• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1. Pendahuluan Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1. Pendahuluan Latar Belakang"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB 1

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Beberapa negara di dunia menganut konsep patriaki, menurut Bhasin (Kartika, 2014:2), Jepang juga termasuk sebagi negara kapitalis yang menganut konsep patriaki di masyarakatnya. Konsep ini merupakan sistem sosial yang didominasi kaum pria atas perempuan. Masyarakat patriarkal mengganggap pria memiliki keunggulan yang lebih dibandingkan wanita, sehingga mereka menempatkan posisi pria lebih tinggi daripada wanita.

Jepang merupakan negara dengan kekuatan ekonomi terkuat kedua di dunia namun berada di peringkat ke-54 dalam hal kesetaraan gender. Jepang dikenal dengan perbedaan gender yang nyata antara pria dan wanita dalam berbagai hal termasuk dalam dunia kerja. Adanya anggapan wanita sebagai “The second sex”, yaitu wanita selalu dinomor duakan, peran dan status mereka dipandang rendah dan tidak terlalu penting dalam masyarakat. Sedangkan pria dianggap lebih memiliki kekuasaan dan status maupun mereka lebih tinggi dibandingkan dengan wanita.

Dalam tradisional Jepang, masyarakat tidak mengenal filosofi “Ladies-first” bahkan dalam segi bahasa. Kaum Pria mendapatkan posisi kepemimpinan hampir di semua bidang. Ini dikarenakan adanya filosofi “Gentelmen-first” yang menempatkan dan memperioritaskan kaum pria dahulu sebelum wanita, dan kaum pria paling dihormati sedangkan kaum wanita hanya dipandang sebagai kedudukan yang rendah ( danson-joshi / 男尊女卑 ) (Cherry, 2002 : 23)

Masyarakat percaya bahwa selayaknya seorang wanita mempunyai tugas mengurus rumah tangga, merawat serta mendidik anak dan juga melayani suami ataupun ayahnya. Sedangkan sebagai seorang pria, mempunyai tugas dan kewajiban mencari nafkah, bertanggung jawab terhadap keluarga, dan sebagainya. Peran yang melekat pada keduanya tersebut membuat kaum wanita menggantungkan hidupnya

(2)

pada kaum pria. Perbedaan ini juga yang menimbulkan diskriminasi gender, terutama bagi wanita.

Perbedaan status yang mereka dapat akibat sistem dan pandangan yang melekat pada diri mereka merupakan bentuk-bentuk diskriminasi gender terhadap kaum wanita. Diskriminasi gender tersebut dapat ditemui dalam berbagai bidang, termasuk dalam dunia kerja. Salah satu contohnya, posisi seorang pekerja wanita dalam sebuah perusahaan hanya mempunyai peluang yang sangat kecil untuk mendapatkan promosi kenaikan jabatan, kebanyakan pekerja wanita tersebut diberikan tugas untuk mengerjakan hal-hal yang dianggap tidak penting dan sederhana. Adapun dari segi pendidikan, wanita Jepang dahulu sangat sulit untuk mengenyam pendidikan tinggi.

Namun anggapan wanita sebagai “The second sex”, mulai memudar di Jepang. Wanita Jepang kini mulai diakui dan dapat disejajarkan dengan pekerja pria lainnya. Hal ini dibuktikan dengan munculnya pekerja-pekerja wanita yang memperoleh posisi pada level yang tinggi di perusahaan. Tempat kerja yang sebelumnya didominasi oleh kaum pria, kini terbuka kesempatan bagi pekerja wanita untuk meraih posisi yang sejajar dengan pria.

Setelah Perang Dunia Kedua, peluang wanita untuk mencapai kesetaraan gender mulai terbuka. Adanya perbaikan perundang-undangan sipil, memberikan kesempatan bagi wanita untuk bekerja di dalam perusahaan Jepang (Akasaka, 1996 : 81). Perekonomin Jepang berkembang pesat, namun pada tahun 1980-an hingga 1990-an, perekonomian Jepang dilanda krisis berkepanjangan, yaitu krisis Bubble Economy. Krisis ini memberikan berbagai macam dampak ke berbagai aspek kehidupan di Jepang.

Namun krisis finansial yang melanda Jepang, tidak terlalu berpengaruh terhadap pekerja wanita Jepang. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh badan statistik Jepang, pekerja wanita Jepang secara keseluruhan mengalami peningkatan dari tahun 1990 hingga tahun 2012. Pada grafik di bawah ini, mengenai perubahan jumlah pekerja dalam berbagai macam industri, jumlah pekerja wanita di tahun 1990 berjumlah 18.340.000 orang, jumlah pekerja ini terus bertambah di tahun 2010 sebesar 23.290.000, di tahun 2011 sebesar 23.470.000 orang dan menjadi 23.570.000 orang pekerja wanita di tahun 2012. Jumlah pekerja wanita ini mengalami

(3)

peningkatan sebesar 4,7 % sebelumnya pada tahun 1990 yaitu dengan persentasi pekerja wanita sebesar 37,9 % dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 42,6%, kemudian di tahun 2011 tetap stabil diangka 42,6 dan tahun 2012 meningkat menjadi 42,8 % dari total seluruh pekerja di seluruh Jepang. Data tersebut bersumber dari Ministry of Health, Labour, and Welfare (2014).

Gambar 1 Perubahan Jumlah Pekerja (seluruh industri) Sumber : Ministry of Health, Labour, and Welfare (2014) Keterangan :

= Total Pekerja = Pekerja Wanita = Persentase Wanita dari total Semua Pekerja

Secara lebih jelas dipaparkan dari sumber data Ministry of Internal Affairs and Communications yang dilakukan oleh biro statistik Jepang tahun 2014, peningkatan jumlah pekerja wanita ini dilihat dari survey yang dilakukan tiap tahunnya terhadap orang-orang yang bekerja berdasarkan status pekerjaannya. Menurut data yang diperoleh dalam lima tahun terakhir (2010 – 2014) pekerja wanita

(4)

secara umum di seluruh Jepang mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada tahun 2010 jumlah pekerja wanita berjumlah 23.290.000 orang, di tahun berikutnya 2011 meningkat menjadi 23.470.000 orang. Di tahun 2012 jumlah pekerja wanita meningkat menjadi 23.570.000 orang. Tahun 2013 jumlah pekerja wanita berdasarkan data Ministry of Internal Affairs and Communication (2013) adalah 24.060.000 orang dan pada bulan Mei 2014, berdasarkan data dari Ministry of Internal Affairs and Communication (2014) tercatat berjumlah 24.150.000 orang.

Gambar 2 Data Tabulasi Pekerja berdasarkan status Pekerjaan di seluruh Jepang Sumber : Ministry of Internal Affairs and Communications 2013

(5)

Sumber : Ministry of Internal Affairs and Communications 2014

Berdasarkan data statistik di atas, menurut Ministry of Internal Affairs and Communications (2013) pada tahun 2010 rata-rata jumlah pekerja tetap wanita yaitu 18.500.000 orang, tahun berikutnya berjumlah 18.590.000 orang, di tahun 2012 berjumlah 18.710.000 orang dan di tahun 2013 berjumlah 21.210.000 orang pekerja wanita. Pada data statistik di atas para pekerja digolongkan menjadi tiga bagian yaitu Self-employed worker yaitu orang yang bekerja dengan keahlian khusus yang dimilikinya, seperti dokter, pengacara, artis, atlet dan lainnya. Sedangkan family worker orang-orang yang bekerja dan meneruskan usaha keluarganya turun temurun. Dan yang ketiga adalah golongan Employee , golongan ini adalah orang-orang yang bekerja di dalam perusahaan atau perkantoran, golongan ini dibagi lagi menjadi tiga macam yaitu Regular employee atau yang disebut dengan pekerja tetap ,lalu Temporary employee yaitu pekerja yang biasanya dikontrak, dan tidak mendapat jaminan kesehatan dan lainnya dari perusahaan, terakhir adalah Daily employee atau dikenal dengan sebutan pekerja harian.

Banyak faktor yang melatar belakangi kemajuan dan meningkatnya pekerja wanita di Jepang. Menurut Koshal (2004:138), pada tahun 1960-an perkembangan ekonomi Jepang yang tumbuh pesat memberikan perkembangan yang baru bagi para wanita. Ketersediaan alat-alat elektronik seperti mesin cuci, kompor listrik, dan microwave mengurangi pekerjaan wanita di rumah. Perkembangan ini menyebabkan wanita memiliki waktu untuk bekerja di luar rumah. Sebelumnya banyak wanita yang bekerja hanya beberapa tahun sebelum akhirnya mereka menikah. Mereka diharuskan menikah setelah dua hingga tiga tahun setelah lulus dari sekolah ataupun perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan adanya pandangan “Men First Society” yang tertanam dalam masyarakat Jepang, pandangan mengenai pria harus lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih penting dibandingkan wanita. Namun, selama tahun 1980-an, kaum wanita menyadari pentingnya pendidikan yang lebih tinggi. Menurut mereka, pendidikan adalah jalan untuk memperoleh status sosial yang lebih tinggi dan membebaskan diri dari dominasi kaum pria. Pada tahun 1990-an, jumlah siswi wanita yang terdaftar di perguruan tinggi mulai melebihi dari jumlah siswa pria. Sehingga pada tahun 2000-an, profil pendidikan keseluruhan pekerja wanita di Jepang mulai menyamai status pendidikan pria (Koshal, 2004:138-139).

(6)

Menurut Tachibanaki (2010 : 68-69), orang-orang yang meraih pendidikan, mempunyai alasannya masing-masing, yang pertama dengan meraih pendidikan percaya, akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan mendapatkan kekuasaan. Yang kedua, dengan belajar di sekolah maupun institut pendidikan, memungkinkan seseorang bertemu dengan orang-orang yang juga menuntut ilmu, sehingga dapat memperluas jaringan sosial seseorang, lalu pendidikan juga dianggap sebagai alat penyaring pengetahuan secara ilmiah maupun karakter. Bukan hanya pendidikan yang menjadi faktor pendukung kemajuan pekerja wanita tersebut, kemampuan manajemen wanita tersebut juga diperhitungkan dalam promosi kenaikan jabatan di perusahaan. Penelitian mengenai Kontribusi Khusus Perempuan untuk Lingkungan Kerjanya di perusahaan maupun organisasi di daerah Nagoya dan sekitarnya. Berdasarkan penelitian tersebut, kemampuan pekerja wanita tersebut memberikan kontribusi yang positif di tempat kerja. Saat bekerja mereka lebih memfokuskan pada proses kerja bukan hanya hasil kerja, memperhatikan secara detail, menawarkan pemikiran yang baru untuk permasalahan bisnis (Koshal, 2004:143).

Pemerintah Jepang memberikan dukungannya terhadap kemajuan pekerja wanita di dalam perusahaan. Beberapa tahun terakhir ini Perdana Mentri Jepang Shinzo Abe, memerintahkan untuk menambah persentase pekerja wanita pada posisi kepemimpinan di dalam perusahaan. Abe mengharapkan setidaknya dalam suatu perusahaan terdapat satu eksekutif wanita. Ia juga menambah fasilitas umum yang mendukung bagi wanita-wanita yang telah mempunyai anak, dengan menambah jumlah tempat penitipan anak atau Hoikuen (保 育 園). Dengan demikian, faktor-faktor pendukung tersebut memberikan peluang yang cukup besar bagi pekerja wanita untuk meraih posisi jabatan yang lebih tinggi dari sebelumnya dan dapat mensejajarkan diri dengan pekerja pria lainnya.

Femininisme adalah konsep pemikiran yang menuntut adanya kesetaraan hak dan keadilan dengan kaum pria. Feminisme merupakan budaya serta gerakan politik yang mengubah cara wanita berpikir dan mempengaruhi cara hidup perempuan dan laki-laki hidup dalam menafsirkan dunia (Hannam, 2007 : 2). Konsep ini timbul sebagai perlawanan atau bentuk emansipasi wanita terhadap penindasan dan ketidakadilan karena adanya perbedaan gender, yang dialami hampir seluruh wanita di dunia. Adanya kesamaan latar belakang timbulnya feminisme dan kondisi wanita

(7)

Jepang pada saat itu yang terdiskriminasi, memberikan jalan bagi konsep ini untuk masuk ke Jepang. Menurut Mackie (2003:2-3) bangkitnya kesadaran feminis di Jepang adalah bentuk perlawanan dari perkembangan moderenisasi di Jepang. Beberapa wanita kelas menengah yang terlibat dalam kegiatan filantropis merupakan cerminan dari politik kepura-puraan yang tidak bertentangan dengan steorotipe feminisme. Konsep Feminisme sendiri masuk dan menyebar di Jepang pada tahun 1870-an (Mackie, 2003 : 1).

Pemikiran wanita Jepang yang terpengaruh oleh paham feminisme meningkatkan kesadaran mereka tentang kondisi wanita yang terdiskriminasi. Pandangan tersebut juga mempengaruhi kemajuan mereka dalam dunia kerja. Cara berpikir mereka membuat kemampuan pekerja wanita mulai diakui dan dapat disejajarkan posisinya dengan pekerja pria lainnya. Sejalan dengan semakin bertambahnya jumlah pekerja tetap wanita, mulailah bermunculan pekerja wanita yang menduduki level manajerial, yang biasanya dikuasai oleh sebagian besar pria. Meskipun jumlahnya masih jauh lebih kecil dari jumlah pria yang menduduki level manajerial, namun prestasi dan kemampuan wanita yang menduduki level manajerial setara kedudukannnya dengan pria. Oleh karena itu penulis tertarik untuk menelitinya. Penulis ingin membuktikan dan menganalisis pengaruh paham feminisme liberal pada kemajuan pekerja wanita.

1.2. Masalah Pokok

Permasalahan pokok yang ingin diteliti oleh penulis adalah mengenai pengaruh Feminisme Liberal yang ada di Jepang terhadap kemajuan pekerja wanita Jepang yang bekerja tetap khususnya di daerah Tokyo.

1.3. Formulasi Masalah

Formulasi masalah yang akan penulis teliti adalah penulis akan menganalisis pengaruh feminism liberal pada wanita secara umum dilihat dari alasan wanita memilih bekerja Full Time dan tingkat pendidikan yang dimilikinya. Setelah itu menganalisis beberapa faktor pendukung yang didapat pekerja wanita dalam mencapai posisinya saat ini.

(8)

1.4. Ruang Lingkup Permasalahan

Penulis membatasi ruang lingkup permasalahan yang diteliti, yaitu pada kasus wanita Jepang yang bekerja tetap dan berada di posisi manajerial di Tokyo pada kurun waktu lima tahun terakhir (2010-2014). Kurun waktu tersebut dipilih karena ditemukan wanita-wanita Jepang yang telah memperoleh jabatan yang tinggi dalam perusahaan.

1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang hendak penulis capai yaitu ingin mengetahui pengaruh Feminisme Liberal terhadap kemajuan pekerja wanita Jepang .

Penelitian ini juga bertujuan memberikan manfaat kepada para pembacanya, dengan menambah wawasan mengenai kemajuan pekerja wanita Jepang dan Feminisme Liberal yang ada di Jepang.

1.6. Tinjauan Pustaka

Penulis melakukan tinjauan pustaka melalui jurnal–jurnal ilmiah serta artikel–artikel yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang penulis teliti. Jurnal ilmiah dan artikel tersebut didapat dari perpustakaan Universitas Bina Nusantara, perpustakaan Japan Foundation, Perpustakaan Universitas Indonesia. Ada juga yang diunduh melalui jejaring internet.

Beberapa jurnal yang penulis gunakan untuk penelitian ini, yaitu artikel berjudul Women in a Bubble : Three Theoretical Perspective on Japanese OLs’ Experience at Work yang ditulis oleh Gregory A. Laurence dalam jurnal Studies on Asia volume 2 tahun 2012. Dalam artikel tersebut dibahas mengenai pengalaman, motivasi, dan hambatan yang dihadapi pekerja wanita di Jepang untuk mencapai kesetaraan. Penelitian ini juga membahas mengenai perusahaan yang menanggapi kekurangan tenaga kerja di manajerial mereka, dengan memanfaatkan angkatan

(9)

kerja perempuan dan bagaimana upaya yang dilakukan dalam bidang politik dan media.

Selain itu, penulis jugs menggunakan artikel dengan judul Female Workers in Japan: Opportunities & Challenges yang ditulis oleh Rajindar K. Koshal dan beberapa peneliti lainnya dalam jurnal International Women's Studies volume 6 tahun 2004. Penelitian ini membahas mengenai survei terhadap pekerja wanita dan pria dalam organisasi di Nagoya dan sekitarnya. Hasil dari studi ini menemukan bahwa para manajer perempuan di Jepang dinilai memiliki kemampuan manajerial lebih baik daripada rekan-rekan pria mereka. Organisasi bisnis di Jepang didominasi oleh kaum pria dan sangat sedikit hal-hal yang dapat membantu wanita masuk kedalam tingkatan bisnis tersebut. Hal ini terutama terjadi ketika kita menganggap jumlah perempuan di manajemen meningkat. Namun setelah diteliti, ternyata kemampuan wanita bisa disejajarkan bahkan lebih baik dari pekerja pria, menurut hasil penelititan tersebut keunggulan pekerja wanita terdapat pada cara kerja mereka yang baik, misalnya mereka lebih detail dalam mengerjakan pekerjaan mereka, pengambilan keputusan, proses bekerja mereka dinilai lebih baik dari pekerja pria.

Gambar

Gambar 1 Perubahan Jumlah Pekerja (seluruh industri)  Sumber : Ministry of Health, Labour, and Welfare (2014)
Gambar 3 Data Tabulasi Pekerja berdasarkan Status Pekerjaan di seluruh Jepang

Referensi

Dokumen terkait

Setelah hasil analisis data penelitian selesai, selanjutnya adalah mendeskripsikan hasil penelitian tersebut dalam bentuk tabel yang menggambarkan pengaruh model quantum

Berdasarkan hasil yang diperoleh sebaran suhu udara di lokasi pengamatan menunjukan bahwa kawasan yang memiliki RTH akan memiliki suhu udara yang lebih rendah

Malformasi anorektal (anus imperforata) adalah malformasi kongenital di mana Malformasi anorektal (anus imperforata) adalah malformasi kongenital di mana rectum tidak

Hasil karakterisasi asam humat hasil ekstraksi cair-cair tanah gambut fibrik dan hemik dengan menggunakan FTIR menunjukkan adanya kesamaan gugus fungsi dengan asam

Bagi PPA, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi mengenai efektifitas dari bantuan modal yang diberikan PPA, baik dilihat dari bertambahnya nilai ekuitas

Implikasi dari fungsi memori pekerja dalam mendesain metode pembelajaran antara lain: (1) perlu memahami tingkat kekompleksan materi yang akan dipelajari atau banyaknya informasi

Berdasarkan analisis tingkat resiko tsunami, daerah dengan resiko sangat tinggi dan tinggi terdapat di dua wilayah pesisir utara yaitu Kecamatan Alok dan Magepanda dengan

Besarnya pengaruh pola pemahaman dan pemikiran Syaikh Nawawi Al-Bantani terhadap para tokoh ulama di Indonesia, sehingga beliau dapat dikatakan sebagai poros dari