BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Sebagai acuan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa contoh artikel jurnal ilmiah sebagai riset terdahulu. Jurnal ilmiah pertama sebagai penelitian terdahulu, yaitu diteliti oleh Nahria, Rismawaty, dan Chontina Siahaan yang berjudul “Kebebasan Pers Dalam Perspektif Jurnalis Di Daerah Konflik (Studi Kasus Pembatasan Akses Jurnalis Asing di Papua)” (2014). Penelitian ini berfokus pada kurangnya kebebasan pers di Papua.
Poin utama dalam penelitian ini bertujuan untuk mewujudkan kebebasan pers di Papua semakin terbuka dan tidak terpisahkan dari tatanan masyarakat Indonesia meskipun dihadapkan dengan berbagai tantangan. Pembatasan akses informasi Papua terhadap wartawan asing hingga sekarang masih terjadi. Sehingga isu Papua dianggap penting sebagai isu global untuk dipublikasikan (Nahria, dkk., 2014).
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konstruktivis, sama halnya dengan peneliti menggunakan pendekatan konstruktivis. Kemudian menggunakan metode studi kasus, berbeda dengan peneliti menggunakan metode studi fenomenologi. Key informan yang dipilih dari penelitian ini adalah 10 jurnalis yang bertugas langsung di Papua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh informan berpendapat jika pers asing berhak untuk memperoleh kebebasan meliput Papua.
Adanya pembatasan liputan, menjadi bentuk pelanggaran Undang-Undang Pers 9
yang menjamin kebebasan pers (Nahria, dkk., 2014).
Penelitian ini dipilih sebagai acuan penelitian terdahulu karena dalam penelitian ini membahas kebebasan pers asing yang sulit meliput tentang Papua.
Sehingga, peneliti dapat menjadikannya sebagai referensi untuk memperdalami pembahasan, adanya keterkaitan dengan pertanyaan penelitian dari peneliti tentang faktor penghambat dalam meliput isu HAM Papua, serta sama-sama menggunakan pendekatan konstruktivisme. Selain itu, yang membedakan penelitian peneliti dengan penelitian terdahulu yaitu fokus pada pengalaman dan pemaknaan wartawan dalam meliput isu HAM Papua.
Penelitian terdahulu kedua yaitu jurnal yang ditulis oleh Harjianto Malang dengan judul “Perlindungan Hukum terhadap Wartawan dalam Peliputan Berita- Berita Pemerintahan dan Masyarakat” (2014). Jurnal ilmiah ini menggunakan metode kualitatif dengan mengulas rumusan masalah mengenai apa saja bentuk- bentuk perlindungan hukum terhadap wartawan? Dan apa faktor yang menghambat pelaksanaan perlindungan hukum terhadap wartawan? Dari masalah tersebut penelitian dilakukan di Provinsi Papua Barat khususnya di Kota Sorong karena masih banyak Pejabat dan Masyarakat belum memahami arti pentingnya Pers, dan UU Pers No 40 Tahun 1999, padahal media menyampaikan pemberitaan selalu mempertimbangkan dan mempertanggungjawabkan berbagai aspek sosial sebagai tanggung jawab etika dan moral pers. Namun, pers sering disalah artikan oleh pemerintah dan masyarakat (Malang, 2014, p. 10).
Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa semua media dan jurnalisnya mempunyai hak untuk dilindungi, karena jurnalis yang bertugas di lapangan mempunyai tanggung jawab atas pemberitaannya sesuai dengan UU Pers nomor 40 tahun 1999. Maka dari itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa media cetak
harus dapat mempertanggungjawabkan berbagai aspek sosial. Hal tersebut sebagai tanggung jawab etika dan moral dari perusahaan media, agar sebelum menerbitkan berita, harus menganalisa dan merangkum berita dengan baik sesuai etika dalam penulisan berita (Malang, 2014, p. 13).
Dari penelitian ini, peneliti menjadikan pembahasan tersebut sebagai acuan dan referensi dalam penelitian peneliti. Peneliti ingin mengetahui apakah ada faktor penghambat atau faktor pendorong dalam peliputan dan pemberitaan wartawan saat melakukan tanggung jawabnya dalam hal ini meliput dan memberitakan isu HAM Papua dari media Kompas.com, Jubi Papua, dan Cenderawasih Pos. Adapun yang menjadi perbedaan penelitian peneliti dengan penelitian terdahulu ini yaitu bukan hanya fokus pada perlindungan hukum bagi wartawan, tetapi mengetahui profesionalisme kerja wartawan dan self-censorship seorang wartawan peliput isu HAM Papua lewat pengalaman dan pemaknaannya.
Penelitian terdahulu ketiga berjudul “Self Censorship dan Tanggung Jawab Sosial Media Massa”. Penelitian milik Artini yang dirilis 2011 ini berfokus pada pembahasan pentingnya sensor pribadi dan tanggung jawab sosial seorang jurnalis untuk menilai arti sebuah laporan. Pengukuran sensor pribadi didasarkan pada kesadaran pribadi jurnalis dan memegang kode etik pers sebagai landasannya (Artini, 2011).
Tujuan dari penelitian ini untuk menggambarkan tingkat sensor jurnalis dalam media yang mengacu pada etika pers, tanggung jawab sosial, dan hati nurani dalam meliput (Artini, 2011, p. 111). Sama halnya dengan tujuan peneliti, untuk menjelaskan pemaknaan self-censorship menurut pengalaman wartawan. Namun, yang berbeda, peneliti fokus kepada pengalaman wartawan yang meliput isu HAM Papua.
Menggunakan perspektif meta-analisis, penelitian terdahulu ini
memanfaatkan hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya yakni dari temuan kasus dari Dewan Pers 2001-2007, hasil temuan dari FGD antara para jurnalis Indonesia dan Australia 2010 di Sydney dan Canberra. Hasil dari penelitian Artini (2011) menunjukkan bahwa jurnalis cenderung memainkan peran dan fungsinya berdasarkan tuntutan media dan kebutuhan pasar. Maka, sejalan dengan itu ada beberapa media yang dengan sengaja bertindak tidak relevan dalam memberitakan informasi. Adapun yang menjadi implikasi penelitian terdahulu ini yaitu elemen dari sensor pribadi harus berhubungan dengan proses intelektualisasi jurnalis dalam bertugas sebagai ujung tombak medianya, dan kesetiaannya pada kejujuran dan masyarakat.
Hal baru yang membedakan penelitian peneliti dengan penelitian terdahulu ini yaitu penelitian berfokus pada pengalaman dan pemaknaan wartawan Indonesia yaitu wartawan lokal dan wartawan nasional. Selain itu, hasil penelitian murni dari hasil wawancara langsung kepada informan, bukan menggunakan hasil penelitian sebelumnya yang sudah pernah ada.
Penelitian terdahulu yang terakhir diteliti oleh Ellis dan Endang dari Universitas Dipenogoro dengan judul “Bertahan dalam Ketidakpastian Interpretative Phenomenological Analysis pada Jurnalis Perempuan di Media Cetak”. Penelitian ini dirilis pada April tahun 2020. Penelitian ini adalah penelitian fenomenologi yang berfokus pada tujuan memahami pengalaman jurnalis perempuan yang bekerja di media cetak (Panggabean, E. C., & Indrawati, E. S., 2020, p. 40).
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi dengan tipe aliran Interpretative Phenomenological Analysis (IPA) dan pengumpulan data menggunakan in-deep interview panduan wawancara semi terstruktur. Secara spesifik penelitian ini
membahas dan menghasilkan tiga tema yaitu 1) Proses kerja jurnalis perempuan; 2) Proses menjalani peran ganda; 3) Penguat untuk bertahan. Terdapat satu tema khusus yang muncul pada satu informan yaitu komitmen pada profesi. Sehingga dalam penelitian ini memberikan informasi penting mengenai dinamika psikologis jurnalis perempuan khususnya yang bekerja di media cetak (Panggabean, E. C., &
Indrawati, E. S., 2020, p. 35).
Dari penelitian terdahulu ini peneliti jadikan sebagai referensi, karena penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi aliran IPA. Walaupun secara topik tidak berkaitan dengan penelitian yang diteliti oleh peneliti, yaitu fokus pada wartawan peliput isu HAM Papua sedangkan penelitian terdahulu fokus pada wartawan perempuan di media cetak. Namun, dengan kesamaan pendekatan fenomenologi aliran IPA dapat membantu peneliti memahami dan mendalami konsep fenomenologi aliran IPA.
Menurut peneliti, dari keseluruhan jurnal ilmiah sebagai acuan riset terdahulu semakin memperkuat topik pembahasan yang peneliti lakukan.
Kesamaan dan perbedaan yang ditemukan dalam masing-masing penelitian dapat dimengerti lebih detail dan spesifik lagi. Selain itu nilai baru yang terdapat pada penelitian peneliti yaitu fokus pada area pengalaman dan pemaknaan individu yaitu wartawan yang meliput dan memberitakan isu HAM Papua.
Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu
Judul Penelitian Hasil Penelitian Relevansi
Kebebasan Pers Dalam Perspektif Jurnalis Di Daerah Konflik (Studi Kasus Pembatasan Akses Jurnalis Asing di Papua). (2014).
Oleh Nahria, Rismawaty, dan Chontina Siahaan.
Hasil penelitian terdahulu ini menunjukkan bahwa seluruh informan berpendapat jika pers asing berhak untuk memperoleh kebebasan meliput Papua.
Adanya pembatasan liputan, menjadi bentuk pelanggaran Undang-Undang Pers yang menjamin kebebasan pers.
Penelitian ini dipilih sebagai acuan penelitian terdahulu sebagai referensi untuk memperdalami pembahasan tentang faktor penghambat dalam meliput isu HAM Papua, serta sama-sama menggunakan pendekatan konstruktivisme.
Perlindungan Hukum terhadap Wartawan dalam Peliputan Berita- Berita Pemerintahan dan Masyarakat. (2014).
Oleh Harjianto Malang.
Jurnal ilmiah ini menggunakan metode kualitatif dengan mengulas rumusan masalah mengenai apa saja bentuk- bentuk perlindungan hukum terhadap wartawan? Dan apa faktor yang menghambat pelaksanaan perlindungan hukum terhadap wartawan?
Penelitian ini dapat menjadi referensi untuk memperkuat pembahasan peneliti
mengenai bentuk
perlindungan hukum terhadap wartawan. Dan sama-sama menggunakan metode kualitatif.
Self Censorship dan Tanggung Jawab Sosial Media Massa. (2011).
Oleh Artini.
Hasil dari penelitian Artini menunjukkan bahwa jurnalis cenderung memainkan peran dan fungsinya berdasarkan tuntutan media dan kebutuhan pasar.
Maka, sejalan dengan itu ada beberapa media yang dengan sengaja bertindak tidak relevan dalam memberitakan informasi.
Penelitian ini dipilih karena sama-sama membahas konsep self-censorship. Sehingga menurut peneliti dapat menjadi referensi dan acuan untuk mendalami konsep self- censorship para jurnalis dan media tempatnya bekerja.
Bertahan dalam Ketidakpastian Interpretative Phenomenological Analysis pada Jurnalis Perempuan di Media Cetak. (2020)
Oleh Ellis dan Endang.
Penelitian ini adalah penelitian fenomenologi aliran IPA yang berfokus pada tujuan memahami pengalaman jurnalis perempuan yang bekerja di media cetak.
Dari penelitian terdahulu ini peneliti jadikan sebagai referensi, karena penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi aliran IPA.
Walaupun secara topik tidak berkaitan dengan penelitian yang diteliti oleh peneliti.
Sumber: Olahan Peneliti, 2021
2.2 Teori dan Konsep
2.2.1 Teori Konstruksi Sosial
Dalam buku “Teori Komunikasi Massa Mcquail” edisi 6 (2011), dijelaskan konstruksi sosial adalah istilah abstrak terhadap sebuah kecenderungan yang luas dan berpengaruh bagi ilmu sosial. Istilah konstruksi sosial atau realitas sosial pertama kali dikenal karena publikasi buku Peter L. Berger dan Thomas Luckman yang berjudul “The Social Construction of Reality” (Dharma, 2018, p. 8). Menurut teori ini, ide mengenai masyarakat sebagai sebuah realitas objektif yang menekan individu, dilawan dengan pandangan alternatif (lebih liberal) atau dimaksud bahwa struktur, kekuatan, dan ide mengenai masyarakat diciptakan sendiri oleh manusia, secara terus-menerus realitas dibentuk dan diproduksi ulang serta terbuka untuk diubah dan di kritik.
Stanley J. Baran dan Dennis K. Davis (2010) melalui bukunya yang berjudul “Teori Dasar Komunikasi Pergolakan, dan Masa Depan Massa”
konstruksi sosial berpendapat jika lembaga sosial seperti sekolah, bisnis, gereja, dan kelompok militer terbentuk, maka kekuatan individu akan terbatas untuk melawan atau membangun kembali lembaga-lembaga tersebut. Teori ini melihat bahwa lembaga tersebutlah yang mendominasi praktik budaya. Hal itu dikarenakan lembaga sosial memiliki kekuatan besar terhadap budaya sehingga melampaui kontrol individu sebagai realitasnya.
Berger dan Luckman dalam Bungin (2013) mengatakan institusi masyarakat terbentuk dan dipertahankan melalui tindakan dan interaksi
individu. Meskipun masyarakat dan lembaga sosial terlihat nyata secara objektif, namun semuanya dibangun dalam definisi secara subjektif melalui interaksi. Jika dilihat dari perspektif teori Berger dan Luckman, konstruksinya terjadi melalui interaksi sosial yang dialektika, ada tiga bentuk dialektika realitas yaitu realitas objektif, realitas simbolis dan realitas subjektif. Pertama, realitas objektif adalah realitas yang dibentuk dari pengalaman dunia objektif yang berada di luar dari individu, atau biasa disebut sebagai kenyataan. Realitas ini juga merupakan realitas ideologi dan keyakinan. Kedua, realitas simbolis adalah ekspresi simbolis yang objektif dalam berbagai bentuk. Biasanya dalam bentuk karya seni dan isi media.
Ketiga, realitas subjektif merupakan realitas yang dibentuk sebagai proses
penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis ke dalam manusia melalui proses internalisasi.
Tak hanya itu, Berger dan Luckman (dalam Bungin, 2013) juga menemukan konsep untuk menghubungkan antara objektif dan subjektif yakni melalui konsep dialektika yang dikenal dengan eksternalisasi, objektivasi, internalisasi. Pertama, eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan sosiokultural sebagai produk manusia. Proses ini merupakan kegiatan dimana individu belajar dan mengetahui lebih luas dengan produk- produk budaya di sekitarnya. Atau dapat diartikan bahwa individu dapat berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan peranan sosial yang sudah dilembagakan.
Kedua, objektivasi produk sosial. Tahap ini masyarakat atau individu dilihat sebagai realitas objektif atau proses interaksi sosial dalam dunia interaktif yang dilembagakan. Tahap terpenting dari objektivasi
adalah melakukan signifikansi, memberikan tanda bahasa dan simbolisasi atau tanda verbal yang kompleks terhadap realitas.
Ketiga, internalisasi, adalah pemahaman yang langsung dari suatu
peristiwa objektif sebagai ungkapan suatu makna. Artinya sebagai suatu manifestasi dari proses- proses subjektif orang lain sehingga menjadi bermakna sebagai subjektif bagi individu itu sendiri. Menurut Bungin (2013) internalisasi ialah dasar bagi pemahaman mengenai “sesama saya”, atau pemahaman individu dan orang lain serta pemahaman mengenai dunia sebagai suatu makna dari kenyataan sosial.
Dari ketiga dialektika tersebut, eksternalisasi dalam konteks penelitian ini yakni wartawan berusaha mengekspresikan diri, baik dalam bentuk kegiatan mental atau fisik dengan melakukan penyesuaian diri terhadap peliputan dan pemberitaan isu HAM Papua. Selanjutnya, tahap objektivasinya adalah wartawan berinteraksi sosial dengan wartawan lainnya untuk kemudian memaknai bersama tentang profesionalisme kerja jurnalistik. Terakhir, internalisasi adalah bagaimana pemahaman serta pemaknaan wartawan terhadap profesionalisme kerja jurnalistik sebagai pengungkapan suatu makna realitas melalui tindakan yang akan dilakukan dalam menghadapi pemberitaan isu HAM Papua.
2.2.2 Teori Fenomenologi
Menurut Stanley J. Baran dan Dennis K. Davis (2010) fenomenologi adalah teori yang dikembangkan oleh Schutz seorang filsuf Eropa, teori ini berfokus pada pengalaman individu atas dunia fisik dan sosial.
Schutz berpendapat bahwa kita menjalankan kehidupan dengan
upaya atau pemikiran sedikit karena kita telah mengembangkan persediaan pengetahuan sosial untuk memaknai dengan cepat yang sedang terjadi di sekitar kita dan membentuk tindakan menggunakan pengetahuan ini.
(Baran, 2010).
Fenomenologi menjadikan pengalaman sebagai data utama sebenarnya. Apa yang diketahui individu adalah apa yang pernah dialaminya. Stanley mengemukakan tiga prinsip dasar fenomenologi.
Pertama, pengetahuan adalah kesadaran. Artinya pengetahuan ditentukan
secara langsung dari pengalaman sadar. Kedua, makna dari sesuatu terdiri atas potensi pada hidup seseorang. Artinya, bagaimana anda memaknai suatu objek, dengan cara bergantung langsung pada objek tersebut. Ketiga, bahasa adalah “Kendaraan Makna”, karena kita dapat menjelaskan pengalaman atau mendefinisikan dunia kita melalui bahasa.
Teori atau preposisi yang dihasilkan dari studi fenomenologi adalah pelajaran atau hikmah penting yang muncul dari fenomena. Asumsi pokok fenomenologi yaitu individu secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberi makna terhadap sesuatu yang dialaminya.
Dengan kata lain, pemahaman adalah suatu tindakan kreatif yakni tindakan yang menuju pemaknaan (Littlejohn, 2014).
Bila berbicara mengenai konteks penelitian fenomenologi, terdapat dua definisi popular. Pertama, penelitian fenomenologi merupakan penelitian reflektif tentang pengalaman subjektif partisipan. Kedua, penelitian fenomenologi merupakan penelitian mengenai pengalaman partisipan dan bersumber dari perspektif orang pertama (Kahija, 2017, p.
35). Dalam penelitian, fenomenologi memiliki dua aliran praktiknya yaitu aliran deskriptif dan aliran interpretatif atau biasa disebut IPA
(Interpretative Phenomenological Analysis. Aliran deskriptif memaknai bahwa penelitian fenomenologi murni dengan melihat pengalaman orang lain tanpa adanya asumsi atau prasangka dari peneliti (Kahija, 2017, p.
142). Sedangkan aliran interpretatif atau IPA memaknai bahwa penelitian fenomenologi dari peneliti sudah memiliki asumsi dasar (Kahija, 2017, p.
143). Dalam penelitian ini, nantinya peneliti akan menggunakan metode penelitian fenomenologi dengan aliran IPA. Tujuannya karena aliran IPA dinilai lebih mampu untuk menjelaskan pemaknaan pengalaman secara detail. Aliran IPA juga memberikan kesempatan adanya interpretasi atau pemaknaan secara personal daripada hanya menceritakan pengalaman saja (Smith, dkk., 2009, p. 42).
2.2.3 Kerangka Konsep
a. Konsep Jurnalistik
Jurnalistik muncul pada abad ke-14, setelah hadirnya mesin cetak.
Hal ini menjadikan jurnalistik sebagai salah satu cabang ilmu komunikasi yang ikut berkembang. Awal kemunculannya, kegiatan jurnalistik berupa kegiatan harian untuk memberikan informasi atau berita yang dikemas dalam bentuk cetak harian (Wahjuwibowo, 2015, p. 1).
Menurut Wahjuwibowo (2015) terdapat tiga definisi dari jurnalistik.
Pertama, jurnalistik merupakan rangkaian kegiatan dalam mencari, memproses, dan menyusun sebuah berita dan mengolahnya hingga dipublikasikan. Kedua, jurnalistik merupakan pengetahuan mengenai penulisan, penafsiran, dan penyebaran informasi yang terpercaya. Ketiga, jurnalistik merupakan pekerjaan untuk menyampaikan berita, tafsiran, dan
pendapat yang bersumber dari sebuah informasi atau berita. Dari tiga definisi tersebut disimpulkan bahwa jurnalistik merupakan kegiatan pencarian, pengolahan, pemberi ulasan, dan publikasi informasi kepada publik (Wahjuwibowo, 2015, p. 5). Dalam proses tersebut pembuatan dan penyuntingan tidak hanya sebatas teks, tetapi berupa foto, video, dan unsur lainnya yang dibutuhkan.
b. Profesionalisme Wartawan
Istilah “profesional” memiliki tiga arti yaitu pertama, pekerjaan wartawan menuntut pelatihan khusus, kedua profesional adalah kebalikan dari amatir, ketiga profesional dinilai dari norma-norma yang mengatur perilakunya dan dititik beratkan pada kepentingan khalayak (Mutia, 2018, p. 6). Seseorang bisa dikatakan profesional jika mempunyai keahlian tertentu melalui penempatan pengalaman, pelatihan atau pendidikan khusus di bidangnya, serta memiliki kecintaan dan dedikasi luar biasa terhadap profesi yang dipilih atau ditekuni (Sumadiria, 2008, p. 48).
Wartawan profesionalisme merupakan wartawan yang bekerja memahami tugasnya. Seperti mencari, meliput, dan mengumpulkan berita yang telah diolah, kemudian menyajikan berita kepada masyarakat.
Wartawan profesional memiliki keterampilan untuk melakukan reportase serta mengolah karya jurnalistik yang sesuai dengan nilai atau norma yang berlaku, memiliki independensi dari objek liputan dan kekuasaan, serta memiliki hati nurani dan memegang teguh kode etik jurnalistik (Mutia, 2018, p. 6). Maka dari itu, wartawan yang profesional menjalankan tugasnya dibimbing oleh kode etik. Dalam halnya wartawan Indonesia,
kode etik dikenal dengan Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) (Kusumaningrat, 2014, p. 117).
Syarat wartawan profesional sendiri tidak dituliskan secara jelas dalam Undang-Undang Pers maupun Kode Etik Jurnalistik (KEJ) atau Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Namun, kepatuhan wartawan Indonesia terhadap kode etik menjadi salah satu ciri profesionalisme di samping keahlian, keterikatan, dan kebebasan (Mutia, 2018, p. 6). Dengan pedoman kode etik, seorang wartawan tidak akan mencampurkan fakta dan opini dalam pemberitaannya, tidak akan menulis berita bohong atau plagiarisme, sadis, dan cabul, serta tidak akan menerima amplop.
Wartawan profesional hanya menginformasikan berita yang benar atau faktual (Mutia, 2018, p. 6). Adanya KEJ dapat menunjukkan bagaimana sikap profesionalisme wartawan.
c. Self-censorship / Sensor Pribadi Wartawan
Pada tingkatan individu, self-censorship atau sensor pribadi merupakan sebuah rambu-rambu dan konsep diri atau pilihan nilai seseorang dalam menghadapi berbagai masalah. Namun, dalam tingkatan organisasi seperti media massa, self-censorship merupakan tindakan pengawasan yang dilakukan sendiri terutama dalam memenuhi kepentingan masyarakat dan pasar. Secara internal, media melakukan self- censorship misalnya seperti pemilihan judul atau headline berita di surat kabar (Artini, 2011, p. 116).
Persoalan-persoalan yang timbul akibat pemberitaan di media menuntut perlunya self-censorship. Dalam menghadapi tuntutan publik,
media dengan kesadarannya berupaya untuk memenuhi selera publik dan industri. Para pemilik media khususnya, terus berusaha menerapkan self- censorship secara sistematis dengan alasan kepentingan pasar. Meski dalam sistem pers liberal, self-censorship merupakan evidensi dalam proses seleksi (Artini, 2011, p. 116).
Prinsip-prinsip dalam sistem pers juga merupakan pegangan dalam pelaksanaan self-censorship, yang sesuai dengan tujuan dan fungsi media massa. Setiap wartawan pada hakikatnya memiliki standar profesi dan model karir yang dapat diatur sendiri secara individu. Namun, bagi wartawan umumnya, pegangan moral merupakan salah satu alasan kuat untuk menggeluti profesi sebagai wartawan (Artini, 2011, p. 117).
Terdapat sembilan elemen yang harus dipenuhi oleh wartawan dalam melakukan kegiatan jurnalistik secara profesional yaitu: 1) wajib menegakkan kebenaran, 2) loyal pada masyarakat, 3) sebagai forum publik, 4) disiplin dalam verifikasi liputan, 5) menjaga kebebasan pers dari berbagai tekanan setiap liputan, 6) pengawas independen terhadap berbagai bentuk kekuasaan, 7) sajikan berita yang signifikan dan relevan, 8) menyediakan berita yang komprehensif dan proporsional, 9) mempertimbangkan hati nurani (Kovach & Rosentiel, 2001, p. 12-13).
d. Konsep Konflik (Pelanggaran HAM)
Hingga sekarang ini konflik pelanggaran HAM masih banyak terjadi. Peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi selalu mencerminkan konteks sosial-politik dan arah dari kebijakan negara, seperti yang terjadi di Papua. Konteks pelanggaran HAM yang berat di Papua berawal dari
ketegangan politik saat menyatukan Papua dengan Indonesia akibat adanya pro dan kontra. Seiring dengan itu, rangkaian kekerasan dan pelanggaran HAM terjadi. Kemudian membangkitkan pengalaman buruk bagi masyarakat Papua selama proses awal integrasi dan Pepera (Al-Rahab, 2006, p. 5).
Walaupun sudah berlakunya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi orang Papua, yang bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan bagi rakyat Papua. Namun, peristiwa pelanggaran HAM masih terus terjadi hingga sekarang melalui sebuah konflik. Menurut Alo Liliweri (2005), konflik merupakan bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh kelompok atau individu karena mereka yang terlibat memiliki perbedaan kepercayaan, sikap, nilai atau kebutuhan. Konflik juga dapat diartikan sebagai hubungan yang bertentangan antara dua pihak atau lebih yang memiliki sasaran tertentu namun tidak sejalan dengan pemikiran, perasaan dan perbuatan.
Dalam kurun waktu yang panjang, terjadi berbagai konflik saling serang dan menyerang antara otoritas pemerintah (polisi dan TNI) dengan kelompok perlawanan bersenjata dan politik Papua. Serang menyerang tersebut tidak terbatas pada sisi kekerasan bersenjata tetapi juga propaganda.
Dalam seluruh kontestasi, terjadi korban di kedua belah sisi dan lebih khusus lagi banyak korban dari kalangan sipil, juga dari kedua belah sisi.
Aksi-aksi kekerasan itu menjadi lebih dikenal sebagai permasalahan HAM di Papua (Al-Rahab, 2006).
Peristiwa yang menonjol adalah peristiwa di Enarotali, Paniai 2014.
Dalam peristiwa tersebut tercatat lima orang tewas tertembak setelah adanya percekcokan antara beberapa pemuda dengan anggota TNI, hingga saat ini
peristiwa Paniai masih dalam investigasi Komnas HAM.
Selain itu, terjadi konflik di tanah Papua bagian Wamena pada tahun 2019. Terjadi kerusuhan akibat dipicu sebuah hoaks. Dimana ada isu seorang guru yang mengeluarkan kata-kata rasis sehingga menimbulkan aksi kerusuhan Wamena. beberapa rumah di sepanjang jalan Kota Wamena dibakar, dan rumah kantor Bupati Jayawijaya pun dibakar oleh massa demonstran yang bertindak anarkis. Selain menimbulkan korban jiwa, kerusuhan yang terjadi di Wamena juga menyebabkan banyak warga mengungsi untuk menyelamatkan diri. Pasca kerusuhan yang terjadi di Wamena, pemerintah juga membatasi akses internet (Vusfitasari, 2020, p.
2).
e. Media dan Konflik di Papua
Media menempatkan posisinya di tengah untuk menentukan angle dan konstruksi beritanya. Namun, pemberitaan isu konflik dijadikan komoditas oleh media. Karena panasnya konflik berbanding lurus dengan oplah maka pers dengan sendirinya mempunyai kepentingan langsung dalam kenaikan dan perpanjangan konflik.
Selain itu, peliputan media dalam isu konflik dinilai sangat kurang.
Konflik biasanya digambarkan seakan-akan hanya antara dua pihak, pokok masalah yang sederhana dan persoalan yang berdimensi tunggal. Menurut hasil penulisan Mursito (dalam Rubawati, 2018, p. 384) dalam realitas media menemukan hasil bahwa media memilih orang atau tokoh sebagai sumber berita berdasarkan kriterianya sendiri sehingga hasil pemberitaan cenderung memihak. Dengan demikian, media bukan hanya memilih
peristiwa dan menentukan sumber berita, melainkan juga mendefinisikan peristiwa dan sumber berita.
Lewat pemberitaan media membingkai peristiwa, sehingga peristiwa yang telah terbingkai itulah yang didengar dan dibaca masyarakat. Artinya masyarakat dapat membaca peristiwa atau berita yang telah dikonstruksi oleh media. Maka dari itu, dapat dipahami bahwa masyarakat tidak mempersepsi sebuah peristiwa, tetapi mempersepsi berita tentang peristiwa, sehingga masyarakat tidak dapat memisahkan dari bingkainya sendiri (Rubawati, 2018, p. 384).
Media massa memiliki keterbatasan dalam menyajikan seluruh realitas sehingga ada proses seleksi isu atau topik yang akan disajikan kepada publik. Di Indonesia konflik masih menduduki posisi utama yang utama yang menarik perhatian media. Banyaknya budaya dari suku yang berbeda, apabila tanpa disadari toleransi yang tinggi dapat menimbulkan konflik antar budaya. Konflik yang terjadi akan terus berlangsung jika dalam masyarakat tidak mendapatkan informasi mengenai budaya masing- masing serta pentingnya toleransi (Vusfitasari, 2020).
Dangkalnya peliputan pers terhadap konflik khususnya kasus pelanggaran HAM di Papua, menunjukan bahwa media di Indonesia tidak memberikan informasi yang detail dan hanya sepenggal saja. Menurut Richard Chauvel seorang pakar dari Universitas Melbourne ditulis dalam
“Keeping West Papua in The Dark” menjelaskan jika ada kecenderungan kurangnya kebebasan pers di Papua. Sehingga pemberitaan- pemberitaan isu Papua begitu dangkal dan tidak pernah terselesaikan (Ansori, 2017, para. 6).
Dari sekian banyak daerah mengenai kebebasan pers di Indonesia,
di tanah Papua paling beresiko untuk jurnalis (Mulya, 2017, para. 2). Pers sangat terancam, dan karakter dominannya seperti kekerasan. Hal tersebut cukup berbeda dengan daerah lainnya. Situasi ini diakui oleh banyak jurnalis yang bekerja di Papua. Hukum dan institusinya seolah-olah tidak bekerja dengan efektif untuk melindungi profesi wartawan (Mulya, 2017, p. 2).
Wartawan adalah sebuah profesi, tetapi perbedaan perlakuan antara wartawan asing dan domestik sering mengalami kendala. Setiap wartawan asing yang mengajukan permohonan visa secara resmi untuk meliput Papua pasti ditolak. Wartawan asing diperlakukan sebagai pihak yang memiliki kepentingan untuk menjelek-jelekkan Indonesia. Walaupun beberapa tahun lalu, wartawan domestik sudah lebih leluasa untuk meliput di Papua namun masih ada wartawan yang mengeluh tak bebas dan masih mencekam.
(KOMNASHAM, 2016).
Selain itu, dalam jurnal HAM edisi khusus Papua (2016) menjelaskan bahwa setelah reformasi 1998, adanya tekanan terhadap media dan wartawan semakin bertambah. Aktor yang sebelumnya adalah pemerintah, sekarang berganti peran yakni anggota masyarakat, Organisasi Papua Merdeka (OPM). Jika warga masyarakat Papua tidak puas dengan pemberitaan, mereka akan datang ke kantor redaksi dan menuntut media untuk mengoreksi berita.
Data kasus kekerasan terhadap jurnalis bernama Ardiansyah Matrais jurnalis Merauke TV dan Tabloid JUBI yang ditemukan tewas di sungai pada tahun 2010, dilaporkan oleh pihak kepolisian sebagai kematian akibat bunuh diri. Namun, hasil investigasi kepolisian tersebut mengundang pertanyaan besar bagi pihak pemerhati kebebasan pers karena
peristiwa tersebut terjadi setelah liputan seri investigasinya atas deforestasi di Papua. Kasus tersebut terjadi di tengah ancaman-ancaman terhadap komunitas jurnalis marak di Merauke. Maka dari itu, Burhan menjelaskan bahwa tidak heran dan jelas menjadi pertanda bahwa kasus kekerasan membayangi pekerjaan wartawan (dalam Mulya, 2017, p. 3).
Sama halnya yang terjadi pada kasus Ambarita seorang jurnalis Viva News dan Jakarta Globe pada Maret 2011. Ambarita ditusuk oleh orang tak dikenal saat ia sedang mengendarai sepeda motor di jalan raya Entrop, Jayapura. Dari kasus ini pun, penegakan hukumnya tidak jelas, bahkan untuk mengungkap para pelakunya tidak tuntas. Kekerasan terhadap Ambarita ini berkaitan dengan berita yang ditulisnya, menyangkut tentang pengungkapan kasus asusila yang dilakukan Polisi terhadap tahanan perempuan (Mulya, 2017, p. 3).
Maka dari itu, dalam menangani sebuah konflik, media seharusnya memberikan informasi yang imbang, sehat serta dapat menenangkan suasana, dan bukan memperparah atau memanas-manasi publik untuk terpancing dengan konflik. Media harus berusaha mencari angle yang menarik sebagai bagian dalam meredam konflik. Dan menciptakan pemberitaan yang berimbang dan harus kompeten karena wartawan harus berpegang pada kode etik saat menjalankan tugasnya. Pemerintah juga perlu untuk menangani kebebasan pers di Papua, kebijakan dan perlindungan terhadap pers sangat dibutuhkan sehingga media dan wartawannya dapat meliput dan menyebarkan informasi tanpa sepihak melainkan secara fakta yang terjadi.
2.3 Alur Penelitian
Dalam setiap penelitian, terdapat alur penelitian. Alur penelitian merupakan suatu kerangka kronologi yang dilakukan peneliti secara strukturasi atau memiliki kesinambungan hubungan metodologi. Alur penelitian bukan hanya sekedar urutan biasa, tetapi tahap ini memiliki tujuan untuk menjaga fokus pada masalah serta memudahkan untuk mencapai tujuan penelitian.
Pada tahap awal, peneliti melakukan riset sederhana mengenai hal apa yang dianggap menarik dan serius. Saat proses riset, peneliti menemukan bahwa tema media dan isu HAM di Papua menjadi salah satu topik yang menarik dibahas. Maka peneliti melakukan penelusuran selanjutnya terkait isu tersebut. Peneliti berfokus pada topik-topik yang dirasa kurang mendominasi dan menjadi minoritas, salah satunya soal proses produksi pembuatan berita isu HAM di Papua dan berfokus pada jurnalisnya.
Setelah menentukan topik, peneliti melanjutkan untuk menemukan masalah ilmiah pada topik tersebut. Dengan membaca berita-berita terkait isu HAM Papua, melakukan riset penelitian terdahulu, dan membaca berbagai macam metode.
Akhirnya peneliti menemukan satu metode yang dirasa cocok, yaitu fenomenologi.
Namun, dari hasil riset ditemukan bahwa fenomenologi bukan hanya metode tetapi juga sebagai landasan teori. Maka peneliti menggunakan fenomenologi sebagai teori.
Seperti terlihat pada Gambar 2.3 dijelaskan bahwa dari konsep fenomenologi ini, peneliti ingin meneliti proses peliputan lapangan oleh jurnalis yang memberitakan isu HAM Papua. Kemudian dari situ terbagi menjadi tiga bagian, yakni meneliti pemaknaan profesionalisme jurnalis yang berpengalaman memberitakan isu HAM Papua, pemaknaan self-censorship jurnalis yang
berpengalaman memberitakan isu HAM Papua, dan apakah ada faktor penghambat saat meliput isu HAM Papua. Kemudian peneliti ingin meneliti bagaimana proses pembuatan berita isu HAM Papua oleh jurnalis.
Gambar 2.3 Bagan Alur Penelitian
PEMAKNAAN PROFESIONALISME OLEH
JURNALIS YANG MEMBERITAKAN ISU HAM
PAPUA
KONSEP FENOMENOLOGI
PROSES LIPUTAN PEMAKNAAN SELF- LAPANGAN OLEH JURNALIS CENSORSHIP OLEH JURNALIS
YANG MEMBERITAKAN ISU YANG MEMBERITAKAN ISU
HAM PAPUA HAM PAPUA
PROSES PEMBUATAN BERITA ISU HAM PAPUA
OLEH JURNALIS
ADAKAH FAKTOR PENGHAMBAT LAINNYA
Sumber: Olahan Peneliti, 2021.