PEKERJAAN LAYAK PADA PEKERJA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
(Survey Pada Pekerja PT Socfindo Indonesia Sei Liput Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh)
SKRIPSI
Disusun Oleh:
DITA RIZKI AGUSTINA NIM : 130901065
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2018
ABSTRAK
Ditengah maraknya permasalahan yang timbul terkait ketenagakerjaan, pekerjaan layak muncul sebagai respon atas kondisi tersebut dan telah menjadi agenda utama ILO. Pemerintah Indonesia juga menunjukkan keseriusannya untuk menerapkan konsep ini di Indonesia dengan meratifikasi Konvensi Inti ILO, namun hingga saat ini tiap aksi yang dilakukan pekerja kerap berisi tuntutan kepada perusahaan untuk memenuhi hak-hak mereka sebagai pekerja.
Penelitian ini jenis penelitian deskriptif yang menggunakan metode kuantitatif, yang bertujuan untuk mengetahui tingkat pekerjaan layak dan realitas penerapan konsepnya pada pekerja perkebunan kelapa sawit dengan responden adalah pekerja dari PT.Socfindo Indonesia Sei Liput, Kecamatan Kejuruan Muda, Aceh Tamiang, Provinsi Aceh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PT.
Socfindo sudah menerapkan konsep pekerjaan layak meskipun tingkatnya belum sesuai harapan. Rekrutmen yang tertutup, tidak adanya kontrak kerja, dan jam kerja lembur berlebih menjadi penghambat tercapainya kelayakan kerja yang sesuai dengan konsep pekerjaan layak yang ditetapkan ILO.
Kata Kunci : Pekerjaan Layak, Pekerja Perkebunan, Ketenagakerjaan, ILO
ABSTRACT
Amid the rampant problems that arise related to employment, decent work arises in response to these conditions and has become the ILO's main agenda. The Indonesian government also showed its seriousness to apply this concept in Indonesia by ratifying the ILO Core Conventions, but to date every action carried out by workers often contains demands on companies to fulfill their rights as workers.
This research is a type of descriptive research that uses quantitative methods, which aims to determine the level of decent work and the reality of the application of the concept to oil palm plantation workers with respondents are workers from PT.Socfindo Indonesia Sei Liput, Kecamatan Kejuruan Muda, Aceh Tamiang, Aceh Province. The results of this study indicate that PT. Socfindo has applied the concept of decent work even though the level has not met expectations. Closed recruitment, absence of work contracts, and overtime working hours are obstacles to achieving work eligibility in accordance with the concept of decent work established by the ILO.
Keywords : Decent Work, Plant Workers, Employment, ILO
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan hikmah dan pengetahuan serta kekuatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: “Dampak Keberadaan Mini Market terhadap Warung Tradisional di Kecamatan Rantau Utara, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara”. Skripsi ini Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan. Hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan, kemampuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Penulis juga menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih, diantaranya kepada:
1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu sosial dan ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. Harmona Daulay, M.Si selaku ketua departemen Sosiologi, Universitas SumateraUtara.
3. Terimakasih saya yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Bapak Prof.
Rizabuana M.Phil, Ph.D, selaku dosen pembimbing saya yang sangat sabar membimbing serta telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan kritik dan saran yang sangat membangun
selama penelitian hingga dapat menyelesaikan penelitian ini, dan selama masa perkuliahan ini.
4. Terimakasih saya yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Bapak Drs.
T.I Saladin, M.si selaku Sekretaris Departemen Sosiologi dan dosen penguji saya yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan kritik dan saran yang sangat membangun hingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini.
5. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku dosen pembimbing akademik saya.
6. Seluruh dosen Departemen Sosiologi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu, bimbingan, maupun arahan selama kepada penulis baik saat masa perkuliahan maupun diluar perkuliahan.
7. Kepada kedua orangtua saya bapak Syafriman dan ibu Elina, yang sangat menyayangi saya dan mendukung saya dengan sangat hebat.
8. Kepada seluruh sanak saudara saya yang terus memberikan dukungan tanpa henti.
9. Buat Sahabat saya Sari Yolanda, Aqila, Finta, Pupuy, Dinda, Arman,Baim, Dedi,Rasyid, Reynold, Riki, dan, Ricardo terimakasih telah membantu melewati 5 tahun ini dengan ketulusan seorang sahabat.
10. Kepada seluruh teman-teman seperjuangan jurusan Sosiologi 2013 yang telah memberikan kenangan-kenangan yang indah semasa perkuliahan, semoga kesuksesan menghampiri kita kelak, amin.
11. Buat teman-teman satu bimbingan skripsi yaitu Dwi, Hasty, Sari, dan Ardi terimakasih atas kerjasamanya selama proses penulisan skripsi.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dengan harapan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca serta dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Medan, Agustus 2018 Penulis
Dita Rizki Agustina 130901065
DAFTAR ISI
Hal.
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI...vi
DAFTAR TABEL... ix
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang...1
1.2 Rumusan Masalah...13
1.3 Tujuan Penelitian...13
1.4 Manfaat Penelitian...14
1.4.1 Manfaat Praktis...14
1.4.2 Manfaat Teoritis...14
1.5 Defenisi Konsep...15
1.6 Operasionalisasi Variabel...15
1.7 Bagan Operasional Variabel...17
1.8 Definisi Operasional Variabel...17
BAB II.KERANGKA TEORI...22
2.1 Teori Pertukaran Sosial George C Hommans...22
2.2 Pengertian Pekerjaan Layak...28
2.3 Pekerja Perkebunan...30
2.4 Penelitian Sebelumnya...32
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN...36
3.1 Jenis Penelitian...36
3.2 Lokasi Penelitian...36
3.3 Populasi...37
3.4 Sampel...38
3.5 Teknik Pengumpulan Data...39
3.6 Alat Bantu Penelitian...40
3.7 Instrumen Penelitian dan Skala Pengukuran...40
3.7.1 Instrumen Penelitian...40
3.7.2 Skala Pengukuran...41
3.8.1 Pengolahan Data...42
3.8.2 Analisis Data...43
3.9 Uji Validitas Dan Uji Reliabilitas...44
3.9.1 Uji Validitas...44
3.9.2 Uji Reliabilitas...45
3.10 Keterbatasan Peneliti...47
BAB IV. HASIL DAN ANALISIS DATA PENELITIAN...49
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian...49
4.1.1 Gambaran Umum/Profil Aceh Tamiang...49
4.1.2 Profil PT. Socfindo...53
4.2 Analisis Data...55
4.2.1 Karakteristik Responden...55
4.2.2 Identitas Responden Berdasarkan Umur...55
4.2.3 Identitas Responden Berdasarkan Jenis Kelamin...56
4.2.4 Identitas Responden Berdasarkan Jenjang Pendidikan...57
4.2.5 Identitas Responden Berdasarkan Jabatan kerja...58
4.2.6 Identitas Responden Berdasarkan Lama Kerja...58
4.3 Pandangan Responden...60
4.3.1 Pandangan Responden Tentang Kesempatan Kerja...60
4.3.2 Pandangan Responden Tentang Jaminan Sosial...64
4.3.3 Pandangan Responden Tentang Hak Dasar Di Tempat Kerja...67
4.3.4 Pandangan Responden Tentang Pekerjaan Yang Harus Dihapuskan...71
4.3.5 Pandangan Responden Tentang Kesempatan Dan Perlakuan Yang Sama...76
4.3.6 Pandangan Responden Tentang Jam Kerja Layak...80
4.3.7 Pandangan Responden Tentang Pendapatan/Upah Yang Mencukupi...84
4.3.8 Pandangan Responden Tentang Stabilitas Dan Jaminan Pekerjaan...87
4.3.9 Pandangan Responden Tentang Dialog Sosial...92
4.4 Pembahasan...94
4.4.1 Tingkat pekerjaan layak pada pekerja perkebunan kelapa sawit PT. Socfindo...94
4.4.2 Realitas penerapan konsep pekerjaan layak pada pekerja perkebunan kelapa sawit PT. Socfindo...97
BAB V. PENUTUP...101
5.1 Kesimpulan...101
5.2 Saran...104 DAFTAR PUSTAKA...115
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Halaman
1.1 Jumlah Perusahaan Perkebunan Besar Menurut
Jenis Tanaman Sepanjang 2010 Hingga 2015 ... 6
1.2 Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta Nasional dan Asing Menurut Kabupaten Tahun 2014 ... 7
3.1 Tingkat Keandalan Croanbach’s Alpha ... 46
3.2 Uji Reliabilitas ... 47
4.1 Jumlah Penduduk 15 Tahun Keatas Di Kabupaten Aceh Tamiang Menurut Lapangan Pekerjaan Utama ... 51
4.2 Umur Responden ... 56
4.3 Jenis Kelamin Responden ... 56
4.4 Jenjang Pendidikan ... 57
4.5 Jabatan Kerja Responden ... 58
4.6 Lama Kerja Responden ... 58
4.7 Kesempatan Kerja ... 60
4.8 Jaminan Sosial ... 65
4.9 Hak Dasar Di Tempat Kerja... 67
4.10 Pekerjaan Yang Harus Dihapuskan... 71
4.11 Kesempatan Dan Perlakuan Yang Sama ... 76
4.12 Jam Kerja Layak ... 80
4.13 Pendapatan/upah Yang Mencukupi ... 84
4.14 Stabilitas Dan Jaminan Pekerjaan ... 87
4.15 Dialog Sosial ... 92
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Negara Indonesia adalah salah satu Negara yang memiliki jumlah penduduk yang padat. Tidak jarang penduduk Indonesia sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan, bahkan jika saja sudah bekerja, belum tentu pekerjaan itu adalah pekerjaan layak. Negara Indonesia mempunyai cita-cita untuk mensejahterakan rakyatnya, hal tersebut tertuang dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yaitu Negara menjamin warga negaranya untuk mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang layak. Pasal 1 angka 31 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menentukan bahwa kesejahteraan pekerja adalah merupakan suatu pemenuhan kebutuhan dan atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun diluar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.
Selama hampir 20 tahun terakhir, Indonesia mengalami perubahan sosial dan politik luar biasa yang telah membentuk latar belakang bagi pekerjaan layak di negeri ini. Setelah krisis ekonomi yang parah pada tahun 1997-1998, negara ini mengalami transisi politik menuju sistem yang lebih demokratis yang juga diikuti oleh reformasi di bidang pasar tenaga kerja termasuk disahkannya UU No. 13 / 2003 mengenai Ketenagakerjaan, UU No. 21 / 2000 mengenai Serikat Buruh (SB) dan UU No. 2 / 2004 mengenai Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Kondisi pasar kerja di Indonesia sangat bergantung pada dinamika sosial
dan ekonomi, terutama pada masa krisis tahun 1997-1998 yang sangat menghambat perekonomian serta krisis keuangan global tahun 2008 yang juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Selama hampir sepuluh tahun terakhir telah terjadi kemajuan yang cukup baik dalam meningkatkan pendapatan perkapita dan pencapaian dalam pengentasan kemiskinan.
Berdasarkan perjanjian kerja, pekerja dikelompokan menjadi Pekerja Waktu Tertentu dan Pekerja Waktu Tidak Tertentu. Biasanya bagi mereka yang baru memulai pekerjaan menjadi Pekerja Waktu Tertentu hingga adanya pengangkatan atau menurut pertimbangan pengusaha. Pekerja Waktu Tertentu maksudnya adalah seluruh pekerja yang diikat dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Ketentuan mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Pasal 1 KEPMEN No.
100/MEN/IV/2004 menentukan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. Pada dasarnya pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan untuk melindungi pekerja buruh.
(Agusmidah, 2010)
Ditengah maraknya permasalahan yang timbul terkait dengan ketenagakerjaan, decent work muncul sebagai respon atas kondisi tersebut.
Definisi dari pekerjaan layak atau decent work secara sederhana adalah pekerjaan yang dilakukan atas kemauan atau pilihan sendiri, berupah atau memberikan penghasilan yang cukup untuk membiayai hidup secara layak, serta terjaminnya keamanan dan keselamatan fisik maupun psikologis (SPN, 2016). Berbagai
permasalahan yang menimpa buruh/pekerja saat ini, seperti yang sering kita saksikan saat terjadi demonstrasi, masih mengenai upah yang tidak layak, fasilitas kerja yang tidak layak, jaminan kerja yang minim, dan banyak lagi. Padahal kelayakan kerja sendiri sudah menjadi agenda utama ILO (International Labour Organization) yang tentunya sangat memperhatikan masalah kelayakan kerja tersebut.
Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO adalah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terus berupaya mendorong terciptanya peluang bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif secara bebas, adil, aman dan bermartabat. Tujuan utama ILO adalah mempromosikan hak-hak di tempat kerja, mendorong terciptanya peluang kerja yang layak, meningkatkan perlindungan sosial serta memperkuat dialog untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang terkait dengan dunia kerja. ILO adalah satu-satunya badan “tripartit” PBB yang mengundang perwakilan pemerintah, pengusaha dan pekerja untuk bersama-sama menyusun kebijakan- kebijakan dan program-program. Bekerjasama dengan 181 negara anggotanya, ILO berupaya memastikan bahwa standar-standar ketenagakerjaan ini dihormati baik secara prinsip maupun praktiknya (ILO, 2007). Dengan kata lain, ILO adalah organisasi ketenagakerjaan tertinggi yang menanggungjawabi penyusunan dan pengawasan standar-standar ketenagakerjaan internasional.
Isu pekerjaan layak seakan-akan telah menjadi isu utama saat berbicara mengenaiketenagakerjaan. Pekerjaan Layak (Decent Work) juga telah menjadi salah satu prioritas agenda kerja ILO. Menurut agenda ILO, agenda pekerjaan layak perlu diterapkan di berbagai negara dalam upaya penciptaan kondisi kerja
yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak, yaitu pemilik modal atau perusahaan dan buruh. Agenda kerja layak merupakan pendekatan terpadu untuk mengejar tujuan pekerjaan penuh dan produktif serta pekerjaan yang layak untuk semua pada tingkat global, regional, nasional, dan lokal. Mengenai hal ini tujuan pekerjaan penuh dan produktif memiliki pengertian pencapaian target pemenuhan barang dan jasa sebagai hasil produksi yang bermutu dan berkualitas. Sedangkan pekerjaan layak untuk semua berkaitan dengan pemenuhan hak-hak pekerja selama bekerja sesuai tujuan yang akan dicapai dalam kelayakan kerja.
Pemenuhan kelayakan kerja mencakup kesetaraan dalam memperoleh kesempatan kerja, pemberian hak-hak di tempat kerja, perlindungan sosial, pemberian upah dan dialog sosial (ILO, 2011).
Keseriusan ILO dalam memperhatikan kelayakan kerja ini juga dibuktikan dengan diadakannya beberapa konvensi yang dilakukan untuk membahas kelayakan kerja yang tentunya berkorelasi dengan kesejahteraan buruh. Konvensi- konvensi yang telah dilakukan tersebut seperti penghapusan kerja paksa (konvensi No.29 dan 105), kebebasan berserikat (konvensi No.87 dan 98), larangan terhadap diskriminasi (konvensi No.100 dan 111) dan penghapusan pekerja anak (konvensi No.138, 1999). Selain itu, ILO (International Labour Organisation) juga telah menetapkan indikator yang menunjukkan luasnya dimensi yang dicakup untuk memonitor dan mengevaluasi pencapaian pekerjaan layak pada tingkat populasi.
Namun sejauh ini permasalahan tentang pemenuhan hak akan pekerjaaan dan upah yang layak masih begitu marak terjadi di Indonesia.
Dalam kesempatan memperingati Hari Buruh Sedunia (May Day) 1 Mei lalu, misalnya, ada 10 tuntutan yang disampaikan buruh. Adapun ke-10 tuntutan
itu dapat dikelompokkan pada soal upah, jaminan sosial, dan kesejahteraan anak dan keluarganya. Secara keseluruhan, ke-10 tuntutan itu merepresentasikan tuntutan buruh yang mendambakan hidup sejahtera dan bermartabat (Republika, 2017). Perbedaan kepentingan antara buruh dan pemberi kerja (perusahaan) membuat posisi buruh semakin sulit. Motif utama pada pihak buruh bekerja di sektor industri adalah untuk mendapatkan upah sebagai pertukaran atas tenaga kerja yang telah ia keluarkan untuk berproduksi. Upah yang diharapkan tidak hanya sekedar untuk memulihkan tenaganya agar dapat bekerja kembali keesokan harinya, namun juga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya secara layak. Tujuan buruh tersebut tentunya berbeda dengan pengusaha, yang tujuannya adalah untuk memperoleh laba yang sebesar-besarnya.
Sebenarnya pemerintah telah melakukan beberapa hal untuk menguatkan penerapan agenda kerja layak (decent work) di Indonesia sesuai dengan tujuan- tujuan dari ILO. Beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung penerapan kelayakan kerja di Indonesia dengan menghasilkan tiga undang-undang yang membatalkan banyak aspek represif peraturan ketenagakerjaan di masa Orde Baru. Undang-undang tersebut seperti Undang-undang No.21 tahun 2000 tentang serikat pekerja, undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, dan undang-undang No.2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Indonesia juga sudah meratifikasi Konvensi Inti ILO pada Juni 1999 dan Indonesia merupakan negara pertama di Asia yang meratifikasi ketujuh Konvensi ILO (Kusyuniati, 2010). Karena pada dasarnya tujuan akhir dari agenda kerja layak itu adalah kesejahteraan bagi buruh, maka seharusnya agenda kerja layak yang didukung oleh undang-undang mampu menciptakan kelayakan kerja
bagi para buruh tersebut. Namun kenyataannya hal tersebut belum sepenuhnya terwujud, masih terjadi beberapa pelanggaran yang dilakukan perusahaan yang merenggut hak-hak buruh yang akhirnya mendorong mereka berunjuk rasa dengan melakukan aksi untuk menuntut keinginan dan haknya. Setiap melakukan aksi, mereka membawa tuntutan-tuntutan yang pada intinya bermuara pada pemenuhan hak-hak dan peningkatan kesejahteraan hidup mereka.
Industri kelapa sawit merupakan industri yang bergerak dibidang perkebunan kelapa sawit yang mana jumlah perusahaannya adalah yang paling banyak di Indonesia. Berikut adalah jumlah perusahaan Perkebunan Besar menurut jenis tanaman sepanjang 2010 hingga 2015 :
Tabel 1. 1 Jumlah perusahaan Perkebunan Besar menurut jenis tanaman sepanjang 2010 hingga 2015
Jenis Tanaman 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Tanaman Tahunan
Karet 379 383 332 315 315 316
Kelapa 137 125 111 107 107 107
Kelapa sawit 1176 1217 1510 1601 1601 1600
Kopi 119 122 97 89 89 91
Kakao 118 116 87 86 86 85
Teh 125 132 114 96 96 98
Cengkeh 54 54 55 52 52 52
Kapuk 19 19 1 1 1 1
Kina 14 13 2 2 2 2
Tanaman Semusim
Tebu 78 78 99 97 97 98
Tembakau 11 11 7 6 6 8
Sumber : Diolah dari Hasil Survei Perusahaan Perkebunan, BPS 2017.
Hingga tahun 2015, jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit mencapai 1600 dan yang terbanyak di Indonesia. Adapun perbandingan luas areal perkebunan kelapa sawit menurut status pengusahaan di Indonesia dikuasai oleh
Perkebunan Besar Swasta (PBS) sebanyak 52%, Perkebunan Besar Negara (PBN) sebesar 7%, dan Perkebunan Rakyat (PR) sebesar 41% (DIRJENBUN, 2015).
Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi dengan jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit terbanyak di Indonesia yaitu sebanyak 328 perusahaan.
Sebanyak 87 perusahaan sawit tersebut berada di Provinsi Aceh. Dari angka itu, 9 diantaranya adalah perusahaan milik negara sedangkan selebihnya berstatus milik swasta. Dari 13 kabupaten/kota yang memiliki perusahaan kelapa sawit, Aceh Tamiang adalah kabupaten terbanyak beroperasinya perusahaan kelapa sawit, kemudian disusul Aceh Timur, Subulussalam, dan Aceh Utara (Aceh Terkini, 2016).
Tabel 1. 2 Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta Nasional dan Asing Menurut Kabupaten Tahun 2014
No KABUPATEN
Luas Areal/Area
(Ha)
Produksi (Ton)
Produktivitas (Kg/Ha)
JumlahTenaga Kerja (TK)
1 Kab. Aceh Selatan 190 369 3.355 95
2 Kab. Aceh Timur 25.957 89.105 4.035 12.979
3 Kab. Aceh Barat 8.569 33.425 4.178 4.285
4 Kab. Pidie - - - -
5 Kab. Pidie Jaya 101 126 1.248 51
6 Kab. Aceh Tengah 56 2 2.000 28
7 Kab. Aceh Utara 5.951 6.314 3.686 2.976
8 Kab. Aceh Singkil 37.386 95.374 3.246 18.694
9 Kab. Bireun 2.768 4.137 4.187 1.384
10 Kab. Aceh Tamiang 32.139 111.739 4.012 16.070
11 Kab. Aceh Jaya 2.945 3.418 3.979 1.473
12 Kab. Nagan Raya 40.148 136.429 3.942 20.074
13 Kab. Aceh Barat Daya 4.578 11.417 4.683 2.289
14 Kota Subulussalam 7.988 12.471 3.553 3.994
Sumber : Diolah dari Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa Sawit, Direktorat Jenderal Perkebunan 2015
Tabel diatas merupakan tabel luas areal dan produksi kelapa sawit perkebunan besar swasta yang ada di Provinsi Aceh. Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa Aceh Tamiang memiliki luar areal terbesar ketiga setelah Nagan Raya dan Aceh Singkil. Jumlah tenaga kerja yang bekerja di perkebunan kelapa sawit swasta di Aceh Tamiang juga yang tertinggi ketiga sebesar 16.070 pekerja, setelah Nagan Raya yang lebih tinggi dengan 20.074 pekerja, dan Aceh Singkil sebanyak 18.694 pekerja.
Aceh Tamiang terdiri dari 12 kecamatan yakni Kecamatan Banda Mulia, Bandar Pusaka, Bendahara, Karang Baru, Kejuruan Muda, Kota Kuala Simpang, Manyak Payed, Rantau, Sekrak, Seruway, Tamiang Hulu, Tenggulun, yang secara keseluruhan mempunyai luas 1.957,02 Km2 atau 195,702 Hektar (BPS Aceh Tamiang, 2013). Dari luas wilayah Kabupaten Aceh Tamiang 1.957,02 Km2, 80%
diantaranya dikuasai pemilik Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan, khususnya perusahaan kelapa sawit (Serambi Indonesia, 2016).
Industri kelapa sawit termasuk industri yang penting bagi Indonesia. Saat ini kelapa sawit merupakan komoditas utama ekspor Indonesia dan menyumbang besar dalam pendapatan nasional. Sejak 2006, Indonesia telah menjadi produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di seluruh dunia, mengalahkan Malaysia.
Pada 2014, minyak kelapa sawit berkontribusi sebesar US$ 17,5 miliar atau sekitar 10% dari total ekspor. Bahkan pada periode Januari-September 2015, ekspor kelapa sawit Indonesia telah berada pada posisi pertama sebagai penyumbang devisa terbesar yaitu sebesar US$ 11,60 miliar diatas ekspor batubara yang sebesar US$ 11,35 miliar (BPS, 2015). Industri ini juga merupakan industri yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang sangat besar.
Data Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit terus meningkat. Pada tahun 2010, perusahaan kelapa sawit mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 3,4 juta tenaga kerja. Angkanya meningkat sebanyak 60,8% pada tahun 2014 menjadi 5,4 juta tenaga kerja, dan belum termasuk tenaga kerja bagian pengangkutan, laboratorium, pengolahan, administrasi kebun dan panen. Penyerapan tenaga kerja pada industri kelapa sawit memang jauh lebih besar dibandingkan industri minyak dan gas bumi.
Salah satu perusahaan swasta dengan komoditas kelapa sawit di Aceh Tamiang adalah PT. Socfindo (Socfin Indonesia). PT. Socfindo merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit dan karet dan sudah berdiri lebih dari 100 tahun. Adrien Hallet sebagai pendiri Socfin telah memulai perkebunan komersil karet di Indonesia sejak 1909 dan perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1911 di Sei Liput & Medang Ara yang terletak di Aceh Tamiang, Deli Muda dan Tanah Itam Ulu di Sumatera Utara.
Kini, setelah lebih dari 100 tahun perjalanannya, PT. Socfindo telah mengelola sekitar 48 ribu hektar areal perkebunan yang terdiri dari kelapa sawit dan karet.
Terdapat 9 perkebunan kelapa sawit yang tersebar di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, dan 5 perkebunan karet yang tersebar di Sumatera Utara.
Dalam tiap industri atau perusahaan, pasti memiliki dinamika didalamnya.
Namun, masalah perburuhan di satu sisi memang selalu melekat pada konteks industri di perkotaan. Kasus-kasus pelanggaran hak buruh maupun pemogokan buruh yang mencuat lewat media kebanyakan terjadi di perkotaan. Menjadi menarik jika konteksnya berubah menjadi kawasan industri padat karya di kota
kecil. Dari investigasi POSPERA (posko perjuangan rakyat aceh), diketahui bahwa selama ini masih ada perusahaan perkebunan sawit di Aceh yang masih mempekerjakan buruh tanpa dokumentasi perikatan kerja antara karyawan dengan perkebunan. Perusahaan perkebunan sawit menggunakan strategi untuk menghindari tanggung jawab misalnya menggunakan cara borongan atau buruh harian lepas (BHL) dan buruh kontrak tanpa jaminan tertulis/mekanisme formal dalam rangka peningkatan status, sehingga upah murah berbasis target kerja.
Kondisi seperti ini tentu saja mengaburkan pertanggungjawaban perusahaan dengan karyawan, sehingga dalam hal perlindungan kesehatan, upah, kesejahteraan, dan hak hak normatif lainnya terabaikan (Lintas Atjeh, 2017).
Di Aceh Tamiang sendiri, beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit tak terlepas dari permasalahan yang terjadi antara pihak perusahaan dan buruh, yang artinya relasi antara pihak perusahaan dan buruh tidak harmonis. Perusahaan perkebunan kelapa sawit negara (PTPN) yang ada di Aceh Tamiang pernah didemo oleh para buruh dan masyarakat sekitar. Para pendemo yang sebagian jadi buruh harian lepas juga menuntut PTPN 1 Aceh untuk memberikan kebebasan beribadah bagi karyawan yang beragama Islam, karena menurut pengakuan beberapa karyawan, karyawan muslim pria tidak diperbolehkan menghentikan pekerjaan untuk sholat jumat . Dalam petisi itu juga, para pendemo memberikan hak-hak normatif kepada buruh bongkar muat diantaranya penyesuaian upah bongkar muat buah yang masuk, baik yang berasal dari kebun maupun dari luar perusahaan, memberikan jaminan kesehatan kerja, menghilangkan atau jangan ada diskriminasi harga bagi supplier atau pihak ke tiga. Berikutnya, para buruh meminta pihak PTPN 1 Aceh untuk mengalokasikan dana CSR perusahaan
kepada masyarakat sekitar lingkungan perusahaan, sesuai dengan Undang-undang sebagai tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan sekitar (Status Aceh, 2015).
Tak hanya buruh dari perusahaan perkebunan kelapa sawit negara, aksi mogok kerja dan demonstrasi juga dilakukan oleh para buruh dari perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta, PT. MPLI (Mestika Prima Lestari Indah) Aceh Tamiang pada September 2016 lalu. Pada tanggal 19 September 2016 lalu, ratusan karyawan perusahaan perkebunan PT Mustika Prima Lestari Indah (MPLI) melakukan aksi mogok kerja dengan cara menduduki kantor pusat perusahaan tersebut di Desa Kaloy, Kecamatan Tamiang Hulu, Aceh Tamiang. Dalam aksinya, para buruh perkebunan yang didampingi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan (SP3) dan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) tersebut, berkumpul di area kantor sambil membawa sejumlah poster tuntutan. Adapun tuntutan mereka di antaranya, terkait mutasi dan masalah gaji yang belum sesuai dengan peraturan gubernur Nomor 60/2015 tentang Upah Minimum Provinsi (UMP) (Harian Analisa, 2016). Setelah melakukan aksi mogok kerja, seminggu kemudian para buruh tersebut melakukan aksi demo ke DPRK Aceh Tamiang.
Aksi tersebut salah satunya menuntut tidak melakukan pemutasian sebagai bentuk intimidasi terhadap pengurus dan anggota pengurus unit pekerja Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan Serikat Pakerja Seluruh Indonesi (PUK SPPP- SPSI) dalam menjalankan kegiatan serikat pekerja di dalam perusahan sesuai UU 21 tahun 2000 (Serambi Indonesia, 2016).
Terjadinya aksi yang dilakukan oleh para buruh mengindikasikan bahwa pihak perusahaan tidak memenuhi kewajiban mereka untuk memfasilitasi pekerja
dengan sebaik-baiknya dan menggenapi hak-hak para buruh tersebut dengan layak. Mengetahui beberapa data permasalahan tersebut di atas, timbul pertanyaan apakah hal serupa juga dialami oleh pekerja di PT. Socfindo kebun Sei Liput.
Karna setelah cukup lama berdiri, hubungan antar perusahaan dan pekerja terlihat tidak pernah memanas. Hal ini terlihat dari tidak adanya aksi-aksi protes yang dilakukan para buruh PT. Socfindo kepada perusahaan.
Berdasarkan beberapa hal di atas dan mengetahui beberapa fakta yang terjadi di lapangan, patut dipertanyakan komitmen dari perusahaan (industri) dalam menerapkan standar kerja layak sesuai tujuan dari ILO. Timbul sejumlah pertanyaan yang perlu ditelusuri yakni tentang bagaimana realitas penerapan agenda pekerjaan layak dan bagaimana ukuran pekerjaan layak di perusahaan tersebut. Apakah sudah sesuai dengan agenda kerja layak yang ditentukan oleh ILO? Pertanyaan pertanyaan inilah yang dibahas dalam penelitian ini yang mengangkat topik tentang pekerjaan yang layak (decent work) pada pekerja perkebunan kelapa sawit, yang dalam hal ini mengambil pekerja dari PT.
Socfindo (Socfin Indonesia) Sei Liput.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang yang telah dijabarkan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan pekerjan layak pada pekerja perkebunan, yang mana indikator dari pekerjaan layak tersebut telah ditetapkan oleh ILO (International Labour Organisation). Seperti yang kita ketahui, sektor perkebunan di Indoneia merupakan sektor penyumbang devisa terbesar bagi negara, namun perlindungan terhadap keselamatan dan kesehataan pekerjanya masih rendah. Padahal perlindungan jaminan sosial adalah salah satu
indikator dari pekerjaan layak menurut ILO. Beranjak dari kondisi tersebut, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah:
1. Mengukur tingkat pekerjaan layak pada pekerja perkebunan kelapa sawit PT. Socfindo Indonesia Sei Liput, Kec. Kejuruan Muda, Aceh Tamiang, Provinsi Aceh.
2. Bagaimana realitas penerapan konsep pekerjaan layak pada pekerja perkebunan kelapa sawit PT. Socfindo Indonesia Sei Liput, Kec. Kejuruan Muda, Aceh Tamiang, Provinsi Aceh?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan hasil perumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui tingkat pekerjaan layak pada pekerja perkebunan kelapa sawit PT. Socfindo Indonesia Sei Liput, Kec. Kejuruan Muda, Aceh Tamiang, Provinsi Aceh.
2. Mengetahui realitas penerapan konsep pekerjaan layak pada pekerja perkebunan kelapa sawit PT. Socfindo Indonesia Sei Liput, Kec. Kejuruan Muda, Aceh Tamiang, Provinsi Aceh.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis
Adapun yang menjadi manfaat teoritis dari penelitian ini adalah :
a. Sebagai sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan khususnya sosiologi industri dan perburuhan, dan dapat dijadikan
sebagai tambahan referensi dan kepustakaan, baik bagi peneliti maupun mahasiswa lain.
b. Sebagai bahan pembanding bagi penulis atau peneliti lain untuk meneliti tentang pekerjaan layak pada pekerja perkebunan pada masa yang akan datang.
1.4.2 Manfaat Praktis
Adapun yang menjadi manfaat praktis dari penelitian ini adalah :
a. Sebagai bahan masukan dan pembelajaran bagi masyarakat mengenai pekerjaan layak.
b. Sebagai tambahan informasi bagi pemerintah untuk dipertimbangkan dalam mengambil kebijakan terkait dengan kebijakan bagi para pekerja.
c. Sebagai bahan bacaan dan referensi bagi mahasiswa lain mengenai pekerjaan layak pada pekerja perkebunan.
1.5 Defenisi Konsep
Dalam sebuah penelitian ilmiah, terdapat konsep yang digunakan sebagai acuan untuk mengerjakan penelitian tersebut. Jadi, defenisi konsep sangatlah diperlukan untuk mempermudah dan memfokuskan penelitian agar tidak terjadi kesalahan dalam penafsiran yang dapat mengaburkan penelitian. Adapun defenisi konsep dalam penelitian ini adalah :
1. Pekerjaan Layak
Pekerjaan Layak adalah pekerjaan yang dilakukan atas kemauan atau pilihan sendiri, tanpa paksaan atau tekanan, memberikan upah atau memberikan penghasilan yang cukup untuk membiayai dan mencukupi hidup secara layak, serta terjaminnya kesejahteraan, keamanan, dan keselamatan fisik maupun psikologis para pekerja.
2. Pekerja Perkebunan
Pekerja Perkebunan adalah setiap orang yang bekerja dibawah perintah pihak lain (pengusaha/majikan) dan menerima upah atau memperoleh penghasilan sebagai balas jasa atas pelaksanaan pekerjaan tersebut, yang bekerja di sektor perkebunan.
1.6 Operasionalisasi Variabel
Operasionalisasi variabel adalah suatu batasan yang diberikan kepada suatu variabel dengan cara memberikan arti atau mempersepsikan kegiatan ataupun memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel tersebut. Operasional variabel juga dimaksudkan untuk mencegah salah tafsir dan perluasan permasalahan dari serangkaian proses penelitian. Cara mengukur variabel tersebut adalah dengan menurunkannya menjadi indikator-indikator yang terukur. Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah variabel pekerjaan layak yang memiliki beberapa indikator. Hasil konvensi ILO yang telah diratifikasi melahirkan indikator-indikator sebagai acuan untuk memenuhi kelayakan kerja.
Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat pekerjaan layak (decent work) pekerja perkebunan kelapa sawit PT. Socfindo dalam penelitian ini antara lain :
kesempatan kerja, jaminan sosial, hak dasar di tempat kerja, pekerjaan yang harus dihapuskan, kesempatan dan perlakuan yang sama dalam pekerjaan (nondiskriminasi), jam kerja layak, pendapatan/upah yang mencukupi, stabilitas dan jaminan pekerjaan, dan dialog sosial (ILO, 2011).
1.7 Bagan Operasional Variabel Variabel Penelitian
1. Kesempatan Kerja 2. Jaminan Sosial
3. Hak dasar di tempat kerja 4. Pekerjaan yang harus
dihapuskan
5. Kesempatan dan perlakuan yang sama dalam
pekerjaan 6. Jam kerja layak 7. Pendapatan/upah yang
mencukupi
8. Stabilitas dan Jaminan Pekerjaan
9. Dialog sosial
Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit
Lama kerja
Jabatan/Struktur kerja
Jenjang Pendidikan Pekerjaan Layak
(Konsep ILO)
1.8 Defenisi Operasional Variabel
Menurut Sofian Efendi (dalam Singarimbun, 2008:46) bahwa unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel disebut sebagai definisi operasional. Dengan kata lain, defenisi operasional adalah petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. berdasarkan definisi diatas, maka operasional variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Pekerjaan layak menurut ILO (dalam Anker, 2001) menjelaskan pengertian umum dari kerja layak adalah kesempatan bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kondisi kerja yang layak dan produktif dalam kondisi bebas, setara, aman, dan bermartabat. Dalam konsep mengenai kerja layak, definisi ditambahkan oleh ILO bahwa pekerjaan yang layak melibatkan peluang untuk pekerjaan yang produktif dan memberikan pendapatan yang adil; menyediakan keamanan ditempat kerja dan perlindungan sosial bagi pekerja dan keluarganya; menawarkan prospek yang lebih baik untuk pengembangan pribadi dan mendorong integrasi sosial; memberikan orang kebebasan untuk mengekspresikan keprihatinan mereka untuk mengatur dan untuk berpartisipasi dalam keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka, dan menjamin persamaan kesempatan dan perlakuan yang sama bagi semua (Widarti, 2006). Pekerjaan layak dalam penelitian ini memiliki beberapa indikator dengan definisi sebagai berikut:
1. Kesempatan kerja
Kesempatan kerja mengacu kepada bagaimana perusahaan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk masuk ke dalam perusahannya.
Kesempatan kerja ini juga menyangkut bagaimana proses perekrutan, pembagian kerja, serta kualifikasi yang dibutuhkan. Elemen-elemen yang tercakup adalah kondisi kerja yang juga meliputi proses rekrutmen, pembagian kerja, kualifikasi yang dibutuhkan, keselamatan kerja, serta pemberian tempat kerja yang memadai (Widarti, 2007).
2. Jaminan Sosial
Jaminan sosial adalah hak asasi manusia, pada tahun 1952, ILO telah menetapkan standar perlindungan sosial minimum (Konvensi ILO No.102/1952) yang mencakup sembilan cabang jaminan sosial. Indonesia sendiri belum meratifikasi konvensi No.102 tersebut. Namun demikian, Indonesia telah mengesahkan undang-undang sistem jaminan sosial Nasional No.40/2004. Khusus untuk jaminan sosial tenaga kerja baru akan berlaku tahun 2015. Sehingga dalam hal ini, pedoman jaminan sosial tenaga kerja masih berpedoman pada undang-undang jaminan sosial tenaga kerja Nomor 3 tahun 2002. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 ini, ruang lingkup jaminan sosial tenaga kerja meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pemeliharaan kesehatan.
3. Hak dasar di tempat kerja
Hak di tempat kerja dipastikan bahwa kontribusi yang telah diberikan perusahaan atau pengusaha kepada para pekerja terkait dengan hak yang pantas diberikan sebagai timbal balik atas kewajiban yang telah dilakukan oleh para pekerja seperti mendapatkan kepastian martabat, kesetaraan
perlakuan, kebebasan, representasi dan partisipasi, dan menyuarakan pendapat.
4. Pekerjaan yang harus dihapuskan
Bentuk-bentuk pekerjaan yang harus dihapuskan ini termasuk pekerja paksa dan pekerja anak. Hal ini seperti yang ditetapkan dalam konvensi pekerja paksa tahun 1930 (No.29), konvensi penghapusan pekerja paksa tahun 1957 (N0.105), konvensi usia minimal tahun 1973 (No.138) dan konvensi bentuk-bentuk terburuk dari pekerja anak tahun 1999 (No.182).
Keempat konvensi ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
Penghapusan kerja paksa melarang segala bentuk kerja paksa untuk tujuan tertentu, termasuk kekerasan. Usia penerimaan kerja secara umum adalah 15 tahun, sehingga anak yang bekerja pada usia 15-18 tahun dianggap legal selama pekerjaannya tidak berbahaya.
5. Kesempatan dan perlakuan yang sama dalam pekerjaan
Kesempatan dan perlakuan yang sama dalam pekerjaan ini tentunya berhubungan dengan diskriminasi. Diskriminasi di tempat kerja berhubungan dengan perlakuan yang tidak sama bagi individu atas hak mereka di dalam pekerjaan. Konvensi ILO NO.111 Tahun 1958 mengenai diskriminasi (pekerjaan) mengindentifikasi tindak diskriminasi dengan adanya perlakuan pembedaan, pemilihan yang didasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin, aspirasi, yang dapat berdampak pada ketidaksetaraan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan (Pasal 1a).
6. Jam Kerja Layak
Jam kerja menjadi bagian penting dari kerja layak. Jam kerja yang berlebihan seringkali menjadi tanda adanya upah per jam yang tidak memadai dan merupakan ancaman terhadap kemampuan fisik dan mental pada jangka panjang. Jam kerja berlebih dalam konteks Indonesia didefinisikan berdasarkan ambang batas 48 jam per minggu seperti dinyatakan pada Konvensi ILO No.1 dan No.30. Tetapi dalam Undang- Undang Ketenagakerjaan di Indonesia No.13 Tahun 2003 Pasal 77 (2) menyatakan bahwa 40 jam (7 jam perhari/6 hari seminggu atau 8 jam perhari/5 hari seminggu) sebagai jam kerja maksimum per minggu.
Sehingga dalam penelitian ini akan digunakan 40 jam sebagai jam kerja maksimum per minggu.
7. Pendapatan/upah yang mencukupi
Pendapatan yang mencukupi adalah hal yang penting dalam memastikan kesejahteraan para pekerja dan merupakan komponen penting dalam pekerjaan layak. Hal ini diukur dalam hal dan jumlah sebenarnya agar dapat memastikan bahwa pekerja atau buruh pendapatan yang memadai dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Perusahaan tidak boleh memberikan upah dibawah upah minimum yang telah diatur oleh undang- undang. Walaupun Indonesia belum meratifikasi konvensi upah minimum ILO (konvensi No.131 tahun 1970), tetapi telah mengatur terkait pengupahan pada Undang-Undang No.13 Tahun 2003.
8. Stabilitas dan Jaminan Pekerjaan
Stabilitas dan jaminan pekerjaan ini berkaitan dengan jaminan masa depan buruh pada perusahaan atau pabrik. Hal ini tentunya terkait dengan pengaturan dan perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja.
Peraturan menteri tenaga kerja mengeluarkan peraturan larangan PHK terhadap buruh perempuan yang menikah, hamil, dan melahirkan.
Pengusaha atau perusahaan dilarang melakukan PHK karena ketiga hal diatas dan wajib mempekerjakan kembali perempuan tersebut pada tempat dan jabatan yang sama tanpa mengurangi hak-haknya.
9. Dialog Sosial
Dialog sosial adalah salah satu pilar agenda pekerjaan layak. Dialog sosial dapat mencakup segala bentuk negosiasi, konsultasi, dan pertukaran informasi antara perwakilan pemerintah, pengusaha dan pekerja pada isu- isu yang melibatkan kepentingan bersama. Komponen dialog sosial ini mencerminkan kondisi dimana para pekerja dapat menerapkan haknya untuk mengajukan pendapat, membela kepentingan dan terlibat di dalam diskusi untuk menegosiasikan sejumlah hal terkait pekerjaan dengan pemberi kerja dan pemangku kebijakan (Ghai, 2003).
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1. Teori Pertukaran Sosial George C Hommans
George Ritzer menjelaskan gagasan George C Homans tentang teori pertukaran sebagai berikut :
Homans memandang perilaku sosial sebagai pertukaran aktivitas, ternilai ataupun tidak dan kurang lebih menguntungkan atau mahal bagi dua orang yang saling berinteraksi.
Teori pertukaran ini berusaha menjelaskan perilaku sosial dasar berdasarkan imbalan dan biaya. Homans mengakui bahwa sosiologi ilmiah memerlukan kategori dan skema konseptual namun sosiologi ilmiah pun memerlukan serangkaian proposisi tentang hubungan antar kategori, tanpa proposisi-proposisi tersebut penjelasan mustahil akan dilakukan karena tidak ada penjelasan tanpa proposisi. Homans tidak menyangkal pandangan Durkheimian bahwa sesuatu yang baru dapat muncul dari interaksi. Namun, ia berargumen bahwa hal - hal yang baru muncul tersebut dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip psikologi. Dalam karya teoritisnya, Homans membatasi dirinya pada interaksi sosial sehari- hari. Namun, ia juga sangat percaya bahwa sosiologi yang terbangun dari prinsip - prinsip ini pada akhirnya akan mampu menjelaskan semua perilaku sosial.
Berdasarkan pada temuan- temuan B.F Skinner, Homans lalu mengembangkan beberapa proposisi yang merupakan inti dari teori pertukaran sosial. Proposisi - proposisi tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Proposisi Sukses
Jika seseorang sering melakukan suatu tindakan dan orang tersebut mendapatkan imbalan dari apa yang ia lakukan, maka makin besar kecenderungan ia akan melakukannya pada waktu yang akan datang.
Secara umum perilaku yang selaras dengan proposisi sukses meliputi tiga tahap yaitu tindakan seseorang, hasil yang diberikan dan pengulangan tindakan asli atau minimal tindakan yang dalam beberapa hal menyerupai tindakan asli. Homans mencatat bahwa ada beberapa hal khusus terkait dengan proposisi sukses :
Pertama, meskipun secara umum benar bahwa imbalan yang semakin sering dilakukan mendorong peningkatan frekuensi tindakan. Situasi timbal balik ini mungkin berlangsung tanpa batas. Dalam beberapa hal individu sama sekali tidak dapat terlalu sering berbuat seperti itu.
Kedua semakin pendek interval antara perilaku dan imbalan, semakin besar kecenderungan seseorang melakukan perilaku tersebut. Sebaliknya semakin panjang interval antara perilaku dan imbalan memperkecil kecenderungan melakukan perilaku tersebut. Intinya adalah imbalan tidak teratur yang diberikan kepada seseorang menyebabkan berulangnya perilaku, sedangkan imbalan yang teratur justru membuat masyarakat
menjadi bosan dan muak melakukan hal yang sama pada waktu yang akan datang.
b. Proposisi Stimulus
Jika pada masa lalu terjadi stimulus tertentu, atau serangkaian stimulus adalah situasi dimana tindakan seseorang diberikan imbalan, maka semakin mirip stimulus saat ini dengan stimulus masa lalu tersebut semakin besar kecenderungan orang tersebut mengulangi tindakan yang sama atau yang serupa.
Homans tertarik pada proses Generalisasi yaitu kecenderungan untuk memperbanyak perilaku pada situasi serupa. Namun, beliau juga berpendapatbahwa proses diskriminasi juga penting. Seorang aktor menjadi terlalu sensitif terhadap rangsangan khususnya jika rangsangan itu sangat bernilai baginya. Sebaliknya aktor akan dapat merespon rangsangan yang tidak relevan, paling tidak sampai situasinya dibenahi oleh kegagalan yang berulang. Semua itu dipengaruhi oleh kewaspadaan individu atau perhatian mereka terhadap rangsangan.
c. Proposisi Nilai
Semakin bernilai hasil tindakan bagi seseorang, semakin cenderung ia melakukan tindakan serupa.
Dalam proposisi ini Homans memperkenalkan konsep imbalan dan hukuman. Imbalan adalah tindakan yang bernilai positif. Meningkatnya imbalan lebih cenderung melahirkan perilaku yang diinginkan. Hukuman adalah tindakan yang bernilai negatif. Meningkatnya hukuman berarti bahwa aktor kurang cenderung menampilkan perilaku-perilaku yang tidak
diinginkan. Homans menganggap bahwa hukuman sebagai cara yang tidak memadai untuk menggiring orang mengubah perilaku mereka.
d. Proposisi Deprivasi-Kejemuan
Makin sering seseorang menerima hadiah khusus di masa lalu yang dekat, makin kurang bernilai baginya setiap unit hadiah berikutnya.
Dalam hal ini Homans mendefinisikan dua konsep kritislain yaitu Biayadan Keuntungan. Biaya tiap perilaku didefinisikan sebagai imbalan yang hilang karena tak jadi melakukan sederetan tindakan yang direncanakan.Keuntungan dalam pertukaran sosial dipandang sebagai jumlah imbalan yang lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan.
Keuntungan menggiring Homans menyusun kembali proposisi kelebihan–
kekurangan menjadi “semakin besar keutungan yang diterima sebagai hasil dari tindakannya, semakin cbesar kemungkinan seseorang melaksanakan tindakan tersebut”.
e. Proposisi Persetujuan-Agresi
Proposisi A : Ketika tindakan seseorang tidak mendapatkan imbalan yang diharapkan, atau menerima hukuman yang tidak ia harapkan, ia akan marah, ia cenderung berperilaku agresif dan akibat dari perilaku tersebut menjadi lebih bernilai untuknya.
Proposisi B : Ketika tindakan seseorang menerima imbalan yang diharapkannya, khususnya imblan yang lebih besar dari yang diharapkannya, atau tidak mendapatkan hukuman yang diharapkannya ia akan senang. Ia lebih cenderung berperilaku menyenangkan dan hasil dari tindakan ini lebih bernilai baginya.
Kita akan terkejut ketika menemukan konsep frustasi dan amarah dalam karya Homans karena dua konsep tersebut tampaknya merujuk pada kondisi mental. Sebaliknya Homans mengakui bahwa ketika seseorang tidak mendapatkan apa yang ia harapkan, ia dikatakan sebagai frustasi dari harapan-harapan tersebut tidak harus “hanya” merujuk pada kondisi internal, namun bisa merujuk pada “peristiwa-peristiwa yang sepenuhnya eksternal” yang tidak hanya dapat diamati oleh individu tersebut namun juga oleh orang luar.
f. Proposisi Rasionalitas
Ketika seseorang memilih tindakan alternative, seseorang akan memilih tindakan sebagaimana yang dipersepsikannya kala itu jika nilai hasilnya dikalikan dengan probabilitas keberhasilan, maka hasilnya adalah lebih besar.
Jika proposisi sebelumnya banyak bersandar dari behaviorisme (perilaku sosial) proposisi rasionalitas secara gamblang menunjukkan pengaruh teori pilihan rasional pendekatan Homans. Proposisi rasionalitas Homans ini sangat jelas dipengaruhi oleh teori pilihan rasional. Menurut istilah ekonomi, aktor yang bertindak sesuai dengan proposisi rasionalitas adalah aktor yang memaksimalkan kegunaannya.Manusia sebagai aktor akan membanding-bandingkan jumlah hadiah dari hasil tindakan yang akan mereka lakukan. Mereka pun akan memperhitungkan kemungkinan hadiah yang benar-benar akan mereka terima.
Mereka membandingkan jumlah imbalan yang diasosiasikan dengan setiap tindakan. Mereka pun mengkalkulasikan kecenderungan bahwa
mereka benar-benar akan menerima imbalan. Imbalan yang bernilai tinggi akan hilang nilainya jika aktor menganggap bahwa itu semua cenderung tidak akan mereka peroleh. Sebaliknya, imbalan yang bernilai rendah akan mengalami pertambahan nilai jika semua itu dipandang sangat mungkin diperoleh. Jadi terjadi interaksi antara nilai imbalan dengan kecenderungan diperolehnya imbalan. Imbalan yang paling diinginkan adalah imbalan yang sangat bernilai dan sangat mungkin tercapai. Imbalan yang paling tidak diinginkan adalah imbalan yang paling tidak bernilai dan cenderung tidak mungkin diperoleh.
Teori Homans mengenai pertukaran sosial ini berangkat dari asumsi ekonomi dasar (pilihan rasional), yaitu individu memberi apa dan mendapatkan apa, apakah menguntungkan atau tidak (Ritzer, 2010:458). Setelah beberapa proposisi diatas, lalu Homans mencoba menghubungkan pertukaran sosial ini dengan kekuasaan. Karena orang yang memiliki kekuasaan biasanya memiliki lebih sedikit kepentingan daripada orang yang dikuasai, maka orang berkuasa tersebut dapat menentukan apa yang diinginkannya terhadap orang yang dikuasai tadi. Homans menyebut kondisi ini dengan principle of least interest. Misalnya saja, bila seorang perempuan biasa menikah dengan anak presiden, maka disini sang anak presidenlah yang berkuasa. Karena perempuan biasa tadi lebih mempunyai banyak kepentingan daripada si anak presiden, seperti menaikkan status sosial, kehormatan, mensejahterakan ekonomi keluarga dan lainnya.
sedangkan sang anak presiden hanya membutuhkan kasih sayang dan rasa bahagia dari perempuan tadi.
Dari contoh tersebut, dapat dikaitkan dengan masalah yang akan dikaji oleh peneliti, yaitu kasus yang terkait pekerja dengan perusahaan. Pekerja disini sebagai pihak yang memiliki lebih banyak kepentingan dibandingkan perusahaan.
Maka dengan menggunakan proposisi rasionalitas, peneliti akan mengkaji dan mengukur pekerjaan layak pada pekerja perkebunan PT. Socfindo Sei Liput dengan melihat apakah apa yang diberikan pekerja pada perusahaan, mendapatkan imbalan yang sesuai dan layak dari pihak perusahaan tersebut.
2.2. Pengertian Pekerjaan Layak
Pekerjaan layak (decent work) merupakan pilar utama perusahaan dan pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan, khususnya bagi para pekerja atau buruh. Tujuan yang ingin dicapai dengan adanya konsep kerja layak (decent work) ini adalah untuk menciptakan kesempatan kerja dan pengembangan usaha, perlindungan sosial, hak-hak di tempat kerja, dan dialog sosial (Prajuliyanto, 2016). Sasaran utama dari ILO mengenai konsep kerja layak (decent work) ini adalah meningkatkan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh pekerjaan layak dan produktif, dalam kondisi bebas, setara, aman dan mempunyai harga diri (Ghai, 2003).
Konsep kerja layak (decent work) sendiri di Indonesia sebenarnya sudah tertuang dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Bab X Pasal 27 ayat 2 yangberbunyi “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak secara manusiawi”. Artinya, pekerjaan layak merupakan salah satu komponen yang berperan penting dalam peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat Indonesia, terutama para pekerja.
ILO dalam (Anker, 2001) menjelaskan pengertian umum dari kerja layak adalah kesempatan bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kondisi kerja yang layak dan produktif dalam kondisi bebas, setara, aman, dan bermartabat. Dalam konsep mengenai kerja layak, definisi ditambahkan oleh ILO bahwa pekerjaan yang layak melibatkan peluang untuk pekerjaan yang produktif dan memberikan pendapatan yang adil; menyediakan keamanan ditempat kerja dan perlindungan sosial bagi pekerja dan keluarganya; menawarkan prospek yang lebih baik untuk pengembangan pribadi dan mendorong integrasi sosial;
memberikan orang kebebasan untuk mengekspresikan keprihatinan mereka untuk mengatur dan untuk berpartisipasi dalam keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka, dan menjamin persamaan kesempatan dan perlakuan yang sama bagi semua (Widarti, 2006).
Agenda kerja layak merupakan pendekatan terpadu untuk mengejar tujuan pekerjaan penuh dan produktif serta pekerjaan yang layak untuk semua pada tingkat global, regional,nasional, dan lokal. Mengenai hal ini tujuan pekerjaan penuh dan produktif memiliki pengertian pencapaian target pemenuhan barang dan jasa sebagai hasil produksi yang bermutu dan berkualitas. Sedangkan pekerjaan layak untuk semua berkaitan dengan pemenuhan hak-hak pekerja selama bekerja sesuai tujuan yang akan dicapai dalam kelayakan kerja.(ILO, 2011)
Pekerjaan yang layak merupakan konsep luas dengan beragam aspek.
Beberapa dari aspek tersebutdapat lebih mudah diukur dibanding dengan aspek lainnya, karena adanya ketersediaan statistik. Meskipun aspek khusus dari kerja
orang dengan orang yang lain,konsep dan elemen dasar dari kerja layak bersifat universal. Tak bisa diingkari kerja merupakan bagian besar kehidupan dalam artian jumlah waktu, integrasi sosial, dan kepercayaan individual. Kerja yang layak merupakan dimensi dasar dari kualitas kehidupan dan kerja produktif adalah sumber pendorong pendapatan utama bagi sebagian besar orang dan merupakan dorongan untuk pembangunan yang berkesinambungan.
2.3. Pekerja Perkebunan
Pekerja perkebunan adalah pekerja yang bekerja pada perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan. Istilah pekerja muncul sebagai pengganti istilah buruh. UU No.13 Tahun 20013 menetapkan bahwa penggunaan istilah pekerja selalu dibarengi dengan istilah buruh yang menandakan bahwa dalam UU ini dua istilah tersebut memiliki makna yang sama. Dalam Pasal 1 Angka 3 dapat dilihat pengertian dari pekerja/buruh yaitu : “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Dari pengertian tersebut dapat dilihat beberapa unsur yang melekat dari istilah pekerja/buruh yaitu setiap orang yang bekerja (angkatan kerja maupun bukan angkatan kerja tapi harus bekerja) dan menerima upah atau imbalan sebagai balas jasa atas pelaksanaan pekerjaan tersebut. Dua unsur ini penting untuk membedakan apakah seseorang masuk dalam kategori pekerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan atau tidak, dimana dalam UU Ketenagakerjaan diatur segala hal yang berkaitan dengan hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan. (Agusmidah, 2010)
Pada zaman feodal atau jaman penjajahan Belanda dahulu yang dimaksud dengan buruh adalah orang-orang pekerja “kasar” seperti kuli, mandor, tukang
dan lain-lain. Orang-orang ini oleh pemerintah Belanda dahulu disebut dengan blue collar (berkerah biru), sedangkan orang-orang mengerjakan pekerjaan”halus”
seperti pegawai administrasi disebut dengan white collar (berkerah putih).
Biasanya orang-orang yang termasuk golongan ini adalah para bangsawan yang bekerja di kantor dan juga orang-orang Belanda dan Timur Asing lainnya.
Pemerintah Hindia belanda membedakan antara blue collar dengan white collar ini semata-mata untuk memecah belah golongan Bumi putra dimana oleh pemerintah Belanda diantaranya white collar dan blue collar diberikan kedudukan dan status yang berbeda.
Pada awalnya sejak diadakan seminar Hubungan Perburuhan Pancasila pada tahun 1974, istilah buruh direkomendasikan untuk di ganti dengan istilah pekerja. Usulan penggantian ini didasari pertimbangan istilah buruh yang sebenarnya merupakan istilah teknis biasa saja, telah berkembang menjadi istilah yang kurang menguntungkan. Mendengar kata buruh orang akan membayangkan sekelompok tenaga kerja dari golongan bawah yang mengandalkan otot.
Pekerjaan administrasi tentu saja tidak mau disebut buruh, disamping itu dengan dipengaruhi oleh paham Marxisme, buruh dianggap satu kelas yang selalu menghancurkan pengusaha/majikan dalam perjuangan. Oleh karena itu, penggunaan kata buruh telah mempunyai motivasi yang kurang baik, hal ini tidak mendorong tumbuh dan berkembangnnya suasana kekeluargaan, kegotong- royongan dan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam perusahaan sehingga dirasakan perlu diganti dengan istilah baru.
Untuk mendapatkan istilah baru yang sesuai dengan keinginan memang
1945 yang pada penjelasannya pasal 2 disebutkan, bahwa “yang disebut golongan-golongan ialah badan-badan seperti koprasi, serikat pekerja, dan lain- lain badan kolektif”. Jelas di sini UUD 1945 menggunakan istilah “pekerja” untuk pengertian buruh. Oleh karena itu, disepakati penggunaan kata “pekerja” sebagai pengganti kata “buruh” karena mempunyai dasar hukum yang kuat. (Widodo, dalam Asyhadie, 2013)
2.4 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang relevan yang menjadi tambahan referensi dan bahan pembanding bagi penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Agung Prajuliyanto (2016) yang menganalisis persepsi buruh perempuan mengenai pekerjaan layak dan mutu pekerjaan layak pada buruh perempuan di industri tekstil. Peneliti menyatakan bahwa pekerjaan layak dalam perspektif buruh perempuan PT.”PM”Tex masih diartikan sebagai kerja yang mendapatkan upah yang besar. Dimensi upah menjadi hal utama dalam pemenuhan kerja layak berdasarkan perspektif buruh perempuan. Kondisi tersebut jika dihubungkan dengan dimensi kerja layak dari ILO, masih belum mencakup semua dimensi kerja layak dari ILO tersebut. Artinya, konsep pekerjaan layak yang telah ditetapkan ILO belum banyak diketahui oleh para pekerja perempuan.
Buruh perempuan PT.”PM”Tex sendiri mempunyai keinginan kepada perusahaan dan pemerintah mengenai peningkatan kesejahteraan serta peningkatan perhatian kepada mereka. Keinginan itu muncul karena mereka menganggap selama ini pemerintah terkesan lebih memihak perusahaan daripada buruh perempuan. Kondisi tersebut seperti saat inspeksi mendadak bahwa
pemerintah lebih sering berinteraksi dengan perusahaan daripada dengan buruh perempuan. Kondisi kerja layak buruh perempuan PT.”PM”Tex belum sepenuhnya berjalan dengan kualitas yang diharapkan. Masih terjadi pelanggaran yang dilakukan perusahaan terkait pemenuhan kerja layak. Kesempatan kerja, cuti haid, hak-hak dasar ditempat kerja, stabilitas jaminan pekerjaan, serta dialog sosial dalam kualitas pelaksanaan yang diberikan oleh perusahaan kurang maksimal. Jaminan sosial merupakan salah satu dimensi yang dirasakan manfaatnya oleh buruh perempuan, khususnya terkait kesehatan. Dimensi selanjutnya seperti jam kerja merupakan dimensi yang pelaksanaannya jelas bertentangan dengan undang-undang dan agenda kerja layak (decent work) karna jam kerja yang diberlakukan di PT.”PM”Tex melebihi dari apa yang telah diatur dalam undang-undang dan agenda kerja layak.
Sistem yang ada di PT.”PM”Tex tanpa disadari oleh buruh perempuan sebenarnya mendorong mereka ke dalam sistem kerja eksploitatif yang setiap hari mereka jalani. Kondisi ini juga didorong kurang mengetahuinya buruh perempuan terkait hak-hak yang seharusnya mereka terima. Pemerintah yang diharapkan sebagai penyelamat nasib buruh perempuan seakan berpihak kepada perusahaan untuk menjaga pemasukan dari investasi dan industri. Kinerja pemerintah dinilai kurang maksimal dan lalai pada fungsi sebenarnya sebagai pengawas dan pelindung buruh, khususnya buruh perempuan.
Selanjutnya penelitian dari Ulifa Arifina (2014) mengenai kondisi kelayakan kerja buruh tetap berdasarkan indikator International Labour Organization. Penelitian ini dilakukan agar mampu menjawab pelaksanaan
diterima oleh buruh karena dari sudut pandang buruh, ada ketidaksesuaian masalah kelayakan kerja. Penelitian ini dilakukan di Perusahaan Tenun Agung Saputra Tex. Dari hasil penelitian, peneliti menyatakan perusahaan belum memberikan kelayakan kerja bagi buruh. Hanya ada beberapa aspek yang sudah sesuai dengan kelayakan kerja yaitu penciptaan lapangan kerja, pemberian hak dalam hal menyuarakan pendapat, waktu istirahat, dan fasilitas. Namun, lain halnya dengan perspektif buruh tetap dalam menilai pelaksanaan kondisi kelayakan kerja yang ada di perusahaan.
Menurut buruh indikator pertama tidak menimbulkan masalah, seperti dalam hal memenuhi persyaratan kerja. Indikator yang kedua adalah perlindungan sosial. Menurut buruh, perusahaan kurang memenuhi kelayakan kerja karena belum adil dalam melaksanakan penerapan jamsostek, misalnya pendaftaran gaji buruh ke PT. Jamsostek tidak sesuai dengan gaji bulanan yang mereka terima.
Indikator ketiga adalah hak di tempat kerja. Menurut buruh perusahaan belum memenuhi semua hak buruh di tempat kerja seperti upah dan promosi jabatan.
Upah yang diberikan perusahaan tidak didasarkan pada keterampilan tertentu pada bagian montir, cucuk, operator tenun,dan potong kain. Pemberian hak perusahaan sudah sesuai dalam hal menyuarakan pendapat, waktu istirahat, waktu bekerja dan fasilitas yang diberikan oleh perusahaan. Sedangkan promosi jabatan di perusahaan tidak ada. Yang ada malah penurunan status kerja. Indikator keempat adalah penerapan dialog yang ada di perusahaan karena perusahaan hanya menerapkan saran yang menguntungkan perusahaan; demikian sebaliknya.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan peneliti, dapat disimpulkan bahwa kelayakan kerja buruh tetap di Perusahaan Tenun Agung
Saputra Tex berdasarkan perspektif kepuasan buruh yang telah dibahas sebelumnya, indikator penciptaan lapangan kerja, perlindungan sosial, hak istirahat, hak menyuarakan pendapat, tiadanya kerja paksa, hak fasilitas, dan hak upah (pada bagian warping, palet, boomstel, dan kanji). Lain halnya menurut standar kelayakan kerja bahwa ada beberapa aspek yang sudah sesuai seperti beberapa aspek yang memenuhi kelayakan kerja, yaitu indikator penciptaan lapangan kerja, hak istirahat, hak menyuarakan pendapat, tiadanya kerja paksa, dan hak fasilitas. Kedua pandangan tersebut yang membedakan adalah mengenai hak upah.
Menurut pendapat buruh, pemberian hak upah dirasa sudah sesuai ada pada empat bagian kerja sedangkan empat bagian kerja lainnya dirasa kurang sesuai. Ada juga indikator yang dirasa kurang sesuai baik menurut perspektif buruh maupun menurut standar kelayakan kerja seperti pada hak upah, jaminan sosial, dan dialog sosial. Keempat hal itu dirasa belum sesuai karena sebagian besar komentar dari buruh mengenai ketidakpuasan kebijakan perusahaan pada empat hal itu yang dirasa merugikan buruh. Masalah itu juga diperkuat dari standar kelayakan kerja perusahaan bahwa ada hal-hal yang tidak sesuai, yaitu pada jam kerja, hak upah, jaminan sosial, dan dialog sosial.