vi (1088003)
Aktivitas perjudian pada prakteknya merupakan suatu permainan yang mengandung unsur taruhan dengan harapan menang dan resiko kalah. Kemajuan teknologi khususnya internet nyatanya telah merubah bentuk perjudian yang awalnya sederhana menjadi semakin canggih melalui media internet yaitu perjudian online. Perjudian melalui situs internet khususnya perjudian bola online semakin marak di Indonesia. Keberadaan KUHAP yang mengatur tentang alat bukti perjudian secara limitatif tidak lagi dapat mengakomodir sistem pembuktian terhadap perjudian online. Namun, pemerintah telah mencantumkan perluasan alat bukti sah lainnya berupa informasi dan dokumen elektronik termasuk hasil cetaknya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif yaitu merujuk pada peraturan perundang-undangan yang relevan. Setelah itu peneliti menganalisa dan menarik kesimpulan serta memberikan saran atas hasil temuan penelitian. Data penelitian merupakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber yang telah ada. Sedangkan bahan- bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa alat-alat bukti elektronik terkait perjudian bola online yang dihadirkan di persidangan masih lemah, sehingga hakim tidak menerapkan UU ITE, melainkan hanya penerapan perjudian berdasarkan KUHP. Sistem pembuktian yang dipakai adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif sesuai ketentuan KUHAP. Hakim menjatuhkan putusan pidana setelah perjudian bola online terbukti secara sah dan eksistensi alat bukti di persidangan dapat meyakinkan hakim.
vii (1088003)
Gambling activities in the practice is a betting game that contains elements in the hope of winning and the risk of losing. Technological advances, especially the presence of the internet has shifted the original conventional gambling becomes increasingly sophisticated with the online gambling internet media. Gambling via the internet site especially football online gambling has been increasingly prevalent in Indonesia. The existence of the Criminal Procedure Code which regulates gambling limitedly evidence has no longer capability to accommodate the authentication system against online gambling. However, the government has put the expansion of legal evidence in the form of electronic information and electronic documents include the printout as well, as it stated in the Law of Information and Electronic Transactions (ITE Law).
In this study, researchers using normative juridical method with descriptive specification that is based and refers to relevant legislation. After that, researchers give an analyze and make conclusions, and then give some suggestions on research findings. The research data using secondary data which are obtained from various sources that already exist. While the law materials consisted of primary, secondary, and tertiary legal materials.
Analysis research makes conclusion that the electronics evidence related to online football gambling which is presented in the judiciary is still weak, so the judge can not apply the ITE Law, but only based under the penal law. Verification system which is implemented on judiciary is verification system according to the law negatively in accordance with provisions of the Criminal Procedure Code. Judges dropped the criminal verdict after football online gambling has been proven legally and the existence of evidence in the judiciary able to convince the judge.
xi
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... iii
LEMBAR PERSETUJUAN PANITIA SIDANG UJIAN ... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D Kegunaan Penelitian ... 7
E. Kerangka Pemikiran ... 8
1. Teori Fungsi Hukum ... 8
2. Teori Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ... 10
3. Teori Pembuktian Tindak Pidana Perjudian Online ... 14
xii
G. Sistematika Penulisan ... 22
BAB II SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Pengertian Hukum Pidana ... 24
1. Hukum Pidana di Indonesia ... 24
2. Sistem Hukum Pidana di Indonesia ... 25
3. Kejahatan dan Pelanggaran dalam Hukum Pidana ... 31
4. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian ... 37
B. Teori Sistem Pembuktian ... 41
C. Barang Bukti Dalam Hukum Acara Pidana ... 50
1. Barang Bukti Yang Dipergunakan Dalam Acara Pidana Di Indonesia ... 50
2. Alat Bukti Dalam Hukum Acara Pidana ... 54
3. Perluasan Alat Bukti Dalam Hukum Acara Pidana ... 68
BAB III PEMBUKTIAN PERJUDIAN BOLA ONLINE DITINJAU DARI HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK A. Tinjauan Tentang Perjudian dan Perjudian Online... 71
1. Pengertian Perjudian ... 71
2. Bentuk-Bentuk Perjudian ... 73
xiii
BAB IV PENGATURAN DAN SISTEM PEMBUKTIAN PERJUDIAN
BOLA ONLINE DI INDONESIA
A. Pengaturan Perjudian Bola Online di Indonesia ... 95
1. Larangan Perjudian Bola Online ... 95
2. Pedoman Bagi Aparat Penegak Hukum ... 99
B. Sistem Pembuktian Perjudian Bola Online di Indonesia... 103
1. Kasus Posisi Perjudian Bola Online di Bandung ... 103
2. Acara Pemeriksaan dan Pembuktian Perjudian Online di Persidangan ... 106
3. Kelemahan UU ITE Dalam Pembuktian Tindak Pidana Perjudian Bola Online ... 119
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 126
B. Saran ... 128
DAFTAR PUSTAKA ... 130
LAMPIRAN
1 A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi ternyata tidak hanya membawa dampak positif
bagi masyarakat. Sebagai contoh, teknologi internet bisa memberikan pengaruh
negatif bagi para pemakainya. Melalui media internet beberapa jenis tindak
pidana semakin mudah untuk dilakukan seperti pencemaran nama baik,
pornografi, pembobolan rekening, perusakan jaringan, penyerangan melalui
virus, dan termasuk perjudian online. Salah satu alat yang sering digunakan
dalam perjudian online adalah handphone, dimana handphone dipergunakan
sebagai sarana komunikasi.
Tindak pidana perjudian sudah masuk ke dalam tahap yang sangat
mengkhawatirkan, bahkan sangat marak di kalangan mahasiswa khususnya
perjudian online melalui situs-situs yang mudah untuk diakses di internet.
Berdasarkan pengamatan penulis sendiri, hal tersebut berawal dari
pertandingan-pertandingan olahraga khususnya sepak bola yang ditambahkan unsur taruhan
secara kecil-kecilan. Menonton pertandingan bola yang tadinya hanya sekedar
hobi pun berubah menjadi perjudian. Mereka tidak sadar akan pengaruh buruk
yang akan datang saat ketagihan dan terlibat perjudian secara besar-besaran,
Dampak buruk dari perjudian akan timbul setelah pelaku judi mengalami
kekalahan besar, seperti timbulnya masalah ekonomi atau keuangan, pertikaian,
tindak kekerasan sampai kepada pembunuhan yang pernah terjadi di salah satu
rumah kos Jalan Babakan Jeruk Bandung sekitar tahun 2005 lalu. Pada sub agen
tertentu, peserta diperbolehkan memasang taruhan tanpa melakukan deposit
terlebih dahulu. Berdasarkan keterangan penjaga rumah kos tersebut, peristiwa
ini diawali dari kekalahan dalam jumlah yang cukup besar dan peserta menunda
pembayaran secara berulang kali, sehingga kolektor diberikan kuasa oleh sub
agen untuk melakukan penagihan. Pada saat itu terjadi perkelahian karena
peserta yang berhutang pada sub agen judi bola tersebut masih belum bisa
melunasi hutangnya sehingga terjadilah peristiwa pembunuhan tersebut.
Bukan suatu hal mudah untuk menuntaskan perjudian, perlu adanya
peraturan hukum yang menindak tegas para pelaku tindak pidana perjudian.
Peraturan atas perjudian pada mulanya diatur dalam Pasal 303 KUHP, dengan
ancaman hukuman penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 90.000 (sembilan puluh ribu rupiah). Dengan
keluarnya Undang-Undang Nomor 7 Pasal 2 ayat (1) Tahun 1974 tentang
Penertiban Perjudian, di mana ancaman hukuman atas tindak pidana perjudian
Pasal 303 ayat (1) KUHP diubah menjadi hukuman penjara selama-lamanya 10
(sepuluh) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000 (dua puluh lima
juta rupiah). Kemudian mengubah Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis ayat (1)
setinggi-tingginya Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), kemudian Pasal 303 bis
ayat (2) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah).
Penegakan hukum oleh pihak berwenang wajib memperhatikan asas
hukum dalam Pasal 1 KUHP yang menyatakan :”Tiada suatu perbuatan yang
boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang
yang terdahulu dari perbuatan itu.”
“Ketentuan ayat ini memuat asas yang tercakup dalam rumusan : ”Nullum
delictum, nulla poena sine praevia lege punali.” Asas nullum delictum ini
memuat pengertian bahwa suatu perbuatan yang dilakukan tanpa ada
Undang-Undang yang sebelumnya telah mengatur tentang perbuatan itu tidak dapat
dipidana.”1
Indonesia merupakan negara yang menempatkan hukum sebagai sarana
untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa yang
berwujud peraturan perundang-undangan melalui aparatur negara. Upaya
penegakan hukum harus terus dilakukan untuk menanggulangi segala bentuk
kejahatan. Meskipun kebijakan hukum yang ditempuh selama ini masih terus
dikaji dan disesuaikan dengan tindak pidana yang terus berkembang baik cara
maupun sarana yang digunakan. Komponen-komponen yang terdapat dalam
sistem hukum harus dijalankan secara baik dan sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan.
Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum
pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law
application) yang melibatkan pelbagai sub sistem struktural berupa aparat
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk di dalamnya
tentu saja lembaga penasehat hukum.2 Dalam hal ini penerapan hukum haruslah
dipandang dari 3 dimensi :
“1. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative system)
yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang didukung oleh sanksi pidana.
2. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative system) yang mencakup interaksi antara pelbagai aparatur penegak hukum yang merupakan sub sistem peradilan diatas.
3. Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat. Sehubungan dengan pelbagai dimensi di atas dapat dikatakan bahwa sebenarnya hasil penerapan hukum pidana harus menggambarkan keseluruhan hasil interaksi antara hukum, praktek administratif dan
pelaku sosial.”3
Pada sebuah proses penyelesaian perkara pidana, haruslah dicari suatu
kebenaran materiil. Pencarian kebenaran materiil ini tentunya harus melalui suatu
proses pembuktian, suatu proses yang paling penting dalam hukum acara pidana.
Hukum acara pidana dalam bidang pembuktian mengenal adanya barang bukti
dan alat bukti, dimana keduanya diperlukan dalam persidangan untuk
membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa.
2
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995. 3
Barang bukti atau corpus delicti adalah benda-benda yang tersangkut
dalam suatu tindak pidana.4 Sedangkan alat bukti yang sah untuk diajukan di
depan persidangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah :
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan Terdakwa.
Selanjutnya, terkait dengan pembuktian tindak pidana perjudian di dalam
dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP :
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Namun penyidikan terhadap tindak pidana perjudian ternyata masih
menemui hambatan ketika dihadapkan dengan proses pembuktian perjudian
melalui internet, karena dalam KUHAP tidak diatur adanya unsur-unsur yang
mengandung teknologi informasi, sementara pada kasus perjudian melalui
internet (internet gambling) semua dilakukan melalui media internet.
Oleh karena itu untuk menanggulangi perjudian yang dilakukan di
internet, telah dikeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
4
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan ancaman Pasal 45 ayat
(1) yang berbunyi :
“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, juga diatur tentang pengesahan alat bukti perjudian melalui
internet yaitu Pasal 5 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
“(1) Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik dan/ atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik dan/ atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia.”
Berdasarkan pengamatan awal mengenai sistem perjudian online pada
situs-situs perjudian bola online yang sedang marak di kalangan mahasiswa, dan
melihat kelemahan KUHAP tentang penetapan alat bukti yang sah dalam kasus
perjudian bola online, maka peneliti terdorong untuk mendalami lebih jauh
tentang tindak pidana perjudian bola online dan sistem pembuktian sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dengan mengambil judul :
“ASPEK PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN BOLA ONLINE
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian diatas, penulis
mencoba mengidentifikasi masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan larangan perjudian bola online di Indonesia?
2. Bagaimana aspek pembuktian tindak pidana perjudian bola online dilihat dari
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik?
3. Bagaimana kelemahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) dalam pembuktian tindak pidana perjudian bola online?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan mengadakan penelitian ini adalah :
1. Mengkaji pengaturan larangan perjudian bola online di Indonesia.
2. Mengkaji pembuktian tindak pidana perjudian bola online berdasarkan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
3. Mengkaji kelemahan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) dalam pembuktian tindak pidana perjudian bola online.
D. Kegunaan Penelitian
Manfaat yang dapat diharapkan dari penelitian hukum ini adalah :
1. Kegunaan Teoritis
a. Sebagai sumbangan pemikiran di bidang hukum pidana terutama yang
berkaitan dengan informasi mengenai peraturan larangan perjudian bola
b. Memberikan kejelasan tentang sisi hukum yang berkaitan dengan aspek
pembuktian tindak pidana perjudian bola online berdasarkan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
2. Kegunaan praktis
Sebagai acuan bagi para praktisi hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan
dalam menangani perkara terkait informasi dan transaksi elektronik.
E. Kerangka Pemikiran 1. Teori Fungsi Hukum
Tindak pidana perjudian yang semakin rumit menuntut aparat
penegak hukum untuk lebih profesional dan memiliki kemampuan lebih di
dalam mengungkap kejahatan, baik dari segi penyidikan maupun pembuktian
di peradilan.Peraturan perundang-undangan akan selalu diperbarui apabila
dinilai ada kelemahan dalam penegakan hukum. Hal ini diharapkan dapat
mempersempit ruang gerak para pelaku tindak pidana perjudian di Indonesia
dan mengembalikan fungsi hukum di mata masyarakat agar perjudian bisa
segera diberantas dan tidak terkesan dibiarkan.
Hukum di Indonesia secara umum merupakan sebuah aturan yang
dibuat oleh pihak yang berwenang dengan tujuan untuk memberikan
petunjuk, menciptakan ketertiban, menyelesaikan masalah, dan juga untuk
Selain itu beberapa pakarjuga mengemukakan pendapatnya tentang
fungsi hukum, menurut Soerjono Soekanto, antara lain :
“1) Sebagai alat untuk melaksanakan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat
2) Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial, baik lahir maupun bathin.
3) Dan sebagai sarana untuk menggerakkan pembangunan bagi masyarakat.”5
Sedangkan fungsi hukum menurut J.F. Glastra Van Loon, antara
lain :
“1) Hukum berfungsi sebagai sarana untuk menertibkan masyarakat dan mengatur pergaulan hidup masyarakat.
2) Hukum berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa atau pertikaian dalam masyarakat.
3) Hukum berfungsi sebagai sarana untuk memelihara dan menjaga (mempertahankan) penegakan aturan tertib dengan cara yang memaksa.
4) Hukum berfungsi untuk memelihara dan mempertahankan hak masyarakat.
5) Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mengubah peraturan agar sesuai dengan kebutuhan.
6) Hukum berfungsi sebagai sarana untuk memenuhi tuntutan keadilan dan kepastian hukum.”6
Sunaryati Hartono juga membuat rumusan mengenai fungsi hukum dalam konteks pelaksanaan pembangunan nasional. Menurut Sunaryati
Hartono, hukum memiliki fungsi antara lain :
“1) Sebagai sarana untuk memelihara ketertiban dan keamanan dalam masyarakat
2) Sebagai sarana untuk melaksanakan pembangunan 3) Sebagai sarana untuk menegakkan keadilan, dan
4) Sebagai sarana untuk memberikan pendidikan (mendidik) masyarakat.”7
5
Status Hukum, “Fungsi Hukum”,2012, http://statushukum.com/fungsi-hukum.html, diunduh pada tanggal 2 November 2013.
Berdasarkan pendapat dari ketiga ahli di atas, fungsi hukum adalah
sebagai sarana untuk menertibkan, memberi keamanan, menegakkan
keadilan, menyelesaikan pertikaian, penggerak pembangunan, mendidik dan
mempertahankan hak masyarakat. Meskipun hukum mempunyai cara yang
memaksa bagi seluruh masyarakat, tetap saja masih banyak terjadi
pelanggaran dan tidak sedikit justru dilakukan oleh pejabat hukum itu sendiri.
Apabila fungsi hukum berjalan dengan baik maka hak asasi manusia
akan lebih diperhatikan, kepentingan umum tidak akan terganggu, persoalan
hukum yang rumit pun akan terpecahkan meskipun dengan cara merevisi
Undang-Undang yang sudah ada, dan yang paling utama adalah penegakan
hukum akan lebih mudah terwujud.
2. Teori Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Hukum yang baik adalah hukum yang bersifat dinamis, dimana
hukum dapat berkembang sesuai dengan perkembangan yang terjadi di
masyarakat. Salah satu perkembangan yang terjadi adalah perkembangan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam dunia maya. Dunia maya juga telah
mengubah kebiasaan banyak orang yang menggunakan internet untuk
melakukan berbagai kegiatan dan juga membuka peluang terjadinya
kejahatan.Untuk itu tentu dibutuhkan suatu aturan yang dapat memberikan
kepastian hukum di Indonesia dalam ruang dunia maya tersebut. Maka
7
diterbitkanlah Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik yang lazim dikenal dengan istilah “UU ITE”.
Kehadiran Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, akan memberikan manfaat, beberapa diantaranya :
“1. Menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi secara elektronik;
2. Mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia;
3. Sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi informasi;
4. Melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi informasi.”8
Di dalam Undang-Undang ITE ini, sudah diatur tentang Perbuatan
Dilarang yaitu termasuk perjudian secara online yang dijelaskan pada Pasal
27 ayat (2) yaitu :
“ Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan perjudian.”
Perbuatan ini diancam dengan pasal 45 ayat (1) dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dengan keluarnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik ini, perjudian seharusnya lebih mudah untuk ditindaklanjuti.
Karena kelemahan KUHAP dalam pembuktian tindak kejahatan perjudian
8
melalui internet sudah diperkuat oleh Undang-Undang ini.Alat bukti yang
telah diatur oleh KUHAP secara limitatif, tertera dalam Pasal 184 KUHAP
adalah :
a. Keterangan Saksi
b. Keterangan Ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan Terdakwa
Bila ada alat bukti selain yang telah ditentukan oleh Undang-Undang
diluar KUHAP tersebut, maka akan digolongkan sebagai tambahan jenis alat
bukti hukum yang sah dari jenis alat-alat bukti yang sah sebagaimana telah
ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Oleh karena itu perlu adanya
perluasan alat bukti di Indonesia khususnya dalam pembuktian kasus
perjudian online.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang memperluas pengertian
alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP sebelumnya, UU ITE
telah mengakomodir mengenai alat bukti elektronik yang dapat dipakai
dalam hukum acara di Indonesia. Ada 2 hal penting di dalam
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik mengenai pembuktian tindak
pidana perjudian online diantaranya adalah :
“(1) Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang.
(4) Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
b. Alat bukti elektronik yang dapat dipakai dalam hukum acara di Indonesia
terdapat pada Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
“ (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yangberlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.”
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE telah
memperluas atau menambahkan jenis alat bukti hukum yang baru dengan
menyatakan bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil
cetaknya diakui sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan.
Barang-barang bukti seperti perangkat elektronik maupun catatan elektronik baik
berupa bukti transaksi uang melalui rekening bank ke pemilik situs perjudian,
Messenger), e-mail, komputer, handphone, modem dan akses-akses
elektronik lainnya yang bermuatan perjudian sudah dianggap sebagai barang
bukti kejahatan.
Dengan adanya perluasan alat bukti yang sah sesuai dengan
ketentuan-ketentuan di atas, diharapkan penegakan hukum atas perjudian
melalui internet bisa dilakukan lebih maksimal. Kemudian bukti-bukti
elektronik tersebut juga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
pengembangan penyidikan secara luas dalam memantau perkembangan
aktivitas perjudian online di Indonesia.
3. Teori Pembuktian Tindak Pidana Perjudian Online
Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan dasar bagi hakim
untuk menarik kesimpulan ataupun menjatuhkan pidana dalam sidang
pengadilan dan menyatakan bahwa seorang terdakwa terbukti secara sah atau
tidak terbukti dalam melakukan suatu tindak pidana yang didakwakan
terhadapnya. Sesuai dengan Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yang mengatur penjatuhan pidana oleh hakim melalui proses
pembuktian disebutkan bahwa :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori pembuktian
yang menjadi pegangan hakim di dalam melakukan pemeriksaan terhadap
terdakwa disidang pengadilan. Rusli Muhammad menyebutkan, “Ada
beberapa macam teori pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim dalam
melakukan pemeriksaan di sidang pengadilan. Teori ini memiliki
karakteristik yang berbeda-beda dan menjadi ciri dari masing-masing teori
tersebut.”9 Teori pembuktian tersebut antara lain :
a. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (Conviction In
Time)
Teori ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk
menjatuhkan suatu putusan. Tidak ada alat bukti yang dikenal selain alat
bukti berupa keyakinan seorang hakim. Artinya, jika dalam pertimbangan
putusan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan
keyakinan yang timbul dari hati nurani, terdakwa yang diajukan
kepadanya dapat dijatuhkan putusan.10
Menurut teori ini, sangat memungkinkan bagi seorang hakim
untuk mengabaikan hal-hal tertentu jika sekiranya tidak sesuai atau
bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut. Apabila bukti-bukti
lainnya sebagai pendukung pembelaan terdakwa itu tidak diakui dan
9
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm.186. 10
diterima oleh hakim, maka hal ini dapat membuat suatu putusan hakim
dianggap tidak adil.
b. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis
(Conviction Rasionnee)
Teori ini tetap menggunakan keyakinan hakim, tetapi keyakinan
hakim didasarkan pada alasan-alasan (reasoning) yang rasional. Dalam teori
ini hakim tidak lagi memiliki kebebasan untuk menentukan keyakinannya.
Keyakinannya harus diikuti dengan alasan-alasan yang mendasari keyakinan
itu.Alasan tersebut harus reasonable yakni berdasarkan alasan yang dapat
diterima oleh akal pikiran.11
Dalam teori ini tidak disebutkan adanya alat-alat bukti yang dapat
digunakan dalam menentukan kesalahan terdakwa selain dari keyakinan
hakim saja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teori ini mirip
dengan teori pembuktian conviction intime yakni sama-sama
menggunakan keyakinan hakim, perbedaannya hanya terletak pada ada
tidaknya alasan yang rasional yang mendasari keyakinan hakim.Oleh
karena itu teori pembuktian dengan alasan yang logis lebih maju
dibandingkan teori berdasarkan keyakinan hakim.
c. Teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (Positief wettelijk bewijstheorie)
Pembuktian menurut teori ini dilakukan dengan menggunakan
alat-alat bukti yang sebelumnya telah ditentukan dalam undang-undang.
Untuk menentukan ada tidaknya kesalahan seseorang, hakim harus
mendasarkan pada alat-alat bukti tersebut di dalam Undang-Undang. Jika
alat-alat bukti tersebut telah terpenuhi, hakim sudah cukup beralasan
untuk menjatuhkan putusannya tanpa harus timbul keyakinan terlebih
dahulu atas kebenaran alat-alat bukti yang ada.12
Teori ini sudah menuntut bukti-bukti yang harus dipenuhi
sebelum hakim dapat menjatuhkan putusan. Jadi sangat bertentangan
dengan teori berdasarkan keyakinan hakim. Teori ini akan lebih
mempercepat penyelesaian suatu perkara dan memudahkan hakim dalam
membuat keputusan karena bukti-bukti yang kuat akan mengurangi
kesalahan dalam menjatuhkan putusan pengadilan.
d. Teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (Negatief wettelijk bewijstheorie)
Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif adalah
pembuktian yang selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan
di dalam undang-undang, juga menggunakan keyakinan hakim. Sekalipun
menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan hakim terbatas pada
alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.13
12
Ibid., hlm. 187 13
Teori pembuktian ini menggunakan kombinasi dalam
menjatuhkan putusan. Jadi apabila alat-alat bukti telah sah dan hakim
tersebut mempunyai keyakinan terhadapnya, maka terdakwa dapat
diputuskan bersalah dan dijatuhi sangsi pidana. Membahas tentang sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif, kita perlu membahas
Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi :
“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Sistem pembuktian yang dianut KUHAP adalah sistem pembuktian
menurut undang-undang secara negatif karena kedua syarat yang harus
dipenuhi dalam sistem pembuktian ini telah tercermin dalam Pasal 183 dan
dilengkapi dengan Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan alat-alat bukti yang
sah. Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP ini telah disebutkan bahwa :
“Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan
kepastian hukum bagi seseorang.”
Sedangkan untuk pembuktian dalam Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) melibatkan penyidikan khususnya pada Pasal
“Melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan
dengan kejahatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk
melakukan tindak pidana berdasarkan Undang- Undang ini.”
Karena terdapat banyak perbedaan antara cyber crime dengan
kejahatan konvensional, maka Penyidik Polri dalam proses penyidikan di
Laboratorium Forensik Komputer juga perlu melibatkan ahli digital forensik
baik dari Polri sendiri maupun pakar digital forensik di luar Polri. Mekanisme
kerja dari seorang Digital Forensik antara lain :
“1. Proses Acquiring dan Imaging
Setelah penyidik menerima barang bukti digital, maka harus dilakukan proses Acquiring dan Imaging yaitu mengkopi (mengkloning/ menduplikat) secara tepat dan presisi 1:1. Dari hasil kopi tersebutlah maka seorang ahli digital forensik dapat melakukan analisis karena analisis tidak boleh dilakukan dari barang bukti digital yang asli karena dikhawatirkan akan mengubah barang bukti.
2. Melakukan Analisis
Setelah melakukan proses Acquiring dan Imaging, maka dapat dilanjutkan untuk menganalisis isi data terutama yang sudah dihapus, disembunyikan, di-enkripsi, dan jejak log file yang ditinggalkan.Hasil dari analisis barang bukti digital tersebut yang akan dilimpahkan penyidik kepada Kejaksaan untuk selanjutnya dibawa ke pengadilan.”14
Dalam Pasal 6 Undang-Undang ITE menyebutkan :
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah
sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses,
ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan
sehingga menerangkan suatu keadaan.”
14
Radian Adi, Cara Pembuktian Cyber Crime Menurut Hukum Indonesia”,
Jadi sudah diatur secara jelas dalam Undang-Undang ITE ini bahwa
segala bentuk informasi elektronik baik itu berupa dokumen, transaksi
elektronik yang bermuatan perjudian, akses perjudian pada situs internet,
transfer rekening terkait perjudian, sepanjang bukti-bukti itu dapat diakses
atau ditampilkan dan mempunyai penjelasan yang kuat, maka bukti itu sudah
dianggap sah dalam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.
F. Metode Penelitian 1. Bentuk Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif yuridis
yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan.
Spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian yang hanya
menggambarkan objek yang menjadi pokok permasalahan. Kemudian
analisis data secara kualitatif dilakukan untuk membuat penilaian dan
memberikan kesimpulan.
2. Tahap Penelitian
Tahap penelitian ini terdiri atas pengumpulan data yang berkaitan
dengan aspek-aspek dalam pembuktian perjudian online. Kemudian
melakukan analisis, lalu menarik kesimpulan untuk menilai bagaimana aspek
pembuktian terhadap tindak pidana perjudian bola online berdasarkan
Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berlaku di
3. Bahan Penelitian
Untuk memudahkan penelitian ini maka bahan penelitian yang akan
digunakan adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang tidak
diperoleh langsung dari lapangan melainkan diperoleh melalui bahan-bahan
kepustakaan.
Data sekunder di bidang hukum meliputi :
a. Bahan-bahan hukum primer
Yaitu data yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat antara lain;
KUHP, KUHAP, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang
Penertiban Perjudian, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1981 tentang
Pelaksanaan Penertiban Perjudian, Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
b. Bahan-bahan hukum sekunder
Merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum
primer dan dapat membantu dalam analisis seperti buku, hasil penelitian,
jurnal hukum, berkas putusan perkara pidana perjudian bola online di
Pengadilan Tinggi Bandung.
c. Bahan-bahan hukum tersier
Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum
primer dan skunder seperti artikel internet, surat kabar, kamus dan dari
perjudian bola online berdasarkan Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi hukum ini terdiri dari lima bab yang
tiap-tiap bab nantinya terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk
memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika
penulisan skripsi hukum adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab pertama berisi Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah,
Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran,
Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA
Bab dua penelitian ini akan membahas mengenai barang bukti, alat
bukti dan teori-teori pembuktian perjudian bola online berdasarkan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
BAB III TINJAUAN ATAS TINDAK PIDANA PERJUDIAN BOLA ONLINE DAN PEMBUKTIAN BERDASARKAN UU ITE
Bab tiga penelitian akan membahas tentang perkembangan tindak
pada situs www.sbobet.com, dan aspek-aspek pembuktian atas tindak
pidana perjudian online berdasarkan UU ITE.
BAB IV PENGATURAN DAN SISTEM PEMBUKTIAN PERJUDIAN ONLINE DI INDONESIA
Bab empat ini akan menyajikan tentang aspek pembuktian terhadap
tindak pidana perjudian bola online pada situs www.sbobet.com oleh
salah seorang tersangka yaitu Denny Nugraha yang ditangkap pada 10
Februari 2013 di Jl. Cikawao Bandung.15
BAB V PENUTUP
Bab lima berisi tentang jawaban atas permasalahan yang diteliti yaitu
kesimpulan tentang pengaturan larangan perjudian, aspek pembuktian
tindak pidana perjudian bola online berdasarkan Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan kelemahan UU ITE
dalam proses pembuktian perjudian online. Kemudian ditutup dengan
saran peneliti terkait dengan permasalahan tersebut.
15Tri Wahono,” Dua Pelaku Judi Bola Online Dibekuk di Bandung”, 2013, (http://regional.kompas
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kehadiran Undang-Undang ITE dimaksudkan untuk dapat memberikan
kepastian hukum mengenai pengaturan larangan perjudian bola online yang
semakin berkembang pesat di Indonesia. Dalam rumusan Undang-Undang
ITE Pasal 27 ayat (2), ada tiga larangan yang tergolong tindakan perjudian
online yaitu adanya kesengajaan, kemudian tanpa hak, dan adanya tindakan
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang memiliki “muatan
perjudian”. Tindak pidana perjudian online diancam dengan Pasal 45 ayat (1)
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2. Dalam hukum pidana Indonesia, aparat kepolisian dapat melakukan langkah
awal dalam aspek pembuktian perjudian online yaitu dimulai pada saat
penyidikan, penggeledahan dan penyitaan, pengumpulan barang bukti,
pemeriksaan barang bukti elektronik di laboratorium digital forensik, sampai
pelimpahan perkara kepada Jaksa Penuntut Umum untuk menetapkan
Untuk pembuktian perjudian online di persidangan, hakim menggunakan
sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif sesuai Pasal 183
KUHAP dan dilengkapi dengan Pasal 184 KUHAP yaitu menjatuhkan pidana
apabila alat bukti secara limitatif telah ditentukan undang-undang dan hakim
memiliki keyakinan atas eksistensi alat bukti tersebut. Ketentuan
pemeriksaan di sidang pengadilan dalam KUHAP yaitu pada Bab XVI bagian
ketiga tentang acara pemeriksaan biasa dan bagian keempat tentang
pembuktian dan putusan dalam acara pemeriksaan biasa. Pemeriksaan
tersebut meliputi pemeriksaan saksi, ahli, surat, dan terdakwa.
3. Dalam pembuktian judi bola online, Undang-Undang ITE dinilai masih
memiliki beberapa kekurangan, antara lain :
a. Ketentuan Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang ITE yang menyebutkan
“muatan perjudian” masih belum spesifik dan harus diperjelas agar
pembuktian tidak mengarah pada tindak pidana selain perjudian online
yang dimaksud, misalnya pencucian uang.
b. Undang-Undang ITE memiliki keterbatasan dalam hal penangkapan dan
penahanan. Aturan Pasal 43 ayat (3) UU ITE dinilai lebih mementingkan
hak tersangka dan sebaliknya menyulitkan penegak hukum dalam
langkah awal pembuktian karena harus melalui kerjasama oleh penyidik
dan penuntut umum dalam meminta surat izin dari pengadilan negeri. Hal
c. Belum ada ketentuan jelas dalam Undang-Undang ITE untuk
kewenangan pemeriksaan database server perjudian di negara yang
melegalkan perjudian. Oleh karena itu pemeriksaan bukti elektronik dari
sistem elektronik (website) yang dikelola di negara lain yang melegalkan
perjudian masih sulit dilakukan sampai saat ini.
B. Saran
Undang-Undang ITE yang dibentuk dimaksudkan untuk memenuhi aspek
pembuktian perjudian online oleh karena itu beberapa saran yang dapat diberikan
antara lain :
1. Undang-Undang ITE harus diterapkan dalam setiap persidangan kasus
kejahatan perjudian online. Oleh karena itu, perlu didukung oleh sarana
prasarana dan peningkatan kemampuan aparat penegak hukum itu sendiri
terutama hakim, penyidik dan ahli laboratorium forensik.
2. Perjudian bola online dapat tumbuh subur di Indonesia karena kurangnya
pakar forensik digital dalam pengumpulan bukti-bukti elektronik. Selain itu
perjudian seringkali mendapat perlindungan dari oknum-oknum yang
menyalahgunakan wewenang, oleh sebab itu perlu adanya undang-undang
khusus yang melindungi aktivitas laboratorium forensik oleh para penyidik
ahli sehingga lebih banyak bukti digital yang bisa didapat tanpa adanya
3. Untuk memudahkan penyidikan dan penuntasan kasus perjudian online, pihak
kepolisian sebaiknya menjalin kerja sama dengan pihak penyedia layanan
internet. Dengan begitu situs-situs perjudian dapat diblokir oleh semua
internet provider di Indonesia. Selain itu, keberadaan para pelaku perjudian
online juga dapat dilacak dan dideteksi dengan mudah melalui satelit ataupun
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku :
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2006.
A. Minkenhof, De Nederlandse Strafvordering. H.D. Tjeenk Wilink & Zoon, Haarlem, 1967.
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia, Jakarta, 1989.
Andi Hamzah, Aspek-Aspek Pidana Dibidang Komputer, Sinar Grafika, Jakarta, 1990.
Andi Hamzah , Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua ,Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Budi Agus Riswandi, Hukum Dan Internet Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta 2003.
Dali Mutiara, Tafsiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1962.
Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, cet. ke-3, Djambatan, Jakarta, 2002.
Edmom Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
Karim Nasution, Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1986.
Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jilid I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
M. Arsyad Sanusi, Teknologi Informasi Dan Hukum E-commerce, Cetakan II, Dian Ariesta, Jakarta. 2004.
Martiman Prodjoharmijo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti (seri pemerataan keadilan 10), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.
Martiman Prodjohamidjojo, Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Pradnya Paramita, Jakarta, 1988.
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Gadjah Mada University Perss, Yogyakarta, 1982.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995.
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1995.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan Keempat, Balai Pustaka, Jakarta, 2005.
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1984.
Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti dalam Proses Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1989.
R. Subekti, Hukum Pembuktian, cet. XVII, Pradya Paramita, Jakarta, 2008.
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik, cet. I, Rineka Putra,
Jakarta, 2009.
Sutan Remi Syahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009.
Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985.
Syaiful Bakhri, Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana,Total Media, Yogyakarta, 2009.
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1967.
B. Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Dasar 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1954 tentang Undian.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
C. Situs :
Adi Suhendi, 2013, wawancara dengan Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri di tribunnews.com.
Andhika Prayoga, Hukum Pidana, http://romantikadialektika.blogspot.com/p/hukum-pidana.html, diunduh pada tanggal 30 April 2014.
Andri Kristiawan, “kebijakan hukum cybercrime”, 2013, http://etikadalamduniait.
blogspot.com/2013/04/pertemuan-5-kebijakan-hukum-cybercrime.html, diunduh pada tanggal 5 November 2013.
Ghea Anggraini, 2013, http://eptik-gambling.blogspot.com/, diakses pada tanggal 5 Maret 2014.
Http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8ec99e4d2ae.
Hukum Indonesia, "Alat Bukti Petunjuk dalam Sidang Pengadilan", http:// hukumindonesia.blog.com/2011/04/16/alat-bukti-petunjuk-dalam- sidang-pengadilan/, diakses pada tanggal 12 Januari 2014.
Pengadilan Negeri Bandung, http://pn-bandung.go.id/
Pengadilan Tinggi Bandung, http://pt-bandung.go.id/
Radian Adi, “Cara Pembuktian Cyber Crime Menurut Hukum Indonesia”,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3077/cara-pembuktian-cyber-crime-menurut-hukum-indonesia, diunduh pada tanggal 5 November 2013.
Reza Wahyudi, 2012, http://tekno.kompas.com/read/2012/10/25/14371946/
Indonesia.Butuh. Investigator.Forensik.Digital, diakses pada tanggal 19 Juli 2014.
Rudi Sofyan, 2012,
http://rudi-sofyan.blogspot.com/2012/10/kejahatan-dan-pelanggaran.html, diakses pada tanggal 16 Februari 2014.
Sistem Pembuktian Pidana, http://hukumpidana.blogspot.com/, diakses pada tanggal 11Januari 2014.
Status Hukum, “Fungsi Hukum”,2012, http://statushukum.com/fungsi-hukum.html,
diunduh pada tanggal 2 November 2013.
Tiar Ramon, 2013, http://tiarramon.wordpress.com/2013/05/13/hukum-pidana-2/, diunduh pada tanggal 16 Februari 2014.
Tri Wahono,”Dua Pelaku Judi Bola Online Dibekuk di Bandung”, 2013, http://regional.kompas.com/read/2013/02/12/22192120/Dua.Pelaku.Judi.Bola .Online.Dibekuk.di. Bandung), diunduh pada tanggal 6 November 2013.
www.fastbet99.com
www.ibcbet.com
www.sbobet.com
D. Dokumen :