TRANSFORMASI DAKWAH:
URGENSI DAKWAH DIGITAL DI TENGAH PANDEMI COVID-19
M. Khamim
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia Email: [email protected]
Abstrak
Saat ini banyak bertebaran selebaran jadwal pengajian rutin yang dilaksanakan melalui live streaming berbagai macam platform media dengan adanya Ngaji Online. Adanya pandemi Covid-19, secara praktis, dakwah mengalami transformasi dari offline tatap muka berubah menjadi online. Tujuan pembahasan dalam tulisan ini adalah untuk mengetahui perubahan paradigma dakwah serta peran platform media online dalam menunjang pelaksanaan dakwah di masa pandemi. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif, dengan mengumpulkan data lunak (soft data). Data penelitian ini didapat melalui penelitian kepustakaan (library research) dan observasi secara langsung.
Maka tulisan ini mengulas proses transformasi dakwah dan urgensi media online dalam aktivitas dakwah di masa pandemi covid-19 Hasil penelitian didapatkan bahwa pola baru yang dilahirkan oleh persinggungan kiai atau da’i dengan media sosial dalam aktivitas dakwah membentuk suatu habitus atau kebiasaan baru.. Pesantren yang semula tertutup dengan dunia luar, kini mulai menampilkan diri ke khalayak umum melalui kajian kitab kuning di media sosial.
Kata Kunci:. Covid-19, Dakwah Digital, Transformasi Dakwah, Pandemi
Abstract
Currently, there were many leaflets on the schedule of routine recitations which were carried out through live streaming of various media platforms with Ngaji Online. With the Covid-19 pandemic, practically, da'wah had undergone a transformation from face-to-face offline to online. The purpose of the discussion in this study was to find out the paradigm shift in da'wah and the role of online media platforms in supporting the implementation of da'wah during the pandemic. This study was a descriptive qualitative research, by collecting soft data. The research data were obtained through library research and direct observation. So this study reviewed the process of transforming da'wah and the urgency of online media in da'wah activities during the covid-19 pandemic. The study results found that the new pattern that was born by the contact of the kiai or da'i with social media in da'wah activities formed a new habitus or habit. Pesantren which was originally closed to the outside world, had now begun to present itself to the general public through the study of the yellow book on social media.
Keywords: Covid-19, Digital Da'wah, Da'wah Transformation, Pandemic Available at: https://jurnalannur.ac.id/index.php/An-Nur
A. Pendahuluan
Pandemi Covid-19 yang masuk ke Indonesia di awal Maret 2020 tidak hanya berbahaya bagi kesehatan manusia, namun juga berdampak buruk terhadap perubahan sosial di dalam kehidupan masyarakat, baik terkait aspek perekonomian, pendidikan, kehidupan keagamaan, kebiasaan hidup sehari-hari maupun persoalan sosial lainnya.1 Pandemi Covid-19 menimbulkan perubahan besar terhadap tatanan kehidupan masyarakat. Covid-19 termasuk ancaman yang menakutkan banyak pihak, karena dipandang dapat mengancam kehidupan masyarakat secara serius.2 Ancaman ini tidak saja dirasakan secara ekonomi, pendidikan, budaya dan dalam beribadah sehari-hari, akan tetapi juga berdampak sistemik pada aktivitas dakwah.
Berlangsungnya pandemi Covid-19 semakin menghadapkan dakwah pada tantangan-tantangan riil yang harus dihadapi. Konstruksi dakwah yang selama ini dilaksanakan dengan tatap muka satu majelis tempat belajar, harus dilaksanakan secara daring (online) sebagai akibat kebijakan physical dan social distancing yang membatasi perjumpaan seseorang dengan lainnya ataupun pada komunitas sosial. Jika sebelumnya dakwah hanya sekedar ceramah dari mimbar, masjid, majlis ta’lim secara langsung dalam artian yang mendengarkan dan melihat hanya dalam satu perkumpulan, maka sekarang di era pandemi di mana perkumpulan dibatasi, maka di sinilah new media terutama media sosial sangat menguntungkan bagi para subjek dakwah (da’i) untuk berdakwah.3
Saat ini mulai banyak bertebaran selebaran jadwal pengajian rutin yang dilaksanakan melalui live streaming berbagai macam platform media. Ngaji online banyak dijumpai di banyak forum pengajian secara terbuka dan umum oleh pengasuh, kyai, ataupun ustadz pesantren yang sebelumnya hanya terbatas bagi santri di suatu pesantren. Para da’i di Indonesia dari yang muda sampai yang tua sekarang ini sudah banyak berdakwah dengan menggunakan media sosial. Praktis, dakwah mengalami banyak transformasi di masa pandemi Covid-19 sekarang ini. Platform-platform
1 Miftahurrohman Miftahurrohman, Ahmad Shofiyuddin Ichsan, and Rohmat Dwi Yunianta, “Upaya Guru Al-Qur’an Hadis dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas 2 MI Sananul Ula Piyungan Bantul Yogyakarta pada Masa Pandemi,” QuranicEdu: Journal of Islamic Education 1, no. 1 (August 31, 2021): 19–39, https://jurnalannur.ac.id/index.php/QuranicEdu/article/view/112
2 Yogi Mediantara and Jeratallah Aram Dani, “Covid-19 dan Perubahan Komunikasi Sosial,” Jurnal Pendidikan 3, no. 1 (2020).
3 Siti Aisyah Hajar and Muhammad Syukron Anshori, “Strategi Komunikasi Persuasif Farah Qoonita Dalam Menyampaikan Dakwah Melalui New Media,” Aksiologi : Jurnal Pendidikan Dan Ilmu Sosial 1, no. 2 (April 15, 2021): 62–66, https://doi.org/10.47134/aksiologi.v1i2.12.
media sosial dan media online lainnya yang berbasis virtual yang tersedia menjadi salah satu cara alternatif untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Ini dianggap sebagai salah cara yang cukup efektif karena mudah dijangkau. Pada masa sebelum terjadi pandemi covid-19, dakwah disampaikan tanpa melalui media dan dilakukan secara langsung dengan bertatap muka antara da’i dan mad’u. Sekarang ini, media menjadi paling utama untuk mendapatkan informasi-informasi yang terkait dengan keagamaan..
B. Metode Penelitian
Melalui pendekatan kualitatif deskriptif studi pustaka, tulisan ini mengulas proses transformasi dakwah dan urgensi media online dalam aktivitas dakwah di masa pandemi Covid-19. Penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif, pada prinsipnya ingin memerikan, menerangkan, mendeskripsikan secara kritis, atau menggambarkan suatu fenomena, suatu kejadian, atau suatu peristiwa interaksi sosial dalam masyarakat untuk mencari dan menemukan makna (meaning) dalam konteks yang sesungguhnya (natural setting). Oleh karena itu, semua jenis penelitian kualitatif bersifat deskriptif, dengan mengumpulkan data lunak (soft data), bukan hard data yang akan diolah dengan statistik.4
Data penelitian dalam penelitian ini didapat melalui penelitian kepustakaan (library research) dan observasi. Abdul Rahman Sholeh menyebutkan bahwa penelitian kepustakaan (library research) ialah penelitian yang mengunakan cara untuk mendapatkan data informasi dengan menempatkan fasilitas yang ada di perpustakaan, seperti buku, majalah, dokumen, catatan kisah-kisah sejarah, dan lainnya.5 Tujuan pembahasan dalam tulisan ini adalah untuk mengetahui perubahan paradigma dakwah serta peran platform media online dalam menunjang pelaksanaan dakwah di masa pandemi.
C. Hasil dan Pembahasan
Dakwah Transformatif dan Perubahan Sosial
4 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan (Jakarta: Kencana, 2017), 338.
5 Abdul Rahman Sholeh, Pendidikan Agama dan Pengembangn untuk Bangsa (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 63.
Dakwah berasal dari Bahasa Arab yakni dari asal kata da’aa – yad’uu – da’watan, yang berarti memanggil atau mengajak. Syekh Ali Machfudz dalam bukunya Hidayatul Mursyidin mengartikan dakwah sebagai upaya mendorong manusia untuk berbuat kebajikan dan mengikuti petunjuk Allah SWT, menyuruh mereka berbuat kebajikan, dan mencegah mereka dari perbuatan yang mungkar agar mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Dari pengertian tersebut, selanjutnya beliau menjelaskan bahwa makna dakwah itu bermacam-macam, meliputi: Pertama, dakwah diartikan sebagai do’a (da’wata) atau mengharapkan kebaikan (da’aan). Pengertian ini dapat ditemukan dalam surah al- Baqarah ayat 186. Kedua, dakwah diartikan sebagai upaya mengajak seseorang kepada sesuatu untuk dilaksanakan (yad’uu). Pengertian ini dapat ditemukan dalam surat Yunus ayat 25 dan surah Yusuf ayat 33. Ketiga, dakwah diartikan sebagai ajakan.
Sebagaimana dicontohkan dalam surat yang dikirimkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada Heraclius, Kaisar Romawi Timur yang berbunyi “Saya mengajak saudara dengan ajakan Islam”. Dakwah yang diartikan sebagai upaya mengajak orang untuk mengikuti ajaran (yad’uunany) tersebut dapat dilihat dalam Surat Yusuf ayat 33. Sedangkan dakwah yang dimaknai sebagai memanggil dengan suara lantang (da’aakum) dapat dilihat dalam surah ar-Ruum ayat 25.6
Bisri Affandi mengatakan bahwa yang diharapkan oleh dakwah adalah terjadinya perubahan dalam diri manusia, baik kelakuan ideal maupun aktual, baik pribadi maupun keluarga dan masyarakat, way of thinking atau cara berpikirnya berubah, way of life atau cara hidupnya berubah menjadi lebih baik di tinjau dari segi kualitas. Yang di maksud kualitas adalah nilai-nilai agama sedangkan kualitas adalah bahwa kebaikan yang bernilai agama itu semakin dimiliki banyak orang dan banyak dalam segala situasi dan kondusi. Sementera ketika merumuskan pengertian dakwah, Amrullah Achmad menyinggung tujuan dakwah adalah untuk mempengaruhi cara merasa, berfikir, bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio kutural dalam rangka terwujudnya ajaran islam dan semua segi kehidupan. Kedua pendapat di atas menekankan bahwa dakwah bertujuan untuk merubah sikap mental dan tingkah laku manusia yang kurang baik menjadi lebih baik atau meningkatkan kualitas iman
6 M. Rosyid Ridla (dkk), Pengantar Ilmu Dakwah: Sejarah, Perpektif, dan Ruang Lingkup (Yogyakarta:
Samudra Biru, 2017), 4-6.
dan Islam seseorang secara sadar dan timbul dari kemauannya sendiri tanpa merasa terpaksa apa dan siapapun.7
Dakwah transformatif merupakan model dakwah, yang tidak hanya mengandalkan dakwah verbal (konvensional) untuk memberikan materi-materi agama kepada masyarakat yang memposisikan da’i sebagai penyebar pesan-pesan keagamaan, tetapi menginternalisasikan pesan-pesan keagamaan ke dalam kehidupan riil masyarakat dengan cara melakukan pendampingan masyarakat secara langsung.
Dengan demikian, dakwah tidak hanya untuk memperkokoh aspek religiusitas masyarakat, melainkan juga memperkokoh basis sosial untuk mewujudkan transformasi sosial. Ada lima indicator yang melekat pada dakwah transformatif, yaitu pertama, dari aspek materi dakwah; ada perubahan yang berarti, dari materi ubudiyah ke materi sosial. Kedua, dari aspek metodologi terjadi perubahan; dari model monolog ke dialog. Ketiga, dakwah transformatif menggunakan institusi yang bisa diajak bersama dalam aksi. Keempat, ada wujud keberpihakan pada kaum lemah (mustad’afin). Kelima, para juru dakwah melakukan advokasi dan pengorganisasian masyarakat terhadap suatu kasus yang terjadi di daerahnya agar nasib para petani, nelayan, buruh, dan kaum tertindas lainnya didampingi. Hasil akhir dari dakwah transformatif adalah mencetak para juru dakwah yang mampu melakukan pendampingan terhadap problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat.8
Dalam Islam, kegiatan dakwah sesungguhnya meliputi semua dimensi kehidupan manusia. Pasalnya adalah karena amar ma’ruf nahy munkar juga meliputi segala aspek kehidupan manusia. Penting dicatat bahwa para pendukung amar munkar nahy ma’ruf juga menggunakan segala jalur kehidupan. Secara demikian, kegiatan budaya, politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain dapat dijadikan kegiatan dakwah, baik dakwah Islamiyah (dakwah ila Allah) maupun dakwah jahiliyah, yakni dakwah yang menjadikan neraka sebagai pelabuhan terakhir (dakwah ila al-nar). Dalam dakwah ada ide tentang progresivitas, yakni sebuah proses terus menerus menuju kepada yang baik dan yang lebih baik dalam meujudkan tujuan dakwah itu. Sehingga dalam dakwah ada ide dinamis: sesuatu yang terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu.
7 Mohammad Hasan, Metodologi dan Pengembangan Ilmu Dakwah (Surabaya: Pena Slsabila, 2013), 47-48.
8 Fahrurrozi, Model-Model Dakwah di Era Kontemporer (Strategi Merestorasi Umat Menuju Moderasi dan Deradikalisasi) (Mataram: LP2M UIN Mataram, 2017), 17-19.
Secara sosiologis-empiris, menurut Nurcholish Madjid, dakwah yang berkembang di tengah masyarakat cenderung mengarah kepada nahy munkar, yakni tekanan-tekanan untuk melawan (fight againts –perjuangan reaktif), dan kurang amar ma’ruf-nya, yang mengajak kepada kebaikan, kebersamaan, suatu cita-cita (fight for–perjuangan proaktif).
Barangkali ini sebabnya mengapa sikap pro-aktif masih menjadi tantangan besar kaum Muslim. Dalam perspektif sosiologi, yakni al-ma’ruf dan al-munkar, menunjuk kepada kenyataan bahwa kebaikan dan keburukan itu ada dalam masyarakat. Umat Islam dituntut untuk mampu mengenali kebaikan dan keburukan yang ada dalam masyarakat itu, kemudian mendorong, memupuk dan memberanikan diri kepada tindakan- tindakan kebaikan, dan pada waktu yang sama mencegah, menghalangi dan menghambat tindakan-tindakan keburukan.9
Dakwah Islam juga diartikan sebagai suatu upaya yang dilakukan secara terus menerus untuk melakukan perubahan agar lebih baik sesuai dengan maksud agama Islam. Perubahan tersebut terjadi pada diri manusia dalam berbagai aspek, baik aspek pikiran (al-fikr), perasaan (syu’ur) maupun tingkah lakunya (akhlak-shuluk), menjadi lebih Islami sehingga terbentuk pribadi masyarakat Islami (al-mujtama’ al Islamy) atau khairu ummat.
Dari pengertian tersebut, ketika menuju masyarakat Islam, terdapat dua fase perubahan, yakni perubahan individu (taghyir al afrad) dan perubahan sistem (taghyir al nidam). Agama dan perubahan sosial, termasuk dakwah yang menjadi bagian dari agama, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agama diposisikan membawa perubahan sosial. Semakin kuat komitmen seseorang terhadap agamanya, maka akan semakin kuat pula terjadinya perubahan di dalam dirinya. Pada bentuk persaudaraan yang dihasilkan agama, maka dengan sendirinya perubahan itu menjadi gejala yang kuat pada setiap warga masyarakat. Bahkan perubahan itu dapat berkembang menjadi suatu ideologi. Hal ini disebabkan karena setiap agamawan menginginkan terjadinya perubahan yang signifikan dalam lingkungan kehidupannya. Inilah antara lain yang menjadi dasar pembentukan pribadi setiap Muslim, yaitu “manusia yang baik adalah yang paling memberi manfaat bagi manusia lainnya” (khair al-nas man anfa`uhum li al-
9 Agus Ahmad Safei, Sosiologi Dakwah Rekonsepsi, Revitalisasi, dan Inovasi (Yogyakarta: Deepublish, 2016), 43-44.
nas). Dalam pandangan Weber, antara agama dan masyarakat terjadi saling mempengaruhi.10
Menurut Mohamed & Buqatayan, Islam sangat memperhatikan perubahan sosial sejak kelahirannya. Islam mengubah masyarakat sebelumnya yang tidak percaya kepada Tuhan (Allah Swt.) menjadi percaya, dari sebelumnya yang terpencar di berbagai wilayah menjadi Ummah yang tunduk pada hukum Islam syariah dan kepercayaan monoteistik dalam Islam ialah mutlak. Selain itu, Islam mengubah baik kehidupan sosial, politik, maupun ekonomi baik dalam sisi moralitas maupun etikanya.
Semuanya ditujukan untuk mereformasi kemanusiaan sehingga manusia mencapai kesuksesan dalam kehidupannya baik di dunia maupun di akhirat (hereafter) karena manusia menjadi faktor fundamental dalam pembangunan dan perubahan sosial.
Perubahan-perubahan itu secara literal merespons berkembangnya kebebasan dan intelektualitas.11
Dakwah, sebagai bagian dari misi agama, harus mampu memberikan jawaban terhadap setiap perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Corak dan bentuk dakwah dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan segala perubahan dan perkembangan masyarakat. Perubahan dan perkembangan masyarakat yang terjadi saat ini merupakan hal-hal yang baru dan tidak memiliki preseden di masa lalu. Hal yang baru dimaksud berkenaan dengan pola pikir, pola hidup dan perilaku masyarakat.
Dakwah akan selalu bersentuhan dengan kehidupan masyarakat.12
Menurut Wahidin setidaknya ada lima peranan dakwah terhadap perubahan sosial, yaitu: 1) Pemberian motivasi merupakan pendekatan dalam rangka pergerakan dakwah; 2) Bimbingan yang merupakan tindakan pimpinan yang dapat menjamin terlaksananya tugas-tugas dakwah yang sesuai dengan rencana, kebijaksanaan dan ketentuan, agar apa yang menjadi tujuan dan sasaran dakwah dapat dicapai dengan sebaik-baiknya; 3) Perjalinan hubungan untuk menjalin terwujudnya keharmonisan dan sinkronisasi, usaha-usaha dakwah diperlukan adanya perjalinan hubungan, di mana para da’i ditempatkan dalam berbagai bagian dapat dihubugkan satu sama lain, agar mencegah terjadinya kekacauan kesamaan dan lain sebagainya; 4)
10 M. Ridwan Lubis, Sosiologi Agama Memahami Perkembangan Agama dalam Interaksi Sosial (Jakarta:
Kencana, 2017), 99.
11 Sindung Haryanto, Sosiologi Agama dari Klasik Hingga Postmodern (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), 232-233.
12 Yasril Yazid dan Nur Alhidayatullah, Dakwah dan Perubahan Sosial (Depok: Rajawali Pers, 2017), 94.
Penyelenggaraan komunikasi dakwah dalam komunikasi sering disebut tablig. Tujuan dari komunikasi dakwah ini adalah terjadinya perubahan tingkah laku, sikap atau perbuatan yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah; dan 5) Sumber daya manusia adalah potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai mahkluk sosial yang adaptif dan transpormatif yang mampu mengolah dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan.13
Covid-19 dan Tantangan Dakwah: Eksistensi Dakwah di Tengah Pandemi Pada 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China.
Pada tanggal 7 Januari 2020, China mengidentifikasi pneumonia yang tidak diketahui etiologinya terse-but sebagai jenis baru coronavirus (novel coronavirus). Pada awal tahun 2020 NCP mulai menjadi pendemi global dan menjadi masalah kesehatan di beberapa negara di luar RRC. Berdasarkan World Health Organization (WHO) kasus kluster pneumonia dengan etiologi yang tidak jelas di Kota Wuhan telah menjadi permasalahan kesehatan di seluruh dunia. Penyebaran epidemi ini terus berkembang hingga akhirnya diketahui bahwa penyebab kluster pneumonia ini adalah Novel Coronavirus.
Pandemi ini terus berkembang hingga adanya laporan kematian dan kasus-kasus baru di luar China. Pada tanggal 30 Januari 2020, WHO menetapkan Covid-19 sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC)/ Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia (KKMMD). Pada tanggal 12 Februari 2020, WHO resmi me-netapkan penyakit novel coronavirus pada manusia ini dengan sebutan Coronavirus Disease (Covid-19). Covid-19 disebabkan oleh SARS-COV2 yang termasuk dalam keluarga besar coronavirus yang sama dengan penyebab SARS pada tahun 2003, hanya berbeda jenis virusnya. Gejalanya mirip dengan SARS, namun angka kematian SARS (9,6%) lebih tinggi dibanding Covid-19 (saat ini kurang dari 5%), walaupun jumlah kasus Covid-19 jauh lebih banyak dibanding SARS. Covid-19
13 Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), 301.
juga memiliki penyebaran yang lebih luas dan cepat ke beberapa negara dibanding SARS.14
Wabah Covid-19 ini juga menjadikan perilaku sosial budaya masyarakat Indonesia berubah. Masyarakat Indonesia yang memiliki karakteristik Bhinneka Tunggal Ika yang sering melakukan kegiatan atau aktivitas secara bersama-sama, berkumpul dan bermasyarakat harus melakukan pembatasan sosial berskala besar.
Akibatnya tidak sedikit masyarakat yang mengalami shock culture dengan kondisi ini.
Masyarakat harus beradaptasi dengan lingkungan dan gaya baru dalam kehidupannya.
Seperti contoh, kebiasaan untuk makan bersama dalam satu tempat, berkumpul melaksanakan kegiatan sosial, berinteraksi dengan tetangga, melaksanakan kegiatan keagamaan bersama, mengantar jenazah, salat jamaah di Masjid dan lain sebagainya dilarang dilaksanakan oleh pemerintah.15
Covid-19 termasuk ancaman yang menakutkan banyak pihak, karena dipandang dapat mengancam kehidupan masyarakat secara serius. Ancaman ini tidak saja dirasakan secara ekonomi, pendidikan, budaya dan dalam beribadah sehari-hari, akan tetapi juga berdampak sistemik pada aktivitas dakwah. Dakwah yang selama ini berjalan lancar nyaris tanpa kendala, tiba-tiba tersentak dan nyaris terhenti walau sesaat. Dilihat secara ancaman, memang virus ini bisa dikategorikan sebagai sebuah ancaman terhadap pelaksanaan dakwah. Namun ada satu hal yang penting digaris bawahi bahwa para da’i tidak boleh lari dari tantangan atau ancaman covid ini, akan tetapi harus bersiap-siap menghadapinya secara bijak. Para da’i dan pegiat dakwah harus berpegang pada motto bahwa dakwah tidak boleh berhenti karena ancaman wabah.16
Dakwah selalu berhadapan dengan berbagai tantangan, baik dalam skala besar maupun kecil, baik yang muncul dari masyarakat Islam itu sendiri –termasuk di kalangan ilmuan dan da’i– maupun yang datang dari luar. Kedua tantangan ini menuntut kesiapan da’i untuk lebih arif menyikapinya. Sebagai kader dakwah, maka tantangan apapun yang menghadang proses dakwah sebaiknya dapat dipandang
14 Safrizal ZA, dkk, Pedoman Umum Menghadapi Pandemi Covid-19 Bagi Pemerintah Daerah Pencegahan, Pengendalian, Diagnosis, dan Manajemen (Jakarta: Tim Kerja Kementerian Dalam Negeri, 2020), 2.
15 Yusuf Hanafi, dkk, Pandemi Covid-19: Respon Muslim Dalam Kehidupan Sosial-Keagamaan dan Pendidikan (Sidoarjo: Delta Pijar Khatulistiwa, 2020), 1-13.
16 Juhari, “Tantangan dan Arah Dakwah di Tengah Ancaman Pandemi Covid-19”, Jurnal Peurawi: Media Kajian Komunikasi Islam, Vol. 3, No. 2, 2020, 53-54.
sebagai bumbu penyedap dan bagian dari proses penguatan dakwah. Dakwah yang sukses adalah dakwah yang mampu menjawab tantangan. Semakin tinggi dan besar tantangan yang dihadapi, maka semakin dekat pula dakwah dengan keberhasilan.
Tantangan besar lainnya yang sedang dihadapi saat ini adalah adanya keterbatasan gerak dakwah melalui kebijakan sosial dan physical distancing, terutama dengan pendekatan dakwah pragmatis. Karena itu penggunaan dan penguasaan media teknologi informasi merupakan paradigma atau arah tuju yang perlu diperkuat.
Meskipun para da’i tidak bisa bertatap wajah dengan para audien, namun pesan-pesan agama masih bisa disampaikan melalui media sosial yang ada baik media elektronik maupun cetak, seperti YouTube, WhatsApp video, instagram, dan lain-lain. Dakwah melalui media elektronik (online) ini pada awalnya mungkin akan menimbulkan kebosanan/ kejenuhan, namun apabila sudah terbiasa menggunakkan media, maka akan pelan-pelan akan dapat diterima oleh masyarakat.17
Urgensi New Media Sebagai Media Dakwah di Tengah Pandemi
Media saat ini tumbuh kian pesat. Mulai dari pelajar sampai jenjang mahasiswa menggunakan internet sebagai kebutuhan primer. Perkembangan media baru sebenarnya merujuk pada perubahan dalam proses produksi media, distribusi, dan penggunaan yang tidak terlepas dari aspek digitality, interactivity, hypertextuality, dispersal dan virtuality. Efek dari media baru, tidak ada rasa setiakawan dan solidaritas sosial terhadap masyarakat karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan HP.
Akibatnya, generasi penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme, dan akan berdampak pada disintegrasi bangsa Indonesia. New media merupakan perkembangan baru dari media-media yang telah digunakan manusia. Karakternya yang merupakan bentuk digital tentu memudahkan dalam bertukar informasi. Untuk itu, perlu optimalisasi komunikasi dakwah melalui pemanfaatan media baru (new media), utamanya media sosial, mengingat segmentasi mad’u sangat komplek jika ditinjau dari berbagai sisi.
New media yang dikatakan sebagai media baru berbasis jaringan internet merupakan hasil cipta karya kemajuan teknologi terhebat saat ini, yang mampu menembus batasan jarak, ruang dan waktu sehingga mempunyai nilai manfaat dalam
17 Juhari, “Tantangan dan Arah Dakwah …., 58-59.
segala aspek kehidupan manusia. Internet adalah media dan sumber informasi yang paling canggih saat ini. Internet menawarkan berbagai kemudahan, kecepatan, ketepatan akses, dan kemampuan menyediakan berbagai kebutuhan informasi setiap orang. Internet bisa diakses di mana saja dan pada tingkat apa saja. Manfaat positif pemanfaatan internet yaitu: 1) Dakwah dihadirkan dalam bentuk yang menarik, seperti: film, video, tulisan, gambar, dan sebagainya, 2) Melalui internet da’i dan mad’u bisa berbagi data tentang suatu tema yang disajikan sehingga bisa disimpan, 3) Tidak ada batasan layanan berdasarkan wilayah, waktu, dan tempat, 4) Permasalahan dan pertanyaan dapat diajukan secara langsung pada tempat yang telah disediakan, dan 5) Pemanfaatan internet tergantung pada kreativitas penggunanya.
Saat ini, banyak kalangan akademisi telah memanfaatkan internet untuk pengembangan syiar agama. Hal tersebut ditandai dengan banyak bermunculan situs baru bernuansakan Islam. Oleh karena itu, bisa dikatakan dakwah melalui internet, dapat menjangkau siapa saja dan di mana saja. Dilihat dari sisi dakwah, kekuatan internet sangat potensial untuk dimanfaatkan. Internet dapat mempererat ikatan ukhuwah Islamiah yang terkadang dibatasi oleh ruang lingkup wilayah. Penggunaan media masa secara efektif akan membuat dakwah semakin mudah dilakukan. Apalagi saat ini kehidupan masyarakat sangat bergantung terhadap media. Tiada hari yang dilewatkan masyarakat tanpa membaca, melihat, dan mendengarkan media masa yang menawarkan berbagai macam kebutuhan penggunanya. Hiburan, pasar, dakwah, pendidikan, petualangan, pengalaman, semuanya disajikan di media masa. Kebijakan kita sebagai pengguna itulah yang membedakannya. Di mana saja, kapan saja, siapa saja, dapat memanfaatkan media masa sebagai sumber informasi.18
Dengan kemajuan zaman serta teknologi yang tinggi maka dakwah juga harus melakukan transformasi untuk menyampaikan nilai-nilai ajaran islam. Salah satu perubahan dakwah yang bisa dilakukan adalah jika sebelumnya dakwah hanya sekedar ceramah dari mimbar, masjid, majlis ta’lim secara langsung dalam artian yang mendengarkan dan melihat hanya dalam satu perkumpulan, maka sekarang di era pandemi di mana perkumpulan dibatasi maka di sinilah new media terutama media sosial sangat menguntungkan bagi para subjek dakwah (da’i) untuk berdakwah. Para da’i di Indonesia dari yang muda sampai yang tua sekarang ini sudah banyak
18 Yasril Yazid dan Nur Alhidayatullah, Dakwah dan Perubahan Sosial, 101-102.
berdakwah dengan menggunakan media sosial bahkan tidak sedikit diantara mereka mempunyai akun sosial media pribadi yang tidak hanya menebarkan khazanah keislaman tapi juga mengunggah kehidupan mereka sehingga yang melihatnya terasa dekat dengan para da’i tersebut.
Hingga saat ini setidaknya ada beberapa da’i yang mengadakan pengajian live streaming melalui youtube, facebook, dan instagram diantanya yaitu Ustadz Yusuf Mansyur, Gus Miftah, Ustadz Abdul Somad, Ustadz Adi Hidayat, Gus Mustofa Bisri, KH. Mifathul Akhyar yang dilihat ratusan bahkan ribuan viewer. Tidak hanya para kyai dan ustadz ternama yang berdakwah di media sosial, konten creator juga banyak berdakwah dengan video-video positif yang menarik. Tentu ini langkah yang bagus bagi perkembangan dakwah dengan media sosial karena sifatnya yang tanpa batas yaitu memberikan keluasan bagi penggunanya dalam kondisi apapun, kapanpun, dan di manapun. Di samping itu, karakteristik manusia modern saat ini memiliki keterbatasan waktu untuk mengikuti pengajian ditambah lagi kondisi pandemi Covid- 19 yang sudah barang tentu pengajian umum sangat jarang diadakan sehingga new media sebagai media dakwah bisa mengatasi dahaga spiritual di tengah masyarakat.
Maka dari itu agar dakwah tetap eksis ditengah pandemi covid-19 yang membatasi gerak dan ruang berkumpul maka seyogyanya para da’i harus bertansformasi memanfaatkan new media yang telah berkembang pesat, di sinilah para da’i mempunyai keharusan untuk memiliki kecakapan besosial media.19
Fenomena Ngaji Online: Perubahan Paradigma Dakwah Transformatif
Fenomena ngaji online yang dilakukan oleh kyai, ustadz, ataupun forum keagamaan dan kalangan cendekiawan muslim lain banyak dijumpai akhir-akhir ini.
Sebelum masa pandemi Covid-19, komunitas pesantren misalnya mengadakan pengajian secara tatap muka untuk mengisi liburan menjelang dan selama Ramadan.
Biasanya para santri banyak yang tidak pulang. Mereka mengikuti pengajian beberapa kitab kuning. Namun pada masa pandemi Covid-19, pesantren mengubah sistem pengajiannya dari tatap muka menjadi pengajian kitab secara daring atau Ngaji Online yang diikuti para santri di rumah masing-masing. Padahal selama di pesantren, para
19 Trisno Koesmawijaya, “Eksistensi Dakwah di Tengah Pandemi Covid 19”, Al-Maquro’: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam, Volume 01, No. 01, Desember 2020, 60-61.
santri dibatasi dalam menggunakan internet. Karena itu, fenomena perubahan tingkah laku manusia di dunia daring amat menarik dan penting untuk dikaji.
Dalam pelaksanaannya, kalangan pesantren melakukan ngaji online dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: pertama, sebagai bentuk ketaatan kepada ulul amri, yang dalam konteks pandemi Covid-19, yaitu pemerintah, ulama, dan para dokter. Pemerintah menetapkan untuk menjaga jarak sosial dan jarak fisik. Kedua, karakteristik Covid-19 yang dapat menular melalui kontak antar-manusia.20
Covid-19 memang menyebabkan berbagai macam dampak negatif. Banyak korban berjatuhan yang harus diisolasi dan bahkan tidak sedikit yang meninggal dunia.
Namun, ada beberapa dampak positif yang muncul akibat Covid-19 terutama dalam dunia pesantren. Pondok Pesantren yang masih banyak bernuansa klasik (pondok salaf) dan belum terlalu aktif dalam pergulatan konten di media maya, harus ikut
“turun gunung” untuk menyediakan konten ngaji yang diampu oleh pengasuh dan para ustadz agar bisa disampaikan ke santri-santrinya yang sedang berada di rumah.
Kesadaran penggunaan teknologi untuk konten ngaji kali ini benar-benar tersampaikan. Saat ini mulai banyak bertebaran selebaran jadwal pengajian rutin yang dilaksanakan melalui live streaming berbagai macam platform media.
Pondok Pesantren Anwarul Huda (PPAH), Kota Malang, Jawa Timur, misalnya, karena para santri dipulangkan, maka penyelenggaraan pengajian rutin online selama bulan ramadhan disiarkan secara live streaming melalui Facebook selama 3 kali dalam sehari dengan tiga kajian kitab berbeda, yaitu Tafsir Jalalain, Nashoihul Ibad, dan As- Sulam. Pengajian tersebut dilaksanakan bakda Shubuh, bakda Ashar, dan bakda salat Tarawih. Setiap pengajiannya diikuti tidak hanya oleh para santri PPAH sendiri, namun juga oleh masyarakat umum.
20 Samsul Arifin, “Dinamika Perubahan Relasi Kiai Santri Pada ‘Ngaji Online’ di Masa Pagebluk Covid- 19”, Jurnal Kependudukan Indonesia, Edisi Khusus Demografi dan COVID-19, Juli 2020, 76.
(Gambar: flayer ngaji online PP. Anwarul Huda, Malang tahun 2020)
Pada institusi lain, Pondok Pesantren Al-Hikmah 2, Benda, Brebes juga melaksanakan pengajian pasaran bulan Ramadhan secara daring, mengingat semua santri sudah diintruksikan untuk pulang. Pesantren dengan jumlah santri lebih dari 3000 santri ini rutin melaksanakan ngaji pasaran bulan Ramadhan dengan diikuti oleh seluruh santri. Namun, karena santri harus dipulangkan maka pengajian tersebut tetap dilaksanakan dengan cara online melalui berbagai media live streaming. Masih ada banyak pesantren yang menerapkan ngaji online, bahkan pesantren yang sebelumnya belum pernah melakukannya kini juga ikut berlatih untuk membuat media ngaji menggunakan teknologi. Hal ini memicu bertambahnya konten kajian islam yang berangkat dari wadah pesantren salaf.
Berbeda dengan masa-masa sebelumnya yang mungkin konten kajian Islam hanya dari kalangan milenial hijrah kekinian dan ustadz kondang di media sosial, kini banyak konten pengajian yang berasal dari santri, ustadz, bahkan kiai dan ulama yang turun gunung ikut mengisi jagad media sosial. Praktis, hal ini membuat kaum milenial tidak terpaku kepada beberapa ustadz kondang di media yang mungkin belum jelas nasab dan kapasitas ilmunya. Fenomena terlibatnya para kiai dan ulama dalam mengisi konten di media tentu saja menjadikan opsi pemilihan media belajar kajian Islam menjadi lebih fleksibel dan memilih sumber yang jelas kapasitas dan nasab ilmunya.
Ini menjadi penting karena dalam Islam sendiri, khususnya manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah, sangat menjunjung tinggi kapasitas dan nasab ilmu yang dibawakan oleh gurunya.
Konten pengajian yang disiarkan secara langsung, bisa dengan mudah disimpan dan bisa dibuka kembali tetapi masih dalam bentuk utuh pengajian berjam-jam. Agar lebih nyaman disampaikan ke kaum milenial, disesuaikan menjadi beberapa konten media sosial yang lebih singkat dan langsung mengena ke inti/ pokok pembahasan dan tetap mempertahankan esensi asli dari apa yang disampaikan dan bahkan bisa ditambahkan dengan bumbu videografi yang menggambarkan apa yang sedang disampaikan kyai / ulama tersebut, agar lebih ringkas dan menarik.21
Sementara itu, ramainya media sosial, serta merosotnya popularitas seorang da’i di televisi, turut menjadikan mereka mengubah haluan untuk ikut eksis berdakwah di media sosial. Fenomena sosial ini lantas menarik pula para kiai turut tampil di media sosial seperti, KH. Ahmad Mustofa Bisri, yang secara rutin memberi kuliah online via twitter. Bahkan, kajian kitab kuning yang biasanya hanya terbatas di pesantren- pesantren, kini mulai merambah dan menjamur di media sosial. Menariknya, tema- tema kitab yang dibahas di media sosial oleh para kiai tradisional ini memiliki genre akhlak–tasawuf, yang muatannya berisi moralitas. Dakwah di media sosial sangat bervariatif, tema yang ditawarkan tidak hanya sebatas tema moral, melainkan pula tema ibadah, pemikiran Islam, dan bahkan filsafat dan filsafat Islam. Tema-tema tersebut saling berkelindan, dan sangat memanjakan audiens/jama’ah.
(Gambar: Kultweet KH. A. Mustofa Bisri pada aku twitter @GusmusChannel)
21 https://islami.co/pandemi-corona-dan-fenomena-ngaji-online-di-dunia-pesantren/, diakses 24 Juni 2021.
Dakwah kiai di media sosial bukan hanya sebatas mentransfer ilmu. Namun harus dilengkapi dengan kontrol konten dakwah yang ditampilkan, agar sesuai dan tidak menyeleweng dari pesan dakwah yang dimaksudkan. Tema akhlak dan moralitas yang ditampilkan pun harus sejalan dengan kondisi sosial masyarakat saat itu. Sebab dakwah di media sosial masih sangat terikat dengan pola perubahan sosial, yang aktualisasinya dapat berguna sebagai upaya melakukan penataan masyarakat. Sehingga perubahan sosial yang sangat dinamis ini tidak lepas kontrol dari perhatian dan pengharapan dari ajaran agama.22
Pola baru yang dilahirkan oleh persinggungan kiai atau da’i dengan media sosial ini lantas membentuk suatu habitus atau kebiasaan baru. Habitus baru ini menyesuaikan dengan keadaan sosial masyarakat yang menuntut pelbagai sisi kehidupan dengan hal yang serba instan. Melalui medium android misalnya, masyarakat dengan mudah berselancar memenuhi hasrat yang ia inginkan, hanya dengan satu kali klik. Hal yang demikian berlaku pula pada dakwah di media sosial. Habitus kiai yang mulanya mengajar kitab-kitab di pesantren, ikut terseret mengikuti pola perubahan sosial masyarakat, dan kemudian lahirlah habitus baru kajian kitab di media sosial.
Kelahiran habitus baru ini menjadi hal yang niscaya, sebagaimana yang dikatakan Bourdieu, Habitus tercipta melalui proses sosial, bukan individual. Proses tersebut mengarah pada pola yang bertahan lama dan dapat dialihkan dari satu konteks ke konteks lain. Namun ia dapat pula bergeser dan berubah dalam kaitannya dengan konteks tertentu atau dari waktu ke waktu. Habitus memiliki sifat dinamis, dan berubah tergantung situasi dan kondisi yang tidak terduga sekalipun.
Peran kiai dan da’i pesantren berdakwah di media sosial merupakan upaya menjawab kompleksitas masalah yang terjadi. Melalui media sosial, kitab kuning menemukan momentumnya kembali. Pesantren yang semula tertutup dengan dunia luar, kini mulai menampilkan diri ke khalayak umum melalui kajian kitab kuning di media sosial. Perhatian kiai terhadap moderatisme, keutuhan kebangsaan, dan kerukunan menjadi hal yang paling fundamental untuk dikenalkan dengan metode kajian kitab kuning di media sosial.
Namun demikian, maraknya ngaji online menyisakan problem yang menjadi kelemahannya. Salah satu kelemahan Ngaji Online adalah kesulitan dan keterbatasan
22 Aris Risdiana (dkk), “Transformasi Dakwah Berbasis ‘Kitab kuning’ ke Platform Digital”, Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 1, 2020, 13-18.
dalam membina hubungan baik dan hangat, antara kiai dengan santri. Para santri tidak dapat lagi menatap langsung wajah sang kiai dan mengantri bersalaman dengan kiai.
Hubungan santri kepada kiai pada Ngaji Online mengalami perubahan orientasi.
Ketika mengikuti pengajian kitab secara tatap muka, para santri menemukan keteduhan dan ketenangan saat mereka menatap wajah sang kiai. Mereka merasa tenang dan damai berada di sekitar kiai. Karena itu, para santri berlomba-lomba untuk berada di dekat sang kiai. Kegiatan yang biasanya terjadi secara tatap muka antara kiai dengan santri di kompleks pesantren menjadi kegiatan dunia maya jarak jauh di rumah santri masing-masing.
Tentu, juga terdapat pergeseran terapeutik dalam konteks hubungan tersebut.
Pertama, pada sistem pengajian tatap muka, terapeutik terjadi karena hubungan kehangatan dengan cara memandang langsung wajah kiai yang membuat para santri merasa teduh dan tenang. Kedua, pada sistem Ngaji Online terapeutik beralih ke setting lingkungan yang membuat para santri merasa aman dan nyaman. Dengan demikian, kehangatan hubungan yang membuat santri merasa teduh beralih kepada intervensi lingkungan yang membuat santri merasa aman. Dalam sistem Ngaji Online, kehangatan hubungan mulai melemah. Ketiga, kelemahan dalam Ngaji Online, dapat ditutupi karena hubungan ruhaniyah atau ikatan spiritual antara kiai dengan santri yang masih terasa kuat. Hubungan ruhaniyah ini menjadi kunci dalam terapeutik bagi kalangan pondok pesantren.23
Teknologi dunia online telah memaksa, mengubah bahkan merampok tatanan dunia sosial dan keagamaan masyarakat. Kehadirannya di pesantren misalnya, bagaikan pisau bermata dua, di satu sisi ia menjadi satu kekuatan ampuh yang mempermudah dan mempermurah akses berbagai jenis distribusi, baik ekonomi hingga pengetahuan, namun di sisi lain, kehadirannya mengancam tatanan nilai, norma, etika, bahkan otoritas yang sejak dahulu telah mapan dan berjalan di masyarakat. Eksistensi status quo pesantren di hadapan teknologi maya dipertaruhkan dan membuat salah satu institusi tertua ini tidak hanya harus berbenah tapi juga harus melahirkan satu terobosan baru yang mestinya dapat menunggangi dan memanfaatkan media online.24
23 Samsul Arifin, “Dinamika Perubahan Relasi Kiai Santri” …., 77-78.
24 Saifuddin Zuhri Qudsy, “Pesantren Online: Pergeseran Otoritas Keagamaan di Dunia Maya”, Living Islam, Vol. II, No. 2, November 2019, 170.
D. Kesimpulan
Dakwah yang selama ini berjalan lancar nyaris tanpa kendala, tiba-tiba tersentak dan nyaris terhenti akibat Covid-19. Tantangan besar yang sedang dihadapi saat ini adalah adanya keterbatasan gerak dakwah melalui kebijakan sosial dan physical distancing, terutama dengan pendekatan dakwah pragmatis. Karena itu penggunaan dan penguasaan media teknologi informasi (melalui media online) merupakan paradigma atau arah tuju yang perlu diperkuat. Meskipun para da’i tidak bisa bertatap wajah dengan para audien, namun pesan-pesan agama masih bisa disampaikan melalui media sosial yang ada baik media elektronik maupun cetak, seperti YouTube, WhatsApp video, instagram, dan lain-lain. Saat ini mulai banyak bertebaran selebaran jadwal pengajian rutin yang dilaksanakan melalui live streaming berbagai macam platform media. Pola baru yang dilahirkan oleh persinggungan kiai atau da’i dengan media sosial ini lantas membentuk suatu habitus atau kebiasaan baru. Habitus baru ini menyesuaikan dengan keadaan sosial masyarakat yang menuntut pelbagai sisi kehidupan dengan hal yang serba instan. Melalui medium android misalnya, masyarakat dengan mudah berselancar memenuhi hasrat yang ia inginkan, hanya dengan satu kali klik. Hal yang demikian berlaku pula pada dakwah di media sosial. Peran kiai dan da’i pesantren berdakwah di media sosial merupakan upaya menjawab kompleksitas masalah yang terjadi. Melalui media sosial, kitab kuning menemukan momentumnya kembali. Pesantren yang semula tertutup dengan dunia luar, kini mulai menampilkan diri ke khalayak umum melalui kajian kitab kuning di media sosial.
Daftar Pustaka
Arifin, Samsul. Dinamika Perubahan Relasi Kiai Santri Pada ‘Ngaji Online’ di Masa Pagebluk Covid-19, Jurnal Kependudukan Indonesia, Edisi Khusus Demografi dan COVID-19, Juli 2020.
Fahrurrozi. (2017). Model-Model Dakwah di Era Kontemporer (Strategi Merestorasi Umat Menuju Moderasi dan Deradikalisasi). Mataram: LP2M UIN Mataram.
Hajar, Siti Aisyah and Muhammad Syukron Anshori. (2021) “Strategi Komunikasi Persuasif Farah Qoonita Dalam Menyampaikan Dakwah Melalui New Media,”
Aksiologi : Jurnal Pendidikan Dan Ilmu Sosial 1, no. 2: 62–66, https://doi.org/10.47134/aksiologi.v1i2.12
Hanafi, Yusuf (dkk). (2020). Pandemi Covid-19: Respon Muslim Dalam Kehidupan Sosial- Keagamaan dan Pendidikan. Sidoarjo: Delta Pijar Khatulistiwa.
Haryanto, Sindung. (2015). Sosiologi Agama dari Klasik Hingga Postmodern. Yogyakarta: Ar- Ruzz Media.
Hasan, Mohammad. (2013). Metodologi dan Pengembangan Ilmu Dakwah. Surabaya: Pena Slsabila.
https://islami.co/pandemi-corona-dan-fenomena-ngaji-online-di-dunia-pesantren/, diakses 12 Desember 2021.
Juhari. Tantangan dan Arah Dakwah di Tengah Ancaman Pandemi Covid-19. Jurnal Peurawi: Media Kajian Komunikasi Islam. Vol. 3. No. 2. 2020.
Koesmawijaya, Trisno. Eksistensi Dakwah di Tengah Pandemi Covid 19. Al-Maquro’:
Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam. Volume 01. No. 01. Desember 2020.
Lubis, M. Ridwan. (2017). Sosiologi Agama Memahami Perkembangan Agama dalam Interaksi Sosial. Jakarta: Kencana.
Miftahurrohman, Miftahurrohman, Ahmad Shofiyuddin Ichsan, and Rohmat Dwi Yunianta. (2021) “Upaya Guru Al-Qur’an Hadis dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas 2 MI Sananul Ula Piyungan Bantul Yogyakarta pada Masa Pandemi,” QuranicEdu: Journal of Islamic Education 1, no. 1: 19–39, https://jurnalannur.ac.id/index.php/QuranicEdu/article/view/112
Mediantara, Yogi and Jeratallah Aram Dani. (2020). “Covid-19 dan Perubahan Komunikasi Sosial,” Jurnal Pendidikan 3, no. 1 (2020)
Qudsy, Saifuddin Zuhri. Pesantren Online: Pergeseran Otoritas Keagamaan di Dunia Maya. Living Islam, Vol. II. No. 2. November 2019.
Ridla, M. Rosyid (dkk). (2017). Pengantar Ilmu Dakwah: Sejarah, Perpektif, dan Ruang Lingkup. Yogyakarta: Samudra Biru.
Risdiana, Aris (dkk). Transformasi Dakwah Berbasis ‘Kitab kuning’ ke Platform Digital.
Jurnal Lektur Keagamaan. Vol. 18. No. 1. 2020.
Safei, Agus Ahmad. (2016). Sosiologi Dakwah Rekonsepsi, Revitalisasi, dan Inovasi.
Yogyakarta: Deepublish.
Saputra, Wahidin. (2012). Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sholeh, Abdul Rahman. (2005). Pendidikan Agama dan Pengembangn untuk Bangsa. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Yazid, Yasril dan Alhidayatullah, Nur. (2017). Dakwah dan Perubahan Sosial. Depok:
Rajawali Pers.
Yusuf, A. Muri. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan.
Jakarta: Kencana.
ZA, Safrizal. dkk. (2020). Pedoman Umum Menghadapi Pandemi Covid-19 Bagi Pemerintah Daerah Pencegahan, Pengendalian, Diagnosis, dan Manajemen. Jakarta: Tim Kerja Kementerian Dalam Negeri.