• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSPRESI VERBAL LINGUISTIK PADA PENDERITA FOBIA MELALUI NEUROLINGUISTIC PROGRAMMING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EKSPRESI VERBAL LINGUISTIK PADA PENDERITA FOBIA MELALUI NEUROLINGUISTIC PROGRAMMING"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

EKSPRESI VERBAL LINGUISTIK PADA PENDERITA FOBIA MELALUI NEUROLINGUISTIC PROGRAMMING

SKRIPSI

OLEH ISTIKA SURI NIM 140701023

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

EKSPRESI VERBAL LINGUISTIK PADA PENDERITA FOBIA MELALUI NEUROLINGUISTIC PROGRAMMING

OLEH ISTIKA SURI NIM 140701032

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ilmu Budaya dan telah disetujui oleh:

Dosen Pembimbing,

Dr. Gustianingsih, M. Hum.

NIP 19640828 198903 2 001

Program Studi Sastra Indonesia Ketua,

Drs. Haris Sultan Lubis, M.S.P.

NIP 19590907 198702 1 002

(3)

PERNYATAAN

Penulis menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di suatu perguruan tinggi.

Sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan penulis ini tidak benar, penulis bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar sarjana yang penulis peroleh.

Medan, Juli 2018

Istika Suri NIM 140701023

(4)

EKSPRESI VERBAL LINGUISTIK PADA PENDERITA FOBIA MELALUI NEUROLINGUISTIC PROGRAMMING

ISTIKA SURI

(FAKULTAS ILMU BUDAYA) ASBTRAK

Penelitian ini mendeskripsikan ekspresi verbal linguistik penderita fobia dalam bahasa Indonesia serta terapi Neurolinguistic Programming dalam upaya penyembuhan fobia tersebut. Data yang digunakan adalah data lisan dan data tulisan. Data dikumpulkan dengan metode simak dan metode cakap. Kemudian data dianalisis dengan menggunakan metode padan dan hasilnya disajikan dengan metode formal dan informal. Teori yang digunakan adalah teori psikolinguistik dan pragmatik. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan ekspresi verbal yang signifikan antara sebelum dan sesudah diterapi. Selanjutnya, upaya-upaya Neurolinguistic Programming dalam penyembuhan fobia: upaya untuk memahami individu (membangun rapport), upaya untuk membangkitkan rasa percaya diri individu dengan motivasi, upaya untuk membuat penderita berpikir positif tentang objek fobianya, upaya untuk membuat penderita percaya bahwa terapi ini akan berhasil, dan upaya menggunakan metafora.

Kata kunci: fobia, pikiran, memori, ekspresi verbal, terapi, dan motivasi.

(5)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...i

PERNYATAAN... ...ii

ABSTRAK... ...iii

PRAKATA... ...iv

DAFTAR ISI...v

DAFTAR GAMBAR...vii

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang...1

1.2. Rumusan Masalah...6

1.3. Tujuan Penelitian...6

1.4. Manfaat Penelitian...6

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA...8

2.1. Konsep...8

2.1.1. Neuro-Linguistic Programming...8

2.1.2. Trauma...9

2.1.3. Fobia...9

2.1.4. Ekpresi Verbal Linguistik...10

2.1.5. Perilaku...10

2.1.6. Proses Mental...11

2.2. Landasan Teori...11

2.2.1. Psikolinguistik...11

2.2.2. Pragmatik...13

2.3. Kajian Pustaka...16

BAB III METODE PENELITIAN...21

3.1. Sumber Data...21

3.2. Metode dan Teknik Pengumpulan Data...21

3.3. Metode dan Teknik Analisis Data...22

(6)

3.4. Metode dan Teknik Penyampaian Data...31

BAB IV PEMBAHASAN...32

4.1 Ekspresi Verbal Linguistik Penderita Fobia Melalui Neurolinguistic Programming...32

4.2 Pemanfaatan Neurolinguistic Programming Sebagai Upaya Penyembuhan Penyakit Fobia...48

BAB V SIMPULAN DAN SARAN...56

5.1 Simpulan... ...56

5.2 Saran...57

DAFTAR PUSTAKA...58

LAMPIRAN...60

(7)

DAFTAR GAMBAR

3.1 Contoh Foto Lubang...22

3.2 Contoh Foto Lintah... ...25

3.3 Contoh Foto Kucing.... ...26

4.1 Langkah-langkah saat proses terapi.. ...34

4.2 Ekspresi TSW sebelum diterapi... ...36

4.3 Ekspresi TSW sesudah diterapi... ...38

4.4. Ekspresi SRN sebelum diterapi...40

4.5 Ekspresi SRN sesudah diterapi.. ...42

4.6 Ekspresi RA sebelum diterapi... ...45

4.7 Ekspresi RA sesudah diterapi.. ...47

(8)
(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Neurologi adalah ilmu yang berhubungan dengan saraf. Proses neurologi adalah suatu proses ketika kerja otak manusia menerjemahkan pengalaman- pengalaman yang diterima ke dalam fungsi fisiologinya. Termasuk ke dalamnya perihal bahasa, baik verbal maupun non verbal serta penggunaannya dalam kehidupan. Otak memproses pola kata-kata spesifik yang akan digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu. Terdapat suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang hal ini, yaitu neurolinguistik.

Neurolinguistik adalah cabang ilmu yang mempelajari tentang bahasa yang direpresentasikan dan diproses di dalam otak. Ilmu ini mengungkapkan bagian- bagian otak yang terlibat dalam memproduksi dan memahami berbagai aspek dalam bahasa (Siahaan, 2008: 85). Kajian neurolonguistik juga merupakan kajian yang berupaya memahami kerja otak untuk memproses kegiatan berbahasa sebagaimana psikolinguistik, hanya saja fokusnya berbeda. Jika psikolinguistik fokus pada pemerolehan bahasa anak serta mencoba memahami perspektif proses komprehensi atau produksi bahasa yang terjadi di otak manusia, neurolinguistik berfokus pada upaya untuk membuat sebuah model neural program yang merupakan rekonstruksi kerja otak dalam memproses kegiatan bicara, mendengar, membaca, menulis, dan berbahasa isyarat yang mengganggu kemampuan berkomunikasi.

(10)

Cabang ilmu ini kemudian menciptakan sebuah istilah baru yaitu Neurolinguistic Programming (NLP). Salah satu penggagas teori NLP, John Grinder, mengartikan NLP sebagai sebuah strategi belajar. Bukan sekadar strategi biasa, melainkan Grinder memaknainya sebagai strategi belajar yang dipercepat (accelerate learning strategy). Sementara menurut Richard Bandler yang merupakan rekan seperguruan Grinder, memberi makna NLP sebagai sebuah sikap mental dan metodologi. Hampir mirip dengan yang diungkapkan Grinder, menurut Bandler, metodologi dalam NLP berfungsi untuk menjalankan segala teknik yang cepat dan tepat guna atau sering dibahasakan dengan kata efektif.

Menurutnya, NLP adalah sebuah sikap mental dan metodologi yang ada di balik segenap teknik yang efektif.

Lain halnya dengan Teddi Prasetya Yuliawan, pendiri Indonesia NLP Society dalam bukunya Neurolinguistic Programming: The Art of Enjoying Life (2010) menegaskan bahwa NLP berkutat pada perubahan. Menurutnya, perubahan tersebut dapat kita lakukan dengan cara melakukan intervensi atau programming terhadap program yang sudah ada di dalam pikiran kita (neuron) dengan menggunakan media bahasa (linguistic). NLP berasumsi setiap manusia sebenarnya telah memiliki program dalam dirinya masing-masing. Program itu bisa didapatkan dari keturunan (faktor genetik) ataupun proses belajar selama hidup. Aktivitas NLP inilah yang kemudian akan menyesuaikan atau mengubah program tersebut sehingga menjadikan pribadi tersebut lebih efektif sebagai individu. Namun, NLP hanya bisa membantu kita menciptakan perubahan efektif jika kita meyakini betul bahwa sebenarnya diri kita sendiri yang berperan sebagai pengontrol segala kondisi yang kita miliki (Sailendra, 2017: 2-3).

(11)

NLP merupakan sebuah panduan untuk berpikir dan mengizinkan kita untuk menggunakan bahasa pikiran untuk kemudian secara konsisten dapat meraih apa yang diinginkan secara spesifik dan jelas. Teknologi pikiran ini bertujuan untuk mengeksplorasi cara kerja otak (pikiran) manusia; berpikir, mengembangkan keinginan, tujuan hidup, rasa takut, memotivasi diri, membuat koneksi atau hubungan, dan memberikan makna pada pengalaman-pengalaman kita.

Fobia adalah ketakutan yang sangat berlebihan dan bersifat irasional (tidak masuk akal) serta absurd (tidak objektif) terhadap benda atau keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan penderitanya. Hal ini akan berdampak pada emosi seseorang.

Berbicara tentang rasa takut, tentu kata “trauma” langsung melekat dalam pikiran kita. Trauma sendiri berarti keadaan jiwa atau tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat dari tekanan jiwa atau cedera jasmani. Keadaan jiwa yang tidak normal ini dapat diakibatkan oleh pengalaman pahit yang pernah dialami oleh si penderita. Biasanya dipicu oleh kejadian yang tidak menyenangkan, tindak kekerasan, atau sesuatu yang sangat disayangkan sehingga menimbulkan dampak negatif pada jiwanya. Untuk itu, penderita membutuhkan dukungan dari orang- orang terdekatnya untuk membantu meredakan trauma yang ada dalam dirinya.

Apabila kurang adanya dukungan, maka trauma tersebut akan mengarah kepada penyakit yang lebih serius yang disebut fobia.

Penyebab atau pemicu fobia adalah objek atau situasi yang sama sekali tidak berbahaya, tetapi bagi penderita fobia, objek atau situasi tersebut menimbulkan rasa takut teramat kuat. Objek fobia dipersepsikan membahayakan, padahal kenyataannya tidaklah demikian. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa fobia termasuk jenis ketakutan neurotik, yaitu jenis ketakutan yang reaksi

(12)

emosionalnya sangat berlebihan dan tidak sebanding dengan rangsangan pemicu/penyebab ketakutan tersebut.

Fobia pada seseorang

Proses penyembuhan fobia ini memerlukan waktu yang cenderung lama dan sulit serta biaya yang cukup tinggi mengingat keadaan jiwa ini sudah berada pada tahap yang lebih parah daripada sekadar trauma. Ada beberapa cara yang yang dikenal masyarakat untuk menghilangkan fobia. Namun, beberapa teknik penyembuhan justru membuat penderita tidak nyaman melakukan terapi penyembuhan. Contohnya adalah orang yang fobia pada ketinggian, dalam proses terapinya ia harus pelan-pelan mencoba naik ke tempat tinggi. Inilah mengapa banyak orang enggan untuk melakukan terapi menghilangkan fobia. Lain halnya dengan teknik Neurolinguistic Programming yang memberi sugesti positif untuk membangkitkan rasa percaya diri. Teknik ini beranggapan jika penyebab awal fobia cukup hanya diketahui peristiwanya dan individu tidak diminta menjelaskan

disebabkan oleh trauma masa lalu dan biasanya trauma itu membekas di alam bawah sadarnya. Selain itu, pola pendidikan yang keliru, faktor genetik (keturunan), dan faktor lingkungan juga merupakan faktor-faktor penyebab fobia. Contohnya adalah apabila ada seseorang yang takut terhadap ular, bukanlah suatu bentuk fobia bila ular itu adalah ular asli (bukan mainan).

Ketakutan yang dirasakan tergolong reaksi tubuh yang normal karena umumnya ular dianggap sebagai binatang berbahaya (alasan logis/masuk akal). Sebaliknya, akan tergolong sebagai fobia bila ketakutan terhadap ular bukan hanya pada ular asli, tetapi juga pada ular palsu/mainan, gambar ular, menyaksikan tayangan ular, bahkan mendengar orang lain membicarakan tentang ular. Fobia ini disebut dengan ophidiophobia.

(13)

secara detail mengenai peristiwa tersebut atau malah menunjukkannya. Teknik NLP tidak memfokuskan penanganan pada penyebab fobia (content peristiwa), tetapi kepada gangguan emosi yang dirasakan (konteks dari suatu penyimpangan psikologis). Sebab-sebab suatu penyimpangan tidak digali secara mendetail karena tindakan tersebut hanya akan memperlemah mental individu yang bersangkutan (kondisi dis-empower). Individu yang diterapi harus berada dalam pikiran optimal (empower).

NLP cenderung melakukan pendekatan dengan menggunakan bahasa tanpa harus memaksa penderitanya untuk langsung melihat atau merasakan fobianya itu sendiri. Ekspresi verbal linguistik (bahasa) yang timbul sebagai hasil dari konversasi yang terjadi antara penderita fobia dan terapis NLP ini kemudian menjadi sebuah tanda tanya besar. Bagaimana bisa bahasa mengubah pola pikir seseorang sehingga menghasilkan ekpresi verbal linguistik yang berbeda? Untuk itulah, ekspresi verbal linguistik penderita fobia antara sebelum dan sesudah diterapi menjadi suatu kajian yang menarik untuk dibahas.

Penelitian tentang ekpresi verbal lingustik melalui Neurolinguistic Programming (NLP) ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa akurat bahasa

bisa mengubah cara pandang manusia terhadap sesuatu (dalam kasus ini penyembuhan fobia). Serta menelaah ekspresi verbal linguistik yang dihasilkan sebelum dan sesudah terapi NLP ini.

(14)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah ekspresi verbal linguistik penderita fobia melalui Neurolinguistic Programming?

2. Bagaimana pemanfaatan Neurolinguistic Programming sebagai upaya penyembuhan penyakit fobia ini?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang akan dibahas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengidentifikasi ekspresi verbal linguistik penderita fobia melalui Neurolinguistic Programming.

2. Menjabarkan usaha Neurolinguistic Programming sebagai upaya penyembuhan penyakit fobia.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini mencakup dua hal, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis Penelitian

1. Menambah khazanah pengetahuan tentang Neurolinguistic Programming.

2. Menambah khazanah pengetahuan tentang ekspresi verbal linguistik.

(15)

3. Memperkaya pengetahuan peneliti tentang manfaat Neurolinguistic Programming.

1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi peneliti-peneliti lain, yang ingin membahas Neurolinguistic Programming pada bidang yang berbeda.

2. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat mengenai hasil penelitian ini dalam penyembuhan fobia.

(16)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu Neurolinguistic Programming (NLP), trauma, fobia, dan ekspresi verbal linguistik.

2.1.1 Neurolinguistic Programming

Menurut O’Connor (2001: 1), penamaan Neurolinguistic Programming berasal dari tiga bidang yang dikombinasikan secara bersamaan:

a. Neurology, yaitu tentang pikiran dan bagaimana proses berpikir.

b. Linguistics, yaitu bagaimana cara penggunaan bahasa dan bagaimana itu memengaruhi kita.

c. Programming, yaitu bagaimana urutan tindakan yang kita lakukan untuk mencapai tujuan.

Dengan neurology, NLP mendasarkan teknik-tekniknya pada fakta bahwa saraf memegang peran sentral bagi seseorang dalam menyerap pengalaman.

Bagaimana saraf (dan berikutnya otak) menafsirkan pengalaman tersebut dan menggerakkan tubuh sesuai tafsir atas pengalaman itu. Dengan kata lain, otak dan saraflah yang sesungguhnya mengalami sesuatu.

Dengan linguistic, NLP menunjukkan bahwa neuro dapat dipengaruhi oleh bahasa dalam menafsirkan suatu pengalaman. Kata tertentu dapat memengaruhi otak agar memberi tafsir tertentu terhadap suatu pengalaman. Pengalaman yang

(17)

sama akan diberi tafsir berbeda oleh otak jika dirangsang dengan kata yang berbeda.

Dengan programming, NLP memberi kesempatan kepada kita untuk mengambil prakarsa mengendalikan cara otak/neuro dalam menafsirkan pengalaman melalui pengaturan rangsang bahasa.

2.1.2 Trauma

Trauma adalah jenis kerusakan jiwa yang terjadi sebagai akibat dari peristiwa traumatik. Ketika trauma yang mengarah pada gangguan stress pasca trauma, kerusakan mungkin melibatkan perubahan fisik di dalam otak, yang merusak kemampuan seseorang untuk memadai mengatasi stress (Wikan Susanti, 2011).

2.1.3 Fobia

Asal kata fobia mengacu pada suatu istilah dari bahasa Yunani, yakni phobos.

Artinya adalah takut dan panik (panic-fear), lari (fight), dan ketakutan sangat kuat yang dirasakan oleh seseorang (terror). Istilah tersebut telah dikenal sejak masa peradaban Yunani Klasik, yaitu pada masa masyarakat Yunani banyak memuja dewa (politeisme). Di antara dewa dan dewi yang dipuja, salah satunya bernama Phobos. Dewa Phobos dalam kepercayaan masyarakat Yunani klasik sangat diagungkan pada setiap peperangan besar. Masyarakat Yunani percaya bahwa rasa takut yang dialami oleh manusia berasal dari Phobos. Adapun orang Yunani yang pertama kali secara luas memperkenalkan istilah fobia adalah Hippocrates (460- 377 SM).

Menurut Kartono dalam Purnama (2016: 11), fobia adalah ketakutan atau kecemasan yang abnormal terhadap situasi atau objek tertentu. Lebih jauh lagi,

(18)

Kartono menguraikan jika semua jenis fobia merupakan ketakutan yang tidak beralasan (tidak masuk akal). Ketakutan ini jika ditelusuri ternyata memiliki kaitan dengan perasaan bersalah ataupun rasa malu yang ditekan. Selanjutnya, perasaan tersebut berubah menjadi rasa takut pada sesuatu objek/situasi tertentu.

Dengan demikian, konflik psikologis atau frustasi yang dialami akan terpendam dan tidak lagi dirasakan. Kartono menyimpulkan jika fobia merupakan rasa takut yang sifatnya berlebihan terhadap suatu hal atau fenomena yang membuat hidup orang itu akan terhambat karenanya.

2.1.4 Ekspresi Verbal Linguistik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ekspresi adalah pengungkapan atau proses menyatakan (memperlihatkan atau menyatakan maksud, gagasan, perasaan, dsb.). Jadi, ekspresi verbal linguistik adalah pengungkapan maksud, gagasan, atau perasaan melalui bahasa yang konkret sebagai sarananya. Dalam hal ini, ekpresi verbal yang ditunjukkan oleh seseorang, yaitu cara seseorang itu bertutur dan menyampaikan maksudnya pada konteks tertentu.

2.1.5 Perilaku

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Perilaku menurut Lahey (2012: 2) mengacu kepada semua tindakan nyata seseorang yang secara langsung dapat diamati oleh orang lain.

(19)

2.1.6 Proses Mental

Menurut Lahey (2012: 2), proses mental mengacu kepada pemikiran pribadi, emosi, dan alasan yang tidak bisa langsung diamati oleh orang lain.

2.2 Landasan Teori

Dalam penelitian ini, teori yang digunakan untuk mengidentifikasi ekspresi verbal penderita fobia dan usaha Neurolinguistic Programming sebagai upaya penyembuhan fobia adalah sebagai berikut.

2.2.1 Psikolinguistik

Psikolinguistik adalah ilmu tentang hubungan antara bahasa, perilaku, dan akal budi manusia (KBBI). Menurut Miller dalam Chaer (2009: 19), tugas utama psikolinguistik adalah menganalisis proses-proses psikologi yang berlaku apabila orang menggunakan kalimat-kalimat.

Psikolinguistik merupakan gabungan dari dua bidang ilmu yaitu psikologi dan lingusitik. Psikolinguistik dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari proses mental dan perilaku berbahasa. Ada tiga kata kunci, yaitu ilmu pengetahuan, perilaku, dan proses mental. Psikolinguistik mempertimbangkan ilmu pengetahuan karena para ahli berusaha memahami orang lain dengan berpikir kritis, teliti, dan observasi menggunakan bahasanya. Istilah perilaku mengacu kepada semua tindakan nyata seseorang yang secara langsung dapat diamati oleh orang lain. Ketika orang tersebut berjalan, berbicara, melempar bola, atau cemberut, semua tindakan yang berhubungan dengan indra. Istilah proses mental mengacu kepada pemikiran pribadi, emosi, dan alasan yang tidak bisa langsung diamati oleh orang lain. Karena mental proses bersifat pribadi, para

(20)

ahli menggunakan observasi dari perilaku umum untuk mengambil kesimpulan tentang proses mental.

Dalam psikolinguistik, terdapat teori memori yang telah dikembangkan oleh psikolog dengan menggunakan komputer sebagai modelnya. Teori memori pengolah informasi ini didasarkan pada kesamaan antara operasi otak manusia dan komputer. Dalam model pemrosesan informasi, informasi dapat diikuti melalui operasi berikut: masukan, penyimpanan, dan pengambilan. Informasi memasuki sistem memori melalui sensor reseptor. Informasi sensorik mentah yang dipilih kemudian diwakili atau dikodekan dari gambar visual, suara, dan makna yang dapat digunakan pada tahap berikutnya.

Memori adalah fungsi yang terlibat dalam proses mengenang masa lalu, keseluruhan pengalaman masa lalu yang diingat kembali, dan pengalaman khas yang paling diingat. Dari ketiga pengertian tersebut, maka memori disimpulkan sebagai fungsi, pengalaman, atau informasi, dan spesifikasi. Memori melibatkan apa yang dilihat dan dialami dengan merekamnya. Memori menggunakan rekaman itu untuk melakukan aktivitas. Namun tidak semua pengalaman bisa disimpan dengan baik, hanya informasi atau pengalaman tertentu yang memiliki kekhasan saja yang mampu tersimpan. Sehingga memori memerlukan suatu tempat untuk menyimpan, menerima, dan mengingat kembali informasi khusus.

Terdapat tiga tahapan dalam memori, yaitu register sensori (sensory register), memori jangka pendek (short-term memory), dan memori jangka panjang (long- term memory).

Tahapan pertama dalam memori adalah register sensori, tahap ini sangat singkat, dirancang untuk menyimpan gambar dari setiap pengalaman sampai

(21)

dapat sepenuhnya diproses. Tahap kedua yaitu memori jangka pendek, yang didalamnya terdapat lima sampai sembilan potongan informasi yang bisa disimpan dalam periode waktu yang singkat. Ketika informasi diproses lebih jauh, informasi itu ditransfer dari register sensori ke memori jangka pendek.

Begitu informasi dipindahkan ke memori jangka pendek, berbagai proses kontrol dapat diterapkan. Pengulangan dan potongan adalah dua contoh penting dari proses kontrol ini. Tahap ketiga dalam memori adalah memori jangka panjang, yaitu tempat penyimpanan informasi yang harus menyimpan untuk jangka waktu yang panjang. Memori jangka panjang ini tidak hanya lebih bertahan lama daripada memori jangka pendek, model tahapan ini menunjukkan jenis memori yang sangat berbeda.

Adapun empat perbedaan antara memori jangka pendek dan memori jangka panjang adalah: 1) ketika mencari informasi, pada memori jangka pendek bisa langsung ditemukan, sedangkan pada memori jangka panjang harus diindeks terlebih dahulu, 2) pada memori jangka pendek, informasi yang tersimpan berupa pengalaman (apa yang kita lihat, lakukan, rasakan, sentuh, atau dengar), sedangkan pada memori jangka panjang, informasi yang tersimpan adalah informasi mengenai maknanya, 3) memori jangka pendek ditangani di bagian lobus frontal dari korteks serebral, sedangkan memori jangka panjang terintegrasi di hippocampus (Lahey, 2012: 230-234).

2.2.2 Pragmatik

Geoffrey Leech di dalam bukunya yang berjudul The Principles of Pragmatics, mengungkapkan bahwa secara praktis pragmatis dapat didefinisikan sebagai studi mengenai makna ujaran di dalam situasi tertentu (Purba, 2002: 5-6).

(22)

Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa semiotik. Semiotik mengkaji bahasa verbal, lambang, simbol, tanda, serta pereferensian dan pemaknaannya dalam wahana kehidupan. Ilmu pragmatik mengkaji hubungan bahasa dengan konteks dan hubungan pemakaian bahasa dengan pemakai atau penuturnya.

Bahasa selalu diungkapkan dalam konteks. Di dalam dunia bunyi dan makna, terdapat konteks yang mempengaruhi keserasian sistem suatu bahasa. Menurut Rustono, konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana penjelas suatu maksud.

Sarana itu meliputi dua macam, yang pertama berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud dan yang kedua berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian. Konteks yang berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud itu disebut ko-teks (co-text). Koteks ini bersifat fisik. Sementara itu, konteks yang berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian lazim disebut konteks (context) saja.

Kajian tetang bagaimana makna dari ekspresi verbal linguistik berubah bergantung konteks disebut pragmatika. Pragmatika bersangkutan dengan cara- cara di mana penggunaan bahasa dipolakan dan bagaimana pola-pola tersebut mempengaruhi makna. Sebagai contohnya, dalam semua bahasa, ekspresi verbal linguistik dapat digunakan tidak hanya untuk memindahkan informasi, tetapi untuk melakukan aksi. Aturan-aturan sosial tentang bagaimana penggunaan bahasa dianggap sesuai dalam situasi tertentu dan bagaimana pengucapan dapat dipahami dalam relasi terhadap konteksnya beragam dalam komunitas, dan mempelajarinya adalah suatu bagian besar dari memperoleh kompetensi komunikatif dalam sebuah bahasa

(23)

Di dalam bidang ilmu pragmatik, terdapat satu kajian yang mencerminkan tindak atau perbuatan dari setiap pernyataan yang diujarkan. Kajian ini disebut dengan tindak bahasa atau tindak tutur. Tindak tutur hakikatnya dibahas dalam pendekatan etnolinguistik, sosiolinguistik, komunikasi, pragmatika, analisis percakapan, analisis interaksi, dan analisis wacana. Ujaran atau tindak tutur sangat tergantung dengan konteks ketika penutur bertutur. Tindak tutur merupakan gejala individu, bersifat psikologis, dan ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Tindak tutur dititikberatkan kepada makna atau arti tindak, sedangkan dalam peristiwa tutur lebih dititikberatkan pada tujuan peristiwanya. Searle mengemukakan bahwa secara pragmatik ada tiga jenis tindak tutur yaitu, 1) tindak lokusi, 2) tindak ilokusi, dan 3) tindak perlokusi. Tindak lokusi adalah saat penutur melakukan tindak bahasa dengan mengatakan sesuatu yang pasti. Tindak ilokusi adalah adalah tindakan dalam mengatakan sesuatu.

Tindak perlokusi adalah tindak bahasa yang pengutaraannya dimaksudkan untuk memengaruhi lawan tutur. Berdasarkan substansi linguistik, tindak tutur itu memiliki komponen dasar sebagai berikut:

a. Tindak bertutur: penyapa mengutarakan tuturan dari bahasa kepada pesapa di dalam konteks.

b. Tindak lokusi: penyapa mengatakan kepada pesapa di dalam konteks bahwa ada informasi.

c. Tindak ilokusi: penyapa berbuat fungsi tertentu dalam konteks.

d. Tindak perlokusi: penyapa memengaruhi pesapa dalam cara tertentu dalam konteks.

(24)

2.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap ekspresi verbal linguistik dalam Neurolinguistic Programming ini masih sedikit sekali dilakukan oleh para ahli. Berikut akan dijelaskan beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini.

Krugman dkk. (1985) dalam jurnalnya yang berjudul Neurolinguistic Programming Treatment for Anxiety: Magic or Myth? menyimpulkan bahwa hasil dari penelitian tersebut mengindikasikan bahwa dalam sekali perawatan NLP untuk fobia tidak lagi efektif dalam mengurangi kecemasan berbicara di depan umum tanpa adanya campur tangan diri sendiri dalam mengendalikannya dalam waktu yang sama atau mengontrol kondisi dalam daftar tunggu sebagai tindakan dari laporan untuk diri sendiri dan penilaian tingkah laku. Pada penelitian ini, subjek diinstruksikan untuk mengingat kembali situasi di mana mereka telah berperilaku dengan cara yang sangat kompeten. Perasaan kompetensi ini

"berlabuh" (berhubungan dengan kinestetik) dengan sentuhan di bahu.

Selanjutnya, subjek diperintahkan untuk menciptakan citra diri dewasa mereka menonton “film” dari pengalaman masa kecil yang menyedihkan terkait dengan ketakutan mereka berbicara di depan umum. Subyek diberitahu untuk melihat film pengalaman berbicara di depan umum sementara terapis memunculkan perasaan kompetensi melalui jangkar kinestetik untuk mengurangi kecemasan. Akhirnya, subjek diminta untuk mengintegrasikan gambar dewasa dan masa kecil mereka.

Hal ini hampir mirip dengan teknik FPC (Fast Phobia Cure), yaitu memutar kembali memori penderita dan memasukkan motivasi-motivasi untuk mengurangi masalahnya.

(25)

Chaerany (2010) dalam skripsinya yang berjudul Analisis Phobia Sebagai Pemahaman Kesadaran Manusia dalam Pemusatan Perhatian pada Pengalaman Subjektif menyimpulkan bahwa fobia adalah pengalaman subjektif dengan dorongan perasaan cemas atau takut itu berada dalam diri, maka akan dikembalikan kepada manusia. Musuh terbesar manusia adalah ketakutannya sendiri. Tidak perlu terapi atau obat penenang ketika orang sadar sepenuhnya bahwa kehidupan sangat berharga dan menjadi sia-sia apabila terus-menerus memlihara ketakutan. Ada korelasi pikiran dan penentuan kesadaran serta manusia punya kontrol diri untuk memaknai hidup dan tidak tenggelam dalam imajinasi. Imajinasi merupakan bagian kemampuan pikiran yang cukup berpengaruh selain kekuatan ingatan. Ingatan mampu menyimpan lembaran peristiwa seperti buku pengalaman, kuat, dan terus ada dalam pikiran, serta dapat muncul kembali sebagai kenangan. Selain itu, pengalaman masing-masing orang ketika mengalami fobia memiliki kualitas ketakutan yang berbeda-beda tergantung seberapa buruk dan seberapa takut yang dirasakan ketika mengalaminya.

Hadi, dan Zubaidah (2015) dalam jurnalnya yang berjudul “Pemanfaatan Konseling Neurolinguistic Programming dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa Sekolah Dasar” menyimpulkan bahwa Neurolinguistic Programming dalam pelaksanaan konseling di Yoga Atma dapat mengendalikan dan membentuk pola pikir yang pada akhirnya dapat menyelesaikan kesulitan belajar siswa sekolah dasar serta mampu membentuk sikap dan kepribadian klien dalam menyikapi berbagai hal dengan pola bahasa yang sesuai dengan karakter klien, selanjutnya dapat membentuk pola hidup dan perilaku klien. Hasil dari penelitian ini

(26)

menunjukkan bahwa sebuah kata adalah netral, tidak bernyawa, dan apa adanya.

Namun, bila kata itu diucapkan dengan intonasi tepat, (seperti memaki) dalam intensitas emosional yang tinggi dan ditujukan pada seorang anak, maka si anak akan mulai membuat persepsi bahwa dirinya adalah anak seperti yang dikatakan tersebut. Selain itu, dalam penelitian ini dijelaskan bahwa yang paling penting dari NLP adalah peneliti harus mengetahui terlebih dahulu tiga tipe penggolongan manusia; visual, auditory, dan kinestetik sehingga mampu mengatasi masalah belajar pada siswa. Untuk membantu klien keluar dari masalahnya, ada tiga konsep NLP yang digunakan: 1) Presuposisi, yaitu data awal yang diambil baik dari teman-teman klien, siswa terdekat, maupun formulir konseling, 2) Rapport, Pacing, and Leading, yaitu pemberian respek dan tanggapan, upaya mempertahankan dan memeliharanya, dan pemberian reaksi nonverbal, dan 3) Metafora, dalam sesi ini konselor berusaha memberikan perumpamaan sesuatu hal yang bisa menghilangkan kefokusan klien terhadap masalahnya dan klien menyadari bagaimana cara berubah dari masalah yang dihadapi klien.

Menurut Gustianingsih dan Widayati (2017), dalam jurnalnya yang berjudul

“The Tepribaskog Assesment Model to the Violations of Maxim of Quality in Bahasa Indonesia: A Case of Residural Type of Schizophrenia with Alogia Symptomps” menyimpulkan bahwa Prinsip kerja sama, terutama yang terjadi dalam kaidah-kaidah bahasa Indonesia adalah disebabkan oleh gangguan psikopragmatik skizofrenik yang parah. Tepribaskog diharapkan dapat memberikan solusi untuk mengurangi efek negatif skizofrenik, yang sebenarnya juga dapat mempengaruhi semua aspek kehidupan pasien: interaksi sosial, kesehatan emosional, dan kemampuan untuk bekerja. Dengan Tepribaskog,

(27)

strategi manajemen jangka panjang, dapat dilakukan sesingkat mungkin oleh perawat di rumah sakit, keluarga di rumah tanpa mengeluarkan uang dan sangat efisien dan dilakukan dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Salah satu subjek penelitian tidak dapat mengerti bahwa kejadian lama ketika dia berada di sekolah menengah pertama terjadi peristiwa yang sangat menyedihkan, yang kemudian membuatnya berasumsi semua guru yang sama akan memarahinya setiap saat dan akan memukulinya kapan saja. Namun, dengan adanya repetisi (pengulangan) sebagai berikut: "Kamu adalah gadis yang baik (10x), Kamu harus sukses (10x) berulang, Setelah ini Kamu pintar, Kamu bisa menjawab semua pertanyaan guru, guru adalah pahlawan (10x), sekali lagi pahlawan, sayang kepada murid-muridnya, Anda adalah murid yang pintar, Anda akan dicintai oleh guru Anda,” berhasil membuat subjek berekspektasi positif terhadap guru.

Menurut Wrastasi, dalam jurnalnya yang berjudul “Pengaruh Pemberian Pelatihan Neuro Linguistic Programming (NLP) Terhadap Peningkatan Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tubuh Pada Remaja Penyandang Cacat Tubuh Di Pusat Rehabilitasi Panti Sosial Bina Daksa “Suryatama” Bangil Pasuruan”, terdapat peningkatan penerimaan diri pada remaja penyandang cacat tubuh dan masing-masing individu merasakan manfaat dari pelatihan NLP terhadap diri mereka. Dalam jurnal ini, dicantumkan empat teknik yang diterapkan dalam NLP, yaitu: 1) Rapport Building, suatu proses alamiah untuk menyesuaikan dan berada dalam kesamaan dengan orang lain, 2) Anchoring, suatu stimulus yang membangkitkan respon yang konsisten dari individu yang terjadi melalui alat sensori manusia sebagai representasi internal atau eksternal, 3) Reframing (pembingkaian ulang), teknik untuk merubah frame atau bingkai dari

(28)

pemikiran klien pada saat ia menghadapi pengalaman yang tidak menyenangkan, dengan tujuan untuk mengubah pengertian mereka, 4) Membentuk perilaku baru, inti dari teknik ini adalah pada tahap pemisahan diri klien dari perilaku yang tidak diinginkannya. Dapat disimpulkan bahwa penelitian ini dan penelitian yang akan dillakukan saat ini sama-sama menggunakan teknik reframing.

Wikanengsih dalam jurnalnya yang berjudul “Menerapkan Neurolinguistic Programming (NLP) dalam Pembelajaran” menyimpulkan bahwa penerapan NLP dalam pendidikan, tidak sebatas hanya diterapkan sebagai metode mengajar, tetapi dapat pula diterapkan sebagai model pembelajaran. Teknik-teknik yang digunakan ialah 1) state of mind (keadaan pikiran yang ditunjukkan oleh sikap tubuh guru dan pilihan kata yang digunakan guru ketika memasuki kelas dan memulai pembelajaran), 2) rapport (hubungan baik), 3) penggunaan kata-kata modalitas belajar/sistem representasi (visual, auditory, kinestetik), 4) penggunaan kata-kata yang bermakna positif, 5) repetisi/pengulangan, 6) metafora. Dari penelitian ini diketahui bahwa pengombinasian antara perkataan atau bahasa verbal dengan bahasa tubuh menyebabkan komunikasi dua arah berjalan lancar dan mudah diterima oleh lawan bicara. Serta penggunaan kata-kata positif ketika berkomunikasi lebih dianjurkan mengingat pikiran bawah sadar manusia yang tidak mengenal kata-kata negatif seperti tidak, bukan, dan jangan.

(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Sumber Data

Data penelitian ini terdiri atas dua bagian yaitu, data lisan dan data tulisan.

Data lisan diperoleh dari subjek penelitian dan terapis Neurolinguistic Programming (NLP). Terdapat tiga subjek penelitian, yaitu TSW (22 tahun) yang mulai menderita fobia sejak berumur 20 tahun, SRN (23 tahun) yang mulai menderita fobia sejak berumur 7 tahun, dan RA (22 tahun) yang mulai menderita fobia sejak berumur 7 tahun. Data tulis diperoleh dari buku-buku yang memuat tentang Neurolinguistic Programming.

3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data, digunakan metode simak (Sudaryanto, 2015:204).

Data lisan dikumpulkan dengan menggunakan metode simak dengan teknik dasar yaitu teknik sadap. Teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap, yaitu peneliti terlibat langsung dalam dialog, konversasi, atau imbal wicara; jadi, turut serta dalam proses pembicaraan orang-orang yang saling bicara. Peneliti di samping memperhatikan penggunaan bahasa mitra wicaranya yang bersosok konkret, juga ikut serta dalam pembicaraan mitra wicaranya itu. Dalam hal ini, keikutsertaan peneliti adalah aktif, yaitu peneliti ikut angkat bicara dalam proses dialog atau konversasi atau imbal wicara. Kemudian dikombinasikan dengan teknik lanjutan lain yaitu teknik rekam. (Sudaryanto, 2015: 203-205). Data dikumpulkan dengan terjun langsung ke lapangan dan pusat terapi NLP Dr. Dinno Rilando guna mendapatkan keabsahan data. Data tulis didapatkan dengan teknik catat untuk

(30)

tambahan data. Jurnal, tulisan-tulisan yang berkaitan dengan Neurolinguistic Programming, Kamus, internet, dan buku-buku pendukung lain akan dijadikan sebagai bahan referensi.

3.3 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode analisis utama yang digunakan untuk menganalisis data dalam tulisan ini adalah metode padan. Metode padan adalah metode yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 2015:15). Metode padan digunakan karena dalam penganalisisan data merujuk kepada kata-kata yang bila diucapkan akan menimbulkan akibat emosional tertentu pada mitra wicara. Dalam hal ini, orang yang diajak bicara dengan segala reaksi atau tanggapannya yang menjadi penentu identitas satuan lingual-satuan lingual tertentu. Oleh karena itu, teknik yang digunakan merupakan teknik pragmatis dengan alat penentu mitra wicara.

(Sudaryanto, 2015: 18).

Contoh penganalisisan data diambil dari wawancara dengan tiga orang penderita fobia: TSW, SRN, dan RA. Masing-masing dari ketiga orang ini, sebelumnya telah ditunjukkan foto yang berhubungan dengan fobianya.

1. TSW, 21 tahun, penderita trypopohobia (takut terhadap lubang).

(31)

Gambar 3.1 Contoh Foto Lubang

Bentuk tuturan:

IS : “Kalau Kamu melihat foto ini, apa yang Kamu rasakan?”

TSW : “Ih!” (memalingkan wajah) ... (1) IS : “Bagaimana perasaan Kamu?”

TSW : (memutar bola mata ke atas) “Itu... tangan ada lubang-lubangnya, ada ulat yang keluar dari lubang itu. Ih... jijik, jijik.” (sambil mengangkat bahu setinggi rambut) ... (2)

Konteks tuturan : Peneliti menunjukkan foto lubang-lubang dan menanyakan TSW tentang bagaimana perasaannya.

Koteks tuturan : TSW memalingkan wajah, memutar bola mata ke atas, dan mengangkat bahunya.

Dari ekspresi verbal (1) yang diberikan, terbukti benar bahwa TSW mengidap trypophobia karena hanya dengan melihat foto, penderita fobia sudah langsung akan ketakutan, geli, atau bahkan merasa cemas. Hal ini terbukti saat TSW mengatakan “Ih!” dengan histeris disertai dengan ekspresi non verbal yaitu langsung memalingkan wajah saat melihat foto tersebut. Foto yang ditunjukkan kepada TSW masuk melalui indra penglihatannya. Kemudian foto atau gambar ini diproses pada tahap sensori register, yang berfokus pada sedikit informasi relevan dan memindahkannya ke tahap berikutnya. TSW langsung memalingkan wajah setelah otaknya berhasil memproses informasi itu sepenuhnya. Terdapat tiga tindak tutur dari ekspresi verbal “Ih!” yang disampaikan dengan histeris, yaitu: 1)

(32)

tindak tutur lokusi, bahwa TSW hanya memberikan reaksinya terhadap foto itu, 2) tindak tutur ilokusi, yaitu bahwa TSW benar-benar tidak suka terhadap foto itu dan tidak ingin melihatnya lagi, atau 3) tindak tutur perlokusi, bahwa peneliti secara refleks langsung menjauhkan foto itu darinya.

TSW cukup ekspresif saat menceritakan tentang apa yang dia rasakan setelahnya. TSW menunjukkan ekspresi non verbal yaitu memutar bola matanya ke atas, seolah-olah sedang mengingat saat pertama kali ia melihat lubang itu.

Dari ekspresi verbal (2), “Itu... tangan ada lubang-lubangnya,” yang kemudian dapat diketahui bahwa bentuk lubang-lubang yang TSW lihat sebelumnya masih tergambar jelas dalam memorinya. Karena TSW dapat menjelaskan dengan baik apa yang ia lihat sebelumnya, ini termasuk ke dalam memori jangka pendek (short-term memory) yang berhubungan dengan pengalaman fisiknya. Kemudian dari kalimat, “Ada ulat yang keluar dari lubang itu.” dapat diketahui bahwa TSW menganggap ada sesuatu yang keluar dari lubang-lubang itu meskipun sebenarnya tidak ada apapun yang keluar dari sana. Hal ini menandakan adanya daya imajinasi dari TSW tentang fobianya itu. Imajinasi merupakan bagian kemampuan pikiran yang cukup berpengaruh selain kekuatan ingatan. Dalam kasus ini, selain memori, imajinasi juga berperan penting terhadap timbulnya fobia pada setiap individu. Setelah itu TSW menambahkan “Ih... jijik, jijik!” yang diiringi dengan ekspresi non verbal mengangkat bahu. Dapat didentifikasi bahwa adanya repetisi atau pengulangan kata jijik yang TSW gunakan. Repetisi atau pengulangan biasanya digunakan sebagai ekspresi saat seseorang benar-benar merasakan sesuatu. Dalam hal ini, TSW benar-benar merasakan kejijikan terhadap foto

(33)

lubang-lubang itu. Oleh karena itu, tindak tutur yang terdapat di dalam ekpresi verbal tersebut adalah tindak tutur lokusi.

2. SRN, 21 tahun, penderita fobia lintah

Gambar 3.2 Contoh Foto Lintah Bentuk tuturan:

IS : ‘Kalau Kamu melihat foto ini apa yang Kamu rasakan?”

SRN : “Hiy jijik lah. Geli. Kalau nengok yang kayak gitu bawaannya langsung huek (berlakon muntah) gitu, enek, menjijikkan... (3)

Konteks tuturan : Peneliti menunjukkan foto lintah dan menanyakan SRN tentang bagaimana perasaannya.

Koteks tuturan : SRN berlakon muntah.

Dari ekspresi verbal (3) yang diberikan, terbukti benar bahwa SRN merupakan penderita fobia lintah. Hal ini dapat diketahui karena SRN bukan

(34)

hanya takut kepada benda aslinya saja (dalam hal ini lintah asli), melainkan kepada replika/gambarnya juga. Foto yang ditunjukkan tersebut masuk melalui indra penglihatannnya (mata) kemudian diproses di dalam otak. Kemudian foto atau gambar ini diproses pada tahap sensori register, yang berfokus pada sedikit informasi relevan dan memindahkannya ke tahap berikutnya. Kalimat “Hiy jijik lah. Geli.” Terdapat satu tindak tutur yaitu tindak tutur lokusi. Selanjutnya kalimat Kalau nengok yang kaya-kaya gitu bawaannya langsung huek gitu, enek, menjijikkan,” yang diiringi dengan ekspresi non verbal seperti orang yang hendak muntah. Kata “nengok” di sini berarti melihat. Dapat diambil kesimpulan bahwa foto atau gambar tadi telah diproses di lobus frontal SRN sebagai tempat penyimpanan memori jangka pendeknya (short-term memory). Adapun tindak tutur yang terdapat di dalam kalimat ini adalah: 1) tindak tutur lokusi, yaitu bahwa SRN benar-benar merasa jijik dengan lintah, 2) tindak tutur ilokusi, yaitu SRN akan muntah apabila peneliti terus menunjukkan foto lintah itu padanya, dan 3) tindak perlokusi, yaitu ketika peneliti secara refleks menjauhkan foto lintah itu dari SRN.

3. RA, 21 tahun, penderita ailurophobia (fobia kucing)

Gambar 3.3

(35)

Contoh Foto Kucing

Bentuk tuturan:

IS : “Kalau lihat foto ini perasaan Kamu bagaimana?”

RA : “Ih (memalingkan wajah) (tertawa) nggak maulah, nggak mau liat.

Tutup aja,bulu-bulunya itu.” ... (4) IS : “Ada trauma waktu masih kecil?”

RA : “Ada, pernah di ini... dulu kan abang tuh suka ngasih kucing ke bahu gitu, jadi kan nggak mau turun, jadi kan tercakar, lebar.” ... (5)

Konteks tuturan : Peneliti menunjukkan foto kucing dan menanyakan RA tentang bagaimana perasaannya.

Koteks tuturan : RA memalingkan wajah.

Dari ekpresi verbal (4) yang diberikan oleh RA, terbukti benar bawa ia penderita ailurophobia. Hal ini terbukti dari kalimat “Ihhhh” yang ia ucapkan dengan histeris sambil setelahnya menunjukkan ekspresi non verbal tertawa. Pada kasus ini, tertawa bukan berarti RA bahagia atau merasa tergelitik karena sesuatu melainkan RA mencoba menutupi perasaan tidak sukanya pada kucing. Foto kucing tersebut RA tangkap melalui mata dan diproses pada tahap sensori register, yang berfokus pada sedikit informasi relevan dan memindahkannya ke tahap berikutnya. Kemudian kalimat, “nggak maulah, nggak mau liat kucing. Tutup aja, bulu-bulunya itu,” membuktikan bahwa walaupun hanya sebuah foto, RA tetap ketakuta. Kata “lihat” yang ia ucapkan menunjukkan bahwa foto atau

(36)

gambar kucing itu sudah diproses di dalam lobus frontal yang menjadi tempat penyimpanan memori jangka pendek (short-term memory) karena memori jangka pendek cenderung ditandai dengan pengalaman fisik (dalam hal ini melihat).

Adapun tindak tutur yang terdapat di dalam kalimat ini adalah: 1) Tindak tutur lokusi, yaitu bahwa RA tidak mau melihat kucing, 2) Tindak tutur ilokusi, yaitu ketika RA menyuruh untuk menutup foto tersebut, 3) Tindak tutur perlokusi, yaitu bahwa peneliti secara refleks menjauhkan foto kucing tersebut dari RA.

Selanjutnya ekspresi verbal (5), “Ada, pernah di ini... dulu kan abang tuh suka ngasih kucing ke bahu gitu, jadi kan nggak mau turun, jadi kan tercakar, lebar,” membuktikan bahwa sebenarnya RA pernah dicakar kucing ketika ia masih kecil. Hal ini menujukkan setelah diproses di memori jangka pendek, peristiwa ini dilanjutkan diproses di memori jangka panjang (long-term memory).

Dalam ilmu psikologi, ketika sebuah peristiwa diproses dalam memori jangka pendek, dan empunya tubuh merasa kalau itu adalah salah satu peristiwa yang penting, maka peristiwa itu diproses dan tersimpan di memori jangka panjang.

Ada tiga emosi yang dapat menyebabkan hal ini terjadi, yaitu bahagia, kesedihan, dan ketakutan. Tindak tutur yang terdapat dalam kalimat ini adalah: 1) Tindak tutur lokusi, yaitu RA dicakar oleh kucing, 2) Tindak tutur ilokusi, yaitu bahwa RA menyayangkan perbuatan abangnya yang membuat bahunya tercakar oleh kucing. Hal ini disebabkan oleh perlakuan orang terdekat kita bisa membuat dampak yang lebih besar untuk masa depan, termasuk fobia yang dialami oleh RA.

Yuliawan dalam Sailendra (2017: 126-127) memberikan ulasan mengenai langkah menghilangkan fobia dengan FPC (Fast Phobia Cure), yakni salah satu

(37)

teknik di dalam NLP yang dapat diaplikasikan untuk melepaskan fobia pada diri seseorang. Caranya adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi representasi internal dari fobia tersebut. Pada tahap ini, minta client untuk menyatakan fobianya (tidak perlu detail).

Bagaimanakah fobia itu muncul dalam diri Anda? Apa yang harus Anda lihat, dengar, atau rasakan, tepat sebelum Anda memunculkan respon fobik tersebut. Misalnya, Anda melihat gambar seekor kecoa besar yang terbang melayang ke wajah Anda. Besar kemungkinan ini adalah gambaran kejadian pertama kali Anda mengalaminya.

2. Disosiasi ganda. Pandu client untuk membayangkan duduk di kursi bioskop dengan layar putih di depan. Pandu client berimajinasi melayang ke atas balkon/ruang proyektor sehingga client dapat melihat dirinya duduk di bangku bawah sedang melihat layar.

Bayangkanlah diri Anda berada di sebuah bioskop dan duduk di ruangan proyektor. Dengan demikian, Anda dapat melihat layar bioskop sekaligus diri Anda sendiri sedang menontonnya. Rasakan amannya Anda berada di sana.

Jika masih merasa kurang aman, bayangkan ruangan tersebut dilindungi oleh sebuah kaca yang sangat tebal dan kuat.

3. Putar filmnya. Pandu client untuk meletakkan gambaran “awal” sebelum ketakutannya terjadi di layar dalam gambar warna. Putar film secaara cepat ke bagian akhir dan tepat di “setelah”akhir dijadikan gambar peristiwa tersebut menjadi “freeze” yang hitam putih. Masuk melayang secara associated (B/W).

Di dalam ruangan proyektor yang sudah membuat Anda nyaman dan aman tersebut, putarlah adegan fobia dalam kondisi warna hitam-putih. Tontonlah

(38)

adegan tersebut dari awal hingga akhir, yaitu ketika kejadiannya sudah berakhir dan Anda sudah melewati kejadian tersebut sehingga merasa aman dan nyaman. Hentikan film tepat di adegan terakhir tersebut.

4. Lakukan rewind. Putar mundur film 3 kali kecepatannya sambil diputar lagu lucu atau suara kaset mundur (forward). Tepat di “awal” film jadikan lagi layarnya “freeze”. Keluar dari gambar, duduk lagi di bangku.

Pahami instruksi berikut sebelum Anda melakukannya. Masuklah ke dalam film yang sedang dihentikan tersebut, yaitu di posisi Anda sudah aman dan nyaman karena kejadian telah berakhir. Secara cepat, lakukan rewind sehingga Anda mengalami dan merasakan kejadian tersebut berjalan mundur sampai di awal adegan. Pastikan ia berlangsung sangat cepat, maksimal 1-2 menit saja, sehingga tidak saja gambarnya yang berjalan mundur, semua suara dan perasaan pun demikian. Bersihkan layar dan kembalilah ke ruang proyektor.

5. Bersihkan layar dan kembalilah ke ruang proyektor. Ulang 3-6 kali. Breaking state setiap kali sebelum mengulang.

Ulang proses minimal 5 kali. Lakukan langkah no. 4, diakhiri dengan layar yang bersih. Anda akan segera menemui bahwa Anda semakin sulit melakukannya disebabkan oleh gambar yang sudah tidak jelas bagi Anda.

Semakin Anda melakukannya, semakin kabur gambar yang Anda lihat.

6. Lakukan tes.

Ingat-ingatlah memori aslinya dan rasakan bagaimana perubahan tersebut telah terjadi.

(39)

3.3. Metode dan Teknik Penyajian Data

Selanjutnya data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan metode formal dan informal. Metode formal yaitu meliputi lambang-lambang.

Penyampaian hasil analisis data dalam penelitian ini juga menggunakan metode informal yaitu metode penyajian yang perumusannya menggunakan kata-kata biasa.

(40)

BAB IV PEMBAHASAN

Bab ini membahas hasil penelitian tentang perbandingan ekspresi verbal linguistik penderita fobia antara sebelum dan sesudah diterapi menggunakan salah satu teknik Neurolinguistic Programming, yaitu teknik Fast Phobia Cure (FPC), serta usaha dari teknik NLP itu sendiri.

4.1 Ekspresi Verbal Linguistik Penderita Fobia Melalui Neurolinguistic Programming

Ekspresi verbal linguistik yang dianalisis pada pembahasan ini merupakan ekspresi spontan dari masing-masing penderita fobia setelah melihat objek fobianya. Terdapat tiga subjek penelitian yang akan dianalisis, yaitu TSW (penderita fobia lubang), SRN (penderita fobia lintah), dan RA (penderita fobia kucing).

Ada beberapa langkah yang harus diterapkan saat proses penyembuhan, yaitu:

1) Langkah pertama, yaitu pemberian materi tentang teknik Fast Phobia Cure, bagaimana sistem kerjanya dan apa yang harus dilakukan saat pasien diminta untuk memejamkan mata. Hal ini mempengaruhi persentasi keberhasilan penyembuhan.

2) Langkah kedua yang dilakukan oleh ahli NLP adalah memperlihatkan ketiga subjek itu terhadap fobianya. Dalam teknik NLP yang sebenarnya, pasien tidak perlu diperlihatkan objek fobianya. Namun, karena ini adalah penelitian

(41)

ilmiah yang bertujuan membandingkan ekspresi verbal linguisitik penderita fobia sebelum dan sesudah diterapi, maka langkah ini patut untuk dilakukan.

3) Langkah ketiga, yaitu terapi. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, pasien diminta untuk memejamkan mata dan berimajinasi. Hal yang harus diimajinasikan oleh pasien adalah dia duduk di dalam sebuah bioskop dan melihat tiga film. Pada terapi yang dilakukan oleh ahli NLP kali ini, film pertama yaitu adegan saat pasien sedang mandi, film kedua yaitu adegan saat pasien pertama kali menderita fobia, dan yang film yang ketiga yaitu adegan saat pasien sedang makan. Perlu diketahui bahwa pasien harus membayangkan ketiga adegan itu sesuai dengan usianya saat pertama kali menderita fobia. Misalnya, pasien pertama kali mengidap fobia pada usia tujuh tahun, maka pasien harus membayangkan adegan mandi, proses fobia, dan makan ketika dia berusia tujuh tahun. Kemudian ada tiga tombol play, in, dan rewind. Tombol play digunakan ketika pasien akan memutar adegan film tersebut (sebagai penonton) dari film A ke film C; tombol in berfungsi agar pasien masuk ke dalam adegan tersebut (sebagai pemain) dari film C; tombol rewind berguna ketika pasien akan memundurkan waktunya dari film C ke film A tanpa harus singgah di film B. Jadi, pasien hanya harus melewatinya saja.

(42)

rewind

play in

Gambar 4.1

Langkah-langkah saat proses terapi

Lima kali putaran antara film A, B, dan C tersebut merupakan satu putaran.

Lima putaran merupakan satu siklus terapi. Setelah lima kali siklus terapi, Ahli NLP akan menguji penderita.

4) Langkah terakhir adalah menguji penderita yang sudah diterapi dengan cara menunjukkan gambar yang menjadi objek fobianya. Ekspresi verbal linguistik sebelum dan sesudah diterapi akan dijadikan sebagai bahan perbandingan.

4.1.1. Fobia Lubang (trypophobia)

Trypophobia adalah rasa takut yang berlebihan terhadap lubang-lubang di sebuah permukaan yang letaknya saling berdekatan. Baik yang terdapat pada

Film A (sedang mandi)

Film B (proses fobia)

Film C (sedang makan)

Pasien

(43)

benda mati, maupun benda hidup. Berikut merupakan dialog yang terjadi antara TSW dan ahli NLP, Bapak Dinno Rilando (DR).

a. Sebelum Terapi Bentuk tuturan:

DR : “Ini, coba lihat.” (menunjukkan foto lubang)

TSW : “Hem.” (tersenyum) (memainkan tisu) (memejamkan mata) (menangis) ... (1)

Konteks tuturan : Ahli NLP menunjukkan foto lubang kepada TSW (21 tahun) di praktiknya pada siang hari.

Koteks tuturan : TSW tersenyum, memain-mainkan tisu di tangannya, memejamkan mata. Namun, tidak lama kemudian dia

menangis.

(44)

Gambar 4.2

Ekspresi TSW sebelum diterapi

Pada saat Bapak Dinno Rilando menunjukkan foto lintah kepada SRN, foto tersebut masuk melalui indra penglihatannnya (mata) kemudian diproses di dalam otak. Kemudian foto atau gambar ini diproses pada tahap sensori register, yang berfokus pada sedikit informasi relevan dan memindahkannya ke tahap berikutnya, yaitu memori jangka pendek (short-term memory). Pada dialog (1) di atas, terdapat ekspresi verbal linguistik dari TSW yaitu “hem” (menggumam).

Dalam KBBI, ekspresi “hem” merupakan kata seru untuk menyatakan geram dan sebagainya.

Hal ini didukung dengan ekspresi nonverbal yang ditunjukkan oleh TSW yaitu memain-mainkan tisu di tangannya dan memejamkan mata. Dalam psikologi, kedua ekspresi itu menunjukkan bahwa ada amarah dan perasaan takut yang ia tahan. Karena terbukti tidak lama setelahnya, ia menangis. Sedangkan ekspresi nonverbal tersenyum yang ia tunjukkan adalah ekspresi untuk menutupi perasaan yang sebenarnya.

Terdapat tindak tutur di dalam dialog di atas, yaitu: 1) Tindak tutur lokusi, bahwa TSW hanya ingin menggumamkan sesuatu, dan 2) Tindak tutur ilokusi,

(45)

bahwa TSW sedang menutupi sesuatu (behabitives). Jika dipadukan dengan ekspresi nonverbal TSW, dapat disimpulkan bahwa ia sedang berusaha menutupi ketakutannya. Namun, karena pada akhirnya TSW tidak sanggup menahan rasa takutnya lagi, ia kemudian mengeluarkan air mata. Dapat diketahui bahwa TSW merupakan orang yang pandai mengendalikan emosi dalam kesempatan sosial.

b. Sesudah terapi

Bentuk tuturan:

DR : Reaksi tubuhmu seperti apa ketika melihat gambar ini? (menunjukkan foto lubang)

TSW : ... (memiringkan kepala ke kanan) (memainkan tisu) ... (2)

Konteks tuturan : Ahli NLP menunjukkan foto lubang kepada TSW setelah diterapi di praktiknya pada siang hari.

Koteks tuturan : TSW memiringkan kepala ke kanan dan memain-mainkan tisu.

(46)

Gambar 4.3

Ekspresi TSW sesudah diterapi

Tidak terdapat tindak tutur dalam dialog ini karena TSW tidak mengeluarkan ekspresi verbal linguistik. Namun, dari ekspresi nonverbal yang TSW tunjukkan, tak ada tanda-tanda ia sedang ketakutan.

Kemudian apabila dibandingkan, ekspresi verbal pada dialog (1) yaitu

“hem” dan pada dialog (2) yang tidak menunjukkan ekspresi verbal apa pun, dapat disimpulkan bahwa TSW yang awalnya merasa tidak nyaman dengan foto lubang tersebut setelahnya menjadi biasa saja. Orang yang ketakutan biasanya akan lebih spontan mengeluarkan ekspresi verbalnya. Namun, hal ini tidak terjadi kepada TSW pada dialog (2). Ini menunjukkan salah satu kemajuan setelah terapi.

Perbandingan yang terdapat antara dialog (1) dan (2) adalah bahwa TSW tidak lagi menangis histeris setelah melihat foto lubang. Meskipun tidak ada ekspresi verbal yang ia keluarkan, tetapi dapat diamati dari ekspresi nonverbalnya.

Dapat dikatakan bahwa ada perbaikan signifikan setelah dilakukan proses terapi.

(47)

Setelah satu bulan, peneliti kemudian melakukan uji coba kembali terkait fobia lubangnya. Ekspresi verbal yang dihasilkan TSW seperti di bawah ini:

TSW : “Saya nggak takut. Sudah berkurang cemasnya. Nggak apa-apa. Itu nggak nyata.” ... (3)

Dari dialog (3) di atas, dapat diketahui bahwa TSW benar-benar telah berhasil sembuh dari fobianya terhadap lubang sekitar 90%. Karena tidak ada lagi ekspresi nonverbal takut atau cemas. TSW juga telah menghasilkan ekspresi verbal dalam bahasa Indonesia dengan sangat baik. Rasa takut dan was-was hanya tinggal 10%

saja. Belakangan diketahui bahwa pada saat TSW berada dalam proses terapi, TSW sama sekali tidak bisa berkata-kata karena terlalu takut. Namun, setelah sebulan kemudian, TSW bisa mengeluarkan ekspresi verbal seperti dialog (3). Hal ini membuktikan bahwa teknik NLP yang diujikan kepada TSW cukup berhasil.

4.1.2 Fobia Lintah (blennophobia)

Blennophobia adalah fobia terhadap lendir/lintah. Lintah memiliki lendir yang menjadi alasan utama SRN merasakan takut, cemas, dan geli. SR selalu mengimajinasikan lintah masuk ke dalam tubuhnya hanya dengan melihat gambar lintah. Berikut merupakan dialog yang terjadi antara SRN dan ahli NLP, Bapak Dinno Rilando.

a. Sebelum terapi Bentuk tuturan:

DR : “Ini coba Kamu lihat.” (menunjukkan foto lintah)

(48)

SRN : (memalingkan wajah) (tersenyum kecut) (mengangkat bahu) “Geli lo, Pak. Udah, Pak.” ... (4)

Konteks tuturan : Ahli NLP menunjukkan foto lintah kepada SRN (23 tahun) hanya dalam jarak yang relatif jauh di praktiknya pada siang hari.

Koteks tuturan : SRN memalingkan wajah, tersenyum kecut, dan mengangkat bahunya.

Gambar 4.4

Ekspresi SRN sebelum diterapi

(49)

Pada saat Bapak Dinno Rilando menunjukkan foto lintah kepada SRN, foto tersebut masuk melalui indra penglihatannnya (mata) kemudian diproses di dalam otak. Kemudian foto atau gambar ini diproses pada tahap sensori register, yang berfokus pada sedikit informasi relevan dan memindahkannya ke tahap berikutnya, yaitu memori jangka pendek (short-term memory). Pada dialog di atas, terdapat ekspresi verbal linguistik sebagai reaksi spontan dari SRN. Kata

“geli” dalam KBBI berarti perasaan seperti dikitik-kitik, ngilu, atau jengkel.

Dalam situasi ini, SRN merasa ngilu serta jengkel karena ditunjukkan sesuatu yang tidak ia sukai. Kata seru “lo” menyatakan bahwa SRN terperanjat ketika Bapak Dinno Rilando menunjukkan gambar lintah tersebut. Kata “udah” yang digunakan SRN maksudnya adalah “sudah” yang dalam KBBI berarti cukuplah sekian saja. Dari ekspresi verbal linguistik yang diucapkan oleh SRN terbukti bahwa SRN memang mengidap fobia.

Hal ini didukung dengan ekspresi nonverbal yang ia tunjukkan, yaitu memalingkan wajah, tersenyum kecut, dan mengangkat bahunya. Dalam psikologi, memalingkan wajah secara cepat merupakan salah satu ekspresi ketidaksukaan. Ditambah dengan senyum yang tidak bisa dikatakan tulus sebab ujung mata tidak tertarik ke atas. Selain itu, senyum di sini merupakan kebiasaan orang Indonesia yaitu sekadar basa-basi. Ekspresi nonverbal yang terakhir yaitu mengangkat bahu merupakan ekspresi yang paling menunjukkan bahwa SRN merasa jijik dengan apa yang ditunjukkan oleh Bapak Dinno Rilando.

Terdapat tiga tindak tutur dalam dialog di atas, yang pertama yaitu tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi, dan tindak tutur perlokusi. 1) Tidak tutur lokusi, yaitu SRN ingin menginformasikan kepada Bapak Dinno Rilando bahwa dia geli

(50)

terhadap gambar itu dan merasa sudah cukup untuk melihatnya, 2) Tindak tutur ilokusi, yaitu bahwa SRN memaksa (urging) Bapak Dinno Rilando untuk menjauhkan gambar itu darinya, 3) Tindak tutur ilokusi, yaitu ketika SR berhasil membuat Bapak Dinno Rilando menjauhkan gambar lintah itu darinya.

b. Sesudah diterapi Bentuk tuturan:

DR : (menunjukkan foto lintah)

SR : “Kaya cendol, Pak. Lengkong-lengkong apa gitu.” ... (5) DR : “Oke, bagus. Ada perubahan. Itukan gambar, sekarang video.”

(menunjukkan video)

SR : (melihat dengan saksama) “Kok kaya pipet ya, Pak?” ... (6) DR : “Iya, dia sedang menyedot darah manusia.”

Konteks tuturan : Ahli NLP menunjukkan foto dan video lintah kepada SRN setelah diterapi di praktiknya pada siang hari.

Koteks tuturan : SRN memerhatikan dengan saksama gambar yang ditunjukkan.

Gambar 4.5

Ekspresi SRN sesudah diterapi

(51)

Pada dialog (4) dan (5 dan 6) terdapat perbedaan ekspresi verbal linguistik.

Jika dalam dialog (4) yang diucapkan SRN, yaitu “geli lo, Pak. Udah, Pak,” SRN merasakan ketidaksukaan terhadap lintah dan berusaha untuk menghindar.

Sedangkan pada dialog (5), yaitu “kaya cendol, Pak. Lengkong-lengkong apa gitu,” dan dialog (6) yaitu “kok kaya pipet ya, Pak?” SRN malah melihat foto itu dengan saksama dan menunjukkan bahwa ia penasaran terhadap lintah itu. Tidak ada ekspresi takut atau cemas yang ditunjukkan oleh SRN baik secara verbal mau pun non verbal.

Terdapat tiga tindak tutur yang terdapat dalam dialog di atas, antara lain: 1) Tindak tutur lokusi yaitu bahwa SRN menginfomasikan kepada Bapak Dinno Rilando bahwa dia penasaran terhadap benda yang ada di gambar itu. 2) Tindak tutur ilokusi, yaitu SRN memperkirakan (estimate) gambar di depannya itu, 3) Tindak tutur perlokusi, SRN membuat Bapak Dinno Rilando menjelaskan dan meyakinkan SRN bahwa yang ia lihat adalah benar. Yaitu bahwa lintah mirip pipet (sedotan) yang digunakan sebagai perantara untuk menyedot suatu cairan.

4.1.2. Fobia Kucing (ailurophobia)

Ailurophobia adalah ketakutan yang tidak masuk akal terhadap kucing. RA selalu merasa kalau berdekatan dalam radius tertentu dengan kucing, maka akan ada hal buruk yang terjadi seperti terkena cakar dan sebagainya. Berikut merupakan dialog yang terjadi antara RA dan ahli NLP, Bapak Dinno Rilando.

a. Sebelum terapi Bentuk tuturan:

DR : (menunjukkan foto kucing)

(52)

RA : “Aduh, (memalingkan wajah) (tertawa) ih, nggak mau (menggosok gosokkan kedua telapak tangan) (menaikkan bahu) udahlah, Pak.” ... (7)

Konteks tuturan : Ahli NLP menunjukkan foto kucing kepada RA (22 tahun) hanya dalam jarak yang relatif jauh di praktiknya pada siang hari.

Koteks tuturan : RA memalingkan wajah, tertawa, menggosok-gosokkan kedua telapak tangan, menaikkan bahu.

(53)

Gambar 4.6

Ekspresi RA sebelum diterapi

Pada saat Bapak Dinno Rilando menunjukkan foto kucing kepada RA, foto tersebut masuk melalui indra penglihatannnya (mata) kemudian diproses di dalam otak. Kemudian foto atau gambar ini diproses pada tahap sensori register, yang berfokus pada sedikit informasi relevan dan memindahkannya ke tahap berikutnya, yaitu memori jangka pendek (short-term memory). Pada dialog di atas, terdapat ekspresi verbal linguistik sebagai reaksi spontan dari RA. Kata

“aduh” dalam KBBI merupakan kata seru untuk menyatakan rasa heran, sakit, dan sebagainya. Dalam hal ini, RA merasakan sakit akibat rasa ketakutan yang ada dalam dirinya. Kata “udah” yang digunakan SRN maksudnya adalah “sudah”

yang dalam KBBI berarti cukuplah sekian saja. Dari ekspresi verbal linguistik yang diucapkan oleh RA terbukti bahwa RA memang mengidap fobia.

Hal ini didukung dengan adanya ekspresi nonverbal yang ia tunjukkan, yaitu memalingkan wajah, menggosok-gosokkan telapak tangan ke kepala, dan menaikkan bahu setinggi rambut. Dalam psikologi, ketiga ekspresi nonverbal ini merupakan ekspresi dari seseorang yang merasa takut dan gugup. Sedangkan ekspresi nonverbal tertawa yang ia tunjukkan merupakan usaha RA untuk menutupi perasaannya yang sebenarnya.

Tindak tutur yang terdapat dalam dialog di atas adalah: 1) tindak tutur lokusi, yaitu bahwa ketika melihat gambar itu, RA merasakan sakit atau sejenisnya dan merasa sudah cukup untuk melihatnya, 2) Tindak tutur ilokusi, yaitu bahwa RA memaksa (urging) DR untuk menjauhkan gambar itu darinya, 3) Tindak tutur perlokusi, yaitu bahwa DR melakukan tindakan menjauhkan gambar kucing itu darinya.

(54)

b. Sesudah diterapi Bentuk tuturan:

DR : (menunjukkan video kucing)

RA : (tertawa) “Lucu. Ini baru lahir ya, Pak?” ... (8) DR : “Enggaklah, udah besar ini.”

Konteks tuturan : Ahli NLP menunjukkan video kucing kepada RA setelah diterapi di praktiknya pada siang hari.

Koteks tuturan : RA tertawa.

(55)

Gambar 4.7

Ekspresi RA sesudah diterapi

Pada dialog (8) di atas, terdapat ekspresi verbal linguistik sebagai reaksi spontan dari RA. Kata “lucu” dalam KBBI bermakna menggelikan hati, menimbulkan tertawa, jenaka. Terbukti dari ekspresi nonverbal RA yang tertawa sebelum dia mengucapkan kata tersebut. Kemudian terdapat kalimat “Ini baru lahir ya, Pak?” sebagai rasa ingin tahu.

Tindak tutur yang terdapat dalam dialog ini adalah: 1) Tindak tutur lokusi, yaitu RA mengungkapkan bahwa kucing yang ada di dalam video itu lucu, 2) Tindak ilokusi, yaitu RA memperkirakan (estimate) gambar di depannya itu kucing yang baru lahir atau bukan, 3) Tindak tutur perlokusi, RA membuat DR menjelaskan dan meyakinkan RA bahwa yang ia lihat adalah kucing yang sudah besar.

Perbandingan antara kedua dialog di atas adalah pada dialog pertama, pada ekspresi verbal yang dikeluarkan RA, ia merasa tidak nyaman melihat gambar kucing yang ditunjukkan padanya, sedangkan sesudah diterapi RA merasa penasaran dan ingin tahu tentang kucing yang sebelumnya merupakan objek fobianya itu.

4.2 Pemanfaatan Neurolinguistic Programming Sebagai Upaya Penyembuhan Penyakit Fobia

Berdasarkan keterangan sebelumnya, ketiga subjek penelitian telah mengalami perbaikan setelah diterapi menggunakan teknik FPC (Fast Phobia

(56)

Cure). Namun, tingkat penyembuhannya tentu berbeda-beda tergantung kondisi para penderita dan keinginannya untuk sembuh.

Pada kasus TSW, ada perasaan ragu-ragu dalam dirinya yang menyebabkan proses penyembuhan ini memerlukan waktu yang lebih lama daripada kedua subjek yang lain, yaitu 55 kali putaran (11 siklus) terapi.

Pada kasus SRN, proses terapi yang berlangsung merupakan yang tercepat yaitu hanya 15 kali putaran (3 siklus) terapi. SRN merupakan penderita yang paling ekspresif dan paling fokus selama proses terapi sehingga terapi dapat berjalan lancar dan efektif.

Pada kasus RA, hampir mirip dengan penderita SRN yang ekspresif. Terapi yang terakhir ini merupakan proses terapi yang paling lama, yaitu 90 kali putaran (18 siklus) terapi. Akan tetapi, sejalan dengan hasil terapi yang paling memuaskan. Terbukti dari RA yang awalnya ketakutan walaupun hanya melihat gambar kucing, setelah diterapi RA berani untuk mengelus-elus kucing asli.

Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, Neurolinguistic Programming adalah sebuah usaha untuk menyesuaikan atau mengubah program di dalam pikiran, sehingga menjadikan pribadi tersebut lebih efektif sebagai individu. Dalam kasus ini, NLP bertujuan untuk mengubah pola berpikir individu penderita fobia agar dapat terlepas dari fobianya tersebut. Berikut adalah upaya- upaya NLP yang dapat dimanfaatkan dalam penyembuhan fobia:

a. Upaya untuk memahami individu (membangun rapport)

DR-SRN: “Ya memang kalau orang fobia nggak akan sesimpel orang normal.

Saya tahu, tapi itulah yang Saya butuhkan dari Kamu, kemampuan untuk berjuang.”

(57)

Dialog di atas merupakan dialog yang terjadi di sela-sela terapi SRN. Bapak Dinno Rilando mencoba meyakinkan SRN bahwa ia mengerti keadaan yang sedang dialami SRN. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan simpati dari Bapak Dinno Rilando. Ketika seseorang sudah bersimpati pada orang lain, maka setiap yang dikatakan orang itu akan lebih diperhatikan. Bapak Dinno Rilando juga mengatakan bahwa ia membutuhkan SRN untuk berjuang. Kata “butuh” yang digunakan Bapak Dinno Rilando dalam dialog itu menciptakan representasi bahwa yang beliau benar-benar memerlukan pertolongan dari SRN. Meskipun pada kenyataannya, kesembuhan SRN tidak memiliki hubungan yang signifikan dalam kehidupan Bapak Dinno Rilando. Dengan mengetahui bahwa dirinya dibutuhkan, keinginan SRN untuk berjuang melawan fobianya tentu akan lebih meningkat pesat. Inilah yang kemudian membuat SRN tersugesti untuk lebih bersungguh-sungguh dalam proses terapi.

b. Upaya untuk membangkitkan rasa percaya diri individu dengan motivasi DR-TSW: “Yakinlah harus sembuh, bukan yakin Kamu bakal takut. Itulah yang harus Kamu ubah. Jadi ketika melihat lagi, aku yakin berani, aku yakin itu bukan hal menakutkan lagi. Yakin nanti Kamu ketika melihatnya akan ketawa, akan bahagia, Kamu akan merasa lucu kenapa takut kepada apa yang tidak perlu ditakutkan.”

Dialog di atas merupakan dialog yang terjadi di sela-sela terapi TSW. Ada banyak sekali kata kunci “yakin” yang digunakan oleh Bapak Dinno Rilando. Ini merupakan salah satu teknik yang disebut repetisi. Repetisi atau pengulangan merupakan langkah untuk menuju pemahaman yang lebih baik terhadap sebuah konsep. Dalam hal ini, repetisi digunakan agar TSW percaya bahwa dia akan berhasil sembuh melalui proses terapi ini. Bapak Dinno Rilando juga menggunakan sudut pandang TSW, terbukti dari kata ganti (pronomina) “aku” yang beliau gunakan. Hal

Gambar

Gambar 3.2  Contoh Foto Lintah  Bentuk tuturan:

Referensi

Dokumen terkait