• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggelapan Pajak oleh Notaris/PPAT Ditinjau dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi T2 322013035 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggelapan Pajak oleh Notaris/PPAT Ditinjau dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi T2 322013035 BAB II"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

45

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Perpajakan

1. Pengertian Pajak.

Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Rochmat Soemitro dan Dewi Kania

Sugiharti bahwa : “Tanpa ada masyarakat, tidak mungkin ada suatu pajak”.

Pernyataan tersebut didasarkan atas pemikiran bahwa manusia hidup bermasyarakat masing-masing individu membawa hak dan kewajibannya. Demikian juga terdapat proses timbale balik antara tiap individu tersebut dengan masyarakat. Artinya ada hak dan kewajiban individu terhadap masyarakat dan demikian sebaliknya ada kewajiban masyarakat terhadap individu.

Bagi manusia yang memiliki falsafah hidup berdasarkan agama, bahwa semua kehidupan adalah anugrah Tuhan, sehingga patut menyerahkan sebagian pendapatannya untuk kesejahteraan sesama manusia.

(2)

Pembayaran pajak oleh individu kepada negara tersebut akan digunakan oleh masyarakat atau negara untuk melaksanakan kewajibannya kepada individu-individu warga negara.

Pajak ditinjau dari segi ekonomi merupakan peralihan sumber daya ekonomi dari sektor rumah tangga dan swasta ke sektor pemerintah. Kemudian pemerintah membelanjakan penerimaan dari sektor rumah tangga dan swasta tersebut, baik berupa belanja pegawai maupun barang, ini berarti penerimaan tersebut didistribusikan kembali oleh pemerintah ke sektor rumah tangga dan sektor swasta.

Untuk memahami lebih lanjut pengertian pajak, maka perlu dikemukakan beberapa definisi pajak, sebagai berikut :

Brotodiharjo memberi batasan-batasan dari P.J.A. Adriani bahwa pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.1 Menurut Edi Slamet-Syarifuddin, pajak dapat diartikan sebagai suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif negara atau iuran yang dibayarkan oleh rakyat didasarkan pada

1 Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Keempat, Refika

(3)

undang-undang, yang dapat dipaksakan tanpa balas jasa langsung yang dapat ditunjuk.2

Definisi pajak menurut Rochmat Soemitro adalah sebagai berikut :

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan

undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan

dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.

Dari beberapa definisi pajak yang telah dikemukan di atas terdapat kesesuaian pandangan, hal mana bila ditarik unsur-unsurnya dapat diintisarikan, yaitu : adanya pungutan yang bersifat wajib, pungutan dilakukan berdasarkan undang-undang, tidak adanya kontraprestasi secara langsung. Akan tetapi, bila dicermati akan terjadi kontraprestasi secara tidak langsung melalui pembiayaan pengeluaran belanja rutin dan pembangunan yang akan dinikmati kembali oleh masyarakat.

Selain berdasarkan pendapat para ahli hukum sesuai dengan jenis penelitian normatif yang digunakan dalam penelitian ini dipandang perlu mengkaji definisi pajak dari segi perundang-undangan. Dalam Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, menyebutkan:

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

2 Irianto, Edi Slamet, - Syarifuddin Jurdi, Politik Perpajakan, Membangun

(4)

berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat ditarik ciri-ciri yang ada pada pengertian pajak. Adapun ciri-ciri yang dimaksud adalah sebagai berikut : Pertama, Pajak merupakan kontribusi yang bersifat wajib dari orang atau badan kepada negara dan dipungut berdasarkan undang-undang serta peraturan pelaksanaannya. Kedua, Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual secara langsung oleh pemerintah. Ketiga, Pajak dipungut oleh negara baik yang dipungut oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah. Keempat, Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran dan biaya-biaya pemerintah dalam menjalankan fungsinya, yang apabila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai pembangunan atau publik investment. Kelima, Pajak dapat juga membiayai tujuan yang tidak budgeter, yaitu pengaturan pajak oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi mengatur.

2. Asas - Asas dan Syarat - Syarat Pemungutan Pajak

(5)

suatu pemungutan pajak. Dalam kaitan ini Mansury menyatakan sebagai berikut :

“Dari pengalaman ternyata apabila tidak setiap ketentuan rancangan undang-undang pada saat penyusunannya selalu diuji apakah sejalan dengan tujuan dan asas atau syarat yang harus dipegang teguh, ketentuan tersebut mudah sekali mengatur sesuatu yang sebenarnya

tidak sejalan dengan asas atau syarat yang harus dipegang teguh”.

Pajak sebagai suatu kewajiban dari wajib pajak kepada negara yang walaupun pada proses berikutnya ada suatu pendistribusian berupa hasil-hasil pajak kepada masyarakat, dalam pemungutannya sudah seharusnya memperhatikan asas-asas pemungutan pajak. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam pemungutan pajak agar tidak terjadi perlawanan ataupun hal-hal lain yang kontra produktif dengan tujuan dilakukannya pemungutan pajak.

Untuk mewujudkan tujuan dari pemungutan pajak tanpa menimbulkan konflik asas-asas pemungutan wajib diperhatikan oleh pembuat undang-undang pajak yang tampak secara tersirat dalam konsideran menimbang. Adapun asas pemungutan pajak secara umum dalam ketentuan Undang-undang perpajakan adalah :

1. Asas Keadilan

(6)

Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan pada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima.

2) Asas Certainty

Penetapan pajak hendaknya tidak sewenang-wenang, jadi wajib pajak harus mengetahui kapan membayar dan batas waktu pembayaran

3) Asas Convenience of Payment

Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak, misalnya pada saat memperoleh penghasilan.

4) Asas Economy

Secara ekonomi, biaya pemungutan dan pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul.

b. Teori yang Memisahkan Hak Negara Memungut Pajak 1) Teori Asuransi

(7)

keselamatan atau keamanan harta bendanya. Teori asuransi ini menyamakan pembayaran premi dengan pajak. Walaupun kenyataannya menyatakan hal tersebut dengan premi tidaklah tepat.

2) Teori Kepentingan

Teori kepentingan ini memperhatikan beban pajak yang harus dipungut dari masyarakat. Pembebanan ini harus didasarkan pada kepentingan setiap orang pada tugas pemerintah termasuk perlindungan jiwa dan raganya. Oleh karena itu, pengeluaran negara untuk melindunginya dibebankan pada masyarakat

3) Teori Gaya Pikul

Teori ini mengandung bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak dalam jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada masyarakat berupa perlindungan jiwa dan harta bendanya. Oleh karena itu, untuk kepentingan perlindungan, maka masyarakat akan membayar pajak menurut daya pikul seseorang.

(8)

Teori ini didasarkan pada pendapat bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak yang bukan kepentingan individu atau negara sehingga lebih menitikberatkan pada fungsi mengatur.

2. Asas Manfaat

Pengenaan pajak hendaknya seimbang dengan keuntungan (manfaat) yang didapat wajib pajak dari jasa-jasa public yang diberikan oleh pemerintah. Berdasarkan criteria ini, maka pajak dikatakan adil bila seseorang yang memperoleh kenikmatan lebih besar dari jasa-jasa publik yang dihasilkan oleh pemerintah dikenakan proporsi lebih besar. PBB menggunakan prinsip benefit dalam mengukur aspek keadilan dalam perpajakan. Fungsi negara adalah memberikan perlindungan terhadap kekayaan warga, dan karenanya pemiliknya berkewajiban ikut membayar keperluan-keperluan negara.

3. Asas Pembuatan Undang-undang a. Asas Yuridis

(9)

b. Asas Ekonomis

Seperti pada uraian sebelumnya, pajak mempunyai fungsi regular dan budgeter. Asas ekonomi ini lebih menekankan pada pemikiran bahwa negara menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat terus meningkat. Untuk itu, pemungutan pajak harus diupayakan tidak menghambat kelancaran ekonomi sehingga kehidupan ekonomi tidak terganggu.

c. Asas Finansial

Berkaitan dengan hal ini, fungsi pajak yang terpenting adalah fungsi budgeter nya, yakni untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara. Sehubungan dengan itu, agar diperoleh hasil yang besar, maka biaya pemungutannya harus sekecil-kecilnya.

4. Asas Yuridiksi Pemungutan Pajak a. Asas Domisili,

Cara pemungutan pajak yang dilakukan oleh Negara dengan tempat tinggal wajib pajak. Menurut asas ini, wajib pajak yang bertempak tinggal di Indonesia akan dikenakan pajak atas segala penghasilannya baik penghasilan yang didapat di Indonesia maupun penghasilan yang didapat di luar negeri.

b. Asas Sumber,

(10)

adalah bagi siapapun yang memperoleh penghasilan di Indonesia akan dikenakan pajak sekalipun tempat tinggalnya di luar negeri. Contohnya adalah tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.

c. Asas Kebangsaan,

Cara pemungutan pajak yang dilakukan oleh Negara berdasarkan kebangsaan wajib pajak. Contohnya: setiap warga Negara asing yang bertempat tinggal di Indonesia harus membayar pajak..

Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

(11)

Retribusi Daerah. Dalam undang- undang tersebut terdapat pengalihan pajak dari pajak pusat menjadi pajak daerah. Pajak daerah menurut Undang-undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengalami beberapa perubahan. Terdapat empat penambahan pajak daerah baru. Penambahan pajak daerah yang baru tersebut adalah Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan, dan BPHTB.

Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak pemerintah pusat dan digolongkan sebagai pajak langsung serta dipungut setiap tahun. Walaupun Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak pusat tetapi dalam pengelolaannya dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak Pratama dan hasilnya akan dibagi dua yaitu 10% untuk pemerintah pusat dan 90% pemerintah daerah.

B. Pengertian, Subjek dan Objek BPHTB

1. Pengertian BPHTB

(12)

Tanah dan Bangunan. Kemudian pajak ini masuk dalam Undang-Undang Nomor. 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 85 sampai dengan Pasal 93.

Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk Hak Pengelolaan, termasuk bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Hal ini berarti BPHTB hanya boleh dikenakan atas perolehan hak yang diatur dalam UUPA, Undang-Undang Rumah Susun, dan Hak Pengelolaan. Perolehan hak-hak atas tanah lain yang berkembang di masyarakat adat tetapi tidak diakui oleh UUPA tidak boleh dikenakan BPHTB.3 Sedang dalam UU No. 28

tahun 2009 tentang PDRD, yang dimaksud dengan BPHTB adalah : “Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak

atas tanah dan/atau bangunan.”

2. Subjek dan Objek BPHTB

Subjek BPHTB seperti halnya dengan subjek PPh adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan, yang tercantum dalam ketentuan Pasal Pasal 86 UU PDRD yaitu:

3 Marihot P. Siahaan, Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan, Teori dan

Praktek, Edisi

(13)

(1)Yang menjadi Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.

(2)Subyek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-Undang ini.

Sedangkan yang menjadi obyek pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 85 ayat (2) UU PDRD adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan meliputi:

a. pemindahan hak karena :

6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya; 7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;

8) penunjukkan pembeli dan lelang;

9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

10) penggabungan usaha; 11) peleburan usaha; 12) pemekaran usaha; 13) hadiah;

b. pemberian hak baru karena : 1) kelanjutan pelepasan hak; 2) di luar pelepasan hak.

Kemudian dalam Pasal 85 ayat (4) UU PDRD ditentukan obyek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:

a. perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik;

b. negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;

(14)

melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut.

d. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;

e. orang pribadi atau badan karena wakaf;

f. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. Dalam kaidah/norma yang lama (UU BPHTB), pengenaan BPHTB karena waris dan hibah wasiat dalam pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 mengatur Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah Dan Bangunan Karena Waris dan Hibah Wasiat, dijelaskan bahwa:

a. Perolehan hak karena waris adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh ahli waris dari pewaris, yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

b. Perolehan hak karena hibah wasiat adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan dari pemberi hibah wasiat, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.

Namun dalam UU PDRB, peralihan karena proses pewarisan atau hibah wasiat tidak diatur pengenaan BPHTB-nya. Namun demikian terhadap persoalan ini dapat saja dimasukkan dalam pengkaidahannya dalam peraturan daerah yang diamanatkan dalam Perda yang dibuat oleh Kebupaten/Kota.

(15)

yang bersangkutan, bukan merupakan obyek Pajak Penghasilan tetapi merupakan objek pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas setiap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan di Indonesia, baik karena pemindahan hak dari orang pribadi atau badan kepada orang pribadi atau badan lainnya maupun karena pemberian hak baru oleh pemerintah atau negara kepada orang pribadi atau badan. Karena perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan merupakan perbuatan atau peristiwa hukum yang diperoleh orang pribadi atau badan.

3. Dasar Perhitungan BPHTB

Sesuai dengan Pasal 87 UU PDRD yang menjadi dasar pengenaan pajak pada BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). Karena pada dasarnya ada lima belas jenis perolehan hak atas tanah dan bangunan yang menjadi objek pajak, setiap jenis peralihan hak tersebut harus ditentukan Nilai Perolehan Objek Pajaknya. Pasal 87 ayat (2) UU PDRD menentukan yang menjadi NPOP sebagai dasar pengenaan pajak pada masing-masing jenis perolehan hak, adalah:4

a. Pada perolehan hak karena jual beli, yang menjadi NPOP adalah harga transaksi.

b. Pada perolehan hak karena tukar-menukar, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.

(16)

c. Pada perolehan hak karena hibah, yang menjadi NPOP adala nilai hukum lainnya, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.

g. Pada perolehan hak karena pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar

h. Pada perolehan hak karena peralihan hak sebagai pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar

i. Pada perolehan hak karena pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar j. Pada perolehan hak karena pemberian hak baru atas tanah di luar

pelepasan hak, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.

k. Pada perolehan hak karena penggabungan usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. menjadi NPOP adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.

Walaupun ada lima belas jenis perolehan hak yang mempunyai NPOP tersendiri, tetapi pada dasarnya hanya ada tiga jenis harga atau nilai yang menjadi NPOP, yaitu harga transaksi, nilai pasar, dan harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang, sebagaimana dijelaskan berikut ini:5

(17)

a. Harga transaksi adalah harga yang terjdi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan (penjual dan pembeli), sebagaimana dalam penjelesan Pasal 6 ayat (6) huru a UU BPHTB.

Harga transaksi menunjukkan besarnya uang yang diserahkan oleh pembeli untuk memperoleh tanah dan bangunan yang dibelinya keapda penjual sebagai pemilik tanah dan bangunan. Pengertian yang sangat penting pada hari trsanksi adalah bahwa harga transaksi merupakan harga riil objek jual beli yang disepakati oleh kedua belah pihak penjual dan pembeli, tanpa harus berpatokan pada nilai pasar objek yang diperjualbelikan. Penjual dan pembeli bebas untuk melakukan kesepakatan harga yang sesuai bagi kedua belah pihak, bisa sama, lebih rendah, atau lebih tinggi dari harga pasar objek tersebut. b. Nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar

yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan, sebagaimana dalam penjelesan Pasal 6 ayat (2) huruf b UU BPHTB

(18)

oleh penilai independen akan dapat mencerminkan nilai pasar properti yang sebenarnya.

c. Harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang adalah harga riil yang ditentukan oleh pejabat lelang atas tawaran harga tertinggi yang diajukan oleh peserta lelang.6

Harga lelang umumnya berada di bawah nilai pasar dari objek yang dilelang mengingat pada lelang peserta lelang umumnya akan memberikan harga penawaran yang menurut perkiraannya berada di bawah harga pasar objek yang dilelang.

Sebagai pajak yang dikenakan pada perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, BPHTB menghendaki bahwa BPHTB dihitung dari dasar pengenaan pajak yang riil (yang sebenarnya) sebagai cerminan nilai dari properti yang dialihkan. Hal ini menghendaki bahwa harga transaksi jual beli yang dilaporkan adalah mendekati nilai pasar wajar properti tersebut. hal ini kadang sulit diterapkan mengingat besarnya harga transaksi akan mempengaruhi biaya-biaya yang berkaitan dengan transaksi tersebut, seperti biaya PPAT, Pajak Penghasilan, biaya pengurusan sertifikat, dan biaya lain yang berkaitan. Oleh karena itu pihak penjual dan pembeli memiliki kecenderungan untuk tidak

6 Pasal 1 angka 21 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2007 tentang

(19)

mencantumkan harga transaksi yang sesungguhnya pada akta jual beli yang dibuat dengan maksud untuk mengurangi biaya yang harus ditanggung oleh penjual dan pembeli.7

Nilai Perolehan Objek Kena Pajak (NPOPKP) adalah besaran tertentu dari NPOP yang boleh dikenakan pajak. Pasal 87 UU PDRD menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak diperoleh dengan cara mengurangkan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).

Dalam BPHTB, Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak ditetapkan sebagai dasar perhitungan pajak. Dengan demikian NPOPKP merupakan basis pajak pada BPHTB.

Tarif pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya BPHTB terutang adalah tarif tunggal. Pasal 88 UU PDRD menetapkan bahwa tarif pajak ditetapkan sebsar 5 persen. Dengan demikian besarnya tarif pajak yang digunakan untuk menetapkan BPHTB terutang ditetapkan sebesar 5 persen dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP), sebagai berikut:

Pajak terutang = Tarif Pajak x Basis Pajak BPHTB terutang = Tarif Pajak x NPOPKP BPHTB terutang = 5% x NPOPKP.

(20)

Dengan demikian yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang ditentukan sebesar harga transaksi. Namun apabila nilai NPOP (nilai transaksi) ternyata lebih rendah dari Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB), maka yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah nilai pada NJOP PBB.

(21)

C. Kewajiban Pendaftaran Jual Beli Tanah

Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa setelah dilakukan pembuatan akta jual beli selambat-lambatnya 7 hari PPAT wajib untuk mendaftarkan jual belinya ke Kantor pertanahan. Hal ini dimaksudkan agar pembeli segera dapat sertipikatnya sebagai tanda bukti pemilikan tanah. Karena itu pembeli tak boleh mendaftar sendiri ke Kantor Pertanahan.

Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 jo PP No. 37 Tahun 1998, kedudukan PPAT secara tegas dicantumkan sebagai Pejabat Umum dan akta-akta yang dibuatnya merupakan akta-akta otentik. Di sisi lain kehadiran PPAT harus dipandang sebagai bagian dari keseluruhan sistem pendaftaran tanah, dimana BPN, PPAT, Panitia adjudikasi dan Pejabat lainnya menjalankan kegiatan pendaftaran tanah sesuai dengan kewenangannya masing-masing dimana adanya saling mendukung antar kewenangannya itu.

Kewenangan PPAT dalam konteks pendaftaran tanah yaitu untuk membuat akta-akta otentik sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun dan PPAT mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan kepada Kantor Pertanahan atas akta–akta PPAT yang dibuatnya selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan.

(22)

Tahun 1997 jo. PP No. 17 Tahun 1998, sesuai dengan sistem hukum yang berlaku? Hal ini tidak terlepas dari pilar mengenai adanya akta otentik dan Pejabat Umum itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUHPdt, yang menghendaki adanya Undang-undang yang mengatur tentang Pejabat Umum dan bentuk akta otentik. Undang-undang No.10 tahun 2004 tentang jabatan Notaris merupakan satu-satunya undang-undang yang mengatur tentang Notaris selaku Pejabat Umum dan bentuk akta otentik.

(23)

D. Hutang Pajak Sebagai Keuangan Negara

Pajak adalah hak negara maka dari itu setiap warga negara yang menjadi objek dari pajak atau wajib pajak berkewajiban untuk membayar pajak. Pajak adalah penerimaan negara dari wajib pajak yang dapat dipaksakan untuk wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang–undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Berdasarkan teori timbulnya hutang pajak, dalam ajaran materiil bahwa hutang pajak timbul semata-mata karena berlakunya undang-undang, dimana seseorang dikenakan pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Pemahaman ini selaras dengan apa yang dikemukakan dalam bukunya Ridwan HR yang

berjudul “Hukum Administrasi Negara” yang mengemukakan adanya

ungkapan “No taxation without representation”, tidak ada pajak tanpa

(persetujuan) parlemen, atau di Amerika ada ungkapan; “Taxation without representation is robbery”, pajak tanpa (persetujuan) parlemen adalah

perampokan.8 Ungkapan tersebut menekankan bahwa pada dasarnya penarikan pajak hanya boleh dilakukan setelah adanya undang-undang yang

8 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT. RajaGrafindo Persada,

(24)

mengaturnya, dengan demikian pajak timbul semata-mata karena undang-undang, kemudian adalah menjadi konsekuensi logis bahwa pajak sifatnya adalah memaksa.

Kedudukan pajak dalam keuangan negara juga lebih dipertegas lagi dalam pengertian keuangan negara menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, menyatakan bahwa:

Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Selanjutnya telan diperjelas dalam Pasal 2 huruf a, bahwa

keuangan negara juga meliputi “hak negara untuk memungut pajak,

mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman.” Ketentuan ini memberikan gambaran secara gamblang bahwa pajak adalah hak negara yang harus dibayarkan oleh wajib pajak, bahwa kedudukan pajak yang sudah terhitung walaupun belum dibayarkan sudah masuk dalam kategori keuangan negara.

(25)

Untuk mengetahui pasti kapan BPHTB resmi masuk dalam kategori keuangan negara, maka dari itu perhitungan akuntansinya harus didekati dengan system pembukuan pendapatan basis akrual (accrual based system). Sebagaimana telah dipaparkan dalam landasan teori bahwa basis akrual adalah dasar akuntansi yang mengakui transaksi dan peristiwa lainnya pada saat transaksi dan peristiwa tersebut terjadi, bukan hanya pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar. Oleh karena itu, transaksi-transaksi dan peristiwa-peristiwa dicatat dalam catatan akuntansi dan diakui dalam laporan keuangan periode terjadinya.

(26)

E. Tinjauan tentang Tindak Pidana Penggelapan dan Tindak

Pidana Korupsi

1. Pengertian dan Unsur Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu Strafbaarfeit atau delict yang berasal dari bahasa Latin delictum.

Sedangkan perkataan ”feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti

”sebagian dari kenyataan” atau ”een gedeelte van werkelijkheid

sedangkan ”strafbaar” berarti ”dapat dihukum”, sehingga secara

harfiah perkataan ”strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai ”

sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”.9 Sedangkan Moeljatno dalam Sudarto, memberikan arti perbuatan pidana sebagai suatu perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.10

J. Bouman (dalam Adami Chazawi) berpendapat bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.11 Pandangan ini

9 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, 1997, h. 181.

10 Sudarto, Hukum Pidana 1, Yayasan Soedarto, Semarang, 1990, h. 43. 11 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I. PT Raja Grafindo Persada,

(27)

berpendapat bahwa antara perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana harus dipisahkan.

Meskipun dalam KUHP tidak memberikan pengertian tentang tindak pidana tetapi kita dapat melihat dari beberapa pakar hukum pidana yang memberikan pengertian tentang straafbaarfeit.

straafbaarfeit adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Alasan dari Simon dalam Moeljatno merumuskan straafbaarfeit seperti tersebut di atas, karena12 :

1) Untuk adanya straafbaarfeit disyaratkan bahwa disitu terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;

2) Agar suatu tindakan itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang-undang;

(28)

3) Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau kewajiban, menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau merupakan suatu

onrechtmatigehandeling. b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (delik) bila memenuhi unsur-unsur, sebagai berikut13 :

1) Harus ada perbuatan manusia;

2) Perbuatan manusia tersebut harus sesuai dengan perumusan pasal dari undang-undang yang bersangkutan;

3) Perbuatan itu melawan hukum (tidak ada alasan pemaaf); 4) Dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Satochid Kartanegara (dalam Leden Marpaung) mengemukakan bahwa14 :

Unsur delik terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia, yaitu berupa:

1) Suatu tindakan; 2) Suatu akibat dan;

3) Keadaan (omstandigheid).

(29)

Kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang. Unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat berupa :

1) Kemampuan (toerekeningsvatbaarheid); 2) Kesalahan (schuld).

Menurut Moeljatno (dalam Leden Marpaung), tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahir, oleh karena itu perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang di timbulkan adalah adanya perbuatan pidana, biasanya diperlukan juga adanya hal ihwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan.15

2. Konsep Tindak Pidana Penggelapan

a. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Penggelapan diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan (penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak sah.

Menurut R. Soesilo (1968.258), penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam pasal 362. Bedanya ialah pada pencurian barang yang dimiliki itu belum berada di tangan

pencuri dan masih harus “diambilnya” sedangkan pada penggelapan

(30)

waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak dengan jalan kejahatan.

Menurut Lamintang, tindak pidana penggelapan adalah penyalahgunaan hak atau penyalahgunaan kepercayaan oleh seorang yang mana kepercayaan tersebut diperolehnya tanpa adanya unsur melawan hukum.16

Pengertian yuridis mengenai penggelapan diatur pada Bab XXIV (buku II) KUHP, terdiri dari 5 pasal (372 s/d 376). Salah satunya yakni Pasal 372 KUHP, merupakan tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok yang rumusannya berbunyi: "Barang siapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang seharusnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena bersalah melakukan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah.".17

Jadi, penggelapan dalam tindak pidana tersebut dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang menyimpang/menyeleweng, menyalahgunakan kepercayaan orang lain dan awal barang itu berada

16 http://blogspot.com/2012/02/pengertian-dan-jenis-jenis-tindak.html. 17

(31)

ditangan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum, bukan dari hasil kejahatan.

b. Jenis-Jenis Tindak pidana Penggelapan

Berikut jenis-jenis tindak pidana penggelapan berdasarkan Bab XXIV Pasal 372 sampai dengan 377 KUHP.

1) Penggelapan biasa

Yang dinamakan penggelapan biasa adalah penggelapan

yang diatur dalam Pasal 372 KUHP: “Barangsiapa dengan

sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

2) Penggelapan Ringan

Pengelapan ringan adalah penggelapan yang apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari Rp.25. Diatur dalam Pasal 373 KUHP.

3) Penggelapan dengan Pemberatan

(32)

dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah (Pasal 374 KUHP).

4) Penggelapan dalam Lingkungan Keluarga

Penggelapan dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya. (Pasal 375 KUHP).18

c. Unsur-Unsur Pasal Tindak Pidana Penggelapan

Penggelapan terdapat unsur-unsur Objektif meliputi perbuatan memiliki, sesuatu benda, yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan unsur-unsur Subjektif meliputi penggelapan dengan sengaja dan penggelapan melawan hukum. Pasal-Pasal penggelapan antara lain :

1) Pasal 372 KUHP Penggelapan Biasa a. Dengan sengaja memiliki. b. Memiliki suatu barang.

c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.

18 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT. Bumi Aksara, Jakarta,

(33)

d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.

e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan. Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun.

2) Pasal 373 KUHP Penggelapan Ringan a. Dengan sengaja memiliki.

b. Memiliki suatu bukan ternak.

c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.

d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.

e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan. f. Harganya tidak lebih dari Rp. 25,-

Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 3 bulan. 3) Pasal 374 dan KUHP Penggelapan dengan Pemberatan

a. Dengan sengaja memiliki. b. Memiliki suatu barang.

c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.

d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.

e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan. f. Berhubung dengan pekerjaan atau jabatan.

(34)

4) Pasal 375 KUHP Penggelapan oleh Wali dan Lain-lain. a. Dengan sengaja memiliki.

b. Memiliki suatu barang.

c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.

d. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan. e. Terpaksa disuruh menyimpan barang.

f. Dilakukan oleh wali, atau pengurus atau pelaksana surat wasiat, atau pengurus lembaga sosial atau yayasan.

Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 6 tahun.

(35)

dapat menguasai atau mengatur harta bendanya disebabkan karena ia sakit jiwa atau yang lainnya.

Kedudukan sebagai seorang kuasa (bewindvoerder); Seorang kuasa berdasarkan BW adalah orang yang ditunjuk oleh hakim dan diberi kuasa untuk mengurus harta benda seseorang yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya tanpa menunjuk seorang wakil pun untuk mengurus harta bendanya itu. Kedudukan sebagai pelaksana surat wasiat; Yang dimaksud adalah seseorang yang ditunjuk oleh pewaris di dalam surat wasiatnya untuk melaksanakan apa yang di kehendaki oleh pewaris terhadap harta kekayaannya. Kedudukan sebagai pengurus lembaga sosial atau yayasan.

5) Pasal 376 KUHP Penggelapan dalam Keluarga a. Dengan sengaja memiliki.

b. Memiliki suatu barang.

c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.

d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.

e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan. f. Penggelapan dilakukan suami (isteri) yang tidak atau sudah

(36)

Hukuman : Hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu.

Tindak pidana penggelapan dalam keluarga disebut juga delik aduan relatif dimana adanya aduan merupakan syarat untuk melakukan penuntutan terhadap orang yang oleh pengadu disebutkan namanya di dalam pengaduan. Dasar hukum delik ini diatur dalam pasal 376 yang merupakan rumusan dari tindak pidana pencurian dalam kelurga sebagaimana telah diatur dalam pembahasan tentang pidana pencurian, yang pada dasarnya pada ayat pertama bahwa keadaan tidak bercerai meja dan tempat tidur dan keadaan tidak bercerai harta kekayaan merupakan dasar peniadaan penuntutan terhadap suami atau istri yang bertindak sebagai pelaku atau yang membantu melakukan tindak pidana penggelapan terhadap harta kekayaan istri dan suami mereka. Pada ayat yang kedua, hal yang menjadikan penggelapan sebagai delik aduan adalah keadaan di mana suami dan istri telah pisah atau telah bercerai harta kekayaan.

(37)

gono-gini yang mengakibatkan sulitnya membedakan apakah itu harta suami atau harta istri. Oleh karena itu, perceraian harta kekayaan adalah yang menjadikan tindak pidana penggelapan dalam keluarga sebagai delik aduan.19 Tindak pidana Penggelapan dalam lingkungan keluarga dapat diadili jika kejahatan tersebut diadukan oleh keluarga yang bersengketa.

3. Konsep Tindak Pidana Korupsi

a. Definisi Korupsi

Menurut Bagir Manan, peraturan Perundang-Undangan adalah keputusan tertulis yang dibuat oleh suatu jabatan atau pejabat yang berwenang yang berisikan tingkah laku yang bersifat atau yang mengikat secara umum.20

Peraturan ialah ketentuan umum yang ditujukan kepada hal- hal yang masih abstrak atau suatu peraturan itu dibuat untuk menyelesaikan hal-hal yang belum dapat diketahui lebih dahulu tetapi mungkin akan terjadi. Artinya suatu putusan dari jabatan pemerintah itu keluar berupa peraturan manakala putusan itu dimaksudkan untuk mengatur hal-hal yang bersifat umum dan tindakan yang demikian disebut tindakan pengaturan21.

19 Abdoel. http://blogspot.com/2009/01/kejahatan-terhadap-harta-kekayaan.html.

diakses hari Kamis tanggal 01 Januari 2009

20 Bagir Manan, Sistem Perundang-undangan Indonesia, BPHn Departemen

Kehakiman, Jakarta, 1993, h. 14.

(38)

Dari segi semantik korupsi berasal dari bahasa Inggris yaitu

corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu

com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Istilah korupsi juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya.

Arti korupsi menurut Poerwadarminta disimpulkan dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1976): “Korupsi ialah perbuatan yang

buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan

sebagainya”.22

Menurut Pasal 2 Undang-undang No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No 20 Tahun 2001 “korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan

keuangan Negara”.

Secara hukum pengertian Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.

22 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Strategi Pemberantasan

(39)

b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Adapun tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan dalam hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur. Maka tindak pidana korupsi secara langsung maupun tidak langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.

Tindak Pidana Korupsi memiliki pengertian yang hampir sama dengan korupsi. Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 adalah sebagai berikut:

1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 Undang-undang No. 31 Tahun 1999).

2) Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999). c. Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi

(40)

Korupsi, dapat diuraikan mengenai jenis-jenis tindakan yang tergolong suatu tindak pidana korupsi, sebagai berikut:

1) Korupsi yang terkait dengan kerugian Negara

a) Melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan Negara adala korupsi;

b) Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara adalah korupsi.

2) Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap a) Menyuap pegawai negeri adalah korupsi;

b) Menyuap pegawai negeri karena jabatannya adalah korupsi; c) Pegawai negeri menerima suap adalah korupsi;

d) Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya adalah korupsi;

e) Menyuap hakim adalah korupsi; f) Menyuap advokat adalah korupsi;

g) Hakim dan advokat menerima suap adalah korupsi; h) Hakim menerima suap adalah korupsi;

i) Advokat menerima suap adala korupsi.

3) Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan

a) Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan adalah korupsi;

b) Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan asministrasi adalah korupsi;

c) Pegawai negeri merusakkan bukti adalah korupsi;

d) Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti adalah korupsi.

4) Korupsi yang terkait degan perbuatan pemerasan a) Pegawai negeri memeras adalah korupsi;

(41)

5) Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang a) Pemborong berbuat curang adalah korupsi;

b) Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang adalah korupsi;

c) Rekanan TNI/Polri berbuat curang adalah korupsi;

d) Pengawas rekanan TNI/Polri berbuat curang adalah korupsi;

e) Penerima barabg TNI/Polri membiarkan perbuatan curang adalah korupsi;

f) Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain adalah korupsi.

6) Korupsi yang terkait dengan bentukan kepentingan dalam pengadaan;

Referensi

Dokumen terkait

Pada semua kontrol negatif terjadi penurunan berat badan seiring dengan meningkatnya angka parasitemia, sedangkan pada kelompok perlakuan semakin tinggi dosis ekstrak tidak

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh ukuran koomite audit, likuiditas, ukuran dewan komisaris, dan degree of operation leverage terhadap pengungkapan risiko

Peran tersebut antara lain : (a) usahatani padi menghidupi sekitar 20 juta keluarga petani dan buruh tani, serta menjadi urat nadi perekonomian pedesaan, (b)

Clinicians need to be aware of the epidemiology and manifestations of yaws, which should be considered in the differential diagnosis of patients with reactive ser- ology from

Audit laporan keuangan dilakukan untuk menentukan apakah laporan keuangan telah dinyatakan sesuai dengan kriteria tertentu dan pihak yang bertanggung jawab dalam mengaudit laporan

Peraturan daerah adalah instrument aturan yang secara sah diberikan kepada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Akan tetapi dalam pembuatan

Adapun hipotesis yang dikemukakan penulis adalah ada pengaruh yang positif dan signifikan antara biaya promosi yaitu periklanan, personal selling, promosi penjualan dan