• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertanggungjawaban Atas Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Perang Berdasarkan Perspektif Hukum Humaniter Internasional T1 312012075 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertanggungjawaban Atas Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Perang Berdasarkan Perspektif Hukum Humaniter Internasional T1 312012075 BAB I"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

The enviroment has always been a silent casualty of conflict.1 Kerusakan

lingkungan hidup akibat perang bukan merupakan fakta baru dalam dunia

internasional. Lingkungan hidup sebagai penunjang keberlangsungan kehidupan

kerapkali menjadi salah satu target pemusnahan ataupun menerima dampak

sampingan saat perang, dengan dalih mencapai keuntungan militer. Sejarah

mencatat bahwa manusia mengalami penderitaan yang berkepanjangan akibat

rusaknya lingkungan hidup saat perang berlangsung dan dampaknya pasca perang

berakhir.

Kerusakan lingkungan hidup tersebut bervariasi, mulai dari tercemarnya air

laut dan sumber-sumber mata air tawar, rusaknya hutan, tanah yang menjadi

beracun akibat senjata kimia, hewan-hewan terbunuh, serta rusaknya

sumber-sumber daya alam yang esensial. Penyebabnya adalah penggunaan senjata,

metode atau taktik dalam perang, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja, tidak

menempatkan lingkungan hidup pada posisi yang seharusnya dilindungi pada saat

perang, sebagaimana dikehendaki dalam hukum nasional maupun hukum

internasional.

1

(2)

Perang Dunia I merupakan awal perang modern yang menggunakan senjata

kimia sebagai senjata pemusnah masal, dan berakibat luas bagi manusia dan

lingkungan. Tahun 1925 Protokol Jenewa telah hadir sebagai sebuah upaya

perlindungan hukum internasional yang melarang penggunaan senjata kimia yang

berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Meskipun demikian, pada Perang Dunia

II, Perang Vietnam, serta Perang Teluk I dan II, penggunaan senjata kimia yang

terhadap lingkungan hidup tetap saja tidak dapat terelakkan.

Perang Teluk I dan II tercatat dalam sejarah dunia sebagai salah satu konflik

bersenjata internasional yang memiliki implikasi luar biasa terhadap lingkungan

hidup dan manusia. Tergambar dari laporan World Health Organization (WHO)

yang menyatakan bahwa bahwa “After The First Gulf War the absorption of air

pollutant has increased by 705 percent in Baghdad which is more than 887

percent.” Pada Perang Teluk II, kebakaran minyak Kuwait menyebabkan masalah

global dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Asap membumbung hingga 1-4

kilometer menyebabkan polusi udara besar-besaran, serta terhalangnya sinar

matahari. Asap hitam tersebut menyebabkan hujan hitam yang menjangkau

sampai ke negara-negara lain, seperti Uni Emirat Arab, Iran, Turki, Suriah dan

Afganistan.2

Hal serupa terjadi saat Perang Vietnam berlangsung. Perang yang terjadi

antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, yang kemudian melibatkan

negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat, diketahui telah menggunakan senjata

kimia dan senjata penghancur lainnya, yang salah satunya adalah senjata kimia

yang disebut sebagai orange agent (agen oranye). Pasukan Amerika Serikat

2

(3)

menggunakan lebih dari 20 juta galon herbisida untuk mengundulkan hutan-hutan

sepanjang perbatasan situs militer, dan memusnahkan tanaman musuh.3 Selama

Perang Vietnam, hampir 72 juta liter dioxin4 yang mengandung defoliant orange

agent (zat kimia penggundul hutan) disemprotkan ke atas hutan-hutan Vietnam,

sebagai akibatnya semua tanaman dilucuti dari seluruh daerah tersebut. Bahkan,

hingga hari ini ada beberapa area tetap tidak cocok untuk pertanian.5 Fakta lain

tentang kerusakan lingkungan adalah konflik bersenjata antara Israel dan Lebanon

di tahun 2006. Kira-kira 12.000-15.000 ton minyak dilepaskan ke Laut

Mediterania setelah bom kilang minyak Jiyeh, dan menyebabkan kerusakan

ekosistem laut yang luar biasa.6 Fakta-fakta ini menunjukan bahwa, lingkungan

hidup berada pada posisi tidak aman, rawan untuk dirusak secara sengaja maupun

tidak sengaja, dengan tujuan untuk menundukan lawan dan memenangkan perang.

Hukum Humaniter Internasional atau International Humanitarian Law

(selanjutnya disebut HHI) hadir sebagai salah satu upaya yang bisa dilakukan

untuk meminimalisir atau mengurangi dampak buruk dari perang atau dengan

kata lain “memanusiawikan” perang. HHI didefinisikan sebagai the branch of

international law limiting the use of violence in armed conflict by : 7

a) Sparing those who do not or no longer directly participate in hostilities;

b) Restricting it to the amout necessary to achieve the aim of the conflict, which – independently of the causes fought for – can only be to weaken the military potential of the enemy.

3

en.m.wikipedia.org, dikunjungi pada tanggal 16 Februari 2015 Pukul 20.07. 4

US Department of Veteran Affairs. (2003). “Agent Orange: Information for veterans who served in Vietnam.” Retrieved July 2008, http://www1.va.gov./agentorange/docs/AOIB10-49JUL03.pdf.

5

UNEP I, Op.Cit, h. 15. 6

United Nations Enviroment Programme (UNEP), Protection the Enviroment During Armed Conflict : An Inventory and Analysis of International Law, November 2009, (selanjutnya disingkat UNEP II) h. 8.

7

(4)

Berdasarkan definisi di atas, tujuan pokok dari kehadiran HHI bukan sebagai kitab

hukum yang mengatur “permainan perang”, melainkan untuk alasan-alasan

perikemanusiaaan guna mengurangi atau membatasi penderitaan setiap individu

yang terlibat, serta untuk membatasi kawasan di dalam mana kebiasaan perang

diizinkan.8

Menurut J.G. Starke, kaidah dalam HHI adalah mengikat bukan saja terhadap negara-negara; melainkan terhadap individu-individu, termasuk anggota

angkatan bersenjata, kepala negara, menteri-menteri, dan pejabat-pejabat lain.

Juga kaidah-kaidah hukum tersebut perlu mengikat terhadap pasukan Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) yang terlibat dalam suatu konflik militer, terutama karena

PBB adalah subyek hukum internasional dan terikat oleh seluruh kaidah hukum

internasional, di mana HHI merupakan bagian daripadanya.9

Berdasar pada perspektif HHI, tidak semua konflik bersenjata dapat

dikategorikan sebagai perang. Konflik bersenjata dibedakan atas 2 (dua) yaitu

konflik bersenjata non-internasional dan konflik bersenjata internasional. Suatu

konflik dapat dikategorikan sebagai konflik bersenjata non-internasional, dalam

hal terjadi dua kondisi seperti berikut ini:10

a) any situation where, within a State’s territory, clear and unmistakable hostilities break out between the armed forces and organized armed groups;

b) any situation where dissident forces are organized under the leadership of a responsible command and exercise such control over a part of the territory as to enable them to conduct sustained and concerted military operations (intensive fighting).

8

J.G.Starke (Terjemahan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, S.H.), Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh II, Sinar Grafika, Jakarta, 1998, h. 728.

9Ibid., h. 729. 10

(5)

Dengan kata lain, konflik bersenjata non-internasional tidak melibatkan atau tidak

memberikan ruang intervensi bagi negara lain (di luar negara yang berkonflik),

namun konflik terjadi antara pemerintah dengan kelompok bersenjata tertentu

yang dimaknai sebagai pemberontak.

Dalam hal konflik bersenjata internasional, terdiri dari 3 unsur yaitu: (i)

melibatkan dua negara atau lebih; (ii) salah satu negara melakukan intervensi

dengan mengirimkan pasukan bersenjata atau lainnya; (iii) beberapa orang dalam

konflik bersenjata yang melakukan aksinya mengatasnamakan negara lainnya.11

Dalam konteks HHI, penggunaan istilah “perang” merujuk pada konflik

bersenjata internasional yang pihak-pihaknya bertujuan untuk saling

melumpuhkan tanpa ada iktikad perdamaian.

Berkaitan dengan itu, dapat dilihat definisi perang yang dikemukakan oleh

Karl von Clausewitz yang menyatakan perang sebagai perjuangan skala besar yang bertujuan untuk menundukkan lawannya demi memenuhi kehendaknya.

Sejalan dengan pernyataan Clausewitz, dalam kasus Driefontein Consolidated Gold Mines v. Janson, Hall mengemukakan definisi perang, yakni:12

“apabila perselisihan antara negara-negara mencapai suatu titik di mana kedua belah pihak berusaha untuk memaksa, atau salah satu dari mereka melakukan tindakan kekerasan, yang dipandang oleh pihak lain sebagai suatu pelanggaran perdamaian, maka terjadi hubungan perang, di mana pihak-pihak yang bertempur satu sama lain dapat menggunakan kekerasan sesuai dengan peraturan, sampai salah satu dari mereka menerima syarat-syarat sebagaimana yang dikehendaki oleh musuhnya.”

11

Putusan Mahkamah ICTY, kasus Prosecutor v.Brdanin, nomor: IT-99-36-T, para. 124.

12

(6)

Mendukung pernyataan di atas mengenai persoalan suatu perselisihan atau

permusuhan dapat dikatakan sebagai suatu keadaan perang atau hanya suatu

permusuhan non-perang, Starke mengemukakan tiga unsur penentu, yakni: 13 (a) dimensi konflik, artinya konflik yang terlokalisasi atau

terbatas belum dapat diartikan sebagai perang;

(b) maksud-maksud dari para kontestan, berarti bahwa apakah maksud dari para kontestan yang terlibat perang hanya menyangkut para pihak itu saja atau berpengaruh terhadap negara-negara lain. Selain itu maksud para kontestan dapat juga berarti pernyataan tentang keadaan perang;

(c) sikap dan reaksi-reaksi dari pihak yang bukan kontestan, ini berkaitan dengan anggapan dari negara yang bukan kontestan karena hak-hak dan kepentingan mereka. Negara-negara bukan kontestan dapat memutuskan dan mengakui bahwa mereka terlibat perang, atau membuat suatu pernyataan netralitas.

Berdasarkan konsep perang yang dikemukakan di atas, dapat diketahui

bahwa perang menyangkut konflik yang melibatkan lebih dari satu negara dengan

tindakan kekerasan dan terutama melibatkan angkatan bersenjata. Pengakuan

tentang keadaan perang, baik dari negara-negara yang terlibat maupun tidak

terlibat menjadi salah satu unsur penentu apakah suatu konflik bersenjata dapat

dikategorikan sebagai perang atau bukan perang. Sehingga, istilah ‘perang’ yang

digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada pemahamann yang merujuk konflik

bersenjata internasional.

Perang pada dasarnya menggunakan kekerasan dalam bentuk dan cara

beragam yang bertujuan untuk melumpuhkan musuh. Lingkungan hidup pun

menjadi sasaran empuk untuk dihancurkan terlebih dahulu, agar manusia yang

hidup dan mengantungkan hidup pada lingkungan bisa ditaklukkan dengan lebih

mudah. Selain itu, serangan terhadap obyek militer lain dapat berdampak bagi

13Ibid

(7)

keberlangsungan lingkungan hidup. Disinilah letak pentingnya norma dan prinsip

HHI yang memberikan batasan-batasan kepada para pihak yang berperang dalam

mengaplikasikan taktik, metode atau alat perangnya agar tetap melindungi

lingkungan hidup.

Dalam sumber-sumber HHI dikenal prinsip-prinsip hukum internasional

yang harus ditaati selama perang berlangsung, misalnya prinsip proporsionalitas

(the principle of proportionality) dan prinsip pembedaan (the principle of

distinction). Prinsip proporsionalitas menjadi salah satu asas yang mendasari

ketentuan dalam Statuta Roma Pasal 8 ayat (2) (b) (iv), yang menyebutkan

bahwa:

Intentionally launching an attack in the knowledge that such attack will cause incidental loss of life or injury to civillians or damage to civilian objects or widespread, long-term, and severe damage to the natural enviroment which would be clearly excessive in relation to be concrete and direct overall millitary advantange anticipated.

Ketentuan ini memberikan ukuran tentang keadaan rusaknya lingkungan hidup,

yakni jika terjadi kerusakan yang meluas (widespread), berjangka panjang

(long-term), dan dahsyat (severe) terhadap lingkungan hidup dan tidak proporsional jika

dibandingkan dengan keuntungan militer yang diperoleh.

Prinsip pembedaan membatasi para pihak yang terlibat konflik bersenjata

untuk melakukan penyerangan hanya terhadap obyek-obyek militer (millitary

objectives). Adapun tolak ukur yang digunakan untuk menentukan suatu obyek,

apakah termasuk obyek militer atau bukan termuat dalam Pasal 52 ayat (2)

Protokol Tambahan I, yang berbunyi:

(8)

effective contribution to military action and whose total or partial destruction, capture or neutralization, in the circumstances ruling at the time, offers definite military advantage.”

Secara implisit, prinsip proporsionalitas dan prinsip pembedaan yang mewarnai

norma-norma dalam Statuta Roma dan Protokol Tambahan I memberikan

pemahaman bahwa lingkungan hidup adalah obyek yang harus dilindungi dalam

perang.

Kesadaran pentingnya lingkungan semakin tumbuh dan berkembang seiring

dengan kemajuan penggunaan metode, taktik atau alat perang yang berbahaya

bagi lingkungan dan manusia. Sehingga secara eksplisit rumusan norma atau

ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup kemudian

dimuat dalam Pasal 35 ayat (3) dan Pasal 55 Protokol Tambahan I.

Pasal 35 ayat (3) Bagian III tentang Methods and Means of Warefare

Combatant and Prisoner-Of-War Status Protokol Tambahan I mencantumkan

bahwa “it is prohibited to employ methods or means of warfare which are

intended, or may be expected, to cause widespread, long-term, and severe damage

to the natural enviroment.” Ketentuan ini menegaskan larangan untuk

menggunakan metode atau alat perang yang menyebabkan kerusakan lingkungan,

entah dikarenakan sebuah serangan yang disengaja maupun tidak sengaja.

Selanjutnya Pasal 55 Protokol Tambahan I mengatur tentang perlindungan

terhadap lingkungan hidup yang berbunyi:

(9)

(2) Attacks against the natural enviroment by way of reprisals are prohibited.

Melengkapi larangan Pasal 35 ayat (3), Pasal 55 Protokol Tambahan I

memasukkan prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi lingkungan hidup

dari serangan yang bahkan tidak dimaksudkan untuk menghancurkan lingkungan

hidup. Ayat (2) menambahkan bahwa melakukan penyerangan terhadap

lingkungan sebagai bentuk pembalasan adalah sebuah pelanggaran hukum.

Jika dilihat dari ketentuan di atas, Statuta Roma menggolongkan

serangan secara sengaja terhadap lingkungan hidup pada saat perang, dengan

kerusakan yang berdampak meluas, berjangka panjang dan dahsyat, sebagai

bagian dari kejahatan perang. Kejahatan perang merupakan salah satu bagian dari

tindak pidana internasional yang menimbulkan sebuah konsekuensi logis dalam

hukum, yakni pertanggungjawaban.

HHI menekankan pertanggungjawaban pidana secara individu berdasarkan

Pasal 25 Statuta Roma. Meskipun demikian, Pasal 25 ayat (4) Statuta Roma

menyebutkan bahwa “no provisions in this Statute, relating to individual

responsibility shall affect the responsibility of State under international law”.

Ketentuan ini berisi pengaturan bahwa tanggung jawab individu tidak serta merta

mempengaruhi tanggung jawab negara berdasarkan hukum internasional. Hal ini

menggiring pada pemahaman bahwa pelanggaran terhadap prinsip-prinsip HHI

menyebabkan dua pertanggungjawaban, yakni individu dan negara.

Pertanggungjawaban negara merupakan asas dasar hukum internasional

(10)

negara dan doktrin persamaan antara negara-negara.14 Pertanggungjawaban

negara menetapkan bahwa setiap kali suatu negara melakukan tindakan yang

melawan hukum internasional terhadap negara lain, maka pertanggungjawaban

internasional wajib ditegakkan di antara keduanya. Pelanggaran kewajiban

internasional akan menimbulkan kewajiban untuk melakukan tindakan

perbaikan.15

Persoalannya adalah HHI sebagai bagian dari hukum pidana hanya

mengatur tentang bentuk pertanggungjawaban oleh individu secara pidana di

hadapan International Criminal Court (ICC). Sedangkan selama ini, sekalipun

pernah ada pertanggungjawaban negara terhadap suatu tindakan pelanggaran

tertentu namun belum didasarkan pada suatu hukum tertulis yang mengikat

negara-negara sebagai subyek hukum internasional. Akibatnya muncul

pertanyaan-pertanyaan hukum yang bahkan tidak bisa dijawab melalui hukum

tertulis yang komprehensif. Sebagai contoh, dalam hal seperti apakah negara dan

individu sama-sama bertanggung jawab atas suatu pelanggaran? Khususnya dalam

hal kerusakan lingkungan hidup, apakah negara dapat bertanggung jawab secara

langsung sebelum adanya putusan pengadilan yang tetap? Atau bentuk

pertanggungjawaban negara seperti apa yang sebenarnya disediakan oleh hukum

internasional? Ketiadaan norma yang komprehensif tentu saja berakibat pada

ketidakpastian hukum dan bahkan tidak terjaminnya keadilan sebagai tujuan dari

hukum itu sendiri.

Dilatarbelakangi oleh masalah ini, penulis berpendapat bahwa isu hukum

mengenai pertanggungjawaban individu dan negara berdasarkan persepektif HHI,

14

Malcolm N. Shaw QC, Hukum Internasional (International Law), terjemahan oleh Derta Sri Widowatie et.al. Nusa Media, Bandung, 2013 (selanjutnya disingkat Malcolm I), h. 772.

(11)

dalam hal terjadi kerusakan lingkungan hidup akibat perang menjadi penting

untuk diteliti melalui sebuah penelitian hukum dan disusun secara komprehensif

dalam sebuah penulisan hukum yang bersifat ilmiah.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dirumuskan isu hukum sebagai

rumusan masalah, yakni: apa bentuk pertanggungjawaban terhadap kerusakan

lingkungan akibat perang berdasarkan perspektif Hukum Humaniter

Internasional?

1.3. Tujuan Penelitian

Dilihat dari rumusan masalah tersebut, maka penulis merumuskan tujuan

penelitian hukum terbagi atas:

a.Tujuan umum

Tujuan umumnya adalah untuk mengetahui apa saja bentuk

pertanggungjawaban yang bisa dilakukan baik individu maupun negara

terhadap kerusakan lingkungan akibat perang dalam perspektif HHI.

b.Tujuan khusus

1) Menjelaskan kejahatan perusakan lingkungan hidup dalam perang

sebagai salah satu bentuk dari kejahatan perang (war crime) dan

Internationally Wrongfull Acts.

2) Menguraikan hubungan keterkaitan antara individu dan negara

(12)

3) Menemukan bentuk pertanggungjawaban dalam hal terjadi

kerusakan lingkungan hidup akibat perang dalam HHI.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun ketika penelitian dan penulisan hukum ini telah selesai, penulis

berharap bahwa tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan Hukum

Internasional, terlebih khususnya di bidang HHI. Penulis berharap bahwa

penelitian ini bukan hanya bermanfaat pada tataran teoritis tapi juga secara

praktis. Dalam tataran teoritis, penelitian hukum ini bermanfaat untuk

memperkaya dan memperluas wawasan hukum mengenai HHI dan bentuk

pertanggungjawaban dalam HHI. Selain itu pada tataran praktisnya, penelitian ini

diharapkan dapat bermanfaat untuk menjadi suatu rujukan ketika diperhadapkan

dalam persoalan tentang tanggung jawab individu dan negara ketika konflik

bersenjata internasional terjadi.

1.5. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian dan penulisan hukum ini, penulis berfokus

pada metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian pendekatan

konseptual (conceptual approach)16. Kajian dilakukan dengan melakukan

penelitian terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti buku-buku,

jurnal-jurnal internasional khususnya di bidang HHI, doktrin-doktrin dalam artikel

16

(13)

ilmiah baik melalui hardcopy atau softcopy, internet, kamus, serta segala sesuatu

yang masih berkaitan erat dengan topik ini, salah satunya Draft Articles on

Responsibility of State for Internationally Wrongful Act yang dikeluarkan

International Law Commission (ILC). Meskipun demikian, penulis juga

melakukan penelitian dengan pendekatan terhadap pendapat hakim dalam

putusan-putusan terdahulu, serta pendekatan perundang-undangan (statutes

approach)17, dengan kajian terhadap berbagai statuta, konvensi atau perjanjian

internasional yang berlaku dalam HHI, yaitu: Statuta Roma 1998, Protokol

Tambahan I Tahun 1977, dan Konvensi ENMOD 1976.

Dengan demikian, penelitian ini pun melakukan metode analisis kualitatif,

yaitu dengan melakukan penemuan hukum atau analisis hukum melalui

bahan-bahan kepustakaan.

17Ibid

Referensi

Dokumen terkait

Inference engine adalah bagian dari sistem pakar yang melakukan penalaran terhadap isi database pengetahuan (knowledge base) berdasarkan urutan tertentu. Penalaran maju disebut

 Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh WP sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun

Vulnerable employment, a relatively new concept that was recently introduced is based on status in employment, and is calculated as the sum of contrib- uting family workers

Bahwa dalam rangka pelaksanaan Tugas Pendidikan dan Pengajaran Program S-l PJKR, PKO dan IKORA Bersubsidi FIK UNY perlu menetapkan Dosen Tetap Fakultas yang diberi tugas

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

Kepada UMM yang menjadi Penyelenggara Sertifikasi Guru (PSG), dia yakin bahwa kredibilitas UMM sangat tinggi dan tidak akan mau main-main, termasuk dengan suap untuk meloloskan

It considers the interactive effects of all projects, accounts for the energy use of all major equipment, and includes detailed energy cost saving calculations and project