PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sudah menjadi
sunnatull
É
h
al-kauniyah terjadinya perselisihan (ikhtil
É
f)
dan perpecahan (iftir
É
q) ditengah kaum muslim sebagaimana terjadi di tengah
Bani Israil. Nabi
1menegaskan hal ini dalam banyak sabdanya, di antaranya:
ىً َ ْ ِ ىَْ ِ ْ َ َ ىِْ ََفَ َْ ِ ىْ َ ى َ ْ ِ ى َ َ ىُ ْ ُ ََل ْ ى ِ َ َ ََف ْ
ى,
ىْ َ ى َ ْ ِ ى َ َ ى َراَص ى ِ َ َ ََف ْ َ
ىً َ ْ ِ ىَْ ِ ْ َ َ ىِْ ََفَ َْ
ى,
ىً َ ْ ِ ىَْ ِ ْ َ َ ى ٍثَاَ ى َ َ ىِِْمُ ىُقََِْفََتَ
Artinya:
“Yahudi terpecah belah menjadi 71 atau 72 golongan, Na
Î
rani terpecah
belah menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah belah
menjadi 73 golongan
”
.
2Dalam riwayat yang lain disebutkan:
ىِ َْْ ىِِْىٌةَ ِ َ َ ىِرا ىِِْىَنْ ُ َْ َ ىَ ىِناَفْ ِ ىَْ ِ ْ َ ىَ ى ٍثَاَ ى َ َ ىُقََِْفََفَ ىَ ِمْ ىِهِذَهىنِ َ
ىِ َ اَمَْْ ىَ ِهَ
Artinya:
“
Dan sesungguhnya agama ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72
akan masuk Neraka dan yang satu akan masuk Surga yaitu
al-jam
É
‟ah
”.
3Dalam riwayat Turmu
Ê, disebutkan dengan lafal:
ىِِْاَحْصَ ىَ ىِهْلَ َ ىَانَ ىاَمىًةَ ِ َ ىً ِمىاِ ىِرا ىِِْىْمُ ُك
1 MuÍammad IsmÉ‟Êl al-Øan‟ÉnÊ, ×adÊtsu IftirÉqil Ummah IlÉ Nayyifin Wa Sab‟Êna
Firqah, TaÍqÊq Sa‟ad „Abdullah Sa‟dÉn, (RiyÉÌ: DÉr „ÓÎimah, Cet. 1, 1424 H), h. 48.
2 HR. al-×Ékim dalam al-Mustadrak, Jilid I, h. 128, ia berkata bahwa hadis tersebut
adalah sahih sesuai syarat Muslim, pendapat ini disepakati oleh al- ahabÊ.ى Hadis ini di-Íasan-kan oleh SÉlim bin „Ôd al-HilÉlÊ, LimÉ a Ikhtartu al-Manhaj al-SalafÊ, (DammÉm: DÉr Ibn al-Qayyim, Cet.1, Th. 1422 H), h. 39.
3 HR. Ibnu MÉjah , Kitab: al-Fitan, Jilid. II/ 1322, No: 3993. Hadis ini di-Íasan-kan oleh
Artinya:
“Semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan yaitu yang
berjalan di atas jalan yang aku bersama para
s
ahabatku berada
diatasnya
”
.
4Hanya saja tercerai berainya umat Islam belumlah terjadi di masa Nabi
karena semua perselisihan yang terjadi mendapatkan penyelesaian melalui wahyu
yang ketika itu masih turun. Di masa ke-khil
É
fah-an Abu bakar,
„
Umar, dan
„
UtsmÉn
, kaum muslim masih dalam satu persatuan dan pemahaman keislaman.
Hingga di masa akhir khalifah
„
UtsmÉn
dan awal ke-khil
É
fah-an
„
AlÊ
mulai
bermunculanlah kebidahan dalam hal ibadah dan perselisihan dalam masalah
u
ÎË
lu al-d
Ê
n dan keimanan yang mengakibatkan mulai bermunculannya
firqah
dalam Islam. Adalah
firqah KhawÉrij
5kemudian
firqah SyÊ
‟ah
6dan diikuti oleh
4 HR. Turmu Ê No: 2641, al-×Ékim dalam al-Mustadrak, Jilid I, h. 129. Hadis ini
diÍasankan oleh al-AlbÉni dalam Silsilah al-AhÉdits al-ØaÍÊÍah No: 203, 204, dan 1492, dan SÉlim bin „Ôd al-HilÉlÊ, Ibid, h. 39.
5
KhawÉrij adalah firqah yang pertama kali keluar dari Islam dan kemunculan mereka adalah di antara bukti nubuwwah karena Nabi dalam banyak hadisnya telah mengisyaratkan kemunculannya. KhawÉrij berasal dari kata KhÉrijah (yang keluar), asal penamaan tersebut disebabkan karena mereka keluar dari ketaatan kepada „AlÊ ىdan memeranginya. Ketika itu mereka berkumpul di daerah ×arËrÉ‟, jumlah mereka ada sekitar 12.000 orang, sehingga mereka disebut juga dengan ×arËriyah. Sebab keluarnya mereka dari ketaatan adalah penolakan mereka
terhadap TaÍkÊm yang dilakukan oleh „AlÊ, mereka menganggap bahwa hal tersebut adalah
kekufuran. „AlÊ ىmengutus ‘Abdullah bin ‘AbbÉs ىuntuk mengajak mereka berdialog sehingga
kembalilah sebagian besar mereka kepada ‘AlÊى.
Sebutan KhawÉrij kemudian diperuntukkan untuk menyebut mereka yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin yang disepakati oleh jamaah dan mereka yang mengkafirkan para pelaku dosa besar (murtakibu al-kabÊrah) dan menyerukan pemberontakan kepada imam (penguasa) yang melanggar sunah sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan. Firqah ini terpecah belah menjadi beberapa sekte dan yang tersisa darinya adalah IbÉÌiyyah sedangkan pemikiran dari firqah ini adalah masih eksis sampai hari ini. Lihat: al-Asy‟arÊ, MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn wa IkhtilÉfu al-MuÎallÊn, TaÍqÊq Na‟Êm Zarzur, (Beirut: al-Maktabah al-‟AÎriyyah, Cet. 1, Th. 2005),
h. 167, „Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq, (Beirut: DÉr al-ÓfÉq, Cet. 2, Th. 1977 M), h. 72-73, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, TaÍqÊq MuÍammad Sayyid al-KailÉnÊ, (Beirut: DÉr al-Ma‟rifah, Th, 1404 H), Jilid I, h. 114, „AlÊ„Abd al -FattÉÍ al-MaghribÊ, al-Firaq al-KalÉmiyah al-IslÉmiyah Madkhal wa al-DirÉsah, (Kairo: Maktabah al-Wahbah, Cet. 3, Th. 1415 H), h. 169-195 dan GhÉlib bin „AlÊ al-„AwajÊ, Firaqun
Mu‟ÉÎarah Tantasibu ilÉ al-IslÉm, (Jedah: al-Maktabah al-„AÎriyah al-Úahabiyah, Cet. 4, Th. 1422
H), Jilid I, h. 226-244. 6SyÊ’ah
pada awalnya adalah sebutan untuk mereka yang condong (menganggap) bahwa
firqah-firqah
yang lain seperti Murji‟ah
7, Mu‟tazilah
8, Jahmiyah
9, Qadariyah
10,
Asy‟ariyah
11, MÉturÊdiyah
12,
al-Nus
Ë
k (Tasawuf
13), dan lain-lain.
14Sehingga dari
menganggap bahwa ‘AlÊى adalah tuhan. Mereka memiliki uÎËl akidah yang bertolak belakang dengan ajaran Islam seperti kemaksuman para imam mereka (al-‘ishmah) dan bahwa kedudukan mereka lebih mulia dan utama dari para Nabi dan Rasul, taqiyah (menyembunyikan keimanan),
raj’ah (reinkarnasi), dan lain-lain. Firqah ini disebut pula dengan RÉfiÌah (orang yang menolak),
sebab penamaannya adalah ketika Zaid bin ‘AlÊ ى -salah seorang imam SyÊ’ah- menolak mengkafirkan Abu Bakar dan ‘Umar maka mereka menyatakan bahwa mereka adalah
RÉfiÌah (menolak Zaid bin ‘AlÊى). Sebutan inilah yang pantas untuk mereka setelah terjadinya
fitnah di masa ‘AlÊ karena mereka memiliki keyakinan atas kafirnya seluruh sahabat dan istri Nabi kecuali hanya beberapa orang saja. SyÊ’ah terpecah belah menjadi lebih dari 15 firqah,
adapun di masa ini yang dominan adalah sekte IsmÉ’Êliyah, ItsnÉ ‘Asyariyah, BÉÏiniyah, dan
Zaidiyah. Lihat al-Asy‟arÊ, MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn, h. 65, „Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq, h. 29, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid I, h. 146, dan GhÉlib bin „AlÊ al-„AwajÊ, Żiraqun Mu‟ÉÎirah Tantasibu ilÉ al-IslÉm, (Jedah: al-Maktabah al-„AÎriyah al-Úahabiyah, Cet. 4, Th. 1422 H), Jilid I, h. 303-346. Untuk mendapatkan
informasi tentang firqah SyÊ’ah dapat merujuk kepada disertasi doctoralNÉÎir „Abdullah al-QifÉrÊ, UÎËlu Ma habi al-SyÊ‟ah ItsnÉ„Asyariyah „ArÌun wa Naqdun (KSA: DÉr al-RiÌÉ, Cet. 1, TT).
7Murji‟ah adalah
firqah yang menganggap bahwa amalan anggota badan tidak termasuk dari keimanan, keimanan seseorang tidaklah dapat dipengaruhi oleh kemaksiatan apapun sebagaimana ketaatan tidaklah akan bermanfaat bagi mereka yang kafir kepada Allah . Menurut mereka iman adalah sekedar mengenal (al-ma‟rifah) dan bahwa ia adalah sesuatu yang tetap keberadaannya, ia tidak naik dan tidak turun sehingga tidak ada perbedaan keutamaan hamba di hadapan Allah . Lihat al-Asy‟arÊ, MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn, h. 213, „Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq, h. 29, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-SyahrastÉnÊ, Milal wa al-NiÍal, Jilid I, h. 139, dan GhÉlib bin „AlÊ al-„AwajÊ, Żiraqun Mu‟ÉÎarah Tantasibu ilÉ al-IslÉm, (Jedah: al-Maktabah al-„AÎriyah al-Úahabiyah, Cet. 4, Th. 1422 H), Jilid III, h. 1069-1125.
Murji‟ah terbagi menjadi dua; Pertama, Murji‟ah FuqahÉ‟ yaitu mereka yang berpendapat bahwa amalan bukanlah syarat atau bagian dari iman, pendapat ini banyak dipegang oleh AÍnÉf (pengikut mazhab ×anafÊ) dan pendapat ini adalah marjËh dan bertentangan dengan Alquran, sunah, dan pendapat salaf. Kedua, Murji‟ah Mubtadi‟ah, mereka adalah Jahmiyah yang berpendapat bahwa keimanan adalah sekedar pengenalan kalbu (ma‟rifatu al-qalb). Lihat „ÔsÉ MÉlullÉh Faraj, al-Mukhtashar al-HatsÊts fÊ BayÉni UÎËli manhaji al-Salaf AÎÍÉbi al-×adÊts fÊ
Talaqqi al-DÊn wa Fahmihi wa al-‘Amal bihi, (Kuwait: GhirÉs, Cet. 2, Th. 1430 H), h. 34.
8Mu‟tazilah adalah salah satu firqah dalam Islam yang muncul pada awal abad kedua
hijrah dan mengalami puncak kejayaan di masa khilÉfah Abbasiyah yang pertama. Penamaan
Mu‟tazilah diambil dari kata al-i‟tizÉl (memisahkan diri), karena pemimpin mereka yang bernama WÉÎil bin „AÏÉ‟ memisahkan diri dari Íalaqah ×asan al-BaÎrÊ, yaitu ketika ia ditanya tentang
hukum pelaku dosa besar, ia (×asan al-BaÎrÊ) menjawab, ‘bahwa ia tetap beriman’. Ketika itu WÉÎil bin „AÏÉ‟ mengatakan, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir akan tetapi ia berada di antara dua kedudukan (al-manzilah baina al-manzilatain). Kemudian WÉÎil bin „AÏÉ‟
memisahkan diri dan diikuti oleh „Amr bin „Ubaid dan kemudian diikuti oleh pengikut mereka berdua dan mereka dinamakan Mu‟tazilah.
Firqah ini memiliki ciri mendahulukan akal dari pada naqal, bahkan mereka berlebih-lebihan dalam mengkultuskan akal sehingga menjadikannya sebagai tolok ukur kebenaran yang bersifat qaÏ‟Ê sedangkan dilÉlah nas-nas syariat adalah ÐannÊ. Firqah ini memiliki dua pusat madrasah; Pertama, madrasah BaÎrah dan di antara mereka adalah WÉÎil bin „AÏÉ‟, „Amr bin
„Ubaid, Abu Hu ail al-„AllÉf, IbrÉhÊm al-NaÐÐÉm, dan al-JÉhi . Kedua, madrasah Baghdad dan di
ma‟rËf wa al-nahyu „an al-munkar. Pemahaman mereka atas lima uÎËl akidah di atas adalah berbeda dengan Ahlusunah waljamaah. Dan Mu‟tazilah dengan seluruh firqahnya bersepakat atas kewajiban mengambil al-uÎËl al-khamsah, dan tidaklah seseorang dikatakan sebagai mu‟tazilÊ melainkan apabila ia harus meyakininya.
Disebutkan dalam al-BurhÉnu fÊ „AqÉidi Ahli al-AdyÉn, h. 26-27, bahwa mazhab
Mu‟tazilah adalah gabungan dari akidah Jahmiyah dalam menafikan ÎifÉt Allah dan akidah Qadariyah dalam mengingkari takdir dan akidah I‟tizÉl. Mereka bersepakat atas penafian ÎifÉt Allah dan bahwa KalÉm Allah adalah muÍdats. Dia (Allah ) berbicara dengan suatu pembicaraan yang Ia ciptakan pada selain diri-Nya sehingga menurut mereka Alquran adalah makhluk. Mereka juga berakidah bahwa Allah tidaklah menciptakan perbuatan hamba akan tetapi hambalah yang menciptakan perbuatan mereka sendiri, mereka menyatakan bahwa seseorang bisa terbunuh sebelum tiba ajalnya, sebagaimana pula mereka mengingkari syafÉ‟at
Nabi untuk para pelaku dosa besar di hari Kiamat. Lihat: MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn, h. 235, „Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq, h. 114, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid I, h. 46-49, „AlÊ„Abd al-FattÉÍ al-MaghrÊbÊ, Firaq al-KalÉmiyah, h. 196-266, GhÉlib bin „AlÊ al-„AwajÊ, Żiraqun Mu‟ÉÎarah, Jilid III, h. 1201, dan lihat pula Ta„lÊq Abu „AbdurraÍman NabÊl ØalÉh „Abd al-MajÊd SÉlim atas al-IbÉnah (Mesir: DÉr al-BaÎÊrah, Cet. 1, Th. 2003), h. 59-60.
9
Jahmiyah adalah firqah sesat yang muncul di awal abad kedua hijrah setelah masa sahabat. Penamaan firqah ini adalah nisbah kepada Abu MuÍriz Jahm bin ØafwÉn (w. 128 H)
al-ÌÉll al-mubtadi‟ yang mana ia mengambil akidahnya dari Ja‟ad bin Dirham (w. 124 H) dan kemudian menjadi penerus pendapat-pendapatnya. Mereka mengingkari ÎifÉt Allah dengan anggapan tanzÊh (penyucikan) Allah dari tasybÊh sehingga mereka disebut juga dengan
Mu‟aÏÏilah, dan mereka juga menyatakan bahwa Alquran adalah makhluk, dan bahwasanya Allah
berada di semua tempat. Mereka mengingkari kekekalan surga dan neraka. Lihat: AÍmad bin
„AbdurraÍman bin „UtsmÉn al-QÉÌÊ, MaÐÉhibu Ahli al-TafwÊÌ fi NuÎËÎi al-ØifÉt 'ÓrÌun wa Naqdun, (RiyÉÌ: DÉr al-'AÎimah, TT), h. 26-29,GhÉlib bin „AlÊ al-„AwajÊ, Żiraqun Mu‟ÉÎarah, Jilid III, h.
1129-1160, dan Ta„lÊq Abu „AbdurraÍman NabÊl ØalÉh „Abd al-MajÊd SÉlim atas al-IbÉnah, h. 64.
10 Qadariyah adalah sebutan bagi mereka yang mengingkari takdir, adapun bidah
pengingkaran terhadap takdir pertama kali disuarakan oleh Ma‟bad al-JuhanÊ di BaÎrah di masa akhir generasi sahabat. Firqah ini mengingkari ilmu Allah dan mengatakan bahwa semua kejadian terjadi begitu saja (al-amru unufun) tanpa ada ketetapan takdir sebelumnya. Firqah ini disebut dengan GhulÉt Qadariyah, kemudian firqah ini berkembang dan mazhab mereka dalam
masalah takdir diikuti oleh Mu‟tazilah, hanya saja yang membedakan antara keduanya adalah
Mu‟tazilah menetapkan ilmu bagi Allah dan menyatakan bahwa hamba menciptakan
perbuatannya sendiri. Lihat: „Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq, h. 117-120, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid I, h. 43 dan AÍmad bin
„AbdurraÍman bin „UtsmÉn al-QÉÌÊ, MaÐÉhibu Ahli al-TafwÊÌ, h. 25.
11
Pembahasan tentang firqah ini ada di Bab IV.
12MÉturÊdiyah adalah firqah kalÉmiyah yang dinisbatkan kepada Abu ManÎËr MuÍammad
bin MuÍammad al-MÉturÊdÊ (w. 333 H). Firqah ini dalam masalah uÎËl akidahnya mirip dengan
Asy’ariyah, sehingga dalam banyak hal ia mencocoki Ahlusunah dan berbeda dalam hal-hal yang lain seperti masalah tauhid, penetapan sebagian ÎifÉt Allah , dalam masalah iman mereka sejalan
dengan Murji’ah dalam pendapat bahwa amalan bukan termasuk rukun keimanan, dan bahwa ia tidaklah dapat naik atau turun. Untuk memperoleh gambaran tentang firqah ini dapat merujuk
kepada MuÍammad bin ‘AbdurraÍman al-Khumayyis, ×iwÉrun Ma’a Asy’ariyyin wa yalÊhi al
-MÉturÊdiyah Raibatu al-KullÉbiyah, (RiyÉÌ: Maktabatu al-Ma’Érif li al-Nasyri wa al-TawzÊ’, Cet.
1, Th. 1426 H), h. 155-168.
13 Ibnu Taimiyah cenderung menilai bahwa Tasawuf adalah nisbah kepada pakaian ÎË
sini semakin tajamlah perpecahan dan perselisihan di tengah umat Islam,
mengingat setiap
firqah memiliki
u
ÎË
l yang mereka pertahankan. Hal ini
merupakan bukti kebenaran apa yang disabdakan oleh Nabi
di atas.
15Secara lebih khusus, Nabi
telah menjelaskan jalan keluar dari
perselisihan yang terjadi di tengah umat sepeninggalnya. Beliau
bersabda:
ى
ىَنْيِ ِش ىِءاَفَ ُْْ ىِ ُ ىَ ىِِْ ُسِبىْمُكْلَ َ ََ ى ً َْلِثَكىاً َاِفْخِ ى َ ََلَسَ ىْيِ ْ ََبىْمُكْ ِمىْشِ َيىْنَمىُهنِإَ
ىِذ ِا َ َ اِبىاَ َْلَ َ ى َ ىْيِ ْ ََبىْنِمىَْ َيِ ْ َمْ
Artinya:
“
Sesungguhnya siapa saja yang hidup setelahku ia akan melihat
perselisihan yang sangat banyak, maka hendaklah kalian berpegang
teguh dengan sunahku dan sunah para al-Khulaf
É
' al-R
É
syid
Ê
n yang
mendapatkan petunjuk setelahku dan gigitlah ia dengan gigi
geraham
”
.
16Ibnu Abbas
(w. 68 H) meriwayatkan bahwa Nabi
bersabda:
ىِِْ ُ ىَ ىِه ىَباَفِكىىً َبَ ىى ْ ِ َتىْنَ ىاَمِِِىْمُفْكسَََىْنِ ىاَمىْمُكْلِ ىُ ْكَ ََت
Artinya:
“Aku telah meninggalkan ditengah-tengah kalian dua hal yang kalian
tidak akan pernah tersesat selama kalian berpegang teguh dengan
keduanya: kitab Allah
dan sunnahku
”
.
17olah hati dan zuhud agar berpegang kepada Alquran dan sunah. Kelompok ini adalah termasuk Ahlusunah, di antara mereka adalah al-Junaid bin Muhammad yang telah berkata, „Ilmu kita dibatasi oleh Alquran dan sunah, maka barangsiapa belum membaca Alquran dan menulis Hadis
tidaklah layak berbicara dengan ilmu kita‟. Kedua, mereka yang memasukkan berbagai macam bidah, kefasikan, dan penyimpangan ke dalam tarekat mereka. Mereka telah keluar dari Ahlusunah dan telah dikecam oleh Allah , Rasulullah dan wali-wali yang bertaqwa. Di antara kebidahan yang mereka perbuat adalah menganggap bahwa ada sebagian wali yang dapat keluar dari syariat Nabi Muhammad , setara dengannya, atau bahkan lebih hebat darinya. (al-Raddu „ala al -ManÏÊqiyyÊn, h. 514-516 dan al-Øafdiyyah, Jilid I, h. 267) dengan perantaraan AÍmad bin Abd
al-„AzÊz al-×ulaibÊ, UÎËlu al-×ukmi „ala al-Mubtadi‟ah „Inda Syaikh al-IslÉm Ibn Taimiyah, dengan terjemah Dasar Membid‟ahkan Orang Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, (Surabaya: Elba, Cet. 1, Th. 2007), 69.
14 NÉÎir „Abdullah al-QifÉrÊ, UÎËlu Ma habi al-SyÊ‟ah al-ImÉmiyah al-ItsnÉ „Asyariyah
„ArÌun wa Naqdun (Tanpa Penerbit, Cet. 2, Th. 1415 H), Jilid. I, h. 5-6.
15 MuÍammad BaKarim MuÍammad BaAbdullah, WasaÏ
iya tu Ahli Sunnah Baina al-Firaq, (Jeddah: DÉr al-RÉyah, Cet. 1, Th. 1994), h. 289.
16
HR. AÍmad dalam al-Musnad, Jilid. IV/ 126 dan Abu Dawud No: 4607 disahihkan oleh al-AlbÉnÊ dalam ØahÊh al-JÉmi‟, No: 2546.
17 HR. Al-×Ékim dalam al-Mustadrak, Jilid. I/ 93 dan disahihkan oleh al-AlbÉnÊ dalam
Dua hadis diatas menjelaskan bahwa perselisihan di tengah umat Islam
merupakan suatu keniscayaan dan jalan keluar darinya adalah dengan berpegang
teguh dengan sunah beliau
dan para sahabatnya.
Syaikh
„Abdullah al
-GhunaimÉn menjelaskan bahwa sebab perselisihan
dan perpecahan ditengah umat Islam disebabkan oleh dua sebab utama, yaitu:
181.
Sebab-sebab dari dalam umat Islam, di antaranya;
a.
memperturutkan hawa nafsu. Hal inilah pendorong utama seseorang untuk
menyimpang dari kebenaran dan menolaknya.
b.
kebodohan. Hal ini adalah penyebab utama yang menyebabkan seseorang
jatuh pada kebidahan dan perselisihan.
c.
sikap melampaui batas yang telah ditetapkan oleh syariat (al-ghuluw dan
al-ifr
ÉÏ
). Hal ini adalah sebab yang mendorong terjadinya
firqah dalam
Islam. Di antara contoh riil dari hal ini adalah
ghuluw-nya SyÊ
‟ah kepada
„
AlÊ bin Abi
ÙÉlib
dan para imam mereka sehingga muncul keyakinan
adanya
al-
‟i
Î
mah pada imam-imam mereka, demikian pula
ghuluw-nya
KhawÉrij terhadap ayat-ayat
wa‟
Ê
d (ancaman), dan ghuluw-nya Jabariyah
19dalam penetapan takdir.
d.
ta‟w
Ê
l terhadap nas-nas syariat dengan tanpa dalil. Hal ini adalah di antara
penyebab utama terjadinya iftir
É
q dan ibtid
É
‟ di tengah-tengah umat. Ibnu
18„Abdullah al-GhunaimÉn, AsbÉ
bu ÚuhËri al-Firaq al-IslÉmiyah, Majallah Kuliyyatu UÎËli al-DÊn JÉmi‟atu al-ImÉm, Volume. 2, Th. 1399 M/ 1400 H, h. 154.
19 Firqah ini adalah kebalikan dari firqah Qadariyah, mereka yang berlebihan dalam
menetapkan takdir sehingga menafikan ikhtiar hamba, sehingga tak ubahnya makhluk adalah boneka-boneka Allah , mereka mengingkari irÉdah syar‟iyah bagi Allah dan mengatakan bahwa kekafiran dan kemaksiatan adalah sesuatu yang diinginkan dan dicintai oleh-Nya. Lihat:
Qayyim (w. 751 H)
menjelaskan, ”tidaklah terpecah
-belah
Ahlu al-Kit
É
b
dan umat Islam melainkan disebabkan mereka menggunakan ta‟w
Ê
l, dan ia
adalah sebab tertumpahnya darah kaum muslim di perang
ØiffÊn dan
Jamal
”
.
20e.
menjadikan akal sebagai tolok ukur dalam menerima nas-nas syariat. Ini
merupakan salah satu
prinsip Mu‟tazilah dalam menerima
nas. Al-QÉÌÊ
„
Abd al-JabbÉr menjelaskan, bahwa dalil itu diambil dari empat hal; ke
-hujah
-
an akal, Alquran, sunah, dan ijm
É
‟
, sedangkan pengenalan terhadap
Allah
hanya dapat diperoleh dengan akal.
212.
Sebab-sebab dan pengaruh dari luar umat Islam, di antaranya;
a.
adanya pembukaan-pembukaan wilayah Islam (fut
ËÍÉ
t isl
É
miyah) yang
menyebabkan infiltrasi budaya dan pemikiran
22dari luar Islam.
b.
banyaknya umat lain yang masuk Islam dalam keadaan belum bersih
akidah, sehingga menimbulkan pengaruh dalam pemahaman keislaman.
20
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I‟lÉmu al-MuwÉqqi‟Ên „an Rabbi al-„ÓlamÊn TaÍqÊq ÙÉhÉ
„Abd al-Ra‟Ëf Sa‟ad, (Beirut: DÉr al-JÊl, Th. 1973), Jilid. IV, h. 317.
21 SyarÍ UÎËli al-Khamsah, h. 88 dinukil dari MuÍammad BaKarim MuÍammad
BaAbdullah, WasaÏiyatu Ahli al-Sunnah, h. 300.
22 Secara etimologi, “pemikiran” berarti proses, cara, atau perbuatan berpikir. Lihat,
Kamus Bahasa Indonesia, hal. 1181. Dalam pengertian istilah, “pemikiran” dapat dipahami
sebagai sesuatu yang dimaksud kalimat “apa yang ada dalam diri mereka”. Ini dapat dipahami
dari firman Allah : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada ada dalam diri mereka sendiri” (QS. Al-Ra‟du: 11). Dengan demikian bidang pemikiran menyangkut suatu wujud batiniah yang sangat eksistensial yang berperan membentuk, mempertahankan atau mengembangkan apa yang ada pada suatu kaum, seperti kekayaan, keruntuhan, keadaan masa depan dan sebagainya. Apa yang ada dalam diri manusia, termasuk di antaranya pemikiran menjadi jelas. Oleh karena adanya keinginan perubahan
“nasib” suatu kelompok manusia, maka salah satu yang amat penting adalah usaha ke arah
c.
penerjemahan kitab-kitab filsafat dan mantik (logika) Yunani, serta usaha
untuk mempelajari dan mendalaminya. Sejarah mencatat bahwa diantara
sebab yang menyebabkan perpecahan ditengah umat islam adalah
masuknya ilmu kal
É
m
23yang sangat terpengaruh oleh ilmu mantik (logika)
dan filsafat Yunani ke negeri-negeri Islam. Ilmu mantik ini muncul sejak
800 tahun sebelum Islam, karena Aristoteles sang pencetus ilmu ini lahir
pada tahun 384 sebelum Masehi. Adapun filsafat
24, maka dia muncul
23 Menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H), ilmu kalÉm adalah ilmu yang membahas
permasalahan akidah dan iman dengan berdasarkan dalil-dalil akal semata serta membantah para ahli bidah yang menyimpang dari mazhab Salaf dan Ahlusunah. Dikemudian hari ilmu tersebut tercampuri oleh filsafat sehingga sulit untuk dibedakan. Secara etimologi al-kalÉm berarti pembicaraan, sebab penamaan tersebut tidak lain karena ilmu tersebut sebenarnya adalah pembicaraan atau argumentasi akal tentang akidah dan iman dengan tanpa mengindahkan nas-nas
syariat. Ilmu ini disandarkan kepada Mu‟tazilah, dan pertama kali digunakan dalam memahami
akidah dan iman di masa „Amr bin „Ubaid (w. 114 H) di mana ia mengggunakannya untuk mengingkari takdir dan memahami nas-nas yang berisi janji dan ancaman (al-wa‟du wa al-wa‟Êd). Kemudian di masa al-„AllÉf dan al-NaÐÐÉm dan setelahnya dari mutakallimËn, mereka pergunakan untuk menafikan sifat-sifat Allah . Lihat „AbdurraÍman Ibn Khaldun, MuqaddimÉt Ibn Khaldun, (Alexandria: DÉr Ibn Khaldun, TT), h. 458, „AlÉ‟ Bakr, MalÉmiÍ RaÊsiyyah li al-Manhaj al-SalafÊ, (Mesir: Maktabah al-FayyÉÌ, Cet. 1, Th. 1432 H), h. 223, dan „Abdullah Zaen, Imam Syafi‟i Menggugat Syirik, (Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, Cet. 1, Th. 1428 H), h. 16.
24 Kata filsafat (al-falsafah) adalah kata „ajam yang berarti hikmah (al-Íikmah), lihat
LisÉn al-„Arab, XI/ 180. Sedangkan kata Filosof, ia berasal dari bahasa Yunani, yaitu filo yang berarti orang yang mencintai dan sofia yang berarti hikmah, sehingga ia bermakna orang yang mencintai hikmah. Lihat al-SyahrasytÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid 2, h. 117.
Mengenai pengaruh filsafat terhadap Islam maka ia adalah di antara hal yang telah merusak akidah Islam dan kaum muslim karena pada dasarnya ia adalah sebuah metode (manhaj) yang digunakan oleh orang-orang Yunani untuk memahami masalah ilÉhiyyÉt dengan mengerahkan potensi akal. Dr. ×amdÊ ×ayallÉh dalam kitabnya Atsaru al-Tafalsuf al-IslÉmÊ, menjelaskan bahwa filsafat telah mengakibatkan adanya penyimpangan pemikiran (al-taÍrÊf al-manhajÊ) yang menimpa pemikiran Islam disebabkan adanya pencampuradukan dengan pemikiran paganis Yunani melalui para filosof Ahlu al-KalÉm yang telah mendekonstruksi pemikiran Islam dengan menggantinya dengan filsafat Yunani melalui para filosof dari kalangan ahli tasawuf. Dr. SÉmÊ al-NasysyÉr bahkan menyatakan bahwa para filosof muslim seperti al-KindÊ, al-FarÉbÊ, Ibnu SÊnÉ, Ibnu BÉjah, Abu al-BarakÉt al-BaghdÉdÊ, Ibnu Ùufail, Ibnu Rusyd, dan selain mereka
sekitar 5 abad sebelum kelahiran Isa
. Maka jelaslah bahwa ilmu
mantik dan filsafat bukanlah dari Islam.
25d.
masuk islamnya sebagian misionaris Yahudi, NaÎrani, atau agama lain
dengan tujuan untuk merusak Islam. Di antara mereka adalah
„
Abdullah
bin Saba‟ al
-YahËd yang telah menyebarkan
ghuluw kepada
„
AlÊ
sehingga muncullah
firqah SyÊ‟ah
,
Ja‟ad bin Dirham
(w. 124 H) yang
menyebarkan akidah
ta‟
ÏÊ
l terhadap asm
É’
dan
ÎifÉt
Allah
dan Alquran
adalah makhluk. Dua pendapat ini merupakan pendapat yang ia warisi dari
LabÊ
d bin A‟
Îam, seorang Yahudi yang telah menyihir Nabi
di Madinah.
Demikian pula
Ma‟bad al
-Juhani
yang memprakarsai munculnya firqah
Qadariyah, iapun mengambil pendapatnya dari seorang NaÎrani yang
bernama Sausan, ia masuk Islam kemudian kembali kepada kekafiran.
26Sa‟ad „
Abdullah
Sa‟d
Én menambahkan, bahwa perpecahan di tengah umat
Islam disebabkan pula oleh beberapa hal, di antaranya; 1) adanya makar dan tipu
daya dari musuh-musuh Islam untuk memecah-belah mereka, 2) fenomena
fanatisme (
ta‟a
ÎÎ
ub) kepada mazhab atau golongan tertentu, 3) tidak
diindahkannya kebidahan dan kesesatan hingga tersebar luas di masyarakat, 4)
peremehan terhadap
Ï
alabu al-‟ilmi
syar‟i
berdasarkan
manhaj
27salaf, 5) sikap
25 MausË‟ah Żalsafah, Jilid I, h. 98, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid 2, h. 117, dan JÉ
nib IlÉhi Min TafkÊr IslÉmi, h. 10 Diringkas dari Armen Halim Naro, Antara Islam dan Filsafat, Filsafat Islam Konspirasi Keji, dan Pembawa Bendera Filsafat Islam, Majalah Al Furqon Th. 6 Ramadhan-Syawal 1427 H, h. 3, 27-41.
26 MuÍammad BaKarim MuÍammad BaAbdullah, Wa saÏiyatu Ahli al-Sunnah, h. 300-301,
„AlawÊ „Abd al-QadÊr al-SaqqÉf, MukhtaÎar KitÉb al-I‟tiÎÉm, (RiyÉÌ: DÉr al-Hijrah, Cet.1, 1424 H), h. 118-119.
27
menerima semua bentuk pemikiran yang masuk dalam Islam tanpa menimbang
kebenarannya dengan Alquran dan sunah, dan 6) tidak optimalnya
amar ma‟ruf
nahi munkar
.
28Dua pendapat di atas diakui pula oleh Harun Nasution. Ia menuturkan,
bahwa diantara yang menimbulkan perpecahan umat islam adalah banyaknya
terjadi kontak kaum muslim dengan keyakinan-keyakinan dan
pemikiran-pemikiran dari agama-agama lain dan dengan filsafat Yunani. Sehingga dari
sinilah mulai bermunculan paham-paham yang berseberangan dengan Islam
al-MiÎbÉhu al-MunÊr fi Tah Êbi TafsÊr Ibnu KatsÊr, (RiyÉÌ: DÉr al-SalÉm, Cet. 2, Th. 1421 H), h. 515 dan MuÍammad bin „AlÊ al-SyaukÉni, FatÍu al-QadÊr, TaÍqÊq „AbdurraÍman 'Umairah, (Mesir: DÉr al-WafÉ', Cet. 3, Th. 1426 H), Jilid. II, h. 383. Sehingga makna ayat tersebut secara global adalah Allah menjadikan bagi para nabi-Nya syariat dan sunah yang berbeda satu dengan yang selainnya termasuk di dalamnya adalah rincian-rincian darinya secara jelas, hanya saja inti dakwah mereka adalah satu yaitu tawÍÊdullah. Dari penjelasan makna manhaj diatas dapat disimpulkan, bahwa ia adalah sinonim dari sunah, sehingga manhaj dapat diartikan dengan cara beragama yang benar sesuai dengan apa yang telah Allah syariatkan kepada rasul-Nya . Lihat
„Abd al-Hakim bin Abdat, Lau KÉnÉ Khairan Lasa baqËnÉ ilaihi, (Jakarta: Darul Qalam, Cet. 2, Th. 2006), h. 39-42.
Hanya saja kata manhaj memiliki pergeseran makna di kalangan mutaakhkhirÊn, sehingga ia dimaknai dengan al-ÍuÏÏah al-marsËmah (jalan atau metode yang telah ditetapkan) sebagai contoh adalah kata manhaj al-dirÉsah yang bermakna kurikulum pembelajaran atau manhaj
al-ta‟lÊm yang bermakna metode pengajaran. Lihat Mujamma' al-Lughati al-„Arabiyyah BilÉdu MiÎr, al-Mu‟jam al-WasÊÏ, (Mesir: Maktabatu al-SyurËq al-Dawliyyah, Cet. 5, Th. 1431 H), h. 996.
Oleh sebab itu manhaj dapat pula diartikan dengan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi setiap pembelajaran ilmiah, seperti kaidah-kaidah bahasa Arab, uÎËl akidah, uÎËl fikih, dan uÎËl tafsir di mana dengan ilmu-ilmu ini pembelajaran dalam Islam beserta pokok-pokoknya menjadi teratur dan benar. Lihat „ÔsÉ MÉlullÉh Faraj, Mukhtashar al-HatsÊts, hal. 31 dan Yazid Abdul Qadir Jawas, Mulia dengan Manhaj Salaf”, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, Cet. 4, Th. 2010), h. 13.
Arti penting manhaj adalah sebagai suatu tatanan dan aturan dalam menekuni dan meniti suatu disiplin ilmu sehingga dapat menghantarkan kepada tujuan yang diinginkan. Sebagaimana pula ia membatasi dan mengatur akal manusia dan kerja pikirannya dengan kaidah-kaidah yang telah disepakati dan telah tetap. Karena suatu disiplin ilmu hanyalah dapat tegak dan berkembang manakala ia memiliki suatu jalan atau aturan yang benar yang menghimpun seluruh hal yang terkait dengannya. Lihat „ÔsÉ MÉlullÉh Faraj, Ibid, hal. 31.
Syaikh Dr. ØÉliÍ bin FauzÉn menjelaskan perbedaan antara akidah dan manhaj, beliau
berkata: “Manhaj lebih umum daripada akidah, manhaj diterapkan dalam aqidah, suluk, akhlak, muamalah, dan semua kehidupan seorang muslim. Setiap langkah yang dilakukan seorang muslim dikatakan manhaj. Adapun yang dimaksud dengan akidah adalah pokok iman, makna dua kalimat
syahadat, dan konsekuensinya. Inilah akidah.” Lihat al-Ajwibah al-MufÊdah „an Asilati al -ManÉhiji al-JadÊdah, (Kairo: Maktabatu al-Hadyu al-MuÍammadÊ, Cet. 1, Th. 1429 H), h. 131.
28Sa‟ad „Abdullah Sa‟dÉ
seperti Qadariyah, Jabariyah atau yang dikenal dengan Fatalis
, dan Mu‟tazilah.
29Kontak dengan filsafat Yunani ini membawa kepada pemujaan terhadap akal ke
dalam Isla
m. Kaum Mu‟tazilah dalam hal ini adalah yang banyak
terpengaruhi
sehingga tidaklah mengherankan apabila dalam pemikiran teologi mereka banyak
dipengaruhi oleh daya akal atau ratio dan teologi mereka memiliki corak liberal.
30Pada perkembangannya, penggunaan akal telah dipergunakan oleh
Mu‟tazilah
31untuk memahami tentang keimanan (Il
É
hiyy
É
t) dan mereka tidak lagi
menggunakan nas (dalil) sebagai pijakan dalam memahaminya. Di antara
pendapat yang mereka sebarkan sejak masa pendahulu mereka, WÉÎ
il bin „A
ÏÉ
‟
,
yaitu penafian terhadap sifat-sifat Allah
dan mereka berkeyakinan bahwa Allah
tidak mempunyai sifat. Hal itu tidaklah mengherankan karena menurut mereka
pemberian sifat kepada Allah
membawa kepada kesyirikan atau politeisme.
Menurut mereka, hal tersebut membawa pengertian bahwa yang bersifat
qad
Ê
m
(permulaan) akan banyak, maka untuk memelihara tauhid atau kemahaesaan
Tuhan, tidak boleh dikatakan bahwa Tuhan memiki sifat. Tuhan tetap mengetahui,
berkuasa, pemurah, dan sebagainya tetapi semua itu bukanlah sifat malahan esensi
Tuhan itu sendiri.
32Pemikiran-
pemikiran rasional Mu‟tazilah dalam masalah teologi ini terus
dibawa dan disebarkan oleh para penerusnya seperti; Abu Hu ail al-
„All
Éf
29 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Aspek-Aspeknya, Jilid 2, (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, Th. 1985 ), h. 37.
30 Ibid, h. 38. 31
Vasalou, Sophia. 2009. “Their Intention was Shown by Their Bodily Movements” : The
Basran Mu‟tazilites on the Institution of Language. Journal of The History of Philosophy, 47 (2), 201-221. Retrieved from http://search.proquest.com/dockview/210624993?accountid=34598
32 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Aspek-Aspeknya, Jilid 2, h. 38, dan SulaimÉn A
235 H), NaÐÐÉm (185-221 H), Murdar (w. 226 H), JÉÍiÌ (w. 256 H),
al-JubÉ
‟
Ê (w. 295 H), al-KhayyÉÏ (w. 300 H), Abu HÉsyim (w. 321 H), dan
lain-lain.
33Di an
tara pembesar Mu‟tazilah ketika itu adalah
Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê
(873-935 M) yang merupakan murid besar dari al-JubÉ
‟
Ê.
34Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê pada perkembangan pemikiran dan pemahaman
teologinya ia berbalik menyerang ideologinya yang dahulu ia pegangi yaitu
Mu‟tazilah.
Di
antara yang ia tolak dari teologi Mu‟taz
ilah adalah penafian
terhadap sifat Allah
. Ia mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat dan tidak
mungkin ia mengetahui dengan esensi-Nya, maka Tuhan harus mengetahui
dengan sifat-Nya.
35Hanya saja para ulama menjelaskan bahwa pada masa awal
penentangannya terhadap Mu‟tazilah,
Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê sebenarnya masih
dalam kegoncangan antara pemikiran
teologinya yang lama yaitu Mu‟tazilah yang
mana telah terwariskan pada dirinya ilmu mantik
(logika) dan kecondongannya
kepada Ahlusunah waljamaah atau
A
ÎÍÉ
b al-
×
ad
Êt
s dan iapun jatuh pada
pemahaman KullÉbiyah.
36Sehingga dalam penetapan sifat-sifat bagi Allah
, ia
hanya menetapkan tujuh sifat bagi Allah
yang ia anggap sesuai dengan akal
manusia. Adapun
Î
ifat khabariyah tentang Allah
iapun menakwilkannya.
3733 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Aspek-Aspeknya, h. 39. 34
SulaimÉn A Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, h. 158.
35 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Aspek-Aspeknya, h. 40.
36 MuÍammad bin ØÉliÍ al-„UtsaimÊn, al-QawÉ‟idu al-MutslÉ fi ØifÉtillahi wa AsmÉ‟illahi
al-×usnÉ, TaÍqÊq dan TakhrÊj HÉnÊ al-×Éj, (Kairo: Maktabah al-„Ilmu, Cet. 1, Th. 1427 H), h. 65.
37
Apa yang dicetuskan oleh al-
Asy‟ar
Ê ketika itu tersebar ditengah
masyarakat dan menjadi titik awal
berkembangnya teologi Asy‟ariyah.
38Sikap
sejalan dengan Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê juga dilakukan oleh Abu ManÎËr
al-MÉtËridÊ (w. 333 H) dimana dalam banyak hal ia sepaham dengan al-
Asy‟ar
Ê
terutama dalam masalah penetapan
Î
ifat bagi Allah
dan iapun menentang
Mu‟tazilah.
39Dalam penetapan
Î
ifat Allah
ia sejalan dengan al-
Asy‟arÊ yaitu
menggunakan akal sebagai tolok ukur, dan ia menambahkan 13 sifat tambahan
bagi Allah
selain apa yang diprakarsai oleh al-
Asy‟ar
Ê sehingga genaplah
menjadi 20 sifat bagi Allah
.
40Inilah yang dinamakan sifat wajib dua puluh bagi
Allah
yang wajib diyakini menurut AsyÉ'irah
41.
42Dalam perkembangannya, mazhab atau aliran ini berkembang ditengah
masyarakat dan diterima oleh mayoritas kaum muslim di
ى
kala itu. Abu al-×asan
al-
Asy‟a
rÊ dalam perjalanan pemikirannya tidaklah berhenti sampai disitu, namun
ia kemudian menyadari bahwa apa yang ia yakini dan ia tetapkan sebelumnya
adalah keliru dan iapun mengakui bahwa akidah yang ia yakini sebelumnya
adalah keliru dan ia menyatakan bahwa akidah yang benar adalah apa yang Imam
38 Frank, Richard M. 2008. Classical Islamic Theology: The Ash‟arites. Texts and Studies
on The Development and History of Kalam. Vol. III. Variorum Collected Studies Series. Burlington V.T. and Aldershot: Ashgate. Pp 428 + x. £77.50.
39 SulaimÉn A Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, h. 163. 40 Agus Hasan Bashari, Abul Hasan al-Asy‟arÊ
Imam yang Terzhalimi, (Malang: Pustaka Qiblati, Cet. 1, Th 2009), h. 142, Abu IbrÉhÊm, Abu al-Hasan al-Asy‟arÊ, Majalah as-Sunnah, No: 1, Th. 1 November 1992, h. 49, dan Abu Nu‟aim al-Atsary, Menyoal sifat wajib 20 dalam:
http://thetrueideas.multiply.com/journal/item/429.
41Asy‟ariyah adalah sebutan bagi para pengikut Abu al-×asan al-Asy‟arÊ –dimasa ia
belum bertaubat dan membenarkan akidah Imam AÍmad -, namun AsyÉ‟irah adalah sebutan untuk ajaran itu sendiri, lihat AÍmad MaÍmËd ØubÍÊ, FÊ Ilmi al-KalÉm, DirÉsah Falsafiah li ÓrÉ‟il Firaq Al-IslÉmiyah fÊ UÎËli al-DÊn, (Beirut: DÉrى al-NahÌah al-‟Arabiyyah, Cet. 1, Th. 1981), Jilid 2, h. 14.
42
AÍmad bin Hanbal berada diatasnya, terutama dalam masalah
asm
É’
dan
Î
if
É
t
karena pada sisi itulah terjadi perpecahan dan perdebatan dalam dunia ilmu kal
É
m.
Ibnu KatsÊr (w. 774 H)
berkata, „Para ulama menyebu
tkan bahwa Syaikh
Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê memiliki tiga fase pemikiran:
Pertama, mengikuti
pemikiran Mu‟tazilah yang kemudian beliau keluar darinya,
Kedua, menetapkan
tujuh
Î
if
É
t
aqliyyah, yaitu;
×
ay
É
t,
‟Ilmu, Qudrah, Ir
É
dah, Sama‟, Ba
Î
ar, dan
Kal
É
m, dan beliau menakwil
Î
if
É
t khabariyyah seperti wajah, dua tangan, telapak
kaki, betis, dan yang semisalnya.
Ketiga, menetapkan semua
Î
ifat Allah
tanpa
taky
Ê
f dan
tasyb
Ê
h sesuai
manhaj para salaf
43, inilah jalan yang ia pilih dalam
kitabnya yang berjudul al-Ib
É
n
a
h yang merupakan akhir karangannya
‟.
44Abu al-×asan al-
Asy‟arÊ
berkata bahwa, “Pendapat yang kami pegang dan
agama yang kami yakini adalah berpegang kepada kitab Rabb kami
dan sunah
Nabi kami
dan apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabi
‟
in, dan para imam
hadis. Kami berpegang kepada semua itu dan kami mengatakan apa yang
diucapkan oleh Abu
„
Abdillah AÍmad bin MuÍammad bin ×anbal -semoga Allah
mengangkat derajatnya dan mengagungkan pahalanya-. Kami menyelisihi
pendapat yang menyelisihi ucapannya, karena ia adalah imam yang agung,
pemimpin yang mulia, yang dengannya Allah
menjelaskan kebenaran dan
menepis kesesatan orang-orang yang ragu. Semoga Allah
melimpahkan rahmat
43
Lihat Scharbrodt, Oliver. 2013. The Salafiyya and Sufism: MuÍammad „Abduh and His RisÉlat al-WÉridÉt (Treatise on Mystical Inspiration). Western Kentucky University.
44 Ibnu KatsÊr, al-BidÉ
atasnya.”
45Ucapan al-
Asy‟ar
Ê di atas menunjukkan pertaubatannya dari akidah
yang sebelumnya ia yakini dan pernyataannya atas kebenaran mazhab Ahlusunah
waljamaah atau A
Î
h
É
b al-Had
Ê
ts
46, yang mana sosok Imam AÍmad bin ×anbal di
kala itu diakui sebagai salah seorang pembawa benderanya.
Meski demikian, pemahaman yang telah dikembangkan oleh al-A
sy‟ar
Ê
sebelum ia kembali kepada
manhaj yang
Í
aq, hingga kini masih bergulir dan
digeluti oleh banyak kaum muslim. Hal yang paling menonjol adalah penetapan 7
sifat wajib bagi Allah
yang kemudian dikembangkan oleh
mutaakhir
Ê
n
Asy‟ariyah sehingga menjadi
20 sifat
47dan penakwilan
Î
if
É
t
khabariyah. Inilah
yang kemudian menjadi akidah Asy'ariyah dalam penetapan
Î
if
É
t Allah
.
48Dalam perkembangannya, pemikiran
kal
É
m Asy'ariyah telah melewati
masa-masa yang kian menambah jarak antara mereka dengan Ahlusunah
waljamaah, terutama setelah para tokohnya yang datang terakhir memasukkan
prinsip-prinsip keyakinan yang diambil dari filsafat, tasawuf, mantik (logika) dan
ilmu kal
É
m
. Pergeseran inilah yang menyebabkan rentannya mazhab Asy‟ariyah
untuk tersusupi pemikiran-pemikiran batil. Dan secara umum mereka sejalan
45 Abu al-Hasan al-Asy‟arÊ, al-IbÉnah ‟
an UÎËli al-DiyÉnah, TaqrÊÐ Syaikh ×ammÉd al-AnÎÉri dan TaÍqÊq Abu „AbdurraÍman NabÊl ØalÉh „Abd al-MajÊd SÉlim (Mesir: DÉr al-BaÎÊrah, Cet. 1, Th. 2003), h. 55.
46 Istilah Ahlusunah waljamaah sudah ada sejak masa sahabat Nabi yang kemudian
istilah tersebut digunakan untuk membedakan antara para perawi hadis yang setia terhadap sunnah Nabi dan yang menyimpang dari sunnahnya sehingga telah ada pula istilah ahlu al-Bid‟ah atau ahlu al-AhwÉ‟. Yang perlu diketahui bahwa penamaan Ahlusunah waljamaah memiliki kesamaan makna dan maksud dengan penamaan AÎhÉbu al-×adÊts, al-SalafiyyËn, Ahlu al-AtsÉr, al-Firqatu al-NÉjiyah, dan al-ÙÉifah al-ManÎËrah. Lihat pemaparan hal ini dalam IbrÉhÊm bin ‟Ómir al-RuÍailÊ, Mauqifu Ahlu al-Sunnati wa al-JamÉ‟ah Min Ahli al-AhwÉ‟i wa al-Bida‟i, (Madinah: Maktabatu al-GhurabÉ‟ al-Atsariah, Cet. 1, Th. 1423 H) , Jilid I, h. 44-72.
47„Abd al-SalÉm SyÉkir, al-Ta‟lÊqatu al-MufÊdatu „ala ManÐËmatai Jauharati al-TawÍÊd
wa Bad‟i al-AmÉlÊ, (Janub Ifriqiya: al-JÉmi‟ah al-IslÉmiyah Linsyia, Th. 1422 H), h. 13.
dengan Ahlusunah waljamaah dalam beberapa masalah akidah, dan berbeda
dalam beberapa perkara akidah lainnya.
49Perberkembang pesat mazhab Asy'ariyah menjadikannya sebagai mazhab
kal
É
m tersendiri yang tersebar ke banyak negeri Islam
50dan menjadi mazhab
kebanyakan dari kaum muslim. Dari sinilah awal munculnya klaim bahwa mereka
adalah golongan yang berada di atas kebenaran (
Í
aq) dan mereka adalah
representasi dari Ahlusunah waljamaah.
5149 Ibid, h. 49.
50Di antara sebab utama tersebarnya akidah Asy‟ariyah di tengah kaum muslim, adalah:
a. Anggapan bahwa paham Asy‟ariyah adalah Ahlusunah dan banyaknya ulama yang menyibukkan diri dengan sunah Nabi yang berpegang dengan akidah mereka serta menjadi pembela-pembelanya. Pada umumnya mereka adalah ahli hadis dan fikih yang menisbatkan diri kepada Abu al-×asan al-Asy‟arÊ, meskipun dalam kenyataannya banyak dari mereka yang tidak sejalan dengan akidah Abu al-×asan al-Asy‟arÊ.
b. Di masa khilÉfÉh „AbbÉsiyah, kota Baghdad merupakan pusat peradaban Islam yang banyak didatangi ulama, mereka mencari ilmu di dalamnya, dan membawanya ke negeri-negeri mereka.
c. Dukungan penguasa dan dijadikannya Asy‟ariyah sebagai mazhab resmi Negara. Hal ini seperti pernah terjadi di masa pemerintahan Dinasti Gaznawi di India (abad 11-12 M) sehingga
tersebarlah akidah Asy‟ariyah di India, Pakistan, Afghanistan, dan Indonesia. Demikian pula di
masa pemerintahan Dinasti Saljuk (11-14 M) melalui perdana menterinya NiÐÉmu al-Mulk (w. 585 H), ia mendirikan Madrasah NiÐÉmiyah yang menjadi lembaga representatif pengajaran
akidah Asy‟ariyah, dan pengaruhnya sampai ke Asia Tengah dan banyak wilayah Islam yang lain. Demikian pula al-MahdÊ bin TËmart (524 H) yang menjadikan Asy‟ariyah sebagai mazhab Dinasti MuwaÍÍidÊn, dan NuruddÊn MuÍammad ZankÊ (w. 569 H) yang mana ia mendirikan DÉr al-×adÊts di Damaskus yang dipimpin langsung oleh Ibnu ‟AsÉkir. Lihat
„AbdurraÍman bin ØÉliÍ bin ØÉliÍ al-MaÍmËd, Mauqifu Ibnu Taimiyah min al-„AsyÉ‟irah (RiyÉÌ: Maktabatu al-Rusyd, Th. 1415 H, Cet. 1), h. 498-504 dengan meringkas.
51
MurtaÌÉ al-ZabÊdÊ (w. 1205 H) menyatakan:
ىُ يِ ْيِرْ َُتاَمْ َ ىُةَ ِ اَشَ ْ ىاَ َْ ِمىُ َ ُمْ اَ ىِ َس ىُ ْهَ ىَ ِ ْ ُ ى َ ِ
Artinya: “Apabila dinyatakan Ahlusunah maka yang dimaksudkan adalah AsyÉ‟irah dan MÉturidiyah.” Lihat dalam Sulaiman A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, hal: 150-158. Pendapat senada juga dituturkan JalÉl MuÍammad MËsÉ dengan menyatakan bahwa sunnÊ adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy‟ariyah dan merupakan lawan dari Mu‟tazilah. Lihat JalÉl MuÍammad „Abd al-×amÊd MËsÉ, Nasy‟at al-AsyÉ‟irah wa TaÏawwuruhÉ,(Beirut: DÉr al-Kutub al-LubnÉni, 1390 H), h. 15. Harun Nasution –dengan meminjam keterangan Tasya Kubra ZÉdah- juga menyatakan bahwa aliran Ahlusunah muncul atas keberanian dan usaha Abu al-Hasan al-Asy‟arÊ sekitar tahun 300 H. Lihat Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI press, Th. 1986), h. 64 dan Abdul Rozak dan Rasihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, Cet. 2, Th. 2006), h. 119.
al-Di Indonesia
52, pemikiran kal
É
m Asy'ariyah diajarkan secara mendalam di
kebanyakan pesantren tradisionalis yang pada umumnya mengajarkan fikih
mazhab SyÉ
fi‟
Ê
dan akidah Asy‟ariyah.
53Lebih dari itu akidah Asy‟ariyah juga
telah merambah ke kurikulum pendidikan Agama Islam Departemen Agama.
54Tidak hanya sampai di sini, setelah diperhatikan penerjemahan Alquran di
Indonesia, yang pada umumnya mengacu kepada terjemah Departemen Agama
Republik Indonesia, di dalamnya terdapat penakwilan
Î
if
É
t khabariyah bagi Allah
. Ini menunjukkan kekuatan pengaruh mazhab AsyÉ
‟irah
di bumi Indonesia.
55MusallamÉt al-Salafiyah fi NaqÌi al-Fatwa al-JamÉ‟iyyah bi anna al-AsyÉ‟irah min al-Firqah al-MarÌiyah, (Kairo: DÉr ImÉm AÍmad , Cet. 1, Th. 2007).
52
Bahkan di seluruh Asia Tenggara hal ini sebagaimana dibuktikan dalam hasil penelitian. Lihat Abdul Øukor Husin, Ahli Sunah Waljamaah Pemaham Semula , (Malaysia: Universiti Kebangsaan Malaysia, Th. 1998) dan Lik, Arifin Mansurnoor. 2008. Islam in Brunei Darussalam: Negotiating Islamic Revivalism and religious Radicalism. Islamic Studies, 47 (1), 65-I. Retrieved from http://search .proquest.com/docview/287950425?accountid=34598.
53 Adalah Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu dari ormas Islam yang terbesar di
Indonesia, secara masif dan tegas mendasarkan pemahaman keagamaan berdasar mazhab SyÉfi‟Ê
dan akidah Asy‟ariyah. Disebutkan dalam situs resminya, bahwa NU menganut paham Ahlussunah Waljamaah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim akli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Alquran, Sunah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu al-×asan al-Asy'arÊ dan Abu ManÎËr al-MÉtËrÊdÊ dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat mazhab; ×anafÊ, MÉlikÊ, SyÉfi'Ê, dan ×anbalÊ. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode al-GhazalÊ dan Junaid al-BaghdÉdÊ, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. Lihat http://www.nu.or.id/a,public-m,static-s,detail-lang,id-ids,1-id,7-t,paham+keagamaan-.phpx.
54
Contoh untuk hal ini adalah diajarkannya sifat wajib 20 di kebanyakan lembaga pendidikan Islam dari jenjang Taman Pendidikan Alquran (TPA) sampai Perguruan Tinngi Agama Islam (PTAI), demikian pula pengajaran teori al-kasbu dalam pembahasan takdir di jenjang PTAI. Sedangkan di pesantren dikaji kitab-kitab yang mengandung pemikiran Asy‟ariyah seperti:
„AqÊdatu al-„AwwÉm, Ummu al-BarÉhin, KÉsyifatu al-HÉj, QaÏru al-Ghaits, MasÉil al-Laits, dan
lain-lain. Lihat AbdurraÍman MubÉrak, Pengaruh Akidah Asy’ariyah Terhadap Umat, Majalah
Asy Syari’ah, No: 74/ VII/ 1432 H/ 2011, h. 25-27. 55
Apa yang telah dipaparkan dengan singkat di atas adalah pendorong
utama dilakukannya penelitian untuk meneliti dan mendalami pemikiran asm
É’
dan
Î
if
É
t Allah
menurut Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê di akhir perjalanan
keagamaannya, serta berusaha mendudukkan pemikiran asm
É’
dan
Î
if
É
t Allah
menurut
Asy‟ariyah
, mengingat pemikiran mereka tentang
asm
É’
dan
Î
if
É
t Allah
telah tersebar di tengah umat Islam dan terkesan bahwa pemikiran tersebut
adalah akhir dari pemikiran Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê. Penulis meyakini
diperlukannya suatu penelitian untuk menjelaskan kepada kaum muslim
pemikiran Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê tentang asm
É’
dan
Î
if
É
t Allah
?
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan
masalah yang diajukan adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah pemikiran Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê tentang
asm
É’
dan
Î
if
É
t
Allah
?
2.
Bagaimanakah pemikiran Asy‟ariyah tentang
asm
É’
dan
Î
if
É
t Allah
?
C.
Tujuan Dan Kontribusi Penelitian
Secara formal, penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi
syarat memperoleh gelar sarjana strata dua (S-2) Magister Pemikiran Islam di
Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 2013. Adapun tujuan non formal dari
penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran deskriptif yang lebih jelas
tentang pemikiran Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê
dan Asy‟ariyah tentang
asm
É’
dan
keduanya dalam hal akidah secara umum dan secara khusus dalam hal asm
É’
dan
Î
if
É
t Allah
.
Adapun kontribusi penelitian yang diharapkan adalah sumbangsih ilmiah
yang berupa kajian tentang pemikiran Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê dalam masalah
asm
É’
dan
Î
if
É
t Allah
yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kaum muslim
secara umum dan bermanfaat bagi para penuntut ilmu dalam hal akademis secara
khusus.
D.
Studi Terdahulu
Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê adalah tokoh yang mendapat perhatian dari para
sarjana muslim, karena kepadanyalah Asy‟ariyah menisbatkan pemikiran kalam
mereka dan mengingat iktikad akhir beliau yang banyak diperdebatkan oleh para
ahli
ta
Í
q
Ê
q.
Oleh sebab itulah kajian tentang Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê
mendapatkan perhatian dari ulama dan ahli
ta
Í
q
Ê
q guna diketahui pemikiran
akidah beliau yang sebenarnya. Di antara kajian yang penulis dapatkan tentang
pemikiran kalam Abu al-×asan al-
Asy‟arÊ adalah sebagai berikut, yaitu:
1.
Nukman Abbas,
“
Al-
Asy‟ar
Ê (874-935 M) Misteri Perbuatan Manusia Dan
Takdir Tuhan
”
, (Jakarta: Erlangga, Cet. 1, Th. 2008).
Nukman Abbas diawal
pembahasannya menyoroti sebab dari terjadinya perpecahan di tubuh kaum
kalam dalam masalah
il
É
hiy
É
t, dan ia adalah representasi dari Ahlusunah
waljamaah. Kajian Nukman Abbas hanya menitik beratkan pembahasannya
pada pergulatan pemikiran dalam masalah takdir dan secara khusus ia
mengkaji teori
kasbu yang mana itu adalah hasil pemikiran dari Abu
al-×asan al-
Asy‟ar
Ê untuk menengahi polemik antara Qadariyah dan Jabariah
ketika itu. Ia juga menyoroti tentang bagaimanakah akibat dari teori al-kasbu
yang telah banyak dianut oleh manusia yang dikatakannya sebagai sebab
kemunduran umat Islam ?!
2.
Agus Hasan Bashari, Abu al-
×
asan al-Asy‟ar
Ê
Imam yang Ter
Ð
alimi, (Malang:
Pustaka Qiblati, Cet. 1, Th. 2009). Dalam kajiannya, Agus Hasan Bashari
mengawali kajian dengan biografi Abu al-×asan al-
Asy‟arÊ dan penjelasan
akan akidah beliau secara umum dan secara khusus ia menjelaskan secara
ringkas akidah
Asy‟ariyah
disertai dengan penukilan dari para imam mereka,
para ulama‟ yang terpengaruh dengan pemikiran
kalam
Asy‟ariyah, dan di
akhir k
ajiannya, ia membawakan kajian tentang sikap ulama‟
Ahlusunah
waljamaah terhadap
Asy‟ariyah
.
3.
×amËdah GharÉbah, Abu al-
×
asan al-
Asy‟ar
Ê
, (Kairo: Majma‟ al
-Buhuts
al-Islamiyyah, Th. 1973). Dalam kajiannya, ×amËdah GharÉbah mengawali
dengan menjelaskan tentang awal terjadinya perpecahan di tengah umat Islam,
kemudian menjelaskan biografi dari Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê dan pemikiran
kalamnya secara umum sebagaimana terdapat dalam karya-karyanya. Dalam
penelitian ini ×amËdah GharÉbah tidak menjelaskan akidah akhir yang
al-IslÉmiyyÊn.
Di akhir kajiannya, ×amËdah GharÉbah menjelaskan posisi
al-Asy’arÊ di hadapan para pembela dan penentangnya.
4.
MuÍammad SulaimÉn al-Asyqar,
Mu‟taqadu al
-Im
É
m Ab
Ê
al-
×
asan al-
Asy‟ar
Ê
wa Manhajuhu, (Jordania: DÉr al-NafÉis, Cet. 1, Th. 1994). Dalam kajiannya,
MuÍammad SulaimÉn al-Asyqar menjelaskan secara global tentang biografi
dari Abu al-×asan al-
Asy‟arÊ, kedudukan beliau di hadapan para ulama dan
pendapat ulama atasnya. Beliau juga menjelaskan tentang
manhaj
Abu
al-×asan al-
Asy‟ar
Ê dalam akidah dan akidah beliau secara umum sebagaimana
terdapat dalam tiga karya akhir
al-
Asy‟ar
Ê. Beliau menguatkan bahwa
al-Asy‟ar
Ê telah rujuk kepada mazhab Salam dalam akidah.
5.
Abu Bakr KhalÊl IbrÉhÊm al-MËÎilÊ,
Syu‟batu al-Aq
Ê
dah baina Abi al-
×
asan
al-
Asy‟ar
Ê
wa al-Muntasib
Ê
na ilaihi f
Ê
al-Aq
Ê
dah, (Beirut: Dar kutub al-Arabi,
Cet.1, Th. 1410). Dalam kajiannya, Abu Bakr KhalÊl IbrÉhÊm al-MËÎilÊ lebih
menyoroti masalah
ÎifÉt
Allah
menurut
Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê dan
Asy’ariyah
. Ia tidak menjelaskan tentang
asmÉ’
Allah
menurut
Abu
al-×asan al-
Asy‟arÊ
dan Asy’ariyah
, serta apa yang melatarbelakangi pemikiran
Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê
dan Asy’ariyah tentang
asmÉ’
dan
ÎifÉt
Allah
.
Dan di akhir kajiannya, ia menegaskan akan kesalafian Abu ×asan
al-Asy‟ar
Ê dalam masalah akidah.
melakukan penelitian dan pembuktian atas kebenaran penisbatan kitab
Ris
É
latun il
É
Ahli al-Tsaghr
kepada Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê. Ia juga
menjelaskan
–
dengan memberikan
ta’lÊq
- akan kesesuaian akidah
al-
Asy‟ar
Ê
dalam kitab tersebut dengan akidah salaf saleh. Ia menyimpulkan benarnya
penisbatan kitab Ris
É
latun il
É
Ahli al-Tsaghr
kepada Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê
dan kesesuaian akidahnya dengan Ahlusunah waljamaah salaf saleh.
7.
ØÉlih Muqbil al-
„U
ÎaimÊ, al-Ib
É
n
a
h
‟an
U
ÎË
li al-Diy
É
nah,
Ta
Í
q
Ê
q wa Syar
Í
,
(RiyÉÌ: DÉr al-FaÌlilah, Cet. 1, Th. 1432 H). Kitab ini asalnya adalah disertasi
doctoral
yang diajukan kepada Universitas al-Imam Malik bi
n Su‟
Ëd RiyÉÌ
KSA tahun 1432 H dan ia adalah penelitian terkini yang mengungkapkan
kekurangan penelitian-penelitian yang terdahulu atas kitab
al-Ib
É
n
a
h
‟an
U
ÎË
li al-Diy
É
nah. Dalam kajiannya,
ØÉlih Muqbil al-
„U
ÎaimÊ melakukan
penelitian dan pembuktian atas kebenaran penisbatan kitab
al-Ib
É
n
a
h
‟an
U
ÎË
li al-Diy
É
nah kepada Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê sebagaimana pula ia
memberikan sanggahan atas argumentasi pengingkar kitab
al-Ib
É
n
a
h
‟an
U
ÎË
li al-Diy
É
nah. Ia juga menjelaskan secara detail
–
dengan memberikan
ta’lÊq
- akan kesesuaian akidah
al-
Asy‟ar
Ê dalam kitab tersebut dengan akidah
salaf saleh. Ia menyimpulkan benarnya penisbatan kitab al-Ib
É
n
a
h
‟an U
ÎË
li
al-Diy
É
nah kepada Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê dan kesesuaian akidahnya dengan
Ahlusunah waljamaah salaf saleh.
belakang pemikiran kalam (akidah) keduanya, maka belum ditemukan, baik yang
berupa skripsi, tesis, disertasi, ataupun kajian kepustakaan lain dari peneliti di
Indonesia.
Oleh sebab itu penulis beranggapan bahwa penelitian secara khusus
tentang pemikiran Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê tentang asm
É’
dan
Î
if
É
t Allah
adalah belum pernah dilakukan.
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi pembuka bagi para peneliti lain
untuk mengkaji lebih dalam tentang pemikiran kalam (akidah) Abu ×asan
al-Asy‟ar
Ê, menambah wawasan, dan menerangkan kepada masyarakat tentang
kebenaran yang belum terungkap dari karya-karyanya serta kesalahan yang harus
dihindarkan terkait dengan Abu al-×asan al-
Asy‟ar
Ê.
E.
Kerangka Teori
Yang menjadi kerangka teori pada penelitian ini adalah teori tentang
asm
É’
dan
Î
if
É
t Allah
. Ulama membahasnya secara terintegrasi dalam
pembahasan iman kepada Allah
yang di dalamnya mengharuskan keimanan
atas wujud-Nya, kekhususan perbuatan-Nya (rub
Ë
biyah), hak peribadatan hanya
kepada-Nya (ul
Ë
hiyah), dan kekhususan
asm
É’
dan
Î
if
É
t-Nya.
56Pembahasan
tentang
asm
É’
dan
Î
if
É
t Allah
adalah bagian dari pembahasan keimanan atau
pembahasan tauhid
57sehingga lazim dikenal dalam kitab-kitab akidah dengan
istilah taw
ÍÊ
d al-asm
É’
wa al-
Î
if
É
t.
56
MuÍammad bin ØÉliÍ al-‟UtsaimÊn, SyarÍu TsalÉtsatu al-UÎËl, (Kairo: DÉr al-ImÉm AÍmad , Cet. 1, Th. 2006), h. 80-90.
57 Kata tauhid dalam bahasa Arab terambil dari kata waÍÍ
ada- yuwaÍÍidu- tawÍÊdan yang berarti menyatukan atau mengesakan. Lihat AÍmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, Cet. 2, Th. 1997), h. 1103.
Kata
asm
É’
adalah bentuk plural dari
ismu yang berarti nama, sedangkan
kata
Î
if
É
t adalah plural dari
Î
if
ah
yang berarti sifat. Adapun arti dari
taw
ÍÊ
d
al-asm
É’
wa al-
Î
if
É
t adalah mengesakan Allah
pada seluruh nama dan sifat-Nya
dengan cara menetapkan semua yang telah Allah
tetapkan untuk diri-Nya
dalam kitab-Nya atau sunah rasul-Nya
dari
asm
É’
dan
Î
if
É
t sesuai
keagungan-Nya dengan tanpa memalingkan maknanya (ta
Í
r
Ê
f), mengingkarinya (
ta‟
ÏÊ
l),
menyerupakannya dengan makhluk (tamts
Ê
l), menanyakan tentang hakikat
sebenarnya (taky
Ê
f), dan tidak pula dengan menyerahkan maknanya kepada Allah
(tafw
ÊÌ
)
58. Bahkan harus diyakini bahwa
Zat-Nya disifati dengan
Î
if
É
t yang
sempurna dan tidak menyerupai zat-zat yang lain, namun pada masing-masingnya
memiliki hakikat yang berbeda.
59Dalam hal ini Allah
telah menjelaskan kewajiban mengimani asm
É’
dan
Î
if
É
t–
Nya dengan tanpa penyimpangan dalam banyak ayat-Nya, di antaranya:
ىَنْ ُ َمْ ََيى ْ َُناَكىاَمىَنْ َ ْ ُلَ ىِهِآ َْ َ ىِِْىَنْ ُ ِحْ َُيىَنْيِذ ى ْ ُرَ َ ىاَِِىُهْ ُ ْ اَ ى َ ْسُْا ىُء ْ َ ْ ىِه ِ َ
Artinya: “
Hanya milik Allah asm
É’
al-
Í
usn
É
60, Maka bermohonlah kepada-Nya
dengan menyebut asm
É’
al-
Í
usn
É
itu dan tinggalkanlah orang-orang
Tauhid pengenalan dan penetapan (tawÍÊd al-ma‟rifah wa al-itsbÉt) yang masuk di dalamnya tawÍÊd rubËbiyah dan asmÉ’ wa al-ÎifÉt, semua nas yang menerangkan tentang perbuatan Allah serta nama dan sifat-Nya adalah masuk dalam kelompok ini. Kedua: Tauhid tuntutan dan tujuan (tawÍÊd al-Ïalab wa al-qaÎd) yang mana ia merupakan tawÍÊd ulËhiyah, semua nas yang menerangkan tentang kewajiban beribadah kepada Allah dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya (syirik) adalah masuk dalam kelompok ini. Sedangkan pembagian tauhid menjadi empat yaitu dengan menambahkan ta wÍÊd al-ÍÉkimiyah, maka hal tersebut adalah tidak tepat karena tawÍÊd al-ÍÉkimiyah adalah masuk dalam tawÍÊd ulËhiyah dari sisi keharusan penegakannya dan ia masuk dalam tawÍÊd rubËbiyah dari sisi hak pembuatan syariat (al-tasyrÊ‟) yang merupakan mutlak milik Allah . Lihat ØÉliÍ bin FauzÉn al-FauzÉn, I‟Énatu al-MustafÊd fÊ SyarÍi KitÉb al-TawÍÊd, (Beirut: Muassasah al-RisÉlah, Cet. 3, Th. 1423 H), Jilid I, h. 24 dan Jilid II, h. 139-140.
58 MuÍammad bin ØÉliÍ al-‟UtsaimÊn, SyarÍ
u TsalÉtsatu al-UÎËl, h. 87-88 dan MuÍammad JamÊl ZainË, MinhÉj al-Firqatu al-NÉjiyatu wa al-ÙÉifah al-ManÎËrah, (Kairo: DÉr al-×aramain, Cet. 1, Th. 2005), h. 20.
59 MuÍammad AmÉn bin „AlÊ al-JÉmÊ, al- ØifÉt al-IlÉhiyyatu fÊ al-KitÉb wa al-Sunnah fi
Öau‟i al-ItsbÉt wa al-TanzÊh, (Kairo: DÉr al-MinhÉj, Cet. 1, Th. 1426 H), h. 337.
60
yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama -nama-Nya
61,
nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan
”
(Q.S. Al-
A‟r
Éf: 180).
ىُمْلِكَْا ىُ َْيِ َ ْ ىَ ُهَ ىِ ْرَ