• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMIKIRAN ABU AL-HASAN AL-ASY’ARI TENTANG ASMA’ DAN SIFAT ALLAH Pemikiran Abu Al-Hasan Al-Asy’ari Tentang Asma’ Dan Sifat Allah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMIKIRAN ABU AL-HASAN AL-ASY’ARI TENTANG ASMA’ DAN SIFAT ALLAH Pemikiran Abu Al-Hasan Al-Asy’ari Tentang Asma’ Dan Sifat Allah."

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

PEMIKIRAN ABU AL-HASAN AL-

ASY’AR

I

TENTANG ASMA

DAN SIF

A

T ALLAH

NASKAH PUBLIKASI

DiajukanKepada:

Program Studi Magister Pemikiran Islam UniversitasMuhammadiyah Surakarta untukMemenuhi Salah SatuSyaratGunaMemperoleh

Gelar Magister Pemikiran Islam

Oleh:

IKMAL FAHAD

NIM : O 000080013

PROGRAM STUDI MAGISTER PEMIKIRAN ISLAM

PROGRAM PASCA SARJANA

(2)
(3)
(4)

ABSTRAK

Proses penelitian ini bersifat kualitatif yang dikembangkan dalam sebuah metode penelitian ilmiah. Pendekatan yang digunakan adalah deskriptif, analitis kritis, dan perbandingan. Data-data yang diperoleh kemudian dideskripsikan serta dianalisa dengan pendekatan kategorisasi dan perbandingan. Pendekatan sosiologis dan historis digunakan untuk mengungkap hal-hal yang melatarbelakangi pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dengan melihat sejarahnya.

Hasil penelitian yang dapat disimpulkan dari “Pemikiran Abu al-×asan

al-Asy‟arÊ tentang AsmÉ’ dan ØifÉt Allah ” adalah sebagai berikut: 1) Abu al-×asan al-Asy‟arÊ mengimani dan menetapkan semua asmÉ’ Allah  sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Alquran dan sunah. Ia juga menolak pertentangan dalam polemik tentang al-ismu (nama) dan musammÉ (yang dinamai), baginya al-ismu adalah untuk musammÉ, sedangkan keyakinan bahwa al-ismu adalah selain

musammÉ adalah kesesatan dalam beragama, sehingga perdebatan dalam masalah ini adalah kebidahan. 2) Ia menetapkan semua ÎifÉt Allah  sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Alquran dan sunah serta memperlakukannya sesuai makna lahirnya dengan tanpa melakukan takyÊf, tamtsÊl, ta’ÏÊl, dan ta’wÊl. Sehingga ia menetapkan semua ÎifÉt Étiyah bagi Allah  seperti ÎifÉt ilmu, wajah, dua mata, dua tangan, dan jari-jari. Ia juga menetapkan semua ÎifÉt fi’liyah bagi Allah  seperti ÎifÉt al-qabÌah, al-istiwÉ’, al-ityÉn, al-majÊ’, dan al-nuzËl. Dalam penetapannya terhadap ÎifÉt tersebut, ia menegaskan keharusan menetapkannya dengan tanpa melakukan tamtsÊl dan takyÊf. 3) Asy‟ariyah berpendapat bahwa

asmÉ’ Allah  adalah qadÊm sebagaimana ÎifÉt-Nya, ia bukanlah makhluk dan ia adalah zat-Nya sendiri, hanya saja penamaan (al-tasmiyyah) maka itu adalah makhluk. 4) Asy‟ariyah berpendapat bahwa kewajiban pertama bagi setiap mukalaf adalah pengenalan atas Allah  terkait dengan apa yang wajib harus ditakwilkan atau diserahkan kepada Allah  (tafwÊÌ).

Kesimpulan yang dihasilkan adalah adanya perbedaan antara pemikiran akidah Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dan Asy‟ariyah, yang membawa implikasi pada

adanya perbedaan pemikiran dalam mengimani asmÉ’ dan ÎifÉt Allah . Ini merupakan fakta yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian (diskrepansi) dalam

penisbatan Asy‟ariyah kepada Abu al-×asan al-Asy‟arÊ.

(5)

ABSTRACT

In this study the title "Thinking Abu al-×asan al-Asy'arÊ about asmÉ’ and

ÎifÉt Allah " is raised. The purpose of this research is to get a clearer of the descriptive in thinking Abu al-×asan al-Asy'arÊ and Ash'arite about asmÉ’ and

ÎifÉt Allah . It can get distinguishes the background and thinking both in terms of faith in general and specifically in asmÉ’ thing and Allah‟sÎifÉt.

This is a qualitative research process is the research library (library research) that developed in a scientific research method. The comparative approach was used to compare the views of Abu al-×asan al-Asy'arÊ with other views associated with the specified theme. The sociological and historical approach also used to state the reasoning behind the Abu al-×asan al-Asy'arÊ by looking at its history. the belief that al-ismu (name) is besides musammÉ (named) is heresy in religion, so that the debate on this issue is heresy. 2) He sets all ÎifÉt Allah  as established naming (al-tasmiyyah) then it is a creature.it meant of the naming is asmÉ’ Allah

 itself. 4) Ash'arite opinion is the first obligation of every mukalaf is recognition of Allah  (ma'rifatullah) related to what is required to set upon him, Allah  what is impossible, and what is allowed of his ÎifÉt totaling 20. 5) So they determine all set the whole ÎifÉt Ash'arite God through reason, thinking or logical , either in the form ÎifÉt Étiyah and ÎifÉt khabariyah for Allah  and ÎifÉt fi'liyah, but only seven ÎifÉt they called by ÎifÉt ma'ÉnÊ. Beside from the seven

ÎifÉtma'ÉnÊ above, it should be deciphered (ditakwilkan) or submitted to Allah . The conclude is there are a lot of difference between thinking creed Abu al-×asan al-Asy'arÊ and Ash'arite thinking in directly the implications for differences in faith asmÉ’ thinking 'and ÎifÉt Allah . In fact that indicates the discrepancy in Ash'arite attribution to Abu al-×asan al-Asy'arÊ and Ash'arite‟s.

(6)

ِ ْ ِ َلا ِ َ ْ َلا ِا ِ ْ ِ

Sudah menjadi sunnatullÉh al-kauniyah terjadinya perselisihan (ikhtilÉf)

dan perpecahan (iftirÉq) ditengah kaum muslim sebagaimana terjadi di tengah

Bani Israil. Nabi  menegaskan hal ini dalam banyak sabdanya, di antaranya:

“Yahudi terpecah belah menjadi 71 atau 72 golongan, NaÎrani terpecah belah

menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah belah menjadi 73

golongan”. Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Dan sesungguhnya agama ini

akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 akan masuk Neraka dan yang satu akan

masuk Surga yaitu al-jamÉ’ah ”. Dalam riwayat Turmu Ê, disebutkan dengan

lafal: “Semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan yaitu yang berjalan

di atas jalan yang aku bersama para sahabatku berada diatasnya”.

Hanya saja tercerai berainya umat Islam belumlah terjadi di masa Nabi  karena semua perselisihan yang terjadi mendapatkan penyelesaian melalui wahyu

yang ketika itu masih turun. Di masa ke-khilÉfah-an Abu bakar, „Umar, dan

„UtsmÉn , kaum muslim masih dalam satu persatuan dan pemahaman keislaman. Hingga di masa akhir khalifah „UtsmÉn  dan awal ke-khilÉfah-an „AlÊ  mulai bermunculanlah kebidahan dalam hal ibadah dan perselisihan dalam masalah

uÎËlu al-dÊn dan keimanan yang mengakibatkan mulai bermunculannya firqah

dalam Islam. Adalah firqah KhawÉrij kemudian firqah SyÊ‟ah dan diikuti oleh

firqah-firqah yang lain seperti Murji‟ah, Mu‟tazilah, Jahmiyah, Qadariyah,

Asy‟ariyah, MÉturÊdiyah, al-Nusuk (Tasawuf) dan lain-lain. Sehingga dari sini

(7)

setiap firqah memiliki uÎËl yang mereka pertahankan. Hal ini merupakan bukti

kebenaran apa yang disabdakan oleh Nabi  di atas.

Secara lebih khusus, Nabi  telah menjelaskan jalan keluar dari perselisihan yang terjadi di tengah umat sepeninggalnya. Beliau  bersabda:

“Sesungguhnya siapa saja yang hidup setelahku ia akan melihat perselisihan

yang sangat banyak, maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunahku

dan sunah para al-KhulafÉ' al-RÉsyidÊn yang mendapatkan petunjuk setelahku

dan gigitlah ia dengan gigi geraham”. Ibnu Abbas  juga meriwayatkan sabda Nabi : “Aku telah meninggalkan ditengah-tengah kalian dua hal yang kalian tidak akan pernah tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya:

kitab Allah  dan sunnahku”.

Dua hadis diatas menjelaskan bahwa perselisihan di tengah umat Islam

merupakan suatu keniscayaan dan jalan keluar darinya adalah dengan berpegang

teguh dengan sunah beliau  dan para sahabatnya.

Syaikh „Abdullah al-GhunaimÉn menjelaskan bahwa sebab perselisihan

dan perpecahan ditengah umat Islam disebabkan oleh dua sebab utama, yaitu:

Pertama, Sebab-sebab dari dalam umat Islam, di antaranya; 1) memperturutkan

hawa nafsu yang mendorong manusia untuk menyimpang dari kebenaran dan

menolaknya, 2) kebodohan hal ini penyebab utama seseorang jatuh pada

kebidahan dan perselisihan, 3) sikap melampaui batas (al-ghuluw dan al-ifrÉÏ), hal

ini adalah sebab yang mendorong terjadinya iftirÉq dalam Islam, 4) ta’wÊl

terhadap nas-nas syariat dengan tanpa dalil, 5) menjadikan akal sebagai tolok ukur

(8)

Kedua, Sebab-sebab dan pengaruh dari luar umat Islam, di antaranya; 1)

futËÍÉt islÉmiyah, hal ini menyebabkan infiltrasi budaya dan pemikiran dari luar

Islam, 2) banyaknya umat lain yang masuk Islam dalam keadaan belum bersih

akidah, sehingga menimbulkan pengaruh dalam pemahaman keislaman, 3)

penerjemahan kitab-kitab filsafat dan mantik (logika) Yunani (ilmu kalÉm), serta

usaha untuk mempelajari dan mendalaminya, 4) masuk islamnya sebagian

misionaris Yahudi, NaÎrani, atau agama lain dengan tujuan untuk merusak Islam.

Sa‟ad „Abdullah Sa‟dÉn menambahkan, bahwa perpecahan di tengah umat

Islam disebabkan pula oleh beberapa hal, di antaranya; 1) makar dan tipu daya

dari musuh-musuh Islam untuk memecah-belah mereka, 2) fenomena fanatisme

(ta’aÎÎub) kepada mazhab atau golongan tertentu, 3) tidak diindahkannya

kebidahan dan kesesatan hingga tersebar luas di masyarakat, 4) peremehan

terhadap Ïalabu al-’ilmi syar’i berdasarkan manhaj salaf, 5) penerimaan atas

semua pemikiran yang masuk dalam Islam tanpa menimbang kebenarannya

dengan Alquran dan sunah, dan 6) tidak optimalnya amar ma’ruf nahi munkar.

Dua pendapat di atas diakui pula oleh Harun Nasution. Ia menuturkan,

bahwa diantara yang menimbulkan perpecahan umat islam adalah banyaknya

terjadi kontak kaum muslim dengan keyakinan-keyakinan dan

pemikiran-pemikiran dari agama-agama lain dan dengan filsafat Yunani. Sehingga dari

sinilah mulai bermunculan paham-paham yang berseberangan dengan Islam

seperti Qadariyah, Jabariyah atau yang dikenal dengan Żatalis, dan Mu‟tazilah.

Kontak dengan filsafat Yunani ini membawa kepada pemujaan terhadap akal ke

(9)

sehingga tidaklah mengherankan apabila dalam pemikiran teologi mereka banyak

dipengaruhi oleh daya akal atau ratio dan teologi mereka memiliki corak liberal.

Pada perkembangannya, penggunaan akal telah dipergunakan oleh

Mu‟tazilah untuk memahami tentang keimanan (IlÉhiyyÉt) dan mereka tidak lagi

menggunakan nas (dalil) sebagai pijakan dalam memahaminya. Di antara

pendapat yang mereka sebarkan sejak masa pendahulu mereka, WÉÎil bin „AÏÉ‟,

yaitu penafian terhadap sifat-sifat Allah  dan mereka berkeyakinan bahwa Allah

 tidak mempunyai sifat. Hal itu tidaklah mengherankan karena menurut mereka pemberian sifat kepada Allah  membawa kepada kesyirikan atau politeisme. Menurut mereka, hal tersebut membawa pengertian bahwa yang bersifat qadÊm

(permulaan) akan banyak, maka untuk memelihara tauhid atau kemahaesaan

Tuhan, tidak boleh dikatakan bahwa Tuhan memiki sifat. Tuhan tetap mengetahui,

berkuasa, pemurah, dan sebagainya tetapi semua itu bukanlah sifat malahan esensi

Tuhan itu sendiri.

Pemikiran-pemikiran rasional Mu‟tazilah dalam masalah teologi ini terus

dibawa dan disebarkan oleh para penerusnya seperti; Abu Hu ail al-„AllÉf,

al-NaÐÐÉm, al-Murdar, al-JÉÍiÌ, al-JubÉ‟i, al-KhayyÉÏ, Abu HÉsyim, dan lain-lain. Di

antara pembesar Mu‟tazilah ketika itu adalah Abu al-×asan al-Asy‟arÊ yang

merupakan murid besar dari al-JubÉ‟Ê.

Abu al-×asan al-Asy‟arÊ pada perkembangan pemikiran dan pemahaman

teologinya ia berbalik menyerang ideologinya yang dahulu ia pegangi yaitu

Mu‟tazilah. Di antara yang ia tolak dari teologi Mu‟tazilah adalah penafian

(10)

mungkin ia mengetahui dengan esensi-Nya, maka Tuhan harus mengetahui

dengan sifat-Nya.

Hanya saja para ulama menjelaskan bahwa pada masa awal

penentangannya terhadap Mu‟tazilah, Abu al-×asan al-Asy‟arÊ sebenarnya masih

dalam kegoncangan antara pemikiran teologinya yang lama yaitu Mu‟tazilah yang

mana telah terwariskan pada dirinya ilmu mantik (logika) dan kecondongannya

kepada Ahlusunah waljamaah atau AÎÍÉb al-×adÊts dan iapun jatuh pada

pemahaman KullÉbiyah. Sehingga dalam penetapan sifat-sifat bagi Allah , ia hanya menetapkan tujuh sifat bagi Allah  yang ia anggap sesuai dengan akal manusia. Adapun Îifatkhabariyah tentang Allah  iapun menakwilkannya.

Apa yang dicetuskan oleh al-Asy‟arÊ ketika itu tersebar ditengah

masyarakat dan menjadi titik awal berkembangnya teologi Asy‟ariyah. Sikap

sejalan dengan Abu al-×asan al-Asy‟arÊ juga dilakukan oleh Abu ManÎËr

al-MÉtËridÊ (w. 333 H) dimana dalam banyak hal ia sepaham dengan al-Asy‟arÊ

terutama dalam masalah penetapan Îifat bagi Allah  dan iapun menentang

Mu‟tazilah. Dalam penetapan Îifat Allah  ia sejalan dengan al-Asy‟arÊ yaitu menggunakan akal sebagai tolok ukur, dan ia menambahkan 13 sifat tambahan

bagi Allah  selain apa yang diprakarsai oleh al-Asy‟arÊ sehingga genaplah menjadi 20 sifat bagi Allah . Inilah yang dinamakan sifat wajib dua puluh bagi Allah  yang wajib diyakini menurut AsyÉ'irah.

Dalam perkembangannya, mazhab ini berkembang ditengah masyarakat

dan diterima oleh mayoritas kaum muslim di kala itu. Abu al-×asan al-Asy‟arÊ

(11)

kemudian menyadari bahwa apa yang ia yakini dan ia tetapkan sebelumnya adalah

keliru dan iapun mengakui bahwa akidah yang ia yakini sebelumnya adalah keliru

dan ia menyatakan bahwa akidah yang benar adalah apa yang Imam AÍmad bin

Hanbal berada diatasnya, terutama dalam masalah asmÉ’ dan ÎifÉt karena pada sisi

itulah terjadi perpecahan dan perdebatan dalam dunia ilmu kalÉm.

Ibnu KatsÊr (w. 774 H) berkata, „Para ulama menyebutkan bahwa Syaikh

Abu al-×asan al-Asy‟arÊ memiliki tiga fase pemikiran: Pertama, mengikuti

pemikiran Mu‟tazilah yang kemudian beliau keluar darinya, Kedua, menetapkan

tujuh ÎifÉt aqliyyah, yaitu; HayÉt, ’Ilmu, Qudrah, IrÉdah, Sama’, BaÎar, dan

KalÉm, dan beliau menakwil ÎifÉtkhabariyyah seperti wajah, dua tangan, telapak

kaki, betis, dan yang semisalnya. Ketiga, menetapkan semua Îifat Allah  tanpa

takyÊf dan tasybÊh sesuai manhaj para salaf, inilah jalan yang ia pilih dalam

kitabnya yang berjudul al-IbÉnah yang merupakan akhir karangannya‟.

Abu al-×asan al-Asy‟arÊ berkata bahwa, “Pendapat yang kami pegang dan

agama yang kami yakini adalah berpegang kepada kitab Rabb kami  dan sunah Nabi kami  dan apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabi‟in, dan para imam hadis. Kami berpegang kepada semua itu dan kami mengatakan apa yang

diucapkan oleh Abu „Abdillah AÍmad bin MuÍammad bin ×anbal -semoga Allah

 mengangkat derajatnya dan mengagungkan pahalanya-. Kami menyelisihi pendapat yang menyelisihi ucapannya, karena ia adalah imam yang agung,

pemimpin yang mulia, yang dengannya Allah  menjelaskan kebenaran dan menepis kesesatan orang-orang yang ragu. Semoga Allah  melimpahkan rahmat

(12)

yang sebelumnya ia yakini dan pernyataannya atas kebenaran mazhab Ahlusunah

waljamaah atau AÎhÉb al-HadÊts, yang mana sosok Imam AÍmad bin ×anbal di

kala itu diakui sebagai salah seorang pembawa benderanya.

Meski demikian, pemahaman yang telah dikembangkan oleh al-Asy‟arÊ

sebelum ia kembali kepada manhaj yang Íaq, hingga kini masih bergulir dan

digeluti oleh banyak kaum muslim. Hal yang paling menonjol adalah penetapan 7

sifat wajib bagi Allah  yang kemudian dikembangkan oleh mutaakhirÊn

Asy‟ariyah sehingga menjadi 20 sifat dan penakwilan ÎifÉt khabariyah. Inilah

yang kemudian menjadi akidah Asy'ariyah dalam penetapan ÎifÉt Allah .

Dalam perkembangannya, pemikiran kalÉm Asy'ariyah telah melewati

masa-masa yang kian menambah jarak antara mereka dengan Ahlusunah

waljamaah, terutama setelah para tokohnya yang datang terakhir memasukkan

prinsip-prinsip keyakinan yang diambil dari filsafat, tasawuf, mantik (logika) dan

ilmu kalÉm. Pergeseran inilah yang menyebabkan rentannya mazhab Asy‟ariyah

untuk tersusupi pemikiran-pemikiran batil. Dan secara umum mereka sejalan

dengan Ahlusunah waljamaah dalam beberapa masalah akidah, dan berbeda

dalam beberapa perkara akidah lainnya.

Perberkembang pesat mazhab Asy'ariyah menjadikannya sebagai mazhab

kalÉm tersendiri yang tersebar ke banyak negeri Islam dan menjadi mazhab

kebanyakan dari kaum muslim. Dari sinilah awal munculnya klaim bahwa mereka

adalah golongan yang berada di atas kebenaran (Íaq) dan mereka adalah

(13)

Di Indonesia, pemikiran kalÉm Asy'ariyah diajarkan secara mendalam di

kebanyakan pesantren tradisionalis yang pada umumnya mengajarkan fikih

mazhab SyÉfi‟Ê dan akidah Asy‟ariyah. Lebih dari itu akidah Asy‟ariyah juga

telah merambah ke kurikulum pendidikan Agama Islam Departemen Agama.

Tidak hanya sampai di sini, setelah penulis memperhatikan penerjemahan Alquran

di Indonesia, yang pada umumnya mengacu kepada terjemah Departemen Agama

Republik Indonesia, di dalamnya terdapat penakwilan ÎifÉt khabariyah bagi Allah

. Ini menunjukkan kekuatan pengaruh mazhab AsyÉ‟irah di bumi Indonesia. Apa yang telah dipaparkan dengan singkat diatas adalah pendorong utama

bagi penulis untuk mencoba meneliti dan mendalami pemikiran asmÉ’ dan ÎifÉt

Allah  menurut Abu al-×asan al-Asy‟arÊ di akhir perjalanan keagamaannya, serta berusaha mendudukkannya dengan pemikiran Asy‟ariyah, mengingat

pemikiran mereka tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah  telah tersebar di tengah umat Islam dan terkesan bahwa pemikiran tersebut adalah akhir dari pemikiran Abu

al-×asan al-Asy‟arÊ. Penulis meyakini diperlukannya suatu penelitian untuk

menjelaskan kepada kaum muslim pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ tentang

asmÉ’ dan ÎifÉt Allah ?

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka rumusan masalah

yang diajukan adalah sebagai berikut; 1) Bagaimanakah pemikiran Abu al-×asan

al-Asy‟arÊ tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah  ?, 2) Bagaimanakah pemikiran

Asy‟ariyah tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah  ?

Nama lengkap beliau adalah Abu al-×asan „AlÊ bin IsmÉ‟Êl bin Abi Bisyr

(14)

Abi MËsÉ „Abdullah bin Qais bin ×aÌar al-Asy‟arÊ al-YamanÊ . Ia dilahirkan di kota BaÎrah, Iraq pada tahun 260 H dan wafat pada tahun 324 H.

Beliau dibesarkan dalam keluarga yang mencintai ilmu dan sederhana

sehingga zuhud dan warÉ‟ adalah dua sifat yang menonjol darinya. Aktifitas

ilmiah mengitari kehidupan al-Asy‟arÊ, di mana ia menyibukkan diri dengan

mencari ilmu. Di antara gurunya yang terpenting adalah ayah tirinya, Abu „AlÊ

MuÍammad bin „Abd al-Wahhab al-JubÉ‟Ê al-Mu‟tazÊlÊ dan Zakariya bin YaÍyÉ

al-SÉjÊ al-SyÉfi‟Ê yang darinyalah ia mengambil ilmu uÎËl al-ÍadÊts dan

mempelajari mazhab Salaf khususnya dalam masalah Îifat Allah . Dan di antara murid-murid beliau adalah: Ibnu MujÉhid MuÍammad bin AÍmad bin

MuÍammad bin Ya‟qËb dan Abu ×asan BÉhilÊ (keduanya adalah guru

al-BÉqilÉnÊ dan Ibnu al-Faurak)

Abu al-×asan al-Asy‟arÊ adalah seorang ulama yang produktif, ia

menyibukkan diri dengan menulis banyak karya ilmiah pada setiap disiplin ilmu

yang ia kuasai. Karya beliau mencapai 98 judul, yang tercetak dan tersebar di

tengah kaum muslim tidak lebih dari empat buah judul yaitu; 1) Al-Luma’ fÊ

al-Raddi ’ala Ahli al-Zaighi wa al-Bida’, 2) RisÉlatun ilÉ Ahli al-Tsaghr, 3)

MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn wa IkhtilÉfi al-MuÎallÊn, dan 4) Al-IbÉnah ’an UÎËli

a-DiyÉnah, kitab ini adalah kitab yang penting yang di dalamnya ia menerangkan

apa yang menjadi akidah yang ia pegangi di akhir perjalanan hidup beliau.

Perkembangan iktikad Abu al-×asan al-Asy‟arÊ melalui tiga marÍalah

(15)

Fase Awal iktikad al-Asy‟arÊ, ia mengikuti pemikiran Mu‟tazilah. Hal ini

dikarenakan sejak kecil sampai usia beliau empat puluh tahun berada dalam

didikan bapak tirinya, Abu „AlÊ MuÍammad bin „Abd al-WahhÉb al-JubÉ‟Ê

al-Mu'tazilÊ. Ketika genap umur beliau 40 tahun, ia meninggalkan pemikiran i’tizÉ

l-nya. Adapun sebab keluarnya Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dari Mu‟tazilah ada dua

sebab asasi sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu „AsÉkir; Pertama, Beliau

bermimpi bertemu Nabi , yang memerintahkannya untuk mengikuti Alquran dan sunah. Kedua, Pertanyaan-pertanyaan dan munÉqasyah (diskusi) antara

al-Asy‟arÊ dengan para gurunya dari kalangan Mu‟tazilah, akan tetapi ia tidak

mendapatkan jawaban yang menentramkan hatinya.

Fase Kedua iktikad al-Asy‟arÊ berada di atas pemikiran KullÉbiyah. Ia

mulai membantah Mu‟tazilah dengan berpijak kepada pemikiran KullÉbiyah

dibawa oleh Abu MuÍammad „Abdullah bin Sa‟Êd bin KullÉb al-BaÎrÊ. Pada fase

kedua ini, ia hanya menetapkan tujuh sifat ‘aqliyah/ lÉzimah yang bersifat azali

bagi Allah , yaitu: al-ÍayÉh (hidup), al-‘ilmu (ilmu), al-qudrah (kemampuan),

al-irÉdah (kehendak), al-kalÉm (berfirman), al-sama’ (mendengar), dan al-baÎar

(melihat). Pendapat ini berasal dari pendapat Ibnu KullÉb, hal ini sebagaimana

diakui sendiri oleh al-Asy‟arÊ dalam MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn, Jilid II, h. 546.

Adapun sikapnya terhadap Îifat ikhtiyÉriyah dan ÎifÉt khabariyah bagi Allah  adalah dengan menakwilkannya.

Fase Ketiga yaitu kembalinya Abu al-×asan al-Asy‟arÊ kepada mazhab

Salaf Ahlusunah waljamaah dan meninggalkan pendapat KullÉbiyah. Setidaknya

(16)

terdahulu sampai sekarang atasnya, 2) perjumpaan Beliau Dengan al-HÉfiÐ

Zakaria al-SÉjÊ yang mana ia mengambil uÎËl Ahlusunah dan Hadis darinya

demikian pula Abu MuÍammad al-BarbahÉri al-×anbalÊ yang merupakan ahli

hadis dan fikih yang merupakan sahabat imam AÍmad bin ×anbal, 3) penulisan

kitab al-IbÉnah ’an UÎËli al-DiyÉnah yang merupakan karya terakhir al-Asy‟arÊ

dan di dalamnya berisi persaksian atas iktikad akhir yang ia yakini yaitu iktikad

Ahlusunah waljamaah salaf saleh aÎÍÉbu al-ÍadÊts sebagaimana ia ber-intisÉb

kepada imam AÍmad bin ×anbal, 4) perbedaan yang sangat jelas dalam hal

metode bayÉnÊ dan burhÉnÊ pada fase kedua dan fase ketiga iktikad al-Asy‟arÊ.

Perbedaan yang paling menonjol adalah dalam metode istidlÉl, pada kitab

al-Luma’ dan IstihsÉnu al-×auÌi fÊ ‘Ilmi al-KalÉm, ia mengikuti pemikiran Ibnu

KullÉb dan menetapkan sifat lÉzimah bagi Allah  serta mengingkari ÎifÉt ikhtiyÉriah-Nya. Hal serupa tidak terjadi pada kitab RisÉlatun ilÉ Ahli Tsaghr,

MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn wa IkhtilÉfi al-MuÎallÊn, dan al-IbÉnah ’an UÎËli

al-DiyÉnah yang merupakan buah karyanya di fase akhir perkembangan iktikadnya.

Dalam ketiganya ia ber-istidlÉl dengan nas-nas Alquran, sunah, perkataan para

salaf saleh, dan terkadang memberikan diskusi-diskusi logis untuk menjatuhkan

syubuhÉt firqah-firqah di luar Ahlusunah waljamaah, 5) pernyataan al-Asy‟arÊ

bahwa dia mengikuti mazhab Ahlu al-×adÊts Ahlusunah waljamaah sebagaimana

iktikad imam AÍmad bin ×anbal sebagaimana termaktub dalam dua karyanya;

MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn wa IkhtilÉfi al-MuÎallÊn, dan al-IbÉnah fÊ UÎËli

(17)

Penisbatan al-IbÉnahan UÎËli al-DiyÉnah kepada al-Asy‟arÊ adalah suatu

hal yang jelas berdasarkan argumentasi-argumentasi yang tidak terbantahkan.

Mengenai pengingkaran atas penisbatan kitab al-IbÉnah kepada al-Asy‟arÊ, maka

persaksian ulama yang mengetahui kehidupan al-Asy‟arÊ adalah cukup sebagai

sanggahan atas pengingkaran tersebut. Di antara mereka adalah Ibnu NÉdim (w.

385 H), seorang muarrikh yang paling dekat masa hidupnya dengan al-Asy‟arÊ.

Ketika ia menuliskan biografi al-Asy‟arÊ dan menyebutkan karya–karyanya, di

antaranya kitab alTabyÊn ‘an UÎËl al-DÊn (judul ini semakna dengan al-IbÉnah

’an UÎËli al-DiyÉnah). Hal serupa juga dipersaksikan oleh Ibnu „AsÉkir, ia

menegaskan bahwa kitab al-IbÉnah adalah karya al-Asy‟arÊ dalam kitabnya

TabyÊn Ka ibi al-MuftarÊ.

Ibnu Darbas (w. 659 H) mengarang kitab yang ia beri judul al- abbu ‘an

Abi al-×asan al-Asy’arÊ wa KitÉbihi al-IbÉnah ’an UÎËli al-DiyÉnah, ia berkata:

“Ketahuilah bahwa kitab al-IbÉnah ’an UÎËli al-DiyÉnah adalah karya imam

al-Asy‟arÊ, dan ia merupakan tolok ukur bagi kebenaran penyandaran pendapat

kepadanya, sehingga semua penisbatan pendapat kepada al-Asy‟arÊ yang tidak

sesuai dengan isi kitab tersebut maka beliau berlepas diri darinya”. Kemudian

Ibnu Darbas menyebutkan nama–nama ulama yang menegaskan keabsahan kitab

al-IbÉnah sebagai karya akhir al-Asy‟arÊ.

Sebagaimana pula keabsahan penisbatan kitab tersebut kepadanya

ditetapkan oleh mayoritas ulama ahli taÍqÊq terdahulu maupun sekarang. Di antara

mereka adalah: Ibnu Taimiyah, al- ahabÊ, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu KatsÊr,

(18)

al-ZabÊdÊ, al-HÉfiÐ al-×akamÊ, ×ammÉd al-AnÎÉrÊ, Dr. Fauqiyah ×usain, Dr.

„AbdurraÍman al-BadawÊ, „AbdurraÍman bin ØÉliÍ bin ØÉliÍ al-MaÍmËd, Dr.

NÉÎir bin „Abd al-KarÊm al-„Aql,dan Dr. ØÉlih Muqbil al-„UÎaimÊ. Kiranya uraian

di atas cukup untuk menegaskan atas kebenaran penisbatan kitab al-IbÉnah

kepada al-Asy‟arÊ dan semua pendapat yang disandarkan kepadanya yang tidak

sesuai dengan isi kitab al-IbÉnah, maka beliau berlepas diri darinya.

Kesungguhan ulama Ahlusunah dalam membahas dan menerangkan asmÉ’

dan ÎifÉt Allah  dibangun di atas pengagungan terhadap nas-nas Alquran dan sunah, sehingga mereka mengimaninya sebagaimana datangnya dengan tanpa

melakukan ta’ÏÊl, taÍrÊf, tamtsÊl, takyÊf, tafwÊÌ, atau ilÍÉd. Mereka meyakini

bahwa nas-nas ÎifÉt merupakan wahyu dari Allah  yang tidak dapat diketahui

kaifiyat-nya dengan akal yang lemah serta boleh jadi tersisipi dalam batin-batin

mereka suatu keburukan sehingga menyeret mereka untuk berbicara atas Allah  pada apa yang tidak mereka ilmui. Mereka mendahulukan sikap ta'ÐÊm dan taslÊm

terhadap semua berita yang datang dari Allah  dan Rasul-Nya , termasuk dalam memahami asmÉ’ dan ÎifÉt Allah . Secara ringkas, mereka menetapkan

asmÉ’ dan ÎifÉt berdasarkan Alquran dan sunah, dengan tidak melakukan ta’ÏÊl,

taÍrÊf, ta’wÊl, tamtsÊl, takyÊf, atau ilÍÉd, menafikan semua asmÉ’ dan ÎifÉt yang

Allah  nafikan dari Diri-Nya dalam Alquran dan sunah, dan menyikapi asmÉ’

dan ÎifÉt Allah  yang diperselisihkan oleh umat Islam karena tidak ada nas yang bersifat itsbÉt ataupun nafyu dengan tawaqquf, tidak menetapkan dan tidak

(19)

Pemikiran seorang tokoh dapat diketahui di antaranya melalui

karya-karyanya, pemikirannya yang diriwayatkan oleh orang-orang semasanya, baik dari

kawan atau lawannya, demikian pula penelitian-penelitian sejarah terkait dengan

kehidupan tokoh tersebut. Pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ yang

mencerminkan akidah beliau yang terakhir ia tuangkan dalam tiga karyanya,

yaitu: RisÉlatun ilÉ Ahli al-Tsaghr, MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn wa IkhtilÉfi

al-MuÎallÊn,dan al-IbÉnah ’an UÎËli al-DiyÉnah. Dalam menjelaskan akidah dan di

antaranya kajian tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah , al-Asy‟arÊ berjalan di atas

manhaj yang dapat diketahui dengan meneliti tiga karyanya di atas.

Secara ringkas, manhaj yang beliau pegang dalam mengambil akidah

adalah sebagai berikut: 1) berpegang teguh terhadap Alquran dan sunah, 2)

wajibnya meninggalkan perbuatan bidah dan para pelakunya, 3) meninggalkan

al-jadal (debat), al-mirÉ’ (pertentangan), dan al-khuÎËmatu fÊ al-dÊn (bertengkar

dalam masalah agama), 4) berpegang pada hadis-hadis yang sahih, 5) berpegang

dengan manhaj salaf Ahlusunah waljamaah, dan 6) Al-Asy‟arÊ menjelaskan

akidah dengan metode bayÉnÊ dan burhÉnÊ yang tepat.

Asy‟ariyah adalah kelompok dari Ahlu al-KalÉm yang menisbatkan diri

kepada Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dalam masalah akidah, hanya saja penisbatan

mereka tidaklah secara adil karena penisbatan mereka kepada al-Asy‟arÊ tidaklah

tercermin melainkan pada fase kedua dari pemikiran al-Asy‟arÊ yaitu ketika ia

memegang pemikiran KullÉbiyah, sehingga sebagian ulama menyebut Asy‟ariyah

dengan KullÉbiyah. Sedangkan mereka yang menisbatkan diri kepada Abu

(20)

karyanya yang akhir yaitu al-IbÉnah, maka tidaklah disebut dengan Asy‟ariyah

namun Ahlusunah waljamaah karena kesesuaian manhaj mereka dengan

Ahlusunah waljamaah.

Dalam perkembangan mazhabnya, Asy‟ariyah semakin jauh dari

penisbatannya kepada Abu al-×asan al-Asy‟arÊ, hal tersebut disebabkan karena

para tokoh mereka banyak memasukkan hal-hal baru dalam akidah yang mereka

ambil dari uÎËl Mu‟tazilah, sehingga terjadi banyak pergeseran antara qudamÉ’

dan mutaakhirÊnAsy‟ariyah.

Asy‟ariyah dalam menetapkan akidah berpegang pada manhaj berikut: 1)

mengambil akidah hanya dari dalil-dalil yang mutawÉtir, 2) mendahulukan akal

atas naqal, 3) mengingkari ÐÉhir dari nas dan meyakini makna majas darinya,

bahkan mereka beranggapan bahwa mengambil makna lahir dari suatu nas adalah

salah satu sumber kekafiran. 4) pokok (uÎËl) akidah menurut Asy‟ariyah ada tiga,

yaitu sebagai berikut; pertama, yang hanya ditetapkan oleh akal saja dengan tanpa

melihat kepada naqal, seperti sebagian besar ÎifÉt Allah ; oleh sebab itu mereka menyebut sifat tujuh yang mereka tetapkan dengan ÎifÉt ‘aqliyyah, kedua, yang

hanya ditetapkan oleh naqal saja yaitu yang terkait dengan perkara gaib (

al-sam’iyyÉt), al-taÍsÊn wa al-taqbÊÍ (penilaian baik dan buruk), dan al-tasyrÊ’.

ketiga, yang sumber penetapannya adalah akal dan naqal secara bersamaan –hal

ini masih diperselisihkan oleh mereka- seperti melihat Allah  di surga, hal ini ditetapkan akal sedangkan naqal adalah menguatkannya. Empat hal ini adalah

(21)

Perlu kiranya disebutkan akidah Asy‟ariyah secara ringkas sehingga dapat

diketahui lebih jauh sisi distorsi antara akidah mereka dengan akidah al-Asy‟arÊ.

Secara garis besar Asy’ariyah menetapkan akidah sebagai berikut: 1) keimanan

adalah sekedar pembenaran (al-taÎdÊq) dan mereka tidaklah menetapkan

perbuatan anggota tubuh (amalan) termasuk dari cabang keimanan, sehingga

kekufuran tidaklah terjadi disebabkan karenanya, 2) Asy‟ariyah berakidah

Jabariyah dalam permasalahan takdir, mereka tidak menetapkan al-irÉdah

al-syar’iyyah, menurut mereka takdir datangnya dari Allah  dan usaha (al-kasbu) dari manusia, dan al-kasbu ini tidak ada pengaruhnya sama sekali. Oleh sebab itu,

menurut al-RÉzÊ, bahwa manusia adalah majbËr (dipaksa) dan mukhtÉr (diberi

pilihan), 3) mengingkari sebab dan hikmah dalam perbuatan allah , menurut mereka, jika ditetapkan adanya sebab di balik perbuatan Allah  berarti Allah  tidaklah berbuat sekehendak-Nya. Dengan dasar inilah mereka tidak

mencantumkan hikmah ke dalam tujuh sifat ma’ÉnÊ, dan mencukupkan dengan

sifat irÉdah. Padahal hikmah mengharuskan adanya irÉdah dan ilmu serta lebih

dari itu, 4) membatasi makna kalimat tauhid hanya pada tauhid rubËbiyyah, 5)

nubuwwÉt (kenabian) adalah kembali kepada masyÊ’ah murni, dan tidak ada yang

menjadi bukti kebenarannya melainkan hanya mukjizat, 6) wilÉyah (Kewalian)

adalah karunia dari Allah  (wahbiyyah), bukan sesuatu yang dapat diupayakan (muktasabah), dan dibuktikan dengan karÉmah, 7) penilaian baik dan buruk

dengan menggunakan akal dan fitrah manusia, 8) kewajiban pertama seorang

mukalaf adalah melihat (naÐar) kepada ayat-ayat yang tegas dan bukti-bukti logis

(22)

semesta adalah baru (ÍudËts) demikian pula dirinya. Menurut mereka apabila

seseorang berkata bahwa ia mengimani Allah  melalui jalan ma’rifah fiÏriyyah

dengan jalan selain naÐar, maka hakikatnya ia adalah seorang muqallid, bahkan

sebagian mereka menguatkan pendapat atas kekafirannya. Sebagian yang lain

menyatakan bahwa hal yang pertama yang wajib dikehui oleh seorang hamba

adalah pengenalan terhadap Allah  (ma’rifatullah) terkait apa yang wajib, apa yang boleh, dan apa yang mustahil bagi-Nya. Pengenalan yang mereka

maksudkan adalah pengenalan dengan jalan akal (naÐar ’aqlÊ) atas Allah .

Al-Asy‟arÊ mengimani dan menetapkan semua asmÉ’ Allah 

sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Alquran dan sunah. Ia juga menolak

pertentangan dalam polemik tentang al-ismu (nama) dan musammÉ (yang

dinamai), baginya al-ismu adalah untuk musammÉ, sedangkan keyakinan bahwa

al-ismu adalah selain musammÉ adalah kesesatan dalam beragama, sehingga

perdebatan dalam masalah ini adalah kebidahan.

Ia menetapkan semua ÎifÉt Allah  sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Alquran dan sunah serta memperlakukannya sesuai makna lahirnya dengan

tanpa melakukan takyÊf, tamtsÊl, ta’ÏÊl, dan ta’wÊl. Sehingga ia menetapkan semua

ÎifÉt Étiyah bagi Allah  seperti ÎifÉt ilmu, wajah, dua mata, dua tangan, dan jari-jari. Ia juga menetapkan semua ÎifÉt fi’liyah bagi Allah  seperti ÎifÉt al-qabÌah, al-istiwÉ’, al-ityÉn, al-majÊ’, dan al-nuzËl. Dalam penetapannya terhadap

ÎifÉt tersebut, ia menegaskan keharusan menetapkannya dengan tanpa melakukan

(23)

Pembelaannya terhadap akidah dan manhaj Ahlusunah waljamaah salaf

saleh aÎÍÉbu al-ÍadÊts ia buktikan dengan memberikan bantahan (rudËd) atas

argumentasi aÎÍÉbu al-firaq seperti Mu‟tazilah, Jahmiyah, Qadariyah, KhawÉrij,

RÉfiÌah, Murji‟ah dan selainnya yang menyimpang dalam hal akidah secara

umum dan lebih khusus terkait dengan pemikiran asmÉ’ dan ÎifÉt Allah .

Al-Asy‟arÊ mematahkan argumentasi mereka dengan dalil-dalil naqli dan akli dengan

metode bayÉnÊ serta burhÉnÊyang telah ia pelajari sebelumnya. Bahkan al-Asy‟arÊ

menegaskan bahwa siapa saja yang menyimpang dari al-Íaq maka termasuk

pelaku kebidahan (ahlu al-bida’), pengikut hawa nafsu (ahlu al-ahwÉ’), dan

orang-orang yang menyimpang (ahlu al-zaighi).

Dalam menetapkan asmÉ’ Allah , Asy‟ariyah berpendapat bahwa ia adalah qadÊm sebagaimana ÎifÉt-Nya. Pendapat ini pada dasarnya sama dengan

pendapat Mu‟tazilah dari sisi kesamaan anggapan bahwa asmÉ’ Allah  adalah makhluk (diciptakan). Mereka menyatakan bahwa asmÉ’ Allah  bukanlah makhluk dan asmÉ’ Allah  adalah zat-Nya sendiri, hanya saja penamaan ( al-tasmiyyah) maka itu adalah makhluk. Tidak lain yang mereka maksudkan dari

penamaan (al-tasmiyyah) adalah asmÉ’ Allah  itu sendiri. Maka tampaklah kesesuaian mereka dengan Ahlusunah secara lahir namun dari sisi makna mereka

sesuai dengan Mu‟tazilah.

Asy‟ariyah berpendapat bahwa kewajiban pertama bagi setiap mukalaf

adalah pengenalan atas Allah  (ma’rifatullah) terkait dengan apa yang wajib ditetapkan atas-Nya, serta apa yang mustahil dan apa yang boleh dari ÎifÉt-Nya

(24)

ÎifÉt yang mustahil bagi Allah  yang merupakan kebalikannya, dan mengenali semua hal yang boleh bagi Allah .

Øifat wajib berjumlah 20, mereka membagi menjadi empat; Pertama, Øifat

Nafsiah yaitu WujËd (Ada). Kedua, ØifÉt Salbiyyah yaitu al-Qidam (Terdahulu),

al-BaqÉ’ (Kekal), al-MukhÉlafatu li al-×awÉdÊtsi (Berbeda dengan Makhluk),

QiyÉmuhu bi Nafsihi (Berdiri Sendiri), dan al-WahdÉniyyah (Esa). Ketiga, ØifÉt

Ma’ÉnÊ yaitu al-Qudrah (Berkuasa), al-IrÉdah (Berkehendak), al-‘Ilmu

(Mengetahui), al-HayÉh (Hidup), al-Sam’u (Mendengar), al-BaÎaru (Melihat),

dan al-KalÉm (Berbicara). Keempat, ØifÉt Ma’nawiyyah yaitu Kaunuhu Qadiran

(Senantiasa Berkuasa), Kaunuhu MurÊdan (Senantiasa Berkehendak), Kaunuhu

„AlÊman (Senantiasa Mengetahui), Kaunuhu Hayyan (Senantiasa Hidup),

Kaunuhu SamÊ’an (Senantiasa Mendengar), Kaunuhu BaÎÊran (Senantiasa

Melihat), dan Kaunuhu Mutakalliman (Senantiasa Berbicara).

Sedangkan ÎifÉt mustahil adalah ÎifÉt yang pasti tidak melekat pada Allah

 dan wajib tidak adanya. Sifat ini merupakan kebalikan dari ÎifÉt wajib yang juga berjumlah 20, yaitu al-‘Adam (Tidak Ada), al-HudËts (Baru), al-FanÉ’

(Binasa), al-MumÉtsalah li al-×awÉdÊtsi (serupa dengan makhluk), QiyÉmuhu bi

Ghairihi (Berdiri Dengan yang Lain), al-Ta’addud (Berbilang), al-‘Ajzu (Lemah),

al-KarÉhah (Terpaksa), al-Jahlu (Bodoh), al-Maut (Kematian), al-Øammu (Tuli),

al-‘Umyu (Buta), al-Bukm (Bisu),Kaunuhu ‘AjÊzan (Senantiasa Lemah), Kaunuhu

KarÊhan (Senantiasa Terpaksa), Kaunuhu JÉhilan (Senantiasa Bodoh), Kaunuhu

Mayyitan (Senantiasa Mati), Kaunuhu AÎam (Senantiasa Tuli), Kaunuhu A’mÉ

(25)

Asy‟ariyah menetapkan seluruh ÎifÉt Allah  melalui akal tidak melalui naqal sehingga mereka menafikan semua ÎifÉt khabariyah bagi Allah  yang terdapat dalam Alquran dan sunah, baik yang berupa ÎifÉt Étiyah maupun ÎifÉt

fi’liyah, melainkan hanya tujuh ÎifÉt yang mereka sebut dengan ÎifÉt ma’ÉnÊ.

Sedangkan selain dari tujuh ÎifÉt ma’ÉnÊ di atas, maka harus ditakwilkan atau

diserahkan kepada Allah  (tafwÊÌ). Hal ini adalah uÎËl yang disepakati oleh

mutaÉkhirÊn Asy‟ariyah, adapun qudamÉ’ Asy‟ariyah sebelum Abu al-Ma„ÉlÊ

al-JuwainÊ, mereka menetapkannya.

Di antara bentuk penakwilan Asy‟ariyah terhadap ÎifÉt Étiyah Allah  adalah dengan menakwilkan ÎifÉt wajah dengan zat, dua tangan dengan kekuatan

dan kenikmatan, dua mata Allah dengan penglihatan dan pengawasan. Sedangkan

penakwilan mereka terhadap ÎifÉt fi’liyah Allah , maka di antaranya mereka menakwilakn istiwÉ’ dengan istÊlÉ’, kedatangan Allah  pada hari Kiamat dengan datangnya ketetapan atau perintah atau azab-Nya, turunnya Allah  dengan turunnya rahmat-Nya atau para malaikat, dan lain-lain. Penakwilan ini

pada asalnya adalah penakwilan yang mereka ambil dari Mu‟tazilah.

Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa secara umum

terdapat banyak perbedaan secara jelas antara pemikiran akidah Abu ×asan

al-Asy‟arÊ dan Asy‟ariyah, yang secara tidak langsung membawa implikasi pada

perbedaan pemikiran dalam mengimani asmÉ’ dan ÎifÉt Allah . Ini merupakan fakta yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian (diskrepansi) dalam penisbatan

Referensi

Dokumen terkait

Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa Relativadverb berfungsi sebagai kata penghubung yang menerangkan keterangan tempat, cara, waktu dan alasan di. kalimat

[r]

Kelengkapan Dokumen yang harus Saudara bawa pada saat acara dimaksud terdiri atas: - asli Dokumen Pengadaan sebagaimana yang telah diunggah pada LPSE Kota Medan; - asli

Berdasarkan hasil evaluasi administrasi, teknis, evaluasi harga serta evaluasi penilaian kualifikasi penawaran oleh Pokja ULP Pengadaan Barang/Jasa Bidang Bina Marga Dinas

Joomla adalah salah satu yang paling populer Open Sorce CMS (sistem manajemen konten).2,7 persen dari Web berjalan pada Joomla, perangkat lunak digunakan oleh individu,

Oleh karena itu, konsep pendidikan fikih dan kalam yang bernuansa multikultural lebih diarahkan pada pengembangan afektif yang mampu merasakan berbagai realitas yang

14 Tahun 2005 yang dimaksud dengan guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar,.. membimbing, mengerahkan, melatih, menilai, dan

Apabila didasarkan pada teori milik David Mc Clelland yaitu Teori Tiga Kebutuhan, maka para wartawan MGTV dan ANTV ini memiliki tiga dasar kebutuhan yang ingin mereka penuhi