• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Penyesuaian Diri Dalam Perkawinan Pada Istri Beretnis Cina Yang Memiliki Suami Beretnis Batak Toba di Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Penyesuaian Diri Dalam Perkawinan Pada Istri Beretnis Cina Yang Memiliki Suami Beretnis Batak Toba di Kota Bandung."

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Kristen Maranatha

ix ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seperti apa gambaran penyesuaian diri dalam perkawinan pada istri beretnis Cina yang memiliki suami beretnis Batak Toba. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci mengenai penyesuaian diri dalam perkawinan serta faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri pada istri beretnis Cina yang bersuamikan etnis Batak Toba.

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan teori dari Schneiders (1964). Adapun yang dimaksud dengan penyesuaian diri yaitu suatu proses yang meliputi respon mental dan tingkah laku dalam upaya seseorang untuk menguasai atau menanggulangi segala kebutuhan-kebutuhan diri, ketegangan, frustasi dan untuk menyeimbangkan tuntutan-tuntutan dalam diri dan tuntutan yang dibebankan kepadanya oleh dunia obyektif dari lingkungan individu berada. Penyesuaian diri dalam perkawinan memiliki dua aspek yaitu aspek personal dan aspek lingkungan (perkawinan) serta terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri yaitu faktor internal dan eksternal.

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode deskriptif dengan tehnik survey. Pemilihan sampel yaitu menggunakan tehnik purposive sampling, dan sampel dalam penelitian ini berjumlah 30 orang. Alat ukur yang digunakan merupakan penurunan dari aspek-aspek penyesuaian diri dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri. Alat ukur ini terdiri dari 64 item dengan format pernyataan forced choice dan menggunakan skala ordinal. Data yang diperoleh diolah menggunakan uji korelasi Spearman dengan program SPSS versi 17 dan diperoleh hasil validitas berkisar antara 0.30 sampai 0.87 sementara reliabilitas alat ukur sebesar 0.95.

Berdasarkan pengolahan data secara statistik, maka diperoleh hasil bahwa istri yang menyesuaikan diri dengan baik (welladjusted) berjumlah 53% dan istri yang menyesuaikan diri dengan kurang baik (maladjusted) berjumlah 47%.

(2)

x

ABSTRACT

This research was conducted to determine the type of image adjustments in a marriage on the wife who has a husband Toba Batak ethnic Chinese. The purpose of this research is to obtain a more detailed picture about the marital adjustment and the factors that influence the adjustment of ethnic Chinese wife married to Toba Batak.

In conducting this study, researchers used the theory of Schneiders (1964). The significance of the adjustment is a process that includes mental and behavioral responses in one's effort to control or overcome all of the needs themselves, frustrated tension, and to balance the demands of self and the demands that are charged to it by the environment are individual goal. Adjustment in a marriage has two aspects: personal and environmental aspects (marriage) and there are factors that influence the adjustment process of internal and external factors.

The research design used in this research using descriptive method with survey techniques. sample using purposive sampling technique, and samples in this study amounted to 30 people. Measuring tool used is the reduction aspects of adjustment and the factors that affect adjustment. This device consists of 64 items with forced choice format of the statement and use the ordinal scale. The data obtained are processed using Spearman correlation test with SPSS version 17 and obtained the results of validity ranged from 0:30 to 0.87 while the reliability measure of 0.95.

Based on statistical data processing, the results obtained that the good wives adjusted (welladjusted) accounted for 53% and a wife who conform to the (disability) accounted for 47% unfavorable.

(3)

Universitas Kristen Maranatha

xi DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL i

LEMBAR PENGESAHAN ii

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN iii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN iv

KATA PENGANTAR v

ABSTRAK ix

ABSTRACT x

DAFTAR ISI xi

DAFTAR BAGAN xv

DAFTAR TABEL xvi

DAFTAR LAMPIRAN xviii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1Latar Belakang Masalah 1

1.2Identifikasi Masalah 11

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 11

1.3.1 Maksud Penelitian 11

1.3.2 Tujuan Penelitian 12

1.4Kegunaan Penelitian 12

(4)

xii

1.4.2 Kegunaan Praktis 12

1.5Kerangka Pemikiran 13

1.6Asumsi 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 28

2.1 Penyesuaian Diri 28

2.1.1 Pengertian Penyesuaian Diri 28

2.1.2 Macam-macam Penyesuaian Diri 32

2.1.3 Penyesuaian Diri dalam Perkawinan 32

2.1.4 Syarat-syarat Dasar Penyesuaian Diri dalam Perkawinan, Kesuksesan dan Kebahagiaan 34

2.1.5 Kriteria Penyesuaian Diri yang Spesifik 40

2.1.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri 47

2.1.7 Penyesuaian Diri yang Baik 48

2.2Kebudayaan 49

2.2.1 Definisi Kebudayaan 49

2.2.2 Komponen-komponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan 50

2.2.3 Akulturasi dan Kontak Budaya 54

2.2.4 Sikap terhadap Akulturasi 55

2.2.5 Budaya Batak Toba 56

2.2.6 Budaya China 59

(5)

Universitas Kristen Maranatha

xiii

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 63

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian 63

3.2 Bagan Rancangan Penelitian 63

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 64

3.3.1 Variabel Penelitian 64

3.3.2 Definisi Operasional 64

3.4 Alat Ukur 68

3.4.1 Alat Ukur Penyesuaian Diri 68

3.4.2 Data Penunjang 78

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 78

3.4.3.1 Validitas Alat Ukur 78

3.4.3.2 Reliabilitas Alat Ukur 80

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel 82

3.5.1 Populasi Sasaran 82

3.5.2 Karakteristik Sampel 82

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel 82

3.6 Teknik Analisis Data 83

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 86

4.1 Responden Penelitian 86

4.1.1 Usia 86

4.1.2 Usia Perkawinan 87

4.2 Hasil Penelitian 87

(6)

xiv

4.2.2 Data Usia Perkawinan pada kelompok welladjusted dan

maladjusted 88

4.2.3 Data aspek penyesuaian diri dalam perkawinan pada

kelompok welladjusted 89 4.2.4 Data aspek-aspek penyesuaian diri dalam perkawinan pada

kelompok welladjusted 90 4.2.5 Data aspek penyesuaian diri dalam perkawinan pada

kelompok maladjusted 92

4.2.6 Data aspek-aspek penyesuaian diri dalam perkawinan pada

kelompok welladjusted 93

4.2.7 Data Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

dalam Perkawinan 94

4.2.8 Data Tabulasi Silang antara Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri dengan Penyesuaian Diri dalam Perkawinan 95

4.3 Pembahasan 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 106

5.1 Kesimpulan 106

5.2 Saran 108

5.2.1 Saran Teoretis 108

5.2.3 Saran Guna Laksana 109

DAFTAR PUSTAKA 110

DAFTAR RUJUKAN 112

(7)

Universitas Kristen Maranatha

xv

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.5 Kerangka Pemikiran 26

(8)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.4.1 Aspek, Indikator dan Item 69

Tabel 3.4.2 Skor untuk Setiap Item 77

Tabel 3.4.3.1 Kriteria Guildford (Validitas) 80

Tabel 3.4.3.2 Tabel Kriteria Cronbach (Reliabilitas) 82

Tabel 4.1.1.1 Tabel Presentase Usia Responden 86

Tabel 4.1.2.1 Tabel Presentase Usia Perkawinan 87

Tabel 4.2.1.1 Tabel data presentase Penyesuaian Diri dalam Perkawinan 87

Tabel 4.2.2.1 Tabel Data Usia Perkawinan pada Kelompok Welladjusted dan Maladjusted 88

Tabel 4.2.3.1 Tabel Data Aspek Penyesuaian Diri dalam Perkawinan pada Kelompok Welladjusted 89

Tabel 4.2.4.1 Tabel Data Aspek-Aspek Penyesuaian Diri dalam Perkawinan pada Kelompok Welladjusted 90

Tabel 4.2.5.1 Tabel Data Aspek Penyesuaian Diri dalam Perkawinan pada Kelompok Maladjusted 92

Tabel 4.2.6.1 Tabel Data Aspek-Aspek Penyesuaian Diri dalam Perkawinan pada Kelompok Maladjusted 93

Tabel 4.2.7.1 Tabel Data Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri dalam Perkawinan pada Kelompok Welladjusted 94

(9)

Universitas Kristen Maranatha

xvii

Tabel 4.2.8.1 Tabel Data Tabulasi Silang antara Kelompok Penyesuaian Diri Baik (Welladjusted) dengan Faktor-faktor yang Mempengaruhi

(10)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Alat Ukur

Lampiran 2 Reliabilitas dan Validitas Lampiran 3 Kuesioner Sesudah Try-Out Lampiran 4 Data Responden

Lampiran 5 Frekuensi Keseluruhan Lampiran 6 Data Responden Welladjusted Lampiran 7 Frekuensi Welladjusted Lampiran 8 Data Responden Maladjusted Lampiran 9 Frekuensi Maladjusted

(11)

Universitas Kristen Maranatha

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Dapat dilihat dari

banyaknya suku-suku yang terdapat di Indonesia yang mendiami berbagai pulau

karena Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas

17.508 pulau. Suku-suku yang terdapat di Indonesia dikelompokkan menjadi

sekitar 300 suku bangsa atau kelompok etnis dengan menggunakan bahasa

komunikasi yang berbeda-beda yang jumlahnya lebih dari 250 bahasa

(http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia). Setiap suku yang ada di Indonesia

mempunyai aneka warna kebudayaan yang berbeda-beda sehingga setiap suku

yang ada dapat dibedakan berdasarkan budayanya masing-masing.

Indonesia yang merupakan negara multi-etnik dengan derajat keberagaman

yang tinggi mempunyai peluang yang besar dalam berlangsungnya perkawinan

antar etnik. Hal ini didukung dengan adanya proses perpindahan penduduk yang

terjadi di Indonesia. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), laju angka

urbanisasi diprediksi akan terus meningkat dan sampai tahun 2025, rata-rata

tingkat urbanisasi nasional akan mencapai 68 persen sementara di Jawa dan Bali

persentasenya bahkan mencapai 80 persen

(12)

peluang perkawinan antar etnik yang terjadi di Indonesia semakin meningkat.

Masyarakat perkotaan yang heterogenitas pun turut membawa implikasi

perkawinan antar etnik sehingga perkawinan antar etnik dapat juga terjadi dalam

lingkungan gereja. Data yang menunjukkan jumlah pasangan beda etnik tidak

dapat diketahui secara pasti, karena sampai dengan saat ini tidak ada data yang

menunjukkan berapa banyak pasangan yang menikah beda etnik. Catatan sipil dan

gereja tidak mencatat latar belakang etnis pasangan yang dinikahkan. Sensus

penduduk juga tidak mencatumkan perbandingan jumlah penduduk berdasarkan

etnisnya, karena itu sangat sulit untuk menggambarkan latar belakang penelitian

ini secara statistik.

Perkawinan merupakan suatu masa transisi yang kritis bagi setiap

pasangan yang baru menikah. Pada awal perkawinan, masing–masing pasangan

akan mempelajari kompetensi–kompetensi dalam menjalani kehidupan

perkawinan seperti menghargai pasangan, mengatasi setiap perbedaan yang ada,

memahami perasaan, memahami perbedaan watak dan emosi, dan lain

sebagainya. Setiap pasangan yang telah menikah juga akan memiliki

kriteria-kriteria tertentu terhadap pasangannya, secara umum kriteria-kriteria suami yang ideal di

mata istri adalah suami sebagai pencari nafkah, suami sebagai pengurus rumah

(ikut berpartisipasi dalam kegiatan rumah tangga terlebih dalam mengurus anak),

suami sebagai pribadi (berwibawa, bijaksana dalam bersikap dan mengambil

keputusan) dan suami sebagai pendidik anak. Sementara kriteria istri yang ideal di

mata suami adalah istri sebagai pendidik, istri sebagai pengurus rumah tangga,

(13)

Universitas Kristen Maranatha 3

keluarga), istri sebagai pendamping (istri mampu menghormati pasangannya) dan

istri sebagai pribadi dimana istri memiliki tingkat pendidikan yang setara dengan

pasangannya (Duvall, 1977).

Pasangan suami–istri di tahun-tahun pertama perkawinan juga akan

mengalami banyak perubahan dalam kehidupannya karena tahun pertama

perkawinan merupakan masa-masa penyesuaian pasangan dalam meleburkan

kepentingan dua individu menjadi satu kepentingan atas nama bersama. Pada

masa inilah, proses penyesuaian sepasang suami-istri akan kembali ke titik awal

karena dalam ikatan ini terjadi kejutan-kejutan kecil seputar sifat atau kebiasaan

pasangan yang tidak ditemukan dimasa pacaran maupun pertunangan. Ada pun

individu yang berharap kebiasaan buruk di masa sebelum menikah dapat

menghilang setelah menjadi suami atau istri, namun yang terjadi adalah semakin

panjangnya kebiasaan buruk pasangan. Sikap dalam berfikir positif menjadi dasar

bagi setiap pasangan dalam mewujudkan kehidupan perkawinan yang ideal seperti

yang mereka harapkan. Masa-masa perkawinan dapat juga menjadi masa–masa

yang penuh dengan cobaan karena penyesuaian awal ini membutuhkan

pengorbanan dari pasangan suami-istri dan membutuhkan perjuangan agar dapat

memadukan perbedaan-perbedaan serta mempertemukan

kepentingan-kepentingan yang muncul sehingga sikap saling pengertian diperlukan antara

kedua belah pihak. (http://f-buzz.com, diakses 4 Maret 2009).

Dalam ikatan perkawinan, proses penyesuaian diri perlu dilakukan oleh

pasangan suami-istri untuk menjalani kehidupan perkawinannya. Schneiders

(14)

suatu proses yang meliputi respon mental dan tingkah laku dalam upaya seseorang

untuk menguasai atau menanggulangi segala kebutuhan-kebutuhan diri,

ketegangan, frustasi dan untuk menyeimbangkan tuntutan-tuntutan dalam diri dan

tuntutan yang dibebankan kepadanya oleh dunia obyektif dari lingkungannya.

Penyesuaian perkawinan merupakan sebuah proses adaptasi. Setiap

individu belajar untuk memenuhi kebutuhan, keinginan serta harapan

masing-masing. Menurut Duvall, penyesuaian dalam perkawinan bukanlah suatu keadaan

yang absolut melainkan suatu proses yang terus-menerus terjadi dalam kehidupan

perkawinan. Penyesuaian yang dilakukan pada pasangan yang baru menikah

adalah mengatasi perbedaan dalam kehidupan perkawinannya dengan baik,

sehingga kepuasan dan kebahagiaan dalam perkawinan dapat tercapai. Dalam

usahanya mencapai kepuasan dan kebahagiaan tersebut, suami-istri akan

mengalami kekecewaan, penyesalan, kesalahpahaman, perselisihan bahkan

pertengkaran karena banyaknya perbedaan yang terjadi dalam perkawinan. Survei

awal yang telah dilakukan peneliti tahun 2009 terhadap tujuh pasangan

menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan yang biasa terjadi dalam perkawinan

antara lain perbedaan karakter suami dan istri yang dapat menyebabkan

perselisihan, komunikasi yang tidak berjalan dengan efektif sehingga keinginan

dan kebutuhan pasangan tidak dapat terpenuhi, kondisi ekonomi keluarga,

perbedaan dalam cara berpikir untuk mengatasi masalah, kepercayaan dan nilai -

nilai yang dimiliki oleh masing – masing pasangan dan gaya hidup yang berbeda.

Cara pasangan -pasangan tersebut dalam mengatasi perbedaan-perbedaannya

(15)

Universitas Kristen Maranatha 5

baik, belajar mengungkapkan perasaan secara terbuka, membahas masalah yang

ada tanpa melibatkan emosi sehingga dapat diselesaikan dengan baik dan

memenuhi kebutuhan-kebutuhan utama keluarga sesuai dengan kondisi ekonomi.

Menurut Goldberg (1982) terdapat beberapa area konflik yang terjadi pada

pasangan modern yaitu kekuasaan dan kontrol, perhatian dan perlindungan

terhadap pasangan, kedekatan dan privasi masing-masing, kepercayaan, kesetiaan

terhadap pasangannya, gaya hidup dan perbedaan cara berpikir dalam mengatasi

masalah.

Perbedaan-perbedaan tersebut dapat terjadi juga dalam kehidupan

perkawinan yang berbeda budaya sehingga menyebabkan munculnya perselisihan

ataupun konflik dalam perkawinan. Menurut Tseng (dalam McDermott &

Maretzki, 1977) mengungkapkan bahwa perkawinan antar etnis (intercultural marriage) adalah perkawinan yang terjadi antara individu yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Budaya yang berbeda melahirkan standar

perilaku/norma yang berbeda dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam

hal mengatur hubungan perkawinan. Latar belakang budaya yang berbeda dapat

menimbulkan ketidakcocokan diantara pasangan. Ketidakcocokan tersebut dapat

mengakibatkan konflik dalam perkawinan, termasuk konflik mengenai kebiasaan,

sikap perilaku dominan dan campur tangan keluarga. Perbedaan karakter, sifat

serta kebiasaan-kebiasaan umumnya menjadi sumber masalah dalam hal

pengelolaan keuangan, pembagian peran dalam rumah tangga, penempatan diri

(16)

rumah sampai kesempatan bergaul dengan teman. Kelahiran anak pertama pun

dapat menimbulkan perbedaan antara suami-istri dalam hal pola pengasuhan anak.

(http://www.beritaterkinionline.com/2010/07/adaptasi-tahun-pertama-dalampernikahan.html).

Menurut hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada seorang pendeta,

didapatkan data, permasalahan yang lebih banyak terjadi dalam perkawinan yang

berbeda budaya adalah perselisihan secara terus-menerus antara suami-istri akibat

perbedaan sifat dan kebiasaan diantara mereka. Perselisihan tersebut terjadi

karena adanya pertemuan pribadi-pribadi yang berlainan karakter, adat istiadat

dan pola hidup dimasa kecilnya. Pada saat seorang pria dan seorang wanita

menikah, masing-masing individu akan membawa nilai-nilai budaya, sikap, sifat,

kebiasaan, keyakinan serta gaya penyesuaian masing-masing kedalam

perkawinannya. Masing-masing individu memiliki latar belakang dan pengalaman

yang berbeda sehingga akan terjadi perbedaan dalam kehidupan perkawinannya,

oleh karena itu dibutuhkan proses penyesuaian diri agar kebutuhan dan harapan

masing-masing pasangan dapat terpenuhi. Setiap pasangan harus menyadari dan

menerima kenyataan bahwa akan terjadi kesulitan dan tantangan-tantangan dalam

kehidupan perkawinan. Proses penyesuaian diri diperlukan sebagai usaha untuk

saling mengenal, menghargai dan memenuhi kebutuhan serta harapan dari

pasangan.

Pada dasarnya setiap pasangan membutuhkan penyesuaian dalam

perkawinannya. Khusus pada pasangan yang berbeda latar belakang budaya,

(17)

Universitas Kristen Maranatha 7

perkawinannya yang berbeda budaya, individu yang beretnis Cina akan

melakukan penyesuaian terhadap pasangannya meskipun mendapatkan

pertentangan dari keluarganya, karena pada masyarakat Cina terdapat larangan

untuk melakukan perkawinan dengan penduduk pribumi terutama pada anak

perempuannya. Etnis Cina memiliki anggapan bahwa perkawinan dengan sesama

etnis Cina lebih ideal. Selain itu, masalah keturunan juga menjadi pertentangan

karena orang tua memiliki kepercayaan dan keinginan untuk menitipkan anak

perempuannya kepada suami yang memiliki kebudayaan yang sama.

(http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080319054438AA8eV7q).

Perbedaan budaya antara etnis Cina dengan Batak Toba diantaranya dapat

terlihat dalam perbedaan komunikasi non-verbal. Komunikasi non-verbal pada

etnis Cina berupa ekspresi wajah, nada suara dan postur tubuh digunakan untuk

memberitahukan apa yang sedang dirasakan. Selain itu, kening berkerut ketika

seseorang sedang berbicara dapat ditafsirkan sebagai tanda ketidaksetujuan. Oleh

karena itu, kebanyakan masyarakat Cina memertahankan ekspresi tenang ketika

berbicara. Selain itu, hal yang dianggap tidak sopan ketika berbicara adalah

menatap mata orang lain secara langsung. Dalam situasi ramai etnis Cina

menghindari kontak mata untuk memberikan privasi sendiri

(http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.kwint

essential.co.uk/resources/global-etiquette/china-country-profile.html). Sementara

itu, komunikasi non-verbal pada masyarakat Batak Toba, misalnya menatap mata

secara langsung dianggap sebagai hal yang wajar meskipun kontak mata tetap

(18)

berlebihan dianggap menantang dan berkonotasi tidak sopan. Selain itu,

masyarakat Batak Toba merupakan masyarakat yang sangat berterus terang, tidak

peduli siapa yang menjadi lawan bicaranya serta memiliki intonasi dan volume

suara sangat keras. Etnis Batak Toba juga memiliki nilai-nilai utama yang dapat

memberikan dorongan kuat dalam meraih kejayaan seperti meraih jabatan dan

pangkat yang dapat memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma dan

kekuasaan

(http://willmen46.wordpress.com/2007/10/18/beberapa-budaya-utama-dalam-masyarakat-batak-toba/). Sementara persamaan diantara etnis Cina dan

etnis Batak Toba adalah menganut sistem kekerabatan patrilineal, yaitu

mengambil garis keturunan dari seorang kakek menurut garis keturunan ayah.

Menurut hasil survei yang dilakukan peneliti terhadap tiga sampel individu

yang menikah dengan pria Batak Toba, mereka mengetahui bahwa pasangannya

yang berbudaya Batak sangat memegang adat dalam perkawinan, memiliki tutur

kata yang tegas, ulet dalam bekerja, watak yang keras kepala dan sangat berterus

terang. Dari sampel pertama dengan usia perkawinan 5 tahun didapat data bahwa

ketika S berpacaran dahulu hubungannya tidak disetujui oleh keluarga karena

tidak berasal dari latar belakang budaya yang sama yaitu etnis Cina. Akan tetapi

sikap S selalu positif dalam menghadapi hal tersebut sehingga pada akhirnya S

direstui oleh keluarganya untuk menikah. Di awal perkawinan, S berusaha keras

untuk mengerti budaya keluarga besar suaminya serta berusaha berbaur meskipun

S terkadang merasa tidak dipedulikan oleh keluarga pasangan karena berasal dari

suku yang berbeda. Ketika dalam acara arisan keluarga pun, S cenderung merasa

(19)

Universitas Kristen Maranatha 9

dilakukan lebih banyak menggunakan bahasa Batak yang sama sekali tidak

dimengerti olehnya. Keadaan ini yang membuat S merasa tidak nyaman dalam

menjalani perkawinannya dan S pun merasa kesal serta sempat tidak

ingin mengetahui tentang budaya suaminya. Akan tetapi, suami S

selalu memberikan dukungan dan selalu membantu S sehingga S bersemangat dan

tertantang untuk berbaur dengan keluarga besar pasangannya. Kini S merasa

nyaman dengan budaya dan kebiasaan suami. S pun mulai bisa menyesuaikan diri

walaupun masih harus belajar lebih banyak lagi tentang budaya suami.

Dari sampel kedua dengan usia perkawinan 5 tahun didapat data bahwa

ketika berpacaran dahulu hubungannya tidak disetujui oleh keluarga dikarenakan

latar belakang budaya yang tidak sama. S dan calon suaminya selalu berusaha

meyakinkan keluarga S sehingga S mendapat restu untuk menikah. Dalam

perkawinannya, S harus menyesuaikan diri dengan karakter, kebiasaan, cara

berpikir dalam menyelesaikan suatu masalah yang berbeda dengan dirinya.

Karakter suami yang keras kepala kerap kali menyebabkan konflik dalam

perkawinan S. Konflik tersebut setidaknya terjadi kurang lebih sampai dua

minggu karena keluarga tidak ada yang mau mengalah, sampai pada akhirnya S

terpaksa menyapa suami karena S sudah merasa sangat tidak nyaman dengan

kondisi hubungan dan kondisi rumah yang tidak kondusif. Konflik yang

berkepanjangan ini mempengaruhi pekerjaan S di kantor dan berpengaruh juga

terhadap hubungan S dengan teman-teman sekantornya karena S menjadi lebih

pendiam serta jarang berinteraksi dengan teman-temannya. Selain itu, S juga

(20)

sangat berterus-terang ketika berbicara tanpa dipikirkan terlebih dahulu

baik-buruknya. S terkadang merasa sakit hati ketika mendegar perkataan yang

disampaikan oleh keluarga besar suami terutama mengenai hal-hal yang menurut

S sensitive, seperti kehidupan perkawinan. S sangat tidak suka jika kehidupan

perkawinannya diatur oleh orang lain selain dirinya sendiri dan suami. Sampai

saat ini, S kerap kali masih terbawa emosi dalam menghadapi perbedaan dalam

perkawinannya karena S menganggap bahwa hal tersebut sangat berbeda dengan

budaya yang dimilikinya sehingga S merasa tidak nyaman ketika berada diantara

keluarga suaminya. S pun terkadang tidak bisa mengendalikan emosinya ketika

melihat suami melakukan kebiasaan yang tidak disukainya. S menyadari bahwa

dirinya belum dewasa dalam hal emosi dan belum bisa memahami bagaimana

budaya suami dan keluarga besarnya.

Dari sampel ketiga dengan usia perkawinan 3 tahun didapat data bahwa

hubungan perkawinannya tidak disetujui oleh sebagian keluarga besar

dikarenakan suami yang S pilih tidak berasal dari latar belakang budaya yang

sama dengan dirinya. Dalam perkawinannya, S harus menghadapi perbedaan

karakter antara dirinya dengan suami. S kerap kali terbawa emosi ketika

menghadapi karakter suaminya yang memiliki pendirian yang teguh terhadap

suatu hal yang telah dipilihnya dan sifat suami yang mudah marah sehingga S

merasa kesulitan berinteraksi dengan karakter suami. Ketika konflik dengan

suami, S lebih memilih untuk menghindar dari suami dan setiap kali terjadi

konflik dengan suami, S merasa tertekan. Sebenarnya S tidak ingin ribut dengan

(21)

Universitas Kristen Maranatha 11

menghadapi kebiasaan yang dilakukan dalam keluarga suaminya yaitu kebiasaan

untuk berkumpul bersama keluarga yang semarga. S masih belum terbiasa dengan

hal tersebut sehingga S terkadang mencari alasan kepada suaminya agar tidak ikut

hadir dalam acara tersebut. Dalam acara kumpul tersebut, S merasa bahwa dirinya

dianggap seperti tidak ada karena semua orang yang berada disana menggunakan

bahasa yang tidak dimengerti S sehingga S merasa tidak nyaman diantara mereka.

S pun terkadang menolak ketika suami ingin mengajarkan dirinya untuk sedikit

demi sedikit belajar bahasa Batak karena S menganggap bahwa bahasa Batak akan

sangat sulit untuk dipelajari.

Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk

meneliti gambaran penyesuaian diri dalam perkawinan pada pasangan yang

berbeda budaya terutama pada istri beretnis Cina yang memiliki suami beretnis

Batak Toba.

1.2Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana penyesuaian diri dalam

perkawinan pada istri beretnis Cina yang memiliki suami beretnis Batak Toba.

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Untuk memperoleh gambaran mengenai penyesuaian diri dalam

(22)

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci mengenai penyesuaian diri

dalam perkawinan serta faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri pada

istri beretnis Cina yang memiliki suami beretnis Batak Toba.

1.4Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis

- Memberikan informasi mengenai penyesuaian diri dalam perkawinan pada

istri beretnis Cina yang memiliki suami beretnis Batak Toba ke dalam

bidang ilmu Psikologi Keluarga.

- Memberikan informasi mengenai penyesuaian diri dalam perkawinan yang

berbeda budaya ke dalam bidang ilmu Psikologi Lintas Budaya.

- Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan

penelitian lanjutan mengenai penyesuaian diri dalam perkawinan pada istri

beretnis Cina yang memiliki suami beretnis Batak Toba.

1.4.2 Kegunaan Praktis

- Memberikan informasi kepada pasangan yang akan menikah berbeda

budaya mengenai perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam perkawinan

sehingga mendapatkan pengalaman untuk belajar menyesuaikan diri.

- Memberikan informasi kepada konselor perkawinan mengenai gambaran

penyesuaian diri dalam perkawinan pada perkawinan yang berbeda budaya

(23)

Universitas Kristen Maranatha 13

- Memberikan informasi kepada istri beretnis Cina yang memiliki suami

beretnis Batak Toba mengenai penyesuaian diri dalam perkawinan yang

telah dilakukannya agar dapat menyesuaikan diri secara optimal dengan

mengetahui faktor-faktor yang mendukung dan tidak mendukung proses

penyesuaian diri.

1.5Kerangka Pemikiran

Masa dewasa awal (usia 20 - 30 tahun) menurut Erik Erikson (1978)

ditandai dengan adanya kecenderungan intimacy vs isolation, karena pada tahap sebelumnya individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya tetapi

pada masa dewasa awal ikatan dengan kelompok sudah mulai longgar. Pada tahap

ini, individu sudah mulai selektif dalam membina hubungan yang intim dengan

orang-orang tertentu yang sepaham dengan dirinya. Jadi pada tahap ini, timbul

dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu

dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya. Individu yang tidak dapat

membina hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu yang sepaham

dengan dirinya, berarti individu tersebut memiliki kecenderungan untuk

mengisolasi atau menutup dirinya dari cinta, persahabatan dan masyarakat. Selain

itu, individu yang menutup dirinya dapat juga memunculkan rasa benci dan

dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakannya.

Individu yang dapat membina hubungan yang intim dengan orang-orang

tertentu berarti individu tersebut ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan

(24)

orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin. Periode ini

diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya

disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan serta mencapai kelekatan dan

kedekatan dengan orang lain sampai pada tahap perkawinan dimana dalam tahap

ini pasangan suami-istri yang terikat dalam perkawinan akan mengalami banyak

perubahan dalam hidupnya. Perubahan tersebut berkaitan dengan perannya

sebagai suami-istri, dimana seorang suami diharapkan dapat menjadi sumber

penghasilan dalam keluarga, partner seks, teman, orang terpercaya dimana peran-peran tersebut dituntut oleh masyarakat luas. Suami yang menjalankan peran-perannya

dengan baik akan mendapat rasa hormat dari istrinya dan penghargaan dari orang

lain dalam bentuk pujian. Sementara seorang istri diharapkan untuk dapat

menjalankan perannya sebagai pengurus rumah (seperti berbelanja, memasak,

mencuci baju), partner seks, teman, orang terpercaya dan perencana keluarga. Seorang istri yang dikatakan gagal dalam menjalankan perannya akan dikritik

oleh suaminya, tetangga dan orang lain jika keluarganya terbengkalai. Sebaliknya

jika seorang istri mampu menjalankan perannya dengan baik, maka suami,

keluarga dan temannya akan menyebutnya sebagai istri yang baik (Duvall,

1977:69-70).

Perubahan peran tersebut menyebabkan individu perlu untuk memiliki

kemampuan dalam melakukan penyesuaian diri baik terhadap dirinya sendiri dan

pasangannya. Kemampuan tersebut akan selalu dibutuhkan selama perkawinan.

Schneiders (1965:51) mengungkapkan pengertian penyesuaian diri sebagai

(25)

Universitas Kristen Maranatha 15

dan tingkah laku dalam upaya seseorang untuk menguasai atau menanggulangi

segala kebutuhan-kebutuhan diri, ketegangan, frustasi dan untuk

menyeimbangkan tuntutan-tuntutan dalam diri dan tuntutan yang dibebankan

kepadanya oleh dunia obyektif dari lingkungan individu berada.

Sebuah perkawinan dapat pula terjadi pada dua budaya yang berbeda

seperti seorang perempuan beretnis Cina yang menikah dengan pria beretnis

Batak Toba. Kedua budaya ini menganut sistem kekerabatan patrilineal yaitu

suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah.

Identitas etnis Cina dapat terwujud dalam bahasa dan aksara yang digunakan.

Selain itu, adat-istiadat seperti upacara kelahiran, upacara pernikahan, upacara

kematian, norma, dan kebiasaan-kebiasaan juga merupakan jati diri etnis Cina.

Salah satu dari beberapa bentuk perayaan dari wujud budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Cina atau Tionghoa yang ada di Indonesia yaitu Imlek atau sinchia dan cap go meh.

Nilai budaya sebagai identitas pada etnis Batak adalah marga,

bahasa-aksara, dan adat-istiadat. Marga adalah nama persekutuan sekelompok masyarakat

yang merupakan keturunan dari seorang kakek menurut garis keturunan bapak

(patrilineal). Bagi etnis Batak, marga sebagai identitas lebih dominan daripada

nama karena dapat menunjukkan hubungannya dengan sesama orang yang

semarga, bahkan dengan marga lain dan dapat juga menunjukkan dari mana

asalnya. Bahasa dan aksara juga merupakan indentitas etnis Batak akan tetapi

generasi muda yang lahir dan dibesarkan di kota-kota tidak lagi dapat berbahasa

(26)

pernikahan, upacara kematian, norma, dan kebiasaan-kebiasaan juga merupakan

jati diri etnis Batak yang membedakan suku bangsa ini dengan suku bangsa lain.

Perkawinan yang bercirikan dengan perbedaaan dalam hal latar belakang

budaya dapat menimbulkan keharmonisan dan ketidakharmonisan dalam

keluarga yang dibinanya. Keharmonisan yang terjadi diantara pasangan

ditunjukkan dengan kecocokan yang menyebabkan suami-istri dapat

menyelesaikan konflik yang ada. Sementara ketidakharmonisan diantara

pasangan ditunjukkan dengan ketidakcocokan yang menyebabkan konflik dalam

perkawinan, baik konflik mengenai kebiasaan, sikap perilaku dominan maupun

campur tangan keluarga. Oleh karena itu, pasangan yang berbeda budaya juga

akan membutuhkan kemampuan dalam menyesuaikan diri, baik dengan dirinya

sendiri dan pasangannya. Kemampuan dalam menyesuaikan diri ini dibutuhkan

untuk mengatasi konflik akibat perbedaan yang terjadi dalam perkawinan, seperti

perbedaan dalam hal berkomunikasi secara non-verbal. Komunikasi non-verbal

pada masyarakat Cina seperti ekspresi wajah, nada suara dan postur tubuh

digunakan untuk memberitahukan apa yang merasa rasakan kepada orang lain.

Kening berkerut ketika seseorang sedang berbicara ditafsirkan sebagai tanda

ketidaksetujuan oleh karena itu, kebanyakan masyarakat Cina mempertahankan

ekspresi tenang ketika berbicara. Dan hal yang dianggap tidak sopan ketika

berbicara adalah menatap mata orang lain secara langsung sehingga dalam situasi

ramai orang Cina menghindari kontak mata untuk memberikan privasi sendiri

(http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.kwint

(27)

Universitas Kristen Maranatha 17

Sementara komunikasi non-verbal pada masyarakat Batak, seperti menatap

mata secara langsung dianggap sebagai hal yang wajar meskipun kontak mata

tetap memiliki aturan tersendiri karena bagi sebagian orang, kontak mata yang

terlalu berlebihan dianggap menantang dan suatu hal yang tidak sopan.

Masyarakat Batak merupakan masyarakat yang sangat berterus terang, tidak

peduli siapa yang menjadi lawan bicaranya serta memiliki intonasi dan suara

sangat keras. Selain itu, suku Batak pun sangat memegang adat dalam

perkawinannya dan terkenal dengan tutur katanya yang tegas serta wataknya yang

keras kepala.

(http://willmen46.wordpress.com/2007/10/18/beberapa-budaya-utama-dalam-masyarakat-batak-toba/). Disamping perbedaan tersebut, terdapat

persamaan antara etnis Cina dan etnis Batak Toba dimana kedua budaya menarik

garis keturunan dari ayah atau dikenal sebagai sistem patrilineal.

Schneiders (1964) mengungkapkan bahwa terdapat dua macam

penyesuaian yaitu penyesuaian personal dan penyesuaian lingkungan

(perkawinan). Penyesuaian personal merupakan penyesuaian terhadap sikap dan

tingkah laku individu untuk berespon terhadap keadaan fisik, mental dan

emosional. Terdapat beberapa kriteria dalam penyesuaian personal, pertama

adalah pengetahuan diri dan pemahaman diri tentang segala kemampuan dan

keterbatasan yang dimiliki. Seorang istri yang memiliki pengetahuan dan

pemahaman akan dirinya, berarti individu tersebut dapat mengetahui kelebihan

dan kekurangan yang dimiliki dirinya serta mengetahui kebutuhannya. Seperti

seorang istri yang mengetahui bahwa dirinya memiliki kelebihan dan kekurangan

(28)

kebutuhan primer dan sekundernya sehingga dapat mengembangkan dirinya

menjadi optimal.

Kedua adalah obyektivitas diri dan penerimaan diri yang didasari oleh

pengetahuan yang obyektif. Seorang istri yang melakukan penyesuaian secara

baik, berarti dapat melihat dirinya secara obyektif berdasarkan pengetahuan akan

dirinya serta menerima keterbatasan dalam dirinya berdasarkan keadaan diri yang

obyektif. Seperti seorang istri yang dapat menerima kekurangan dirinya dalam hal

kebiasaan yaitu teledor dalam meletakkan barang-barang dan melihat kekurangan

dalam dirinya itu secara obyektif sehingga dia dapat mencari cara untuk

meminimalisir kekurangannya tersebut serta dapat menerima diri apa adanya

dengan kekurangan yang dimiliki.

Ketiga adalah pengendalian diri dan pengembangan diri yang merupakan

bagian dari kewajiban individu terhadap dirinya sendiri. Seorang istri yang

melakukan penyesuaian secara baik, berarti individu memiliki kemampuan untuk

mengendalikan pikiran, emosi, sikap dan perilakunya ketika berinteraksi dengan

suami serta ketika berhadapan dengan aturan dalam perkawinan yang

memungkinkan individu untuk berkembang menjadi pribadi yang lebih matang.

Seperti ketika terjadi konflik karena perbedaan kebiasaan, individu tetap berusaha

untuk berpikiran secara positif, tidak meluapkan amarah secara langsung dan

berperilaku lebih sabar dalam menyelesaikan konfliknya dengan suami. Individu

mengendalikan dirinya berdasarkan keinginannya sendiri serta berusaha untuk

mengubah hal-hal negatif yang kurang disukai suaminya sehingga keharmonisan

(29)

Universitas Kristen Maranatha 19

Keempat adalah integrasi diri yang mengacu pada penggabungan

unsur-unsur dalam kepribadian. Seorang istri yang melakukan penyesuaian secara baik,

berarti individu dapat menggabungkan pikiran, perasaan dan tingkah lakunya

dengan baik serta memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang terjadi

dalam perkawinannya. Seperti ketika terjadi perbedaan pendapat dengan suami

mengenai keikutsertaan istri dalam acara keluarga besar suami, individu

mengetahui bahwa perbedaan pendapat akan sering terjadi dalam sebuah

perkawinan karena terdapat dua pemikiran yang berbeda sehingga individu dapat

menahan dirinya untuk tidak meluapkan secara langsung apa yang dirasakannya

dan tidak memaksakan kehendaknya.

Kelima adalah tujuan yang terencana dan terarah. Seorang istri yang

melakukan penyesuaian secara baik, berarti individu memiliki harapan dan

cita dalam perkawinannya serta berusaha untuk mewujudkan harapan dan

cita-citanya. Seperti seorang istri yang memiliki harapan dan cita-cita yaitu sebuah

perkawinan yang harmonis dengan latar belakang budaya yang berbeda serta

berusaha untuk menjadi seseorang yang lebih sabar sehinnga dapat mengurangi

perselisihan dengan suami.

Keenam adalah wawasan, nilai-nilai dan filosofi kehidupan yang didukung

oleh wawasannya terhadap kenyataan, dalam tingkah laku sosial, moral dan

keagamaan. Seorang istri yang melakukan penyesuaian secara baik, berarti

individu memiliki wawasan dan nilai yang dipegang teguh sehingga individu

dapat menentukan hak dan kewajibannya dengan menghargai dirinya sendiri dan

(30)

menjadi sumber konflik dalam berumah tangga, maka individu akan menentukan

hak dan kewajibannya sebagai istri yaitu dengan berusaha menghilangkan

kebiasaan yang kurang disukai suaminya dan mendapatkan perlakuan yang sama

dari suaminya.

Ketujuh adalah rasa humor yang merupakan kemampuan untuk melakukan

humor dan merasakan kebahagiaan. Seorang istri yang melakukan penyesuaian

secara baik, berarti individu dapat menemukan hal-hal yang dapat membuat

dirinya tertawa dan merasakan kebahagiaan. Seperti seorang istri yang suka

bercanda dengan suaminya dan merasakan kebahagiaan dalam perkawinannya

yang berjalan dengan harmonis.

Kedelapan adalah rasa tanggung jawab dan kemampuan untuk

menjalankannya. Seorang istri yang melakukan penyesuaian secara baik, berarti

individu dapat memahami dan melaksanakan tanggung jawabnya sebagai seorang

istri dengan baik. Seperti seorang istri yang memahami tanggung jawabnya untuk

mengurus kebutuhan rumah tangga dan selalu menyiapkan sarapan serta

kebutuhan untuk makan dirumah.

Kesembilan adalah kematangan dalam berespon yang tidak hanya meliputi

kematangan fisik, tetapi juga mencakup kematangan respon secara emosi, moral,

dan sosial. Seorang istri yang melakukan penyesuaian secara baik, berarti individu

dapat mengembangkan kepribadian serta tingkah lakunya secara terarah, sehingga

individu dapat meminimalkan konflik dengan suami. Seperti seorang istri ketika

(31)

Universitas Kristen Maranatha 21

tetapi mendengarkan pendapat dari suami serta mendiskusikan bersama suami

pendapat siapa yang lebih baik untuk dilakukan.

Kesepuluh adalah pengembangan kebiasaan yang bermanfaat dimana

berhubungan erat dengan efisiensi dalam mengatasi suatu persoalan. Seorang istri

yang melakukan penyesuaian secara baik, berarti individu memiliki cara yang

efektif dalam menyelesaikan masalah. Seperti seorang istri yang memiliki cara

efektif untuk mengatasi konflik dengan suaminya dimana lebih banyak

mendengarkan perkataan suaminya ketika konflik dan mulai berbicara ketika

keadaan sudah mulai tenang dan membaik. Cara ini selalu digunakan untuk

mengatasi konflik dengan suaminya.

Kesebelas adalah kemampuan beradaptasi dengan perubahan yang bersifat

dinamis dan konstan. Seorang istri yang melakukan penyesuaian secara baik,

berarti individu dapat lebih fleksibel dalam menjalani kehidupan perkawinannya

sehingga memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan diri sendiri dan suami.

Seperti seorang istri yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan

perannya sebagai seorang istri dimana dirinya dapat mengatur keuangan rumah

tangga dengan baik serta memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan

kebiasaan suami.

Kedua belas adalah bebas dari ketidakmampuan atau respon-respon

simptomatik. Seorang istri yang melakukan penyesuaian secara baik, berarti

individu tidak memunculkan simptom seperti kecemasan yang berlebihan,

ketakutan yang berlebihan, berpura-pura atau menunjukkan gejala penyakit

(32)

ketika mengatasi perbedaan karakter dengan suami serta tidak memiliki ketakutan

yang berlebihan ketika harus berbaur dengan keluarga besar suami.

Ketiga belas adalah kemampuan untuk hidup bersama dan aktif

menunjukkan minat terhadap orang lain. Seorang istri yang melakukan

penyesuaian secara baik, berarti individu dapat menjalin hubungan sosial yang

baik dengan suami dengan menghormati hak, pendapat dan pribadi suami serta

memiliki keterikatan dengan orang lain. Seperti seorang istri yang dapat

menghormati hak suami dalam mengungkapkan pendapat serta menghadiri acara

kumpul bersama dengan keluarga besar suami.

Keempat belas adalah orientasi yang adekuat terhadap realitas. Seorang

istri yang melakukan penyesuaian secara baik, berarti individu memiliki

kemampuan untuk bersikap realistik terhadap masalah-masalah yang terjadi dalam

perkawinan. Seperti seorang istri yang bersikap bijak untuk mengatasi perbedaan

karakter dalam perkawinannya dengan cara lebih bersikap sabar sehingga

mengurangi terjadinya perselisihan dengan suami.

Penyesuaian lingkungan merupakan kapasitas individu untuk bereaksi

secara efektif terhadap kenyataan yang terdapat dilingkungan sehingga dapat

memenuhi tuntutan sosial termasuk dalam lingkungan perkawinan. Terdapat

beberapa kriteria dalam penyesuaian lingkungan (perkawinan), pertama adalah

kesesuaian atau kecocokan. Seorang istri yang melakukan penyesuaian secara

baik, berarti individu memiliki kesesuaian dengan suami baik dalam hal sexual

(33)

Universitas Kristen Maranatha 23

suami mengenai masalah sexual serta melakukan kegiatan bersama suami baik

kegiatan yang disukai dirinya ataupun kegiatan yang disukai suaminya.

Kedua adalah karakter kepribadian. Seorang istri yang melakukan

penyesuaian secara baik, berarti individu memiliki karakter kepribadian yang baik

antara lain tidak mementingkan diri sendiri, kepercayaan terhadap suami, toleransi

serta kemurahan hati sehingga dapat membangun keutuhan dalam perkawinan.

Seperti seorang istri yang selalu memaafkan kesalahan yang dilakukan oleh

suaminya dan menerima kekurangan yang dimiliki oleh suaminya.

Ketiga adalah perkembangan kepribadian secara terus-menerus dan

kemajuan yang terarah pada tujuan keberhasilan perkawinan. Seorang istri yang

melakukan penyesuaian secara baik, berarti terdapat perkembangan karakter

dalam diri individu serta dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi

dalam perkawinan. Seperti seorang istri yang selalu berusaha mengendalikan

perkataannya ketika marah dan membantu suami mencari penghasilan tambahan

dengan bekerja.

Keempat adalah saling cinta, menghargai, percaya dan persamaan derajat.

Seorang istri yang melakukan penyesuaian secara baik, berarti individu dapat

memandang sebuah perkawinan dengan lebih mendalam pada keutuhan dan

persahabatan abadi yang selalu melekat pada pasangan yang berbahagia. Seperti

seorang istri yang memiliki keinginan untuk selalu bersama suaminya dalam

keadaan senang dan susah serta menjalani kehidupan perkawinan dengan berbagi

(34)

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri

menurut Schneiders (1964), yaitu faktor yang berasal dalam diri (internal) dan

faktor yang berasal dari luar diri (eksternal). Yang termasuk dalam faktor internal

adalah pertama kondisi fisik. Istri yang memiliki kesehatan secara fisik dan

memiliki ketahanan fisik dalam melakukan suatu kegiatan membuat individu

dapat menjalankan peran dan tanggung jawabnya sebagai seorang istri baik dalam

hal mengurus kebutuhan rumah tangga, mengurus keuangan rumah tangga serta

merawat anak sehingga individu tersebut memiliki kemampuan untuk

menyesuaikan diri.

Kedua adalah perkembangan dan kematangan. Istri yang memiliki

kedewasaan dalam berpikir, dalam hal sosial dan moral membuat individu

bersikap dewasa serta membuat individu menjadi bijak dalam mengambil

keputusan untuk menyelesaikan perbedaan karakter dan kebiasaan suami,

sehingga individu memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri. Istri yang

memiliki kematangan secara emosional juga dapat mengembangkan karakter

pribadinya, sehingga dapat mengekspresikan emosinya secara tepat serta dapat

mengendalikan emosinya dengan baik.

Ketiga adalah determinan psikologis. Istri yang memiliki pengalaman dan

proses belajar dalam hidupnya, membuat individu dapat menghadapi pasangannya

yang berbeda karakter dengan dirinya serta dapat membantu individu dalam

menentukan cara yang efektif untuk mengatasi perbedaan karakter serta kebiasaan

dengan suaminya sehingga individu memiliki kemampuan untuk menyesuaikan

(35)

Universitas Kristen Maranatha 25

Faktor-faktor eksternalnya adalah pertama mengenai kondisi lingkungan.

Istri yang dapat memahami kondisi lingkungan sekitarnya dengan baik. termasuk

lingkungan keluarga yang dibina bersama suaminya dan lingkungan keluarga

besar, menyebabkan individu menjadi lebih mengerti tentang karakter dan

kebiasaan suami serta membuat individu lebih mudah berbaur dengan keluarga

besar suami yang berbicara dengan tutur kata yang tegas, sehingga individu

tersebut memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri.

Kedua adalah determinan kebudayaan termasuk agama. Istri yang

memiliki kebiasaan dan ajaran agama yang baik yang diperolehnya selama berada

dalam lingkungan keluarga serta menginternalisasikan nilai-nilai agama tersebut,

membimbing individu dalam proses berpikir dan bersikap untuk mengatasi

perbedaan karakter dan kebiasaan sehingga individu tersebut memiliki

kemampuan untuk menyesuaikan diri.

Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan faktor internal dan

eksternal berarti individu tersebut memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri

dengan dirinya sendiri dan lingkungan (perkawinan). Sedangkan, individu yang

tidak dapat menyesuaikan diri dengan faktor internal dan eksternal berarti

individu tersebut tidak memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan

(36)

Bagan 1.5 Kerangka Pemikiran Faktor-faktor yang mempengaruhi:

A. Internal

1. Kondisi fisik dan determinannya dalam penyesuaian diri.

2. Perkembangan dan kematangan 3. Determinan psikologis

B. Eksternal

1. Kondisi lingkungan 2. Determinan kebudayaan

Individu beretnis Cina yang memiliki suami beretnis Batak Toba

Penyesuaian Diri dalam Perkawinan

Welladjusted

Maladjusted

Aspek-aspek penyesuaian diri dalam perkawinan: A. Penyesuaian Personal

1. Pengetahuan diri dan pemahaman diri 2. Obyektivitas diri dan penerimaan diri 3. Pengendalian diri dan pengembangan diri 4. Integrasi diri

5. Tujuan yang terencana dan terarah

6. Wawasan, nilai-nilai dan filosofi kehidupan yang adekuat 7. Rasa humor

8. Rasa tanggung jawab 9. Kematangan dalam berespon

10. Pengembangan kebiasaan yang bermanfaat 11. Kemampuan beradaptasi

12. Bebas dari ketidakmampuan atau respon-respon simptomatik 13. Kemampuan untuk hidup bersama dan aktif menunjukkan minat

terhadap orang lain

14. Orientasi yang adekuat terhadap realitas B. Penyesuaian Lingkungan (perkawinan) 1. Kesesuaian atau kecocokan

2. Karakter kepribadian

(37)

Universitas Kristen Maranatha 27

1.6 Asumsi

- Individu yang termasuk dalam tahap perkembangan dewasa awal (usia

20-30 tahun) diharapkan sudah dapat melakukan penyesuaian diri

dalam hidupnya termasuk penyesuaian dalam perkawinan.

- Individu yang telah menikah dan memiliki pasangan berbeda budaya

diharapkan memiliki kemampuan penyesuaian diri dalam perkawinan

dengan cara melakukan penyesuaian terhadap diri sendiri (personal)

serta penyesuaian terhadap lingkungan (perkawinan).

- Setiap individu memiliki sikap tertentu terhadap perkawinan. Individu

yang telah menikah dan memiliki pasangan berbeda budaya

diharapkan memiliki sikap yang bijak dalam mengatasi perbedaan

karakter dan kebiasaan dalam perkawinannya, bertanggung jawab

terhadap perkawinannya dan menganggap bahwa perkawinan adalah

suatu hal yang tidak dapat dipisahkan sehingga kebahagiaan dan

(38)

106 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Jumlah istri yang berhasil menyesuaikan diri dengan baik (welladjusted) terdapat sedikit lebih banyak daripada jumlah istri yang menyesuaikan diri dengan kurang baik (maladjusted).

2. Penyesuaian diri dalam perkawinan yang baik (welladjusted) didukung oleh:

- Data mengenai aspek penyesuaian diri secara personal dan lingkungan (perkawinan), dimana aspek yang paling mendukung adalah aspek pengetahuan diri dan pemahaman diri, aspek obyektivitas diri dan penerimaan diri, aspek tujuan yang terencana dan terarah, aspek rasa humor, aspek rasa tanggung jawab, aspek kemampuan beradaptasi, aspek bebas dari ketidakmampuan atau respon-respon simptomatik, aspek kemampuan untuk hidup bersama dan aktif menunjukkan minat terhadap orang lain, aspek orientasi yang adekuat terhadap realitas, aspek karakter kepribadian serta aspek saling cinta, menghargai, percaya dan persamaan

derajat.

(39)

Universitas Kristen Maranatha107

kondisi lingkungan dan faktor determinan kebudayaan sehingga individu memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan suami.

- Data mengenai usia perkawinan, dimana perkawinan terbanyak adalah perkawinan berusia 4 tahun.

3. Penyesuaian diri dalam perkawinan yang kurang baik (maladjusted) didukung oleh:

- Data mengenai aspek penyesuaian diri secara personal, dimana aspek yang paling mendukung adalah aspek kematangan dalam berespon serta

aspek yang cukup mendukung adalah aspek wawasan, nilai-nilai dan filosofi kehidupan yang adekuat.

- Data mengenai faktor-faktor internal yang mempengaruhi penyesuaian diri dalam perkawinan, yaitu faktor perkembangan dan kematangan serta faktor determinan psikologis dalam kategori cukup sehingga individu cenderung belum memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan suami.

- Data mengenai usia perkawinan, dimana perkawinan terbanyak adalah perkawinan berusia 2 tahun.

4. Terdapat persamaan antara kelompok welladjusted dengan kelompok maladjusted, yaitu:

(40)

terencana dan terarah, aspek rasa humor, aspek rasa tanggung jawab, aspek kemampuan beradaptasi, aspek bebas dari ketidakmampuan atau respon-respon simptomatik, aspek kemampuan untuk hidup bersama dan aktif menunjukkan minat terhadap orang lain, aspek orientasi yang adekuat terhadap realitas, aspek karakter kepribadian serta aspek saling cinta, menghargai, percaya dan persamaan derajat.

- Persamaan pada spek-aspek dari data penunjang yang tergolong tinggi, yaitu aspek kondisi fisik, aspek determinan psikologis dan aspek determinan kebudayaan.

5. Perbedaan antara kelompok welladjusted dengan kelompok maladjusted, yaitu pada aspek kematangan dalam berespon, aspek wawasan, nilai-nilai dan filosofi serta aspek dari data penunjang, yaitu aspek perkembangan-kematangan dan aspek determinan psikologis.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis :

1. Peneliti selanjutnya diharapkan untuk menguji kembali aspek dalam penyesuaian personal yaitu aspek integrasi diri.

2. Peneliti selanjutnya diharapkan untuk memperhatikan aspek kematangan dalam berespon dan aspek perkembangan dalam penelitian selanjutnya. 3. Peneliti selanjutnya diharapkan untuk mampu menggunakan metode yang

(41)

Universitas Kristen Maranatha109

4. Peneliti selanjutnya diharapkan untuk menambahkan kuesioner tentang pemahaman akulturasi terhadap kehidupan perkawinan.

5. Peneliti selanjutnya diharapkan untuk menyertakan alat ukur stabilitas emosi.

5.2.2 Saran Guna Laksana :

1. Memberikan informasi kepada pasangan yang berbeda etnis tentang bagaimana cara mengahadapi perbedaan-perbedaan dalam proses penyesuaian diri.

(42)

110

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Saifuddin.

2000.

Reliabilitas dan Validitas

. Edisi 3. Yogyakarta : Pustaka

Pelajar.

Bailey, K.D

. 1978.

Methods of Social Research

. New York: The Free Press. A.

Division of Macmilan Publishing Co. Inc.

Berry, John W., Ype H. Poortinga., Marshall H. segall., Pierre R. Dasen.

1992.

Cros-Cultural Psychology: Research and Applications.

Cambridge :

Cambridge University press.

Duvall. Evelyn Millis

. 1977.

Marriage and Familiy Development

. 4

th

Edition.

Philadelphia: J.B Lippincott Co.

Erikson, Erik H

. 1982.

The Life Cycle Completed

. New York: W. W. Norton and

company.

Gulo, W

. 2004.

Metodologi Penelitian

. Jakarta: Grasindo.

Hadi, Sutrisno.

1984.

Metodologi Research

. Yogyakarta : Andi Offset.

Lasswel, M., & Lasswel, T

. 1987.

Marriage & The Family

. 2

nd

Edition. California :

Wadsworth Publishing Co.

McDermott, J.F., & Maretzki, T.W

. 1977.

Adjustment Intercultural Marriage

.

Honolulu: The University of Hawaii.

(43)

Universitas Kristen Maranatha

111

Spiegel, Murray R. Ph.D

. 1992.

Schawn’s Outline of Theory and Problems of

Statistics.

2

th

edition.

UK: McGraw-Hill International.

Santrock, J.W.

1999.

Life-Span Development

. 7

th

Edition. Boston: McGraw

Hill-College.

Scanzoni, J. & Scanzoni, L

. 1976.

Men, Woman and Change : A Sociology of

Marriage and Family.

New York, NY: McGraw Hill.

Schneiders, Alexander A

. 1964.

Personal Adjustment and Mental Health

. New

York: Holt, Rinehart and Witson.

Silalahi, G. A.

2003.

Metode Penelitian dan Studi Kasus

. Sidoarjo : Citra Media.

Sincich, Terry

. 1985.

Statistics by exemple.

2

th

edition. USA: Dellen Publishing

Company.

Sobur, Drs. Alex, M.Si.

2003.

Psikologi Umum

. Bandung: Pustaka Setia.

(44)

112

DAFTAR RUJUKAN

Aku

. 8 Mei 2008. Tantangan Tahun Pertama Pernikahan.

My Notes are My Articles.

(Online). (http://f-buzz.com, diakses 4 Maret 2009).

Bradbury, T. N.

1995.

Assessing the four fundamental domains of marriage

. Family

Relations, 44 (4), 459-468.

Evy widyani. 2007

.

suatu penelitian mengenai penyesuaian diri pada ibu yang

memiliki anak autis di lembaga “X” Bandung

. Metodologi Penelitian

Lanjutan Fakultas Psikologi UKM.

Launa

. 27 September 2009. Urbanisasi dan Agenda Reforma Agraria.

Opini

.

(online). (http://www.gp-ansor.org, diakses 15 Desember 2009).

Msiagian

.

18

Juni

2008.

Perkawinan

antar

suku.

SI461AN

.

(online).

(http://msiagian.multiply.com/reviews, diakses 28 November 2009).

NN.

Budaya

Cina.

Budaya

Cina

dan

Etika

.

(online).

(http://www.kwintessential.co.uk, diakses 24 Desember 2009).

NN

. 18 Oktober 2007. Beberapa budaya utama dalam masyarakat Batak Toba.

Budaya Batak

. (online). (http://willmen46.wordpress.com, diakses 4 Oktober

2009).

Rain.

2007. Apakah benar etnis tionghoa hanya di perbolehkah menikah dengan

(45)

Universitas Kristen Maranatha

113

Ruben, Alex

. 29 Juli 2008. Nilai Budaya Suku Batak.

Media Komunikasi dan

Informasi

Pomparan

Ni

Sitohang

dohot

Boruna

.

(Online).

(http://sitohanguntuktapanuli.wordpress.com, diakses 10 Mei 2009).

Sabatelli, R. M

. (1988).

Measurement issues in marital research: A review and

critique of contemporary survey instruments

. Journal of Marriage and The

Family, 50 (4), 891-915.

Silaban, Charly

. 1 Agustus 2002. Mengapa Orang Batak Temperamental.

Silaban

Brotherhood

. (Online), (http://www.silaban.net, diakses 10 Mei 2009).

Spanier, G.B., & Cole, C.L

. 1976.

Toward clarification and investigation of marital

adjustment

. International Journal of Sociology of The Family, 6, 121-146.

Schneider, Bonita

. 2007.

Critical Evaluation and Conceptual Organization of

Referensi

Dokumen terkait

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap laju pertumbuhan populasi Brachionus plicatilis pada ke empat media dengan perlakuan penambahan ragi roti selama

gathering agar eksistensi perusahaan serta citra positif yang diciptakan tetap terjaga dengan baik. c) Mengerti cara membuat material promosi seperti flyer sebagai

Dalam upaya peningkatan motivasi belajar siswa dengan hasil belajar suatu mata pelajaran, sangat disadari sepenuhnya diperhadapkan pada kenyataan bahwa tidak semua

Domineering (juga disebut Stop-Gate ) adalah sebuah permainan matematika yang dimainkan pada selembar kertas graf, yaitu kertas yang dicetak dengan garis-garis yang

Dipilihnya masalah “Pesan Moral dan Nilai Budaya Novel -Novel Karya Andrea Hirata” dalam penelitian ini merupakan suatu upaya untuk meningkatkan motivasi apresiasi sastra pada

Telah mengajukan pindah ke salah satu lembaga TK terpilih dengan alasan mengikuti orang tua yang akan pindah tempat tinggal.. Bersama ini kami sertakan Buku

Interaksi dengan bakteri dapat terjadi pada sela jari kaki dengan gambaran klinis yang lebih berat dengan etiologi polimikroba disebut dengan dermatofitosis