• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Effect Inorganic Fertilizers (N, P, K) and Lemongrass as a Potential Waste Organic Materials on the Growth and Production of Ginger (Zingiber officinale Rosc)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Effect Inorganic Fertilizers (N, P, K) and Lemongrass as a Potential Waste Organic Materials on the Growth and Production of Ginger (Zingiber officinale Rosc)"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI LIMBAH SEREH WANGI SEBAGAI BAHAN

ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI

JAHE GAJAH (Zingiber officinale Rosc.)

DESSY ARIYANI MARASABESSY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Pengaruh Pemupukan Anorganik (N, P, K) dan Potensi Limbah Sereh Wangi sebagai Bahan Organik terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jahe Gajah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Pebruari 2013

(4)

ABSTRACT

DESSY A. MARASABESSY. The Effect Inorganic Fertilizers (N, P, K) and Lemongrass as a Potential Waste Organic Materials on the Growth and Production of Ginger (Zingiber officinale Rosc.). Under direction of SUDIRMAN YAHYA, ADE WACHJAR, and MUHAMMAD SYAKIR.

Exports of ginger from Indonesia in the last three years has declined because the quality of the ginger can not meet world market competitiveness.

Suboptim cultivation techniques become a constraint in the development of the ginger plant coupled with the excessive use of synthetic chemical fertilizers that causes low soil capacity. The development of environmentally friendly technology to reduce the use of synthetic chemical fertilizers is expected to address the development problems of the ginger plant. Cultivation systems based on the utilization of in-situ organic materials such as waste of lemongrass (cymbopogon citratus) is widely available in the surrounding area of the ginger plant need attention so that the empowerment of local input and medicinal needs can be realize. The research aims to determine the effect of some several of organic materials and inorganic fertilizers (N, P, K) on the growth and production of young ginger, and weed growth. The research conducted at Bogor Agricultural University, Experimental Station, Cikabayan, Darmaga, Bogor, started September 2011 to April 2012 and used a split-plot design. The main plot consisted of organic materials consisting of granules (20 ton / ha), Cymbopogon citratus compost buried in soil (20 t / ha), Cymbopogon citratus compost mulch (20 t / ha) and without organic fertilizer as controls. Sub plot are inorganic fertilizer consisted of ½ doses (N, P, K), 1 doses (N, P, K), 2 doses (N, P, K) and without inorganic fertilizer. Organic materials and inorganic fertilizer did not significantly affect the growth component of ginger. Plants treated with ½ doses of inorganic fertilizer showed the highest dry weight of rhizomes and significantly different with 2 doses and plant resistance to disease is 54,98%. Combined treatment of lemongrass compost buried in soil and inorganic fertilizer showed the higest dry weight of total weeds, but combined treatment of lemongrass compost mulch and inorganic fertilizer showed the lowest dry weight of total weeds. Lemongrass can be used as the source of organic fertilizer and herbicid, depending on the method used and treatment.

(5)

RINGKASAN

DESSY A. MARASABESSY. Pengaruh Pemupukan Anorganik (N, P, K) dan Potensi Limbah Sereh Wangi sebagai Bahan Organik terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jahe Gajah (Zingiber officinale Rosc.). Dibimbing oleh SUDIRMAN YAHYA, ADE WACHJAR, dan MUHAMMAD SYAKIR.

Ekspor jahe Indonesia dalam tiga tahun terakhir terus mengalami penurunan karena kualiatas jahe yang dihasilkan tidak dapat memenuhi daya saing pasar dunia. ©Teknik budidaya yang belum optimal menjadi kendala dalam pengembangan tanaman jahe ditambah dengan penggunaan pupuk kimia sintesis yang berlebihan sehingga daya dukung lahan menjadi rendah. Pengembangan teknologi ramah lingkungan dengan mengefisiensikan penggunaan pupuk kimia sintesis diharapkan dapat mengatasi permasalahan pengembangan tanaman jahe.

Sistem budidaya tanaman yang berbasis pada pemanfaatan bahan organik in-situ seperti limbah sereh wangi yang juga banyak tersedia di areal tanaman jahe dapat dijadikan pilihan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman jahe gajah. Pemanfaatan limbah sereh wangi sebagai pupuk organik perlu mendapat perhatian sehingga pemberdayaan input lokal serta pemenuhan kebutuhan tanaman biofarmaka dapat terwujud.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh beberapa jenis bahan organik dan dosis pupuk anorganik (N, P, K) serta interaksinya terhadap pertumbuhan dan produksi jahe muda, serta pertumbuhan gulma.

Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Institut Pertanian Bogor, Cikabayan, Darmaga, Bogor pada bulan September 2011 sampai dengan April 2012 dan menggunakan rancangan split-plot. Petak utama adalah bahan organik yang terdiri atas granul (20 ton/ha), kompos sereh wangi dibenamkan ke dalam tanah (20 ton/ha), mulsa kompos sereh wangi (20 ton/ha) dan tanpa pemberian pupuk organik sebagai kontrol. Anak petak adalah dosis pupuk anorganik yang terdiri atas ½ dosis (N, P, K), 1 dosis (N, P, K), 2 dosis (N, P, K) dan tanpa pemberian pupuk anorganik sebagai kontrol. Secara umum bahan organik dan dosis pupuk anorganik tidak berpengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan meskipun ada indikasi peningkatan komponen pertumbuhan dari umur 1 BSP sampai umur 4 BSP.

Tanaman yang diberi ½ dosis pupuk anorganik menunjukkan bobot kering rimpang tertinggi dan berbeda nyata dengan taraf 2 dosis pupuk anorganik. Tingkat ketahanan tanaman jahe yang diberi ½ dosis pupuk anorganik terhadap serangan hama dan penyakit lebih baik dan berbeda nyata pada taraf dosis anorganik lainnya pada umur 4 BSP. Ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit yang diberi 1 dosis dan 2 dosis serta tanpa pupuk anorganik relatif sama. Tanaman jahe yang diberi pupuk anorganik berbeda nyata terhadap variabel bobot kering gulma daun lebar pada umur 4 BSP.

Interaksi perlakuan bahan organik dan dosis pupuk anorganik hanya berpengaruh pada variabel bobot kering total gulma pada penyiangan ke 2 (umur 4 BSP).

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang- Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

(7)

POTENSI LIMBAH SEREH WANGI SEBAGAI BAHAN

ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI

JAHE GAJAH (Zingiber officinale Rosc.)

DESSY ARIYANI MARASABESSY

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada Mayor Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Produktivitas dan kualitas jahe yang rendah menyebabkan menurunnya nilai ekspor jahe Indonesia. Permasalahan utama pengembangan tanaman jahe adalah ketersediaan bibit dan teknik budidaya yang belum optimal ditambah dengan tingginya biaya produksi. Penggunaan pupuk anorganik yang meningkat selain harganya cukup mahal dan dalam dosis tinggi dapat mencemari lingkungan. Adopsi teknologi ramah lingkungan dengan pemanfaatan bahan organik diharapkan dapat mengurangi pemakaian pupuk anorganik pada tanama jahe. Pemanfaatan bahan organik seperti limbah sereh wangi yang banyak tersedia di sekitar areal tanaman jahe merupakan alternatif bahan organik selain bahan organik pupuk kandang.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga rangkaian penelitian hingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan. Tesis dengan judul “Pengaruh Pemupukan Anorganik (N, P, K) dan Potensi Limbah Sereh Wangi sebagai Bahan Organik terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jahe Gajah (Zingiber officinale Rosc.), merupakan kajian ilmiah terhadap upaya pemanfaatan sumber daya lokal sebagai hara bagi tanaman jahe gajah. Sebagian dari penelitian ini didanai oleh komisi pembimbing.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, MSc, dan Dr. Ir. Ade Wachjar, MS serta Dr. Ir. Muhammad Syakir, MS sebagai komisi pembimbing atas segala bantuan, bimbingan dan motivasi selama penelitian hingga penulisan tesis ini. Rasa hormat dan penghargaan penulis persembahkan kepada suami, anak tercinta, ibu (almarhumah) serta keluarga, atas iringan doa, bantuan moril dan kebersamaan. Kepada semua pihak, terima kasih atas dukungannya. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi kemajuan bersama.

Bogor, Pebruari 2013 Dessy A. Marasabessy

(10)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1979 dari ayah Achmad Marasabessy dan ibu Habiba (almh). Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Tahun 1998 lulus dari SMAN 2 Ambon dan pada tahun yang sama diterima pada Universitas Darussalam Ambon Fakultas Pertanian Jurusan Budidaya Pertanian. Gelar Sarjana penulis peroleh pada tahun 2003.

Tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Pascasarjana IPB pada mayor Agronomi dan Hortikultura. Penulis mengikuti Program Pendidikan Pascasarjana di IPB dengan memperoleh beasiswa melalui program BPPS.

(11)

Halaman

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Perumusan Masalah... 3

Tujuan Penelitian... 4

Hipotesis... 4

TINJAUAN PUSTAKA... 5

Morfologi Tanaman Jahe... 5

Produksi dan Kendala Pengembangan Tanaman Jahe... 6

Potensi Limbah Sereh Wangi... 7

Kebutuhan N, P dan K pada Tanaman Jahe... 8

Metode Pengendalian Gulma... 10

METODOLOGI PENELITIAN... 12

Tempat dan Waktu... 12

Bahan dan Alat... 12

Metode Percobaan... 12

Pelaksanaan Penelitian... 13

Pengamatan... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN... 18

Keadaan Umum Penelitian... 18

Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam... 23

Pembahasan ... 31

SIMPULAN DAN SARAN... 36

Simpulan... 36

Saran... 36

DAFTAR PUSTAKA... 36

(12)

Nomor Halaman

1. Takaran pupuk anorganik sebagai perlakuan pada tanaman

jahe ... 15

2. Hasil analisis hara kandungan bahan organik... 18 3. Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen pertumbuhan dan

produksi jahe gajah akibat perlakuan pupuk organik dan pupuk

anorganik... 24 4. Rataan tinggi tanaman pada berbagai perlakuan bahan organik

dan dosis pupuk anorganik... 25 5. Rataan jumlah daun pada berbagai perlakuan bahan organik dan

dosis pupuk anorganik... 26 6. Rataan jumlah tunas pada berbagai perlakuan bahan organik dan

dosis pupuk anorganik... 26 7. Rataan volume akar pada berbagai perlakuan bahan organik dan

dosis pupuk anorganik... 27 8. Rataan bobot basah dan bobot kering rimpang jahe pada berbagai

perlakuan dosis bahan organik dan dosis pupuk anorganik pada akhir percobaan ( 4 BSP)... 28 9. Rataan intensitas serangan penyakit busuk rimpang pada berbagai

bahan organik dan dosis pupuk anorganik pada umur 4 BSP... 29 10 Rataan bobot kering gulma daun lebar pada berbagai bahan organik

dan dosis pupuk anorganik pada penyiangan I dan penyiangan II ... 30 11 Rataan bobot kering gulma daun sempit pada berbagai bahan organik

(13)

Nomor Halaman

1. Tanaman sereh wangi... 8

2. Tanaman jahe yang terserang penyakit bercak daun dan busuk rimpang... 19

3. Data iklim selama penelitian berlangsung... 20

4. Perubahan suhu kompos selama proses pengomposan 4 minggu... 21

5. Kompos sereh wangi yang siap digunakan sebagai pupuk... 22

6. Perubahan nisbah C/N selama proses pengomposan 4 minggu ... 23

7. Hubungan antara bobot kering rimpang dengan dosis pupuk anorganik ... 32

(14)

Nomor Halaman

1. Bagan acak perlakuan... 46 2. Hasil analisis sifat tanah pada lokasi penelitian... 48 3. Sidik ragam tinggi tanaman jahe pada umur 1 hingga 4 bulan setelah

perlakuan ... 49 4. Sidik ragam jumlah daun tanaman jahe pada umur 1 hingga 4 bulan

setelah perlakuan ... 50 5. Sidik ragam jumlah tunas tanaman jahe pada umur 1 hingga 4 bulan

setelah perlakuan ... 51 6. . Sidik ragam volume akar, bobot basah rimpang, bobot kering

rimpang dan intensitas serangan penyakit tanaman jahe... 52 7. Sidik ragam bobot kering gulma total, bobot kering gulma daun

lebar, Bobot Kering Gulma Daun Sempit Penyiangan I... 53 8. Sidik ragam bobot kering gulma total, bobot kering gulma daun lebar,

bobot kering gulma daun sempit penyiangan II... 54 9. Sidik ragam polinomial ortogonal bobot kering gulma total... 55

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jahe (Zingiber officinale Rosc.), merupakan salah satu dari sejumlah

temu-temuan dari suku Zingiberaceae. Jahe menempati posisi yang sangat penting

dalam perekonomian masyarakat Indonesia, karena peranannya dalam berbagai

aspek, yaitu dari segi kegunaannya, perdagangan, kehidupan, adat kebiasaan, dan

kepercayaan. Jahe juga termasuk komoditas yang sudah sejak ribuan tahun

digunakan sebagai bagian dari ramuan rempah-rempah yang diperdagangkan

secara luas di dunia.

Jahe merupakan salah satu komoditas ekspor rempah-rempah Indonesia,

disamping itu juga menjadi bahan baku obat tradisional maupun fitofarmaka. Jahe

memberikan peranan cukup berarti dalam penyerapan tenaga kerja dan

penerimaan devisa negara. Ekspor jahe tahun 2009 mencapai 7.425.939 kg

dengan nilai 3.458.197 (USD) tetapi pada tahun 2010 nilai ekspor jahe menurun

menjadi 4.211.587 kg dengan nilai 3.467.476 USD (BPS 2010). Meskipun begitu

jahe memberikan sumbangan produksi terbesar terhadap total produksi tanaman

biofarmaka di Indonesia sebesar 25,73% (Direktorat Jenderal Hortikultura 2011).

Penurunan nilai ekspor Indonesia disebabkan oleh kualitas jahe yang dihasilkan

tidak dapat memenuhi daya saing pasar dunia, hal ini akibat adanya serangan

penyakit layu bakteri di daerah sentra pengembangan jahe terutama di Jawa Barat.

Sedangkan peluang permintaan akan jahe ekspor untuk minyak dan bubuk

khususnya jahe sayur untuk konsumsi langsung masih tinggi. Produktivitas jahe

tahun 2007 sampai tahun 2009 terus mengalami penurunan dari 2,66 kg/m2 menjadi 1,69 kg/m2

Jahe merupakan tanaman yang responsif terhadap pemupukan. Peningkatan

dosis pupuk yang diberikan akan berdampak nyata terhadap peningkatan produksi

dan mutu rimpang jahe. Pemupukan 4 g Urea, 4 g SP-36 dan 8 g KCl per rumpun

menunjukkan pengaruh yang nyata meningkatkan bobot akar, jumlah anakan, dan (Statistik Pertanian Indonesia, 2010). Meskipun begitu pangsa

pasar jahe Indonesia terhadap pasar dunia 0,8 %, berarti jahe Indonesia masih

(16)

bobot segar jahe (Erythrina 2005). Hasil percobaan Li Lu-jiu et al. (2003), dosis

pupuk Urea 300 kg/ha dan KCl 260-300 kg/ha dapat meningkatkan hasil umbi

jahe sebesar 33,3% dibandingkan kontrol. Hasil percobaan di Shangiao, China

tahun 2007 pemberian 400 kg N/ha, 90 kg P2O5/ha dan 400 kg K2O/ha

menunjukkan hasil rimpang jahe tertinggi sebesar 45,61 ton/ha sedangkan tahun

2008 di Yangqiao taraf 450 kg N/ha, 90 kg P2O5/ha dan 450 kg K2

Penggunaan minyak atsiri seperti sereh wangi semakin meningkat. Di sentra

penyulingan minyak sereh wangi limbah sisa hasil sulingan cukup melimpah dan

dibiarkan menumpuk. Hal ini dapat berpotensi mencemari lingkungan. Salah satu

upaya yang dapat dilakukan dengan mengolah limbah sereh wangi hasil sulingan

menjadi kompos sebagai pupuk organik. Peranan bahan organik sebagai kompleks

jerapan anion (fosfat, silikat, nitrat, sulfat, dan lainnya) sangat penting dan selama

ini kurang mendapat perhatian (Karama et al. 1990). Pada tanaman jahe gajah

(besar), jahe kecil (emprit), dan jahe merah, efisiensi serapan pupuk anorganik N

relatif rendah, masing-masing 12,60%; 5,19-7,25%; dan 5,48%-10,10% (Yusron

et al. 1998).

O/ha

menunjukkan hasil rimpang tertinggi sebesar 51,26 ton/ha (Li Lu-jiu et al. 2010).

Permasalahannya adalah pupuk anorganik harganya cukup mahal dan dalam dosis

tinggi akan menyebabkan sebagian pupuk akan terbuang serta mencemari tanah

dan pengairan sekitarnya. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, perlu

penerapan teknologi budidaya yang ramah lingkungan, salah satunya dengan

memanfaatkan bahan organik in-situ seperti limbah sereh wangi.

Penggunaan bahan organik sebagai mulsa dapat meningkatkan kesuburan

kimia, fisik dan biologi tanah, menekan fluktuasi suhu dan kelembaban tanah

serta menekan pertumbuhan gulma. Penelitian Wang et al. (2002) aplikasi mulsa

pada tanaman jahe dapat meningkatkan kelembaban tanah 2,4 – 4,0 persen,

meningkatkan jumlah tunas, jumlah daun, dan meningkatkan hasil produksi.

Bahan organik sangat berperan dalam perkembangan rimpang jahe, tanpa

pemberian bahan organik produksi rimpang menjadi rendah dengan mutu yang

kurang baik. Pemberian pupuk kandang 25 t/ha hasil rimpang segar mencapai 25

t/ha. Bila tanpa pupuk kandang hasilnya hanya 14,67 t/ha (Barus et al. 1989).

(17)

mengandalkan pupuk kandang memiliki beberapa kelemahan : ketersediaan

terbatas terutama di luar Pulau Jawa, harga relatif mahal sehingga biaya produksi

tinggi, seringkali pupuk kandang tercampur benih gulma. Pemanfaatan limbah

sisa tanaman seperti limbah sereh wangi hasil sulingan sebagai pupuk organik

dan mulsa merupakan alternatif dan potensi untuk dikembangkan. Sereh wangi

sebagai herbisida sangat tinggi toksisitasnya dan memiliki potensi dalam

menekan pertumbuhan gulma dan pengendalian organisme pengganggu tanaman

(Setiawati et al. 2008).

Pengembangan sistem pemberdayaan input lokal seperti limbah sereh wangi

yang banyak tersedia di sekitar areal budidaya tanaman jahe perlu dikaji

potensinya sebagai sumber bahan organik dan herbisida nabati untuk mendorong

efisiensi budidaya jahe yang ramah lingkungan dan bekelanjutan.

Perumusan Masalah

Permintaan ekspor akan jahe segar cukup tinggi meskipun produksi jahe

nasional dalam tiga tahun terakhir menurun. Hal ini disebabkan oleh kualitas jahe

yang dihasilkan tidak memenuhi kriteria pasar dunia. Meskipun begitu prospek

pengembangan jahe di Indonesia cukup cerah terutama untuk ekspor. Di samping

melalui perluasan area penanaman, upaya peningkatan produksi jahe nasional juga

dilakukan melalui intensifikasi dengan cara menerapkan pemupukan yang tepat

dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT). Pemberian bahan

organik dalam budidaya jahe berperan penting untuk meningkatkan hasil dan

memperbaiki mutu rimpang, terutama jahe gajah untuk ekspor berupa olahan jahe

segar dapat berukuran besar dan kadar serat yang rendah. Penggunaan pupuk

kandang saja sebagai bahan organik banyak memiliki kendala karena

ketersediaannya yang terbatas dan bersaing dengan komoditas lain. Sumber bahan

organik seperti limbah sereh wangi yang tersedia di sentra penanaman dan

penyulingan sereh wangi dapat dijadikan alternatif sebagai bahan organik maupun

(18)

Tujuan Penelitian

Menguji pemberian bahan organik limbah sereh wangi dan pemberian

pupuk N, P, K terhadap pertumbuhan dan produksi jahe muda, serta pertumbuhan

gulma.

Hipotesis

1. Pemberian bahan organik limbah sereh wangi meningkatkan pertumbuhan

dan produksi jahe muda, serta pertumbuhan gulma

2. Pemupukan N, P, dan K dengan dosis tertentu meningkatkan pertumbuhan

dan produksi jahe muda, serta pertumbuhan gulma.

3. Pemberian bahan organik limbah sereh wangi dan pemupukan N, P, dan K

mempengaruhi tanggap pertumbuhan dan produksi jahe muda serta

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi Tanaman Jahe

Jahe termasuk tanaman rempah dan obat yang rimpangnya memiliki nilai

ekonomi. Budidaya jahe telah dikenal oleh bangsa Cina dan Hindu Purba, ribuan

tahun yang lalu. Jahe merupakan salah satu rempah oriental yang dikenal luas di

Eropa sejak jaman dahulu kala. Pada zaman penjajahan Belanda, jahe yang telah

diintroduksi dan dibudidayakan di Indonesia telah banyak diekspor ke Eropa

untuk mengisi devisa negeri penjajah. Komoditas jahe Indonesia telah diekspor

sebanyak 834 ton pada tahun 1936 (Djakamihardja et al. 1996).

Jahe adalah tanaman herba tahunan dari famili Zingiberaceae. Di Indonesia

dikenal tiga jenis jahe yaitu : jahe putih besar (gajah/badak), jahe putih kecil dan

jahe merah. Jahe putih besar mempunyai rimpang yang tumbuh bergerombol pada

pangkal batangnya, berdaging dan berukuran tebal serta bercabang tidak beraturan

tetap secara normal hanya pada arah vertikal. Ukuran panjang dan lebar rimpang

berkisar antara 15,83 – 32,75 cm dan 6,20 – 11,30 cm. Jahe putih besar

mempunyai aroma dan rasanya kurang tajam dibandingkan jenis yang lainnya.

Jahe putih kecil ukuran rimpangnya relatif lebih kecil 6,13 – 31,70 cm dan

6,38 – 11,10 cm, sedangkan jahe merah 12,33 – 12,60 dan 5,26 – 10,40 cm

(Rostiana et al. 1991). Dari ketiga jenis jahe tersebut jahe putih besar lebih

banyak dibudidayakan karena lebih menguntungkan dibandingkan jenis lainnya.

Tanaman jahe mempunyai batang semu (pseudostems) yang berbentuk bulat

(teres). Tinggi tanaman rata-rata 68,63 + 12,5 cm, tegak, tidak bercabang,

berwarna hijau muda, sering kemerahan pada bagian dasar. Setiap batang

umumnya terdiri atas 8-12 helai daun (Rostiana et al. 1991).

Akar jahe berbentuk bulat, ramping, dan berserat. Panjang akar jahe

12,93 – 21,52 cm dengan diameter 4,5 – 6,3 mm, berwarna putih sampai

kecoklatan. Akar jahe keluar dari garis lingkaran sisik rimpang (Rostiana et al.

1991). Jahe mempunyai jumlah kromosom 2n=22 (Ajijah et al. 1997). Daun

tanaman jahe terdiri atas upih dan helaian. Upih daun melekat membungkus

batang dengan helaian daun yang tersusun berseling (folia distischa). Pada setiap

(20)

sampai lanset (lanceolatus), berwarna hijau gelap pada bagian atas dan lebih pucat

pada bagian bawah, panjang berkisar antara 5 - 25 cm dan lebar berkisar antara

1-3 cm. Tulang (urat) daun tampak jelas bersusun sejajar, pada bagian permukaan

atas terdapat bulu-bulu putih. Ujung daun meruncing (acumilatus) dan tumpul

(obtusus) dan membulat (rounded/rotundus) pada bagian pangkal (Ajijah et al.

1997).

Bunga jahe jarang terlihat, tetapi pada beberapa pertanaman jahe bunga

mekar pada siang hari sekitar jam 1300-1600, kemudian gugur keesokan harinya (Bermawie dan Martono 1994). Tanaman jahe sangat jarang dapat membentuk

buah. Hal ini karena kesuburan serbuk sari yang rendah dan adanya faktor

inkompatibilitas.

Produksi dan Kendala Pengembangan Tanaman Jahe

Produksi jahe nasional tahun 2005 mencapai 125.827.413 kilogram. Tahun

2006 produksi jahe nasional naik menjadi 177.137.949 kilogram. Kenaikan

produksi ini disebabkan penambahan jumlah areal pertanaman jahe yang cukup

signifikan dari 61.494.919 (M2) pada tahun 2005 menjadi 89.041.808 (M2) pada tahun 2006. Tahun 2008 produksi jahe menurun menjadi 154.963.886 kilogram

dengan luas panen 87.117.173 (M2). Tahun 2010 produksi jahe terus mengalami penurunan menjadi 107.734.608 kilogram dengan luas panen 60.534.991 (M2

Di samping kendala OPT dan budidaya, pengembangan jahe di Indonesia

juga mengalami hambatan karena terbatasnya bibit bermutu. Secara konvensional

bibit jahe diambil dari potongan rimpang. Dengan cara ini diperlukan bibit dalam

jumlah yang banyak. antara 2-3 ton/ha untuk jahe yang dipanen tua dan 5-6 ton/ha

untuk yang dipanen muda (Januwati dan Rosita 1997).

).

Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut di atas, sangat penting bagi petani dan

penangkar benih untuk menggunakan bahan tanam (bibit) bermutu dari varietas

yang sudah dilepas, bersertifikat, bebas OPT dan penerapan teknik budidaya

(21)

Potensi Limbah Sereh Wangi

Pupuk organik berasal dari bahan organik terdiri atas residu tanaman dan

hewan, limbah pertanian dan tanaman liar atau gulma. Senyawa organik terdiri

atas karbohidrat kompleks, gula sederhana, pati, selulosa, hemiselulosa, pektin,

getah, protein, lemak, minyak, wax, resin, asam organik, alkohol, aldehida, keton,

asam organik, lignin, fenol, tanin, hidrokarbon, alkaloid, dan pigmen. Beberapa

faktor utama yang mempengaruhi laju dekomposisi bahan organik adalah ukuran

partikel bahan organik, sifat dan banyaknya mikroorganisme yang terlibat, tingkat

ketersediaan C, N, P dan K, kadar air tanah, suhu, pH, dan aerasi, adanya zat

penghambat seperti tanin. Residu tanaman mengandung 15-60 % selulosa,

10-30% hemisellulosa, 5-30 % lignin, 2-15% gula, dan 10% asam amino dan

asam organik (Himproagro, 2010).

Proses dekomposisi bahan organik secara alami membutuhkan waktu yang

lama berkisar 3-4 bulan sehingga sangat menghambat upaya pelestarian

penggunaan bahan organik untuk lahan-lahan pertanian. Bahan yang mengandung

lignin menjadi penghalang akses enzim seluloitik pada degradasi bahan organik

yang berlignoselulosa dan dapat menghambat proses dekomposisi sehingga dapat

menyebabkan penumpukan limbah dan berdampak negatif bagi lingkungan

(Saraswati et al. 2006).

Pengomposan dengan menggunakan mikroba perombak lignin dan selulosa

dapat membantu proses dekomposisi bahan organik menjadi lebih cepat, sehingga

segera dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Kompos dapat bermanfaat untuk tanah

karena meningkatkan kontribusi terhadap kandungan humus tanah (Leifeld et al.

2002).

Salah satu limbah industri pertanian yang dapat digunakan untuk pupuk

organik adalah sereh wangi sisa - sisa penyulingan. Kompos sereh wangi dapat

digunakan sebagai media tanam ataupun sebagai mulsa. Hasil penelitian yang

dilakukan Effendi (1991) menunjukkan penggunaan mulsa jerami padi dapat

meningkatkan hasil rimpang jahe yang dipanen umur 6-7 bulan dengan hasil

27,6 ton/ha dibandingkan tanpa mulsa hasil panen hanya 4,0 ton/ha. Aplikasi

mulsa alang-alang 20 ton/ha memberikan hasil jahe yang lebih baik bila

(22)

Sereh wangi merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri

(Gambar 1). Produksi daun sereh wangi berkisar antara 57 sampai 300 ton/ha

bergantung kondisi tanaman (Miftakhurohmah, 2008). Dari satu ton bahan segar

hasil panen didapatkan limbah daun bekisar 700 - 800 kg ampas sereh wangi

hasil penyulingan1) . Di sentra-sentra penyulingan minyak sereh wangi limbah sisa - sisa penyulingan berlimpah dan belum banyak informasi atau penelitian

yang memanfaatkan ampas sereh wangi hasil penyulingan tersebut

Gambar 1. Tanaman sereh wangi

Kebutuhan N, P, dan K pada Tanaman Jahe

Secara kimia kesuburan tanah dipengaruhi oleh ketersediaan hara, baik

makro maupun mikro dari sumber anorganik dan organik. Dosis pupuk yang

diberikan petani hingga kini sangat bervariasi. Pupuk buatan atau pupuk

anorganik yang sering digunakan petani dalam budidaya jahe adalah Urea, TSP,

dan KCl. Pupuk nitrogen berupa Urea diperlukan tanaman jahe untuk memacu

pertumbuhan vegetatifnya. Fosfor (P) merupakan hara makro yang penting setelah

nitrogen. Hara P berperan penting terutama sebagai komponen gula fosfat yang

terlibat dalam metabolisme sel, bagian dari asam nukleat DNA dan RNA dan

sebagai bagian dari fosfolipid dan senyawa lemak yang berperan dalam struktur

membran, berperan penting dalam metabolisme energi karena merupakan

penyusun ATP, ADP, dan AMP (Gardner, et al. 1991; Salisbury dan Ross, 1992).

(23)

Gejala kekurangan P menunjukkan pertumbuhan yang kerdil dan daunnya

berwarna hijau tua. Selain itu pertambahan sel dan luas daun lebih terhambat

daripada pertambahan klorofil, karena itu kandungan khlorofil per unit luas daun

lebih tinggi, tetapi efisiensi fotosintesis pada khlorofil lebih rendah (Marschner,

1986). Tanaman yang kekurangan P juga menyebabkan menumpuknya pigmen

anthosianin pada bagian dasar batang dan urat daun akibat penimbunan gula

(Marschner, 1986; Gardner et al. 1991; Salisbury dan Ross, 1992). Bila

kekurangan P terjadi pada fase reproduktif, akan mempengaruhi ratio gula-pati

dalam daun dan pembagian fotosintat antara daun dan organ reproduktif.

Unsur kalium (K) merupakan hara yang berperan penting dalam sejumlah

besar enzimatik yaitu sebagai aktivator dan berperan dalam aktivitas osmotik serta

dalam mekanisme membuka menutupnya stomata (Ting, 1981; Salisbury dan

Ross, 1992). Unsur K juga berfungsi menyeimbangkan muatan-muatan anion dan

mempengaruhi pengambilan dan transpor anion (Marschner, 1986; Gardner et al.

1991). Perubahan aktivitas enzim dan senyawa organik yang berlangsung selama

kekurangan K, menyebabkan tanaman rentan terhadap serangan penyakit.

Kebutuhan pupuk N, P dan K untuk jahe yang dipanen muda adalah 400 kg

Urea/ha, diberikan selama dua kali. Pemupukan Urea pertama diberikan sebulan

setelah tanam dengan dosis 150 kg/ha. Sedangkan pemupukan Urea yang kedua

diberikan saat tanaman jahe berusia dua bulan dengan dosis 250 kg/ha. Pupuk P

diberikan sekali pada saat tanam dengan dosis 150-200 kg SP-36 /ha. Untuk

pupuk K diberikan dua kali. Pemupukan pupuk K yang pertama diberikan

bersamaan pada saat pemupukan N yang pertama ketika tanaman berusia satu

bulan dengan dosis 100 kg KCl/ha dan pemupukan pupuk K yang kedua

diberikan bersamaan dengan pemupukan N pada saat tanaman berusia 2 bulan

dengan dosis 100 KCl /ha (Balai Penelitian Pengembangan Tanaman Obat, 1997).

Hasil penelitian Januwati et al. (1988) menunjukkan bahwa jahe yang dipanen

pada umur 9 sampai 10 bulan responsif terhadap pemupukan N dengan dosis

tinggi, sampai taraf 800 kg Urea/ha masih meningkatkan jumlah anakan/rumpun,

jumlah daun/rumpun, hasil rimpang persatuan luas dan diamater rimpang. Pada

taraf 800 kg TSP/ha dan 800 kg KCl/ha produksi mencapai 18,75 ton/ha

(24)

Metode Pengendalian Gulma

Dalam bidang pertanian dan perkebunan, gulma merupakan masalah yang

penting dalam peningkatan efisiensi dan produktivitas. Penurunan hasil beberapa

tanaman pangan akibat persaingan dengan gulma sampai sekitar 60%, antara lain

penurunan produksi padi sawah berkisar 15-42%, padi gogo 36-97 %, jagung

16-82%, kedelai 18-69 %, kacang tanah 20-50%, kacang hijau 32% dan ubi kayu

6-62% (Bangun 1990). Hasil penelitian Wiroatmodjo (1992) kehilangan hasil

tanaman jahe akibat persaingan gulma terutama pada penanaman kedua dapat

mencapai 69,25 – 77,51 % hasil rimpang.

Gulma mutlak perlu dikendalikan, terutama pada penanaman dengan sistem

budidaya monokultur dan penanaman dalam larikan/baris seperti pada tanaman

perkebunan. Sistem budidaya tersebut memberi peluang yang besar bagi

timbulnya gulma yang turut menikmati sarana masukan (air, hara, sinar matahari,

dan pupuk), sejak berada di persemaian sampai saat tanaman menghasilkan

(Kuntohartono 1990 , Hasanuddin et al. 2001).

Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan beberapa cara, baik secara

fisik, biologi maupun secara mekanik. Pengendalian gulma secara mekanik selain

menyebabkan kerusakan dan kerugian, pada komoditas tertentu biayanya hampir

70% dari biaya produksi (Bangun 1990, Kuntohartono 1990). Kerusakan akar

akibat pengendalian gulma secara mekanik sering dijumpai pada tanaman

perkebunan yang susunan akarnya dekat dengan permukaan tanah seperti jahe,

untuk memecahkan masalah gulma, petani terdorong untuk menggunakan

herbisida nabati.

Herbisida diklasifikasikan atas beberapa jenis, yaitu herbisida kontak

(selektif dan non selektif), herbisida yang dapat ditranslokasikan dan herbisida

residual. Herbisida selektif yaitu suatu herbisida yang reaksinya sangat spesifik,

digunakan untuk gulma yang spesifik tanpa menyebabkan kerusakan pada

tumbuhan sekitarnya. Herbisida non selektif adalah senyawa kimia yang dapat

mematikan setiap jenis gulma. Herbisida yang dapat ditranslokasikan yaitu

herbisida yang bila diaplikasikan pada daun, akan terserap ke dalam tanaman, lalu

bergerak ke bagian tanaman lain, termasuk ke akar. Herbisida residual yaitu

(25)

Pemakaian herbisida sintetik yang berlebihan dapat merusak lingkungan.

Dalam usaha mencegah kerusakan lingkungan dari bahan-bahan kimia yang

berbahaya, maka dicoba pembuatan herbisida dengan bahan tanaman yang lebih

ramah lingkungan. Bahan tanaman seperti limbah sereh wangi menghasilkan

senyawa metabolit sekunder yang mempunyai aktivitas beragam, antara lain

sebagai herbisida. Pembuatan sediaan herbisida dari campuran bahan alami seperti

limbah pertanian merupakan suatu alternatif yang cukup potensial. Degradasi dari

bahan alami akan lebih cepat dibandingkan dengan senyawa-senyawa sintetik.

selain itu dapat mencegah kontaminasi air tanah. Untuk mengantisipasi keadaan

tersebut, para peneliti mencoba menggunakan bahan alami sebagai pengganti

bahan sintetik.

Beberapa tanaman yang mempunyai aktivitas sebagai herbisida biasanya

mempunyai kandungan senyawa tertentu. Sebagian besar turunan asam-asam

benzoat dan asam sinamat biasanya menunjukkan aktivitas yang cukup tinggi.

(26)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan IPB, Cikabayan, Darmaga, Bogor

dengan jenis tanah Latosol pada bulan September 2011 sampai April 2012.

Analisis tanah dilakukan di Balai Penelitian Tanah Bogor. Analisis pupuk

organik, dilakukan di Laboratorium Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas

Pertanian, IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit jahe Gajah yang

berumur 10 bulan, bahan organik limbah sereh wangi sisa-sisa penyulingan yang

berasal dari Lembang (Jawa Barat), mikroba dekomposer, pupuk organik granul

(kotoran sapi yang diinkubasi 1,5 bulan), pupuk Urea, SP-36, KCl, Agrimicyn,

dan bahan-bahan kimia untuk keperluan analisis di laboratorium. Alat yang

digunakan adalah kotak kayu sebanyak tiga buah untuk pengomposan dengan

ukuran 1m x 1 m x1 m, plastik hitam, kotak penyemaian, timbangan, gembor,

cangkul, rollmeter, sabit dan parang, seperangkat alat analisis tanah di

laboratorium.

Metode Percobaan

Percobaan dilakukan dengan menggunakan Rancangan Petak Terpisah (Split

Plot Design) dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Faktor pertama sebagai petak utama

adalah bahan organik terdiri atas 4 taraf yaitu: tanpa bahan organik (M1), granul

20 ton/ha (M2), kompos sereh wangi dibenamkan ke dalam tanah 20 ton/ha (M3),

kompos sereh wangi sebagai mulsa 20 ton/ha (M4). Faktor kedua sebagai anak

petak adalah dosis pupuk anorganik terdiri atas 4 taraf yaitu: Tanpa pupuk

anorganik (T1) , ½ dosis (T2), 1dosis (T3), dan 2 dosis (T4

Model statistik untuk rancangan tersebut di atas adalah sebagai berikut : ).

(27)

dimana :

Yijk = Hasil pengamatan jahe pada kelompok ke-i, Bahan organik ke-j dan

takaran pupuk anorganik ke-k

µ = Rataan umum

Ai = Pengaruh kelompok ke-i

Mj = Pengaruh perlakuan media bahan organik ke-j

δij = Pengaruh galat perlakuan bahan organik ke-j dalam kelompok ke-i

Tk = Pengaruh perlakuan takaran pupuk anorganik ke-k

(MT)jk = Pengaruh interaksi perlakuan bahan organik ke-j dan perlakuan

takaran pupuk anorganik ke-k.

€ijk = Galat

Asumsi :

- µ.α. βj tetap dan ∑αi =0

- µ. αi. βj merupakan komponen aditif

- €ijk menyebar normal

Data dianalisis dengan uji F menggunakan program SAS, jika faktor

perlakuan berpengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan

Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% dan uji polinomial untuk

pengaruh dosis pupuk.

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan Kompos

Penelitian ini dilaksanakan dengan berbagai kegiatan dengan melakukan

karakterisasi bahan organik hingga dilakukan pengujian terhadap tanaman jahe.

Bahan organik dari limbah sereh wangi dikomposkan dengan menggunakan

mikroba dekomposer selama 4 minggu. Pengomposan dilakukan dengan

menggunakan kotak kayu dengan ukuran 1 m x 1 m x 1 m. Bahan organik limbah

sereh wangi dihamparkan dalam kotak kayu berlapis–lapis. Pada tiap lapis limbah

sereh wangi dengan tinggi 15 cm diinokulasikan mikroba dekomposer.

(28)

homogen. Pada akhir minggu ke 4 kompos dipanen kemudian dikeringanginkan

hingga kadar air 13-20 persen.

Suhu kompos diamati tiap 3 hari, C/N dianalisis setiap minggu, pada akhir

pengomposan dilakukan analisis kandungan hara N, P, K dan Si. Rimpang

tanaman jahe sebelum disemaikan direndam lebih dahulu dalam larutan Agrimicin

untuk menghindari kontaminasi bakteri kemudian dikeringanginkan + 6-10 jam.

Persiapan Lahan

Pengolahan tanah dilakukan dengan pencangkulan tanah sedalam 20 cm.

Setelah dicangkul tanah diratakan, kemudian dibuat petak percobaan dengan

ukuran 2 m x 1 m. Jumlah petak percobaan sebanyak 48 petak. Bahan organik

diberikan dengan dosis sesuai perlakuan dan penempatannya pada setiap petak

percobaan yang dilakukan secara acak (Lampiran 1). Petak-petak percobaan

sesuai perlakuan dibiarkan selama 2 minggu sebelum ditanami jahe.

Penanaman

Bibit jahe yang telah disemaikan 3 – 4 minggu dipilih yang baik dengan

meletakkan satu tunas di dasar lubang tanam dan mata tunas menghadap ke atas,

selanjutnya bibit ditutup dengan tanah tipis-tipis dan dengan jarak tanam yang

sudah disebutkan di atas.

Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman selama penelitian meliputi: penyiangan, pemupukan,

pembumbunan. Penyiangan gulma dilakukan secara rutin bergantung keadaan

lebatnya pertumbuhan gulma. Pemupukan dilakukan untuk menunjang

pertumbuhan tanaman. Pemberian Urea, SP-36 dan KCl pada tanaman jahe

disesuaikan dengan perlakuan dosis yang telah disebutkan di atas sebagai anak

(29)

Tabel 1. Takaran pupuk anorganik sebagai perlakuan pada tanaman jahe

Pembumbunan tanaman dilakukan pada semua tanaman, dengan maksud

melindungi rimpang jahe agar tidak terkena sinar matahari dan juga untuk

menggemburkan tanah di sekitar perakaran tanaman.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap 6 tanaman contoh. Pengamatan meliputi :

1. Analisis limbah sereh wangi sebelum dan sesudah percobaan. Adapun

komponen yang yang dianalisis mencakup kandungan N, P, K, Ca, Mg, Fe,

Cu, Zn, dan Si. Suhu kompos limbah sereh wangi diukur 3 hari sekali dan

kandungan C/N dianalisis seminggu sekali selama pengomposan.

2. Analisis tanah dilakukan sebelum dan sesudah percobaan mencakup

kandungan C, N, P, K, Ca, Mg, Al dan pH.

3. Tinggi tanaman.

Tinggi tanaman diamati tiap bulan sejak tanaman berumur satu bulan setelah

perlakuan (BSP) dan berakhir pada umur 4 BSP, diukur dari permukaan tanah

sampai ujung daun tertinggi

4. Jumlah daun per rumpun.

Jumlah daun per rumpun diamati tiap bulan sejak tanaman berumur satu

bulan setelah perlakuan sampai 4 BSP, ditentukan dengan cara menghitung

(30)

5. Jumlah anakan per rumpun.

Jumlah anakan per rumpun diamati tiap bulan mulai tanaman berumur 1 BSP

sampai 4 BSP, diamati jumlah tunas yang telah muncul dari permukaan

tanah.

6. Volume akar.

Volume akar diukur dengan menggunakan gelas ukur dengan cara

memasukkan akar kedalam gelas ukur yang berisi air

7. Bobot segar rimpang.

Bobot segar rimpang diukur saat dipanen 4 BSP (gram).

8. Bobot kering rimpang.

Rimpang hasil panen dikeringkan dengan cara dijemur atau dimasukkan ke

dalam oven sampai mendapatkan berat yang tetap

9. Bobot kering gulma daun lebar, gulma daun sempit dan total gulma pada

masing-masing perlakuan. Pengeringan gulma dilakukan dalam oven pada

suhu 60 0

10. Intensitas serangan penyakit.

C hingga bobotnya konstan.

Pengamatan terhadap intensitas serangan penyakit dilakukan satu bulan

sekali sejak tanaman berumur 1 BSP. Penghitungan intensitas serangan

penyakit ditentukan berdasarkan rumus Winstead dan Kelman (1954).

Arwiyanto et al. (1994) yang dimodifikasi. Intensitas serangan penyakit

dihitung berdasarkan skala :

0 = tidak ada gejala serangan

1 = 1 -10 % bagian tanaman yang terserang

2 = 11 – 25 % bagian tanaman yang terserang

3 = 26 -50% bagian tanaman yang terserang

4 = 51- 75 % bagian tanaman yang terserang

(31)

Rumus intensitas serangan penyakit adalah :

P = ∑ ( n x v ) x 100 %

Z N

Keterangan :

P = intensitas serangan ( %)

N = banyaknya tanaman yang diamati dengan setiap kategori serangan

v = nilai skala dari setiap kategori serangan

Z = nilai skala kategori serangan tertinggi

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Keadaan Umum Penelitian

Hasil analisis tanah awal menunjukkan bahwa kandungan bahan organik

tanah di lokasi penelitian tergolong rendah dengan nilai sebesar 1,19 persen.

Kandungan unsur hara N, P, dan K tergolong rendah sampai sangat rendah

dengan nilai masing-masing 0,11 persen, 3,20 ppm, dan 0,07 me/100g.

Kandungan hara makro yaitu Ca sebesar 2,67 me/100g juga tergolong rendah.

Derajat kemasaman tanah sebesar 4,1 dan tergolong tanah sangat masam.

Kapasitas tukar kation tergolong rendah sampai sedang sebesar 16,58 me/100g

dan kejenuhan basa tergolong sedang sebesar 22 persen. Tekstur tanah tergolong

liat berdebu dengan kandungan pasir 5 persen, debu 25 persen, dan liat 70 persen

(Lampiran 2). Hal ini sesuai dengan dengan kriteria penilaian sifat kimia tanah

yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dalam Hardjowigeno dan

Widiatmaka (2007).

Hasil analisis bahan organik yang digunakan pada penelitian ini berupa

granul siap pakai (kotoran sapi yang diinkubasi 1,5 bulan) dan limbah sereh wangi

yang dikomposkan selama empat minggu dicantumkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisis hara bahan organik yang digunakan dalam penelitian

Bahan

Hasil analisis hara dari sumber bahan organik yang digunakan dalam

penelitian menunjukkan adanya perbedaan kandungan hara pada masing- masing

sumber bahan organik. Bahan organik granul memiliki Kandungan hara N, P, dan

(33)

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman jahe juga dipengaruhi oleh

gangguan hama dan penyakit tanaman. Serangan belalang terjadi pada saat 2 BSP

tetapi serangannya tidak terlalu membahayakan tanaman, justru pada saat tanaman

berumur 2 MSP terjadi serangan penyakit bercak daun dan busuk rimpang yang

disebabkan Cercospora sp dan Rhizoctonia sp. Serangan penyakit ini sangat

merugikan mengakibatkan banyak tanaman yang mati sebelum panen. Tanaman

yang terserang menunjukkan daun menguning. Gejala selanjutnya tanaman jahe

menjadi layu dan mengering dan rimpang tanaman menjadi busuk, berwarna

kecoklatan dan mudah ditemukan miselia berwarna putih (Gambar 2).

Gambar 2. Tanaman jahe yang terserang penyakit bercak daun dan busuk rimpang

Pemberantasan patogen dilakukan dengan penyemprotan fungisida tetapi

tidak dapat menanggulangi penyebaran patogen tersebut karena serangan patogen

bersifat sistemik. Oleh karena itu dalam penelitian ini pengamatan tanaman yang

dikemukakan adalah pada umur 1 bulan sampai 4 bulan setelah perlakuan (BSP).

Kondisi Iklim

Kondisi iklim meliputi curah hujan, hari hujan dan temperatur selama

penelitian berlangsung tercantum pada Gambar 3. Curah hujan pada lokasi

penelitian tertinggi pada bulan Februari yaitu 548,9 mm/bulan yang merupakan

(34)

mm/bulan. Tanaman jahe membutuhkan curah hujan yang relatif tinggi, yaitu

2500 sampai 3000 mm/tahun terutama pada umur tanaman 5 - 6 bulan. Keadaan

temperatur rata-rata pada lokasi penelitian dari bulan November sampai dengan

bulan April berkisar 25 – 26 0C.

Gambar 3. Kondisi Iklim Selama Penelitian Berlangsung dari Bulan November 2011 Sampai dengan April 2012.

(Sumber : Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor)

Suhu Kompos

Selama proses pengomposan limbah sereh wangi menunjukkan perubahan

suhu. Kenaikan suhu pengomposan sereh wangi dimulai pada hari ke-2 dan ke-3

dan mencapai puncaknya pada hari ketujuh (67 0C) dan berangsur-angsur mengalami penurunan menjadi 29 0C hingga akhir pengomposan (minggu ke-4)

(35)

(Gambar 4). Selain indikator penurunan suhu, volume bahan limbah sereh wangi

menyusut hingga 50 persen pada akhir pengomposan. Hal tersebut merupakan

tanda bahwa bahan sereh wangi sudah siap digunakan menjadi pupuk (Gambar 5).

Mikroorganisme dekomposer yang digunakan dalam proses pengomposan akan

menguraikan limbah sereh wangi sebagai sumber energi sehingga aktivitas

mikroorganisme mengalami peningkatan yang menyebabkan suhu kompos

meningkat.

Gambar 4. Perubahan suhu kompos selama proses pengomposan 4 minggu

Peningkatan suhu kompos disebabkan oleh banyaknya senyawa yang mudah

dirombak seperti gula sederhana, protein, dan pati. Aktivitas perombakan oleh

mikroorganisme menghasilkan panas. Chanchampee et al. (1999) melaporkan

suhu tertinggi yang dicapai pada pengomposan sampah organik terjadi pada

minggu pertama dan kedua. Menurut Kirschbaum (1995), tingkat dekomposisi

bahan organik akan lebih dipacu oleh peningkatan suhu.

0 10 20 30 40 50 60 70 80

0 5 10 15 20 25 30

Suhu (

0C)

Hari ke

suhu kompos

(36)

Gambar 5. Kompos sereh wangi yang siap digunakan sebagai pupuk

Nisbah C/N Kompos

Nisbah C/N limbah sereh wangi selama pengomposan mengalami

penurunan seiring dengan lamanya waktu dekomposisi. Nisbah C/N limbah sereh

wangi sebelum dikomposkan 49,12. Nisbah C/N limbah sereh wangi menurun

pada minggu pertama pengomposan dari 49,12 menjadi 47,61 (Gambar 6).

Gambar 6. Perubahan nisbah C/N selama proses pengomposan limbah sereh wangi Selama 4 minggu

Hal tersebut menunjukkan bahwa mikroorganisme mampu melakukan

proses perombakan secara baik terhadap limbah sereh wangi. Penambahan

mikroorganisme sebagai aktivator pada proses pengomposan dapat menurunkan

nisbah C/N limbah sereh wangi hingga 39,63 (minggu ke-4).

0 10 20 30 40 50

1 2 3 4

C/

N

Waktu pengomposan (minggu)

(37)

Transformasi bahan organik untuk pupuk yang melibatkan mikroorganisme

sangat bergantung pada kadar karbon dan nitrogen yang terdapat di dalam bahan

yang akan didekomposisikan. Makin lama proses dekomposisi berlangsung,

nisbah C/N semakin rendah.

Nisbah karbon nitrogen optimal untuk proses pengomposan yaitu antara

30-40, tetapi proses pengomposan dapat berlangsung baik jika nisbah karbon

nitrogen antara 25-35 (Mindawati et al. 1998).

Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam

Rekapitulasi hasil sidik ragam menunjukkan bahwa bahan organik tidak

berpengaruh nyata pada semua variabel yang diamati. Dosis pupuk anorganik

hanya memberikan pengaruh nyata terhadap bobot kering rimpang, intensitas

serangan penyakit, bobot kering gulma daun lebar pada penyiangan ke 2, tetapi

tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah tunas,

bobot basah rimpang, volume akar, total bobot kering gulma, bobot kering gulma

daun sempit. Interaksi antara bahan organik dan dosis pupuk anorganik hanya

memberikan pengaruh nyata terhadap bobot kering gulma total pada penyiangan

ke 2 (Tabel 3).

Respon Pertumbuhan Tanaman Jahe

Tinggi Tanaman

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian bahan organik, dosis

pupuk anorganik dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi

tanaman (Lampiran 3).

Tanaman yang diberi kompos sereh wangi yang dibenamkan ke dalam tanah

memiliki tinggi tanaman tertinggi (40,82 cm) dibandingkan dengan perlakuan

(38)

Tabel 3. Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen pertumbuhan dan produksi jahe gajah. Total bobot kering gulma Penyiangan 1 (g) Penyiangan ke 2 (g)

Bobot kering gulma daun lebar Penyiangan 1 (g)

Penyiangan ke 2 (g)

Bobot kering gulma daun sempit Penyiangan 1 (g)

Tanaman yang diberi ½ dosis pupuk anorganik pada umur 4 BSP

menghasilkan tinggi tanaman paling tinggi (47,24 cm) dibandingkan dengan

perlakuan dosis pupuk anorganik lainnya. Rataan tinggi tanaman pada berbagai

perlakuan bahan organik dengan pemberian pupuk anorganik dapat dilihat pada

(39)

Tabel 4. Rataan tinggi tanaman pada berbagai perlakuan bahan organik dan dosis pupuk anorganik

Perlakuan 1 BSP 2 BSP 3 BSP 4 BSP ...(cm)...

Bahan organik

Tanpa organik 12.06 20.78 39.03 29.79 Granul 12.92 21.33 31.51 39.74 Kompos sereh wangi dibenamkan 14.89 24.88 35.31 40.82 Kompos sereh wangi sebagai mulsa 10.92 19.21 27.53 38.69

Dosis pupuk anorganik

Tanpa anorganik 12.33 21.04 30.56 37.89 ½ dosis 13.44 22.75 32.70 47.24 1 dosis 12.93 22.00 31.18 47.21 2 dosis 12.08 20.39 29.71 34.39

Keterangan : BSP = Bulan Setelah Perlakuan

Jumlah Daun

Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan bahan organik, dosis pupuk

anorganik dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun

(Lampiran 4).

Tanaman yang diberi kompos sereh wangi yang dibenamkan ke dalam tanah

memiliki jumlah daun tertinggi (37,38 helai) dibandingkan dengan perlakuan

bahan organik lainnya pada umur 4 BSP.

Tanaman yang diberi ½ dosis pupuk anorganik pada umur 4 BSP

menghasilkan jumlah daun paling tinggi (43,11 helai) dibandingkan dengan

perlakuan dosis pupuk anorganik lainnya. Hasil rataan jumlah daun pada berbagai

perlakuan bahan organik dengan pemberian pupuk anorganik dapat dilihat pada

Tabel 5.

Jumlah Tunas

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian bahan organik, pupuk

anorganik dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas

(Lampiran 5)

Tanaman yang diberi kompos sereh wangi sebagai mulsa pada umur 4 BSP

memiliki jumlah tunas tertinggi (6,09 buah) dibandingkan dengan perlakuan

(40)

Tabel 5. Rataan jumlah daun pada berbagai perlakuan bahan organik dan dosis pupuk anorganik Kompos sereh wangi dibenamkan 8.60 17.29 25.95 37.38 Kompos sereh wangi sebagai mulsa 7.13 14.89 23.74 37.26

Dosis pupuk anorganik

Tanpa anorganik 8.06 16.92 25.76 30.52 ½ dosis 8.34 17.29 26.94 43.11 1 dosis 8.10 16.69 25.31 37.89 2 dosis 6.63 14.06 21.19 32.26

Keterangan : BSP = Bulan Setelah Perlakuan

Tanaman yang diberi ½ dosis pupuk anorganik menghasilkan jumlah tunas

paling tinggi (6,58 buah) dibandingkan dengan perlakuan dosis pupuk anorganik

lainnya pada umur 4 BSP. Rataan jumlah tunas pada berbagai perlakuan bahan

organik dengan pemberian pupuk anorganik dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan jumlah tunas pada berbagai perlakuan bahan organik dan dosis pupuk anorganik

Keterangan : BSP = Bulan Setelah Perlakuan

Volume Akar

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian bahan organik, pupuk

anorganik dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap volume akar

pada akhir pengamatan (Lampiran 6 )

Tanaman yang diberi granul menghasilkan volume akar paling tinggi

(41)

Tanaman yang diberi ½ dosis pupuk anorganik pada akhir percobaan

menghasilkan volume akar paling tinggi (10,02 ml) dibandingkan dengan

perlakuan dosis pupuk anorganik lainnya. Hasil rataan volume akar pada berbagai

perlakuan bahan organik dengan pemberian pupuk anorganik dapat dilihat pada

Tabel 7.

Tabel 7. Rataan volume akar jahe berbagai perlakuan bahan organik dan dosis pupuk anorganik pada akhir percobaan (4 BSP)

Perlakuan Volume Akar

(ml/2m2)

Bahan organik

Tanpa organik 8.12

Granul 8.79

Kompos sereh wangi dibenamkan 8.23 Kompos sereh wangi sebagai mulsa 6.94

Dosis pupuk Anorganik

Bobot Basah dan Bobot Kering Rimpang

Hasil sidik ragam menunujukkan bahwa pemberian bahan organik, dosis

pupuk anorganik dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap bobot

basah rimpang tanaman jahe pada akhir pengamatan. Dosis pupuk anorganik

memberikan pengaruh nyata terhadap bobot kering rimpang jahe (Lampiran 6).

Rataan bobot basah dan bobot kering rimpang pada berbagai perlakuan

bahan organik dan dosis pupuk anorganik pada akhir percobaan dapat dilihat pada

Tabel 8.

Perlakuan bahan organik menunjukkan bobot basah rimpang yang hampir

sama antara perlakuan bahan organik, demikian pula pada perlakuan dosis pupuk

anorganik menunjukkan bobot basah rimpang tidak berbeda nyata antara

perlakuan ½ dosis pupuk anorganik dengan dosis pupuk anorganik lainnya.

Perlakuan bahan organik menunjukkan bobot kering rimpang yang hampir

sama antara perlakuan tanpa bahan organik maupun yang diberi bahan organik,

(42)

berat pada ½ dosis bila dibandingkan dengan 2 dosis pupuk anorganik, tetapi tidak

berbeda nyata dengan 1 dosis dan tanpa pupuk anorganik (Tabel 8).

Tabel 8. Rataan bobot basah dan bobot kering rimpang jahe pada berbagai perlakuan dosis bahan organik dan dosis pupuk anorganik pada akhir percobaan (4 BSP)

Perlakuan

Bobot Basah Rimpang Bobot Kering Rimpang (g/2m2) Kompos sereh wangi sebagai mulsa 43.28 216.4

Dosis pupuk Anorganik

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT 5 %

Intensitas Serangan Penyakit

Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan bahan organik dan interaksinya

dengan dosis pupuk anorganik tidak bepengaruh nyata terhadap intensitas

serangan penyakit busuk rimpang, sedangkan perlakuan dosis pupuk anorganik

berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan penyakit busuk rimpang

(lampiran 6).

Dosis ½ pupuk anorganik menunjukkan intensitas serangan penyakit

terendah. Tanaman yang diberi 2 dosis pupuk anorganik menunjukkan intensitas

serangan penyakit busuk rimpang tertinggi, tetapi tidak berbeda nyata dengan

tanpa anorganik dan 1 dosis anorganik (Tabel 9).

Bobot Kering Total Gulma

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian bahan organik dan dosis

pupuk anorganik secara tunggal tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering

total gulma pada penyiangan I maupun penyiangan II, tetapi interaksi keduanya

(43)

Tabel 9. Rataan intensitas serangan penyakit busuk rimpang pada berbagai bahan organik dan dosis pupuk anorganik pada umur 4 BSP

Perlakuan

Intensitas Serangan Penyakit Busuk impang

(%)

Bahan organik

Tanpa organik 74.56

Granul 68.30

Kompos sereh wangi dibenamkan 62.05 Kompos sereh wangi sebagai mulsa 67.05

Dosis pupuk anorganik

Tanpa anorganik 71.64a

1/2 54.98b

1 69.98a

2 76.24a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

pada DMRT 5 %

Bobot kering Gulma Daun Lebar

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa dosis pupuk anorganik berpengaruh

nyata terhadap bobot kering gulma daun lebar pada penyiangan II. Pemberian

bahan organik dan interaksinya dengan dosis pupuk anorganik tidak berpengaruh

nyata terhadap bobot kering gulma daun lebar baik pada penyiangan I maupun

pada penyiangan II (Lampiran 7 dan 8).

Bobot kering gulma daun lebar pada penyiangan I dan penyiangan II

pada perlakuan pemberian pupuk organik menunjukkan hasil tidak berbeda nyata

antara tanaman kontrol (tanpa pemberian pupuk organik) dengan perlakuan

granul, sereh wangi dibenamkan ke dalam tanah dan sereh wangi sebagai mulsa.

Bobot kering gulma daun lebar yang tanpa anorganik dan 1 dosis pupuk

anorganik nyata lebih kecil dibandingkan dengan yang diberi 2 dosis pupuk

(44)

Tabel 11. Rataan bobot kering gulma daun lebar pada berbagai bahan organik dan dosis pupuk anorganik pada penyiangan I dan Penyiangan II

Perlakuan

Penyiangan I Penyiangan II

Bahan organik

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5 %

Bobot Kering Gulma Daun Sempit

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian bahan organik, dosis

pupuk anorganik serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap bobot

kering gulma daun sempit baik pada penyiangan I maupun penyiangan II.

(Lampiran 7 dan 8 ). Rataan bobot kering gulma daun sempit pada berbagai bahan

organik dan dosis pupuk anorganik dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Rataan bobot kering total gulma daun sempit pada berbagai bahan organik dan dosis pupuk anorganik pada penyiangan I dan II

Perlakuan Penyiangan I Penyiangan II

Bahan organik

...(gram/2m2)...

Tanpa organik 30.49 8.87

Granul 20.66 7.30

Kompos sereh wangi dibenamkan 30.51 9.41 Kompos sereh wangi sebagai mulsa 41.62 9.21

Dosis pupuk anorganik

Tanpa anorganik 21.73 8.86

½ dosis 35.42 8.04

1 dosis 30.42 8.91

(45)

Pembahasan

Pengaruh Pemupukan terhadap Pertumbuhan Tanaman

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan organik dan dosis pupuk

anorganik secara umum tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman

sampai umur 4 BSP. Pemupukan bahan organik dan anorganik (N, P, K) tidak

berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman jahe sampai umur 4 BSP

diduga disebabkan oleh beberapa faktor : Pertama, jumlah N, P dan K tanah

yang tersedia masih mencukupi kebutuhan tanaman sehingga dalam keadaan

tanpa pemupukan tanaman masih mampu tumbuh dan berproduksi dalam keadaan

normal. Kedua, tanaman di panen muda (umur 4 BSP), merupakan fase dimana

sebagian besar aktifitas tanaman dialokasikan untuk pertumbuhan vegetatif dan

belum cukup optimal menyerap hara N, P, dan K untuk menunjang pertumbuhan

dan produksinya. Hasil analisis tanah pada akhir penelitian menunjukkan pada

beberapa perlakuan kandungan P dan K tergolong sedang sampai tinggi

(Lampiran 2) dapat dikatakan unsur hara P dan K belum diserap optimal karna

umur panen yang muda (4 BSP). Ketiga, rendahnya efektivitas penyerapan N

dari pupuk urea oleh tanaman yang disebabkan oleh adanya kehilangan N dari

pupuk yang diberikan ke dalam tanah. Curah hujan yang tinggi selama penelitian

akan mempengaruhi efektivitas pupuk urea karena nitrogen mudah tercuci oleh air

hujan. Hasil analisis tanah awal dan akhir penelitian menunjukkan kandungan N

tanah rendah (Lampiran 2).

Serapan hara tanaman dipengaruhi oleh umur tanaman. Xin-Sheng et al.

(2010) serapan hara N, P, dan K pada tanaman jahe umur 4 BST relatif masih

rendah dibandingkan dengan jahe umur 9 BST. Hasil penelitian Parthasarathy

etal. (2008) bahwa dengan bertambahnya umur tanaman serapan hara N, P, dan K

akan semakin tinggi. Namun demikian, unsur hara K yang paling banyak diserap

tanaman jahe dibandingkan N dan P ( Xin-Sheng etal. 2010).

Meskipun secara statistik tidak nyata, hasil percobaan yang telah dilakukan

menunjukkan bahwa pemupukan organik dan anorganik relatif dapat

(46)

pemupukan sangat penting dalam upaya peningkatan produksi tanaman jahe

gajah.

Pengaruh Pemupukan terhadap Bobot Kering Tanaman.

Hasil uji lanjut pengaruh dosis pupuk anorganik terhadap bobot kering

rimpang jahe menunjukkan berbeda nyata antara yang diberi 0,5 dosis pupuk

anorganik dengan yang diberi 2 dosis anorganik. Bobot kering rimpang jahe

meningkat antara yang tidak dipupuk anorganik dengan yang diberi 0,5 dosis

pupuk anorganik dari 5,89 g meningkat menjadi 7,07 g. Perlakuan dosis pupuk

anorganik 0,5 dosis menjadi 1 dosis menunjukan bobot kering rimpang mulai

menurun. Meskipun dengan adanya penambahan dosis dari 0,5 dosis menjadi 1

dosis tidak menunjukkan peningkatan bobot kering rimpang, malah bobot kering

rimpang cenderung menurun pada taraf 2 dosis. Hubungan antara bobot kering

rimpang dan dosis pupuk anoraganik dapat disajikan pada Gambar 7 :

Gambar 7. Hubungan antara bobot kering rimpang jahe dengan dosis pupuk anorganik

Dari persamaan regresi pada gambar diatas bahwa bobot kering rimpang

jahe optimum terdapat pada taraf pemupukan anorganik 0,53 dosis (212 kg

urea+106 kg SP-36 + 53 kg KCl). Penambahan dosis diatas 0,53 bobot kering

rimpang jahe mulai menurun. Hal ini dapat disimpulkan bahwa penambahan dosis

pupuk anorganik sampai batas yang disebutkan di atas masih meningkatkan hasil.

y = 6.072 + 1.998x - 1.872x2

(47)

Namun penambahan lebih lanjut tidak memberikan peningkatan hasil yang nyata.

Hal ini juga terjadi pada tanaman kunyit (Akamine et al. 2007). Meningkatnya

pupuk N, P dan K tidak meningkatkan pertumbuhan dan hasil rimpang. Demikian

juga pada tanaman kentang (Olojede et al. 2008) meningkatnya dosis pupuk justru

menurunkan hasil umbi, karena tidak terjadinya keseimbangan hara tanah.

Hasil penelitan lainnya menunjukkan bahwa meningkatnya kecukupan salah

satu hara yang tidak diikuti oleh meningkatnya kecukupan hara lainnya maka

keseimbangan hara akan terganggu, menyebabkan pertumbuhan dan produksi

rimpang menurun (Surendran etal. 2005).

Hubungan Antara Bobot Kering Gulma Total dengan Dosis Pupuk Anorganik pada Berbagai Macam Bahan Organik

Bobot kering gulma total memberikan respons yang berbeda terhadap dosis

pupuk anorganik pada berbagai macam bahan organik (Lampiran 9). Hasil

analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat hubungan linear antara bobot kering

gulma total dengan bahan organik sereh wangi dibenamkan dan sereh wangi

sebagai mulsa.

Sereh wangi dibenamkan memperlihatkan hubungan linear positif dengan

bobot kering gulma total, yang mengindikasikan bertambahnya dosis pupuk

anorganik cenderung meningkatkan bobot kering gulma total, jika diberi sereh

wangi dibenamkan. Meningkatnya bobot kering gulma total disebabkan sereh

wangi dibenamkan kedalam tanah menciptakan kondisi lingkungan yang ideal

gulma dapat tumbuh. Pembalikan tanah pada saat sereh wangi dibenamkan

menyebabkan biji gulma yang terbenam dalam tanah yang kemudian terangkat

akan tumbuh menjadi gulma, hal ini sesuai yang dikemukakan sembodo (2010)

yang menyatakan bahwa gulma yang berkembangbiak dengan umbi dan rimpang

sangat sulit dikendalikan karena letaknya didalam tanah akan mampu untuk

tumbuh kembali. Perlakuan sereh wangi dibenamkan kedalam tanah selain dapat

menyehatkan tanah juga dapat menyuburkan gulma. Menurut Wiroatmojo et al.

(1990) bahan organik yang dibenamkan dapat menyebarkan dan mendorong

pertumbuhan gulma dipertanaman, karena biji gulma yang melalui jalur

percernaan masih tetap dapat tumbuh terutama family Cyperaceae dan graminae.

(48)

memperoleh cahaya dan ruang untuk tumbuh. Pertumbuhan gulma dipengaruhi

oleh kondisi lingkungan, antara lain oleh penyinaran dan penutupan permukaan

tanah.

Di lain pihak, penggunaan sereh wangi sebagai mulsa menunjukkan

hubungan sebaliknya, yaitu terjadi penurunan bobot kering gulma total

(Gambar 8).

Gambar 8. Hubungan antara Bobot Kering Gulma Total (g) pada Penyiangan IIdengan Dosis Pupuk N, P, K pada Bahan Organik Sereh Wangi Dibenamkan dan Sereh Wangi sebagai Mulsa

Pemulsaan merupakan salah satu alternatif atau cara pengendalian gulma

secara kultur teknik dalam upaya peningkatan produksi (Wardjito, 2001). Menurut

Ensbey (2002) bahwa mulsa dapat menghambat masuknya sinar matahari dan

menghambat pertumbuhan gulma. Menurunnya bobot kering gulma total pada

saat sereh wangi sebagai mulsa diakibatkan terbatasnya ruang tumbuh gulma dan

terbatasnya cahaya matahari yang dapat dimanfaatkan gulma untuk

berfotosintesis. Selain itu, dengan pemulsaan, dampak dari olah tanah yang

berupa meningkatnya populasi gulma karena selama pengolahan tanah terjadi

proses penyebaran organ-organ vegetatif gulma dapat teratasi dengan tertutupinya

permukaan tanah dengan mulsa dan pemulsaan berfungsi untuk menekan fluktuasi

temperatur tanah dan menjaga kelembaban tanah sehingga dapat mengurangi

jumlah pemberian air, hal ini sesuai dengan penelitian Dwiyanti (2005) dan

y = 11,9 + 5,37x

(49)

Dianasari (2007) bahwa pada lahan yang diberi mulsa memiliki temperatur tanah

yang cenderung menurun dan kelembaban tanah yang cenderung meningkat.

Hasil percobaan Endarwati dan Soenardi (2001) menunjukkan bahwa mulsa

organik efektif dalam menekan pertumbuhan gulma dan menciptakan kondisi

yang optimum bagi pertumbuhan kapas. Hasanuddin et al. (2001) menyatakan

jenis mulsa organik dari gulma mempengaruhi efisiensi pengendalian gulma pada

(50)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Sampai umur 4 BSP pemberian bahan organik dan dosis pupuk anorganik

secara tunggal belum memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan

dan bobot basah rimpang jahe, kecuali bobot kering rimpang pada umur 4

BSP

2. Bobot kering rimpang dosis optimum dicapai pada taraf 0,53 dosis setara

dengan 212 kg urea/ha, 106 kg SP-36/ha, 53 kg KCl/ha

3. Pengaruh pupuk anorganik terhadap bobot kering gulma total nyata

dipengaruhi oleh perlakuan bahan organik yang diberikan

4. Semakin tinggi dosis pupuk anorganik diberikan semakin tinggi bobot kering

gulma total pada bahan organik sereh wangi dibenamkan, tetapi semakin

rendah bobot kering gulma total pada bahan organik sereh wangi sebagai

mulsa.

Saran

Limbah sereh wangi yang banyak terdapat disekitar arel tanaman jahe dapat

digunakan sebagai sumber bahan organik dan herbisida nabati bergantung dengan

metode dan aplikasi yang dilakukan.

Gambar

Gambar 3. Kondisi Iklim Selama Penelitian Berlangsung dari Bulan November 2011
Gambar 5. Kompos sereh wangi yang siap digunakan sebagai pupuk
Tabel 3. Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen pertumbuhan dan  produksi   jahe gajah
Tabel 4. Rataan tinggi tanaman pada berbagai perlakuan bahan organik dan dosis                 pupuk anorganik
+3

Referensi

Dokumen terkait

PEKERJAAN : PAKET 11 REHABILITASI SARANA IRIGASI DI KENONGGO DS SOLODIRAN KEC MANISRENGGO SUMBER DANA : DAK Dan APBD Kab Klaten. HPS

Panitia Pengadaan Jasa Konsultansi Selaku Kelompok Kerja Pekerjaan Jalan dan Jembatan Provinsi Jawa Tengah pada Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Tengah Dana APBD Tahun

II Menurut Organisasi Kekuatan Sosial Politik di Kabupaten Mappi/ Percentage of Legal Vote from 2009 General Election for Central Parliement,Provincial Parliement,

Dagang umum adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang berlangsung dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha,

pada darah yang ditetesi anti serum A, maka orang itu akan bergolongan darah. Ketika terjadi penggumpalan pada darah yang ditetesi anti serum B,

Indonesia merupakan negara yang selalu menduduki urutan pertama yang memiliki jumlah kawasan mangrove terbesar di dunia dalam setiap penelitian dan pengamatan

Penelitian ini menggunakan konsep Association of Collages and Research Library (ACRL) Information Literacy Competency Standar for Higher Education, dengan

Perencana pengengembangan hutan rakyat yang dilakukan di desa adalah keinginan kepala desa dengan masyarakat Labuan toposo untuk merehabilitasi lahan dan untuk mata