PKL yang ada di Alun-alun untuk dipindahkan ke tempat lain yang sudah disediakan oleh Pemkap Sidoarjo. Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo memberikan wewenang dalam relokasi pedagang kaki lima (PKL) Alun-alun Sidoarjo kepada Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo.

4.1.1 Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo (DKP)

(67)

otonomi daerah sebagaimana petunjuk pelaksanaannya dengan Peraturan Daerah Nomor 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah dan Peraturan Daerah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi maka dibentuklah Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo sebagai unit kerja pengelola kebersihan dan pemeliharaan pertamanan di Kabupaten Sidoarjo. Selanjutnya Pemerintah Kabupaten membentuk organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo berdasarkan Perda Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Dinas-Dinas Daerah Kabupaten Sidoarjo.

(68)

Sidoarjo akhirnya berubah struktur organisasi menjadi Sekretariat, bidang Kebersihan, bidang Pertamanan, bidang PJU (Penerangan Jalan Umum), dan UPTD Alun-alun. Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintah dibidang kebersihan dan pertamanan seperti yang diatur dalam Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 52 Tahun 2008 tentang Rincian Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo.

Dalam struktur organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo yang mengelola khusus untuk Alun-alun yaitu Unit Pelaksanaan Teknis Dinas (UPTD) Alun-alun yang dinamakan UPTD Alun-alun mempunyai fungsi salah satunya yang diatur dalam Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 52 Tahun 2008 tentang Rincian Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo yaitu bahwa UPTD Alun-alun mempunyai tugas dalam menjaga kebersihan, ketertiban dan keamanan di lingkungan Alun-alun. Melihat hal tersebut diatas, maka Pemerintah Kabupaten Sidoarjo memberikan wewenang kepada UPTD Alun-alun untuk melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan yaitu merelokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) Alun-alun ke GOR Delta Sidoarjo.

4.1.2 Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoar jo

(69)

Pertamanan Kabupaten Sidoarjo mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang kebersihan dan pertamanan”.

Sedangkan fungsi dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo yang di jelaskan dalam pasal 4 (empat), yaitu sebagai berikut :

a. Perumusan kebijakan teknis persampahan dan fasilitasi kota;

b. Penyelenggaraan urusan pemerintah dan pelayanan umum di bidang kebersihan dan pertamanan;

c. Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang kebersihan dan pertamanan;

d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan bidang tugasnya.

4.1.3 Visi dan Misi Dinas

4.1.3.1 Visi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoar jo

Visi merupakan gambaran arah pembangunan atau kondisi masa depan yang ingin dicapai melalui penyelenggaraan tugas dan fungsi dalam kurun waktu 5 (lima) tahun yang akan dating. Dalam upaya mewujudkan visi dan misi kepala daerah maupun dalam upaya mencapai kinerja pembangunan daerah maka Dinas Kebersihan dan Pertamanan menyusun visi sebagai berikut :

“Terwujudnya Kabupaten Sidoarjo yang Bersih, Hijau dan Terang”

(70)

4.1.3.2 Misi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoar jo

Untuk mewujudkan visi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo maka diperlukan misi sebagai berikut :

a. Mewujudkan lingkungan umum yang bebas dari sampah b. Mewujudkan lingkungan terbuka yang hijau dan indah c. Mewujudkan Penerangan Jalan Umum (PJU) yang merata

4.1.4 Tujuan dan Sasaran Strategis Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoar jo

4.1.4.1 Tujuan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoar jo Dalam rangka mencapai misi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo ditetapkan tujuan sebagai berikut :

a. Meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat melalui SDM yang tangguh.

b. Meningkatkan pelayanan prima kepada masyarakat di bidang kebersihan. c. Meningkatkan pelayanan prima kepada masyarakat di bidang pertamanan

dan pemakaman.

d. Meningkatkan pelayanan prima kepada masyarakat di bidang Penerangan Jalan Umum.

(71)

4.1.4.2 Sasaran Strategis Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo

Dalam rangka mencapai misi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo ditetapkan sasaran sebagai berikut :

a. Terwujudnya sumber daya aparatur yang professional b. Terpenuhinya kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan c. Terwujudnya lingkungan yang bersih

d. Terwujudnya lingkungan yang hijau dan indah e. Terwujudnya penerangan jalan umum yang merata

f. Terwujudnya peningkatan kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan

4.1.5 Arah Kebijakan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo

Strategi kebijakan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo dalam upaya peningkatan pelayanan diarahkan pada :

1. Peningkatan pelayanan kebersihan, keindahan, dan penerangan jalan umum dengan cara :

a. Mengoptimalkan sumber daya aparatur

b. Mengoptimalkan sarana dan prasarana angkutan sampah c. Meningkatkan pembangunan prasarana yang proposional

(72)

e. Meningkatkan pemeliharaan dan pengawasan fasilitas pertamanan, pemakaman dan penerangan jalan umum yang sudah ada

2. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kebersihan dan keindahan lingkungan yaitu dengan cara mengoptimalkan program sosialisasi baik secara langsung maupun melalui kader lingkungan, serta pelatihan non formal kepada masyarakat.

4.1.6 Strukur Organisasi

Struktur organisasi mutlak diperlukan oleh setiap organisasi agar tujuan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Struktur organisasi merupakan kerangka yang menunjukkan hubungan antara bagian dalam organisasi yang disertai dengan tegas, wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam usaha mancapai tujuan bersama.

(73)

STRUKTUR

(74)

4.1.7 Tugas Pokok dan Fungsi Dinas

Dalam aktivitas di Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo dilengkapi uraian tugas dan wewenang yang merupakan pedoman didalam menentukan langkah operasional, sebagai berikut :

1) Kepala Dinas

Kepala Dinas mempunyai tugas memimpin, melaksanakan koordinasi dan pengawasan, evaluasi dan penyelenggaraan kegiatan Dinas. Dalam melaksanakan tugas Kepala Dinas menyelenggarakan fungsi :

a. Perencanaan program bidang kebersihan, pertamanan, keindahan dan pemakaman, penerangan jalan umum serta kesekretariatan ; b. Pengkoordinasian pelaksanaan tugas dan satuan kerja ;

c. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tugas satuan kerja ; d. Pembinaan pelaksanaan tugas bawahan ;

e. Pelaporan pelaksanaan tugas kepada Bupati ;

f. Pelaksanaan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan bidang tugasnya.

Kepala Dinas berwenang menanda tangani ijin bidang Kebersihan dan Pertamanan yang tidak ditangani oleh Badan Pelayanan Perijinan Terpadu.

2) Sekretariat

Sekretariat mempunyai tugas melaksanakan penyusunan perencanaan, pelaporan, umum, kepegawaian dan keuangan.

Gambar

Gambar 1
Gambar 2 Implementasi Kebijakan Relokasi PKL, berdasarkan :
Gambar 3
Tabel 2
+7

Referensi

Dokumen terkait

RESPON MASYARAKAT TERHADAP RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DARI KAWASAN ALUN-ALUN KOTA BANDUNG MENUJU TEMPAT PENAMPUNGAN PEDAGANG SEMENTARA

Keberadaan Pedagang Kaki Lima (Pkl) Di Kawasan Tujuh Titik Bebas Pkl Kota Bandung Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu.

Keberadaan Pedagang Kaki Lima di Jalan Kokrosono dan Jalan Kartini Timur merupakan suatu fenomena kegiatan perekonomian rakyat kecil. Kehadiran Pedagang Kaki Lima menimbulkan

Salah satu sektor informal yang menjadi fenomena di perkotaan adalah pedagang kaki lima (PKL). Kehadiran pedagang kaki lima sering dikaitkan dengan dampak negatif

Relokasi pasar ke area MTC giant – Panam merupakan suatu dampak positif yang dirasakan masyarakat pedagang kaki lima yang menjadi responden dalam penelitian ini.,

Implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam penertiban pedagang kaki lima di alun-alun kota malang ditinjau dari empat variabel yang dapat menentukan keberhasilan

Dalam pelaksanaan dialog kebijakan penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima ke sentra ikan bulak PKL Sentra Ikan Bulak, camat sebagai pembicara dalam dialog dengan

pedagang kaki lima. Sering kali warga bermusushan bercekcok dengan actor pedagang kaki lima tak jarang warga taman pinang memberi laporan kepda petugas perda satuan polisi pamong