STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF,
REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Departemen Pendidikan Matematika
Oleh
Muhammad Alfi Syahrin
1103667
DEPARTEMEN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF,
REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Oleh
Muhammad Alfi Syahrin
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
© Muhammad Alfi Syahrin 2015 Universitas Pendidikan Indonesia
Agustus 2015
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
“
Skripsi sejatinya melatih diri. Maksimalkan ikhtiar dan akhiri
dengan tawakal...#AdaAllah
”i
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “STUDY
ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO,
WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON” ini dan seluruh
isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan
penjjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika ilmu
yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap
menanggung risiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian
ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau
ada klaim dari pihak lain terhadap karya saya ini.
Bandung, Agustus 2015
Yang membuat pernyataan,
Muhammad Alfi Syahrin
ii
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
ABSTRAK
Muhammad Alfi Syahrin. 1103667. Study Ethnomathematics Pada Kalender
Aboge (Alif, Rebo, Wage) Sebagai Penentu Waktu Hari – Hari Besar Islam Dan Upacara Adat Di Keraton Kasepuhan Cirebon
Penelitian ini merupakan upaya untuk memperlihatkan adanya keterkaitan antara budaya dan matematika. Paradigma yang muncul selama ini bahwa matematika merupakan konsep abstrak dan sulit sehingga mengakibatkan matematika tidak disukai oleh kebanyakan siswa. Padahal dalam realitanya, secara tidak langsung matematika hadir dalam suatu kebudayaan, suatu kelompok masyarakat. Studi ethnomathematics merupakan studi untuk meneliti cara sekelompok orang pada budaya tertentu dalam memahami, mengekspresikan, dan menggunakan konsep-konsep serta praktik-praktik budayanya yang tergambarkan secara matematis. Penelitian ini dilakukan di Cirebon tepatnya di Keraton Kasepuhan, yang berada di RW 04, Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemah Wungkuk, Kota Cirebon, Jawa Barat. Fokus dan kajian yang diteliti adalah mengenai aplikasi kalender Aboge (Alif Rebo Wage) sebagai perhitungan hari dan aturan penanggalan sebagai penentu waktu hari – hari, besar Islam dan upacara Adat di Keraton Kasepuhan. Metode kualitatif dengan prinsip ethnography seperti kajian dalam ethnomathematics , yaitu observasi, wawancara, dokumentasi dan catatan lapangan digunakan dalam penelitian ini. Hasil temuan kajian ethnomathematics ini memperlihatkan bahwa penentuan hari – hari besar islam dan penentuan hari – hari untuk upacara adat kekeratonan memiliki hubungan yang erat dengan hitungan – hitungan dan prinsip – prinsip dalam matematika. Penelitian ini memberikan rekomendasi kepada masyarakat bahwa matematika erat kaitannya dengan kebudayaan karena adanya ethnomathematics.
iii
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
ABSTRACT
Muhammad Alfi Syahrin.1103667. Study Ethnomathematics of Aboge (Alif,
Rebo, Wage) Calendar as Determinant of the Great Days of Islam and
Traditional Ceremony in Cirebon Kasepuhan Palace
This research attempts to show about the relationship between mathematics and culture. Paradigm that emerged during this time, that mathematics is an abstract concept and difficult, therefore in mathematics is not favored by most students. In reality, indirectly mathematics is present in a culture of a society. Ethnomathematics study is a study to examine how a group of people in a particular culture to understand, express, and use the concepts and practices of culture that depicted mathematically. This research was conducted in Cirebon precisely in Kasepuhan Palace, which is in RW 04, Kasepuhan village, Lemah Wungkuk district, Cirebon city, West Java. The focus of the study and research purposes is the application of Aboge (Alif Rebo Wage) calendar as the calculation of days and the calendar rules determine the time of days, great days of Islam and traditional ceremony in Kasepuhan Palace. Qualitative methods with the principles of ethnography such as studies in ethnomathematics i.e observation, interviews, documentation and field notes used in this research. The findings of this ethnomathematics study show that the determining great days of Islam and the days of palace traditional ceremony have a close relationship with the counts and principles in mathematics. This study provides recommendations that mathematics is closely related to culture due to ethnomathematics.
vii
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
DAFTAR ISI
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9
A. Ethnomathematics ... 9
B. Aspek - Aspek Matematika ... 20
C. Penentuan Hari – Hari Besar Islam dan Keraton ... 21
D. Kalender Berbagai Bangsa ... 26
E. Kalender Aboge ... 31
F. Keraton Kasepuhan Cirebon ... 34
G. Penelitian yang Relevan ... 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 37
A. Metode Penelitian ... 37
B. Desain Penelitian ... 39
C. Tempat dan Sampel Sumber Data Penelitian ... 41
D. Instrumen Penelitian ... 42
E. Teknik Pengumpulan Data ... 44
F. Teknik Analisis Data ... 49
G. Teknik Pengujian Keabsahan Data ... 50
viii
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 53
A. Hasil Penelitian ... 53
B. Pembahasan ... 66
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 99
A. Kesimpulan ... 99
B. Saran ... 100
DAFTAR PUSTAKA ... 101
LAMPIRAN ... 104
GLOSARIUM ... 125
ix
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
DAFTAR TABEL
Tabel 2.5 Perbedaan Jumlah Hari pada Bulan Kalender Jawa, Hijriyah dan Masehi ... 25
Tabel 2.6 Bulan Kalender Julian ... 28
Tabel 2.7 Kalender Hitung Panjang ... 29
Tabel 2.8 Bulan Kalender Tionghoa ... 31
Tabel 3.1 Desain Penelitian Ethnomathematical ... 41
Tabel 4.1 Nama – Nama Bulan Kalender Aboge ... 58
Tabel 4.2 Nama – Nama Tahun Kalender Aboge... 59
Tabel 4.3 Pasaran Kalender Aboge ... 60
Tabel 4.4 Jumlah Hari pada Bulan Kalender Aboge ... 61
Tabel 4.5 Singkatan dalam Penyebutan Aturan Bulan ... 66
Tabel 4.6 Siklus Hari Beserta Pasarannya ... 70
Tabel 4.7 Tabel Harga Rumus Hari Tahun dan Bulan Kalender Aboge ... 76
Tabel 4.8 Tabel Harga Rumus Pasarn Tahun dan Bulan Kalender Aboge ... 77
Tabel 4.9 Tabel Urutan Hari Kalender Aboge Cara Pertama ... 78
Tabel 4.10 Tabel Urutan Pasaran Kalender Aboge Cara Pertama ... 78
Tabel 4.11 Hasil Perhitungan Kalender Aboge Cara Pertama pada Tahun Alif ... 86
Tabel 4.12 Hasil Perhitungan Kalender Aboge Cara Pertama ... 87
Tabel 4.13 Angka – Angka Cara Kedua Perhitungan Kalender Aboge ... 88
Tabel 4.14 Tabel Urutan Hari Kalender Aboge Cara Kedua Pada Tahun He ... 89
Tabel 4.15 Tabel Urutan Pasaran Kalender Aboge Cara Kedua Pada Tahun He ... 89
Tabel 4.16 Hasil Perhitungan Kalender Aboge Cara Kedua Pada Tahun He ... 92
Tabel 4.17 Hasil Perhitungan Kalender Aboge Cara Kedua ... 93
x
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Siklus Epistimologi Ethnomathematics ... 16
Gambar 2.2 Contoh Kalender Julian ... 27
Gambar 2.3 Kalender Bangsa Maya ... 29
Gambar 2.4 Kalender Tionghoa ... 32
Gambar 2.5 Kalender Asapon pada Tahun 1555J/1043 H ... 35
Gambar 4.1 Pak Iman ... 55
Gambar 4.2 Pak Muhammad Maskun (Lurah Maskun) ... 56
Gambar 4.3 Kalender Aboge Keraton Kasepuhan Cirebon ... 58
Gambar 4.4 Pak Azhari Bersama Peneliti Ketika Menjelaskan Perhitungan Kalender Aboge ... 65
Gambar 4.5 Siklus Hari ... 69
xi
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A ... 106
A.1 Catatan Lapangan Ke-1 ... 107
A.2 Catatan Lapangan Ke-2 ... 109
A.3 Catatan Lapangan Ke-3 ... 111
A.4 Catatan Lapangan Ke-4 ... 112
LAMPIRAN B ... 116
B.1 Surat Persetujuan Proposal Penelitian Penguji 1 ... 117
B.2 Surat Persetujuan Proposal Penelitian Penguji 2 ... 118
B.3 Surat Persetujuan Proposal Penelitian Pembimbing 2 ... 119
LAMPIRAN C ... 120
C. 1 Surat Permohonan Ijin Penelitian ... 121
C. 2 Surat Ijin Penelitian ... 122
LAMPIRAN D ... 123
1
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial, berkelompok membentuk suatu masyarakat
yang memiliki kesamaan. Dari tiap – tiap kelompok masyarakat atau etnik tersebut
terbentuk kebudayaan masing – masing yang beragam. Fatimah (2011, hlm. 123)
menjelaskan “hingga saat ini jumlah etnik yang ada di Indonesia mencapai lebih
dari 500 etnik yang menggunakan 250 bahasa”. Tiap – tiap etnik masing – masing
cenderung mempertahankan kebudayaan yang mereka punya sebagai ciri khas atau
identitas mereka.
Keberagaman dari budaya yang ada di Indonesia sejatinya merupakan
peluang yang bagus ketika dihubungkan dengan pendidikan, khusunya
pembelajaran. Kebudayaan dan pembelajaran jika dihubungkan maka akan
menimbulkan variasi pembelajaran bagi pengajar serta minat yang lebih dari siswa.
Selain itu pembelajaran yang dihubungkan dengan kebudayaan yang berada
dilingkungan sekitarnya akan menambah wawasan serta pengenalan nilai kearifan
lokal budayanya baik bagi pengajar maupun siswa. Akan tetapi paradigma yang
muncul dimasyarakat yakni tidak ada kaitannya antara pendidikan maupun
pembelajaran dengan kebudayaan. Lebih khusus lagi dalam skripsi ini adalah
tentang paradigma masyarakat yang mengatakan kalau matematika tidak ada
hubungannya dengan kebudayaan.
Banyak siswa merasa kesulitan belajar matematika dikarenakan siswa hanya
melihat matematika sebagai hafalan rumus - rumus, hitungan dan abstrak. Junaedi
(2013, hlm. 3) menyebutkan bahwa “berbagai alasan yang dilontarkan siswa
tentang ketidaksukaannya terhadap matematika, antara lain matematika merupakan
pelajaran yang paling sulit, matematika membosankan, matematika ilmu pasti, dan
lain sebagainya”. Sejalan dengan pendapat tersebut, Wahyudin (dalam Rosita,
2
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
sukar dipahami”. Dampak buruk dari hal itu adalah motivasi belajar siswa menurun
khususnya di bidang matematika.
Pandangan siswa tentang matematika tersebut bisa muncul juga karena
pengaruh dari guru dalam pembelajaran. Sumardyono (2004, hlm. 1) menyebutkan
bahwa “banyak penelitian yang menunjukkan bahwa persepsi atau sikap guru terhadap
matematika mempengaruhi persepsi atau sikapnya terhadap pembelajaran
matematika”. Jadi ketika guru dalam membelajarkan matematika tidak mendoktrin
siswa untuk menghafal kumpulan rumus, tidak sebatas proses berpikir maka sikap yang
samalah yang akan ditunjukkan oleh siswa, begitupun sebaliknya. Dengan pemahaman
guru yang baik dalam pembelajaran matematika maka akan terselenggara pembelajaran
yang baik.
Munculnya paradigma masyarakat tentang tidak ada kaitannya antara
matematika dan kebudayaan merupakan bentuk dari pandangan bahwa matematika
tidak ada kaitannya dengan kehidupan sehari – hari. Turmudi (dalam Ulum, 2013,
hlm. 2) menyebut bahwa “paradigma tersebut sebagai paradigma absolut dalam
memandang matematika. Paradigma absolut ialah paradigma yang memandang
bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan yang sempurna dan kebenaran yang
objektif, jauh dari urusan kehidupan manusia. Paradigma tersebut muncul dan
berkembang lebih dari 2000 tahun”.
Matematika secara tidak langsung sejatinya telah berada dalam kehidupan
manusia sejak dulu. Disadari ataupun tidak manusia telah banyak menggunakan
matematika untuk menyelesaikan permasalahannya. Dalam kehidupan sehari – hari
matematika hadir dalam kegiatan kebudayaan yang dilakukan tiap etnik manusia,
maka tidak dapat dipungkiri akan ada ide – ide matematis yang terkandung dalam
kebudayaan tersebut.
Menurut Turmudi (2012), konteks matematika dalam kehidupan sehari – hari
yang berkaitan dengan sifat – sifat utama dan pengetahuan antara lain:
1) Matematika sebagai objek yang ditemukan dan diciptakan manusia.
2) Matematika itu diciptakan bukan jatuh dengan sendirinya, namun muncul
dari aktivitas yang objeknya telah tersedia, serta dari keperluan sains dan
3
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
3) Sekali diciptakan objek matematika memiliki sifat-sifat yang ditentukan
secara baik.
Kalimat pada poin 2 membuktikan bahwa adanya keterkaitan antara matematika
dan aktivitas kesehairan atau kebudayaan.
Sejalan dengan pendapat sebelumnya, deskripsi matematika dalam Buku
Panduan Lawrence University menyebutkan bahwa:
Lahir dari dorongan primitif manusia untuk menyelidiki keteraturan dalam alam semesta, matematika merupakan suatu bahasa yang terus menerus berkembang untuk mempelajari struktur dan pola. Berakar dalam dan dipengaruhi oleh realitas dunia, serta didorong oleh keingintahuan intelektual manusiawi, matematika menjulang tinggi menggapai alam abstraksi dan generalitas, tempat terungkapnya hubungan-hubungan dan pola-pola yang tak terduga, menakjubkan sekaligus amat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Matematika adalah rumah alami baik bagi pemikiran-pemikiran yang abstrak maupun bagi hukum-hukum alam semesta yang konkret. Matematika sekaligus merupakan logika yang murni dan seni yang kreatif (Sumardyono, 2004, hlm. 29).
Para ahli mulai memunculkan gagasan – gagasannya tentang kaitan erat
antara kebudayaan masyarakat dengan matematika. Hadi (dalam Karnilah, 2013,
hlm. 3) menjelaskan bahwa “matematika adalah kegiatan manusia. Matematika dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata. Dunia nyata
diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar matematika, seperti kehidupan
sehari-hari, lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain. Dunia nyata digunakan
sebagai titik awal pembelajaran”. Sedangkan menurut Clements (1996, hlm. 824)
“belajar dan pembelajaran matematika, termasuk semua bentuk-bentuk pendidikan matematika, mau tidak mau akan dikelilingi oleh permasalahan yang terkait dengan
budaya.” Jadi kesimpulannya, paradigma yang mengatakan bahwa matematika
tidak ada kaitannya dengan kebudayaan adalah tidak benar. “Mathematics is a
social and cultural product” (Alangui, 2010, hlm. 1).
Ide - ide matematis dalam kebudayaan masyarakat telah menarik perhatian
para ahli matematika karena dipandang merupakan hal yang penting dalam
pembelajaran. Paradigma yang mengatakan bahwa matematika sama sekali tidak
ada kaitannya dengan kebudayaan dan kegiatan masyarakat mulai terkikis. Semakin
4
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
kebudayaan masyarakat. Muncul berbagai studi yang dilakukan untuk mencari
interaksi – interaksi tersebut yang dikenal dengan ethnomathematics.
Pada tahun 1984 ethnomathematics dipelopori oleh tokoh bernama
D’Ambrosio. D’Ambrosio (2001a, hlm. 1) menjelaskan “ide dari ethnomathematics muncul sebagai pandangan yang lebih luas tentang bagaimana matematika
berhubungan dengan dunia nyata. Matematika merupakan instrumen intelektual
yang dibuat oleh manusia untuk menjelaskan dunia nyata dan untuk membantu
memecahkan masalah yang terkait dengan kehidupan sehari-hari.” Barton (1996,
hlm. 196) dalam tesisnya menyebutkan bahwa “Ethnomathematics is a field of study which examines the way people from other culture understand, articulate and
use concepts and practices which are from their culture and which the researcher
describe as mathematical”. Bahwa ethnomathematics adalah suatu kajian lapangan
yang meneliti cara masyarakat memahami kebudayaan, mengekspresikan, dan
menggunakan konsep serta praktik yang berasal dari kebudayaan mereka yang oleh
para peneliti dideskripsikan sebagai sesuatu yang matematis.
D’ambrosio (2001b, hlm. 17) menjelaskan berbagai macam dimensi dari kajian ethnomathematics: yakni:
1. Dimensi konseptual. Ethnomathematics merupakan program penelitian
tentang sejarah dan filsofi dari matematika, dengan implikasi yang jelas
terhadap pembelajaran.
2. Dimensi sejarah. Bergantung pada sejarah interpretasi dari pengetahuan
tentang Mesir, Babilonia, dan lain – lain , yang merupakan asal dari
pengetahuan modern.
3. Dimensi kognitif. Ide-ide matematika khususnya seperti membandingkan,
mengelompokkan, mengukur, menjelaskan, generalisasi, menyimpulkan,
dan mengarah ke mana, mengevaluasi, adalah bentuk-bentuk pemikiran
sekarang yang muncul di seluruh spesies manusia.
4. Dimensi tantangan kehidupan sehari – hari. Budaya, yang merupakan
bentuk perilaku yang sesuai dan pengetahuan bersama, termasuk
5
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
5. Dimensi epistimologi. Berfokus pada pengetahuan yang sudah ditetapkan,
sesuai dengan paradigma yang diterima dari waktu dan saat itu.
6. Dimensi politik. Ethnomathematics cocok dengan refleksi tentang
de-kolonisasi dan mencari kemungkinan nyata akses untuk subordinasi, yang
terpinggirkan, dan terbuang, atau dikecualikan.
7. Dimensi pendidikan. D’Ambrosio melihat ethnomathematics sebagai
jalan untuk renovasi pendidikan, mampu menyiapkan generasi mendatang
untuk membangun peradaban yang lebih bahagia.
Matematika erat kaitan dengan kebudayaan, sedangkan masing – masing
kebudayaan dari sekelompok masyarakat cenderung unik, artinya mempunyai
keragaman masing – masing. Tidak menutup kemungkinan sama halnya dengan
konsep matematika yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian tentang kaitan matematika dan budaya.
Penelitian ethnomathematics di Departemen Pendidikan Matematatika UPI
telah memasuki tahun ke – 3. Tahun pertama di Kampung Baduy Banten dan tahun
kedua di Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya dan Kampung kuta di Kabupaten
Ciamis Jawa Barat. Ketiga lokasi tersebut notabene penduduknya merupakan suku
sunda, maka untuk tahun ketiga ini peneliti tertarik melakukan peneltitan
ethnomathematics di daerah suku Jawa. Keraton Kasepuhan Cirebon yang
merupakan keraton Jawa menjadi tempat observasi penelitian ethnomathematics
kali ini. Peneliti melakukan pengamatan pendahuluan di Keraton Kasepuhan
Cirebon. Pengamatan dilakukan tanggal 15 Januari 2015. Peneliti melukan survey
lapangan terlebih dahulu untuk membuka kemungkinan melaksanakan penelitian
di Keraton Kasepuhan Cirebon. Peneliti kemudian berbincang dengan salah
seorang abdi dalem keraton, hasil perbincangan mengisyaratkan kemungkinan
untuk melakukan penelitian di Keraton Kasepuhan Cirebon, penelitian terkait
dengan sistem penanggalan yang digunakan di Keraton Kasepuhan Cirebon sebagai
penentu hari – hari besar keislaman dan upacara keraton. Sistem penanggalan di
Keraton Kasepuhan Cirebon menggunakan kalender Aboge (Alif, Rebo, Wage)
yang merupakan salah satu kalender jawa islam dan juga kebudayaan di keraton
6
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
upacara adat keraton memiliki perbedaan hitungan dengan kalender masehi dan
hijriyah. Ini merupakan modal awal untuk dilaksanakannya penelitian di Keraton
Kasepuhan Cirebon.
Salah satu fokus penelitian ethnomathematics yakni unsur traditional. Gerdes
(1996, hlm. 14) menyebutkan bahwa “Uncovering latent mathematical content ‘hidden’ or ‘frozen’”. Konten matematika tersembunyi ini bisa berupa artefak
tradisional. traditional artefak memiliki cakupan luas meliputi kebudayaan,
penanggalan dan lain - lain. D’Ambrosio (2001b, hlm. 12) “the construction of
calendars, i.e. the counting and recording of time, is an excellent example of
ethnomathematics”. Sistem penanggalan merupakan potensi pokok permasalahan
yang dapat digali untuk menemukan konsep matematika yang terdapat di dalamnya.
Dikarenakan terbukanya peluang untuk melakukan penelitian tentang sistem
penanggalan yang digunakan di Keraton Kasepuhan Cirebon dan berdasarkan latar
belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan study ethnomathematics
dengan judul “Study Ethnomathematics Pada Kalender Aboge (Alif, Rebo, Wage) Sebagai Penentu Waktu Hari – Hari Besar Islam Dan Upacara Adat Di Keraton
Kasepuhan Cirebon”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan
yang akan dikaji dalam penelitian ini seacara umum dirumuskan menjadi: Ide
matematika apa saja yang terdapat dalam kalender Aboge sebagai penentu waktu
hari – hari besar islam dan upacara adat pada keraton kasepuhan Cirebon?
C. Pertanyaan Penelitian
Rumusan masalah dalam penelitian ini dijabarkan menjadi beberapa
pertanyaan, yaitu:
1. Aspek – aspek matematika apa saja yang terungkap pada aturan penentuan hari
– hari besar Islam di Keraton Kasepuhan dengan menggunakan kalender Aboge?
2. Aspek – aspek matematika apa saja yang terungkap pada aturan penentuan
7
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
3. Bagaimana aturan penanggalan yang berlaku di Keraton Kasepuhan Cirebon di
tinjau dari aspek – aspek matematika?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini yakni mengungkap ide – ide matematika yang
terdapat dalam kalender Aboge di Keraton Kasepuhan Cirebon.
E. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap penelitian
Ethnomathematics khususnya di Indonesia, dalam hal mengungkap keterkaitan
antara matematika dengan budaya asli Indonesia.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan untuk mengembangkan
kurikulum matematika sekolah berdasarkan budaya lokal setempat yang berasal
dari budaya setiap etnik di Indonesia, sehingga diharapkan mampu
meningkatkan pendidikan matematika di Indonesia.
3. Penelitian ini dapat menjadi panduan bagi peneliti lain yang tertarik untuk
mengungkap aspek-aspek matematika pada fokus ethnomathematics.
4. Penelitian ini diharapkan dapat merubah opini selama ini yang memandang
bahwa matematika tidak berkaitan dengan budaya. Dengan perubahan tersebut,
diharapkan siswa di dalam proses pembelajaran matematika tidak akan lagi
merasa sukar atau takut belajar matematika.
F. Definisi Operasional
1. Ethnomathematics. Ethnomathematics adalah suatu kajian yang meneliti cara
sekelompok orang pada budaya tertentu dalam memahami, mengekspresikan,
dan menggunakan konsep-konsep serta praktik-praktik kebudayaannya yang
digambarkan oleh peneliti sebagai sesuatu yang matematis
2. Penentu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya orang atau
sesuatu yang menentukan.
3. Kalender Aboge. Kalender Aboge (Alif, Rebo, Wage) merupakan salah satu
kalender jawa islam yang digunakan untuk menentukan waktu hari – hari besar
keislaman dan upacara adat keraton seperti Maulid Nabi Muhammad SAW,
8
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
4. Hari – Hari besar Islam. Hari – hari besar Islam yang dimaksud dalam skripsi
ini adalah hari – hari yang biasa diperingati oleh umat islam.
5. Upacara Adat. Serangkaian kegiatan yang dilakukan di suatu daerah atau oleh
suatu masyarakat berdasarkan kebiasaan, agama dan kepercayaannya secara
turun - temurun
6. Keraton Kasepuhan Cirebon. Keraton kasepuhan adalah keraton tertua didaerah
Cirebon. Memilik arsitektur bangunan yang sarat akan makna keislaman.
Merupakan tempat tinggal pendiri cirebon beserta keturunannya yang saat ini
37
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Barton (1996) menjelaskan bahwa “berdasarkan empat kegiatan
ethnomatematical yakni deskriptif, arkeologi, matematis dan aktivitas analisis
menunjukkan perlunya menggambarkan praktek budaya dan konteksnya
sebagai komponen integral dari proses penelitian ethnomatical”, oleh karena
hal itu Alangui (2010: 61) menjelaskan bahwa “memungkinkan untuk
menempatkan penelitian ethnomathematics sebagai penelitian kualitatif”. Hal
itu pun sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif seperti yang
diungkapkan Hamdi dan Bahrudin (2014, hlm. 9) bahwa karakteristik penelitian
kualitatif yaitu:
1) Sumber data ialah situasi yang wajar atau “naturral setting”, artinya bahwa
peneliti mengumpulkan data berdasarkan observasi situasi yang wajar,
sebagaimana adanya, tanpa dipengaruhi dan sengaja,
2) Peneliti sebagai instrumen penelitian artinya dalam penelitian kualitatif
peneliti merupakan “key instrument” atau alat penelitian utama,
3) Sangat deskriptif, artinya dalam penelitian kualitatif diusahakan
mengumpulkan data deskriptif yang banyak yang dituangkan dalam bentuk
laporan dan uraian. Penelitian ini tidak mengutamakan angka – angka dan
dan statistik, walaupun tidak menolak data kuantitatif,
4) Mementingkan proses maupun produk, artinya memperhatikan bagaimana
perkembangan terjadinya sesuatu di samping bagaimana hasil dari proses
tersebut,
5) Mencari makna dibelakang kelakuan atau perbuatan, sehingga dapat
memahami kelakuan manusia dalam konteks yang lebih luas, dipandang
38
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
6) Mengutamakan data langsung atau “first hand”, sehingga peneliti sendiri
yang terjun ke lapangan untuk mengadakan observasi atau wawancara.
Peneliti tidak menggunakan tes atau angket dengan demikian akan
mengambil jarak dengan sumber data.
7) Triangulasi, artinya data atau informasi dari satu pihak harus dicek
kebenarannya dengan cara memperoleh data itu dari sumber lain, misalnya
dari pihak kedua, ketiga, dan seterusnya dengan menggunakan metode yang
berbeda – beda.
8) Menonjolkan rincian kontekstual, artinya peneliti mengumpulkan dan
mencatat data yang sangat terinci mengenai hal – hal yang dianggap
bertalian dengan masalah – masalah yang diteliti. Data tidak dipandang
lepas – lepas akan tetapi saling berkaitan dan merupakan suatu keseluruhan
atau struktur.
9) Subjek yang diteliti dipandang berkedudukan sama dengan peneliti. Artinya
subjek yang diteliti tidak dipandang sebagai objek atau yang lebih rendah
kedudukannya akan tetapi sebagai manusia yang setaraf. Peneliti tidak
menganggap dirinya lebih tinggi atau lebih tahu, datang untuk belajar, untuk
menambah pengetahuan dan pemahamannya.
10)Partisipasi tanpa menggangu, artinya untuk memperoleh situasi yang
“natural” atau wajar, peneliti hendaknya jangan menonjolkan diri sepanjang melakukan observasi.
11)Mengadakan analisis sejak awal penelitian, artinya analisis data penelitian
dilakukan sejak awal pnelitian dan terus berlanjut sepanjang melakukan
penelitian.
Poin 1 menjelaskan bahwa karakteristik penelitian kualitatif dilakukan
pada kondisi alamiah dan kegiatan ethnomathematics dilakukan ditempat yang
cenderung natural atau data tidak dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran
peneliti tidak mempengaruhi data yang sudah ada ditempat penelitian. Pada
poin 3 dijelaskan bahwa karakteristik penelitian kualitatif adalah bersifat
deskriptif dan Barton pada paragraf sebelumnya salah satu dari empat kegiatan
ethnomathematics adalah deskriptif . Oleh karena itu metode yang digunakan
39
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
digunakan untuk mengungkapkan kasus matematika berkaitan dengan
ethnomathematics.
Penelitian ethnomathematics memiliki suatu metode dalam pendekatannya
yakni dengan menggunakan metode ethnography. Creswell (dalam Nursyahida,
2013, hlm. 63) mengatakan bahwa “ethnography merupakan salah satu jenis
penelitian kualitatif dimana peneliti melakukan studi terhadap budaya
kelompok dalam konsidi alamiah melalui proses observasi dan wawancara”. Dalam buku The Handbook of Qualitative Research in Education Wolcott
(1992, hlm. 21-22) menjelaskan bahwa
“Sebuah “field of Study” dan “ethnography” berlabel sama, saling terkait tetapi tidak sama. Field of Sutdy dalam hal ini ethnomathematics dan ethnography memanfaatkan tiga teknik dasar untuk semua penelitian lapangan yang berorientasi kepada mengalami, bertanya dan memeriksa, yang membedakannya adalah bahwa siapa saja yang melakukan ethnography membuat klaim tidak hanya tentang prosedur tetapi juga bahwa hasilnya akan berupa ethnography. Ethnography adalah produk akhir untuk sebuah penelitian terfokus budaya dan interpretasi yang mencirikan lapangan anthropology”.
Jadi ethnography merupakan penelitian lebih mendalam tentang budaya
suatu masyarakat menjadi metode yang dipilih dalam penelitian ini yakni
berupa observasi, wawancara, dokumentasi dan catatan lapangan.
B. Desain Penelitian
Alangui (2010, hlm. 63) menjelaskan bahwa kerangka penelitian
ethnomathematics yang memfokuskan pada praktik budaya yang tidak biasa
dibangun dengan empat pertanyaan umum berikut ini:
1) Where to start looking (Dimana memulai pengamatan)?
2) How to look (Bagaimanakah cara mengamatinya)?
3) How to recognize that you have found something significant (Bagaimana
untuk mengenali sesuatu yang penting yang ditemukan)?
4) How to understand what it is (Bagaimana untuk mengerti apa itu)?
Berikut di disajikan tabel desain penelitian ethnomathematical menurut
40
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Tabel 3.1. Desain Penelitian Ethnomathematical
41
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
pada penentuan
matematika baru yang
ditemukan dari pada
penentuan hari – hari
besar Islam dan
Keraton
C. Tempat dan Sampel Sumber Data Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, menurut Spradley (dalam Sugiyono, 2013,
hlm. 215) “tidak menggunakan istilahpopulasi, melainkan dinamakan ‘social situation’ atau situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu: tempat (place),
pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis.
42
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
partisipan, informan, teman dan guru dalam penelitian. Sampel bukan disebut
sampel statistik, tetapi disebut sampel teoritis, karena tujuan penelitian
kualitatif adalah untuk menghasilkan teori. Pada penelitian kualitatif, peneliti
memasuki situasi sosial tertentu untuk melakukan observasi dan wawancara
kepada orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi sosial tersebut
(Sugiyono, 2013, hlm. 216).
Penentuan lokasi dan sampel sumber data penelitian dalam penelitian ini
menggunakan purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan dan tujuan tertentu.
Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut dianggap paling tahu tentang
apa yang diharapkan peneliti (Sugiyono, 2013: 218-219).
Penelitian ini dilakukan di Keraton kasepuhan Cirebon yang berada di
wilayah Cirebon, berada di Kota Madya Cirebon, Kelurahan Kasepuhan, RW
04 Kecamatan Lemah Wungkuk, Kota Cirebon Jawa Barat. Sedangkan untuk
sampel sumber data yang diambil dalam penelitian ini yakni orang-orang yang
mempunyai pengetahuan, informasi serta pemahaman tentang penentuan hari –
hari besar Islam dan Keraton Kasepuhan Cirebon, sehingga sampel sumber data
yang dianggap sesuai adalah abdi dalam Keraton dan masyarakat Keraton.
D. Instrumen Penelitian
Pada penelitian kualitatif yang menjadi instrumen penelitian adalah
peneliti. Peneliti sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus
penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan
data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat
kesimpulan atas temuannya. Dalam penelitian kualitatif segala sesuatu yang
akan dicari dari obyek penelitian belum jelas dan pasti masalahnya, sumber
datanya, hasil yang diharapkan, semuanya belum jelas. Rancangan penelitian
masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti memasuki
obyek penelitian. Dengan demikian dalam penelitian kualitatif ini belum dapat
dikembangkan instrumen penelitian sebelum masalah yang diteliti jelas. Oleh
43
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Jadi, peneliti merupakan instrumen kunci dalam penelitian kualitatif (Sugiyono,
2013, hlm. 222-223).
Menurut Nasution (Sugiyono, 2009, hlm. 61-62), peneliti sebagai
instrumen tepat untuk penelitian kualitatif karena memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1) Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari
lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi
penelitian.
2) Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan
dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus.
3) Setiap situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada suatu instrumen berupa tes
atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali manusia.
4) Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami
dengan pengetahuan semata. Untuk memahaminya diperlukan untuk
merasakannya, menyelaminya berdasarkan pengetahuan.
5) Peneliti sebagai instrumen dapat menganalisis data yang diperoleh.
6) Hanya manusia sebagai instrumen yang dapat mengambil kesimpulan dari
data yang dikumpulkan pada suatu saat dan menggunakan segera sebagi
balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, dan perbaikan.
7) Dengan manusia sebagai instrumen, respon yang aneh atau menyimpang,
justru mendapat perhatian. Respon yang lain dari yang lain, bahkan
bertentangan dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan
pemahaman mengenai aspek yang diteliti.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Guba dan Lincoln (dalam Basrowi &
Suwandi, 2008, hlm. 173) menjelaskan ciri-ciri umum manusia sebagai
instrumen pada penelitian kualitatif, dapat diidentifikasi sebagai berikut:
responsif, dapat menyesuaikan diri, menekankan keutuhan, mendasarkan diri
atas perluasan pengetahuan, memproses data secepatnya, memanfaatkan
kesempatan untuk mengklarifikasikan dan mengikhtisarkan, serta
44
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Sedangkan Danim (2003, hlm. 252) memberikan penjelasan beberapa
alasan mengapa manusia sebagai instrumen utama dalam penelitian kualitatif
yakni sebagi berikut:
1) Peneliti sebagi instrumen dapat berinteraksi dengan responden dan
lingkungan yang ada, memiliki kepekaan dan dapat bereaksi terhadap segala
stimulus yang diperkirakan bermakna bagi penelitian.
2) Peneliti sebagai instrumen dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek
keadaan dan dapat memahami situasi dalam segala seluk – beluknya.
Sebagai instrumen utama, peneliti dapat mengumpulkan aneka ragam data
pada berbagai jenis dan tingkatan karena sifat holistik penelitian kualitatif
menuntut kemampuan menangkap fenomena dan segala konteksnya secara
simultan.
3) Peneliti sebagai instrument dapat merasakan, memahami dan menghayati
secara kompeten dan simultan atas aneka fenomena yang muncul secara
kontekstual atau melalui proses interaksi. Bersamaan dengan itu, peneliti
dapat menganalisis, menafsirkan, dan merumuskan kesimpulan sementara
dalam menentukan arah wawancara dengan pengamatan selanjutnya
terhadap responden untuk memperdalam atau memperjelas temuan
penelitian.
4) Dengan adanya peneliti sebagai instrumen utama memungkinkan fenomena
dan respon yang aneh dan menyimpang, bahkan bertentangan, dapat digali
lebih jauh dan mendalam.
E. Teknik Pengumpulan Data
Ethnomathematics mempunyai kaitan yang sama dengan ethnography
dalam hal teknik lapangan yakni mengalami, bertanya dan memeriksa (Wolcott
1992, hlm. 21). Mengalami yang dimaksud dalam skripsi ini yakni terjun
langsung ke lokasi agar memperoleh kondisi yang tepat sebagai suatu studi
lapangan. Bertanya yang dimaksudkan dalam skripsi ini yakni melakukukan
pengumpulan data berupa observasi dan wawancara secara mendalam agar data
45
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
yakni meminta bukti – bukti berupa dokumen atau naskah yang berkaitan
dengan tujuan penelitian.
Peneliti terlebih dahulu melakukan studi pendahuluan,ke tempat penelitian
untuk mengetahui apakah penelitian dapat dilakukan. Studi pendahuluan sangat
penting untuk dilakukan sebagai acuan untuk melaksanakan langkah penelitian
selanjutnya. Studi pendahuluan dapat dilakukan dengan observasi atau
wawancara. Terdapat beberapa teknik pengumpulan data yang dalam penelitian
kualitatif antara lain:.
1) Wawancara
Moleong (2010, hlm. 186) menyatakan bahwa “wawancara adalah
percakapan dengan maksud tertentu, percakapan itu dilakukan oleh dua pihak
yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang
diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Sedangkan menurut Denzin dan Lincoln (Gunawan, 2013, hlm. 161)
mengatakan bahwa “wawancara merupakan suatu percakapan, seni mengajukan
pertanyaan dan mendengarkan. Wawancara bukan merupakan suatu hal yang
netral, melainkan pewawancara menciptakan kondisi nyata sehingga tanya
jawab dapat dilakukan dan jawaban dapat diperoleh. Wawancara menghasilkan
pemahaman situasi berdasarkan peristiwa-peristiwa dari interaksi tertentu.
Metode ini dipengaruhi oleh karakteristik personal pewawancara, meliputi ras,
kelas, suku, dan gender.”
Menurut Stainback (Sugiyono, 2009, hlm. 72) bahwa “dengan wawancara
peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang bagaimana
partisipan menginterpretasikan suatu situasi dan peristiwa yang terjadi, di mana
hal ini tidak bisa ditemukan melaui observasi”. Dalam penelitian ini wawancara
digunakan untuk menggali informasi lebih mendalam dari narasumber di
Keraton Kasepuhan Cirebon, sehingga peneliti memperoleh hasil yang
dibutuhkan. Dalam penelitian ini wawancara data primer dilakukan kepada
orang – orang yang di tunjuk oleh Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon. Secara
46
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
1. Menyiapkan pokok masalah yang akan menjadi bahan untuk
dilakukannya wawancara.
2. Menemui narasumber yang akan diwawancarai yang telah ditunjuk oleh
Sultan keraton Kasepuhan Cirebon.
3. Memulai wawancara.
4. Memverifikasi hasil wawancara dan mengakhiri wawancara.
5. Menuliskan hasil wawancara ke dalam bentuk catatan lapangan.
6. Mengidentifikasi dan menganalisa hasil wawancara yang telah
diperoleh.
Secara praktik dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis wawancara
tidak terstruktur. Daymond dan Holloway (2007, hlm. 264) menjelaskan bahwa
“dalam wawancara tak terstruktur, tidak ada pertanyaan yang ditentukan
sebelumnya kecuali pada tahapan sangat awal, yakni ketika memulai
wawancara dengan melontarkan pertanyaan umum dalam area studi. Menurut
Endraswara (2006, hlm.166), wawancara tak terstruktur digunakan pada
keadaan sebagai berikut:
1. Bila pewawancara berhubungan dengan orang penting
2. Ingin menanyakan secara mendalam tentang subjek penelitian
3. Apabila penelitian bersifat discovery (penemuan)
4. Jika tertarik untuk berhubungan langsung dengan informan
5. Apabila hendak mengungkapkan peristiwa, situasi yang bersifat khusus.
Wawancara berfungsi untuk memperoleh data berupa dialog lisan dengan
narasumber dan memberikan informasi yang lebih mendalam terkait bahan
yang dibutuhkan oleh peneliti dalam penelitian ini. Waktu untuk melakukan
wawancara dengan narasumber sendiri dapat dikatakan fleksibel mengingat
bisa dilakukan pagi, siang, maupun sore hari. Pertanyaan – pertanyaan yang
ditunjukkan narasumber bisa juga spontanitas dalam bentuk konfirmasi kepada
narasumber. Dalam melakukan wawancara dapat digunakan media alat bantu
lain seperti alamat perekam percakan, gambar maupun video dan juga catatan –
47
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
2) Observasi
Menurut Arikunto (dalam Gunawan, 2013, hlm. 143) mengatakan bahwa
“observasi merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara melakukan penelitian secara teliti dan pengamatan secara sistematis.
Observasi adalah studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial
dan gejala-gejala psikis dengan jalan pengamatan dan pencatatan.” Sedangkan
menurut Purwanto (dalam Basrowi & Suwandi, 2008, hlm. 93), mengatakan
bahwa “observasi adalah metode atau cara-cara menganalisis dan mengadakan
pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau
mengamati individu atau kelompok secara langsung. Observasi digunakan
untuk melihat dan mengamati secara langsung keadaan di lapangan agar peneliti
memperoleh gambaran yang lebih luas mengenai permasalahan yang diteliti.”
Guba dan Lincoln (dalam Gunawan, 2013, hlm. 144) menyatakan bahwa
alasan dilakukan observasi dalam penelitian kualitatif adalah sebagai berikut.
1. Observasi merupakan pengalaman langsung yang merupakan cara
ampuh untuk memperoleh kebenaran.
2. Melalui observasi peneliti dapat melihat dan mengamati sendiri dan
mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang sebenarnya.
3. Observasi memungkinkan peneliti mencatat peristiwa yang berkaitan
dengan pengetahuan yang relevan maupun pengetahuan yang diperoleh
dari data penelitian.
4. Observasi dapat menghilangkan bias atau penyimpangan informasi
atau data yang telah diperoleh.
5. Observasi memungkinkan peneliti untuk memahami situasi dan
perilaku kompleks.
6. Observasi bisa dilakukan pada kasus-kasus tertentu yang tidak bisa
tidak dapat dilakukan dengan menggunakan teknik komunikasi
lainnya.
3) Studi Dokumentasi
Menurut Cresswell (2009, hlm. 180) dokumen yang dimaksud dapat
berupa dokumen pribadi (seperti jurnal, diari atau surat) atau dokumen
48
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
penelitian atau berasal dari partisipan saat penelitian dilakukan.
Dokumentasi merupakan pelengkap daripengunaan metode observasi dan
wawancara dalam penelitian kualitatif. Dokumen dapat berbentuk tulisan,
gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Studi dokumen
merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara
dalam penelitian kualitatif.
4) Catatan Lapangan (Field Notes)
Menurut Bogdan dan Biklen (dalam Gunawan, 2013, hlm. 184),
catatan lapangan adalah tulisan-tulisan atau catatan-catatan mengenai
segala sesuatu yang didengar, dilihat, dialami, dan bahkan dipikirkan oleh
peneliti selama kegiatan mengumpulkan dan merefleksikan data dalam
kajian penelitiannya. Catatan lapangan harus dikerjakan segera setelah
peneliti melakukan pengamatan (observasi), wawancara, atau kegiatan yang
berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Keberhasilan memperoleh data
penelitian sangat ditentukan oleh kerincian, ketepatan, keakuratan, dan
keekstensifan catatan lapangan yang ditulis.
Peneliti dalam mengerjakan catatan lapangan menurut Williams
(dalam Gunawan, 2013, hlm. 186), harus memperhatikan beberapa hal,
yaitu pengambilan catatan lapangan yang dilakukan secara teratur, dimana
di dalamnya diperlukan kreativitas, merupakan cara yang paling utama dari
setiap peneliti kualitatif untuk memelihara alur dari sesuatu yang dilihatnya,
didengarnya, dipikirkannya, dirasakannya, dipelajarinya, dan berbagai hal
lainnya. Jadi catatan lapangan yang baik dapat memberikan kontribusi yang
baik bagi penelitian ini.
5) Rekaman Suara
Peneliti menggunakan akat perekam suara bertujuan untuk
melengkapi catatan lapangan dan mengabadikan hasil wawancara agar
dapat diputar berulang – ulang liputan wawancara dengan narasumber. Ary
et al (2006, hlm, 439) mengatakan bahwa “salah satu cara yang paling
efisien untuk mengkoleksi data adalah menggunakan rekaman suara.
Dengan menggunakan rekaman suara akan lebih fokus dibandingkan
49
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
6) Rekaman Video
Perekam video hampir memiliki kegunaan yang sama dengan
perakam suara. Berfungsi sebgai pelengkap dan juga untuk mengabadikan
momen wawancara dengan narasumber. Baik rekaman video maupun suara
mempunyai keunggulan dan kekuranggannya masing – masing. Perekam
suara cenderung fleksibel tetapi tidak dapat menampilkan bentuk visual
ketika wawancara sedang berlangsung. Menurut Ary et al (2006: 439),
rekaman video dapat digunakan untuk mengkoleksi data wawancara.
Berdasarkan penjelasan – penjelasan tersebut maka teknik pengumpulan data
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi, studi
dokumentasi, catatan lapangan, rekaman audio dan rekaman video.
F. Teknik Analisis Data
Gunawan (dalam Budrisari 2014, hlm. 63) menjelaskan bahwa “analisis
data kualitatif sesungguhnya sudah dimulai saat peneliti mulai mengumpulkan
data, dengan cara memilah mana data yang sesungguhnya penting atau tidak.
Ukuran penting atau tidaknya mengacu pada konstribusi data tersebut pada
upaya menjawab fokus penelitian”. Miles dan Huberman (dalam Sugiyono,
2013, hlm. 246) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif
dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus menerus sampai tuntas atau
datanya jenuh. Aktivitas dalam analisis data tersebut adalah reduksi data,
penyajian data, dan interpretasi data.
1) Reduksi data
Reduksi data adalah proses merangkum, memilih hal-hal pokok,
memfokuskan pada hal-hal penting, mencari tema dan pola, dan
mengorganisasikan data-data yang telah diperoleh sehingga diperoleh suatu
tema, pola, atau gambaran yang lebih jelas.
2) Penyajian data
Setelah dilakukan pereduksian data, maka langkah selanjutnya adalah
penyajian data. Dalam penelitian kualitatif data bisa disajikan dalam bentuk
uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flow chart, dan sejenisnya.
50
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
bentuk yang paling sering digunakan dalam penyajian data untuk data
penelitian kualitatif adalah teks narasi.
3) Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi data
Langkah ketiga dalam teknik analisis data kualitatif menurut Miles
dan Huberman (Sugiyono, 2013, hlm. 252) adalah penarikan kesimpulan
dan verifikasi data. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat
sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang
mendukung pada tahap pengumpulan data selanjutnya. Sehingga
kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan
masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena
rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan
berkembang setelah penelitian dilakukan. Proses verifikasi data tidak
dilakukan oleh peneliti seorang diri, tetapi dibantu oleh pelaku budaya
sebagai subjek penelitian, anggota tim penelitian, dan para ahli terkait.
Berdasarkan penjelasan – penjelasan tersebut maka maka Teknik yang diambil
dalam skripsi ini adalah memilah dan merapihkan data yang diperoleh dari
teknik pengumpulan data yang sekiranya diperlukan dalam penelitian
G. Teknik Pengujian Keabsahan Data
Dalam sebuah penelitian kualitatif terdapat beberapa teknik untuk
melakukan uji data. Sugiyono (2013, hlm. 269) menyatakan bahwa uji
keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji kredibilitas (validitas
internal), uji transferability (validitas eksternal), uji dependability (reliabilitas),
dan uji konfirmability (objektivitas).
1) Uji Kredibilitas
Menurut Sugiyono (2013, hlm. 270) bahwa “uji kredibilitas data hasil
penelitian kualitatif dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan
cara perpanjangan pengamatan, triangulasi (perubahan situasi sumber,
teknik, waktu), kajian pustaka atau referensi dan membercheck
(pengembalian hasil data dari peneliti ke narasumber data)”. Peneliti melakukan pengamatan dengan melakukan mengecek data yang diperoleh
51
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
menggunakan bahan referensi dari berbagai sumber untuk memperkuat
hasil data yang diperoleh serta mengkonfirmasi apa yang diperoleh peneliti
dari berbagai referensi tersebut kepada narasumber.
2) Uji Transferability
Menurut Sugiyono (2013, hlm. 276) bahwa “transferability merupakan
validitas eksternal dalam penelitian kuantitatif. Validitas eksternal
menunjukkan derajat ketepatan atau dapat diterapkannya hasil penelitian
pada populasi dimana sampel tersebut diambil”. Peneliti membuat laporan penelitian dalam bentuk skripsi dengan uraian yang jelas, rinci, sistematis,
dan dapat dipercaya, sehingga orang lain dapat memahami hasil penelitian
yang dilakukan oleh peneliti.
3) Uji Dependability
Sugiyono (2013, hlm. 277) mengatakan bahwa “uji dependability
dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian.
Caranya dilakukan oleh auditor yang independen, atau pembimbing untuk
mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian. Jika
peneliti tidak dapat menunjukkan ‘jejak aktivitas lapangannya’, maka
dependabilitas penelitiannya patut diragukan”. Peneliti melakukan bimbingan dengan dosen pembimbing untuk melakukan audit atau
pengawasan terhadap keseluruhan hasil penelitian.
4) Uji Konfirmability
Menurut Sugiyono (2013, hlm. 277) bahwa “uji konfirmability mirip
dengan uji dependability, sehingga pengujiannya dapat dilakukan secara
bersamaan. Menguji konfirmability berarti menguji hasil penelitian yang
dikaitkan dengan proses yang dilakukan”. Peneliti melakukan bimbingan
52
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
H. Prosedur Penelitian
Terdapat 3 tahapan dalam skripsi ini yaitu:
1) Tahap Penelitian Pendahuluan
Dilakukan di lapangan dan di luar lapangan. Pada tahap ini dimulai
dengan penelitian pendahuluan, studi literatur, merumuskan masalah, tujuan
umum.
2) Tahap Persiapan
Mengidentifikasi masalah dan informasi hasil penelitian pendahuluan,
serta melakukan analisis data hasil penelitian pendahuluan. Dari analisis
data tersebut selanjutnya peneliti menentukan fokus masalah yang akan
dijadikan bahan penelitian beserta tujuan penelitiannya, melakukan studi
literatur, diskusi dengan pembimbing dan validasi instrumen (kesiapan
peneliti).
3) Tahap Pelaksanaan
Melakukan penelitian dengan cara mengumpulkan data dari lapangan.
yaitu menemui subjek penelitian yang sesuai kriteria, melakukan penelitian
dengan mengumpulkan data dalam bentuk catatan lapangan, audio record,
video dan foto hasil dari proses observasi dan wawancara dengan
narasumber.
4) Tahap Penyelesaian
Pada tahap ini, peneliti menuangkan hasil penelitiannya ke dalam
bentuk karya ilmiah berupa skripsi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pengumpulan data hasil penelitian.
2. Pengolahan data hasil penelitian.
3. Analisis data hasil penelitian, serta membahas dan mendeskripsilan
temuan hasil dari penelitian ke dalam karya ilmiah.
4. Pengujian keabsahan data.
5. Penyimpulan data hasil penelitian.
99
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap ide-ide matematis yang terdapat
pada kalender aboge yang digunakan sebagai penentu waktu hari – hari besar Islam
dan upacara adat di Keraton Kasepuhan Cirebon. Hasil penelitian ini menunjukkan
adanya ide-ide matematis terkait dengan kehidupan berbudaya masyarakat
Kampung Naga yang ditemukan yaitu:
1. Model matematika dibentuk untuk memudahkan menghitung secara cepat hari
serta pasangan pasaran ke-n dari suatu hari pasaran (misal hari pasaran m).
Model matematika yang terbentuk adalah a ≡ b (mod 35) atau a = 35p + b,
dengan a adalah hari ke – n, b adalah sisa dan p anggota bilangan asli.
2. Model matematika dibentuk untuk memudahkan perhitungan hari dan pasaran
pada kalender aboge. Untuk menentukan awal hari pada setiap bulan yakni
dengan cara menjumlahkan antara HRHT dan HRHB, jika hasilnya lebih dari 7
maka bagi dengan tujuh. Jika hasil pembagian tersebut bersisa maka lihat
sisanya jika sisa tersebut 1 maka jatuh pada hari rabu, 2 Kamis, dan seterusnya
setiap kelipatan tujuh. Model matematika yang terbentuk adalah HRHT
+HRHB ≡ b (mod 7) atau HRHT + HRHB = 7p + b, dengan b adalah sisa dan
p anggota bilangan asli. Untuk menentukan awal pasaran pada setiap bulan
yakni dengan cara menjumlahkan antara HRPT dan HRPB, jika hasilnya lebih
dari 5 maka bagi dengan 5. Jika hasil pembagian tersebut bersisa maka lihat
sisanya jika sisa tersebut 1 maka jatuh pada pasaran wage, 2 kliwon, dan
seterusnya setiap kelipatan lima. Model matematika yang terbentuk adalah
HRPT +HRPB ≡ b (mod 5) atau HRPT + HRPB = 7p + b, dengan b adalah
sisa dan p anggota bilangan asli.
3. Terdapat keteraturan pola pada cara kedua untuk mengetahui awal hari dan
99
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Cara menentukan tahun pada siklus windu yakni dengan cara mengurangkan Tahun
Hijriyah (TH) dengan 2, kemudian bagi dengan angka 8. Jika bersisa 1 maka tahun
Alif, bersisa 2 tahun He dan seterusnya setiap kelipatan 8. Cara tersebut dapat kita
permudah dengan menggunakan model aritmatika yakni TH - 2 ≡ b (mod 8) atau
TH - 2 = 8p + b, dengan b adalah sisa dan p anggota bilangan asli.
B. SARAN
Peneliti menyampaikan saran atau rekomendasi melalui penelitian ini yakni
sebagai berikut:
1. Perhitungan untuk menentukan nama tahun pada siklus windu
sebaiknya menggunakan rumus TH - 2 ≡ b (mod 8) atau TH - 2 = 8p +
b, dengan b adalah sisa dan p anggota bilangan asli agar perhitungan
yang dilakukan benar.
2. Kepada warga masyarakat di Keraton Kasepuhan Cirebon, penelitian ini
memberikan rekomendasi bahwa kearifan lokal Keraton Kasepuhan
Cirebon mengandung ide matematis sehingga perlu untuk dibuat
dokumen tertulisnya agar dapat menjadi bukti sejarah/artefak.
3. Kepada matematikawan, penelitian ini dapat memberikan rekomendasi
bahwa sistem penanggalan Keraton Kasepuhan Cirebon layak
dipandang sebagai salah satu hal yang memiliki keterkaitan dengan
matematika. Keterkaitan itu dapat dilihat dari cara berpikir, membuat
kesimpulan, dan sebagainya hingga pada model matematika yang
diperoleh berdasarkan penelitian ini.
4. Kepada peneliti ethnomathematics selanjutnya yang mengkaji sistem
penanggalan penanggalan Keraton Kasepuhan Cirebon diharapkan
dapat mengungkap sistem penanggalan ini terkait dengan bangsa lain
seperti penanggalan Hindu pada jaman kerajaan Hindu.
5. Penelitian ini memberikan rekomendasi bahwa budaya setempat siswa
100
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON