• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNDERCARBOXYLATED OSTEOCALCIN TIDAK BERKORELASI DENGAN RESISTENSI INSULIN PADA OBESITAS ABDOMINAL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UNDERCARBOXYLATED OSTEOCALCIN TIDAK BERKORELASI DENGAN RESISTENSI INSULIN PADA OBESITAS ABDOMINAL."

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

UNDERCARBOXYLATED OSTEOCALCIN

TIDAK BERKORELASI DENGAN RESISTENSI

INSULIN PADA OBESITAS ABDOMINAL

ANAK AGUNG ISTRI SRI KUMALA DEWI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

(2)

ii

TESIS

UNDERCARBOXYLATED OSTEOCALCIN

TIDAK BERKORELASI DENGAN RESISTENSI

INSULIN PADA OBESITAS ABDOMINAL

ANAK AGUNG ISTRI SRI KUMALA DEWI NIM 1114048102

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(3)

iii

UNDERCARBOXYLATED OSTEOCALCIN

TIDAK BERKORELASI DENGAN RESISTENSI

INSULIN PADA OBESITAS ABDOMINAL

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Combined Degree,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

ANAK AGUNG ISTRI SRI KUMALA DEWI NIM 1114048102

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

iv

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 18 April 2016

Pembimbing I,

Prof.Dr.dr AAG. Budhiarta, Sp.PD- KEMD, FINASIM

NIP. 19441221 197206 1001

Pembimbing II,

Dr.dr. Made Ratna Saraswati, Sp.PD-KEMD, FINASIM NIP. 197006272003122001

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas

Udayana

Dr. dr. G. N. Indraguna Pinatih,MSc,SpGK NIP. 195805211985031002

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana

(5)

v

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal………..

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No :……….,Tanggal……

…………

Ketua : Prof. Dr. dr. AAG. Budiartha, Sp.PD-KEMD, FINASIM

Anggota :

1. Dr. dr. Made Ratna Saraswati, Sp.PD-KEMD,FINASIM

2. Prof. Dr. dr Alex Pangkahila, Sp.And

3. Dr. dr. G. N. Indraguna Pinatih,MSc,SpGK

(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan

Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha esa, karena hanya atas asung

wara nugraha-Nya/ kurnianya, tesis ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih

yang sebesar- besarnya kepada Prof. Dr. dr. AAG. Budhiarta SpPD-KEMD,

FINASIM pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan

dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program

magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya

pula penulis sampaikan kepada Dr. dr. Made Ratna Saraswati SpPD-KEMD,

FINASIM pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah

memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof.

Dr. dr. Ketut Suastika SpPD-KEMD, FINASIM atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program

Magister di Universitas Udayana. Ucapan terimakasih ini juga ditujukan kepada

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat Prof. Dr. dr. A.A.

Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk

menjadi mahasiswa Program S2 pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT,

M.Kes, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas ijin yang diberikan

kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program magister. Pada kesempatan

(7)

vii

Ilmu Penyakit Dalam, Prof. Dr. dr. IDN. Wibawa SpPD KGEH dan Dr. dr. I Ketut

Suega SpPD KHOM selaku Kepala Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam RSUP

Sanglah Denpasar. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para

penguji, yaitu, Prof. Dr. dr. Alex Pangkahila, Sp.And, Dr. dr. Desak Mde

Wihandani, M. Kes, Dr. dr G.N. Indraguna Pinatih, MSc. yang telah memberikan

masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti

ini.

Pada kesempatan ini ijinkan juga penulis mengucapkan terima kasih dan

penghormatan yang tulus kepada Prof. Dr. dr Tjok Raka Putra, SpPD-KR, sebagai

mantan Kepala Bagian /SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah dan

Prof. Dr. dr Ketut Suwitra, SpPD-KGH sebagai mantan Ketua Program Studi Ilmu

Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah yang pada masanya telah memberi

kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan spesialisasi. Penulis juga

memberikan ucapan yang sama kepada Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati,

SpPD-KPTI sebagai pembimbing akademik penulis atas arahan dan bimbingan selama

mengikuti pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Dalam.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus

disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis,

mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan terima

kasih kepada kedua orang tua, Papa Anak Agung Gde Oka S.H, M.H. (alm) dan

Mama Ketut Ayu Budiasih Sudira, S.H, yang senantiasa memberikan dorongan

moril dan matriil. Kepada mertua saya Prof. Dr. dr A.A. Gede Agung Budhiarta,

Sp.PD-KEMD, FINASIM dan Cokorda Istri Laksmi yang tak pernah lepas

(8)

viii

pendidikan. Suami saya tercinta dr. Anak Agung Gede Agung Budhi Kusuma yang

selalu ada dalam suka dan duka, sehat maupun sakit, berat dan ringan menjalani

bahtera rumah tangga dan pendidikan spesialis ini. Kedua buah hati saya tersayang

Anak Agung Istri Agung tyarina Nadeswari dan Anak agung Gede Agung Raditya

Kusuma yang telah limpahan kebahagiaan dan pengertian selama menjalani masa

pendidikan, Adik saya Anak Agung Gede Putra Giarta, SE dan Anak Agung Istri

Kartika Sari, SS yang selalu mendukung dan memotivasi penulis agar dapat

menyelesaikan pendidikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih pada rekan

residen seperjuangan terimakasih atas motivasi dan persahabatan yang kalian

berikan selama ini. Juga kepada paramedis, staf tata usaha Bagian /SMF Ilmu

Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah atas segala bantuan serta kerjasama yang

baik selama menjalani pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Dalam.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa selalu

melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan

dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga.

(9)

ix

UNDERCARBOXYLATED OSTEOCALCIN

TIDAK BERKORELASI DENGAN RESISTENSI INSULIN PADA OBESITAS ABDOMINAL

ABSTRAK

Angka obesitas semakin meningkat dan saat ini telah mencapai tingkatan epidemi diseluruh dunia. Sindroma metabolik merupakan kumpulan dari obesitas abdominal, gangguan toleransi glukosa, hipertensi dan dislipidemia. Obesitas abdominal dan resistensi insulin merupakan patofisiologi utama terjadinya sindroma metabolik dan komponen lainnya. Dahulu obesitas abdominal dikatakan berhubungan dengan tingginya masa tulang dan perlindungan terhadap kerusakan tulang yang berkaitan dengan penuaan, namun sebaliknya saat ini resistensi insulin dibuktikan memiliki hubungan yang sangat kuat dengan adanya imflamasi lowgrade yang berkaitan dengan resorbsi tulang.

Beberapa penelitian yang pada studi binatang melaporkan bahwa osteocalcin merupakan suatu hormon yang dihasilkan oleh osteoblast pada tulang yang memiliki peran dalam mengatur homeostasis glukosa. Pada manusia peran osteocalcin sendiri memang masih diperdebatkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi tersebut pada manusia dan membuktikan ucOC yang merupakan bentuk aktif osteocalcin memiliki peran dalam mengatur sekresi dan sensitivitas insulin, yang nantinya akan terdapat hubungan terbalik antara ucOC dan resistensi insulin (HOMA-IR).

Penelitian ini merupakan studi observasional analitik potong lintang. Perekrutan sampel dilakukan secara acak konsekutif yang menjalani General Check Up di Laboratorium Klinik Prodia Denpasar. Subyek merupakan pasien obesitas abdominal yang dipilih dengan consecutive sampling. Subjek diambil darah setelah puasa 8 jam untuk mengetahui kadar ucOC dan HOMA-IR.

Sebanyak 70 subyek (26 orang laki-laki dan 44 orang perempuan) yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Dari 70 orang sampel, 3 orang dikeluarkan karena memiliki nilai outlier. Enam puluh tujuh subyek penelitian yang dianalisa memiliki rerata kadar HOMA-IR serum adalah 2,27±1,59. Kadar rerata ucOC adalah 4,18±2,25 ng/ml. Dilakukan uji korelasi Pearson antara ucOC dengan HOMA-IR didapatkan nilai koefisien korelasi adalah r = 0,22 p = 0,074, yang berarti tidak terdapat korelasi secara statistik.

Tidak terdapat korelasi antara ucOC dengan iesistensi Insulin (HOMA IR) pada Obesitas Abdominal.

(10)

x

UNDERCARBOXYLATED OSTEOCALCIN DOES NOT CORRELATE WITH INSULIN RESISTANCE IN ABDOMINAL OBESITY

ABSTRACT

Obesity has reached epidemic proportions globally, and all this evidence suggests that the situations are likely to get worse. Metabolic syndrome is characterized by abdominal obesity, impaired glucose tolerance, hypertension and dyslipidemia. Abdominal obesity and insulin resistance appear to be at the core of the pathophysiology of metabolic syndrome and its components. Abdominal obesity are associated with high bone mass and protect against excessive aging related bone loss. Conversely, insulin resistance is strongly associated with lowgrade inflammation that results increase bone resorption.

In animal studies showed there were relationship specific hormone osteocalcin produce by osteoblast with insulin resistance, but the result is still debated in human studies. This study was conducted to determine the relationship of active form osteocalcin which is ucOC has a role in regulating the secretion and sensitivity of insulin, which will be found an inverse relationship between ucOC with insulin resistance (HOMA-IR).

This research using crossectional analytic study samples were taken by consecutive sampling from who underwent general medical check up at Prodia Clinical Laboratory Denpasar. Samples are patients with abdominal obesity and appropriate with inclusion and exclusion criteria. A total of 70 patients conducted and 3 of them out from this research because had outlier value. Mean levels of HOMA-IR serum was 2.27 ± 1.59 pm / ml. Mean levels of ucOC is 4.18 ± 2.25 ng /ml. Pearson correlation test between ucOC with HOMA IR obtained a correlation coefficient was r = 0.22 p = 0.074, which means there is no statistically significant correlation.

There is no correlation between ucOC with insulin resistance (HOMA IR) on Abdominal Obesity.

Keywords: ucOC, HOMA IR, Abdominal Obesity

(11)

xi

2.1.3 Pengaruh Obesitas Terhadap Kesehatan ... 10

2.1.4 Pengukuran dan Klasifikasi Obesitas ... 17

2.1.5 Pengukuran Distribusi Lemak ... 19

2.2 Fungsi jaringan Adiposa ... 22

2.3 Hubungan Lemak Visceral dengan Sindroma Metabolik ... 23

2.4 Mekanisme Resistensi Insulin pada Obesitas Abdominal ... 25

2.5 Pengukuran Resistensi Insulin ... 30

2.6 Peranan Klasik Tulang dan Organ Endokrin ... 31

2.6.1 Tulang dan Insulin ... 33

(12)

xii

2.6.3 Bioaktivitas Osteocalsin ... 41

2.6.4 Sintesis dari Osteocalsin dan undercarboxylated Osteocalsin ... 42

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 44

3.1 Kerangka Berpikir ... 44

3.2 Konsep Penelitian ... 45

3.3. Hipotesis Penelitian ... 45

BAB IV METODE PENELITIAN ... 46

4.1 Rancangan Penelitian ... 46

4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 46

4.2.1 Populasi untuk rancangan analytical cross-sectional study ... 46

4.2.2 Sampel ... 47

4.2.2.1 Kriteria Inklusi ... 48

4.2.2.2 Kriteria Ekslusi ... 48

4.2.3 Besar Sampel untuk penelitian analytical cross-sectional study ... 48

4.2.4 Teknik Pengambilan Sampel ... 48

4.3 Variabel Penelitian ... 49

4.3.1 Definisi Variabel Operasional ... 49

4.4 Bahan Penelitian ... 53

4.5 Prosedur Pemeriksaan ... 54

4.5.1 Pengukuran Lingkar Pinggang ... 54

4.5.2 Pemeriksaan Kadar Insulin ... 54

4.5.3 Pemeriksaan Glukosa Darah ... 55

4.5.4 Pemeriksaam kolesterol-HDL ... 55

4.5.5 Pemeriksaan trigliserida...55

4.5.6 Pemeriksaan kadar undercarboxylated Osteocalcin (ucOC ... 55

4.5.7 Pengukuran tekanan darah ... 56

4.5.8 Pengukuran serum kreatinin... 56

4.5.9 Pemeriksaan SGOT dan SGPT ... 57

4.5.10 Pemeriksaan tinggi badan ... 57

(13)

xiii

4.6. Lokasi dan Waktu Penelitian ... .57

4.7 Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data ... .57

4.8 Alur Penelitian ... .59

4.9 Analisis Data Statistik... 60

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 61

5.1 Hasil Penelitian ... 60

5.2 Hubungan antara ucOC dengan Resistensi Insulin (HOMA IR) pada Obesitas Abdominal ... 63

5.3 Keterbatasan Penelitian ... 71

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN...73

6.1 Simpulan...73

6.2 Saran...73

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Peranan osteoblast pada tulang menghasilkan undercarboxylated osteocalcin (ucOC) dan fibroblat growth factor 23 (FGF23)

sebagai hormon pada tulang ... 32

Gambar 2.2 Hubungan remodeling tulang, homeostasis glukosa, lipid dan metabolisme energi ... 33

Gambar 2.3 Mekanisme kerja dari insulin dan OC ... 36

Gambar 2.4 Pengaruh OC pada metabolisme energi ... 42

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian... 46

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian ... 47

Gambar 4.2 Alur Penelitian ... 59

Gambar 5.1 Grafik Scatter Plot Korelasi antara kadar ucOC dengan Resistensi Insulin (HOMA-IR) pada Obesitas Abdominal ... 66

Gambar 5.2 Grafik yang menunjukkan perbedaan kadar ucOC pada kelompok perlakuan dan kontrol terhadap pemberiaan suplementasi vitamin K ... 69

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi kelebihan berat badan pada orang Asia

dewasa berdasarkan IMT ... 19

Tabel 2. Definisi Sindroma Metabolik menurut WHO, EGIR dan NCEP .. 22

Tabel 4.1 Index Wayne, diagnosis Hipertiroidisme berdasarkan

gejala dan tanda ... .52

Tabel 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian………... 61 Tabel 5.2 Hasil Analisis Korelasi antara ucOC dengan Resistensi Insulin

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Informed Consent ... 84

Lampiran 2. Formulir Persetujuan Tertulis……… 87

Lampiran 3. Kuisioner Penelitian……… .. 88

Lampiran 4. Surat Kelaikan Etik………. 93

Lampiran 5. Lampiran Hasil Analisis Statistik……… .. 94

Lampiran 6. Rencana dan Jadwal Penelitian ... 95

\Lampiran 7. Anggaran Penelitian ... 96

(17)

xvii

HbA1c = Glycosylated hemoglobin

HDL = High Density Lipoprotein

HOMA = Homeostasis model assesment

HOMA-IR = Homeostasis model assesment-insulin resistance

hsCRP = High sensitivity C-reactive protein

IL-1 = Interleukin-1

OST-PTP = Osteocalcin protein tyrosine phosphatase

PAI-1 = Plasminogen activator inhibitor-1

(18)

xviii RI = Resistensi Insulin

RPP = rasio pinggang pinggul

SM = Sindrom Metabolik

TG = Trigliserida

TGF-1 = Transforming growth factor-1

TNF- = Tumor necrosis factor-

ucOC = undercarboxylated Osteocalsin

ucOC% = Presentase undercarboxylated Osteocalsin

VLDL = very low density lipoprotein

WHO = World Health Organization

(19)

B A B I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka kejadian obesitas meningkat dan telah mencapai tingkatan epidemi

di seluruh dunia. Sejalan dengan itu angka kejadian sindroma metabolik (SM) juga

meningkat. Di Amerika Serikat angka kejadian SM telah mencapai 39%. SM

ditandai dengan obesitas abdominal, gangguan toleransi glukosa, hipertensi dan

dislipidemia. Patofisiologi dari SM belum sepenuhnya diketahui tetapi obesitas

abdominal dan resistensi insulin berperan untuk terjadinya SM (Magalhaes et al.,

2013).

Obesitas sering berhubungan dengan meningkatnya masa tulang dan

memberi perlindungan terhadap kehilangan masa tulang yang progresif pada usia

tua. Sebaliknya resistensi insulin berhubungan dengan low-grade inflammation

yang menimbulkan peningkatan resorbsi tulang (Muhlen et al., 2007; Zhao et al.,

2013). Keadaan ini mengakibatkan berbagai penelitian menghasilkan kesimpulan

yang saling bertentangan mengenai hubungan antara SM dengan osteoporosis

disamping perbedaan kriteria SM yang dipergunakan dan perbedaan cara

pengukuran bone mineral density (Muhlen et al., 2007; Zhao et al., 2013). Dari

berbagai hasil penelitian klinis maupun binatang dapat disimpulkan bahwa

remodeling tulang dan metabolisme energi diatur oleh hormon yang sama (Lee et

(20)

Sejak lama dikenal peran klasik dari tulang sebagai organ yang penting

untuk proteksi, stabilisasi, penunjang mobilisasi tubuh, berperan sebagai tempat

untuk hemopoesis, mengatur keseimbangan kadar kalsium dan fosfat (Schwetz et

al., 2012). Tulang merupakan sebuah organ besar dan memerlukan banyak energi

karena secara berkesinambungan mengalami proses remodeling. Untuk

memfasilitasi proses ini tulang mengandung dua jenis sel yaitu osteoklast dan

osteoblast yang bekerja secara berlawanan (Ducy, 2011; Veldhuis-Vlug et al.,

2013). Keduanya ditentukan berdasarkan molekul yang dihasilkan berupa sitokin

yang bekerja lokal atau hormon yang bekerja secara sistemik (Lee et al., 2007).

Berbagai penelitian terakhir membuktikan bahwa tulang memiliki peran

yang penting untuk mengatur metabolisme glukosa dan lemak melalui protein yang

dihasilkan oleh osteoblast selama pembentukan tulang (Magalhaes et al., 2013).

Tulang, jaringan adiposa, pankreas dan sistim saraf pusat melakukan interaksi satu

dengan lainnya untuk mengatur berat badan dan mengatur pemakaian energi dan

metabolisme glukosa melalui kerja dari hormon yang dihasilkan secara spesifik

oleh osteoblast (Wah Ng, 2011; Alfadda et al., 2012).

Peranan endokrin dari tulang pertama kalinya diungkap pada mencit yang

mengalami defisiensi embryonic stem cell phosphatase (Esp) yaitu gen yang

menyandi protein tyrosine phosphatase (OST-PTP). Gen Esp diekpresikan pada

osteoblast dan penelitian pada mencit dengan global (Esp-/-) atau gen Esp

diinaktifasi seluruhnya, atau osteoblast-specific (Esposb-/-) knockout Esp akan mati

segera setelah lahir karena mengalami hipoglikemia yang berat. Penelitian

(21)

pankreas, sekresi insulin dan peningkatan kadar adiponektin. Disamping itu mencit

Esp-/- disertai peningkatan sensitifitas insulin pada jaringan otot dan jaringan lemak.

Mencit ini juga disertai kandungan lemak viseral lebih sedikit, peningkatan area

mitokondria jaringan otot, peningkatan kadar protein yang berhubungan dengan

biogenesis mitokondria yang memperlihatkan peningkatan pemakaian energi

(Ferron et al., 2010). Penelitian pada mencit ini membuktikan bahwa osteoblast

adalah sel endokrin yang dapat mengatur metabolisme energi karena

mempengaruhi sekresi dan kepekaan jaringan terhadap insulin. Protein yang dikode

oleh gen Esp adalah tyrosine phosphatase intraseluler dan memiliki fungsi

metabolik dengan menghambat kerja dari osteocalcin (Ferron et al., 2010).

Sebaliknya mencit dengan osteocalcin knockout (OC-/-) memiliki fenotipe

metabolik yang berlawanan dengan mencit dengan Esp-/- tidak dapat

mensekresikan osteocalcin (OC) suatu protein spesifik dihasilkan oleh osteoblast

akan mengalami penurunan sel-β, peningkatan kadar glukosa, dan penurunan kadar

insulin bila dibandingkan dengan mencit wild-type. Dengan menghilangkan allele

OC dari mencit yang mengalami Esp-/- akan disertai dengan perbaikan dari fenotipe

metaboliknya (Lee et al., 2007; Wah Ng., 2011).

Osteoblast mensekresi molekul OC ke dalam sirkulasi sebagai petanda dari

pergantian tulang dan dapat mempengaruhi homeostasis glukosa (Confavreux et

al., 2009; Schwetz et al., 2012). Sekresi OC oleh osteoblast melalui beberapa

tahapan modifikasi post-translational melalui vitamin-K dependent dimana 3

glutamic acid residue mengalami carboxylated sehingga memungkinkan protein ini

(22)

(cOC) dan undercarboxylated OC (ucOC) dan dipergunakan sebagai biomarker

pembentukan tulang (Shea et al., 2009; Ducy, 2011). Penelitian in vitro

membuktikan bahwa cOC adalah bentuk yang tidak aktif dari osteocalcin

sedangkan bentuk yang aktif adalah ucOC (Ducy, 2011; Schwetz et al., 2012). Dari

hasil penelitian pada mencit dapat disimpulkan bahwa inaktifasi Esp pada

osteoblast akan meningkatkan sekresi ucOC dari tulang dan mengakibatkan

terjadinya hipoglikemi disertai menurunnya adipositas sebagai akibat dari

peningkatan proliferasi sel-β pankreas, sekresi insulin dan memperbaiki sensitifitas

insulin. Diperkirakan ucOC berperan penting pada metabolisme energi seperti

proliferasi sel-β pankreas, sekresi insulin, sensitifitas insulin dan konsumsi energi

sehingga jaringan tulang berpengaruh langsung terhadap metabolisme energi

(Schwetz et al., 2012).

Penelitian pada mencit yang mengalami defisiensi OC total akan disertai

peningkatan masa lemak viseral, penurunan sekresi insulin, resistensi insulin dan

gangguan toleransi glukosa. Sebaliknya mencit dengan peningkatan kadar ucOC

karena delesi gen Esp, yang mengkode protein yang bertanggung jawab

terbentuknya cOC, memperlihatkan peningkatan sekresi insulin, proliferasi sel-β

pankreas, meningkatkan sensitifitas insulin dan menurunkan masa lemak (Ferron et

al., 2010; Magalhaes et al., 2013).

Penelitian pada binatang juga membuktikan bahwa dibandingkan dengan

mencit wild-type, mencit dengan OC-/- knockout mengalami peningkatan masa

lemak viseral, kadar trigliserida, resistensi insulin, penurunan sekresi insulin dan

(23)

Garcia-Martin et al., 2013). Infus dengan rekombinant OC pada mencit wild-type

memperbaiki toleransi glukosa dan meningkatkan sekresi insulin dan mencit

dengan diit tinggi lemak setelah pemberian recombinant OC akan menurunkan

berat badan dan resistensi insulin (Veldhuis et al., 2013).

Penemuan ini memiliki implikasi klinis yang penting sehingga menarik

untuk dilakukan penelitian klinis lebih lanjut seperti pada penderita DMT2 atau

SM. Jika ucOC memegang peranan yang sama untuk mengatur homeostasis

glukosa pada manusia seperti yang diperlihatkan pada mencit akan terjadi

hubungan yang terbalik antara kadar serum ucOC dengan kadar insulin puasa,

glukosa, HbA1c, kadar adiponektin dan resistensi insulin seperti HOMA-IR pada

penderita DMT2 atau SM (Wah Ng, 2011).

Beberapa penelitian sebelumnya pada manusia membuktikan bahwa adanya

hubungan terbalik antara kadar OC dengan kadar gula darah puasa, insulin basal,

glycosylated hemoglobin (HbA1c), indek resistensi insulin (HOMA), high

sensitivity C-reactive protein (hsCRP), interleukin-6 (IL-6), IMT, persentase lemak

tubuh dan kadar adiponektin (Garcia-Martin et al., 2013).

Diperkirakan bahwa OC mengatur sekresi insulin dan sensitifitas insulin

dan OC sebagai faktor yang berperan untuk terjadinya MS (Magalhaes et al.,

2013), namun sebenarnya hasil tersebut hingga saat ini masih diperdebatkan karena

penelitian dengan skala besar dengan studi kohort menunjukkan tidak ada

hubungan antara osteocalcin dengan resiko terjadinya DMT2 (Swakerberg et al.,

2015). Pada penelitian skala besar lainnya yang dilakukan di Korea yang

(24)

ditemukan korelasi antara kadar ucOC pada insiden DMT2 pada subjek laki-laki

paruh baya (Hwang et al., 2012).

Kebanyakan penelitian klinis yang membuktikan adanya hubungan antara

osteocalcin dan komponen SM seperti resistensi insulin menggunakan jumlah

sampel yang minimal dan lebih banyak mempergunakan pengukuran dengan kadar

OC total sedangkan penelitian pada mencit lebih banyak mempergunakan kadar

ucOC (Hwang et al., 2012 dan Swakerberg et al., 2015).

1.2 Rumusan Masalah

Remodeling tulang adalah suatu proses yang memerlukan energi dan

berlangsung berkesinambungan untuk mempertahankan masa tulang konstan pada

usia dewasa. Osteoblast menghasilkan protein OC di dalam sirkulasi terdiri dari

cOC dan ucOC. Berbagai studi pada mencit membuktikan bahwa ucOC adalah

bentuk yang aktif dan dapat mempengaruhi metabolisme energi, resistensi insulin,

sekresi insulin dan obesitas. Berbagai penelitian klinis dengan meneliti hubungan

OC terhadap sekresi insulin, kadar glukosa darah dan sensitifitas insulin

menunjukkan hasil yang masih saling bertentangan. Sedangkan selama ini

penelitian mengenai peran ucOC kebanyakan dikerjakan pada mencit dan hasil

penelitian pada manusia hingga saat ini masih diperdebatkan.

Berdasarkan uraian ringkas pada latar belakang masalah tersebut dapat

dirumuskan permasalah sebagai berikut :

Apakah kadar ucOC berkorelasi dengan resistensi insulin (HOMA-IR) pada

(25)

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui korelasi antara ucOC dengan resistensi insulin pada Ob-Ab

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademik

Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang hasilnya diharapkan dapat

menambah wawasan dan pengetahuan kita khususnya pada ilmu kedokteran

tentang korelasi antara ucOC dengan Resistensi Insulin (HOMA-IR) pada obesitas

abdominal. Karena pada penelitian ini tidak terbukti adanya korelasi antara ucOC

dengan resistensi insulin (HOMA-IR) pada pasien Ob-Ab diharapkan penelitian ini

dapat memberikan acuan awal pada penelitian selanjutnya dan penegasan bahwa

belum terbuktinya peranan tulang sebagai organ endokrin yang dapat mengatur

metabolisme glukosa pada manusia.

1.4.2 Manfaat Praktis

Pada penelitian ini belum terbukti peran ucOC berkorelasi dengan resistensi

insulin (HOMA-IR) pada obesitas abdominal maka berbagai usaha yang dilakukan

untuk meningkatkan kadar OC terutama ucOC yang berhubungan dengan

kemungkinan perbaikan toleransi glukosa pada pasien DMT2 atau menurunkan

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obesitas

Obesitas merupakan terjadinya timbunan lemak berlebihan atau abnormal

didalam tubuh akibat ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran kalori dan

dapat mengganggu kesehatan sedangkan overweight merupakan jumlah berlebihan

dari berat badan seseorang yaitu termasuk air, lemak, otot dan tulang. Obesitas

disini dapat terjadi jika ukuran dan jumlah sel-sel lemak tubuh seseorang

meningkat (WHO, 2006).

Definisi operasional dari obesitas dan berat badan berlebih merupakan

perhitungan indeks masa tubuh (IMT) yang sangat berhubungan dengan

perlemakan di dalam tubuh. Suatu cut-off diambil dari IMT untuk definisi obesitas

dapat berdasarkan atas (1) data statistik yang diperoleh dari populasi tertentu atau

(2) berdasarkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan

peningkatan dari lemak tubuh (WHO, 2006).

Obesitas merupakan suatu keadaan epidemi yang saat ini menjadi masalah

serius bagi dunia kesehatan. Dikatakan prevalensi obesitas telah meningkat

sebanyak tiga kali lipat selama tiga hingga empat dekade belakangan ini. Obesitas

sendiri merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat penting karena

berhubungan erat dengan metabolisme dan penyakit kardiovaskular (Bigaard et al.,

2005; Baum et al., 2008; Suastika, 2008).

2.1.1 Etiologi Obesitas

Obesitas itu sendiri merupakan persoalan yang terjadi akibat terjadinya

(27)

genetik, sosial dan kebudayaan. Ketidakseimbangan energi tersebut timbul

bilamana asupan energi (makanan) melebihi dari penggunaan energi total (WHO,

2006).

Perbedaan antara asupan dan penggunaan energi terutama dikatakan oleh

perubahan banyaknya simpanan lemak (triasilgliserol) pada organ penyimpan

utama yaitu jaringan lemak putih (Trayhurn, 2008). Akumulasi lemak akan terjadi

pada bagian tubuh yang tidak diinginkan seperti jantung, hati, pankreas dan otot

skeletal jika suatu individu tidak dapat menyimpan kelebihan energi yang

dihasilkan pada jaringan adiposa subkutannya (Despres et al., 2006 dan Despres et

al., 2008).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya obesitas biasanya

bekerja secara kombinasi diantaranya diet, merokok, kehamilan, kurangnya

aktivitas fisik, penggunaan obat-obatan tertentu dan juga memiliki masalah

kesehatan tertentu (Trayhurn, 2008). Adanya penurunan dari berbagai hormon

akibat penuaan seperti hormon pertumbuhan dan produksi testosteron dapat juga

dikatakan meningkatkan akumulasi dari lemak, penurunan masa otot, dan

keseimbangan energi (Villareal, et al., 2005).

2.1.2 Epidemiologi Obesitas

Pada tahun 2015, World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih

dari 2,3 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan lebih dari 700 juta

orang akan mengalami obesitas (WHO, 2014). Obesitas semula hanya menjadi

perhatian pada Negara-negara yang memiliki pendapatan perkapita yang tinggi,

(28)

negara-negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah terutama di

daerah urban (WHO, 2014). Di negara maju seperti Eropa, Amerika Serikat dan

Australia prevalensi orang dengan obesitas dan overweight tampaknya mempunyai

kecenderungan akan semakin meningkat dan telah mengenai sekitar 50-65 persen

populasi, juga meningkat secara ekstrim di beberapa negara seperti Meksiko, Mesir

dan populasi hitam di Afrika Selatan. Prevalensi tertinggi obesitas ditemukan pada

beberapa pulau-pulau daerah Pasifik, dan daerah Timur Tengah (WHO, 2014).

Beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, prevalensi obesitas dan kelebihan

berat badan mengalami peningkatan setiap tahunnya sebesar 0,5 persen, sedangkan

negara-negara Asia, Amerika Latin dan Timur Tengah sebesar 1,5-2 persen

(Mokdad, et al. 2001).

2.1.3 Pengaruh Obesitas terhadap Kesehatan

Seseorang dengan obesitas kemungkinan akan mengalami lebih banyak

masalah terhadap kesehatannya dibandingkan dengan seseorang yang memiliki

berat badan normal (Yanovski, 2002). Dari berbagai penelitian terbukti bahwa

obesitas sendiri merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap beberapa

penyakit yang tidak menular diantaranya hipertensi, DMT2, penyakit

kardiovaskular, osteoartritis, stroke, dan beberapa penyakit keganasan (kolon,

rektum, esofagus, ginjal, payudara, dan prostat) (WHO, 2014). Meskipun secara

keseluruhan telah dibuktikan mengenai beberapa pengaruh yang merugikan dari

obesitas terhadap kesehatan, obesitas sendiri sejak lama masih membingungkan

para klinisi karena sangat penyebab dan mekanismenya sangat luas. Beberapa

(29)

lipoprotein-lemak plasma yang normal, dan euglikemia, sedangkan beberapa orang lainnya

dengan berat badan yang normal kadangkala mengalami kelainan profil faktor

resiko metabolik (Depres et al., 2006).

Berbagai publikasi sejak 15 tahun terakhir telah membuktikan bahwa

sekelompok penderita obesitas yang ditandai dengan timbunan lemak berlebih di

daerah abdominal memiliki risiko tinggi untuk menderita DMT2, dislipidemia,

hipertensi dan penyakit kardiovaskuler (Despress dan Marette, 2008).

Meningkatnya prevalensi obesitas seluruh dunia mungkin mendorong prevalensi

DMT2 menjadi lebih tinggi (WHO, 2014).

Beberapa dekade terakhir telah membuktikan adanya hubungan antara

aktivitas fisik dengan SM. Kurangnya aktivitas fisik atau sendentary life akan

meningkatkan resiko terjadinya obesitas dan meningkatkan resiko terjadinya

beberapa penyebab kematian, penyakit kronik dan disabilitas (Pergola et al., 2013).

Dampak obesitas yang baru-baru ini diteliti yakni obesitas yang dapat

meningkatkan resiko terjadinya 20% kejadian kanker di Amerika. Hubungan antara

obesitas dan meningkatnya resiko kanker dikarenakan berbagai penyebab salah

satunya dari parameter antropometrik dan faktor pola hidup. Parameter antopometri

termasuk BMI, peningkatan berat badan, total lemak tubuh khususnya lemak

abdominal, pola hidup termasuk sedentary lifestyle, parameter diet termasuk

makanan berkalori tinggi dan diet berkualitas rendah yang diduga berperan sebagai

faktor predisposisinya. Beberapa jenis kanker yang kemungkinan berkaitan dengan

kejadian obesitas yakni kanker esofagus, payudara, endometrium, ginjal, pankreas,

(30)

pada obesitas belum jelas diketahui, diperkirakan adanya produksi hormon yang

berlebihan, meningkatnya insulin, insulin growth factor, dan low grade

imflammation sebagai faktor pencetus (Pergola et al,. 2013).

2.1.3.1 Obesitas dan Hipertensi

Penelitian pada tahun 1959 telah menunjukkan adanya hubungan langsung

antara hipertensi dengan berat badan yang berlebihan. Penelitian oleh Rahmouni et

al, 2005 juga menemukan adanya kenaikan tekanan darah pada dewasa muda yang

mempunyai berat badan berlebih atau obesitas. Selain itu beberapa penelitian

epidemiologi telah membuktikan pula adanya hubungan yang linier antara obesitas

dan hipertensi, hubungan kausalnya memang belum dapat diketahui dengan pasti,

namun dalam pengamatan selanjutnya apabila penderita obesitas tersebut di

turunkan berat badannya maka tekanan darahnya akan turun, oleh karena itu timbul

beberapa teori yang dikemukakan mengenai adanya hubungan tersebut, diantaranya

yaitu adanya mekanisme hemodinamik. Penelitiannya juga mendapatkan bahwa

adanya peningkatan stroke volume dan cardiac output pada penderita obesitas bila

dibandingkan dengan yang bukan obesitas dan juga didapatkan peningkatan

tahanan perifer pembuluh darah penderita obesitas normotensi bila dibandingkan

dengan penderita yang bukan obesitas. Sehingga timbul pendapat bahwa

peningkatan stroke vulume, cardiac output dan peningkatan tahanan perifer

memegang peranan penting dalam terjadinya hipertensi pada obesitas.

Peranan aktivitas saraf simpatis, juga dikatakan sebagai faktor yang

berperan pada obesitas dengan hipertensi ditunjukkan pada penderita perempuan

(31)

darah dan denyut jantung serta pada pemeriksaan urinenya terdapat peningkatan

sisa-sisa metabolisme katekolamin, sehingga timbul pendapat bahwa peningkatan

katekolamin merupakan akibat dari aktivitas saraf simpatis yang meningkat.

Adanya peranan pada sistem endokrin yang diduga ikut berperan dalam

proses hipertensi pada obesitas terlihat pada adanya peningkatan kadar insulin dan

aldosteron dalam plasma penderita obesitas. Aldosteron akan mengurangi ekskresi

natrium di dalam glomerulus, begitu juga insulin pada percobaan binatang dengan

jelas mengurangi pula sekresi natrium dalam glomerulus, dalam beberapa hal

keadaan ini diperkirakan juga terjadi pada manusia, sehingga adanya peningkatan

insulin dan aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dalam darah yang

mengakibatkan terjadinya peningkatan volume darah, dan nantinya menyebabkan

hipertensi. Para peneliti tersebut sepakat bahwa menurunkan berat badan akan serta

merta dapat menurunkan tekanan darah (Rahmouni et al., 2015).

2.1.4.2 Obesitas dan Penyakit Jantung Iskemik

Penelitian Krauss et al., 1998 menunjukkan meningkatnya resiko kematian

mendadak yang sangat mencolok baik pada pria ataupun wanita dengan obesitas.

Wanita obesitas mempunyai resiko 13 kali lebih banyak mengalami kematian

mendadak dan kesakitan dibandingkan dengan wanita yang tidak obesitas. Hasil

penelitian tersebut timbul dugaan apakah obesitas berpengaruh langsung terhadap

terjadinya arteriosklerosis koroner. Pada penelitian terhadap binatang yang dibuat

obesitas ternyata peningkatan terjadinya arteriosklerosis tidak dapat dibuktikan.

Sehubungan dengan keadaan tersebut maka diadakan pengamatan pada penderita

(32)

koronaria, ternyata tidak terbukti pada pemeriksaan bedah mayat. Oleh karena itu

arteriosklerosis tidak berhubungan dengan kenaikan berat badan. Ada pendapat

bahwa obesitas tidak langsung menyebabkan terjadi arteriosklerosis koroner, tetapi

hanya merupakan tambahan risiko terjadinya serangan penyakit jantung koroner.

2.1.4.3 Obesitas dan Diabetes Melittus

Obesitas ternyata juga mempengaruhi sistem metabolism glukosa dan

energi, dan yang sering terjadi adalah hubungan langsung antara obesitas dengan

kejadian diabetes melitus. Pada obesitas kemungkinan terkena diabetes melitus 2,9

kali lebih sering bila dibandingkan orang yang tidak obesitas. Di Amerika telah

dilaporkan pula bahwa penderita obesitas yang umumya 20 - 45 tahun mempunyai

kecenderungan terkena diabetes melitus 3,8 kali lebih sering bila dibandingkan

dengan penderita yang berat badannya normal. Sedangkan yang umurnya 45 - 75

tahun kecenderungan terjadinya diabetes melitus 2 kali lebih sering daripada yang

memiliki berat badannya normal. Dikemukakan pula bahwa penderita obesitas

sering mengalami hiperglikemia tetapi dalam keadaan hiperinsulinisme, keadaan

ini mungkin karena adanya resistensi insulin yang meningkat atau kurang pekanya

reseptor insulin terhadap adanya keadaan hiperglikemia. Beberapa penelitian yang

menyebutkan bahwa pada penderita diabetes dengan obesitas, kelainan dasarnya

adalah gangguan sekresi insulin. Sekresi insulin dikatakan terhambat sehingga

kadar glukosa darah tidak dapat dikontrol dengan baik dan terdapat peningkatan

sekresi insulin sehingga cenderung terjadi hiperinsulinisme yang disertai dengan

peningkatan resistensi insulin. Disamping itu hiperglikemia dan hiperinsulinemia

(33)

peningkatan hormon yang bersifat antagonis terhadap insulin atau berkurangnya

jumlah reseptor insulin yang sensitif pada membran sel.

2.1.4.4 Obesitas dan Gangguan Pernafasan

Pada penderita obesitas terdapat timbunan lemak pada rongga dada dan

rongga perutnya sehingga akan menyebabkan gangguan proses pernafasan oleh

karena itu pada obesitas cenderung terjadi penurunan kapasitas vital paru yang

akan mengakibatkan penurunan fungsi paru. Kelainan ini bila dalam keadaan berat

dengan tanda-tanda somnolen dan hipoventilasi disebut dengan Pickwickian

syndrome. Keadaan ini akan menghilang bila penderita menurunkan berat

badannya.

2.1.4.5 Obesitas dan Kelainan Sendi

Setiap peningkatan berat badan lebih dari normal akan menimbulkan beban

yang berlebihan pada sendi penyangga berat badan, dan ini cenderung

menyebabkan trauma ringan tetapi terus-menerus dan akan berakhir menjadi

osteoartrosis (OA) baik primer ataupun sekunder. Conway dan Mc Carthy, 2015

dalam penelitiannya atas populasi penduduk yang dibagi menjadi 4 grup, ternyata

grup yang mempunyai berat badan berlebihan dengan umur makin tua cenderung

lebih cepat menderita OA memerlukan operasi penggantian sendi. Beberapa

mekanisme termasuk mekanikal, epigenetik, peranan sitokin-sitokin pro imflamasi

seperti VEGF, IL-6, TNF-A, penurunan adiponektin yang menurun diperkirakan

sebagai penyebab terjadinya osteoarthritis pada obesitas. Sendi yang terkena adalah

sendi penyangga berat badan yaitu punggung, pangkal paha, lutut dan pergelangan

(34)

2.1.4.6 Obesitas dan Defisiensi Hormon Testosteron

Defisiensi testosteron sering under diagnosis oleh karena tidak ada gejala

dan tanda yang spesifik. Gejala dan tanda defisiensi testosteron umumnya

diketahui pada kondisi yang sudah lanjut sehingga akan mempengaruhi prognosis

dan kualitas hidup penderita. Gejala dan tanda defisiensi testosteron dapat berupa;

menurunnya libido, menurunnya aktifitas seksual, berkurangnya massa dan

kekuatan otot, disfungsi ereksi, lemah / low energy dan depresi (Jones , 2007 ;

Mendonca et al., 2014). Assosiasi yang substansial / signifikan yang banyak

dilaporkan adalah antara kadar testosteron yang rendah dengan risiko penyakit

kardiovaskuler, seperti misalnya obesitas, resistensi insulin, inflamasi vaskuler,

hipertensi dan aterosklerosis (Bajos et al., 2010 ; Corona et al., 2011 ; Wang et al.,

2011).

Defisiensi testosteron belakangan banyak dibahas dan merupakan prediktor

yang penting dari kejadian kardiovaskuler di masa yang akan datang (Ohisson et

al., 2011 ; Wang et al., 2011).

Obesitas merupakan proinflammatory state oleh karena jaringan adipose

mensekresi berbagai substansi seperti sitokin proinflamasi, adipokin, FFA(Free

Fatty Acid) dan estrogen. Semua substansi tersebut memberikan kontribusi pada

perkembangan SM, DM tipe-2 seperti halnya pada kondisi defisiensi androgen

(35)

Visceral fat merupakan jaringan yang aktif mensekresi (active secretory

tissue) sitokin proinflamasi, adipokin, modulator biokimiawi dan faktor

proinflamatori lainnya seperti IL-6, IL-1β, PAI-1, TNFα, angiotensinogen,

vascular endothelial growth factor (VEGF) dan serum amyloid A (Wang et al.,

2011).

Semua faktor tersebut memberikan kontribusi terjadinya inflamasi dan

disfungsi dari vaskuler sistemik maupun perifer (Reilly et al., 2004). FFA

mengaktifasi nuclear factor-κB pathways selanjutnya dihasilkan TNFα. TNFα

mengaktivasi lipolisis diikuti dengan meningkatnya sintesis IL-6 dan macrophage

chemoattractant protein-1 (MCP-1) yang akan meningkatkan mobilisasi makrofag

dan modulasi sensitivitas insulin. Peningkatan TNFα juga meningkatkan ekspresi

molekul adesi pada endotelium dan sel otot polos vaskuler. IL-6 menstimulasi

sintesis C-reactive protein oleh hepatosit. Aromatase merupakan enzim yang

merubah testosteron menjadi estradiol terutama di jaringan adipose. Testosteron

terbukti dapat mempengaruhi sensitivitas insulin, artinya testosteron dapat

memodulasi secara langsung sensitivitas insulin (Reilly et al., 2004 ; Wang et al.,

2011). Kadar testosteron pada penderita Sindrom Metabolik dan kaitannya dengan

komponen Sindrom Metabolik dapat dilihat pada gambar 2.5 (Wang et al., 2011)

2.1.4 Pengukuran dan Klasifikasi Obesitas

Standar pengukuran dan cara paling sederhana untuk menentukan obesitas

adalah dengan menghitung indeks masa tubuh (IMT) yang ditetapkan berdasarkan

(36)

badan (kg/m2)] (WHO, 2006). Pada umumnya IMT berkorelasi dengan adipositas

di dalam tubuh, meskipun kadangkala dapat memberikan informasi yang kurang

tepat tentang klasifikasi variasi kandungan lemak tubuh dan masa lemak intra

abdominal (Frayn et al., 2005). Dewasa ini masa jaringan adiposa dapat diukur

dengan berbagai cara, akan tetapi kebanyakan memerlukan peralatan dan teknik

yang canggih, sehingga jauh dari jangkauan untuk diterapkan secara klinis

(Villareal et al., 2005). Dibandingkan pemeriksaan lainnya, untuk memperkirakan

kandungan total lemak tubuh mempergunakan IMT mempunyai spesifisitas yang

tinggi yaitu 98-99 persen, dengan nilai prediksi positif sebesar 97 persen. Selain itu

IMT mudah dihitung dan telah direkomendasikan sebagai cara pengukuran obesitas

untuk orang dewasa (WHO, 2006).

Berbagai studi epidemiologi menunjukkan bahwa IMT berhubungan

dengan morbiditas dan mortalitas dari berbagai penyakit. Untuk penduduk di

wilayah Asia-Pasifik, WHO menganjurkan pemakaian kriteria yang berbeda

berdasarkan faktor risiko dan morbiditas. Pada orang Asia, cut-off untuk

overweight ( 23.0 kg/m2) dan obesitas ( 25.0 kg/m2) lebih rendah dibandingkan

dengan kriteria WHO (WHO, 2014). Usulan sementara ini berdasarkan dari hasil

penelitian pada penduduk Cina di Hongkong dan Singapura, dan keturunan India di

Mauritius. Tetapi pada penduduk asli kepulauan Pasifik diperlukan cut-off yang

lebih tinggi yaitu untuk overweight IMT 26 kg/m2 dan untuk obesitas IMT  32

(37)

Tabel 2.1

Klasifikasi kelebihan berat badan pada orang Asia dewasa berdasar IMT (WHO, 2014)

2.1.5 Pengukuran Distribusi Lemak Tubuh

Distribusi lemak di dalam tubuh sangat menentukan resiko dari obesitas

yang dapat ditimbulkannya yakni morbiditas dan mortalitas (Depres et al., 2006).

Terdapat berbagai cara untuk menentukan secara tepat distribusi lemak tubuh

manusia.

a. Computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI)

Beberapa tahun belakangan alat ini telah dapat digunakan sebagai alat

untuk menjelaskan tempat berkumpulnya jaringan lemak yang kemungkinan suatu

lemak intra abdominal dan nantinya dapat memberikan informasi tentang dampak

yang dapat ditimbulkannya (Frayn, 2005). CT Scan atau MRI jaringan adiposa

intra abdominal dan subkutan dikerjakan setinggi L3/L4 dengan potongan multipel

(slices) merupakan gold standard untuk pengukuran jaringan lemak viseral

(Wajchenberg, 2000). Pada ras Kaukasus luas lemak viseral >130 cm2

berhubungan dengan sindroma metabolik sedangkan apabila <110 cm2 merupakan

(38)

membedakan antara lemak viseral dengan lemak subkutan (WHO, 2006; Despres et

al., 2006).

b. Dual-energy X-ray scanning

Penginderaan secara longitudinal dapat diperoleh dengan cara dual-energy

X-ray scanning (DEXA). Cara ini tidak akan menghasilkan data yang tepat

mengenai distribusi lemak tubuh seperti daerah intraabdominal, dan hanya

memberikan informasi tentang distribusi dan perubahan yang terjadi pada lemak

tubuh (Hao Wang et al., 2012). Metode ini memerlukan peralatan yang mahal dan

banyak menghabiskan waktu, cara penggunaan tidak praktis sehingga masih

diperlukan metode yang sederhana terutama untuk penelitian di lapangan dengan

jumlah sampel yang banyak (Heymsfield et al., 2001).

c. Pengukuran subcutan fat

Mengukur subcutan fat atau lapisan lemak di bawah kulit memberikan

estimasi yang baik tentang total lemak tubuh pada orang dewasa dan anak-anak

dengan berat badan normal, namun ini hanya merupakan cara tambahan untuk

mengukur total lemak tubuh. Jangka lengkung lipatan kulit memuat ukuran lemak

yang berada persis dibawah kulit yang berasal dari beberapa bagian tubuh (WHO,

2006). Pengukuran dilakukan pada 4 lokasi (bisep, trisep, subskapula dan

supra-iliaka). Seseorang dikatakan obesitas jika pada laki-laki yang memiliki total lemak

tubuh lebih dari 25% dan perempuan jika memiliki total lemak tubuh lebih dari

30% (WHO, 2006). Cara pengukuran ini tidak cocok dilakukan pada subjek yang

sangat gemuk karena tidak dapat mengukur komponen lemak intra abdominal yang

(39)

d. Pengukuran lingkar pinggang (Lp) dan rasio pinggang pinggul (RPP)

Kedua cara ini sangat praktis, sederhana dan murah untuk menentukan

adanya timbunan lemak berlebih di daerah abdominal. Pengukuran obesitas ini

ditujukan untuk dapat mengidentifikasi adanya berbagai faktor risiko yang

berhubungan dengan obesitas tersebut. Dari berbagai penelitian terbukti bahwa Lp

dapat dipergunakan untuk menentukan lemak intra abdominal (Despress et al.,

2006). Rasio pinggang pinggul (RPP) atau waist to hip ratio (WHR) juga dapat

dipergunakan untuk mengukur obesitas abdominal, dimana PP > 0,9 pada pria dan

> 0,80 untuk wanita dipergunakan untuk menentukan adanya obesitas abdominal

(WHO, 2006). Pengukuran Lp saja ternyata terbukti merupakan cara yang baik

untuk mengukur lemak intra abdominal. Pengukuran Lp sangat kecil dipengaruhi

oleh tinggi badan atau umur dan menurunnya Lp berhubungan dengan perbaikan

faktor risiko kardiovaskuler (Hwang et al., 2012). Penelitian longitudinal selama

kurun waktu 7 tahun menunjukkan bahwa perubahan Lp lebih berkorelasi dengan

perubahan pada jaringan lemak viseral bila dibandingkan dengan perubahan pada

RPP (Despres et al., 2008). Pengukuran Lp dapat mengidentifikasi individu yang

memiliki distribusi lemak abdominal dan memiliki berbagai risiko untuk penyakit

kardiovaskuler. Pengukuran Lp sangat berkorelasi dengan pengukuran IMT dan

RPP (Lean et al., 1995). Individu dengan Lp 94-101 cm pada pria dan 80-87 cm

pada wanita 1½-2 kali memiliki satu atau lebih faktor risiko penyakit

kardiovaskular dan individu dengan Lp 102 pada pria dan 88 cm untuk wanita

memiliki 2½-4½ kali faktor risiko. Dianjurkan apabila Lp > 94 cm pada pria atau

(40)

Penurunan berat badan diperlukan apabila Lp > 102 cm untuk pria dan > 88 cm

untuk wanita (Lean et al., 1995).

2.2 Fungsi Jaringan Adiposa

Timbunan lemak atau adiposa pada manusia sebagian besar terdiri dari

jaringan lemak atau adiposa putih dan diperkirakan menjadi tempat utama

penyimpanan energi (Tilg dan Moshen, 2008). Penyimpanan energi oleh jaringan

adiposa putih terjadi dalam bentuk trigliserida dan bila diperlukan akan melepaskan

energi berupa asam lemak bebas. Sel adiposa putih pada tingkat seluler terdiri dari

sel adiposit yang mengandung lemak dan dikelilingi oleh matrik serat kolagen, sel

imun, fibroblast dan pembuluh darah (Trayhurn, 2008). Masa jaringan lemak

ditentukan oleh keseimbangan antara asupan dan pengeluaran energi,

keseimbangan kalori positif pada orang gemuk akan mengakibatkan terjadinya

peningkatan lipid intraselular dan membesarnya ukuran adiposit (hipertrofi) dan

meningkatnya jumlah adiposit (hiperplasia) (Bays, et al. 2008). Beberapa

penelitian menjelaskan bahwa adiposit dari jaringan adiposa tersebut dapat

mengeluarkan protein yang bekerja secara endokrin, parakrin dan autokrin untuk

mengatur diferensiasi dari sel lemak dan juga pengaturan keseimbangan energi.

Beberapa tahun belakangan sejak leptin ditemukan, terjadi pergeseran paradigma

dalam pengertian tentang peranan fisiologis jaringan adiposa putih. Penemuan 120

bahan yang terdiri dari berbagai hormon dan sejumlah faktor autokrin dan parakrin

dihasilkan atau diproses didalam jaringan adiposa (Kirkland et al., 2003). Sebagian

(41)

necrosis factor- (TNF-), 6 (IL-6), 8 (IL-8),

interleukin-1 (IL-1), plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), transforming growth

factor-1 (TGF-1), adipsin, adiponektin, angiotensinogen, resistin, serum amiloid A3

(Mutch et al., 2001; Kirkland et al., 2003). Adipokin-adipokin tersebut berkorelasi

denngan imunitas dan respon inflamasi, dan produksinya secara umum meningkat

pada obesitas (Hotamisligil, 2006). Salah satu perkecualian adalah adiponektin,

yang bekerja sebagai anti-inflamasi dan perangsang pengeluaran insulin, ekspresi

dan sekresinya menurun pada obesitas (Ronti, et al. 2006). Mekanisme yang terjadi

pada obesitas sangat kompleks dan banyak melibatkan sitokin, hormon dan growth

factor. Kenyataan bahwa TNF a, Leptin, IL-6, insulin, PAI-1, TGF-B dan lainnya

meningkat pada obesitas dan peranan ini berhubungan dengan berbagai penyakit

yang sering dijumpai pada obesitas (Fruhbeck et al, 2001).

2.3 Hubungan Lemak Viseral dengan Sindroma Metabolik

Dibandingkan dengan lemak subkutan, lemak viseral lebih berhubungan

dengan hipertensi, hiperinsulinemia dan resistensi insulin, diabetes mellitus,

dislipidemia dan penurunan fungsi fibrinolisis membuktikan bahwa lemak viseral

lebih kuat hubungannya dengan tekanan darah sistolik dan diastolik, trigliserida,

kolesterol total, kolesterol-HDL, kolesterol-LDL dan resistensi insulin (Yamashita

et al., 1996; Kopelman, 2000; Wajchenberg et al., 2000; Despres et al., 2006).

Timbunan lemak viseral yang berlebihan juga berhubungan dengan variabel

hemostatik yang berperan terhadap meningkatnya risiko aterotrombosis (Alessi et

(42)

Penelitian secara morfologi dari adiposit yang diambil dari berbagai bagian

tubuh menunjukkan bahwa metabolisme adiposit dari daerah abdominal berbeda

dengan metabolisme adiposit dari femuro-gluteal. Adiposit abdominal

menunjukkan bentuk hipertrofi, sedangkan adiposit femuro-gluteal adalah

hiperplastik (Van Gaal, 2006). Lemak abdominal memiliki respon lipolisis yang

lebih besar terhadap noradrenalin dan kurang sensitif terhadap antilipolisis dari

insulin sehingga mengakibatkan peningkatan masuknya asam lemak bebas (ALB)

ke dalam sirkulasi portal (Kopelman, 2000). Diperkirakan ALB yang berasal dari

lemak viseral melalui aliran portal mempengaruhi metabolisme hepar dan

menyebabkan peningkatan sintesa very low density lipoprotein (VLDL), dan

selanjutnya low density lipoprotein (LDL). Disamping itu ALB dapat merangsang

glukoneogenesis dan meningkatkan kadar glukosa darah. Penelitian dengan cara

mengukur perfusi pada hepar tikus membuktikan bahwa ALB dapat menurunkan

kliren dari insulin dan menimbulkan hiperinsulinemia (Kopelman, 2000; Björntorp,

2003; British Nutrition Foundation, 2003). Data di atas hanya terbatas berdasar

hasil penelitian secara invitro.

Penelitian pada manusia masih menjumpai banyak kendala karena

pengukuran vena porta hampir tidak pernah dapat dikerjakan karena kesulitan

teknis. Secara tidak langsung pengukuran konsentrasi ALB pada vena hepatika

dapat menggambarkan produksi ALB dari depot lemak viseral, tetapi masih

dijumpai kendala karena terdapat juga aliran darah ke hepar melalui arteri hepatika

(43)

berasal dari lipolisis jaringan lemak viseral, tetapi juga berasal dari lipolisis

jaringan lemak ditempat lainnya (Björntorp, 2003).

Disamping teori ALB dari lemak viseral, yang mendasari terjadinya berbagai

faktor risiko, penelitian pada tikus membuktikan terjadinya ekspresi berlebihan dari

-hydroxy steroid dehydrogenase1 pada jaringan adiposa. Enzim ini merubah

glukokortikoid inaktif menjadi kortikosteron aktif. Sebagai akibatnya terjadi

resistensi insulin dengan segala akibatnya. Pada manusia keadaan ini menyebabkan

terjadinya kelebihan kortisol, sehingga peran spesifik dari lemak viseral menjadi

tidak jelas (Björntorp, 2003).

2.4 Mekanisme Resistensi Insulin pada Obesitas Abdominal

Resistensi insulin didefinisikan sebagai resistensi terhadap efek metabolik

insulin yang berakibat pada insensitivitas jaringan terhadap insulin (Hawkins &

Rossetti, 2005). Efek metabolik insulin mencakup efek penghambatan terhadap

produksi glukosa endogen, efek stimulasi pada pengambilan glukosa dan sintesis

glikogen pada jaringan, serta menghambat penguraian lemak pada jaringan

adiposa. Tanpa adanya defek pada fungsi sel beta pankreas, individu

mengkompensasi resistensi insulin dengan peningkatan jumlah sekresi insulin

(hiperinsulinemia) (Masharani et al., 2004).

RI tidak hanya menyangkut hubungan antara glukosa dengan insulin tetapi

juga kerja biologis lainnya dari insulin seperti pengaruhnya terhadap metabolisme

lemak dan protein, fungsi endotel, dan ekspresi gen (Cefalu, 2001). Berbagai faktor

genetik, lingkungan dan metabolik yang berperan terjadinya RI saat ini belum

(44)

melalui kerja insulin merupakan hasil akhir dari aktivasi tahapan signaling insulin.

Perubahan satu atau lebih dari proses ini akan menimbulkan gangguan terhadap

kerja insulin dan menimbulkan resistensi insulin (Tjokroprawiro, 2003). Resistensi

insulin juga sangat berkaitan dengan suatu kluster (kumpulan) kondisi yang disebut

sindroma metabolik (SM) (obesitas sentral, hipertensi, resistensi insulin, dan

dislipidemia) (Carr & Brunzell, 2004). Sindroma metabolik juga sangat

berhubungan dengan inflamasi sistemik akibat peningkatan sitokin proinflamasi

serta status protrombotik seiring dengan peningkatan kadar plasminogen activator

inhibitor-1 (PAI-1) serta stres oksidatif (Kahn et al., 2005).

Secara garis besar terdapat 3 tahapan utama yang berperan terjadinya RI: 1)

ikatan insulin dengan reseptor, 2) fosforilasi dari reseptor insulin, dan 3) signaling

insulin intra seluler (Giannarelli et al., 2003; Tjokroprawiro, 2003). Reseptor

insulin merupakan protein heterotetrameric terdiri dari dua subunit- pada domain

ekstraseluler dan dua subunit- β pada domain intra seluler. Pada saat terjadi ikatan

antara insulin dengan subunit-, terjadi fosforilasi subunit- dari reseptor

insulin. Autofosforilasi dari subunit- akan mengakibatkan aktivasi insulin

receptor substrate (IRS-1;-2;-3;-4). Protein ini mengatur mediator lainnya seperti

phospho-inositol-3-kinase (PI3-kinase). Peran dari IRS-1 dan IRS-2 terhadap RI

telah dibuktikan secara eksperimental dengan tikus knock-out yang dibuat secara

genetik. Aktivasi PI3-kinase mengkatalisasi terbentuknya PI-3,4,5 –fosfat yang

akan menimbulkan aktivasi PKB/AKT dan phosphatidilinositol-3,4,5-phosphate

kinase-1 (PDK-1). Fosforilasi PKB/AKT akan mengatur tahapan kinase yang

berperan terhadap transduksi signal insulin yang berperan terhadap translokasi

(45)

transport glukosa transmembran secara aktif dan fosforilasi, anti lipolisis, sintesis

glikogen dan protein, dan ekspresi gen (Youngren et al., 1999; Cefalu, 2001).

Tabel 2.

Definisi Sindroma Metabolik menurut WHO, EGIR dan NCEP (Eschwege, 2003)

Berbagai faktor diperkirakan berperan terhadap timbulnya RI pada obesitas

dan diantaranya adalah TNF-α, leptin dan ALB (Despres dan Marette, 1999;

Frűhbeck et al., 2001). Banyak penelitian secara in vivo maupun in vitro

(46)

peningkatan ekspresi dari TNF-α pada jaringan adiposa yang mengalami

pembesaran pada obesitas dan lebih jauh TNF-α dapat menurunkan ambilan

glukosa karena pengaruh insulin. Dari berbagai penelitian disimpulkan bahwa

disamping TNF-α juga dijumpai faktor lainnya ikut berperan terjadinya RI pada

obesitas (Despres and Marette, 1999). Leptin yang dihasilkan oleh jaringan adiposa

ekspresi dan sekresinya mengalami peningkatan pada obesitas. Diperkirakan

hiperleptinemia berperan untuk terjadinya RI pada obesitas. Pemaparan sel adiposit

dengan leptin dalam jangka lama akan menimbulkan gangguan terhadap transport

glukosa karena pengaruh insulin, glycogen synthase, lipogenesis, antilipolisis dan

sintesis protein. Dilain pihak peranan leptin pada RI yang berhubungan dengan

obesitas sangat komplek mengingat leptin tidak dapat bekerja langsung pada otot

skeletal yang merupakan lokasi terpenting terjadinya RI pada obesitas (Despres and

Marette, 1999).

Pada obesitas terjadi pelepasan ALB berlebihan dari jaringan adiposa

kedalam sirkulasi. Lemak viseral lebih sensitif dibandingkan dengan lemak

subkutan terhadap pengaruh lipolisis dari katekolamin dan kurang sensitif terhadap

pengaruh antilipolisis dan re-esterifikasi asam lemak dari insulin (Lewis et al.,

2002; Mittelman et al., 2002). Pada lemak viseral terjadi peningkatan komponen β

-adrenoceptor (terutama β3-AR) sebagai komponen lipolisis dan menurunnya

komponen α2-adrenoceptor (α2-AR) sebagai komponen antilipolisis (Despres dan

Marette, 1999). Masuknya ALB melalui aliran vena porta mengakibatkan

peningkatan ALB mencapai hepar. Meskipun cadangan lemak viseral hanya 20%

(47)

aliran darah hepatik berasal dari vena porta (Lewis et al., 2002). Pada obesitas

peningkatan masa lemak akan disertai peningkatan kadar ALB didalam sirkulasi.

Randle tahun 1963, pertama kali membuktikan bahwa ALB berkompetisi dengan

glukosa untuk oksidasi substrat pada jaringan otot. Peningkatan oksidasi ALB akan

menimbulkan peningkatan rasio acetyl-CoA/CoA dan NADH/NAD+ dan

menimbulkan inaktivasi piruvat dehydrogenase. Keadaan ini akan meningkatkan

konsentrasi sitrat yang selanjutnya akan menghambat phosphofructokinase dan

akumulasi glucose-6-phosphate. Peningkatan kadar glucose-6-phosphate akan

menghambat hexokinase II dan berakibat menurunnya ambilan glukosa (Roden et

al., 1996). ALB juga dapat merangsang peningkatan glukoneogenesis dan

menurunkan ambilan insulin oleh hepar (Boden et al., 2001). Hipotesis dari Randle

ini masih banyak dipertentangkan dan belum diterima sepenuhnya. Peneliti lainnya

membuat suatu unifying hypothesis, dimana peningkatan ALB akan meningkatkan

metabolit dari asam lemak intraseluler seperti diacylglycerol, fatty acyl CoA atau

ceramide yang akan mengaktifasi serine/threonine kinase cascade (mungkin

dimulai oleh protein kinase C), akan mengakibatkan fosforilasi dari

serine/threonine pada substrat reseptor insulin. Bentuk fosforilasi serin dari protein

ini tidak dapat mengaktifasi PI-3 kinase sehingga menurunkan aktifasi transport

glukosa dan aktifitas lain di bawahnya (Shulman, 2000; Boden and Laakso, 2004).

Bagaimanapun juga berbagai hipotesis yang ada masih perlu pembuktian

lebih lanjut mengenai peran ALB untuk menimbulkan resistensi insulin. ALB juga

dapat meningkatkan sekresi insulin akibat rangsangan glukosa (Shulman, 2000;

(48)

2.5 Pengukuran Resistensi Insulin

Homeostasis Assessment Model (HOMA) merupakan model matematik yang

memungkinkan untuk mengetahui sensitifitas insulin dan fungsi sel- (dinyatakan

sebagai persentase dari normal) apabila pada saat bersamaan diketahui kadar

glukosa puasa dan kadar insulin puasa. Karena sekresi insulin bersifat pulsatil,

sampel yang optimal sebaiknya berupa harga rerata dari 3 pengukuran dalam

interval 0; 5 dan 10 menit (Matthews et al., 1985)

Pengukuran RI dengan cara HOMA dihitung berdasar formula: [kadar insulin

puasa (µU/ml) x glukosa plasma puasa (mM)] 22,5. Untuk penelitian epidemiologi

sering dipergunakan sampel tunggal (Wallace dan Matthews, 2002). Sedangkan

untuk fungsi sekresi insulin dipergunakan Homeostasis Model Assessment -Cell

(HOMA-B). Pengukuran RI dengan HOMA berkorelasi kuat dengan metoda

euglycaemic hyperinsulinemic clamp (Matthews et al.,1985; Bonora et al., 2000).

Berbeda dengan metoda lainnya, HOMA mengukur resistensi insulin basal

sedangkan metoda lainnya mengukur resistensi insulin terstimulasi. Continuous

Infusion of Glucose with Model Assessment (CIGMA) merupakan model

matematik dengan menilai respon glukosa dan insulin terhadap infus glukosa

dalam dosis rendah. Infus glukosa dengan kecepatan 5 mg/kg berat badan ideal

selama 60 menit dan kadar glukosa dan insulin (atau C-peptida) diperiksa pada 50;

55 dan 60 menit (Wallace and Matthews, 2002).

Euglycaemic hyperinsulinemic clamp merupakan baku emas untuk

mengukur RI. Kadar glukosa sebelumnya dipatok dalam kadar tertentu (misalnya 5

mmol/l) dengan melakukan titrasi infus glukosa terhadap infus insulin dalam

(49)

unit dari luas tubuh daripada berdasarkan berat badan, untuk mencegah pemberian

insulin berlebihan pada individu dengan overweight. Kecepatan infus glukosa

dihitung berdasarkan kadar glukosa darah yang diukur setiap 3 sampai 5 menit

selama clamp. Apabila telah dicapai steady state, derajat RI berhubungan terbalik

dengan jumlah glukosa yang diperlukan untuk mempertahankan kadar glukosa

darah tertentu (Wallace and Matthews, 2002). Metode HOMA ternyata mempunyai

korelasi yang kuat dengan metode euglycaemic hyperinsulinemic clamp yang lebih

rumit dan mahal (Cefalu, 2001).

Timbunan lemak berlebih pada obesitas berhubungan dengan RI, demikian

juga sebaliknya pada lipodistrofi di mana terjadi difisiensi jaringan lemak, ternyata

juga diikuti dengan RI dan tingginya angka kejadian DM tipe-2. Tampaknya pada

kedua keadaan ini terdapat mekanisme sama yang mendasari terjadinya RI (Frayn,

2000).

2.6 Peranan Klasik Tulang dan Organ Endokrin

Telah lama diketahui bahwa peranan klasik tulang kerangka untuk

perlindungan organ vital seperti otak dan medula spinalis, stabilisasi tubuh dan

dukungan dalam bergerak, selain itu tulang juga dianggap sebagai tempat untuk

terjadinya hematopoesis dan sebagai organ penting dalam hemostasis kalsium dan

phosfor (Fukumoto and Martin, 2010). Pada beberapa penelitian dijelaskan selain

beberapa fungsi diatas, tulang juga memiliki fungsi lainnya yaitu sebagai organ

endokrin. Bukti terbaru menjelaskan bahwa tulang setidaknya dapat menghasilkan

dua hormon yaitu faktor pertumbuhan Fibroblast growth factor 23 (FGF23) dan

Gambar

Tabel 2.1
Tabel 2.
Mekanisme Gambar 2.1 undercarboxylated osteocalcin (ucOC) dan fibroblat growth factor 23
Gambar 2.2 Hubungan remodeling tulang, homeostasis glukosa, lipid dan metabolisme energi
+3

Referensi

Dokumen terkait

bila dib seluruh perlakuan (P berbeda sangat Perlakuan fermentas kelapa sawit ta fermentasi pelepah da Urea dan fermenta kelapa sawit + chrysosporium ( P0, berbeda

sehingga proses kegiatan pembelajaran dapat berjalan lebih baik dan aktif dengan menggunakan merode drill. b) Berdasarkan observasi terhadap siswa dalam proses pembelajaran siklus II,

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha

Hasil simulasi skenario 2 dapat dilihat pada Gambar 7, bahwa dengan upaya perluasan areal lahan dari produksi jagung nasional terlihat bahwa kebutuhan jagung selama periode simulasi

Dari refleksi tentang berbagai kegiatan yang telah dilakukan oleh POKJA maupun oleh JANMA dalam pengembangan DAS Ayung 2013, serta identifikasi berbagai

Penelitian Panigrahi (2012) yang mengukur dampak dari manajemen modal kerja terhadap profitabilitas perusahaan semen menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan negatif

sebagai Panitia Kesepahaman Kerjasama Universitas Jember dalam Penyelenggaraan Kegiatan Intemational Conference on Food, Agriculture, and Natural Resources (Fan Res) 2015

Ukuran perilaku menyimpang bukan pada ukuran baik buruk atau benar salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran longgar tidaknya norma dan nilai sosial suatu