• Tidak ada hasil yang ditemukan

” IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA” (Studi Kasus Di Sentra PKL Viaduk Gubeng Kota Surabaya).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "” IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA” (Studi Kasus Di Sentra PKL Viaduk Gubeng Kota Surabaya)."

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur

Oleh : NAVY BAGUS NPM : 0741010008

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

NAVY BAGUS NPM. 0741010008

Telah Dipertahankan Dihadapan Dan Diterima Oleh Tim Penguji Skripsi Progam Studi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal : Juni 2013

TIM PENGUJI 1.

Drs. Pudjo Adi, MSi NIP. 095105101973031001 2.

Dr. Lukman Arif, MSi

NIP. 196411021994031001 3.

Dra. Sri Wibawani, MSi

NIP. 196704061994032001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur

Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi NIP. 195507181983022001 PEMBIMBING

(3)

Nama Mahasiswa : NAVY BAGUS

NPM : 0741010008

Jurusan : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Menyatakan bahwa Skripsi ini telah direvisi dan disahkan Pada Tanggal Juni 2013

Mengetahui / Menyetujui

Dosen Penguji I

Drs. Pudjo Adi, MSi NIP. 095105101973031001

Dosen Penguji II

Dr. Lukman Arif, MSi NIP. 196411021994031001

Dosen Penguji III

(4)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena dengan Rahmat dan

Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (Studi Kasus Di Sentra PKL Viaduk Gubeng Kota Surabaya). Dengan tersusunnya ini penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya

pada Bapak Drs. Pudjo Adi, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, disamping itu penulis juga tak

lupa mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak DR. Lukman Arif, M.Si selaku Ketua Progam Studi Ilmu Administrasi

Negara.

3. Ibu Dra. Susi Hardjati, M.Si selaku Sekretaris Progam Studi Ilmu

Administrasi Negara.

4. Bapak dan ibu dosen yang telah memberi bekal dalam proses belajar mengajar

di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

5. Kedua Orang Tuaku yang selalu mendukung dan mensupport dalam

penyusunan skripsi ini dan selalu memberi semangat untuk menyelesaikan

(5)

ii skripsi ini).

7. MK coffe serta rekan – rekan BQT Grand City Surabaya sebagai tempat dan

rekan pelepas penat.

8. Spesial untuk Shanaz Ayesha yang setia memberi semangat dalam penulisan

skripsi ini.

Demikian penyusunan skripsi ini semoga dapat bermanfaat bagi

rekan-rekan semua. Penulis sadar akan banyaknya kekurangan dalam penyusunan

skripsi ini maka penulis mengharap saran dan kritik.

Surabaya , april 2013

(6)

PEDAGANG KAKI LIMA DI SENTRA PKL VIADUK GUBENG KOTA SURABAYA. SKRIPSI 2013.

Penelitian ini didasarkan fenomena yang terjadi di sentra PKL viaduk gubeng kota Surabaya yaitu mengenai implementasi penataan pedagang kaki lima yang meliputi waktu berdagang, jumlah pedagang, alat peraga, dan jenis barang dagangan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa dan menginterpretasikan tentang pengaturan waktu berdagang, pengaturan jumlah pedagang, pengaturan alat peraga, dan jenis barang dagangan dalam implementasi penataan PKL di sentra PKL viaduk gubeng kota Surabaya.

Teknik pengolahan data yang dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan dokumen foto pada sentra PKL viaduk gubeng kota Surabaya dan Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya.

Metode pada penelitian ini menggunakan pendekatan penelitiankualitatif dengan satu variableyaitu implementasi kebijakan penataan pedagang kaki lima (studi Kasus Di Sentra PKL Viaduk Gubeng Kota Surabaya). Fokus penelitiannya meliputi : 1. Pengaturan jumlah pedagang, 2. Pengaturan waktu berdagang, 3. Pengaturan alat peraga, 4. Pengaturan jenis barang dagangan.

Hasil penelitian menyatakan : 1. Pengaturan jumlah pedagang sebanyak 33 pedagang yang berdagang di kawasan ini; 2. Pengaturan waktu berdagang yang bebas selama 24 jam di kawasan PKL ini; 3. Pengaturan alat peraga berupa tenda prisma yang seragam guna sarana berdagang; 4. Pengaturan jenis barang dagangan secara umum adalah makanan minuman serta beberapa kios yang menjual makanan ringan dan rokok.

(7)

iii

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I. Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Kegunaan penelitian ... 7

BAB II. Kajian Pustaka ... 8

2.1 Penelitian Terdahulu ... 8

2.2Landasan Teori ... 10

2.2.1 Pengertian PKL ... 10

2.2.2 Pengertian Kebijakan Publik ... 11

2.2.3 Langkah-langkah kebijakan publik ... 13

2.2.4 Aktor kebijakan publik ... 14

2.2.4.1 Sifat kebijakan publik ... 15

2.2.4.2 Manfaat kebijakan publik... 16

2.2.5 Tujuan kebijakan ……… 17

(8)

iv

2.2.7.1 Model–model implementasi kebijakan……… 21

2.2.7.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Kebijakan………. 22

2.2.7.3 Keberhasilan implementasi kebijakan………. 24

2.2.8 Penataan PKL……….. . 24

2.2.9 Sektor informal ……… 28

2.2.10 Peraturan daerah nomor 17 tahun 2003 tentang penataan Dan pemberdayaan PKL di kota Surabaya……… . 29

2.2.11 Kebersihan lingkungan ……….. 34

2.3 Kerangka Berpikir ... 36

BAB III Metode Penelitian ... 37

3.1 Jenis Penelitian ... 37

3.2 Fokus Penelitian ... 38

3.3 Lokasi Penelitian ... 40

3.4 Sumber Data ... 40

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 41

3.6 Analisis Data ... 43

3.7 Keabsahan Data ... 46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran umum objek penelitian ……… 48

(9)

v

Menengah Kota Surabaya……… 48

4.1.1.2. Visi dan Misi Dinas Koperasi dan Usaha Mikro dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya……… 49

4.1.1.3. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Koperasi dan Usaha Mikro dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya………. 50

4.1.1.4. Struktur Organisasi Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya……… 51

4.1.1.5. Tugas Pokok dan Fungsi Pegawai Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya ……… 53

4.1.1.6. Tujuan, Sasaran dan Strategi Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya………. 67

4.1.1.7. Sarana dan Prasarana Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya……….. 70

4.1.2. Gambaran Umum PKL Viaduk Gubeng ……… 71

4. 2. Hasil Penelitian 4.2.1. Implementasi Kebijakan Penataan Perdagangan Kaki Lima Kawasan Gubeng Surabaya ……….. 74

1. Jumlah pedagang ………... 75

2. Jenis barang dagangan ………. 78

3. Alat peraga ………. 80

(10)

vi

4.3.1. Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang kaki Lima Kawasan

Viaduk Gubeng Surabaya. ……… 84

1. Jumlah pedagang ……….... 85

2. Jenis barang dagangan ……….. 86

3. Alat peraga ………. 86

4. Waktu berdagang ……… 87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ……… 88

1. Implementasi Pengaturan Jumlah Perdagang ……….. 88

2. Implementasi Pengaturan Jenis Barang Dagangan ………. 88

3. Implementasi Pengaturan Alat Peraga ………. 89

4. Implementasi Pengaturan Waktu Berdagang ……….. 89

5.2. Saran ……… 89

DAFTAR PUSTAKA

(11)

vii Gambar 1

Kerangka Berpikir ... 36 Gambar 2

Komponen – Komponen Analisis Data ... 46 Gambar 3

Struktur Organisasi Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil,

dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya……… 52

Gambar 4

(12)

viii Tabel 4.1

Komposisi Pegawai Berdasarkan Pangkat / Golongan ……… 64

Tabel 4.2

Komposisi Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan ……… 65

Tabel 4.3

Komposisi Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin ……… 65

Tabel 4.4

Komposisi Pegawai Berdasarkan Umur ………. 66

Tabel 4.5

Sarana dan Prasarana ………. 70

Tabel 4.6

Komposisi PKL Viaduk Gubeng Surabaya Berdasarkan Jenis Kelamin…….. 77

Tabel 4.7

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Negara-negara berkembang saat ini sedang melaksanakan pembangunan

dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat, demikian juga Negara

Indonesia dimana dalam melaksanakan pembangunan tersebut mempunyai tujuan

untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat serta

meletakkan landasan yang kuat bagi pembangunan berikutnya.

Sebagai kota yang tengah bergulir menjadi mega urban, sudah barang

tentu perkembangan kota besar seperti Surabaya tidak bisa dibiarkan tumbuh liar,

semrawut dan tidak terciptanya ketertiban sosial. Di kota-kota besar,

ketidaktertiban tercipta dari berbagai macam hal. Diantaranya perkembangan kota

secara pesat yang tidak disertai dengan pertumbuhan kesempatan kerja yang

memadai. Hal tersebut mengakibatkan kota-kota besar menghadapi berbagai

macam problema sosial yang sangat pelik. Hal ini menjadi ciri umum kebanyakan

perkotaan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Pada suatu

masyarakat dimana pertumbuhan ekonomi negara menganut rezim ekonomi

kapitalis, maka yang terjadi adalah kontraksi antara pasar tenaga kerja dan

pertumbuhan pencari kerja. Bila hal tersebut yang terjadi, maka rakyat kecil

berusaha mencari cara lain untuk bisa mempertahankan hidupnya. Seperti keadaan

(14)

kecil. Akibat dari kondisi tersebut, akhir-akhir ini banyak sekali dilakukan

penataan terhadap PKL di beberapa wilayah di Surabaya. Pemerintah Kota

Surabaya saat ini sedang gencar-gencarnya menggulirkan program pembersihan

kawasan atau jalan dari unsur pedagang kaki lima.

Kehadiran Pedagang Kaki Lima (PKL) di kota-kota besar merupakan

bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kota. Kehadiran PKL di

kota mempunyai peranan dalam memberikan penghasilan yang relative cukup

bagi penduduk “marginal” maupun sebagai produsen barang-barang dan jasa yang

diperlukan masyarakat kelas bawah.

Namun, dibalik peranan dan fungsinya yang menopang perekonomian

rakyat bawah tersebut, kehadiran sektor informal PKL di kota-kota besar

diidentifikasikan telah memunculkan berbagai permasalahan.

Permasalahan-permasalahan yang muncul dengan hadirnya PKL di kota besar yaitu perubahan

sosial, ekonomi dan lingkungan perkotaan.

Firdausy dalam Alisjabana (2004:218) mengatakan, permasalahan sosial

ekonomi yang ditimbulkan dengan adanya sektor informal PKL ini antara lain

meningkatnya biaya penyediaan fasilitas-fasilitas umum perkotaan, mendorong

lajunya arus urbanisasi dari desa ke kota, menjamurnya pemukiman kumuh dan

tingkat kriminalitas kota. Sedangkan lingkungan perkotaan yang ditimbulkan

antara lain adalah kebersihan dan keindahan kota, kelancaran lalu lintas serta

penyediaan lahan untuk lokasi usaha.

Hal yang sama juga disampaikan Kadir dan Biantoro dalam Alisjabana

(15)

teratur, tampak liar, tampak kumuh, melebar dan ada yang menggunakan fasilitas

umum sebagai tempat berdagang (misalnya trotoar jalan). Kehadiran PKL juga

menyebabkan pengguna jalan tidak lagi merasakan kenyamanan saat berjalan

karena banyak PKL yang sama sekali tidak menyisakan trotoar untuk pejalan

kaki, bahkan tidak jarang pejalan kaki terganggu dengan tali-tali tenda yang

diikatkan pada pembatas trotoar.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kehadiran PKL di perkotaan

selain mempunyai manfaat juga menimbulkan permasalahan-permasalahan yang

mengganggu ketertiban, kebersihan, dan kenyamanan kota. Oleh sebab itu, sudah

sewajarnya bila permasalahan yang ditimbulkan oleh PKL ditangani bersama

dengan cara melakukan penertiban tanpa “membunuh” sektor informal itu sendiri.

Pemerintah Kota Surabaya selama beberapa tahun terakhir telah

memberikan perhatian ekstra terhadap masalah PKL dengan menggelar operasi

penataan. Bahkan penataan yang dilakukan secara besar-besaran tersebut

terkadang juga tidak dapat memberikan efek jera bagi pedagang kaki lima dan

mereka kerap kali bermain petak umpet dengan petugas pasca penataan.

Di Surabaya sendiri terdapat 7 (tujuh) kawasan PKL yang telah tersentuh

program penataan oleh Pemerintah Kota Surabaya, yaitu Lapangan Karah, Taman

Bungkul, Dharmawangsa, Urip Sumoharjo, Gunungsari, Kampung Buku¸ viaduk

gubeng dan Ampel. Salah satu kawasan PKL tersebut yaitu, PKL kawasan viaduk

gubeng yang disebut Sentra PKL viaduk gubeng. PKL yang mendiami kawasan

tersebut merupakan sentra PKL yang telah dilakukan penataan dengan menempati

(16)

berjualan makanan dan minuman. Selain di kawasan viaduk gubeng, penataan

PKL juga dilakukan di daerah jalan Semarang dengan mengubah lahan tersebut

menjadi kampung buku yang menjual berbagai macam jenis buku serta daerah

Taman Bungkul dengan mengubahnya menjadi food court yang menjual makanan

dan minuman. Di ketiga tempat tersebut saat ini telah berdiri tenda atau rombong

hasil dari penataan. Di Pemerintah Kota Surabaya sendiri, masalah PKL telah

diatur dengan mengeluarkan Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 tentang

Penataan dan Pemberdayaan PKL.

Apabila bisa dilakukan penataan dan pemberdayaan, maka besar sekali

potensi yang dimiliki oleh PKL tersebut. Sebab dengan memilih menjadi PKL,

mereka sudah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, yang otomatis juga

mengurangi pengangguran yang menjadi beban pemerintah selama ini. Selain itu

pedagang kaki lima memberikan kontribusi yang besar dalam aktivitas ekonomi

dan kesejahteraan masyarakat terutama golongan ekonomi lemah.

Hal senada juga diutarakan oleh Kadir dan Biantoro dalam Alisjabana

(2003:123), bahwa sektor informal atau PKL kini diperhitungkan sebagai salah

satu alternatif bagi upaya pemecahan masalah ketenagakerjaan. Dalam perda kota

Surabaya No. 17 Tahun 2003 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL tersebut

pada pasal 3, menjelaskan bahwa :

Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk berwenang :

a. menetapkan dan mengatur waktu kegiatan usaha PKL;

b. menetapkan dan mengatur jumlah PKL pada setiap lokasi PKL;

(17)

d. mengatur alat peraga PKL;

Pedagang Kaki Lima yang saat ini berada di Sentra PKL viaduk gubeng

telah mendapatkan perhatian dari instansi terkait dengan dilakukannya penataan.

Menurut Kepala Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Kota

Surabaya Hadi Mulyono mengungkapkan “Sentra PKL viadukgubeng merupakan

salah satu kawasan penataan PKL di Surabaya selain Lapangan Karah, Taman

Bungkul, Urip Sumoharjo, Gunungsari, Kampung Buku dan Ampel.”

Pelaksanaan penataan pedagang kaki lima di jalan gubeng pojok meliputi

jumlah PKL, jenis barang yang diperdagangkan serta alat peraga yang

dipergunakan PKL. Sedangkan menurut keterangan dari Bapak Muhammad Jubri

Ketua Paguyuban Sentra PKL viaduk gubeng keberadaan mereka saat ini

berjumlah kurang lebih 30 PKL yang berjualan berbagai macam makanan di

fasilitas umum kawasan viaduk gubeng dengan waktu berdagang yang tidak

ditentukan.

Berangkat dari fenomena tersebut di atas, maka mendorong penulis untuk

meneliti mengenai implementasi penataan PKL kota Surabaya dengan mengambil

salah satu dari fenomena ke tujuh lokasi di atas karena terbatasnya waktu dan

biaya. Maka penulis mengambil judul “Implementasi Kebijakan Penataan

(18)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti ingin

mengetahui tentang penataan Pedagang Kaki Lima di kawasan tersebut yaitu :

Bagaimanakah Implementasi Penataan PKL di Kota Surabaya di Sentra

PKL viaduk gubeng Surabaya.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk menganalisa implementasi tentang perda kota

Surabaya no 17 pasal 3 tahun 3003 tentang pengaturan jumlah pedagang,

pengaturan jenis barang dagangan, pengaturan alat peraga dan jam berdagang

dalam Implementasi Penataan PKL di Kota Surabaya di Sentra PKL Viaduk

gubeng Surabaya.

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Bagi Penulis

Untuk menerapkan dan mengembangkan teori yang sudah diperoleh

sehingga dapat membandingkan teori dengan kenyataan yang ada di

lapangan, serta dapat memberikan tambahan wawasan bagi penulis

mengenai kebijakan penataan PKL

2. Bagi Instansi

Sebagai sumbangsih saran dan masukan untuk peningkatan dalam usaha

(19)

3. Bagi Universitas

Sebagai salah satu sumbangan pemikiran dan informasi dalam

melengkapi dan mengembangkan perbendaharaan ilmu sosial dan

khususnya Ilmu Administrasi Negara dan bagi pihak berkait / mahasiswa

(20)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

A. Nurul Qurniawati, 2003 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jatim yang berjudul “Partisipasi Pedagang

Kaki Lima Dalam Pelaksanaan Perda No. 10 Tahun 1987”; penelitian ini

menggunakan metode deskriptif kualitatif yang meneliti satu variable yaitu

partisipasi pedagang kaki lima dalam pelaksanaan Perda No. 10 Tahun 1987.

fokus yang diteliti dalam penelitian ini adalah partisipasi pedagang kaki lima

dalam pelaksanaan Perda No. 10 Tahun 1987 di lingkungan sekitar Stren Kali

Jagir Panjang Jiwo Surabaya. Hasil penelitian ini adalah adanya bangunan liar

yang disebabkan oleh pedagang kaki lima yang tidak mempunyai surat izin

dagang yang sah dengan menempati tanah-tanah kosong di Stern Kali Jagir.

Sedangkan dari pihak pemerintah kota dalam melaksanakan penertiban

Pedagang Kaki Lima menggunakan Perda No. 10 Tahun 1987. Peraturan

tersebut harus dipatuhi oleh PKL di Stren Kali Jagir yang dianggap Pedagang

Kaki Lima yang liar. Dengan begitu pemerintah kota memerintahkan Satuan

Polisi Pamong Praja untuk menertibkan bangunan liar maupun Pedagang

Kaki Lima yang liar yang ada di Stern Kali Jagir.

B. Eny Try Nurcahyati, 2008 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jatim yang berjudul “Implementasi

(21)

Kaki Lima di Pasar Baru Lamongan”; penelitian ini menggunakan pendekatan

penelitian kualitatif dengan satu variable yaitu Implementasi Kebijakan

Pemerintah Kabupaten Lamongan Dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di

Pasar Baru Lamongan. Fokus penelitiannya meliputi : 1. Relokasi tempat, 2.

Pembinaan dan Penertiban. Hasil penelitian menyatakan : 1. Relokasi tempat,

pavingisasi dan pemberian tenda yang dilakukan oleh Dinas Perdagangan dan

Dinas Satpol PP belum merata; 2. Pembinaan yang dilakukan Dinas

Perdagangan belum diikuti oleh seluruh Pedagang Kaki Lima; 3. Penertiban

yang dilakukan oleh Satpol PP baik secara patroli maupun terprogram perlu

ditingkatkan lagi dengan sanksi yang tegas.

C. Astutik, 2004 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Jatim yang berjudul “Penataan Pedagang Kaki Lima di

Sekitar Pasar Waru Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo”; penelitian ini

menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, yang menjadi fokus penelitian

adalah kebijakan pemerintah Kabupaten Sidoarjo dalam penataan PKL di

sekitar Pasar Waru dan Peran Satuan Polisi Pamong Praja dalam pelaksanaan

penataan PKL. Informan penelitian yaitu PKL di sekitar Pasar Waru, petugas

Dinas Pasar Waru dan masyarakat atau konsumen Pasar Waru. Analisis data

yang digunakan adalah analisis interaktif. Dari hasil analisa tersebut

disimpulkan bahwa Pemerintah Kabupaten Sidoarjo telah membuat berbagai

kebijakan untuk menata pedagang kaki lima di sekitar Pasar Waru. Kebijakan

tersebut adalah memberikan penyuluhan agar pedagang di sekitar Pasar Waru

(22)

pemerintah setempat sehingga para pedagang kaki lima (PKL) tidak

mengganggu aktivitas pengguna jalan raya.

Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini terletak pada obyek

yang diteliti yaitu pedagang kaki lima (PKL), sedangkan perbedaannya terletak

pada fokus dan lokasi penelitian. Dalam penelitian ini lebih difokuskan pada

penataan pedagang kaki lima.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Pengertian PKL (Pedagang Kaki Lima)

Setthurahman dalam Alisjahbana (2003:10), memberikan istilah sektor

informal atau PKL terdiri dari unit usaha berskala kecil yang menghasilkan dan

mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan lapangan

kerja dan pendapatan bagi diri sendiri dan dalam usahanya sangat dihadapkan

berbagai kendala seperti faktor modal, faktor pengetahuan, dan ketrampilan.

Sedangkan Wirosardjono dalam Alisjahbana (2003:14), mengemukakan

PKL adalah pola kegiatannya tidak teratur, dalam artian waktu, permodalan

maupun penerimaannya, tidak tersentuh oleh peraturan atau ketentuan yang

ditetapkan oleh pemerintah, modal peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya

biasanya kecil dan diusahakan atas hitungan harian.

Dalam Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 pasal 1 ayat 6 tentang

penataan dan pemberdayaan PKL, disebutkan PKL adalah pedagang yang

(23)

mempergunakan sarana atau perlengkapan yang mudah dipindahkan, dibongkar

pasang dan mempergunakan lahan fasilitas umum sebagai tempat usaha.

Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa PKL adalah mereka

yang barang dagangannya mempergunakan tempat-tempat umum, seperti

sepanjang jalan trotoar, fasilitas umum dan pinggir jalan. Sarana ataupun

perlengkapan dagang yang digunakan relative sederhana. Di samping kios-kios

yang permanent ataupun datang ke tempat lokasi dengan membawa peralatan

yang dibawa dari rumah, baik yang bersifat dorongan (gerobak / rombong)

ataupun bongkar pasang.

2.2.2. Pengertian Kebijakan Publik

Menurut Anderson dalam Tangkilisan (2003:19), merumuskan kebijakan

merupakan “Arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh

seseorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu

perubahan”.

Menurut Fredrickson dan hart dalam Tangkilisan (2003:19), mengatakan

kebijakan adalah “Suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh

seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan

dengan adanya hambatan-hambatan tertentu sambil mencari peluang-peluang

untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan”.

Selanjutnya dapat diketahui definisi dari kebijakan publik yang

dikemukakan oleh Dye dalam Wibowo (2004:29), Kebijakan Publik diberi

definisi “Segala yang dilakukan pemerintah. Sebab-sebab hal tersebut dilakukan

(24)

Sedangkan menurut Lester dan Stewart dalam Wibowo (2004:29),

memberikan usulan definisi kebijakan publik yaitu “Proses atau serangkaian

keputusan atau aktivitas pemerintah yang didesain untuk mengatasi masalah

publik, apakah hal itu riil ataukah masih direncanakan (Imagined)”.

Menurut Anderson dalam Tangkilisan (2003:3), kebijakan publik adalah

kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat

pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah :

1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai

tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan;

2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah;

3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh

pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk

dilakukan;

4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan

tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat

negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan

sesuatu;

5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan

pada peraturan perundangan yang bersifat mengikuti dan memaksa.

Menurut Udoji dalam Wahab (2005:5), kebijaksanaan negara adalah suatu

tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang diarahkan pada

suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan yang

(25)

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik

adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat,

baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi

kehidupan masyarakat.

2.2.3. Langkah-Langkah Kebijakan Publik

Menurut Dunn dalam Tangkilisan (2003:8), tahap-tahap kebijakan dibagi

menjadi :

1. Penetapan agenda kebijakan (agenda setting)

Tahap pertama penetapan agenda kebijakan adalah menentukan masalah

publik yang akan dipecahkan.

2. Formulasi Kebijakan (policy formulation)

Mengidentifikasikan kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan melalui

prosedur forecasting untuk memecahkan masalah yang didalamnya

terkandung konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan yang akan dipilih.

3. Adopsi Kebijakan (policy adoption)

Tahap adopsi kebijakan merupakan tahap untuk menentukan pilihan kebijakan

melalui dukungan para stakeholders atau pelaku yang terlibat.

4. Isi Kebijakan (policy implementation)

Implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk

merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk

mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah

(26)

5. Evaluasi Kebijakan (policy assessment)

Tahap akhir dari proses pembuatan kebijakan adalah penilaian terhadap

kebijakan yang telah diambil dan dilakukan. Dalam penelitian ini semua

proses implementasi dinilai apakah telah sesuai dengan yang telah ditentukan

atau direncanakan dalam program kebijakan tersebut sesuai dengan

ukuran-ukuran (kriteria-kriteria) yang telah ditentukan.

2.2.4. Aktor Kebijakan Publik a) Pejabat Pembuat Kebijakan

Menurut Agustino (2006:29) yang dimaksud dengan Pejabat

pembuat kebijakan adalah orang yang mempunyai wewenang yang sah

untuk ikut serta dalam formulasi hingga penetapan kebijakan publik

yang termasuk dalam pembuat kebijakan secara normatif adalah :

legislatif, eksekutif, administrator dan para hakim. Masing-masing

mempunyai tugas dalam pembuatan kebijakan yang relatif berbeda

dengan lembaga lain.

b) Aktor yang terlibat

Menurut Agustino (2006:41) di Indonesia, di era reformasi ini,

aktor kebijakan (lembaga negara dan pemerintah yang berwenang

membuat perundang-undang atau kebijakan) adalah :

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

3. Presiden

(27)

a. Presiden sebagai kepala pemerintahan (pemerintahan pusat)

b. Menteri

c. Lembaga Non-Departemen

d. Direktorat Jenderal (Dirjen)

e. Badan-Badan Negara lainnya (Bank Sentral, BUMN dan

lainnya)

f. Pemerintah Daerah Propinsi

g. Pemerintah Daerah Kota atau Kabupaten

h. Kepala Desa

i. Dewan Perwakilan Daerah Propinsi

j. Dewan Perwakilan Daerah Kota atau Kabupaten

k. Badan Perwakilan Desa (BPD)

Lembaga-lembaga Negara (dan pemerintah) tersebut memiliki

peran dan wewenang masing-masing untuk membuat perundang

(kebijakan publik) sesuai dengan kedudukannya dalam sistem pemerintah.

2.2.4.1. Sifat Kebijakan Publik

Menurut Winarno (2002:19) sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan

dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci beberapa kategori sebagai

berikut :

1. Tuntutan-Tuntutan Kebijakan

Adalah tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh aktor-aktor swasta atau pemerintah,

(28)

2. Keputusan Kebijakan

Adalah keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah

yang mengesahkan atau memberi arah dan substansi kepada tindakan-tindakan

kebijakan publik.

3. Pernyataan-pernyataan Kebijakan

Adalah pernyataan-pernyataan resmi atau artikulasi-artikulasi (penjelasan)

kebijakan publik.

4. Hasil-hasil Kebijakan

Adalah manifestasi nyata dari kebijakan-kebijakan publik hal-hal yang

sebenarnya dilakukan menurut keputusan-keputusan dan

pernyataan-pernyataan kebijakan.

5. Dampak-Dampak Kebijakan

Adalah akibat bagi masyarakat baik yang berasal dari tindakan atau tidak

adanya tindakan pemerintah.

2.2.4.2. Manfaat Kebijakan Publik

Menurut Dye dan Anderson dalam Subarsono (2005 : 4), studi kebijakan

publik memiliki tiga manfaat penting yaitu :

1. Pengembangan ilmu pengetahuan

Dalam konteks ini, ilmuwan dapat menempatkan kebijakan publik

sebagai variabel terpengaruh (dependen variable) sehingga berusaha

menentukan variabel pengaruhnya (independen variable). Studi ini berusaha

mencari variable-variable yang dapat mempengaruhi isi dari sebuah kebijakan

(29)

2. Membantu para praktisi dalam memecahkan masalah-masalah publik

Dengan mempelajari kebijakan publik para praktisi akan memiliki

dasar teoritis tentang bagaimana membuat kebijakan publik yang baik dan

memperkecil kegagalan dari suatu kebijakan publik. Sehingga ke depan akan

lahir kebijakan publik yang lebih berkualitas yang dapat menopang tujuan

pembangunan.

3. Berguna untuk tujuan politik

Suatu kebijakan publik yang dibuat melalui proses yang benar dengan

dukungan teori yang kuat memiliki posisi yang kuat terhadap kritik dari

lawan-lawan politik. Kebijakan publik tersebut dapat meyakinkan kepada

lawan-lawan politik yang tadinya kurang setuju. Kebijakan publik seperti itu

tidak akan mudah dicabut hanya karena alasan kepentingan sesaat dari

lawan-lawan politik.

2.2.5. Tujuan Kebijakan

Ada beberapa tujuan kebijakan menurut Hoogerwef dalam Soenarko

(2000:82) yaitu :

a. Memelihara ketertiban umum (Negara sebagai stabilisator)

b. Melancarkan perkembangan masyarakat dalam berbagai hal (Negara sebagai

perangsang, simulator)

c. Menyesuaikan berbagai aktivitas (Negara sebagai koordinator)

d. Memperuntukkan dan membagi berbagi materi (Negara sebagai pembagi,

(30)

Tujuan-tujuan yang demikian itu, tentu saja merupakan tujuan antara guna

untuk mencapai tujuan akhir. Untuk bangsa dan negara Indonesia, tujuan

kebijaksanaan itu adalah :

a. Memajukan kesejahteraan umum

b. Mencerdaskan kehidupan bangsa

c. Ikut melaksanakan ketertiban dunia

Sedangkan untuk tujuan akhirnya (goal) adalah : masyarakat yang adil dan

makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

2.2.6. Evaluasi Kebijakan

Menurut Winarno (2004 : 165), evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang

bertujuan untuk menilai manfaat suatu kebijakan.

Menurut Jones dalam Tangkilisan (2003:25), mengatakan bahwa evaluasi

kebijakan adalah peninjauan ulang untuk mendapatkan perbaikan dari dampak

yang tidak diinginkan.

Menurut Moshoed (2004:91), mengatakan bahwa evaluasi kebijakan

adalah suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat

membuahkan hasil.

Dengan disimpulkan dari pengertian-pengertian diatas bahwa evaluasi

kebijakan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menilai apakah suatu kebijakan

berhasil mencapai tujuannya dan seberapa besar dampak yang ditimbulkan akibat

(31)

Didalam evaluasi kebijakan terdapat beberapa tipe evaluasi, salah satunya

seperti yang dikemukakan Heath dalam Tangkilisan (2003:27), membedakan tipe

evaluasi kebijakan publik atas 3 (tiga) tipe yaitu :

1. Tipe Evaluasi Proses

Dimana evaluasi ini dilakukan, dan perhatiannya pada pernyataan bagaimana

program dilaksanakan.

2. Tipe Evaluasi Dampak

Dimana evaluasi ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan mengenai apa

yang telah dicapai program.

3. Tipe Evaluasi Strategi

Dimana evaluasi ini bertujuan untuk mencari jawaban atas pertanyaan

bagaimana program dapat dilaksanakan secara efektif, untuk memecahkan

persoalan-persoalan masyarakat dibanding dengan program-program lain yang

ditunjukkan pada masalah yang sama sesuai dengan topik mengenai kebijakan

publik.

2.2.7. Pengertian Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi menurut Hartono dalam Alisjahbana (2004:45), adalah

proses yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan

Negara diwujudkan sebagai “outcome” hasil akhir kegiatan-kegiatan yang

dilakukan oleh pemerintah.

Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab (2002:65), menyatakan bahwa

(32)

dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian pada suatu

kebijakan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa implementasi adalah proses

yang sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif

yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan yang langsung atau

tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat.

Adapun implementasi kebijakan menurut Islamy (2004:28), dapat

diartikan sebagai suatu upaya untuk memahami “apa yang senyatanya ada dan

terjadi” sesudah suatu program yang dirumuskan, yaitu peristiwa-peristiwa dan

kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan publik, baik

itu menyangkut peristiwa-peristiwa.

Menurut Subakti dalam Alisjahbana (2004:28), berdasarkan pada suatu

kebijakan terlaksana, terdapat 5 (lima) tahap implementasi kebijakan, yaitu :

1. Menyediakan sumber daya bagi pelaksanaan kebijakan

2. Melaksanakan interpretasi dan penjabaran kebijakan dalam bentuk peraturan

melaksanakan dan petunjuk pelaksanaan.

3. Menyusun perencanaan sejumlah langkah kegiatan pelaksanaan menurut

waktu, tempat, situasi dan anggaran.

4. Pengorganisasian secara rutin atas personil, anggaran dan sasaran materiil

lainnya

5. Memberikan manfaat kepada individu dan masyarakat

Sedangkan menurut Wibawa dan Koryati, Hidayat dalam Tangkilisan

(33)

keputusan mengenai kebijakan yang mendasar, biasanya tertuang dalam suatu

undang-undang, namun juga dapat berbentuk instruksi-instruksi eksekutif yang

penting atau keputusan perundangan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa implementasi adalah proses

yang sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif

yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program yang langsung atau tidak

langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat.

2.2.7.1. Model-Model Implementasi Kebijakan

Dalam implementasi kebijakan ada beberapa bentuk model implementasi

yang dikenal, model ini berguna untuk menyederhanakan sesuatu bentuk dan

memudahkan dalam pelaksanaan kebijakan.

Hogwood dan Gunn dalam Wahab (2004 : 71) mengemukakan model

“Top Down Approach”. Menurut Hogwood dan Gunn, untuk dapat

mengimplementasikan kebijakan secara sempurna (perfect implementation) ada

10 (sepuluh) persyaratan, yaitu :

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan / instansi pelaksana tidak akan

menimbulkan gangguan / kendala yang serius.

2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup

memadai.

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia

4. Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan

kualitas yang andal.

(34)

6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan

8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.

9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna

10.Pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan

kepatuhan yang sempurna.

Variable-variable kebijaksanaan bersangkut paut dengan tujuan-tujuan

yang telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada

badan-badan pelaksana meliputi organisasi formal maupun informal sedangkan

komunikasi antar organisasi terkait beserta kegiatan-kegiatan pelaksananya

mencakup antar hubungan didalam lingkungan sistem politik dan dengan

kelompok-kelompok sasaran. Akhirnya pusat perhatian pada sikap para pelaksana

mengantarkan kita pada telaah mengenai orientasi dari mereka yang

mengoperasionalkan program di lapangan.

2.2.7.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Menurut Islamy (2004:107), menjelaskan bahwa kebijaksanaan akan

menjadi efektif bila dilaksanakan dan mempunyai dampak positif bagi

anggota-anggota masyarakat. Dengan kata lain, tindakan atau perbuatan manusia yang

menjadi anggota masyarakat itu bersesuaian dengan apa yang diinginkan oleh

pemerintah dan Negara. Dengan demikian kalau mereka tidak bertindak / berbuat

sesuai dengan keinginan pemerintah / negara itu, maka kebijaksanaan negara

(35)

Kebijaksanaan apapun sebenarnya mengandung resiko untuk gagal,

Hogwood dan Gunn dalam Wahab (2004:61) telah membagi pengertian kegagalan

kebijaksanaan (policy failure) dalam 2 (dua) kategori yaitu : non implementation

(tidak terimplementasi) dan unsuccessful implementation (implementasi tidak

berhasil).

Tidak terimplementasi mengandung arti bahwa suatu kebijaksanaan tidak

dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat

didalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka telah sepenuhnya

menguasai permasalahan, sehingga implementasi yang efektif sulit tercapai.

Implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala suatu

kebijaksanaan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun

mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan (semisal tiba-tiba

terjadi peristiwa pergantian kekuasaan, bencana alam dan sebagainya).

Kebijaksanaan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir

yang dikehendaki.

Menurut Hood dalam Wahab (2004 : 77), bahwa guna mencapai

implementasi yang sempurna barangkali diperlakukan suatu sistem satuan

administrasi tunggal (unitary administrative sistem) seperti halnya satuan tentara

yang besar yang hanya memiliki satuan tanpa kompartementalisasi atau konflik

(36)

2.2.7.3. Keberhasilan Implementasi Kebijakan

Menurut Rippley dan Franklin dalam Tangkilisan (2003:21), menyatakan

keberhasilan implementasi kebijakan program dan tinjau dari 3 (tiga) faktor,

yaitu :

1. Perspektif kepatuhan yang mengukur implementasi kebutuhan aparatur

pelaksana;

2. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya

persoalan;

3. Implementasi yang berhasil mengarah pada kinerja yang memuaskan semua

pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan.

2.2.8. Penataan PKL (Pedagang Kaki Lima) 1. Kebijakan dan Penataan

Kebijakan berarti serangkaian keputusan yang sifatnya mendasar

untuk dipergunakan sebagai landasan bertindak dalam usaha mencapai

tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Kebijakan menurut Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003

mengatur tentang kawasan, lokasi pedagang, waktu berjualan, jenis barang

dagangan dan alat peraga yang digunakan untuk berdagang. Lokasi

pedagang kaki lima menurut Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003

tentang penataan dan pemberdayaan PKL adalah tempat untuk

menjalankan usaha PKL yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah yang

(37)

Sesuai dengan Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 tentang

penataan dan pemberdayaan PKL, bahwa kegiatan pedagang kaki lima

merupakan usaha perdagangan sektor informal yang perlu diberdayakan

guna menunjang pertumbuhan perekonomian masyarakat. Sehingga perlu

dilakukan penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima sesuai yang

diatur pada pasal 3 yang meliputi waktu kegiatan usaha PKL, mengatur

jumlah PKL, menetapkan jenis barang yang diperdagangkan dan mengatur

alat peraga PKL.

Penataan dalam kamu besar Bahasa Indonesia (2001:1147), adalah

sebagai pola tata perencanaan yang terorganisir untuk sebuah kota dalam

membangun misalnya jalan, taman, tempat usaha, dan tempat tinggal agar

kota tampak apik, nyaman, indah, lingkungan sehat dan terarah pada masa

depan.

Dengan demikian penataan juga mengandung makna sebagai

pembaharuan yaitu melakukan usaha untuk membuat sesuatu menjadi

lebih sesuai atau cocok dengan kebutuhan, menjadi lebih baik dan menjadi

lebih bermanfaat.

2. Penataan Pedagang Kaki Lima

Dalam Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 kebijakan penataan

telah diatur pada pasal 2 ayat 3 dimana penetapan, pemindahan dan

penghapusan lokasi PKL diatur dengan memperhatikan kepentingan

sosial, ekonomi, ketertiban dan kebersihan lingkungan sekitarnya, dalam

(38)

Pemerintah Kota Surabaya mengarah kepada terciptanya suasana kota

yang lebih tertib, rapi, indah dan nyaman. Agar keberadaannya tidak

mengganggu kenyamanan kota maka dalam menangani PKL perlu dicari

solusi yang baik dan bijaksana, karena penertiban tanpa memberi jalan

keluar dengan memberi tempat yang memenuhi syarat, sama saja akan

mematikan tumbuhnya ekonomi kerakyatan.

Penataan menurut Supriyanto (1996:121), merupakan serangkaian

kegiatan dalam rangka melaksanakan koordinasi, integrasi dan

sinkronisasi pembangunan fisik kota, kawasan atau desa berdasarkan

rencana tata ruang yang ada sehingga tercapai efisiensi dalam pemanfaatan

sumber dana, tenaga dan lahan atau ruang, dan atau juga dapat

meningkatkan produktifitas, pemerataan dan perluasan kesempatan kerja,

peningkatan kondisi sosial ekonomi, pelestarian budaya dan sejarah serta

perbaikan lingkungan hidup.

3. Langkah Kebijakan Penataan

Menurut Simanjuntak (Prisma No. 3, 1985:51), aktivitas program

kebijakan penataan PKL dapat dikelompokkan ke dalam 2 pendekatan,

yaitu :

1. Mendorong sektor yang ada menjadi formal, PKL diorientasikan

nantinya dapat mendirikan toko yang permanen tentunya didirikan

pada tempat yang memang khusus untuk menampung pedagang

formal. Misalnya pasar pusat perbelanjaan modern dan dalam jangka

(39)

serta mampu untuk pindah ke pasar atau toko sesuai dengan jenis

barang dagangannya.

2. Dilakukan relokasi, yaitu penempatan PKL di lokasi baru yang

dianggap penting karena PKL sering dianggap menimbulkan kerugian

sosial dan kemacetan jalan. Namun penempatan ini perlu

dipertimbangkan faktor konsumen dan kemampuan penyesuaian lokasi

baru tersebut. Di satu pihak perlu diperlakukan yang manusiawi oleh

para petugas, akan tetapi di pihak lain yang tidak kalah penting adalah

konsistensi pengaturan yang perlu diterapkan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aktivitas-aktivitas

program kebijakan penataan PKL dapat dilakukan dengan mendorong

sektor informal menjadi formal, meningkatkan kemampuan dalam usaha

sektor informal, serta menyediakan lokasi baru bagi para PKL.

2.2.9. Sektor Informal

Menurut Sathuraman dalam Alisjahbana (2003:10), bahwa sektor informal

terdiri dari unit usaha kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan

jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi diri

sendiri dan dalam usahanya sangat dihadapkan berbagai kendala seperti faktor

modal fisik, faktor pengetahuan dan faktor keterampilan.

Pendapat yang dikemukakan oleh Wirosardjono dalam Alisjahbana

(2003:13), bahwa sektor informal adalah suatu kondisi nyata dari berbagai

kegiatan sejumlah tenaga kerja yang umumnya berpendidikan rendah, tidak

(40)

Sedangkan menurut Hidayat dalam Alisjahbana (2003), sektor informal

mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

a. Kegiatan usahanya tidak terorganisir secara baik karena timbulnya unit usaha

tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor

informal.

b. Pada umumnya tidak mempunyai ijin usaha

c. Pola usaha tidak teratur, baik lokasi maupun jam kerja

d. Tidak terkena langsung kebijakan pemerintah untuk membantu ekonomi

lemah

e. Unit usaha mudah beralih antar sub sektor

f. Berteknologi rendah

g. Skala operasinya kecil karena modal dan perputaran usahanya juga relatif

kecil

h. Tidak memerlukan pendidikan formal, karena hanya dibantu pekerja keluarga

yang tidak dibayar.

i. Mereka bermodal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang

tidak resmi

j. Pada umumnya bekerja sendiri atau hanya dibantu pekerja keluarga yang tidak

dibayar

k. Sebagian besar hasil produksi atau jasa mereka hanya dinikmati masyarakat

berpenghasilan rendah serta sebagian kecil masyarakat golongan menengah.

(41)

2.2.10. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL di Kota Surabaya

Peningkatan jumlah PKL yang terjadi di kota-kota besar, seperti Surabaya

telah berdampak terganggunya kelancaran lalu lintas, ketertiban dan kebersihan

kota serta fungsi prasarana kota. Selain mengganggu berbagai aktivitas kota, PKL

yang merupakan usaha perdagangan sektor informal perlu dilakukan penataan

untuk menunjang pertumbuhan perekonomian masyarakat dan sekaligus sebagai

salah satu pilihan dalam penyediaan barang dagangan yang dibutuhkan oleh

masyarakat dengan harga yang relative terjangkau.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka Pemerintah Kota Surabaya

mengeluarkan Peraturan Daerah kota Surabaya Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.

Dalam Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 pasal 2 menjelaskan tentang :

1. Kegiatan usaha Pedagang kaki Lima dapat dilakukan di daerah;

2. Kepala Daerah berwenang untuk menetapkan, memindahkan dan menghapus

lokasi PKL;

3. Penetapan, pemindahan dan penghapusan lokasi PKL sebagaimana dimaksud

pada ayat (2), diatur dengan memperhatikan kepentingan sosial, ekonomi,

ketertiban dan kebersihan lingkungan sekitarnya;

4. Kepala daerah berwenang melarang penggunaan lahan fasilitas umum tertentu

untuk tempat usaha PKL;

5. Setiap orang dilarang melakukan transaksi perdagangan dengan PKL pada

(42)

Selain itu Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 pasal 3 juga

menjelaskan bahwa Kepala Daerah berwenang :

1. Menetapkan dan mengatur waktu kegiatan usaha PKL;

2. Menetapkan dan mengatur jumlah PKL pada setiap lokasi PKL;

3. Menetapkan jenis barang yang diperdagangkan;

4. Mengatur alat peraga PKL

Pada dasarnya Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 dibuat untuk

mengatur secara umum tentang penataan dan pemberdayaan PKL di semua sudut

kota Surabaya. Dalam pelaksanaannya Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003

mengatur tentang Penetapan Waktu Kegiatan, Jumlah PKL, Jenis Barang dan Alat

Peraga.

Sedangkan ketentuan Tanda Daftar Usaha diatur pada pasal 4 yang berisi :

1. Setiap orang dilarang melakukan usaha PKL pada fasilitas umum yang

dikuasai oleh Kepala Daerah tanpa memiliki Tanda Daftar Usaha yang

dikeluarkan Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk;

2. Untuk memperoleh Tanda Daftar Usaha yang bersangkutan harus mengajukan

permohonan secara tertulis kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk;

3. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus dilampiri :

a. Kartu Tanda Penduduk (KTP) Surabaya;

b. Rekomendasi dari Camat yang wilayah kerjanya meliputi lokasi PKL yang

dimohon;

c. Gambar alat peraga PKL yang akan dipergunakan;

(43)

1) Tidak akan memperdagangkan barang illegal;

2) Tidak akan membuat bangunan permanent / semi permanent di lokasi

tempat usaha;

3) Mengosongkan / mengembalikan / menyerahkan lokasi PKL kepada

Pemerintah Daerah apabila lokasi dimaksud sewaktu-waktu

dibutuhkan oleh Pemerintah Daerah, tanpa syarat apapun.

4) Tata cara permohonan dan pemberian Tanda Daftar Usaha ditetapkan

lebih lanjut oleh Kepala Daerah.

5) Jangka waktu Tanda Daftar Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) adalah 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang

Selain itu juga diatur dalam Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 pasal

5 mengenai kewajiban dan larangan pemegang Tanda Daftar usaha PKL, yaitu :

1. Memelihara kebersihan, keindahan, ketertiban, keamanan dan kesehatan

lingkungan tempat usaha;

2. Menempatkan sarana usaha dan menata barang dagangan dengan tertib dan

teratur;

3. Menempati sendiri tempat usaha sesuai Tanda Daftar Usaha yang dimiliki;

4. Mengosongkan tempat usaha apabila Pemerintah Daerah mempunyai

kebijakan lain atas lokasi tempat usaha tanpa meminta ganti rugi;

5. Mematuhi ketentuan penggunaan lokasi PKL dan ketentuan usaha PKL yang

ditetapkan oleh Kepala Daerah;

(44)

7. Mengosongkan tempat usaha dan tidak meninggalkan alat peraga di luar jam

operasional yang telah ditentukan oleh Kepala Daerah atau pejabat yang

ditunjuk.

Yang dijelaskan pula dalam Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 pasal 6 yang

berisi :

1. Mendirikan bangunan permanen / semi permanen di lokasi PKL;

2. Mempergunakan tempat usaha sebagai tempat tinggal;

3. Menjual barang dagangan yang dilarang untuk diperjualbelikan;

4. Melakukan kegiatan usaha di lokasi PKL selain yang telah dinyatakan dalam

Tanda Daftar Usaha;

5. Mengalihkan Tanda Daftar Usaha PKL kepada pihak lain dalam bentuk

apapun.

Sedangkan pengawasan dan penertiban diatur dalam Perda kota Surabaya

No. 17 Tahun 2003 BAB V pasal 9, yaitu :

1. Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan pengawasan

atas pelaksanaan Peraturan Daerah ini;

2. Dinas Polisi Pamong Praja atau Instansi lain yang mempunyai tugas untuk

menegakkan Peraturan Daerah berwenang melaksanakan penertiban atas

pelanggaran Peraturan Daerah ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

3. Ketentuan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

(45)

Sanksi administratif diatur dalam Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 pasal

10, yaitu :

Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (5), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 dan

Pasal 6, Kepala Daerah berwenang memberikan peringatan-peringatan dan atau

membongkar sarana usaha atau mengeluarkan barang dagangan yang

dipergunakan untuk usaha PKL dari fasilitas umum yang dikuasai oleh

Pemerintah Daerah / lokasi PKL.

2.2.11.Kebersihan Lingkungan

Kebersihan menurut Entjang (1997:100), adalah bersih dan tidak kotor.

Yang dimaksud dengan suatu keadaan yang bersih, tidak kotor yakni tidak hanya

secara fisik saja, tetapi juga mencakup kesehatan atau sanitasi dalam arti keadaan

yang bersih dan terbebas dari pencemaran terhadap lingkungan fisik seperti polusi

udara, polusi tanah dan polusi air.

Kebersihan tidak hanya dirasakan dan dilihat secara fisik belaka, namun

mencakup kebersihan dalam arti kesehatan. Terhindarnya sampah serta akibat

yang ditimbulkannya seperti bau busuk, pemandangan yang kurang baik, tempat

bersarang berbagai serangga dan binatang lain yang menyebabkan penyakit.

Menurut Marbun (1994:107-108), dalam melakukan aktivitasnya PKL

juga dapat menyebabkan permasalahan kebersihan lingkungan. Selain kebersihan

lingkungan yaitu masalah sampah yang biasanya muncul, PKL juga membawa

(46)

1. Bau busuk yang mengganggu warga kota yang berada di dekat pembuangan

sampah.

2. Mempercepat atau sumber penularan penyakit

3. Tersumbatnya got-got dan aliran sungai yang pada musim penghujan

memperbesar bahaya banjir

(47)

2.3. Kerangka Berpikir

Berdasarkan landasan teori diatas, penelitian ini merupakan satu macam

variabel atau variabel mandiri yaitu kebijakan penataan pedagang kaki lima di

kawasan viaduk gubeng Surabaya. Hal ini dapat dilihat pada susunan suatu model

alur kerangka sebagai berikut :

Gambar 1 Kerangka Berpikir

Sumber : Teori yang diolah

Perda Kota Surabaya Nomor 17 Tahun 2003 pasal 3 Tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Kota

S b

Impelentasi Perda Kota Surabaya Nomor 17 Tahun 2003 pasal 3 Tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Kota

Waktu berdagang Jenis

barang

Alat peraga Jumlah

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat

deskriptif, yang mencoba menggambar secara mendalam suatu obyek penelitian

berdasarkan fakta-fakta yang tampak. Hal ini selaras dengan pendapat Hadi

(1993:03) bahwa penelitian deskriptif sebagai suatu penelitian bertujuan untuk

melukiskan keadaan obyek atau peristiwa tertentu tanpa maksud mengambil

kesimpulan yang berlaku secara umum.

Penelitian yang digunakan penelitian kualitatif dengan maksud ingin

memperoleh gambaran yang komprehensif dan mendalam tentang Kebijakan

Penataan Pedagang Kaki Lima di Jl. Gubeng pojok (kawasan Viaduk Gubeng).

Secara teoritis, menurut Bagdan dan Taylor dalam Moleong (2007:4),

penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang dapat diamati.

Menurut pendapat tersebut, pendekatan penelitian diharapkan pada latar dan

individu tersebut secara holistic (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh

mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis tetapi

perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.

Sedangkan menurut Denzin dan Lincoln dalam Moleong (2007:5)

(49)

maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan

melibatkan berbagai metode yang ada.

Menurut Richie dalam Moleong (2007:6) penelitian kualitatif adalah upaya

untuk menyajikan dunia sosial dan perspektifnya didalam dunia dari segi konsep,

perilaku, persepsi dan persoalan tentang manusia yang diteliti.

Dari kajian tentang definisi-definisi tersebut maka dapat disimpulkan

bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud menggambarkan

dan memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek penelitian, misalnya

perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan

cara-cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks

khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan metode ilmiah.

3.2. Fokus Penelitian

Penentuan fokus penelitian diperlukan dalam membantu pelaksanaan

penelitian, jika penelitian ditentukan tepat sesuai dengan tujuan dan masalah

penelitian, maka penelitian yang dilakukan akan terarah dan berhasil dengan baik.

Menurut Moleong (2007 : 94) menyatakan bahwa ada dua maksud tertentu

yang ingin peneliti capai dalam merumuskan masalah penelitian dengan jalan

memanfaatkan fokus. Pertama, fokus dapat membatasi studi, jadi dalam hal ini

fokus akan membatasi bidang inkuiri sehingga peneliti tidak perlu kesana kemari

untuk mencari subjek penelitian. Kedua, penetapan fokus itu berfungsi untuk

memenuhi kriteria inklusif – eksklusif atau kriteria masuk – keluar suatu

(50)

mantap, seorang peneliti dapat membuat keputusan yang tepat tentang data yang

dikumpulkan dan mana yang tidak perlu dijamah atau mana yang akan dibuang.

Penelitian kualitatif digunakan variabel mandiri tanpa membuat

perbandingan atau menghubungkan variabel yang lain dalam penelitian ini yang

menjadi variabel penelitian adalah. Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima di

Jl. Gubeng pojok (kawasan Viaduk Gubeng). Dan tidak ada satupun yang dapat

dilakukan tanpa adanya fokus. Adapun yang menjadi fokus dalam penelitian ini

adalah :

1. Implementasi Kebijakan Penataan PKL di jalan gubeng pojok Surabaya dilihat

pada Perda kota Surabaya Nomor 17 Tahun 2003 tentang penataan dan

pemberdayaan PKL pasal 3 yang meliputi :

a. Pengaturan jumlah PKL pada setiap lokasi PKL

b. Pengaturan jenis barang yang diperdagangkan PKL

c. Pengaturan alat peraga PKL

(51)

Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat yang digunakan oleh peneliti untuk

mendapatkan keadaan sebenarnya dari obyek yang diteliti guna memperoleh data

yang akurat. Agar dapat memperoleh data yang akurat atau mendekati kebenaran

yang sesuai dengan fokus penelitian, maka peneliti memilih dan menetapkan

lokasi penelitian ini di Jl. Gubeng pojok (kawasan Viaduk Gubeng) yang

merupakan salah satu lokasi penataan PKL di Kota Surabaya sebagai lahan

berjualan para PKL dan penelitian ini berdasarkan secara disengaja (purposive),

yaitu lokasi dipilih dengan pertimbangan yang berkaitan dengan judul yang

dipilih.

3.3. Sumber Data

Menurut Lofland dalam Moleong (2007:157), sumber data utama dalam

penelitian kualitatif adalah berasal dari informan yang berupa kata-kata dan

tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber

data adalah tempat penelitian dapat menemukan data dan informasi yang

diperlukan berkenaan dengan penelitian ini yang diperlukan melalui informasi,

peristiwa dan dokumen.

Yang dimaksud sumber data dalam penelitian ini adalah subyek dimana

data diperoleh dari informasi yang diperlukan berkenaan dengan penelitian ini

(52)

1. Informan

Dipilih secara purposive (purposive sampling) yang didasarkan pada subyek

yang menguasai permasalahan, memiliki data dan bersedia memberikan data

yang benar-benar relevan dan komprehensif dengan masalah penelitian.

Sedangkan informan yang selanjutnya diminta pula untuk menunjuk orang

lain yang dapat memberikan informasi dan seterusnya. Adapun informan

dalam penelitian ini antara lain :

a. Kepala Bidang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Dinas Koperasi dan

UMKM Pemkot Surabaya

b. Paguyuban Sentra PKL Viaduk gubeng

c. Para PKL di Sentra PKL Viaduk gubeng

2. Tempat atau peristiwa

Tempat atau peristiwa yang dimana fenomena itu terjadi atau yang pernah

terjadi berkaitan dengan fokus penelitian, tentang Penataan PKL di Sentra

PKL Viaduk gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya.

3. Dokumen

Dokumen disini adalah dipakai sebagai sumber data lain yang sifatnya

melengkapi data utama yang relevan dengan masalah dan fokus penelitian,

seperti data demografi dan monografi di lokasi penelitian.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Data merupakan bagian terpenting dalam penelitian, karena hakekat dari

(53)

penelitian kebijakan pengumpulan data diperlukan suatu teknik untuk

memudahkan dalam upaya-upaya mengumpulkan data di lapangan.

Dalam pengumpulan data, terdapat 3 (tiga) proses kegiatan yang dilakukan

dalam penelitian ini, yaitu :

a) Wawancara atau interview

Menurut Lincoln dan Guba dalam Moleong (2007 : 186), wawancara adalah

percakapan dengan maksud tertentu dan dilakukan oleh dua pihak yaitu

pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara

(interview) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.

Wawancara jenis ini tidak dilaksanakan dengan struktur ketat, tetapi dengan

pertanyaan yang semakin memfokus pada permasalahan sehingga informasi

yang dikumpulkan cukup mendalam. Kelonggaran semacam ini mampu

mendapatkan kejujuran informan untuk memberikan informasi yang

sebenarnya, terutama yang berkenaan dengan perasaan, sikap dan pandangan

mereka terhadap pelaksanaan kerjanya. Teknik wawancara semacam ini

dilakukan dengan semua informan yang ada pada lokasi peneliti terutama

untuk mendapat data valid guna menjawab permasalahan penelitian. Dalam

penelitian ini yang diwawancarai adalah : Kepala Bidang Usaha Mikro, Kecil

dan Menengah Dinas Koperasi Pemkot Surabaya, Paguyuban Sentra PKL

(54)

b) Pengamatan atau Observasi

Observasi dilakukan oleh peneliti untuk mengungkap dan memperoleh

deskripsi secara utuh dengan pengamatan langsung kepada para PKL, mulai

dari peringatan untuk penataan, sosialisasi dalam melaksanakan penataan

sampai dengan pelaksanaan penataan pedagang kaki lima di Jl. Gubeng pojok

kota Surabaya.

c) Dokumentasi

Teknik dokumentasi dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yang

dilaksanakan dengan cara mengumpulkan data dalam penataan yang

berhubungan dengan penataan PKL dalam bentuk gambar / foto.

3.5. Analisa Data

Menurut Sugiyono (2005:85), analisis data adalah proses mencari dan

menyusun secara sitematis data yang diperoleh dari hasil wawancara catatan

laporan, dan dokumen dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,

menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola,

memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan

sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka setelah data terkumpul, proses

selanjutnya adalah menyederhanakan data yang diperoleh ke dalam bentuk yang

mudah dibaca, dipahami, dan diinterpretasikan yang pada hakekatnya merupakan

upaya mencari jawaban atas permasalahan yang ada sesuai dengan tipe penelitian

(55)

secara kualitatif, artinya dari data yang ada dianalisa serinci mungkin dengan jalan

mengabstraksikan secara teliti setiap informasi yang diperoleh di lapangan,

sehingga diharapkan dapat diperoleh kesimpulan yang memadai.

Menurut Miles dan Huberman (1992:16) teknik analisis data kualitatif

meliputi tiga unsur alur kegiatan sebagai sesuatu yang terjadi pada saat sebelum,

selama dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk sejajar untuk membangun

suatu analisis, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan /

verifikasi.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

dengan menggunakan model interaktif (interactive model of analysis) yang

dikembangkan oleh Miles dan Huberman (2007:15-21). Dalam model ini terdapat

tiga komponen analisis, yaitu sebagai berikut :

a. Reduksi Data

Reduksi Data diartikan sebagai proses pemilihan, perumusan, pemusatan

perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar

yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan suatu

bentuk analisa menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang

tidak perlu hingga kesimpulan-kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan

diverifikasi. Data yang diperoleh dari lokasi penelitian atau data di lapangan

dalam uraian yang jelas dan lengkap, yang nantinya akan direduksi, dirangkai,

difokuskan pada hal-hal yang berkaitan dengan penelitian kemudian dicari

tema atau pola (melalui proses penyuntingan, pemberian kode dan pembuatan

(56)

b. Penyajian Data

Penyajian data merupakan sekumpulan informasi yang telah tersusun secara

terpadu dan sudah dipahami yang memberi kemungkinan adanya penarikan

kesimpulan dan mengambil tindakan.

c. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi

Penarikan kesimpulan dilakukan secara terus menerus sepanjang proses

penelitian sejak peneliti memasuki lokasi penelitian dan proses pengumpulan

data langsung, peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari pola, tema,

hubungan, persamaan, dan hal-hal yang sering timbul yang dituangkan dalam

kesimpulan.

Proses analisa data secara interaktif ini dapat disajikan dalam bentuk

(57)

Analisa Data

Sumber : Miles dan Huberman (1992 : 20)

3.6. Keabsahan Data

Menurut Moleong (2007:324), untuk menetapkan keabsahan

(trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik

pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada 4 (empat) kriteria

yang digunakan, yaitu :

1. Derajat Kepercayaan (Credibility)

Penerapan kriterium derajat kepercayaan (kredibilitas) pada dasarnya

menggantikan konsep validitas internal dari non kualitatif. Kriterium ini

berfungsi untuk melaksanakan inkuiri sedemikian rupa sehingga tingkat

kepercayaan penemuannya dapat dicapai dan mempertunjukkan derajat

Pengumpulan Data Penyajian Data

Reduksi Data

(58)

kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada

kenyataan ganda yang sedang diteliti.

2. Keteralihan (tranferality)

Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara

konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan pengalihan tersebut

seorang peneliti hendaknya mencari dan mengumpulkan kejadian empiris

tentang kesamaan konteks dengan demikian peneliti bertanggung jawab untuk

menyediakan data deskriptif secukupnya jika ia ingin membuat keputusan

tentang pengalihan tersebut. Untuk keperluan itu peneliti harus melakukan

penelitian kecil untuk memastikan usaha memverifikasi tersebut.

3. Kebergantungan (dependability)

Kebergantungan merupakan substitusi istilah reliabilitas dalam penelitian yang

nonkualitatif. Pada cara nonkualitatif yaitu dengan diadakan pengulangan

studi dalam suatu kondisi yang sama dan hasilnya secara esensial sama maka

dikatakan reliabilitas ditunjukkan dengan mengadakan replikasi studi. Jika dua

atau beberapa kali diadakan pengulangan suatu studi dalam kondisi yang sama

dan hasilnya secara esensial sama, dikatakan reliabilitasnya tercapai. Hal ini

benar sama dengan alamiah yang mengandalkan orang sebagai instrument.

Mungkin karena kelebihan, atau karena keterbatasan mengingat sehingga

membuat kesalahan-kesalahan. Namun, kekeliruan yang dibuat orang

demikian jelas tidak mengubah keutuhan kenyataan yang distudi. Konsep

kebergantungan lebih luas daripada reliabilitas. Hal tersebut disebabkan oleh

(59)

yaitu yang ada pada reliabilitas itu sendiri ditambah faktor-faktor lainnya yang

bersangkutan.

4. Kepastian (confirmability)

Kepastian berasal dari konsep objektivitas menurut nonkualitatif.

Nonkualitatif menetapkan objektivitas dari segi kesepakatan antar subjek.

Disini pemastian bahwa sesuatu itu objektif atau tidak bergantung pada

persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat, dan penemuan

seseorang. Dapatlah dikatakan bahwa pengalaman seseorang itu subjektif

sedangkan jika disepakati oleh beberapa orang atau banyak orang, barulah

dapat dikatakan objektif. Hal itu digali dari pengertian bahwa jika sesuatu itu

objektif, berarti dapat dipercaya, faktual dan dapat dipastikan.

Berdasarkan hal tersebut diatas, jelaslah bahwa data yang diperoleh di

lapangan tidak dibuktikan dengan angka-angka tetapi berisikan uraian-uraian

sehingga menggambarkan hasil yang sesuai dengan data yang telah dianalisa

kemudian diinterpretasikan. Masalah yang dihadapi diuraikan dengan berpatokan

pada teori-teori serta temuan yang diperoleh pada saat penelitian tersebut,

Gambar

Gambar 1
Gambar 2 Struktur Organisasi Dinas Koperasi
Tabel 4.1 Komposisi Pegawai Berdasarkan Pangkat / Golongan
Tabel 4.2 Komposisi Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

terhadap masing-masing kuat tekan beton (f c ’). Berdasarkan hasil perhitungan yang peneliti lakukan, maka untuk nilai biaya pembuatan konstruksi balok yang paling

1. Memberikan terapi trauma healing Trauma healing adalah salah satu metoda dalam pemberian terapi yang dapat menghilangan trauma masa lalu seseorang. Pada pengabdian

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nuraeni tahun 2011 yang meneliti Penggunaan Model Connected Mathematics task (CMT) Untuk meningkatkan kemampuan Pemecahan

Masukan dari suatu proses yang dapat diubah -ubah atau dimanipulasi agar process variable besarnya sesuai dengan set point (sinyal yang diumpankan pada suatu sistem kendali yang

OXCY MEDIA TELEVISI yang merupakan pemilik BCTV sebelumnya merupakan salah satu stasiun jaringan dari stasiun Kompas TV yang secara progresif memberikan tayangan

[r]

a All requested

Tujuan ini adalah tujuan pendidikan yang disesuaikan dengan keadaan tertentu, baik berkaitan dengan cita-cita pembangunan suatu bangsa, ataupun bakat kemampuan peserta