• Tidak ada hasil yang ditemukan

LITURGI GKI PADA MASA PANDEMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LITURGI GKI PADA MASA PANDEMI"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

LITURGI GKI PADA MASA PANDEMI

DENGAN NARASI TEOLOGIS

Rasid Rachman

Pendahuluan

Khas dalam pemahaman kekristenan bahwa ibadah adalah peringatan dan perayaan.

Ibadah merupakan peringatan peristiwa (wafat-bangkit) Kristus dan gereja merayakannya.

Mengingatrayakan ini disebut anamnesis (Yun.). Oleh karena itu, ibadah bukan kewajiban, perintah, peraturan, atau keharusan. Orang Yahudi beribadah berdasarkan perintah: “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat” (Kel. 20:8; bdk. Ul. 5:12). Sementara gereja beribadah untuk mengingatrayakan kebangkitan Kristus pada hari pertama dalam pekan (Mat. 28:1; Mrk. 16:1;

Luk. 24:1; Yoh. 20:1; Why. 1:10). Tak ada perintah Alkitab: “Kuduskanlah hari Minggu,” kecuali perintah baptis (Mat. 28:19-20) dan perjamuan (1Kor. 11:24 dan 25 “perbuatlah ini“). Semacam

“perintah“ dalam Ibrani 10:25 bukan dalam bentuk definitif semisal: hari Minggu, puasa, Paska.

Hal mengingat menjadi utama bagi gereja awal sebagai kesetiaan pada warisan para pendahulu (bdk. 2Tes. 3:6). Marcel Metzger menulis bahwa di masa masih sangat mahalnya tulisan, orang mengandalkan ingatan untuk menjalankan tradisi.1Ingatan terpelihara melalui meneruskan cerita (tra = mengantar; dice = kata), sehingga menjadi tradisi (bdk. 1Kor. 11:18;

15:3). Ingatan atau memori-hidup akan tradisi ini melampaui ruang dan waktu sebagai realitas umat beribadah secara komunal di beberapa lokasi. Memori-hidup berpegang pada tradisi oral kemudian menjadi narasi liturgi (bdk. 1Kor. 11:18 “pertama-tama aku mendengar“).2

1Marcel Metzger, History of the Liturgy: the Major Stages, terj. Madeleine Beaumont (Collegeville: The Liturgical Press, 1997), 9.

2Metzger, 9-10.

(5)

Pembinaan Pejabat Gerejawi (PPG) GKI Klasis Bandung

GKI Cimahi, Sabtu, 18 September 2021 via zoom

- 2 -

Kerangka dasar tata ibadah

Salah satu narasi yang menonjol sebagai kerangka dasar liturgi adalah kisah perjalanan ke Emaus.3Constance Cherry menggambarkan pergerakan (movements) kisah perjalanan Yesus bersama dua murid sebagai alur selebrasi ibadah dari pembuka, yaitu: berhimpun ([Luk. 24:13- 24] gathering), firman ([Luk. 24:25-27] the Word), perjamuan ([Luk. 24:28-32] the Table of the Lord), dan pengutusan ([Luk. 24:33-35] the Alternative Response to the Word).4Berdasarkan narasi perjalanan ke Emaus ini, Cherry melihat kerangka empat ordo atau ruang liturgi.

Pertama, kisah ini menggambarkan prosesi awal ibadah. Dua murid berjalan dengan murung dan galau, memperbincangkan “segala sesuatu yang telah terjadi“ (24:14). Yesus hadir di tengah mereka, namun “ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia (24:16).

Prosesi adalah simbol perarakan umat Israel menuju tanah perjanjian. Kini gereja berprosesi dalam ziarah menuju “tanah perjanjian” baru. Prosesi menggambarkan perjalanan dan persinggahan menuju pengharapan mesianisme gereja. Seandainya berprosesi dengan lilin, misal: Minggu Adven, maka lilin bercahaya menyimbolkan ciptaan baru (Kej. 1:3 “Jadilah terang“). Lilin setiap Minggu dapat menyimbolkan Kristus bangkit pada hari pertama. Baik ibadah di rumah maupun di gereja, lilin dapat ditampilkan sebagai pembatas di sacred space sebagai sacred matter. Hening (dengan atau tanpa musik teduh) dapat juga sebagai pembatas dunia sesehari dengan arena selebrasi.

Kedua, bagian Firman. “Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci“ (24:27). Bagi Lukas, pemberitaan firman: pembacaan Alkitab dan pengajaran (Luk. 4:17-21; Kis. 2; Kis. 20:7-12) adalah penting, namun pengalaman perjumpaan dengan Yesus tidak terjadi hanya di firman. Lukas menulis bahwa umat Yahudi mencemooh dan menyerang Yesus ketika Ia mengajar di sinagoge di Galilea. Eutikhus bahkan terjatuh dan

3Constance M. Cherry, The Worship Architect: a Blueprint for Designing Culturally Relevant and Biblical Faithful Service (Grand Rapids: Baker Academic, 2010), 46-49.

4Detail dan selanjutnya, Cherry, 48-49, dan bab empat sampai bab tujuh, karena kita tidak membahas buku ini di sini sekarang; bdk. Max Thurian dan Geoffrey Wainwright, penyunting, Baptism and Eucharist Ecumenical Convergence in Celebration, (Geneva: World Council of Churches dan Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 1983), 241-242.

(6)

mati ketika mendengarkan pengajaran Paulus. Oleh karena itu, Penginjil Lukas tidak berhenti pada firman saja. Bagi Lukas, puncak ibadah adalah perjamuan atau persembahan yang di dalamnya terdapat kolekte.

Ketiga, bagi Lukas, firman harus dilengkapi dengan perjamuan (pemecahan roti).

Banyak pihak di gereja menganggap perjamuan adalah gangguan atau tempelan, namun perjamuan adalah esensi ibadah. Perjumpaan dengan Allah hanya terjadi di dalam perjamuan.

Injil Lukas memuat kisah perjamuan Yesus atau pemecahan roti (formula: mengambil, mengucap berkat memecahkan, dan memberikan, sejajar dengan perjamuan kudus) paling banyak dibanding ketiga Injil lain. Kisah 2:46 bahkan menceritakan bahwa jemaat awal melakukannya “tiap-tiap hari”. Kedua murid “terbuka matanya dan mengenal Dia” ketika Yesus “... memecah-mecahkannya dan membagikannya kepada mereka” (Luk. 24:30-31).

Sekalipun online, gereja tetap harus melakukan perjamuan. Berdasarkan jalinan tiga entitas liturgi perjamuan, sebagaimana liturgi seumumnya, yaitu: isi [narasi teologi (1Kor.

11:23-26)], bentuk (susunan, ordo, urutan unsur-unsur), dan gaya (nyanyi ordinarium, doa, formula, gestur),5 maka tidak ada pelaksanaan liturgi yang berbeda atau berubah dalam masa pendemi, kecuali di luar ketiga entitas tersebut. Entitas kedua dan ketiga adalah kasat mata, sedangkan pertama adalah tak-kasat mata. Yang berbeda dan perlu mendapat perhatian dalam penyelenggaraan liturgi pandemi adalah hal-hal praktis, semisal: durasi, roti dan minuman sendiri, jumlah nyanyian, dan sorotan kamera. Artinya, hal-hal praktis ini terletak pada ranah penyesuaian, bukan tiga elemen utama liturgi. Kehadiran Kristus melampaui keterikatan pada tempat (Luk. 24:33-36). Kehadiran Kristus tak berkurang dalam perjamuan online.

Keberatan gereja menyelenggarakan perjamuan online biasanya pada ketiadaan persekutuan (fisik) atau bersemuka. Saya mengaminkan bahwa “perjamuan adalah

persekutuan,“ namun bukan hanya persekutuan bersemuka. Narasi yang dibangun perjamuan, selain persekutuan bersemuka, adalah juga berbagi dan peduli (koinonia: fellowship, a close

5Cherry, 49.

(7)

Pembinaan Pejabat Gerejawi (PPG) GKI Klasis Bandung

GKI Cimahi, Sabtu, 18 September 2021 via zoom

- 4 -

mutual relationship, participation, sharing in, partnership, contribution, gift6) dengan yang lain.

Paulus, misalnya, “tidak memuji pertemuanmu (karena) tidak mendatangkan kebaikan“

sekalipun mengadakan perjamuan bersemuka (1Kor. 11:17). Jemaat tidak berbagi dan peduli dengan menunggu yang lain (1Kor. 11:33-34). Padahal, selama ini pun, liturgi perjamuan kita tidak menampilkan ritus berbagi (sharing) di antara umat, karena roti-anggur didistribusikan ke bangku-bangku umat.

Selepas pandemi, perjamuan online tetap dapat dilakukan baik di rumah (bagi mereka yang terbaring) maupun di gereja secara live streaming. Selama online di rumah, umat terbiasa menyediakan (baca: membawa) makanan sendiri, demikian pula sebaiknya perjamuan di gereja. Maka, kebiasaan membawa makanan-minuman sendiri tetap diberlakukan, karena kondisi pandemi (bdk. 1Kor. 11:21 idion deipnon). Kemudian menurut Paulus, bukan makan makanannya sendiri, melainkan “makan bersama” sehingga menjadi perjamuan Tuhan (1Kor.

11:20 kyriakon deipnon). Yang dimaksud perjamuan Tuhan oleh Paulus, menurut Eugene LaVerdiere, adalah kelindan pengucapan syukur (eucharistia) dengan mengingat (anamensis) peristiwa Kristus (1Kor. 11:23-25). Secara etis, perjamuan Tuhan mengubah perjamuan individu melalui tindakan berbagi dan peduli.

Jemaat membawa makanan-minuman sendiri memungkinkan Majelis Jemaat mengadakan perjamuan lebih sering daripada kebiasaan sebelum pandemi, apalagi

“kebiasaan” semasa pendemi. Merayakan perjamuan sesering mungkin merupakan peluang memulihkan selebrasi selama ini dan kelak (bdk. Tager GKI “sekurang-kurangnya empat kali setahun”). Selain persiapannya jauh lebih sederhana, perjamuan online memungkinkan umat memakan (intinya!) makanan seadanya dan sederhana dalam kebersamaan sebagaimana doa Bapa Kami. Maksudnya, bukan “roti-anggur“ kemasan, melainkan roti dan minuman rumah.

Persekutuan dan berbagi (koinonia) secara virtual adalah karakter ibadah selama ini.

Bukan hanya pada pengakuan iman, tetapi virtual juga menggambarkan seluruh aktivitas selebrasi adalah bersekutu dengan “gereja segala abad dan tempat” (bdk. PIR: “Bersama gereja

6Barclay M. Newman, Greek-English Dictionary of the New Testament, Revised Edition (Stuttgart: Deutsche Bibelgesellschaft, 2010), s.v. “κοινωνία”.

(8)

masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang”) secara sinekdoke totem pro parte. Lema virtual (KBBI) berarti: nyata. Kata virtual (Ing.) dapat berarti maya, sesungguhnya, sebenarnya (bdk. 1Tes. 1:1). Karakter ibadah adalah virtual. Baik bersemuka maupun terpisah tempat dan waktu, gereja dipersatukan “dalam Kristus”.

Keempat, pengutusan (Luk. 24:33-35 the Alternative Response to the Word). Bagian kecil di penutup selebrasi ini sangat penting. Penyampaian yang baik akan menggugah dan

menyempurnakan ibadah, seperti respons kedua murid: “Hati kita berkobar ketika Ia menerangkan Kitab Suci, ... lalu bangunlah mereka ... kembali ke Yerusalem“. Emaus bukan tujuan, melainkan Yerusalem. Pengutusan yang baik tidak menyasarkan umat dan gereja.

Selain liturgi hari Minggu, liturgi-liturgi lain tetap dilaksanaan tanpa perbedaan ketiga elemen tersebut. Penyelenggara ibadah hanya perlu menyesuaikan pelaksanaan pada ranah praktis. Liturgi-liturgi lain dimaksud adalah Kedukaan, Perkawinan, dan Peneguhan atau Penahbisan.

Dalam perspektif ordo liturgi, tidak ada nama “liturgi lain.“ Yang ada adalah ordo kedukaan, perkawinan, dan peneguhan atau penahbisan. Artinya, “liturgi lain“ tersebut adalah salah satu ordo (= ruang, kelompok unsur, bagian) di dalam liturgi utama, yakni liturgi

Minggu. Oleh karena (kebetulan!) dilaksanakan di luar hari Minggu, maka nampaknya saja ordo-ordo tersebut berdiri sendiri sehingga menyerupai liturgi.

“Ibadah” kedukaan, perkawinan, dan peneguhan atau penahbisan, adalah bagian atau ruang dari “rumah” liturgi hari Minggu. Contoh jelas adalah liturgi pernikahan merupakan liturgi Minggu,7bahkan hingga kini di beberapa gereja. Liturgi peneguhan dan penahbisan, misalnya, merupakan “tambahan” penumpangan tangan dengan doa setelah pemberitaan Firman dari tata liturgi jemaat,8sebagaimana praktik gereja-gereja hingga kini. Sekalipun liturgi kedukaan, contoh lain, berasal bukan hanya dari liturgi non-Minggu, tetapi beberapa unsur juga berasal dari liturgi atau doa harian.9“Liturgi“ kedukaan, perkawinan, dan peneguhan atau

7Metzger, 62.

8Bdk. Metzger, 54-55; J.G. Davies, ed., The New Westminster Dictionary of Liturgy and Worship (Philadelphia: The Westminster Press, 1986), s.v. “Ordination: 13. Reformed“ (John M. Barkley).

9Metzger, 132; Dict. of Liturgy, s.v. “Burial: 13. Reformed,“ (John M. Barkeley).

(9)

Pembinaan Pejabat Gerejawi (PPG) GKI Klasis Bandung

GKI Cimahi, Sabtu, 18 September 2021 via zoom

- 6 -

penahbisan tidak berjalan tanpa keterkaitan dengan liturgi “utama“ gereja, bukan liturgi tersendiri. Posisi kedukaan, perkawinan, dan peneguhan atau penahbisan sederajat dengan baptisan, sidi, pembuka (berhimpun), firman, perjamuan, dan pengutusan. Artinya, perubahan ibadah kedukaan, perkawinan, dan peneguhan atau penahbisan, di masa pandemi hanya berupa penyesuaian praktis demi penayangan. Oleh karena itu, pelaksanaan “liturgi“

kedukaan, perkawinan, dan peneguhan atau penahbisan tidak selengkap liturgi Minggu.

Proporsionalitas teknis praktis dalam ibadah

Perayaan ibadah dibungkus oleh ikonografi (atau maksudnya: simbolisasi) dan

didukung oleh teknologi. Simbol adalah bahan dasar (ingredient) ibadah, sedangkan teknologi adalah metode untuk mencapaikan pesan dan nilai ibadah. Maka, penggunaan kedua unsur tersebut tidak perlu secara optimal atau maksimal, melainkan secukupnya atau proporsional:

tak-berlebih dan tak-kurang.

Bentuk simbol-simbol liturgi,10baik terlihat maupun tak terlihat, antara lain:

1) Benda: gambar, patung, perabot, materi (Alkitab, air baptisan, cawan, roti).

2) Kata: nyanyian, bunyi ayat atau perikop Kitab Suci, doa, teks atau formula.

3) Waktu: Minggu, 24-25 Desember, Paska, Jumat Agung, tanggal atau hari kudus.

4) Tempat: tanah suci, alamat, kiblat (Yeh: 47:1).

5) Nama: nama baptis,11nama Gereja, hari, judul atau tema.

6) Angka atau nomor: dasa titah, ayat atau pasal, jumlah.

7) Warna atau motif.

8) Wujud: salib, ayam, bentuk bejana baptis, area ibadah.

9) Gestur, tutur, postur.

10Ernest Maryanto, Kamus Liturgi Sederhana (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004), s.v. “Simbol”.

11Kamus Liturgi Sederhana, s.v. “Nama Baptis”.

(10)

Sesuatu tersebut menyimbolkan sesuatu, bukan “sesuatu menjadi simbol”, hanya jika ia menarasikan karya Allah sebagaimana kesaksian Alkitab dan sejarah kekristenan. Sesuatu hanya menjadi pajangan (atau bahkan berhala) jika tidak menarasikan apa pun atau tanpa arti.

Simbol ibadah berperan atau bertempat di dalam batas area ritual berbeda dengan area keseharian. Ruang12ibadah menurut Ernest Maryanto, area ibadah atau area ritual menurut Tom Driver,13merupakan area liminalitas yang dibatasi setidaknya oleh empat (atau, dapat menjadi enam) hal sebagai demarkasi, yaitu:

1) tempat (sacred place [bdk. Kel. 3:5 menanggalkan kasut) 2) waktu (sacred time [bdk. Kej. 2:2-3; Kel. 20:8; Ul. 5:12]) 3) tata ruang (sacred space [bdk. Kel. 40:17-33)

4) materi (sacred matter [bdk. Kel. 19:10-15 umat; Kel. 35:5-19 perabot]) 5) kata-kata (sacred word [bdk. Kel. 20:7 “nama TUHAN“])

6) umat dan petugas (sacred people [bdk. Kel. 19:10-15])

Pembatasan area dalam dari luar ini, bagi umat, merupakan tuntutan dalam berperilaku, bersikap etis, beretiket, dan narasi. Tuntutan dalam batasan, berdasarkan Driver, disebut ritualisasi (ritualizations).14Namun, berbeda dengan ritualisasi, perayaan liturgi menyediakan wadah antara luar dan dalam, vice versa. Wadah tersebut adalah prosesi di awal perayaan dan pengutusan di akhir perayaan.15

Dari teritori itu, teknologi menyampaikan pesan simbol ibadah. Misal: teritori ibadah gereja dapat berupa ritus mencuci (†), bentuk pintu, bunyi lonceng, sambutan ushers, prosesi cahaya, penyalaan lilin, saat hening, musik prelude (praeludium = musik instumen mendahului nyanyian ibadah16). Melewati batas teritori, seluruh ruang ibadah adalah sacred area dan semua orang: Pendeta, petugas, dan umat, adalah setara sebagai mitra (partner) dalam partisipasi.

12Kamus Liturgi Sederhana, s.v. “Ruang Ibadat”.

13Tom F. Driver, Liberating Rites: Understanding the Transformative Power Ritual (Colorado: Westview Press, 1998), 47-49.

14Driver, 43-44.

15Kamus Liturgi Sederhana, s.v. “Pengutusan”; Perarakan”; “Perarakan Masuk”.

16Karl-Edmund Prier, Kamus Musik (Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 2009), s.v. “Praeludium”.

(11)

Pembinaan Pejabat Gerejawi (PPG) GKI Klasis Bandung

GKI Cimahi, Sabtu, 18 September 2021 via zoom

- 8 -

Subjek selebrasi liturgi

Liturgi17berasal dari kata-kata asing yang kemudian diindonesiakan. Kata-kata asing tersebut berasal dari bahasa Yunani: leitourgia, synaxis, eucharistia; Latin: officium, servus, missa;

Ibrani: avodah; Sansekerta: bhakti; Inggris: worthyship; Jerman atau Belanda: Gottesdienst, dienst.

Selain kata-kata tersebut, masih ada banyak kata yang tidak dikenal oleh gereja. Kecuali missa, semua kata tersebut mempunyai arti yang sama, yakni: umat melayani, dan menunjuk pada perayaan ibadah. Missa atau misa berarti mengutus, atau umat diutus.

Jadi, subjek perayaan liturgi dan syarat utama terjadinya peribadahan adalah umat, bukan Pendeta, bukan Penatua, bukan para petugas, bukan para artis ibadah. Constance Cherry mempertegas bahwa sekalipun para petugas laksana tuan/nyonya rumah membuat para tamu berterima sejak awal hingga akhir ibadah, namun peran petugas adalah mengaktifkan

partisipasi umat sehingga “tamu” berterima dan nyaman. Semuanya, baik Pendeta, Penatua, para petugas, maupun para artis ibadah harus memuarakan pelayanannya kepada jemaat di rumah, bukan dirinya. Hati-hati dengan tampilan “manggung” ala konser, alih-alih liturgis.

Menilik teks-teks liturgi yang dialogis dan nyanyian unisono (semua dalam satu suara18) dengan karakter lagunya, dasar liturgi GKI adalah umat aktif sebagai subjek. Hal ini berbeda dengan film atau “manggung”. Subjek “manggung” adalah para pemain di panggung depan atau di layar, sedangkan umat adalah penonton. Ada perbedaan antara teologi liturgi GKI dan gereja-gereja seazas dengan liturgi karismatik. Liturgi GKI mengarenakan umat sebagai subjek ibadah, sedangkan liturgi karismatik “memanggungkan” umat. Konsentrasi ibadah GKI di area umat, sedangkan liturgi karismatik di area petugas liturgi. Berdasarkan Ernest Maryanto (atau Mariyanto?), area umat ditata sedemikian rupa sehingga umat aktif berliturgi sebagai umat, yaitu: mengungkapkan persekutuan, leluasa duduk, berdiri, berlutut, berprosesi, mengarahkan

17Bdk. Kamus Liturgi Sederhana, s.v. “Liturgi”; bdk. Kamus Musik, s.v. “Liturgi“.

18Kamus Musik, s.v. “Unisono”.

(12)

perhatian seluruh rangkaian ibadah.19Area umat bukan bangku penonton atau auditorium yang gelap dan sesak.

Selama ibadah daring, baik live streaming maupun rekaman, tampilan ibadah dibatasi oleh layar monitor. Sorotan kamera, sepengamatan saya di beberapa lokasi ibadah, cenderung

“terlalu dekat” di tubuh petugas liturgi. Isi monitor, selain tampilan panggung petugas, setelah melihat beberapa ibadah GKI hingga 13 Juni 2021, hanya tubuh petugas dari dengkul (atau pinggang) ke sedikit atas kepala di (hampir) seluruh tayangan. Model tayangan berfokus pada wajah petugas tersebut tak beda dengan model ibadah daring karismatik yang memang memanggungkan umat. Model tayangan Katolik menyorot jangkauan lebih luas, tetapi juga tidak cukup.

Menurut hemat saya, selama dua tahun (mungkin lebih) ibadah daring menyebabkan ibadah GKI tergoda untuk menjadi ibadah tontonan. Para petugas menjadi artis dan umat penonton. Maka, langkah pertama yang penting dikerjakan adalah memulihkan selebrasi ibadah itu sendiri ke sifat dasarnya. Beribadah, baik online di rumah maupun bersemuka di gereja secara rutin (sacred time), di tempat biasa (sacred place) dengan tata ruang khusus ibadah (sacred space), dan menggunakan materi khusus (sacred matter), adalah soal memulihkan.

Dengan pengurangan durasi tata ibadah menjadi sekitar 35 – 45 menit, penyelenggara: dapat meminta kesediaan umat menulis perilaku, etika, dan moral baru sebagai respons atas ibadah di chat room; doa atau cerita kelompok dalam break room.

Penutup

Beberapa hal bagi pelaksanaan ibadah Jemaat adalah sebagai berikut:

1) Tugas penyelenggara ibadah adalah menyelenggarakan ibadah dengan menyajikan narasi Kristus. Petugas tak sekadar melakukan urutan tata ibadah, melainkan dengan pola ritual dan perayaan.

19Kamus Liturgi Sederhana, s.v. “Ruang Jemaat”.

(13)

Pembinaan Pejabat Gerejawi (PPG) GKI Klasis Bandung

GKI Cimahi, Sabtu, 18 September 2021 via zoom

- 10 -

2) Sebagai subjek, umat berkesempatan menampilkan liturgi secara aktif, bukan

menunggu perintah atau diperintah. Maka, petugas liturgi tidak mengambil hak umat sebagai subjek ibadah. °

(14)

GKI KLASIS BANDUNG

GKI CIMAHI, SABTU, 18 SEPTEMBER 2021 VIA ZOOM

Bina para penatua diselenggarakan oleh BPMK Bandung, dalam pelayanan

bergereja. Topik saya adalah LITURGI GKI PADA MASA PANDEMI DENGAN NARASI TEOLOGIS. Ini adalah sesi pertama di antara beberapa sesi.

Pembinaan tingkat klasikal ini dihadiri oleh sekitar 70 penatua, beberapa Pendeta dan panitia. Klasis Bandung terdiri dari beberapa Jemaat GKI di kota Bandung, Cimahi, dan Cianjur, termasuk Sukabumi. Sukabumi bukan klasis Bandung, tetapi Jakarta Selatan, namun diikut oleh karena berada dalam lingkup wilayah geografi Bandung.

Jakarta, 23 September 2021

Dr. Rasid Rachman

Referensi

Dokumen terkait

Sebab proses peradilan tidak bisa dihentikan dengan alasan apapun, sebuah adagium hukum menyatakan bahwa menunda keadilan adalah bentuk lain dari ketidakadilan yang dikenal

Rata-rata kumulatif angket adalah 4,22 atau 84,38%, data ini menjelaskan bahwa tingkat keaktifan guru dalam mengingatkan siswa untuk mengumpulkan tugas berada pada kategori

Motivasi belajar seseorang dapat dilihat dari tingkah lakunya yang terlihat. Ciri-ciri siswa dengan motivasi belajar tinggi adalah: 1) Ada keinginan dan keinginan

Persiapan yang harus di siapkan sekolah dalam kondisi pandemi seperti ini antara lain adalah sarana prasarana, seperti platform dan dan juga tool yang dipakai

Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu ada rangsangan dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan

Aspek-aspek yang ditanyakan dalam survei antara lain : 1 Percaya atau tidaknya mahasiswa akan Covid-19; 2 Sejak kapan mahasiswa mengetahui bahwa Covid-19 ada di Indonesia; 3 Darimanakah

COVID 19 memilah dan memilih sasaran dalam penyebarannya salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan Senam aerobic dengan instensitas ringan adalah mudah, murah, dan dapat meriah

Lingkungan keluarga sebagai pusat pertama dan utama anak mendapat pendidikan yaitu tidak lain adalah dari orangtua, lingkungan sekolah sebagai lembaga formal merupakan tempat kedua