TESIS
UNDERCARBOXYLATED OSTEOCALCIN
TIDAK BERKORELASI DENGAN RESISTENSI
INSULIN PADA OBESITAS ABDOMINAL
ANAK AGUNG ISTRI SRI KUMALA DEWI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
ii
TESIS
UNDERCARBOXYLATED OSTEOCALCIN
TIDAK BERKORELASI DENGAN RESISTENSI
INSULIN PADA OBESITAS ABDOMINAL
ANAK AGUNG ISTRI SRI KUMALA DEWI NIM 1114048102
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
iii
UNDERCARBOXYLATED OSTEOCALCIN
TIDAK BERKORELASI DENGAN RESISTENSI
INSULIN PADA OBESITAS ABDOMINAL
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Combined Degree,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
ANAK AGUNG ISTRI SRI KUMALA DEWI NIM 1114048102
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
iv
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 18 April 2016
Pembimbing I,
Prof.Dr.dr AAG. Budhiarta, Sp.PD- KEMD, FINASIM
NIP. 19441221 197206 1001
Pembimbing II,
Dr.dr. Made Ratna Saraswati, Sp.PD-KEMD, FINASIM NIP. 197006272003122001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas
Udayana
Dr. dr. G. N. Indraguna Pinatih,MSc,SpGK NIP. 195805211985031002
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
v
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal………..
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No :……….,Tanggal……
…………
Ketua : Prof. Dr. dr. AAG. Budiartha, Sp.PD-KEMD, FINASIM
Anggota :
1. Dr. dr. Made Ratna Saraswati, Sp.PD-KEMD,FINASIM
2. Prof. Dr. dr Alex Pangkahila, Sp.And
3. Dr. dr. G. N. Indraguna Pinatih,MSc,SpGK
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha esa, karena hanya atas asung
wara nugraha-Nya/ kurnianya, tesis ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih
yang sebesar- besarnya kepada Prof. Dr. dr. AAG. Budhiarta SpPD-KEMD,
FINASIM pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan
dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program
magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya
pula penulis sampaikan kepada Dr. dr. Made Ratna Saraswati SpPD-KEMD,
FINASIM pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah
memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof.
Dr. dr. Ketut Suastika SpPD-KEMD, FINASIM atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program
Magister di Universitas Udayana. Ucapan terimakasih ini juga ditujukan kepada
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat Prof. Dr. dr. A.A.
Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
menjadi mahasiswa Program S2 pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT,
M.Kes, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas ijin yang diberikan
kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program magister. Pada kesempatan
vii
Ilmu Penyakit Dalam, Prof. Dr. dr. IDN. Wibawa SpPD KGEH dan Dr. dr. I Ketut
Suega SpPD KHOM selaku Kepala Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam RSUP
Sanglah Denpasar. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para
penguji, yaitu, Prof. Dr. dr. Alex Pangkahila, Sp.And, Dr. dr. Desak Mde
Wihandani, M. Kes, Dr. dr G.N. Indraguna Pinatih, MSc. yang telah memberikan
masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti
ini.
Pada kesempatan ini ijinkan juga penulis mengucapkan terima kasih dan
penghormatan yang tulus kepada Prof. Dr. dr Tjok Raka Putra, SpPD-KR, sebagai
mantan Kepala Bagian /SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah dan
Prof. Dr. dr Ketut Suwitra, SpPD-KGH sebagai mantan Ketua Program Studi Ilmu
Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah yang pada masanya telah memberi
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan spesialisasi. Penulis juga
memberikan ucapan yang sama kepada Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati,
SpPD-KPTI sebagai pembimbing akademik penulis atas arahan dan bimbingan selama
mengikuti pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Dalam.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus
disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis,
mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan terima
kasih kepada kedua orang tua, Papa Anak Agung Gde Oka S.H, M.H. (alm) dan
Mama Ketut Ayu Budiasih Sudira, S.H, yang senantiasa memberikan dorongan
moril dan matriil. Kepada mertua saya Prof. Dr. dr A.A. Gede Agung Budhiarta,
Sp.PD-KEMD, FINASIM dan Cokorda Istri Laksmi yang tak pernah lepas
viii
pendidikan. Suami saya tercinta dr. Anak Agung Gede Agung Budhi Kusuma yang
selalu ada dalam suka dan duka, sehat maupun sakit, berat dan ringan menjalani
bahtera rumah tangga dan pendidikan spesialis ini. Kedua buah hati saya tersayang
Anak Agung Istri Agung tyarina Nadeswari dan Anak agung Gede Agung Raditya
Kusuma yang telah limpahan kebahagiaan dan pengertian selama menjalani masa
pendidikan, Adik saya Anak Agung Gede Putra Giarta, SE dan Anak Agung Istri
Kartika Sari, SS yang selalu mendukung dan memotivasi penulis agar dapat
menyelesaikan pendidikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih pada rekan
residen seperjuangan terimakasih atas motivasi dan persahabatan yang kalian
berikan selama ini. Juga kepada paramedis, staf tata usaha Bagian /SMF Ilmu
Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah atas segala bantuan serta kerjasama yang
baik selama menjalani pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Dalam.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa selalu
melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan
dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga.
ix
UNDERCARBOXYLATED OSTEOCALCIN
TIDAK BERKORELASI DENGAN RESISTENSI INSULIN PADA OBESITAS ABDOMINAL
ABSTRAK
Angka obesitas semakin meningkat dan saat ini telah mencapai tingkatan epidemi diseluruh dunia. Sindroma metabolik merupakan kumpulan dari obesitas abdominal, gangguan toleransi glukosa, hipertensi dan dislipidemia. Obesitas abdominal dan resistensi insulin merupakan patofisiologi utama terjadinya sindroma metabolik dan komponen lainnya. Dahulu obesitas abdominal dikatakan berhubungan dengan tingginya masa tulang dan perlindungan terhadap kerusakan tulang yang berkaitan dengan penuaan, namun sebaliknya saat ini resistensi insulin dibuktikan memiliki hubungan yang sangat kuat dengan adanya imflamasi lowgrade yang berkaitan dengan resorbsi tulang.
Beberapa penelitian yang pada studi binatang melaporkan bahwa osteocalcin merupakan suatu hormon yang dihasilkan oleh osteoblast pada tulang yang memiliki peran dalam mengatur homeostasis glukosa. Pada manusia peran osteocalcin sendiri memang masih diperdebatkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi tersebut pada manusia dan membuktikan ucOC yang merupakan bentuk aktif osteocalcin memiliki peran dalam mengatur sekresi dan sensitivitas insulin, yang nantinya akan terdapat hubungan terbalik antara ucOC dan resistensi insulin (HOMA-IR).
Penelitian ini merupakan studi observasional analitik potong lintang. Perekrutan sampel dilakukan secara acak konsekutif yang menjalani General Check Up di Laboratorium Klinik Prodia Denpasar. Subyek merupakan pasien obesitas abdominal yang dipilih dengan consecutive sampling. Subjek diambil darah setelah puasa 8 jam untuk mengetahui kadar ucOC dan HOMA-IR.
Sebanyak 70 subyek (26 orang laki-laki dan 44 orang perempuan) yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Dari 70 orang sampel, 3 orang dikeluarkan karena memiliki nilai outlier. Enam puluh tujuh subyek penelitian yang dianalisa memiliki rerata kadar HOMA-IR serum adalah 2,27±1,59. Kadar rerata ucOC adalah 4,18±2,25 ng/ml. Dilakukan uji korelasi Pearson antara ucOC dengan HOMA-IR didapatkan nilai koefisien korelasi adalah r = 0,22 p = 0,074, yang berarti tidak terdapat korelasi secara statistik.
Tidak terdapat korelasi antara ucOC dengan iesistensi Insulin (HOMA IR) pada Obesitas Abdominal.
x
UNDERCARBOXYLATED OSTEOCALCIN DOES NOT CORRELATE WITH INSULIN RESISTANCE IN ABDOMINAL OBESITY
ABSTRACT
Obesity has reached epidemic proportions globally, and all this evidence suggests that the situations are likely to get worse. Metabolic syndrome is characterized by abdominal obesity, impaired glucose tolerance, hypertension and dyslipidemia. Abdominal obesity and insulin resistance appear to be at the core of the pathophysiology of metabolic syndrome and its components. Abdominal obesity are associated with high bone mass and protect against excessive aging related bone loss. Conversely, insulin resistance is strongly associated with lowgrade inflammation that results increase bone resorption.
In animal studies showed there were relationship specific hormone osteocalcin produce by osteoblast with insulin resistance, but the result is still debated in human studies. This study was conducted to determine the relationship of active form osteocalcin which is ucOC has a role in regulating the secretion and sensitivity of insulin, which will be found an inverse relationship between ucOC with insulin resistance (HOMA-IR).
This research using crossectional analytic study samples were taken by consecutive sampling from who underwent general medical check up at Prodia Clinical Laboratory Denpasar. Samples are patients with abdominal obesity and appropriate with inclusion and exclusion criteria. A total of 70 patients conducted and 3 of them out from this research because had outlier value. Mean levels of HOMA-IR serum was 2.27 ± 1.59 pm / ml. Mean levels of ucOC is 4.18 ± 2.25 ng /ml. Pearson correlation test between ucOC with HOMA IR obtained a correlation coefficient was r = 0.22 p = 0.074, which means there is no statistically significant correlation.
There is no correlation between ucOC with insulin resistance (HOMA IR) on Abdominal Obesity.
Keywords: ucOC, HOMA IR, Abdominal Obesity
xi
2.1.3 Pengaruh Obesitas Terhadap Kesehatan ... 10
2.1.4 Pengukuran dan Klasifikasi Obesitas ... 17
2.1.5 Pengukuran Distribusi Lemak ... 19
2.2 Fungsi jaringan Adiposa ... 22
2.3 Hubungan Lemak Visceral dengan Sindroma Metabolik ... 23
2.4 Mekanisme Resistensi Insulin pada Obesitas Abdominal ... 25
2.5 Pengukuran Resistensi Insulin ... 30
2.6 Peranan Klasik Tulang dan Organ Endokrin ... 31
2.6.1 Tulang dan Insulin ... 33
xii
2.6.3 Bioaktivitas Osteocalsin ... 41
2.6.4 Sintesis dari Osteocalsin dan undercarboxylated Osteocalsin ... 42
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 44
3.1 Kerangka Berpikir ... 44
3.2 Konsep Penelitian ... 45
3.3. Hipotesis Penelitian ... 45
BAB IV METODE PENELITIAN ... 46
4.1 Rancangan Penelitian ... 46
4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 46
4.2.1 Populasi untuk rancangan analytical cross-sectional study ... 46
4.2.2 Sampel ... 47
4.2.2.1 Kriteria Inklusi ... 48
4.2.2.2 Kriteria Ekslusi ... 48
4.2.3 Besar Sampel untuk penelitian analytical cross-sectional study ... 48
4.2.4 Teknik Pengambilan Sampel ... 48
4.3 Variabel Penelitian ... 49
4.3.1 Definisi Variabel Operasional ... 49
4.4 Bahan Penelitian ... 53
4.5 Prosedur Pemeriksaan ... 54
4.5.1 Pengukuran Lingkar Pinggang ... 54
4.5.2 Pemeriksaan Kadar Insulin ... 54
4.5.3 Pemeriksaan Glukosa Darah ... 55
4.5.4 Pemeriksaam kolesterol-HDL ... 55
4.5.5 Pemeriksaan trigliserida...55
4.5.6 Pemeriksaan kadar undercarboxylated Osteocalcin (ucOC ... 55
4.5.7 Pengukuran tekanan darah ... 56
4.5.8 Pengukuran serum kreatinin... 56
4.5.9 Pemeriksaan SGOT dan SGPT ... 57
4.5.10 Pemeriksaan tinggi badan ... 57
xiii
4.6. Lokasi dan Waktu Penelitian ... .57
4.7 Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data ... .57
4.8 Alur Penelitian ... .59
4.9 Analisis Data Statistik... 60
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 61
5.1 Hasil Penelitian ... 60
5.2 Hubungan antara ucOC dengan Resistensi Insulin (HOMA IR) pada Obesitas Abdominal ... 63
5.3 Keterbatasan Penelitian ... 71
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN...73
6.1 Simpulan...73
6.2 Saran...73
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Peranan osteoblast pada tulang menghasilkan undercarboxylated osteocalcin (ucOC) dan fibroblat growth factor 23 (FGF23)
sebagai hormon pada tulang ... 32
Gambar 2.2 Hubungan remodeling tulang, homeostasis glukosa, lipid dan metabolisme energi ... 33
Gambar 2.3 Mekanisme kerja dari insulin dan OC ... 36
Gambar 2.4 Pengaruh OC pada metabolisme energi ... 42
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian... 46
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian ... 47
Gambar 4.2 Alur Penelitian ... 59
Gambar 5.1 Grafik Scatter Plot Korelasi antara kadar ucOC dengan Resistensi Insulin (HOMA-IR) pada Obesitas Abdominal ... 66
Gambar 5.2 Grafik yang menunjukkan perbedaan kadar ucOC pada kelompok perlakuan dan kontrol terhadap pemberiaan suplementasi vitamin K ... 69
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Klasifikasi kelebihan berat badan pada orang Asia
dewasa berdasarkan IMT ... 19
Tabel 2. Definisi Sindroma Metabolik menurut WHO, EGIR dan NCEP .. 22
Tabel 4.1 Index Wayne, diagnosis Hipertiroidisme berdasarkan
gejala dan tanda ... .52
Tabel 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian………... 61 Tabel 5.2 Hasil Analisis Korelasi antara ucOC dengan Resistensi Insulin
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Informed Consent ... 84
Lampiran 2. Formulir Persetujuan Tertulis……… 87
Lampiran 3. Kuisioner Penelitian……… .. 88
Lampiran 4. Surat Kelaikan Etik………. 93
Lampiran 5. Lampiran Hasil Analisis Statistik……… .. 94
Lampiran 6. Rencana dan Jadwal Penelitian ... 95
\Lampiran 7. Anggaran Penelitian ... 96
xvii
HbA1c = Glycosylated hemoglobin
HDL = High Density Lipoprotein
HOMA = Homeostasis model assesment
HOMA-IR = Homeostasis model assesment-insulin resistance
hsCRP = High sensitivity C-reactive protein
IL-1 = Interleukin-1
OST-PTP = Osteocalcin protein tyrosine phosphatase
PAI-1 = Plasminogen activator inhibitor-1
xviii RI = Resistensi Insulin
RPP = rasio pinggang pinggul
SM = Sindrom Metabolik
TG = Trigliserida
TGF-1 = Transforming growth factor-1
TNF- = Tumor necrosis factor-
ucOC = undercarboxylated Osteocalsin
ucOC% = Presentase undercarboxylated Osteocalsin
VLDL = very low density lipoprotein
WHO = World Health Organization
B A B I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Angka kejadian obesitas meningkat dan telah mencapai tingkatan epidemi
di seluruh dunia. Sejalan dengan itu angka kejadian sindroma metabolik (SM) juga
meningkat. Di Amerika Serikat angka kejadian SM telah mencapai 39%. SM
ditandai dengan obesitas abdominal, gangguan toleransi glukosa, hipertensi dan
dislipidemia. Patofisiologi dari SM belum sepenuhnya diketahui tetapi obesitas
abdominal dan resistensi insulin berperan untuk terjadinya SM (Magalhaes et al.,
2013).
Obesitas sering berhubungan dengan meningkatnya masa tulang dan
memberi perlindungan terhadap kehilangan masa tulang yang progresif pada usia
tua. Sebaliknya resistensi insulin berhubungan dengan low-grade inflammation
yang menimbulkan peningkatan resorbsi tulang (Muhlen et al., 2007; Zhao et al.,
2013). Keadaan ini mengakibatkan berbagai penelitian menghasilkan kesimpulan
yang saling bertentangan mengenai hubungan antara SM dengan osteoporosis
disamping perbedaan kriteria SM yang dipergunakan dan perbedaan cara
pengukuran bone mineral density (Muhlen et al., 2007; Zhao et al., 2013). Dari
berbagai hasil penelitian klinis maupun binatang dapat disimpulkan bahwa
remodeling tulang dan metabolisme energi diatur oleh hormon yang sama (Lee et
Sejak lama dikenal peran klasik dari tulang sebagai organ yang penting
untuk proteksi, stabilisasi, penunjang mobilisasi tubuh, berperan sebagai tempat
untuk hemopoesis, mengatur keseimbangan kadar kalsium dan fosfat (Schwetz et
al., 2012). Tulang merupakan sebuah organ besar dan memerlukan banyak energi
karena secara berkesinambungan mengalami proses remodeling. Untuk
memfasilitasi proses ini tulang mengandung dua jenis sel yaitu osteoklast dan
osteoblast yang bekerja secara berlawanan (Ducy, 2011; Veldhuis-Vlug et al.,
2013). Keduanya ditentukan berdasarkan molekul yang dihasilkan berupa sitokin
yang bekerja lokal atau hormon yang bekerja secara sistemik (Lee et al., 2007).
Berbagai penelitian terakhir membuktikan bahwa tulang memiliki peran
yang penting untuk mengatur metabolisme glukosa dan lemak melalui protein yang
dihasilkan oleh osteoblast selama pembentukan tulang (Magalhaes et al., 2013).
Tulang, jaringan adiposa, pankreas dan sistim saraf pusat melakukan interaksi satu
dengan lainnya untuk mengatur berat badan dan mengatur pemakaian energi dan
metabolisme glukosa melalui kerja dari hormon yang dihasilkan secara spesifik
oleh osteoblast (Wah Ng, 2011; Alfadda et al., 2012).
Peranan endokrin dari tulang pertama kalinya diungkap pada mencit yang
mengalami defisiensi embryonic stem cell phosphatase (Esp) yaitu gen yang
menyandi protein tyrosine phosphatase (OST-PTP). Gen Esp diekpresikan pada
osteoblast dan penelitian pada mencit dengan global (Esp-/-) atau gen Esp
diinaktifasi seluruhnya, atau osteoblast-specific (Esposb-/-) knockout Esp akan mati
segera setelah lahir karena mengalami hipoglikemia yang berat. Penelitian
pankreas, sekresi insulin dan peningkatan kadar adiponektin. Disamping itu mencit
Esp-/- disertai peningkatan sensitifitas insulin pada jaringan otot dan jaringan lemak.
Mencit ini juga disertai kandungan lemak viseral lebih sedikit, peningkatan area
mitokondria jaringan otot, peningkatan kadar protein yang berhubungan dengan
biogenesis mitokondria yang memperlihatkan peningkatan pemakaian energi
(Ferron et al., 2010). Penelitian pada mencit ini membuktikan bahwa osteoblast
adalah sel endokrin yang dapat mengatur metabolisme energi karena
mempengaruhi sekresi dan kepekaan jaringan terhadap insulin. Protein yang dikode
oleh gen Esp adalah tyrosine phosphatase intraseluler dan memiliki fungsi
metabolik dengan menghambat kerja dari osteocalcin (Ferron et al., 2010).
Sebaliknya mencit dengan osteocalcin knockout (OC-/-) memiliki fenotipe
metabolik yang berlawanan dengan mencit dengan Esp-/- tidak dapat
mensekresikan osteocalcin (OC) suatu protein spesifik dihasilkan oleh osteoblast
akan mengalami penurunan sel-β, peningkatan kadar glukosa, dan penurunan kadar
insulin bila dibandingkan dengan mencit wild-type. Dengan menghilangkan allele
OC dari mencit yang mengalami Esp-/- akan disertai dengan perbaikan dari fenotipe
metaboliknya (Lee et al., 2007; Wah Ng., 2011).
Osteoblast mensekresi molekul OC ke dalam sirkulasi sebagai petanda dari
pergantian tulang dan dapat mempengaruhi homeostasis glukosa (Confavreux et
al., 2009; Schwetz et al., 2012). Sekresi OC oleh osteoblast melalui beberapa
tahapan modifikasi post-translational melalui vitamin-K dependent dimana 3
glutamic acid residue mengalami carboxylated sehingga memungkinkan protein ini
(cOC) dan undercarboxylated OC (ucOC) dan dipergunakan sebagai biomarker
pembentukan tulang (Shea et al., 2009; Ducy, 2011). Penelitian in vitro
membuktikan bahwa cOC adalah bentuk yang tidak aktif dari osteocalcin
sedangkan bentuk yang aktif adalah ucOC (Ducy, 2011; Schwetz et al., 2012). Dari
hasil penelitian pada mencit dapat disimpulkan bahwa inaktifasi Esp pada
osteoblast akan meningkatkan sekresi ucOC dari tulang dan mengakibatkan
terjadinya hipoglikemi disertai menurunnya adipositas sebagai akibat dari
peningkatan proliferasi sel-β pankreas, sekresi insulin dan memperbaiki sensitifitas
insulin. Diperkirakan ucOC berperan penting pada metabolisme energi seperti
proliferasi sel-β pankreas, sekresi insulin, sensitifitas insulin dan konsumsi energi
sehingga jaringan tulang berpengaruh langsung terhadap metabolisme energi
(Schwetz et al., 2012).
Penelitian pada mencit yang mengalami defisiensi OC total akan disertai
peningkatan masa lemak viseral, penurunan sekresi insulin, resistensi insulin dan
gangguan toleransi glukosa. Sebaliknya mencit dengan peningkatan kadar ucOC
karena delesi gen Esp, yang mengkode protein yang bertanggung jawab
terbentuknya cOC, memperlihatkan peningkatan sekresi insulin, proliferasi sel-β
pankreas, meningkatkan sensitifitas insulin dan menurunkan masa lemak (Ferron et
al., 2010; Magalhaes et al., 2013).
Penelitian pada binatang juga membuktikan bahwa dibandingkan dengan
mencit wild-type, mencit dengan OC-/- knockout mengalami peningkatan masa
lemak viseral, kadar trigliserida, resistensi insulin, penurunan sekresi insulin dan
Garcia-Martin et al., 2013). Infus dengan rekombinant OC pada mencit wild-type
memperbaiki toleransi glukosa dan meningkatkan sekresi insulin dan mencit
dengan diit tinggi lemak setelah pemberian recombinant OC akan menurunkan
berat badan dan resistensi insulin (Veldhuis et al., 2013).
Penemuan ini memiliki implikasi klinis yang penting sehingga menarik
untuk dilakukan penelitian klinis lebih lanjut seperti pada penderita DMT2 atau
SM. Jika ucOC memegang peranan yang sama untuk mengatur homeostasis
glukosa pada manusia seperti yang diperlihatkan pada mencit akan terjadi
hubungan yang terbalik antara kadar serum ucOC dengan kadar insulin puasa,
glukosa, HbA1c, kadar adiponektin dan resistensi insulin seperti HOMA-IR pada
penderita DMT2 atau SM (Wah Ng, 2011).
Beberapa penelitian sebelumnya pada manusia membuktikan bahwa adanya
hubungan terbalik antara kadar OC dengan kadar gula darah puasa, insulin basal,
glycosylated hemoglobin (HbA1c), indek resistensi insulin (HOMA), high
sensitivity C-reactive protein (hsCRP), interleukin-6 (IL-6), IMT, persentase lemak
tubuh dan kadar adiponektin (Garcia-Martin et al., 2013).
Diperkirakan bahwa OC mengatur sekresi insulin dan sensitifitas insulin
dan OC sebagai faktor yang berperan untuk terjadinya MS (Magalhaes et al.,
2013), namun sebenarnya hasil tersebut hingga saat ini masih diperdebatkan karena
penelitian dengan skala besar dengan studi kohort menunjukkan tidak ada
hubungan antara osteocalcin dengan resiko terjadinya DMT2 (Swakerberg et al.,
2015). Pada penelitian skala besar lainnya yang dilakukan di Korea yang
ditemukan korelasi antara kadar ucOC pada insiden DMT2 pada subjek laki-laki
paruh baya (Hwang et al., 2012).
Kebanyakan penelitian klinis yang membuktikan adanya hubungan antara
osteocalcin dan komponen SM seperti resistensi insulin menggunakan jumlah
sampel yang minimal dan lebih banyak mempergunakan pengukuran dengan kadar
OC total sedangkan penelitian pada mencit lebih banyak mempergunakan kadar
ucOC (Hwang et al., 2012 dan Swakerberg et al., 2015).
1.2 Rumusan Masalah
Remodeling tulang adalah suatu proses yang memerlukan energi dan
berlangsung berkesinambungan untuk mempertahankan masa tulang konstan pada
usia dewasa. Osteoblast menghasilkan protein OC di dalam sirkulasi terdiri dari
cOC dan ucOC. Berbagai studi pada mencit membuktikan bahwa ucOC adalah
bentuk yang aktif dan dapat mempengaruhi metabolisme energi, resistensi insulin,
sekresi insulin dan obesitas. Berbagai penelitian klinis dengan meneliti hubungan
OC terhadap sekresi insulin, kadar glukosa darah dan sensitifitas insulin
menunjukkan hasil yang masih saling bertentangan. Sedangkan selama ini
penelitian mengenai peran ucOC kebanyakan dikerjakan pada mencit dan hasil
penelitian pada manusia hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan uraian ringkas pada latar belakang masalah tersebut dapat
dirumuskan permasalah sebagai berikut :
Apakah kadar ucOC berkorelasi dengan resistensi insulin (HOMA-IR) pada
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui korelasi antara ucOC dengan resistensi insulin pada Ob-Ab
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademik
Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang hasilnya diharapkan dapat
menambah wawasan dan pengetahuan kita khususnya pada ilmu kedokteran
tentang korelasi antara ucOC dengan Resistensi Insulin (HOMA-IR) pada obesitas
abdominal. Karena pada penelitian ini tidak terbukti adanya korelasi antara ucOC
dengan resistensi insulin (HOMA-IR) pada pasien Ob-Ab diharapkan penelitian ini
dapat memberikan acuan awal pada penelitian selanjutnya dan penegasan bahwa
belum terbuktinya peranan tulang sebagai organ endokrin yang dapat mengatur
metabolisme glukosa pada manusia.
1.4.2 Manfaat Praktis
Pada penelitian ini belum terbukti peran ucOC berkorelasi dengan resistensi
insulin (HOMA-IR) pada obesitas abdominal maka berbagai usaha yang dilakukan
untuk meningkatkan kadar OC terutama ucOC yang berhubungan dengan
kemungkinan perbaikan toleransi glukosa pada pasien DMT2 atau menurunkan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obesitas
Obesitas merupakan terjadinya timbunan lemak berlebihan atau abnormal
didalam tubuh akibat ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran kalori dan
dapat mengganggu kesehatan sedangkan overweight merupakan jumlah berlebihan
dari berat badan seseorang yaitu termasuk air, lemak, otot dan tulang. Obesitas
disini dapat terjadi jika ukuran dan jumlah sel-sel lemak tubuh seseorang
meningkat (WHO, 2006).
Definisi operasional dari obesitas dan berat badan berlebih merupakan
perhitungan indeks masa tubuh (IMT) yang sangat berhubungan dengan
perlemakan di dalam tubuh. Suatu cut-off diambil dari IMT untuk definisi obesitas
dapat berdasarkan atas (1) data statistik yang diperoleh dari populasi tertentu atau
(2) berdasarkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan
peningkatan dari lemak tubuh (WHO, 2006).
Obesitas merupakan suatu keadaan epidemi yang saat ini menjadi masalah
serius bagi dunia kesehatan. Dikatakan prevalensi obesitas telah meningkat
sebanyak tiga kali lipat selama tiga hingga empat dekade belakangan ini. Obesitas
sendiri merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat penting karena
berhubungan erat dengan metabolisme dan penyakit kardiovaskular (Bigaard et al.,
2005; Baum et al., 2008; Suastika, 2008).
2.1.1 Etiologi Obesitas
Obesitas itu sendiri merupakan persoalan yang terjadi akibat terjadinya
genetik, sosial dan kebudayaan. Ketidakseimbangan energi tersebut timbul
bilamana asupan energi (makanan) melebihi dari penggunaan energi total (WHO,
2006).
Perbedaan antara asupan dan penggunaan energi terutama dikatakan oleh
perubahan banyaknya simpanan lemak (triasilgliserol) pada organ penyimpan
utama yaitu jaringan lemak putih (Trayhurn, 2008). Akumulasi lemak akan terjadi
pada bagian tubuh yang tidak diinginkan seperti jantung, hati, pankreas dan otot
skeletal jika suatu individu tidak dapat menyimpan kelebihan energi yang
dihasilkan pada jaringan adiposa subkutannya (Despres et al., 2006 dan Despres et
al., 2008).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya obesitas biasanya
bekerja secara kombinasi diantaranya diet, merokok, kehamilan, kurangnya
aktivitas fisik, penggunaan obat-obatan tertentu dan juga memiliki masalah
kesehatan tertentu (Trayhurn, 2008). Adanya penurunan dari berbagai hormon
akibat penuaan seperti hormon pertumbuhan dan produksi testosteron dapat juga
dikatakan meningkatkan akumulasi dari lemak, penurunan masa otot, dan
keseimbangan energi (Villareal, et al., 2005).
2.1.2 Epidemiologi Obesitas
Pada tahun 2015, World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih
dari 2,3 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan lebih dari 700 juta
orang akan mengalami obesitas (WHO, 2014). Obesitas semula hanya menjadi
perhatian pada Negara-negara yang memiliki pendapatan perkapita yang tinggi,
negara-negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah terutama di
daerah urban (WHO, 2014). Di negara maju seperti Eropa, Amerika Serikat dan
Australia prevalensi orang dengan obesitas dan overweight tampaknya mempunyai
kecenderungan akan semakin meningkat dan telah mengenai sekitar 50-65 persen
populasi, juga meningkat secara ekstrim di beberapa negara seperti Meksiko, Mesir
dan populasi hitam di Afrika Selatan. Prevalensi tertinggi obesitas ditemukan pada
beberapa pulau-pulau daerah Pasifik, dan daerah Timur Tengah (WHO, 2014).
Beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, prevalensi obesitas dan kelebihan
berat badan mengalami peningkatan setiap tahunnya sebesar 0,5 persen, sedangkan
negara-negara Asia, Amerika Latin dan Timur Tengah sebesar 1,5-2 persen
(Mokdad, et al. 2001).
2.1.3 Pengaruh Obesitas terhadap Kesehatan
Seseorang dengan obesitas kemungkinan akan mengalami lebih banyak
masalah terhadap kesehatannya dibandingkan dengan seseorang yang memiliki
berat badan normal (Yanovski, 2002). Dari berbagai penelitian terbukti bahwa
obesitas sendiri merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap beberapa
penyakit yang tidak menular diantaranya hipertensi, DMT2, penyakit
kardiovaskular, osteoartritis, stroke, dan beberapa penyakit keganasan (kolon,
rektum, esofagus, ginjal, payudara, dan prostat) (WHO, 2014). Meskipun secara
keseluruhan telah dibuktikan mengenai beberapa pengaruh yang merugikan dari
obesitas terhadap kesehatan, obesitas sendiri sejak lama masih membingungkan
para klinisi karena sangat penyebab dan mekanismenya sangat luas. Beberapa
lipoprotein-lemak plasma yang normal, dan euglikemia, sedangkan beberapa orang lainnya
dengan berat badan yang normal kadangkala mengalami kelainan profil faktor
resiko metabolik (Depres et al., 2006).
Berbagai publikasi sejak 15 tahun terakhir telah membuktikan bahwa
sekelompok penderita obesitas yang ditandai dengan timbunan lemak berlebih di
daerah abdominal memiliki risiko tinggi untuk menderita DMT2, dislipidemia,
hipertensi dan penyakit kardiovaskuler (Despress dan Marette, 2008).
Meningkatnya prevalensi obesitas seluruh dunia mungkin mendorong prevalensi
DMT2 menjadi lebih tinggi (WHO, 2014).
Beberapa dekade terakhir telah membuktikan adanya hubungan antara
aktivitas fisik dengan SM. Kurangnya aktivitas fisik atau sendentary life akan
meningkatkan resiko terjadinya obesitas dan meningkatkan resiko terjadinya
beberapa penyebab kematian, penyakit kronik dan disabilitas (Pergola et al., 2013).
Dampak obesitas yang baru-baru ini diteliti yakni obesitas yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya 20% kejadian kanker di Amerika. Hubungan antara
obesitas dan meningkatnya resiko kanker dikarenakan berbagai penyebab salah
satunya dari parameter antropometrik dan faktor pola hidup. Parameter antopometri
termasuk BMI, peningkatan berat badan, total lemak tubuh khususnya lemak
abdominal, pola hidup termasuk sedentary lifestyle, parameter diet termasuk
makanan berkalori tinggi dan diet berkualitas rendah yang diduga berperan sebagai
faktor predisposisinya. Beberapa jenis kanker yang kemungkinan berkaitan dengan
kejadian obesitas yakni kanker esofagus, payudara, endometrium, ginjal, pankreas,
pada obesitas belum jelas diketahui, diperkirakan adanya produksi hormon yang
berlebihan, meningkatnya insulin, insulin growth factor, dan low grade
imflammation sebagai faktor pencetus (Pergola et al,. 2013).
2.1.3.1 Obesitas dan Hipertensi
Penelitian pada tahun 1959 telah menunjukkan adanya hubungan langsung
antara hipertensi dengan berat badan yang berlebihan. Penelitian oleh Rahmouni et
al, 2005 juga menemukan adanya kenaikan tekanan darah pada dewasa muda yang
mempunyai berat badan berlebih atau obesitas. Selain itu beberapa penelitian
epidemiologi telah membuktikan pula adanya hubungan yang linier antara obesitas
dan hipertensi, hubungan kausalnya memang belum dapat diketahui dengan pasti,
namun dalam pengamatan selanjutnya apabila penderita obesitas tersebut di
turunkan berat badannya maka tekanan darahnya akan turun, oleh karena itu timbul
beberapa teori yang dikemukakan mengenai adanya hubungan tersebut, diantaranya
yaitu adanya mekanisme hemodinamik. Penelitiannya juga mendapatkan bahwa
adanya peningkatan stroke volume dan cardiac output pada penderita obesitas bila
dibandingkan dengan yang bukan obesitas dan juga didapatkan peningkatan
tahanan perifer pembuluh darah penderita obesitas normotensi bila dibandingkan
dengan penderita yang bukan obesitas. Sehingga timbul pendapat bahwa
peningkatan stroke vulume, cardiac output dan peningkatan tahanan perifer
memegang peranan penting dalam terjadinya hipertensi pada obesitas.
Peranan aktivitas saraf simpatis, juga dikatakan sebagai faktor yang
berperan pada obesitas dengan hipertensi ditunjukkan pada penderita perempuan
darah dan denyut jantung serta pada pemeriksaan urinenya terdapat peningkatan
sisa-sisa metabolisme katekolamin, sehingga timbul pendapat bahwa peningkatan
katekolamin merupakan akibat dari aktivitas saraf simpatis yang meningkat.
Adanya peranan pada sistem endokrin yang diduga ikut berperan dalam
proses hipertensi pada obesitas terlihat pada adanya peningkatan kadar insulin dan
aldosteron dalam plasma penderita obesitas. Aldosteron akan mengurangi ekskresi
natrium di dalam glomerulus, begitu juga insulin pada percobaan binatang dengan
jelas mengurangi pula sekresi natrium dalam glomerulus, dalam beberapa hal
keadaan ini diperkirakan juga terjadi pada manusia, sehingga adanya peningkatan
insulin dan aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dalam darah yang
mengakibatkan terjadinya peningkatan volume darah, dan nantinya menyebabkan
hipertensi. Para peneliti tersebut sepakat bahwa menurunkan berat badan akan serta
merta dapat menurunkan tekanan darah (Rahmouni et al., 2015).
2.1.4.2 Obesitas dan Penyakit Jantung Iskemik
Penelitian Krauss et al., 1998 menunjukkan meningkatnya resiko kematian
mendadak yang sangat mencolok baik pada pria ataupun wanita dengan obesitas.
Wanita obesitas mempunyai resiko 13 kali lebih banyak mengalami kematian
mendadak dan kesakitan dibandingkan dengan wanita yang tidak obesitas. Hasil
penelitian tersebut timbul dugaan apakah obesitas berpengaruh langsung terhadap
terjadinya arteriosklerosis koroner. Pada penelitian terhadap binatang yang dibuat
obesitas ternyata peningkatan terjadinya arteriosklerosis tidak dapat dibuktikan.
Sehubungan dengan keadaan tersebut maka diadakan pengamatan pada penderita
koronaria, ternyata tidak terbukti pada pemeriksaan bedah mayat. Oleh karena itu
arteriosklerosis tidak berhubungan dengan kenaikan berat badan. Ada pendapat
bahwa obesitas tidak langsung menyebabkan terjadi arteriosklerosis koroner, tetapi
hanya merupakan tambahan risiko terjadinya serangan penyakit jantung koroner.
2.1.4.3 Obesitas dan Diabetes Melittus
Obesitas ternyata juga mempengaruhi sistem metabolism glukosa dan
energi, dan yang sering terjadi adalah hubungan langsung antara obesitas dengan
kejadian diabetes melitus. Pada obesitas kemungkinan terkena diabetes melitus 2,9
kali lebih sering bila dibandingkan orang yang tidak obesitas. Di Amerika telah
dilaporkan pula bahwa penderita obesitas yang umumya 20 - 45 tahun mempunyai
kecenderungan terkena diabetes melitus 3,8 kali lebih sering bila dibandingkan
dengan penderita yang berat badannya normal. Sedangkan yang umurnya 45 - 75
tahun kecenderungan terjadinya diabetes melitus 2 kali lebih sering daripada yang
memiliki berat badannya normal. Dikemukakan pula bahwa penderita obesitas
sering mengalami hiperglikemia tetapi dalam keadaan hiperinsulinisme, keadaan
ini mungkin karena adanya resistensi insulin yang meningkat atau kurang pekanya
reseptor insulin terhadap adanya keadaan hiperglikemia. Beberapa penelitian yang
menyebutkan bahwa pada penderita diabetes dengan obesitas, kelainan dasarnya
adalah gangguan sekresi insulin. Sekresi insulin dikatakan terhambat sehingga
kadar glukosa darah tidak dapat dikontrol dengan baik dan terdapat peningkatan
sekresi insulin sehingga cenderung terjadi hiperinsulinisme yang disertai dengan
peningkatan resistensi insulin. Disamping itu hiperglikemia dan hiperinsulinemia
peningkatan hormon yang bersifat antagonis terhadap insulin atau berkurangnya
jumlah reseptor insulin yang sensitif pada membran sel.
2.1.4.4 Obesitas dan Gangguan Pernafasan
Pada penderita obesitas terdapat timbunan lemak pada rongga dada dan
rongga perutnya sehingga akan menyebabkan gangguan proses pernafasan oleh
karena itu pada obesitas cenderung terjadi penurunan kapasitas vital paru yang
akan mengakibatkan penurunan fungsi paru. Kelainan ini bila dalam keadaan berat
dengan tanda-tanda somnolen dan hipoventilasi disebut dengan Pickwickian
syndrome. Keadaan ini akan menghilang bila penderita menurunkan berat
badannya.
2.1.4.5 Obesitas dan Kelainan Sendi
Setiap peningkatan berat badan lebih dari normal akan menimbulkan beban
yang berlebihan pada sendi penyangga berat badan, dan ini cenderung
menyebabkan trauma ringan tetapi terus-menerus dan akan berakhir menjadi
osteoartrosis (OA) baik primer ataupun sekunder. Conway dan Mc Carthy, 2015
dalam penelitiannya atas populasi penduduk yang dibagi menjadi 4 grup, ternyata
grup yang mempunyai berat badan berlebihan dengan umur makin tua cenderung
lebih cepat menderita OA memerlukan operasi penggantian sendi. Beberapa
mekanisme termasuk mekanikal, epigenetik, peranan sitokin-sitokin pro imflamasi
seperti VEGF, IL-6, TNF-A, penurunan adiponektin yang menurun diperkirakan
sebagai penyebab terjadinya osteoarthritis pada obesitas. Sendi yang terkena adalah
sendi penyangga berat badan yaitu punggung, pangkal paha, lutut dan pergelangan
2.1.4.6 Obesitas dan Defisiensi Hormon Testosteron
Defisiensi testosteron sering under diagnosis oleh karena tidak ada gejala
dan tanda yang spesifik. Gejala dan tanda defisiensi testosteron umumnya
diketahui pada kondisi yang sudah lanjut sehingga akan mempengaruhi prognosis
dan kualitas hidup penderita. Gejala dan tanda defisiensi testosteron dapat berupa;
menurunnya libido, menurunnya aktifitas seksual, berkurangnya massa dan
kekuatan otot, disfungsi ereksi, lemah / low energy dan depresi (Jones , 2007 ;
Mendonca et al., 2014). Assosiasi yang substansial / signifikan yang banyak
dilaporkan adalah antara kadar testosteron yang rendah dengan risiko penyakit
kardiovaskuler, seperti misalnya obesitas, resistensi insulin, inflamasi vaskuler,
hipertensi dan aterosklerosis (Bajos et al., 2010 ; Corona et al., 2011 ; Wang et al.,
2011).
Defisiensi testosteron belakangan banyak dibahas dan merupakan prediktor
yang penting dari kejadian kardiovaskuler di masa yang akan datang (Ohisson et
al., 2011 ; Wang et al., 2011).
Obesitas merupakan proinflammatory state oleh karena jaringan adipose
mensekresi berbagai substansi seperti sitokin proinflamasi, adipokin, FFA(Free
Fatty Acid) dan estrogen. Semua substansi tersebut memberikan kontribusi pada
perkembangan SM, DM tipe-2 seperti halnya pada kondisi defisiensi androgen
Visceral fat merupakan jaringan yang aktif mensekresi (active secretory
tissue) sitokin proinflamasi, adipokin, modulator biokimiawi dan faktor
proinflamatori lainnya seperti IL-6, IL-1β, PAI-1, TNFα, angiotensinogen,
vascular endothelial growth factor (VEGF) dan serum amyloid A (Wang et al.,
2011).
Semua faktor tersebut memberikan kontribusi terjadinya inflamasi dan
disfungsi dari vaskuler sistemik maupun perifer (Reilly et al., 2004). FFA
mengaktifasi nuclear factor-κB pathways selanjutnya dihasilkan TNFα. TNFα
mengaktivasi lipolisis diikuti dengan meningkatnya sintesis IL-6 dan macrophage
chemoattractant protein-1 (MCP-1) yang akan meningkatkan mobilisasi makrofag
dan modulasi sensitivitas insulin. Peningkatan TNFα juga meningkatkan ekspresi
molekul adesi pada endotelium dan sel otot polos vaskuler. IL-6 menstimulasi
sintesis C-reactive protein oleh hepatosit. Aromatase merupakan enzim yang
merubah testosteron menjadi estradiol terutama di jaringan adipose. Testosteron
terbukti dapat mempengaruhi sensitivitas insulin, artinya testosteron dapat
memodulasi secara langsung sensitivitas insulin (Reilly et al., 2004 ; Wang et al.,
2011). Kadar testosteron pada penderita Sindrom Metabolik dan kaitannya dengan
komponen Sindrom Metabolik dapat dilihat pada gambar 2.5 (Wang et al., 2011)
2.1.4 Pengukuran dan Klasifikasi Obesitas
Standar pengukuran dan cara paling sederhana untuk menentukan obesitas
adalah dengan menghitung indeks masa tubuh (IMT) yang ditetapkan berdasarkan
badan (kg/m2)] (WHO, 2006). Pada umumnya IMT berkorelasi dengan adipositas
di dalam tubuh, meskipun kadangkala dapat memberikan informasi yang kurang
tepat tentang klasifikasi variasi kandungan lemak tubuh dan masa lemak intra
abdominal (Frayn et al., 2005). Dewasa ini masa jaringan adiposa dapat diukur
dengan berbagai cara, akan tetapi kebanyakan memerlukan peralatan dan teknik
yang canggih, sehingga jauh dari jangkauan untuk diterapkan secara klinis
(Villareal et al., 2005). Dibandingkan pemeriksaan lainnya, untuk memperkirakan
kandungan total lemak tubuh mempergunakan IMT mempunyai spesifisitas yang
tinggi yaitu 98-99 persen, dengan nilai prediksi positif sebesar 97 persen. Selain itu
IMT mudah dihitung dan telah direkomendasikan sebagai cara pengukuran obesitas
untuk orang dewasa (WHO, 2006).
Berbagai studi epidemiologi menunjukkan bahwa IMT berhubungan
dengan morbiditas dan mortalitas dari berbagai penyakit. Untuk penduduk di
wilayah Asia-Pasifik, WHO menganjurkan pemakaian kriteria yang berbeda
berdasarkan faktor risiko dan morbiditas. Pada orang Asia, cut-off untuk
overweight ( 23.0 kg/m2) dan obesitas ( 25.0 kg/m2) lebih rendah dibandingkan
dengan kriteria WHO (WHO, 2014). Usulan sementara ini berdasarkan dari hasil
penelitian pada penduduk Cina di Hongkong dan Singapura, dan keturunan India di
Mauritius. Tetapi pada penduduk asli kepulauan Pasifik diperlukan cut-off yang
lebih tinggi yaitu untuk overweight IMT 26 kg/m2 dan untuk obesitas IMT 32
Tabel 2.1
Klasifikasi kelebihan berat badan pada orang Asia dewasa berdasar IMT (WHO, 2014)
2.1.5 Pengukuran Distribusi Lemak Tubuh
Distribusi lemak di dalam tubuh sangat menentukan resiko dari obesitas
yang dapat ditimbulkannya yakni morbiditas dan mortalitas (Depres et al., 2006).
Terdapat berbagai cara untuk menentukan secara tepat distribusi lemak tubuh
manusia.
a. Computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI)
Beberapa tahun belakangan alat ini telah dapat digunakan sebagai alat
untuk menjelaskan tempat berkumpulnya jaringan lemak yang kemungkinan suatu
lemak intra abdominal dan nantinya dapat memberikan informasi tentang dampak
yang dapat ditimbulkannya (Frayn, 2005). CT Scan atau MRI jaringan adiposa
intra abdominal dan subkutan dikerjakan setinggi L3/L4 dengan potongan multipel
(slices) merupakan gold standard untuk pengukuran jaringan lemak viseral
(Wajchenberg, 2000). Pada ras Kaukasus luas lemak viseral >130 cm2
berhubungan dengan sindroma metabolik sedangkan apabila <110 cm2 merupakan
membedakan antara lemak viseral dengan lemak subkutan (WHO, 2006; Despres et
al., 2006).
b. Dual-energy X-ray scanning
Penginderaan secara longitudinal dapat diperoleh dengan cara dual-energy
X-ray scanning (DEXA). Cara ini tidak akan menghasilkan data yang tepat
mengenai distribusi lemak tubuh seperti daerah intraabdominal, dan hanya
memberikan informasi tentang distribusi dan perubahan yang terjadi pada lemak
tubuh (Hao Wang et al., 2012). Metode ini memerlukan peralatan yang mahal dan
banyak menghabiskan waktu, cara penggunaan tidak praktis sehingga masih
diperlukan metode yang sederhana terutama untuk penelitian di lapangan dengan
jumlah sampel yang banyak (Heymsfield et al., 2001).
c. Pengukuran subcutan fat
Mengukur subcutan fat atau lapisan lemak di bawah kulit memberikan
estimasi yang baik tentang total lemak tubuh pada orang dewasa dan anak-anak
dengan berat badan normal, namun ini hanya merupakan cara tambahan untuk
mengukur total lemak tubuh. Jangka lengkung lipatan kulit memuat ukuran lemak
yang berada persis dibawah kulit yang berasal dari beberapa bagian tubuh (WHO,
2006). Pengukuran dilakukan pada 4 lokasi (bisep, trisep, subskapula dan
supra-iliaka). Seseorang dikatakan obesitas jika pada laki-laki yang memiliki total lemak
tubuh lebih dari 25% dan perempuan jika memiliki total lemak tubuh lebih dari
30% (WHO, 2006). Cara pengukuran ini tidak cocok dilakukan pada subjek yang
sangat gemuk karena tidak dapat mengukur komponen lemak intra abdominal yang
d. Pengukuran lingkar pinggang (Lp) dan rasio pinggang pinggul (RPP)
Kedua cara ini sangat praktis, sederhana dan murah untuk menentukan
adanya timbunan lemak berlebih di daerah abdominal. Pengukuran obesitas ini
ditujukan untuk dapat mengidentifikasi adanya berbagai faktor risiko yang
berhubungan dengan obesitas tersebut. Dari berbagai penelitian terbukti bahwa Lp
dapat dipergunakan untuk menentukan lemak intra abdominal (Despress et al.,
2006). Rasio pinggang pinggul (RPP) atau waist to hip ratio (WHR) juga dapat
dipergunakan untuk mengukur obesitas abdominal, dimana PP > 0,9 pada pria dan
> 0,80 untuk wanita dipergunakan untuk menentukan adanya obesitas abdominal
(WHO, 2006). Pengukuran Lp saja ternyata terbukti merupakan cara yang baik
untuk mengukur lemak intra abdominal. Pengukuran Lp sangat kecil dipengaruhi
oleh tinggi badan atau umur dan menurunnya Lp berhubungan dengan perbaikan
faktor risiko kardiovaskuler (Hwang et al., 2012). Penelitian longitudinal selama
kurun waktu 7 tahun menunjukkan bahwa perubahan Lp lebih berkorelasi dengan
perubahan pada jaringan lemak viseral bila dibandingkan dengan perubahan pada
RPP (Despres et al., 2008). Pengukuran Lp dapat mengidentifikasi individu yang
memiliki distribusi lemak abdominal dan memiliki berbagai risiko untuk penyakit
kardiovaskuler. Pengukuran Lp sangat berkorelasi dengan pengukuran IMT dan
RPP (Lean et al., 1995). Individu dengan Lp 94-101 cm pada pria dan 80-87 cm
pada wanita 1½-2 kali memiliki satu atau lebih faktor risiko penyakit
kardiovaskular dan individu dengan Lp 102 pada pria dan 88 cm untuk wanita
memiliki 2½-4½ kali faktor risiko. Dianjurkan apabila Lp > 94 cm pada pria atau
Penurunan berat badan diperlukan apabila Lp > 102 cm untuk pria dan > 88 cm
untuk wanita (Lean et al., 1995).
2.2 Fungsi Jaringan Adiposa
Timbunan lemak atau adiposa pada manusia sebagian besar terdiri dari
jaringan lemak atau adiposa putih dan diperkirakan menjadi tempat utama
penyimpanan energi (Tilg dan Moshen, 2008). Penyimpanan energi oleh jaringan
adiposa putih terjadi dalam bentuk trigliserida dan bila diperlukan akan melepaskan
energi berupa asam lemak bebas. Sel adiposa putih pada tingkat seluler terdiri dari
sel adiposit yang mengandung lemak dan dikelilingi oleh matrik serat kolagen, sel
imun, fibroblast dan pembuluh darah (Trayhurn, 2008). Masa jaringan lemak
ditentukan oleh keseimbangan antara asupan dan pengeluaran energi,
keseimbangan kalori positif pada orang gemuk akan mengakibatkan terjadinya
peningkatan lipid intraselular dan membesarnya ukuran adiposit (hipertrofi) dan
meningkatnya jumlah adiposit (hiperplasia) (Bays, et al. 2008). Beberapa
penelitian menjelaskan bahwa adiposit dari jaringan adiposa tersebut dapat
mengeluarkan protein yang bekerja secara endokrin, parakrin dan autokrin untuk
mengatur diferensiasi dari sel lemak dan juga pengaturan keseimbangan energi.
Beberapa tahun belakangan sejak leptin ditemukan, terjadi pergeseran paradigma
dalam pengertian tentang peranan fisiologis jaringan adiposa putih. Penemuan 120
bahan yang terdiri dari berbagai hormon dan sejumlah faktor autokrin dan parakrin
dihasilkan atau diproses didalam jaringan adiposa (Kirkland et al., 2003). Sebagian
necrosis factor- (TNF-), 6 (IL-6), 8 (IL-8),
interleukin-1 (IL-1), plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), transforming growth
factor-1 (TGF-1), adipsin, adiponektin, angiotensinogen, resistin, serum amiloid A3
(Mutch et al., 2001; Kirkland et al., 2003). Adipokin-adipokin tersebut berkorelasi
denngan imunitas dan respon inflamasi, dan produksinya secara umum meningkat
pada obesitas (Hotamisligil, 2006). Salah satu perkecualian adalah adiponektin,
yang bekerja sebagai anti-inflamasi dan perangsang pengeluaran insulin, ekspresi
dan sekresinya menurun pada obesitas (Ronti, et al. 2006). Mekanisme yang terjadi
pada obesitas sangat kompleks dan banyak melibatkan sitokin, hormon dan growth
factor. Kenyataan bahwa TNF a, Leptin, IL-6, insulin, PAI-1, TGF-B dan lainnya
meningkat pada obesitas dan peranan ini berhubungan dengan berbagai penyakit
yang sering dijumpai pada obesitas (Fruhbeck et al, 2001).
2.3 Hubungan Lemak Viseral dengan Sindroma Metabolik
Dibandingkan dengan lemak subkutan, lemak viseral lebih berhubungan
dengan hipertensi, hiperinsulinemia dan resistensi insulin, diabetes mellitus,
dislipidemia dan penurunan fungsi fibrinolisis membuktikan bahwa lemak viseral
lebih kuat hubungannya dengan tekanan darah sistolik dan diastolik, trigliserida,
kolesterol total, kolesterol-HDL, kolesterol-LDL dan resistensi insulin (Yamashita
et al., 1996; Kopelman, 2000; Wajchenberg et al., 2000; Despres et al., 2006).
Timbunan lemak viseral yang berlebihan juga berhubungan dengan variabel
hemostatik yang berperan terhadap meningkatnya risiko aterotrombosis (Alessi et
Penelitian secara morfologi dari adiposit yang diambil dari berbagai bagian
tubuh menunjukkan bahwa metabolisme adiposit dari daerah abdominal berbeda
dengan metabolisme adiposit dari femuro-gluteal. Adiposit abdominal
menunjukkan bentuk hipertrofi, sedangkan adiposit femuro-gluteal adalah
hiperplastik (Van Gaal, 2006). Lemak abdominal memiliki respon lipolisis yang
lebih besar terhadap noradrenalin dan kurang sensitif terhadap antilipolisis dari
insulin sehingga mengakibatkan peningkatan masuknya asam lemak bebas (ALB)
ke dalam sirkulasi portal (Kopelman, 2000). Diperkirakan ALB yang berasal dari
lemak viseral melalui aliran portal mempengaruhi metabolisme hepar dan
menyebabkan peningkatan sintesa very low density lipoprotein (VLDL), dan
selanjutnya low density lipoprotein (LDL). Disamping itu ALB dapat merangsang
glukoneogenesis dan meningkatkan kadar glukosa darah. Penelitian dengan cara
mengukur perfusi pada hepar tikus membuktikan bahwa ALB dapat menurunkan
kliren dari insulin dan menimbulkan hiperinsulinemia (Kopelman, 2000; Björntorp,
2003; British Nutrition Foundation, 2003). Data di atas hanya terbatas berdasar
hasil penelitian secara invitro.
Penelitian pada manusia masih menjumpai banyak kendala karena
pengukuran vena porta hampir tidak pernah dapat dikerjakan karena kesulitan
teknis. Secara tidak langsung pengukuran konsentrasi ALB pada vena hepatika
dapat menggambarkan produksi ALB dari depot lemak viseral, tetapi masih
dijumpai kendala karena terdapat juga aliran darah ke hepar melalui arteri hepatika
berasal dari lipolisis jaringan lemak viseral, tetapi juga berasal dari lipolisis
jaringan lemak ditempat lainnya (Björntorp, 2003).
Disamping teori ALB dari lemak viseral, yang mendasari terjadinya berbagai
faktor risiko, penelitian pada tikus membuktikan terjadinya ekspresi berlebihan dari
-hydroxy steroid dehydrogenase1 pada jaringan adiposa. Enzim ini merubah
glukokortikoid inaktif menjadi kortikosteron aktif. Sebagai akibatnya terjadi
resistensi insulin dengan segala akibatnya. Pada manusia keadaan ini menyebabkan
terjadinya kelebihan kortisol, sehingga peran spesifik dari lemak viseral menjadi
tidak jelas (Björntorp, 2003).
2.4 Mekanisme Resistensi Insulin pada Obesitas Abdominal
Resistensi insulin didefinisikan sebagai resistensi terhadap efek metabolik
insulin yang berakibat pada insensitivitas jaringan terhadap insulin (Hawkins &
Rossetti, 2005). Efek metabolik insulin mencakup efek penghambatan terhadap
produksi glukosa endogen, efek stimulasi pada pengambilan glukosa dan sintesis
glikogen pada jaringan, serta menghambat penguraian lemak pada jaringan
adiposa. Tanpa adanya defek pada fungsi sel beta pankreas, individu
mengkompensasi resistensi insulin dengan peningkatan jumlah sekresi insulin
(hiperinsulinemia) (Masharani et al., 2004).
RI tidak hanya menyangkut hubungan antara glukosa dengan insulin tetapi
juga kerja biologis lainnya dari insulin seperti pengaruhnya terhadap metabolisme
lemak dan protein, fungsi endotel, dan ekspresi gen (Cefalu, 2001). Berbagai faktor
genetik, lingkungan dan metabolik yang berperan terjadinya RI saat ini belum
melalui kerja insulin merupakan hasil akhir dari aktivasi tahapan signaling insulin.
Perubahan satu atau lebih dari proses ini akan menimbulkan gangguan terhadap
kerja insulin dan menimbulkan resistensi insulin (Tjokroprawiro, 2003). Resistensi
insulin juga sangat berkaitan dengan suatu kluster (kumpulan) kondisi yang disebut
sindroma metabolik (SM) (obesitas sentral, hipertensi, resistensi insulin, dan
dislipidemia) (Carr & Brunzell, 2004). Sindroma metabolik juga sangat
berhubungan dengan inflamasi sistemik akibat peningkatan sitokin proinflamasi
serta status protrombotik seiring dengan peningkatan kadar plasminogen activator
inhibitor-1 (PAI-1) serta stres oksidatif (Kahn et al., 2005).
Secara garis besar terdapat 3 tahapan utama yang berperan terjadinya RI: 1)
ikatan insulin dengan reseptor, 2) fosforilasi dari reseptor insulin, dan 3) signaling
insulin intra seluler (Giannarelli et al., 2003; Tjokroprawiro, 2003). Reseptor
insulin merupakan protein heterotetrameric terdiri dari dua subunit- pada domain
ekstraseluler dan dua subunit- β pada domain intra seluler. Pada saat terjadi ikatan
antara insulin dengan subunit-, terjadi fosforilasi subunit- dari reseptor
insulin. Autofosforilasi dari subunit- akan mengakibatkan aktivasi insulin
receptor substrate (IRS-1;-2;-3;-4). Protein ini mengatur mediator lainnya seperti
phospho-inositol-3-kinase (PI3-kinase). Peran dari IRS-1 dan IRS-2 terhadap RI
telah dibuktikan secara eksperimental dengan tikus knock-out yang dibuat secara
genetik. Aktivasi PI3-kinase mengkatalisasi terbentuknya PI-3,4,5 –fosfat yang
akan menimbulkan aktivasi PKB/AKT dan phosphatidilinositol-3,4,5-phosphate
kinase-1 (PDK-1). Fosforilasi PKB/AKT akan mengatur tahapan kinase yang
berperan terhadap transduksi signal insulin yang berperan terhadap translokasi
transport glukosa transmembran secara aktif dan fosforilasi, anti lipolisis, sintesis
glikogen dan protein, dan ekspresi gen (Youngren et al., 1999; Cefalu, 2001).
Tabel 2.
Definisi Sindroma Metabolik menurut WHO, EGIR dan NCEP (Eschwege, 2003)
Berbagai faktor diperkirakan berperan terhadap timbulnya RI pada obesitas
dan diantaranya adalah TNF-α, leptin dan ALB (Despres dan Marette, 1999;
Frűhbeck et al., 2001). Banyak penelitian secara in vivo maupun in vitro
peningkatan ekspresi dari TNF-α pada jaringan adiposa yang mengalami
pembesaran pada obesitas dan lebih jauh TNF-α dapat menurunkan ambilan
glukosa karena pengaruh insulin. Dari berbagai penelitian disimpulkan bahwa
disamping TNF-α juga dijumpai faktor lainnya ikut berperan terjadinya RI pada
obesitas (Despres and Marette, 1999). Leptin yang dihasilkan oleh jaringan adiposa
ekspresi dan sekresinya mengalami peningkatan pada obesitas. Diperkirakan
hiperleptinemia berperan untuk terjadinya RI pada obesitas. Pemaparan sel adiposit
dengan leptin dalam jangka lama akan menimbulkan gangguan terhadap transport
glukosa karena pengaruh insulin, glycogen synthase, lipogenesis, antilipolisis dan
sintesis protein. Dilain pihak peranan leptin pada RI yang berhubungan dengan
obesitas sangat komplek mengingat leptin tidak dapat bekerja langsung pada otot
skeletal yang merupakan lokasi terpenting terjadinya RI pada obesitas (Despres and
Marette, 1999).
Pada obesitas terjadi pelepasan ALB berlebihan dari jaringan adiposa
kedalam sirkulasi. Lemak viseral lebih sensitif dibandingkan dengan lemak
subkutan terhadap pengaruh lipolisis dari katekolamin dan kurang sensitif terhadap
pengaruh antilipolisis dan re-esterifikasi asam lemak dari insulin (Lewis et al.,
2002; Mittelman et al., 2002). Pada lemak viseral terjadi peningkatan komponen β
-adrenoceptor (terutama β3-AR) sebagai komponen lipolisis dan menurunnya
komponen α2-adrenoceptor (α2-AR) sebagai komponen antilipolisis (Despres dan
Marette, 1999). Masuknya ALB melalui aliran vena porta mengakibatkan
peningkatan ALB mencapai hepar. Meskipun cadangan lemak viseral hanya 20%
aliran darah hepatik berasal dari vena porta (Lewis et al., 2002). Pada obesitas
peningkatan masa lemak akan disertai peningkatan kadar ALB didalam sirkulasi.
Randle tahun 1963, pertama kali membuktikan bahwa ALB berkompetisi dengan
glukosa untuk oksidasi substrat pada jaringan otot. Peningkatan oksidasi ALB akan
menimbulkan peningkatan rasio acetyl-CoA/CoA dan NADH/NAD+ dan
menimbulkan inaktivasi piruvat dehydrogenase. Keadaan ini akan meningkatkan
konsentrasi sitrat yang selanjutnya akan menghambat phosphofructokinase dan
akumulasi glucose-6-phosphate. Peningkatan kadar glucose-6-phosphate akan
menghambat hexokinase II dan berakibat menurunnya ambilan glukosa (Roden et
al., 1996). ALB juga dapat merangsang peningkatan glukoneogenesis dan
menurunkan ambilan insulin oleh hepar (Boden et al., 2001). Hipotesis dari Randle
ini masih banyak dipertentangkan dan belum diterima sepenuhnya. Peneliti lainnya
membuat suatu unifying hypothesis, dimana peningkatan ALB akan meningkatkan
metabolit dari asam lemak intraseluler seperti diacylglycerol, fatty acyl CoA atau
ceramide yang akan mengaktifasi serine/threonine kinase cascade (mungkin
dimulai oleh protein kinase C), akan mengakibatkan fosforilasi dari
serine/threonine pada substrat reseptor insulin. Bentuk fosforilasi serin dari protein
ini tidak dapat mengaktifasi PI-3 kinase sehingga menurunkan aktifasi transport
glukosa dan aktifitas lain di bawahnya (Shulman, 2000; Boden and Laakso, 2004).
Bagaimanapun juga berbagai hipotesis yang ada masih perlu pembuktian
lebih lanjut mengenai peran ALB untuk menimbulkan resistensi insulin. ALB juga
dapat meningkatkan sekresi insulin akibat rangsangan glukosa (Shulman, 2000;
2.5 Pengukuran Resistensi Insulin
Homeostasis Assessment Model (HOMA) merupakan model matematik yang
memungkinkan untuk mengetahui sensitifitas insulin dan fungsi sel- (dinyatakan
sebagai persentase dari normal) apabila pada saat bersamaan diketahui kadar
glukosa puasa dan kadar insulin puasa. Karena sekresi insulin bersifat pulsatil,
sampel yang optimal sebaiknya berupa harga rerata dari 3 pengukuran dalam
interval 0; 5 dan 10 menit (Matthews et al., 1985)
Pengukuran RI dengan cara HOMA dihitung berdasar formula: [kadar insulin
puasa (µU/ml) x glukosa plasma puasa (mM)] 22,5. Untuk penelitian epidemiologi
sering dipergunakan sampel tunggal (Wallace dan Matthews, 2002). Sedangkan
untuk fungsi sekresi insulin dipergunakan Homeostasis Model Assessment -Cell
(HOMA-B). Pengukuran RI dengan HOMA berkorelasi kuat dengan metoda
euglycaemic hyperinsulinemic clamp (Matthews et al.,1985; Bonora et al., 2000).
Berbeda dengan metoda lainnya, HOMA mengukur resistensi insulin basal
sedangkan metoda lainnya mengukur resistensi insulin terstimulasi. Continuous
Infusion of Glucose with Model Assessment (CIGMA) merupakan model
matematik dengan menilai respon glukosa dan insulin terhadap infus glukosa
dalam dosis rendah. Infus glukosa dengan kecepatan 5 mg/kg berat badan ideal
selama 60 menit dan kadar glukosa dan insulin (atau C-peptida) diperiksa pada 50;
55 dan 60 menit (Wallace and Matthews, 2002).
Euglycaemic hyperinsulinemic clamp merupakan baku emas untuk
mengukur RI. Kadar glukosa sebelumnya dipatok dalam kadar tertentu (misalnya 5
mmol/l) dengan melakukan titrasi infus glukosa terhadap infus insulin dalam
unit dari luas tubuh daripada berdasarkan berat badan, untuk mencegah pemberian
insulin berlebihan pada individu dengan overweight. Kecepatan infus glukosa
dihitung berdasarkan kadar glukosa darah yang diukur setiap 3 sampai 5 menit
selama clamp. Apabila telah dicapai steady state, derajat RI berhubungan terbalik
dengan jumlah glukosa yang diperlukan untuk mempertahankan kadar glukosa
darah tertentu (Wallace and Matthews, 2002). Metode HOMA ternyata mempunyai
korelasi yang kuat dengan metode euglycaemic hyperinsulinemic clamp yang lebih
rumit dan mahal (Cefalu, 2001).
Timbunan lemak berlebih pada obesitas berhubungan dengan RI, demikian
juga sebaliknya pada lipodistrofi di mana terjadi difisiensi jaringan lemak, ternyata
juga diikuti dengan RI dan tingginya angka kejadian DM tipe-2. Tampaknya pada
kedua keadaan ini terdapat mekanisme sama yang mendasari terjadinya RI (Frayn,
2000).
2.6 Peranan Klasik Tulang dan Organ Endokrin
Telah lama diketahui bahwa peranan klasik tulang kerangka untuk
perlindungan organ vital seperti otak dan medula spinalis, stabilisasi tubuh dan
dukungan dalam bergerak, selain itu tulang juga dianggap sebagai tempat untuk
terjadinya hematopoesis dan sebagai organ penting dalam hemostasis kalsium dan
phosfor (Fukumoto and Martin, 2010). Pada beberapa penelitian dijelaskan selain
beberapa fungsi diatas, tulang juga memiliki fungsi lainnya yaitu sebagai organ
endokrin. Bukti terbaru menjelaskan bahwa tulang setidaknya dapat menghasilkan
dua hormon yaitu faktor pertumbuhan Fibroblast growth factor 23 (FGF23) dan