• Tidak ada hasil yang ditemukan

Siti Nur Solechah, Realisasi Desentralisasi Sektor Pertambangan, Info Singkat Pemerintahan Dalam Negeri, Vol. IV, No. 12, 2012, h.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Siti Nur Solechah, Realisasi Desentralisasi Sektor Pertambangan, Info Singkat Pemerintahan Dalam Negeri, Vol. IV, No. 12, 2012, h."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

33

BAB III PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan dipaparkan tentang latar belakang atau alasan pengalihan kewenangan penerbitan izin usaha pertambangan mineral dan batubara dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat, kemudian akan dijelaskan jawaban atas rumusan masalah penelitian ini bahwa pengalihan kewenangan penerbitan izin usaha pertambangan mineral dan batubara dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat tidak bertentangan dengan prinsip desentralisasi dan otonomi dalam negara kesatuan. Argumentasi yang akan digunakan penulis adalah (1) pembagian kewenangan penerbitan izin pertambangan mineral dan batubara berdasarkan asas desentralisasi dalam negara kesatuan, (2) prinsip otonomi daerah dalam negara kesatuan Republik Indonesia bersifat terbatas.

3.1 Latar Belakang Pengalihan Kewenangan Penerbitan Izin Pertambangan Mineral dan Batubara dari Pemerintah Daerah ke Pemerintah Pusat

Fokus penelitian ini adalah konstitusionalitas pengalihan kewenangan penerbitan izin usaha pertambangan mineral dan batubara dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2020. Beberapa pihak yang tidak setuju berpendapat bahwa pengalihan tersebut mengakibatkan hilangnya kewenangan daerah, khususnya pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menerbitkan izin berdasarkan berdasarkan asas otonomi. Namun, konsep otonomi sebagai dasar untuk menentukan porsi pembagian kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota, dalam hal ini kewenangan untuk menerbitkan izin pertambangan mineral dan batubara tidak sesuai dengan hukum, yaitu konsep negara kesatuan Republik Indonesia yang bersifat desentralistik. Oleh karena itu, dalam bab ini akan dijelaskan latar belakang serta konsep pengalihan kewenangan penerbitan izin pertambangan mineral dan batubara dari pemerintah daerah kabupaten/kota ke pemerintah pusat.

Dalam UU No. 22 Tahun 1999, seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa kewenangan untuk menerbitkan izin usaha pertambangan

(2)

34

mineral dan batubara dimiliki oleh bupati/walikota, gubernur dan menteri berdasarkan wilayah kuasa pertambangan. Teknis penerbitan izin tentang pertambangan mineral dan batubara diatur lebih lanjut dalam PP No. 75 Tahun 2001. Namun, perizinan pertambangaan tersebut berlangsung dengan kewenangan yang terlalu luas, dimana pemerintah daerah menguasai perizinan semua sumber daya alam termasuk yang bersifat strategis dan vital.

Luasnya kewenangan perizinan tersebut menyebabkan timbulnya izin pertambangan yang bermasalah, salah satunya kasus tumpang tindih lahan.

Pada tahun 2017, Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia mencatat sekitar 2.522 izin tambang berstatus non clean and clear (CnC). Angka tersebut merupakan 30 persen dari total izin tambang yang sudah dikeluarkan pemerintah hingga tahun 2017. Tingginya jumlah IUP yang bermasalah tersebut disebabkan oleh penerbitan UU No. 22 Tahun 1999 dimana pemerintah daerah melalui kepala daerah memiliki kekuasaan untuk menerbitkan IUP. Kewenangan tersebut dimanfaatkan oleh politikus (calon kepala daerah) untuk mencari dukungan dari pengusaha pertambangan dengan menerbitkan izin tambang apabila politikus tersebut menjadi kepala daerah dalam Pilkada.1

Sedangkan dalam periode UU No. 32 Tahun 2004, masih berbekal asas otonomi seluas-luasnya dan bermaksud meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), banyak kepala daerah mengeksploitasi sumber daya alam di daerahnya. Dari sejumlah usaha pertambangan, sebagian besar bermasalah dalam hal perizinan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, memicu konflik perbatasan antar wilayah, konflik antara masyarakat di lingkar tambang dengan investor pertambangan dan pemerintah daerah setempat, serta sering terjadi pelanggaran HAM tarhadap kelompok masyarakat yang anti usaha pertambangan. Lalu temuan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mensinyalir bahwa sedikitnya ada sekitar 10.000 izin pertambangan pada awal 2012 yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, namun ada 5000 izin tambang yang bermasalah. Selain izin yang bermasalah,

1 Vincent Fabian Thomas, Ribuan Izin Tambang Dinilai Bermasalah karena Transaksi Uang, 28 Maret 2019, Tirto.id, https://tirto.id/ribuan-izin-tambang-dinilai-bermasalah-karena- transaksi-uang-dksF, dikunjungi pada 15 November 2021, pukul 21.51

(3)

35

terdapat juga adanya surat-surat izin pertambangan palsu, tumpang tindih perizinan dan praktek pertambangan tanpa izin (peti).2

Oleh karena kewenangan pemerintah daerah terlalu besar dan menyebakan penyimpangan, khususnya kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam menerbitkan izin pertambangan yang tidak sesuai dengan hukum, maka pemerintah pusat menarik kewenangan tersebut melalui UU No. 23 Tahun 2014. Dalam sub urusan pertambangan mineral dan batubara, kewenangan untuk menerbitkan izin pertambangan dimiliki oleh pemerintah pusat melalui menteri ESDM dan pemerintah daerah provinsi melalui gubernur. Pemerintah daerah kabupaten/kota sama sekali tidak memiliki kewenangan terkait penerbitan izin pertambangan.

Namun pengalihan kewenangan penerbitan izin tambang dalam UU No.

23 Tahun 2014 tersebut bertentangan dengan UU No. 4 Tahun 2009, dimana pemerintah daerah kabupaten/kota masih memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin pertambangan. Hal tersebut mengakibatkan ketidakharmonisan antar undang-undang dan menyebabkan ketidakpastian hukum. Pemerintah melalui Kementerian ESDM melakukan upaya untuk mensinkronkan kedua peraturan dengan menerbitkan PP No. 34 Tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara, hingga dilakukan perubahan UU No. 4 Tahun 2009 menjadi UU No. 3 Tahun 2020, khususnya terkait perizinan pertambangan pada Pasal 35 ayat (1) yang menyebutkan “Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.” Lalu diikuti Pasal 35 ayat (4) menyebutkan

“Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemerintah Daerah Provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”.

Perubahan tersebut mendapatkan pertentangan dari beberapa pihak dengan alasan akan menghilangkan hak otonomi pemerintah daerah kabupaten/kota serta mengurangi pendapatan asli daerah kabupaten/kota.

Alasan dari hilangnya kewenangan otonomi pemerintah daerah didasarkan pada amanat konstitusi, dimana Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) yang

2 Siti Nur Solechah, Realisasi Desentralisasi Sektor Pertambangan, Info Singkat Pemerintahan Dalam Negeri, Vol. IV, No. 12, 2012, h. 17-18

(4)

36

menyebutkan pada intinya bahwa pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantunan, serta pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali yang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat oleh undang-undang.

Pihak yang tidak menentang adanya pengalihan penerbitan IUP mineral dan batubara berpendapat bahwa pemerintah pusat memiliki pertimbangan bahwa pengelolaan sub-urusan pemerintahan mineral dan batubara akan lebih efisien jika dikelola oleh pemerintah pusat. Terlebih sektor pertambangan mineral dan batubara memiliki peran strategis bagi kepentingan nasional dengan menjadi salah satu penyumbang terbesar pendapatan negara non pajak.

Dalam pembagian urusan pemerintahan bidang ESDM pemerintah pusat bertindak berdasarkan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa “Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan kabupaten/kota didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional.” Kemudian pengelolaan sub urusan mineral dan batubara oleh pemerintah pusat juga sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 dimana bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat.

3.2 Pengalihan Kewenangan Penerbitan Izin Pertambangan Mineral dan Batubara Tidak Bertentangan dengan Prinsip Desentralisasi dan Otonomi dalam Negara Kesatuan

Pada bagian ini akan menjawab secara spesifik terhadap isu hukum penelitian dengan mempertahankan thesis statement yang merupakan jawaban dari isu hukum penelitian. Posisi thesis statement dalam penelitian ini adalah pengalihan kewenangan penerbitan izin usaha pertambangan mineral dan batubara dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat tidak bertentangan dengan prinsip desentralisasi dan otonomi di negara kesatuan. Untuk menjawab isu hukum penelitian bahwa pengalihan kewenangan penerbitan izin pertambangan mineral dan batubara tidak bertentangan dengan prinsip desentralisasi dan otonomi di negara kesatuan, maka penjelasan akan bertolak

(5)

37

dari pemahaman konsep pembagian kewenangan penerbitan izin pertambangan mineral dan batubara berdasarkan asas desentralisasi dalam negara kesatuan, kemudian konsep otonomi yang bersifat terbatas dalam negara kesatuan Republik Indonesia.

3.2.1 Pembagian Kewenangan Penerbitan Izin Pertambangan Mineral dan Batubara Berdasarkan Asas Desentralisasi dalam Negara Kesatuan

Pada bagian ini akan menjelaskan bahwa konsep otonomi yang dijadikan dasar untuk memperoleh porsi kewenangan penerbitan izin pertambangan mineral dan batubara tidak sesuai dengan konsep negara kesatuan yang desentralistik. Pernyataan yang menyebutkan bahwa otonomi sebagai dasar untuk menentukan porsi pembagian kewenangan penerbitan IUP mineral dan batubara berasal dari pihak- pihak yang tidak menyetujui berlakunya Pasal 35 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2020. Pihak yang tidak menyetujui berpendapat bahwa pengalihan kewenangan tersebut bertentangan dengan prinsip otonomi daerah. Pernyataan tersebut menyebabkan seolah-olah konsep otonomi daerah dalam negara kesatuan adalah konsep yang berdiri sendiri tanpa adanya pelimpahan kewenangan yang mendahului.

Konsekuensi dianutnya bentuk negara kesatuan berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 adalah kedaulatan yang tidak terbagi dimana kedaulatan tertinggi dipegang oleh pemerintah pusat.

Kemudian dalam Pasal 18 UUD NRI dijelaskan prinsip negara kesatuan berdasarkan asas desentralisasi dalam hubungan pusat dan daerah sebagai berikut :

1. Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945 : “Negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten atau kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintah daerah, yang diatur undang-undang.”

(6)

38

2. Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945 : “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan megurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.”

3. Pasal 18 ayat (5) UUD NRI 1945 : “Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.”

Dalam negara kesatuan, desentralisasi adalah metode atau teknik dimana daerah dapat memperoleh atau memiliki kekuasaan untuk dilaksanakaan. Hal ini sejalan dengan konsep desentralisasi dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 23 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa

“desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi”.

Inti dari pengertian desentralisasi diatas adalah penyerahan atau pelimpahan kekuasaan kepada pemerintah daerah dari pemerintah pusat. Itu artinya, pemerintah daerah tidak memiliki kekuasaan asli (kekuasaan atributif). Pemerintah daerah memiliki kekuasaan setelah menerima pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat. Pra- pemahaman tentang desentralisasi harus dikembalikan pada induknya yaitu asas negara kesatuan. Dalam konteks ini, Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945 menggambarkan dengan tepat karakter negara kesatuan dimana yang mula-mula ada adalah pemerintah pusat.3

Meskipun Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD NRI 1945 menyatakan pemerintah daerah mengurus dan mengatur sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi yang seluas-luasnya, namun mengingat pelaksanaan otonomi beroperasi dalam bentuk negara kesatuan, tentu saja makna seluas-luasnya tersebut memiliki keterbatasan karena daerah tidak bersifat ‘negara’ dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Dalam negara kesatuan yang desentralistik, termasuk dengan otonomi paling luas sekalipun, terkandung satu pembatasan yang secara konseptual bersifat inheren

3 Titon Slamet Kurnia, Intervensi Yudisial..., Op.Cit h.220

(7)

39

oleh konsepsi negara kesatuan itu sendiri, yaitu posisi daerah yang tidak akan sampai menikmati kekuasaan yang dijamin secara tegas batas-batas konstitusionalnya dengan implikasi konfigurasinya akan selalu “kekuasaan yang dinikmati daerah adalah kekuasaan pemerintah pusat yang didesentralisasikan” – bukan kekuasaan aslinya sendiri.4

Menurut pendapat Titon Slamet Kurnia, konsep pemberian otonomi seluas-luasnya harus dikaitkan dengan isu perolehan kekuasaan pada daerah dimana berdasarkan asas negara kesatuan hal itu melalui proses desentralisasi kekuasaan pemerintah pusat atau nasional. Desentralisasi adalah fase pertamanya, kemudian otonomi adalah fase berikutnya.5 Pemerintah pusat adalah pemberi kewenangan atau delegant, sedangkan pemerintah daerah adalah penerima kewenangan atau delegataris.

Selanjutnya dapat dipahami bahwa konsep desentralisasi mendahului konsep otonomi daerah. Dimana desentralisasi merupakan metode atau teknik pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sedangkan otonomi adalah bagaimana daerah melaksanakan kewenangan yang telah dilimpahkan dengan menjalankan dan bertanggung jawab atas kewenangan yang dimiliki.

Sehingga otonomi dalam negara kesatuan bukanlah konsep yang dapat berdiri sendiri, melainkan harus dikaitkan dengan bagaimana daerah memperoleh kekuasaan melalui proses desentralisasi kekuasaan pemerintah pusat.

Dengan karakter tidak ada negara dalam negara, maka kekuasaan daerah diperoleh dari pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden Republik Indonesia. Sesuai prinsip konstitusional dalam Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden Republik Indoensia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang- Undang Dasar”. Pasal tersebut juga menegaskan bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial dimana Presiden memegang seluruh kekuasaan pemerintahan diluar kekuasaan legislatif

4 Ibid., h. 217

5 Ibid., h. 220-221

(8)

40

dan yudikatif. Dalam negara kesatuan yang kedaulatan tertinggi ada di pemerintah pusat maka dapat diartikan pemerintah pusat atau Presiden adalah pemilik kewenangan asli atau atributif atas segala urusan pemerintahan diluar kekuasaan legislatif dan yudikatif. Implikasi dari adanya prinsip tersebut adalah Presiden memiliki kontrol atas segala urusan pemerintahan dalam ranah eksekutif termasuk didalamnya adalah kewenangan daerah dalam menerbitkan izin pertambangan mineral dan batubara.

Pemerintah pusat atau Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dapat mendelegasikan atau mendesentralisasikan kewenangannya kepada pemerintah daerah untuk efektfitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Walaupun tanggung jawab kewenangan beralih pada penerima kewenangan atau delegataris, tetapi dalam negara kesatuan Indonesia, pemerintah pusat (Presiden) tetap bertanggungjawab atas kewenangan yang dilimpahkan. Penjelasan ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa Presiden memegang tanggung jawab akhir atas penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Pada Pasal 7 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 juga menunjukkan bahwa Presiden berada pada puncak hierarki kekuasaan urusan pemerintahan dalam ranah eksekutif. Meskipun Presiden sudah mendesentralisasikan kewenangan kepada daerah, tetapi Presiden tetap bertanggungjawab atas kewenangan yang telah dilimpahkan.

Dibaginya urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagai urusan pemerintahan konkuren merupakan implikasi dianutnya prinsip desentralisasi dalam negara kesatuan tidak menghilangkan tanggung jawab presiden dalam pelaksanaan urusan pemerintahan yang telah dilimpahkan kepada daerah provinsi atau kabupaten/kota.

(9)

41

Konsep desentralisasi mendahului otonomi dalam negara kesatuan berimplikasi pada pelaksanaan urusan pemerintahan terkait penerbitan izin pertambangan mineral dan batubara di daerah. Fase pertama adalah pemerintah pusat mendesentralisasikan kewenangan terkait urusan kepada pemerintah daerah, lalu fase kedua adalah daerah melaksanakan kewenangan yang telah dilimpahkan berdasarkan asas otonomi.6 Hal tersebut sesuai dengan konsep negara kesatuan yang desentralistik, dimana pemerintah daerah tidak bersifat negara, tetapi hanya sebagai subordinat dari pemerintah pusat yang hanya memiliki kewenangan delegatif.

Sesuai prinsip negara kesatuan dimana pemerintah daerah hanya memiliki kewenangan bersifat delegatif, maka kewenangan otonomi yang dimiliki pemerintah daerah merupakan konsep yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan bagaimana daerah mendapatkan kewenangan untuk menerbitkan izin usaha pertambangan mineral dan batubara, dalam hal ini melalui asas desentralisasi. Kewenangan tersebut bersumber dari kewenangan pemerintah pusat (Presiden) yang didesentralisasikan melalui UU No. 23 Tahun 2014 kepada pemerintah daerah. Artinya pemerintah daerah harus menerima pelimpahan kewenangan yang pada dasarnya dimiliki oleh pemerintah pusat yaitu Presiden, untuk menerbitkan izin usaha pertambangan. Setelah kewenangan dilimpahkan, maka daerah baru dapat melaksanakan urusan tersebut berdasarkan prinsip otonomi daerah.

Berbanding terbalik dengan konsep otonomi dalam negara kesatuan, konsep otonomi sebagai dasar untuk memperoleh porsi kewenangan penerbitan izin pertambangan mineral dan batubara akan lebih sesuai jika bentuk negara Indonesia adalah federal. Karena dalam bentuk negara federal tidak berlaku konsep desentralisasi mendahului otonomi. Kewenangan otonomi yang dimiliki negara bagian tidak diperoleh melalui kewenangan yang didesentralisasikan oleh pemerintah federal. Kewenangan otonomi dalam negara bagian

6 Ibid., h. 221

(10)

42

bersifat melekat dengan sendirinya. Hal ini disebabkan karena negara federal menganut prinsip pembagian kedaulatan antara pemerintah federal dan negara bagian.

Pada dasarnya, sebelum menyatukan diri menjadi negara federal, negara bagian merupakan negara merdeka yang berdiri sendiri dan memiliki kedaulatan. Kemudian pada saat menggabungkan diri menjadi negara federal, konstitusi merupakan jaminan untuk negara bagian tetap memiliki kedaulatan. Dengan adanya jaminan konstitusional yang membagi secara tegas kekuasaan teritorial antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian, maka kekuasaan negara bagian merupakan kekuasaan asli atau atributif yang dijamin konsitusi. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disumpulkan bahwa pemerintah daerah (pemerintah negara bagian) memiliki kewenangan atributif untuk membentuk peraturan terkait penerbitan izin pertambangan selama tidak bertentangan dengan konstitusi federal.

Dan pemerintah pusat (pemerintah federal) tidak dapat ‘ikut campur’

atau bahkan mencabut kewenangan dari pemerintah daerah (pemerintah negara bagian) terkait penerbitan izin pertambangan.

Dengan penjabaran yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa langkah pembentuk undang-undang dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2020 untuk mengalihkan kewenangan penerbitan izin pertambangan mineral dan batubara dengan mempertimbangkan kewenangan pemerintah pusat dalam negara kesatuan Republik Indonesia tidaklah bertentangan atau inkonsisten dengan asas desetralisasi dan asas otonomi dalam negara kesatuan. Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara kesatuan, tidak menjadi masalah apabila pemerintah pusat mengubah kebijakan dalam porsi pembagian kewenangan urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebagai delegant, pemerintah pusat dapat membuat kebijakan yang menentukan bahwa pemerintah pusat memiliki kewenangan lebih besar untuk suatu urusan pemerintahan tertentu atau sebaliknya dimana pemerintah daerah memiliki

(11)

43

kewenangan yang lebih besar untuk suatu urusan pemerintahan tertentu. Karena pada prinsipnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan berdasarkan asas desentralisasi yang kemudian diikuti dengan asas otonomi. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari dianutnya konsep negara kesatuan dimana posisi pemerintah daerah hanyalah sebagai penerima kewenangan atau delegataris.

Apabila pemerintah pusat memutuskan untuk mencabut atau mengalihkan kewenangan yang telah dilimpahkan dan mengakibatkan pemerintah daerah kehilangan kewenangan untuk menebitkan izin pertambangan, pengalihan tersebut sah saja karena pemerintah pusat merupakan pemilik kewenangan atributif. Hal tersebut juga sesuai dengan prinsip tidak ada negara dalam negara, sehingga kewenangan pemerintah daerah hanyalah kewenangan delegatif yang berkaitan dengan bagaimana daerah memperoleh kewenangan melalui asas desentralisasi. Tanpa adanya pelimpahan kewenangan berdasarkan asas desentralisasi, daerah tidak dapat menjalankan kewenangan untuk menerbitkan izin usaha pertambangan mineral dan batubara berdasarkan asas otonomi.

3.2.2 Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Bersifat Terbatas

Prinsip utama dari negara kesatuan adalah kedaulatan yang tidak terbagi, dalam hal ini pemerintah pusat memiliki kedaulatan tertinggi dengan menganut prinsip supremasi parlemen pusat yakni hanya ada satu badan legislatif di pusat serta tidak ada satuan pemerintahan yang berdaulat bersifat staat selain pemerintah pusat. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945, Indonesia tidak membagi kedaulatan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pembagian kekuasaan secara teritorial antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah hanya terjadi pada ranah kekuasaan eksekutif (kekuasaan pemerintahan) saja.

Tidak terjadi pembagian kewenangan pada ranah kekuasaan legislatif

(12)

44

dan yudikatif. Oleh karena itu dalam negara kesatuan Republik Indonesia tidak dikenal istilah ‘negara bagian’ seperti di bentuk negara federal, tetapi menggunakan istilah daerah untuk menunjukkan bahwa daerah tidak bersifat staat, yang hanya beroperasi pada lingkup kekuasaan eksekutif.

Menurut pendapat Titon Slamet Kurnia, terbatasnya otonomi daerah dalam negara kesatuan nampak dari bergantungnya daerah otonom kepada kebijakan pemerintah pusat dalam hal ini Presiden, karena sesuai dengan karakter dari negara kesatuan, pemerintah daerah tidak memiliki kekuasaan asli.7 Karena kekuasaan daerah terbatas hanya beroperasi pada lingkup eksekutif, maka otonomi daerah juga hanya beroperasi pada lingkup kekuasaan eksekutif. Hal ini berarti kekuasaan daerah bersumber dari kekuasaan eksekutif yang dipegang oleh Presiden dalam negara kesatuan. Sehingga konsep otonomi daerah bukanlah konsep yang berdiri sendiri, tetapi tentang bagaimana pemerintah daerah memperoleh kekuasaan untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, dalam hal ini melalui konsep desentralisasi.8

Konsep otonomi seluas-luasnya pada negara kesatuan Republik Indonesia dengan sistem desentralisasi terkandung pembatasan dimana daerah provinsi dan kabupaten tersebut tidak akan menjadi daerah otonom tanpa adanya kekuasaan yang didesentralisasikan oleh pemerintah pusat. Hal ini berarti pemerintah daerah tidak akan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat9 tanpa adanya kewenangan yang dilimpahkan sebagian oleh pemerintah pusat. Jika diimplementasikan, kewenangan penerbitan IUP mineral dan batubara oleh pemerintah daerah kabupaten/kota berdasarkan asas otonomi

7Titon Slamet Kurnia, Otonomi Daerah Antara Negara Kesatuan yang Desentralistik dan Presidensialisme, Makalah Seminar Nasional Otonomi Daerah dalam Sistem Presidensil, Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi Universitas Kristen Satya Wacana, 17 September 2021, h. 11

8 Ibid., h. 10

9 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5507)

(13)

45

daerah adalah konsep yang tidak dapat berdiri sendiri, karena daerah hanya dapat menjalankan ranah kewenangannya setelah menerima pelimpahan oleh pemerintah pusat.

Kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam menerbitkan izin usaha pertambangan mineral dan batubara merupakan kewenangan delegatif yang bersumber dari pemerintah pusat, sehingga akan sangat bergantung pada kehendak pemerintah pusat sebagai pemilik kewenangan asli untuk mendesentralisasikan kewenangan tersebut. Karena konsitusi UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur adanya jaminan pemisahan atau pembagian kekuasaan teritorial khususnya kekuasaan eksekutif, maka pemerintah daerah tidak dapat menuntut untuk menerima pelimpahan kewenangan kepada pemerintah pusat. Pemerintah daerah dalam negara kesatuan hanya bersifat pasif karena tidak memiliki kewenangan atributif yang dijamin oleh konstitusi, sehingga pemerintah daerah hanya dapat menerima kehendak pemerintah pusat untuk melimpahkan kewenangan atau tidak.

Tidak adanya jaminan secara konstitusional untuk pemisahan atau pembagian kekuasaaan secara teritorial, maka pengaturan tersebut diatur dalam tingkat legislasi. Hal tersebut menyebabkan pembagian kekuasaan dalam hubungan pusat dan daerah tersebut dapat berubah- ubah bergantung pada materi muatan undang-undang yang berlaku.

Jika dilihat dalam peraturan yang berlaku sebelumnya yaitu UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, kebijakan pembentuk undang-undang memutuskan untuk pemerintah pusat mendesentralisasikan kewenangan berkaitan dengan penerbitan izin pertambangan mineral dan batubara kepada pemerintah daerah kabupaten/kota.

Kemudian dalam peraturan yang berlaku saat ini yaitu UU No.

23 Tahun 2014, kebijakan pembentuk undang-undang memutuskan pemerintah pusat tidak mendesentralisasikan kewenangan terkait dengan penerbitan izin pertambangan mineral dan batubara kepada

(14)

46

pemerintah daerah kabupaten/kota, meskipun termasuk pada urusan pemerintahan konkuren yang membagi kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.10 Peraturan tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2020, yang mencabut kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menerbitkan izin usaha pertambangan mineral dan batubara. Perubahan ini mencerminkan bahwa kewenangan pemerintah daerah bergantung atau mengikuti kehendak dari kebijakan pemerintah pusat sebagai pemilik asli. Selain itu, karena tidak ada batasan secara tegas dan terperinci untuk pemisahan atau pembagian kekuasaan teritorial dalam UUD NRI 1945, maka keputusan pembentuk undang-undang tersebut dapat dikatakan sebagai kebijakan legislatif terbuka (dengan mempertimbangkan kebijakan pemerintah pusat yakni Presiden sebagai pemilik kewenangan atributif) yang merupakan bentuk kebebasan pembentuk undang-undang untuk menentukan materi muatan undang-undang (karena tidak diatur secara spesifik dalam konstitusi) selama tidak bertentangan dengan norma UUD NRI 1945.

Karena otonomi daerah dalam negara kesatuan bersifat terbatas maka penyelenggaraan urusan pemerintahan ESDM khususnya sub urusan mineral dan batubara pada tingkat daerah juga bersifat terbatas.

Hal ini disebabkan karena kewenangan daerah kabupaten/kota untuk menerbitkan izin pertambangan mineral dan batubara merupakan kewenangan delegatif atau turunan, sehingga sangat bergantung pada kebijakan pemerintah pusat sebagai pemilik kewenangan asli atau atributif untuk mendesentralisasikan. Pemerintah daerah yang bersifat pasif dan terbatas hanyalah sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat atau ‘pembantu’ Presiden, sehingga daerah harus menuruti kehendak pemilik kewenangan asli.

Sebagai pemilik kewenangan asli, pemerintah pusat dalam negara kesatuan berhak untuk menentukan kebijakan apakah akan mendesentralisasikan kewenangan terkait penerbitan IUP mineral dan

10 Lampiran Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5507)

(15)

47

batubara tersebut. Hal tersebut juga berlaku apabila pemerintah pusat memutuskan untuk menarik kewenangan yang telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah apabila daerah tidak dapat melaksanakan kewenangan dengan baik karena adanya penyimpangan-penyimpangan yang menyebabkan berkurangnya efektifitas dari adanya otonomi daerah.

Sebagai perbandingan dengan negara federal seperti Amerika Serikat, asas otonomi dalam negara bagian tidak bersifat terbatas.

Kewenangan yang dimiliki oleh negara bagian tidak bersifat delegatif, tetapi bersifat atributif. Hal ini dikarenakan adanya jaminan pemisahan atau pembagian kekuasaan teritorial yang spesifik dalam konsitusi.

Batas-batas untuk kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif telah ditentukan secara tegas dalam konsitusi. Sehingga urusan pemerintahan negara bagian tidak bergantung pada kebijakan pemerintah federal karena negara bagian merupakan ‘negara dalam negara’ yang memiliki kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Dengan adanya jaminan pembagian kewenangan eksekutif dan legislatif secara tegas dalam konstitusi, maka kewenangan otonomi tersebut bersifat melekat dengan sendirinya pada pemerintah negara bagian tanpa perlu menerima pelimpahan dari pemerintah federal.

Akan berbeda jika peraturan tentang pengalihan kewenangan penerbitan izin pertambangan tersebut terjadi pada negara federal, dimana negara bagian bukanlah perpanjangan tangan pemerintah federal karena merupakan ‘negara dalam negara’. Pemerintah negara bagian memiliki kewenangan otonomi yang lebih luas dibandingkan dengan pemerintah daerah dalam negara kesatuan. Pemerintah negara bagian memiliki kewenangan otonomi yang luas untuk mengatur dan mengurus izin pertambangan yang ada diwilayah negara bagian.

Dengan adanya pembagian kewenangan teritorial yang dijamin konstitusi, maka pemerintah federal tidak dapat membentuk peraturan yang bersinggungan dengan yurisdiksi negara bagian.

(16)

48

Dengan penjelasan yang telah disebutkan dapat ditarik kesimpulan bahwa pengalihan kewenangan penerbitan izin usaha pertambangan mineral dan batubara pada Pasal 35 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2020 tidak bertentangan dengan prinsip desentralisasi dan otonomi dalam negara kesatuan. Karena pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan asli, maka kewenangan otonomi yang dimiliki pemerintah daerah adalah kewenangan pemerintah pusat atau Presiden yang didesentralisasikan dalam ranah eksekutif. Pemerintah pusat sebagai pemilik kewenangan asli berhak untuk menarik kembali kewenangan yang telah dilimpahkan, karena kewenangan otonomi daerah bersifat terbatas dengan hanya memiliki kewenangan delegatif yang diperoleh dari kekuasaan Presiden. Hal tersebut sesuai dengan prinsip negara kesatuan yang desentralistik dimana kewenangan otonomi daerah untuk menerbitkan izin usaha pertambangan mineral dan batubara berkaitan dengan bagaimana daerah memperoleh kewenangan tersebut melalui desentralisasi. Asas otonomi yang dimiliki pemerintah daerah dalam negara kesatuan akan selalu bergantung dan mengikuti kehendak pemerintah pusat atau Presiden sebagai pemegang kedaultan tertinggi untuk mendesentralisasikan atau bahkan menarik kembali kewenangan yang telah dilimpahkan.

Referensi

Dokumen terkait

Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dikemukakan beberapa masalah yang berkaitan dengan presepsi siswa tentang penggunaan media pembelajaran

Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, kasih, dan bimbinganNya yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Dengan demikian, faktor- faktor pendukung tersebut memberikan peluang yang cukup besar bagi pekerja wanita untuk meraih posisi jabatan yang lebih tinggi dari

Adapun satistik uji ‘t’ yang digunakan yaitu uji dua pihak karena sesuai dengan tujuan penelitian yang dikemukakan sebelumnya yaitu untuk menentukan perbedaan

Tingkat efektifitas pencucian terendah yaitu 55,05% didapat pada bahan kimia pencuci NaOH dengan konsentrasi 2,5% dan tekanan transmembran 0,35 bar, hal ini

[r]

Hasil uji menunjukkan bahwa akuades yang digunakan sebagai control negatif, tidak memiliki sifat sebagai antibakteri terhadap kedua bakteri uji yang digunakan karena tidak

Berdasarkan hasil analisis varian satu arah (ANAVA satu arah) dari data pada Tabel 2 diketahui bahwa pemberian pupuk cair organik berbahan baku sampah pasar sayur tidak