• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

3.3 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode analisis utama yang digunakan untuk menganalisis data dalam tulisan ini adalah metode padan. Metode padan adalah metode yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 2015:15). Metode padan digunakan karena dalam penganalisisan data merujuk kepada kata-kata yang bila diucapkan akan menimbulkan akibat emosional tertentu pada mitra wicara. Dalam hal ini, orang yang diajak bicara dengan segala reaksi atau tanggapannya yang menjadi penentu identitas satuan lingual-satuan lingual tertentu. Oleh karena itu, teknik yang digunakan merupakan teknik pragmatis dengan alat penentu mitra wicara.

(Sudaryanto, 2015: 18).

Contoh penganalisisan data diambil dari wawancara dengan tiga orang penderita fobia: TSW, SRN, dan RA. Masing-masing dari ketiga orang ini, sebelumnya telah ditunjukkan foto yang berhubungan dengan fobianya.

1. TSW, 21 tahun, penderita trypopohobia (takut terhadap lubang).

Gambar 3.1 Contoh Foto Lubang

Bentuk tuturan:

IS : “Kalau Kamu melihat foto ini, apa yang Kamu rasakan?”

TSW : “Ih!” (memalingkan wajah) ... (1) IS : “Bagaimana perasaan Kamu?”

TSW : (memutar bola mata ke atas) “Itu... tangan ada lubang-lubangnya, ada ulat yang keluar dari lubang itu. Ih... jijik, jijik.” (sambil mengangkat bahu setinggi rambut) ... (2)

Konteks tuturan : Peneliti menunjukkan foto lubang-lubang dan menanyakan TSW tentang bagaimana perasaannya.

Koteks tuturan : TSW memalingkan wajah, memutar bola mata ke atas, dan mengangkat bahunya.

Dari ekspresi verbal (1) yang diberikan, terbukti benar bahwa TSW mengidap trypophobia karena hanya dengan melihat foto, penderita fobia sudah langsung akan ketakutan, geli, atau bahkan merasa cemas. Hal ini terbukti saat TSW mengatakan “Ih!” dengan histeris disertai dengan ekspresi non verbal yaitu langsung memalingkan wajah saat melihat foto tersebut. Foto yang ditunjukkan kepada TSW masuk melalui indra penglihatannya. Kemudian foto atau gambar ini diproses pada tahap sensori register, yang berfokus pada sedikit informasi relevan dan memindahkannya ke tahap berikutnya. TSW langsung memalingkan wajah setelah otaknya berhasil memproses informasi itu sepenuhnya. Terdapat tiga tindak tutur dari ekspresi verbal “Ih!” yang disampaikan dengan histeris, yaitu: 1)

tindak tutur lokusi, bahwa TSW hanya memberikan reaksinya terhadap foto itu, 2) tindak tutur ilokusi, yaitu bahwa TSW benar-benar tidak suka terhadap foto itu dan tidak ingin melihatnya lagi, atau 3) tindak tutur perlokusi, bahwa peneliti secara refleks langsung menjauhkan foto itu darinya.

TSW cukup ekspresif saat menceritakan tentang apa yang dia rasakan setelahnya. TSW menunjukkan ekspresi non verbal yaitu memutar bola matanya ke atas, seolah-olah sedang mengingat saat pertama kali ia melihat lubang itu.

Dari ekspresi verbal (2), “Itu... tangan ada lubang-lubangnya,” yang kemudian dapat diketahui bahwa bentuk lubang-lubang yang TSW lihat sebelumnya masih tergambar jelas dalam memorinya. Karena TSW dapat menjelaskan dengan baik apa yang ia lihat sebelumnya, ini termasuk ke dalam memori jangka pendek (short-term memory) yang berhubungan dengan pengalaman fisiknya. Kemudian dari kalimat, “Ada ulat yang keluar dari lubang itu.” dapat diketahui bahwa TSW menganggap ada sesuatu yang keluar dari lubang-lubang itu meskipun sebenarnya tidak ada apapun yang keluar dari sana. Hal ini menandakan adanya daya imajinasi dari TSW tentang fobianya itu. Imajinasi merupakan bagian kemampuan pikiran yang cukup berpengaruh selain kekuatan ingatan. Dalam kasus ini, selain memori, imajinasi juga berperan penting terhadap timbulnya fobia pada setiap individu. Setelah itu TSW menambahkan “Ih... jijik, jijik!” yang diiringi dengan ekspresi non verbal mengangkat bahu. Dapat didentifikasi bahwa adanya repetisi atau pengulangan kata jijik yang TSW gunakan. Repetisi atau pengulangan biasanya digunakan sebagai ekspresi saat seseorang benar-benar merasakan sesuatu. Dalam hal ini, TSW benar-benar merasakan kejijikan terhadap foto

lubang-lubang itu. Oleh karena itu, tindak tutur yang terdapat di dalam ekpresi verbal tersebut adalah tindak tutur lokusi.

2. SRN, 21 tahun, penderita fobia lintah

Gambar 3.2 Contoh Foto Lintah Bentuk tuturan:

IS : ‘Kalau Kamu melihat foto ini apa yang Kamu rasakan?”

SRN : “Hiy jijik lah. Geli. Kalau nengok yang kayak gitu bawaannya langsung huek (berlakon muntah) gitu, enek, menjijikkan... (3)

Konteks tuturan : Peneliti menunjukkan foto lintah dan menanyakan SRN tentang bagaimana perasaannya.

Koteks tuturan : SRN berlakon muntah.

Dari ekspresi verbal (3) yang diberikan, terbukti benar bahwa SRN merupakan penderita fobia lintah. Hal ini dapat diketahui karena SRN bukan

hanya takut kepada benda aslinya saja (dalam hal ini lintah asli), melainkan kepada replika/gambarnya juga. Foto yang ditunjukkan tersebut masuk melalui indra penglihatannnya (mata) kemudian diproses di dalam otak. Kemudian foto atau gambar ini diproses pada tahap sensori register, yang berfokus pada sedikit informasi relevan dan memindahkannya ke tahap berikutnya. Kalimat “Hiy jijik lah. Geli.” Terdapat satu tindak tutur yaitu tindak tutur lokusi. Selanjutnya kalimat Kalau nengok yang kaya-kaya gitu bawaannya langsung huek gitu, enek, menjijikkan,” yang diiringi dengan ekspresi non verbal seperti orang yang hendak muntah. Kata “nengok” di sini berarti melihat. Dapat diambil kesimpulan bahwa foto atau gambar tadi telah diproses di lobus frontal SRN sebagai tempat penyimpanan memori jangka pendeknya (short-term memory). Adapun tindak tutur yang terdapat di dalam kalimat ini adalah: 1) tindak tutur lokusi, yaitu bahwa SRN benar-benar merasa jijik dengan lintah, 2) tindak tutur ilokusi, yaitu SRN akan muntah apabila peneliti terus menunjukkan foto lintah itu padanya, dan 3) tindak perlokusi, yaitu ketika peneliti secara refleks menjauhkan foto lintah itu dari SRN.

3. RA, 21 tahun, penderita ailurophobia (fobia kucing)

Gambar 3.3

Contoh Foto Kucing

Bentuk tuturan:

IS : “Kalau lihat foto ini perasaan Kamu bagaimana?”

RA : “Ih (memalingkan wajah) (tertawa) nggak maulah, nggak mau liat.

Tutup aja,bulu-bulunya itu.” ... (4) IS : “Ada trauma waktu masih kecil?”

RA : “Ada, pernah di ini... dulu kan abang tuh suka ngasih kucing ke bahu gitu, jadi kan nggak mau turun, jadi kan tercakar, lebar.” ... (5)

Konteks tuturan : Peneliti menunjukkan foto kucing dan menanyakan RA tentang bagaimana perasaannya.

Koteks tuturan : RA memalingkan wajah.

Dari ekpresi verbal (4) yang diberikan oleh RA, terbukti benar bawa ia penderita ailurophobia. Hal ini terbukti dari kalimat “Ihhhh” yang ia ucapkan dengan histeris sambil setelahnya menunjukkan ekspresi non verbal tertawa. Pada kasus ini, tertawa bukan berarti RA bahagia atau merasa tergelitik karena sesuatu melainkan RA mencoba menutupi perasaan tidak sukanya pada kucing. Foto kucing tersebut RA tangkap melalui mata dan diproses pada tahap sensori register, yang berfokus pada sedikit informasi relevan dan memindahkannya ke tahap berikutnya. Kemudian kalimat, “nggak maulah, nggak mau liat kucing. Tutup aja, bulu-bulunya itu,” membuktikan bahwa walaupun hanya sebuah foto, RA tetap ketakuta. Kata “lihat” yang ia ucapkan menunjukkan bahwa foto atau

gambar kucing itu sudah diproses di dalam lobus frontal yang menjadi tempat penyimpanan memori jangka pendek (short-term memory) karena memori jangka pendek cenderung ditandai dengan pengalaman fisik (dalam hal ini melihat).

Adapun tindak tutur yang terdapat di dalam kalimat ini adalah: 1) Tindak tutur lokusi, yaitu bahwa RA tidak mau melihat kucing, 2) Tindak tutur ilokusi, yaitu ketika RA menyuruh untuk menutup foto tersebut, 3) Tindak tutur perlokusi, yaitu bahwa peneliti secara refleks menjauhkan foto kucing tersebut dari RA.

Selanjutnya ekspresi verbal (5), “Ada, pernah di ini... dulu kan abang tuh suka ngasih kucing ke bahu gitu, jadi kan nggak mau turun, jadi kan tercakar, lebar,” membuktikan bahwa sebenarnya RA pernah dicakar kucing ketika ia masih kecil. Hal ini menujukkan setelah diproses di memori jangka pendek, peristiwa ini dilanjutkan diproses di memori jangka panjang (long-term memory).

Dalam ilmu psikologi, ketika sebuah peristiwa diproses dalam memori jangka pendek, dan empunya tubuh merasa kalau itu adalah salah satu peristiwa yang penting, maka peristiwa itu diproses dan tersimpan di memori jangka panjang.

Ada tiga emosi yang dapat menyebabkan hal ini terjadi, yaitu bahagia, kesedihan, dan ketakutan. Tindak tutur yang terdapat dalam kalimat ini adalah: 1) Tindak tutur lokusi, yaitu RA dicakar oleh kucing, 2) Tindak tutur ilokusi, yaitu bahwa RA menyayangkan perbuatan abangnya yang membuat bahunya tercakar oleh kucing. Hal ini disebabkan oleh perlakuan orang terdekat kita bisa membuat dampak yang lebih besar untuk masa depan, termasuk fobia yang dialami oleh RA.

Yuliawan dalam Sailendra (2017: 126-127) memberikan ulasan mengenai langkah menghilangkan fobia dengan FPC (Fast Phobia Cure), yakni salah satu

teknik di dalam NLP yang dapat diaplikasikan untuk melepaskan fobia pada diri seseorang. Caranya adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi representasi internal dari fobia tersebut. Pada tahap ini, minta client untuk menyatakan fobianya (tidak perlu detail).

Bagaimanakah fobia itu muncul dalam diri Anda? Apa yang harus Anda lihat, dengar, atau rasakan, tepat sebelum Anda memunculkan respon fobik tersebut. Misalnya, Anda melihat gambar seekor kecoa besar yang terbang melayang ke wajah Anda. Besar kemungkinan ini adalah gambaran kejadian pertama kali Anda mengalaminya.

2. Disosiasi ganda. Pandu client untuk membayangkan duduk di kursi bioskop dengan layar putih di depan. Pandu client berimajinasi melayang ke atas balkon/ruang proyektor sehingga client dapat melihat dirinya duduk di bangku bawah sedang melihat layar.

Bayangkanlah diri Anda berada di sebuah bioskop dan duduk di ruangan proyektor. Dengan demikian, Anda dapat melihat layar bioskop sekaligus diri Anda sendiri sedang menontonnya. Rasakan amannya Anda berada di sana.

Jika masih merasa kurang aman, bayangkan ruangan tersebut dilindungi oleh sebuah kaca yang sangat tebal dan kuat.

3. Putar filmnya. Pandu client untuk meletakkan gambaran “awal” sebelum ketakutannya terjadi di layar dalam gambar warna. Putar film secaara cepat ke bagian akhir dan tepat di “setelah”akhir dijadikan gambar peristiwa tersebut menjadi “freeze” yang hitam putih. Masuk melayang secara associated (B/W).

Di dalam ruangan proyektor yang sudah membuat Anda nyaman dan aman tersebut, putarlah adegan fobia dalam kondisi warna hitam-putih. Tontonlah

adegan tersebut dari awal hingga akhir, yaitu ketika kejadiannya sudah berakhir dan Anda sudah melewati kejadian tersebut sehingga merasa aman dan nyaman. Hentikan film tepat di adegan terakhir tersebut.

4. Lakukan rewind. Putar mundur film 3 kali kecepatannya sambil diputar lagu lucu atau suara kaset mundur (forward). Tepat di “awal” film jadikan lagi layarnya “freeze”. Keluar dari gambar, duduk lagi di bangku.

Pahami instruksi berikut sebelum Anda melakukannya. Masuklah ke dalam film yang sedang dihentikan tersebut, yaitu di posisi Anda sudah aman dan nyaman karena kejadian telah berakhir. Secara cepat, lakukan rewind sehingga Anda mengalami dan merasakan kejadian tersebut berjalan mundur sampai di awal adegan. Pastikan ia berlangsung sangat cepat, maksimal 1-2 menit saja, sehingga tidak saja gambarnya yang berjalan mundur, semua suara dan perasaan pun demikian. Bersihkan layar dan kembalilah ke ruang proyektor.

5. Bersihkan layar dan kembalilah ke ruang proyektor. Ulang 3-6 kali. Breaking state setiap kali sebelum mengulang.

Ulang proses minimal 5 kali. Lakukan langkah no. 4, diakhiri dengan layar yang bersih. Anda akan segera menemui bahwa Anda semakin sulit melakukannya disebabkan oleh gambar yang sudah tidak jelas bagi Anda.

Semakin Anda melakukannya, semakin kabur gambar yang Anda lihat.

6. Lakukan tes.

Ingat-ingatlah memori aslinya dan rasakan bagaimana perubahan tersebut telah terjadi.

Dokumen terkait