• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJ IAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

1. Penelitian yang dilakukan oleh Pribadi Widasetiawan, (2008) yang berjudul “Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima Kota Surabaya (Studi Pada Pedagang Kaki Lima Lapangan Karah Surabaya)”, dari Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa dan menginterprestasikan tentang Penataan Pedagang Kaki Lima di Lapangan Karah Surabaya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan maksud ingin memperoleh gambaran yang komprehensif dan mendalam tentang suatu kebijakan penataan PKL.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Yang menjadi fokus penelitian adalah kebijakan penataan PKL Lapangan Karah Surabaya yang berpayung pada Perda Nomor 17 Tahun 2003 tentang penataan dan pemberdayaan PKL pasal 3 (tiga) yang meliputi : menetapkan dan mengatur waktu kegiatan usaha PKL, menetapkan dan mengatur jumlah PKL pada setiap lokasi PKL, menetapkan jenis barang yang diperdagangkan, dan mengatur alat peraga PKL.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah dalam implementasi kebijakan penataan PKL di Lapangan Karah Surabaya, telah dicapai beberapa kesepakatan antara Kecamatan Jambangan bersama dengan Paguyuban PKL Lapangan Karah Surabaya, meliputi waktu berdagang yang ditetapkan pada malam hari yaitu pukul 17:00 – 24:00 wib. Lokasi berdagang yaitu di Lapangan Karah Surabaya, untuk alat peraga berdagang, PKL melakukan penyeragaman alat peraga yaitu tenda dan rombong dengan bentuk dan warna cat yang sama, jenis dagangan yang dijual oleh PKL Lapangan Karah Surabaya yaitu berbagai macam hasil kuliner (makanan dan minuman yang bervariasi).

2. Penelitian yang dilakukan oleh Dinarjati Eka Puspitasari, (2009) yang berjudul “Penataan Pedagang Kaki Lima Kuliner Untuk Mewujudkan Fungsi Tata Ruang Kota Di Kota Yogyakarta Dan Kabupaten Sleman”, dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mewujudkan fungsi tata ruang kota di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah merupakan penelitian hukum empiris karena menggunakan data primer. Data primer tersebut diperoleh secara langsung dari para narasumber dan responden yang terkait. Selain berupa data primer, penelitian ini didukung pula dengan data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Data primer yang merupakan data utama didapat dari penelitian lapangan. Penelitian lapangan akan

dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan kuisioner yang mendalam (in depth interview). Adapun alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara dan kuisioner. Hasil dari penelitian ini adalah pola penataan PKL untuk mewujudkan fungsi tata ruang kota di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah dengan membuat kebijakan mengenai kualifikasi pola penataan PKL sesuai dengan program perencanaan tata ruang kota serta membuat kebijakan pola penataan PKL dengan lebih memperhatikan aspek lingkungan hidup. Adapun pola penataan PKL untuk menunjang kinerja ekonomi di DIY adalah memberikan kesempatan bagi PKL untuk berjualan di sektor informal serta menghimbau kepada Pemerintah Daerah untuk membuka lapangan kerja dan penerimaan pendapatan daerah dengan pemberlakuan retribusi.

Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang sekarang adalah jika penelitian pertama bertujuan untuk menganalisa dan menginterprestasikan tentang Penataan Pedagang Kaki Lima di Lapangan Karah Surabaya, penelitian kedua bertujuan untuk mewujudkan fungsi tata ruang kota di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Sedangkan penelitian sekarang bertujuan untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisis implementasi kebijakan relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) Alun-alun ke GOR Delta Kabupaten Sidoarjo.

Untuk persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang sekarang terletak pada latar belakang penelitian yang bermula dari timbulnya fenomena perkotaan yang berupa kemunculan sentra-sentra Pedagang Kaki Lima (PKL)

terutama di pusat-pusat dikeramaian aktifitas kota. Keberadaan PKL sebagai sektor informal di satu sisi dapat menjadi solusi bagi permasalahan sosial, khususnya di bidang penciptaan lapangan kerja. Kehadirannya merupakan representasi bentuk usaha mandiri masyarakat yang berbasis kerakyatan, akan tetapi di sisi lain, keberadaan PKL di pusat-pusat aktifitas kota justru menimbulkan permasalahan sosial dan teknis. Persoalan PKL merupakan persoalan bersama yang harus diselesaikan. Dalam hal ini perlu adanya koordinasi dari pemerintah daerah, para PKL, dan masyarakat sekitar. Koordinasi tersebut diwujudkan dengan adanya dialog yang memperbincangkan persoalan-persoalan PKL serta bagaimana penataan dan pengaturannya, sehingga keberadaan PKL di tiap daerah bisa menunjang perekonomian masyarakat daerah.

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Kebijakan Publik

2.2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Dalam kehidupan masyarakat yang ada di wilayah hukum suatu negara sering terjadi berbagai permasalahan. Negara yang memegang penuh tanggung jawab pada kehidupan rakyatnya harus mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Kebijakan publik yang dibuat dan dikeluarkan oleh negara diharapkan dapat menjadi solusi akan permasalahan-permasalahan tersebut.

Untuk memahami lebih jauh bagaimana kebijakan publik sebagai solusi permasalahan yang ada pada masyarakat, kita harus memahami dulu apa dan

seperti apa kebijakan publik itu sendiri. Berikut adalah definisi-definisi kebijakan publik menurut para ahli kebijakan publik.

Menurut Dye dalam Dwijowijoto (2003 : 3), kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda.

Menurut Edward (1984 : 18), kebijakan publik adalah apa yang pemerintah katakan dan dilakukan, atau tidak dilakukan. Kebijakan merupakan serangkaian tujuan dan sasaran dari program-program pemerintahan.

Menurut Laswell dalam Dwijowijoto (2003 : 4), mendefinisikannya sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan praktek-praktek tertentu.

Menurut Aderson dalam Tangkillisan (2003 : 3), kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintahan, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah :

1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan;

2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah;

3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan;

4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah

tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu;

5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

2.2.1.2 Tahap-Tahap Kebijakan Publik

Menurut James Anderson (1979 : 23-24) dalam Subarsono (2005) sebagai pakar kebijakan publik menetapkan dalam rangka memecahkan masalah ada beberapa tahap penting antara lain :

1. Penetapan agenda kebijakan (agenda setting)

Menentukan masalah publik yang perlu untuk dipecahkan 2. Formulasi kebijakan (policy formulation)

Mengidentifikasikan kemungkinan kebijakan yang mungkin digunakan dalam memecahkan masalah

3. Adopsi kebijakan (policy adoption)

Menentukan pilihan kebijakan melalui dukungan para administrator dan legislatif. Tahap ini ditentukan setelah melalui tahap suatu proses rekomendasi.

4. Implementasi kebijakan (policy implementation)

Merupakan suatu tahap dimana kebijakan yang telah diadopsi tadi dilaksanakan oleh unit-unit tertentu dengan memobilisasi dana dan sumber daya yang ada.

5. Penilaian kebijakan (policy assessment)

Berbagai unit yang telah ditentukan melakukan penilaian tentang apakah semua proses implementasi telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan atau tidak. (Subarsono : 2005, dalam Tesis Devita Ayu M. ; 2007)

2.2.1.3 Sifat Kebijakan Publik

Menurut Agustino (2006 : 9) sifat kebijakan publik sebagai bagian dari suatu kegiatan dapat dimengerti secara baik bila dibagi-bagi dalam beberapa kategori, yaitu :

1. Policy Demands atau Permintaan Kebijakan

Merupakan permintaan atau kebutuhan atau klaim yang dibuat oleh warga masyarakat secara pribadi atau kelompok dengan resmi dalam sistem politik oleh karena adanya masalah yang mereka rasakan. 2. Policy Decision atau Putusan Kebijakan

Adalah putusan yang dibuat oleh pejabat publik yang memerintahkan untuk memberi arahan pada kegiatan-kegiatan kebijakan.

3. Policy Statements atau Pernyataan Kebijakan

Adalah ungkapan secara formal atau artikulasi dari keputusan politik yang telah ditetapkan.

4. Policy Output atau Hasil Kebijakan

Adalah “perwujudan nyata” dari kebijakan publik atau sesuatu yang sesungguhnya dikerjakan menurut keputusan dan pernyataan kebijakan.

5. Policy Outcome atau Akibat dari Kebijakan

Adalah konsekuensi kebijakan yang diterima masyarakat, baik yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, yang berasal dari apa yang dikerjakan atau yang tidak dikerjakan oleh pemerintah.

2.2.2 Implementasi Kebijakan Publik 2.2.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan, biasanya dalam bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan, Perintah Eksekutif atau Dekrit Presiden.

Charles O’Jones dalam Harahap (2004 : 15) mengemukakan implementasi adalah suatu proses interaktif antara suatu perangkat tujuan dengan tindakan atau bersifat interaktif dengan kegiatan-kegiatan kebijaksanaan yang mendahuluinya, dengan kata lain implementasi merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk mengoperasikan sebuah program dengan pilar-pilar organisasi, interpretasi dan pelaksanaan.

Implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh publik maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan. (Metter dan Horn 1975 : 6 dalam Tesis Daru Wisakti ; 2008).

Menurut Nugroho (2006 : 158) dalam Tesis Devita Ayu M. (2007) mendefinisikan implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan adalah sebuah tahapan yang sangat penting sebagai bentuk peterjemahan (baik tujuan, sasaran serta cara) dari pernyataan-pernyataan kebijakan yang dihasilkan oleh sistem politik yang kemudian ditransformasikan ke dalam tindakan-tindakan nyata yang dilakukan pemerintah atau pejabat publik dalam rangka mencapai maksud dan tujuan-tujuan dengan cara pengalokasian sumber-sumber daya yang dimiliki dalam pencapaian dan ditujukan bagi kepentingan publik.

Relokasi pedagang kaki lima (PKL) Alun-alun Sidoarjo ke GOR Delta Sidoarjo, merupakan perintah dari Bupati Kabupaten Sidoarjo yang memberi instruksi dan kebijakan secara tidak tertulis dengan berdasarkan :

1. Perda Kabupaten Sidoarjo Nomor 5 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Ketentraman dan Ketertiban Umum, Pasal 6 (enam).

2. UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Pasal 5 (lima). 3. Imendagri Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau

4. Perda Kabupaten sidoarjo Nomor 7 Tahun 1990 tentang Pengaturan Tempat Usaha dan Pembinaan Pedagang Kaki lima.

2.2.2.2 Model Implementasi Kebijakan

Menurut Agustino (2006 : 149-153) dalam implementasi kebijakan terdapat beberapa bentuk model implementasi yang dikenal. Model tersebut berguna untuk menyederhanakan sesuatu bentuk dan memudahkan dalam pelaksanaan kebijakan. Model implementasi kebijakan yang berprespektif top down dikembangkan oleh George C. Edward III, yang menamakan model implementasi kebijakan publiknya dengan Direct and Indirect Impact on Implementation. Dalam pendekatan oleh George C. Edward III, terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu : (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi, (4) struktur birokrasi.

Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan, menurut George C. Edward III adalah komunikasi. Komunikasi menurutnya lebih lanjut sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat berjalan apabila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan implementasi harus di transmisikan (dikomunikasikan) kepada bagian personalia yang tepat.

Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut diatas, yaitu :

1. Transmisi

Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adalah adanya salah pengertian (misskomunikasi), hal tersebut disebagiankan karena komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi, sehingga apa yang ada diharapkan terdistorsi ditengah jalan.

2. Kejelasan

Komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level-bureuacrats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu atau mendua).

3. Konsistensi

Perintah yang diberikan di dalam pelaksanaan suatu komunikasi haruslah konsisten dan jelas (untuk diterapkan). Karena jika perintah yang diberikan berubah-berubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.

Variabel atau faktor kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan adalah sumber daya. Sumber daya merupakan hal penting lainnya, menurut George C. Edward III dalam Agustino (2006:155), mengimplementasikan kebijakan indikator sumber daya terdiri dari beberapa elemen, yaitu :

1. Staf

Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebagiankan oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai ataupun tidak kompeten di bidangnya.

2. Informasi

Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk yaitu (1) informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Implementator harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan disaat mereka diberi perintah untuk melakukan tindakan. (2) informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementator harus mengetahui apakah orang lain yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum.

3. Wewenang

Pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. 4. Fasilitas

Fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementator mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukannya, dan memiliki wewenang untuk

melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil. Variabel ketiga adalah disposisi. Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting dalam pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam prakteknya tidak terjadi bias.

Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi, menurut George C. Edward III, adalah :

1. Pengangkatan Birokrat

Disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan apabila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Karena itu pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga.

2. Insentif

George C. Edward III, menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor

pendorong yang membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik.

Variabel keempat yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumber daya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan.

Dua karakteristik, menurut George C. Edward III, yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi atau organisasi ke arah yang lebih baik, adalah melakukan Standart Operasional Prosedures (SOPs) dan melaksanakan fregmentasi Standart Operasional Prosedures (SOPs) adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai (pelaksana kebijakan atau administrator atau birokrat) untuk melaksanakan kegiatannya pada setiap harinya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (standar umum yang dibutuhkan warga) yang dapat dilihat pada gambar sebagai sebagai berikut :

Gambar 1

Model Implementasi Kebijakan Yang Berpr ektif Top Down Model Pendekatan

Direct and Indirect Impact on Implementation (George C. Edward III)

Sumber : Menurut George C. Edward III dalam buku Agustino (2006 : 153) 2.2.2.3Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi Kebijakan

Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Agustino (2006 : 142), dalam model kebijakan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan yaitu :

a. Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari ukuran dan tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan sasaran kebijakan terlalu ideal, maka akan sulit direalisasikan.

KOMUNIKASI SUMBER DAYA DISPOSISI STRUKTUR BIROKRASI IMPLEMENTASI

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Standar dan tujuan kebijakan memiliki hubungan erat dengan disposisi para pelaksana (implementors). Arah disposisi para pelaksana terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak atau tidak mengerti apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan.

b. Sumber daya

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan.

c. Karakteristik or ganisasi pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para agen

pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan disiplin. Pada konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selain itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.

d. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut Van Horn dan Van Mater dalam Widodo (2007 : 97), apa yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh para individu (implementors). Yang bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana. Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari berbagai sumber informasi.

e. Disposisi atau sikap par a pelaksana

Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustino (2006 : 162), “Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik”. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat

yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tidak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan. f. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik

Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan, karena itu upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif. Adanya kondisi yang kondusif ini memungkinkan implementasi kebijakan akan berjalan lancar dan terkendali.

Menurut Grindle dalam buku Agustino (2006 : 154-156), keberhasilan suatu implementasi kebijakan publik amat ditentukan oleh tingkat implementability kebijakan itu sendiri, yang terdiri atas Content of Policy dan Context of Policy.

a. Content of Policy menurut Grindle adalah :

Interest affected berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan. Indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan banyak kepentingan, dan sejauhmana kepentingan-kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya, hal inilah yang ingin diketahui lebih lanjut.

2. Type of Benefits (tipe manfaat)

Pada poin ini content of policy berupaya untuk menunjukkan atau menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan.

3. Extent of Change Envision (derajat perubahan yang ingin dicapai) Setiap kebijakan mempunyai target yang hendak dan ingin dicapai. Content of policy yang ingin dijelaskan pada poin ini adalah bahwa seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang jelas. 4. Site of Decision Making (letak pengambilan keputusan)

Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan.

5. Program Implementer (pelaksana program)

Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan. Dan, ini harus sudah terdata atau terpapar dengan baik pada bagian ini.

6. Resources Committed (sumber-sumber daya yang digunakan)

Pelaksanaan suatu kebijakan juga harus didukung oleh sumberdaya-sumberdaya yang mendukung agar pelaksanaannya berjalan dengan baik.

b. Context of Policy menurut Grindle adalah :

1. Power, Interest, and Strategy of Actor Involved (kekuasaan,

kepentingan-kepentingan, dan strategi dari aktor yang terlibat)

Dalam suatu kebijakan perlu diperhintungkan pula kekuatan atau

Dokumen terkait