commit to user BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. KAJIAN TEORI 1. Tinjauan Masyarakat Desa
a. Pengertian Masyarakat
Masyarakat adalah istilah yang paling lazim dipakai untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup dalam wilayah kelompok manusia, baik dalam tulisan ilmiah maupun dalam bahasa sehari-hari. Koentjaraningrat (2002:143-144) menjelaskan kata masyarakat berasal dari bahasa Inggris yaitu society yang berasal dari kata Latin socius yang berarti kawan.
Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar bahasa Arab Syaraka yang berarti ikut serta atau berpartisipasi. Kata Arab musyaraka berarti saling bergaul. Sedangkan bahasa Arab untuk masyarakat adalah mujtama. Jadi masyarakat dapat diartikan sebagai sekumpulan manusia yang saling bergaul atau saling berinteraksi. Koentjaraningrat (2002:146-147) memberi batasan arti masyarakat sebagai suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu adat istiadat tertentu secara kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Menurut J.L Gillin dan J.P Gillin dalam Koentjaraningrat (2002:147) merumuskan bahwa masyarakat atau society adalah "The largest grouping in which common customs, traditions, attitudes and feelings of unity are operative ". Dari pengertian tersebut dapat diuraikan bahwa, unsur grouping dalam definisi ini menyerupai unsur kesatuan hidup, unsur common coslums, traditions adalah unsur adat istiadat dan unsur kontinuitas dalam definisi kita,unsur common attitudes and feelings of unity sama dengan unsur identitas bersama, serta unsur the largest berarti terbesar.
Sedangkan MJ Herskovits dalam bukunya Idianto M mengartikan
“masyarakat adalah kelompok individu yang diorganisasikan dan mengikuti suatu cara hidup tertentu”(2004:27). Menurut Paul B Horton dalam bukunya Idianto M mengatakan “masyarakat adalah sekumpulan
commit to user
manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memilki kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian besar kegiatan dalam kelompok itu”(2004:27). Pada bagian lain Paul B Horton mengemukakan bahwa masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Ralph Linton dalam bukunya Sapardi mengatakan
“masyarakat adalah setiap kelompok manusia, yang hidup dan bekerja bersama dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga mereka dapat mengorganisir diri dan sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang jelas”(2000: 55). Selanjutnya Linton juga menjelaskan bahwa proses terbentuknya masyarakat melalui dua proses yang fundamental, yaitu:
1) Adaptasi dan organisasi tingkah laku dari individu-individu yang menyatukan diri (anggota masyarakat)
2) Berkembangnya suatu kesadaran kelompok atau kesatuan perasaan emosi (esprit de crops).
Dari pendapat beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian masyarakat adalah suatu kesatuan sosial yang mendiami suatu wilayah tertentu dalam jangka waktu yang relatif lama serta terikat oleh rasa identitas bersama.
b. Pengertian Desa
Desa merupakan satuan terkecil dari pemerintahan Indonesia sejak zaman kerajaan sampai penjajahan dan kemerdekaan. Sampai saat inipun bentuk pemerintahan desa masih tetap meskipun dalam administrasi dan perkembangannya semakin banyak. Untuk mengetahui pengertian dan definisi desa dapat dilihat dari beberapa pendapat para ahli dalam buku Khairuddin (1992:3-4). Menurut Sutardjo Kartohadikusumo dalam buku Khairuddin (1992:3), desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Bintarto mengartikan desa sebagai suatu hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil dari
commit to user
perpaduan itu adalah suatu wujud atau kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik dan kultural yang saling berinteraksi antar unsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah-daerah lain. Selain itu, Bintarto juga membedakan pengertian desa menjadi dua yaitu dalam arti umum dan arti administratif. Berdasarkan arti umum desa adalah unit-unit pemusatan penduduk yang bercorak agraris dan terletak jauh dari kota, sedangkan dalam arti administratif, desa sebagai kesatuan administratif yang dikenal dengan istilah kelurahan.
Menurut V.C Finch dalam buku Khairuddin (1992:3), The village is principally a place of residence and not primarily a business center.
Artinya bahwa desa pada dasarnya adalah suatu ternpat tinggal dan bukan merupakan pusat untuk berbisnis. Sedangkan Dwight Sanderson dalam buku Khairuddin (1992:3) memberikan pengertian yang berbeda yang didasarkan pada jumlah penduduknya. Menurut Dwight Sanderson, desa adalah suatu tempat yang mempunyai penduduk kira-kira 2.500 orang.
PJ.M Nas dalam buku Khairuddin (1992: 3-4) merumuskan pengertian desa yang dilihat dari beberapa segi yaitu:
1) Morfologi : Pemanfaatan tanah bersifat agraris (di samping tanah yang tidak terpakai), bangunan-bangunan yang terpencar 2) Jumlah penduduk : Kecil dan kepadatan rendah
3) Hukum : Hukum tersendiri
4) Ekonomi: Cara hidup bercocok tanam (agraris)
5) Sosial : Hubungan sosial tertentu bersifat pribadi, tidak banyak pilihan dan hubungan kekeluargaan dianggap lebih penting.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa, disebut bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jadi, dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian desa adalah suatu kesatuan masyarakat terkecil dan merupakan
commit to user
kesatuan hukum yang memiliki kekuasaan untuk melakukan pemerintahan sendiri, dan dengan jumlah penduduk yang relatif kecil yang sebagian besar memanfaatkan tanah secara agraris.
c. Pengetian Masyarakat Desa
Dilihat dari pengertian masyarakat dan desa, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian masyarakat desa adalah suatu kesatuan hidup yang mendiami wilayah tertentu dengan jumlah penduduk yang relatif kecil yang diikat oleh rasa identitas bersama, serta memiliki kekuasaan untuk melakukan pemerintahan sendiri. Dalam masyarakat desa selalu identik dengan suatu sistem religi yang masih kental dengan budaya animisme. Meskipun saat ini telah terjadi pergeseran yang cukup besar akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan agama-agama, namun sampai sekarang ada beberapa ritual tertentu yang masih menyelimuti penduduk desa. Hal itu dapat kita lihat dari masih adanya beberapa upacara warisan animisme seperti methil (upacara memanen padi), selapanan, ruwat kala dan berbagai upacara lainnya.
Salah satu ciri masyarakat desa adalah keeratan dan kepatuhan mereka terhadap adat istiadat masyarakatnya atau bisa disebut juga masyarakat beradat. Mereka adalah masyarakat yang terikat erat oleh kebiasaan-kebiasaan dan tradisi yang masih tradisional. Keterikatan mereka terhadap tradisi dan adat, menyebabkan mereka cukup tangguh untuk memegang teguh tradisi atau adat istiadat yang
telah berkembang sejak nenek moyangnya dan tradisi tersebut diterima sebagai kebenaran masyarakatnya. Tradisi itu sendiri merupakan pewarisan atau penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah dan harta-harta (Van Peursen, 1988: 11). Hal tersebut menunjuk bahwa tradisi merupakan suatu kebiasaan yang sudah tertanam kuat di dalam masyarakat dan dijadikan sebagai pedoman dalam bertindak dan berperilaku. Tradisi atau adat istiadat menurut Koentjaraningrat dalam buku Budiono Herusatoto (2005: 92-93) dapat dibagi dalam empat tingkatan yaitu
commit to user
tingkatan nilai budaya, nilai norma-norma, tingkat hukum, dan tingkat aturan khusus.
1. Tingkatan nilai budaya
tingkatan nilai budaya adalah berupa ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat, dan biasanya berakar pada emosi dari alam jiwa manusia. Misalnya gotong royong atau sifat kerjasama berdasarkan solidaritas yang besar.
2. Tingkatan sistem norma-norma
tingkatan ini berupa nilai-nilai budaya yang sudah terkait dengan peranan masing-masing anggota masyarakat dalam lingkungannya. Masing-masing peranan tersebut memiliki sejumlah norma yang menjadi pedoman dalam bertingkah laku, yang dalam bahasa jawa disebut Unggah-ungguh.
3. Tingkalan sistem hukum
tingkatan sistem hukum yang berlaku, misalnya hukum adat perkawinan dan hukum adat kekayaan.
4. Tingkatan aturan-aturan khusus
tingkatan ini, mengatur kegiatan-kegiatan yang terbatas ruang lingkupnya dalam masyarakat dan bersifat konkrit, misalnya aturan sopan santun.
Dengan empat tingkatan adat tersebut di atas, maka mudah untuk membeda-bedakan tindakan-tindakan simbolis dalam tradisi jawa tersebut.
Kelangsungan tradisi dalam kehidupan masyarakat sangat tergantung pada masyarakat pendukungnya. Suatu tradisi dapat bertahan selama tradisi tersebut mampu memberikan manfaat kepada para pendukungnya dan mampu menyelaraskan diri dengan perubahan zaman.
2. Tinjauan Tentang Kebudayaan a. Definisi Kebudayaan
Kebudayaan di dunia ini tidak hanya digunakan oleh para antropolog ataupun sosiolog namun para seniman atau pekerja seni juga sering menggunakan istilah kebudayaan dalam kehidupan sehari-harinya.
Pengertian kebudayaan menurut antropolog Abdullah (2006) adalah,
“Kebudayaan adalah blueprint yang telah menjadi kompas dalam perjalanan hidup manusia, ia menjadi pedoman dalam tingkah laku” (hlm.
1). Definisi lain mengenai kebudayaan, Sabtosa berpendapat, “Budaya dan
commit to user
kebudayaan merupakan kata dalam Bahasa Indonesia yang memiliki arti sebagai sesuatu yang merupakan hasil dan pengguna akal budi manusia.
Kebudayaan memiliki arti sebagai budaya yang memiliki kebenaran”
(2008:8).
Ralp Linton memberikan definisi yang berbeda pula mengenai kebudayaan dengan kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari biasanya.
Kebudayaan menurut Ralp Linton adalah sebagai berikut:
“Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakatyang mana pun dan tidak mengenai sebagian dari cara hidup itu, yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Dalam arti cara hidup seperti itu masyarakat kalau kebudayaan diterapkan pada cara hidup kita sendiri, maka tidak ada sangkut pautnya dengan main piano atau membaca karya sastra terkenal. Untuk seorang ahli ilmu sosial, kegiatan seperti main piano itu merupakan elemen-elemen belaka dalam keseluruhan kebudayaan kita.” (Soyomukti, 2010:428)
Seorang antropolog yaitu E.B.Taylor (1871), juga menyumbangkan definisi mengenai kebudayaan yaitu kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Soerjono, 2006: 150).
Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaana atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan utnuk keperluan masyarakat (Soerjono, 2006: 151).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah suatu serangkaian kegiatan yang dilakukan manusia sebagai bentuk hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang berguna untuk mencapai pemenuhan kehidupan manusia. Baik untuk dirinya sendiri maupun bagi manusia- manusia pada umumnya yang berupa bahasa, ilmu pengetahuan, perilaku dan kebiasaan, adat-istiadat, norma-norma, kebiasaan, kereligiusan, mata
commit to user
pencaharian, peralatan-peralatan perkakas kebutuhan hidup manusia yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya untuk berkembang lebih maju.
b. Wujud Kebudayaan
Wujud kebudayaan adalah suatu sistem dari ide-ide dan konsep- konsep dalam kebudayaan. Selain mendefinisikan pengertian kebudayaan, Koentjaraningrat membagi kebudayaan menjadi tiga wujud yaitu wujud ideal, sistem sosial, dan kebudayaan fisik.
Koentjaraningrat (1990: 186) menguraikan tentang wujud kebudayaan menjadi 3 macam, yaitu:
1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Ketiga wujud kebudayaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Wujud pertama adalah wujud ideal kebudayaan. Sifatnya abstrak, dan tidak dapat diraba bahkan difoto pun juga tidak bisa. Terletak dalam alam pikiran manusia dan kebudayaan ideal ini banyak tersimpan dalam arsip kartu komputer, pita komputer, dan sebagainya.ide-ide dan gagasan manusia ini banyak yang hidup dala masyarakat dan memberi jiwa pada mereka. Gagasan-gagasan itu terlepas satu sama lain melainkan saling berkaitan menjadi suatu sistem, yang biasa disebut dengan istilah sistem budaya, yang dalam artian lainnya biasa disebut juga dengan istilah adaat istiadat. Wujud kedua adalah yang disebut dengan sistem sosial, yakni mengenai tindakan berpola manusia itu sendiri. Sistem sosial terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia yang saling berinteraksi satu sama lain berdasarkan pola tertentu. Sistem sosial bersifat konkrit sehingga dapat dilakukan observasi, difoto, dan dibuat dokumentasi. Wujud ketiga disebut dengan kebudayaan fisik, yakni seluruh hasil fisik karya manusia dalam masyarakat. Bersifat konkrit, dapat diraba, difoto, dan dilihat.
commit to user
Dari ketiga wujud kebudayaan tersebut memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain. Keterkaitan yang ada pun tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Keterkaitan yang ada misalnya kebudayaan ideal dan adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia yang mampu menghasilkan benda-benda berupa kebudayaan fisik ataupun sebaliknya.
Dari tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1990) dapatlah disimpulkan bahwa, “Kebudayaan adalah merupakan hasil hasil budi daya manusia yang bersifat halus dan kasar. Hasil budi daya yang bersifat halus berupa adat istiadat (kebiasaan tata cara perilaku), kepercayaan manusia bereligius, ilmu pengetahuan, norma dan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan, hasil budaya yang bersifat kasar berupa benda- benda fisik yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia sehari-hari. Misalnya rumah tempat tinggal, peralatan dapur, peralatan rumah tangga yang lain, peralatan pertanian, pakaian, transportasi, dan lain-lain” (Hlm. 186).
c. Sifat dan Hakikat Kebudayaan
Sifat-sifat kebudayaan dapat kita lihat dan rasakan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain adalah “kebudayaan yang diperoleh dari belajar, milik bersama, sebagai pola, dan bersifat dinamis serta adaptif
“(Soyomukti, 2010:441-442).
Keempat sifat kebudayaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Kebudayaan diperoleh dari belajar
Kebudayaan manusia tidak hanya diturunkan secara biologis, tetapi juga diturunkan melalui sosialisasi dan internalisasi. Sosialisasi dengan cara bergaul dengan orang lain dalam suatu kelompok.
Artinya, perilaku manusia lebih banyak digerakkan oleh kebudayaan bukan karena insting.
2) Kebudayaan milik bersama
Dikatakan kebudayaan milik bersama karena hal itu adalah milik bersama para anggotanya. Semua anggota harus mematuhinya
commit to user
karena diikat oleh konvensi, nilai-nilai, dan norma atau bahkan aturan. Kebudayaan itu ada jika mereka bekerja sama melalui proses belajar.
3) Kebudayaan sebagai pola
Pola-pola seperti pola tingkah laku dan lain sebagainya terjadi karena dalam kebudayaan ada nilai atau batasan-batasan yang mengatur cara hidup dan tingkah laku masyarakat.
4) Kebudayaan bersifat dinamis dan adaptif
Kebudayaan bersifat dinamis atau dapat berubah, baik secara cepat ataupun lambat, tergantung pada perubahan material yang dihadapi dan menjadi penyangga hubungan di antara sesama manusia.
Sedangkan bersifat adaptif maksudnya adalah mampu beradaptasi terhadap wilayah material yang memang merupakan watak kebudayaan paling utama.
Setiap kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang berlaku umum bagi semua kebudayaan dimana pun juga. Sifat hakikat kebudayaan yang lainnya adalah sebagai berikut:
1) Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia 2) Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu
generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan
3) Kebudayaan diperlukan oleh menusia dan diwujudkan tingkah lakunya
4) Kebudayaan mencakup aturan-atauran yang berisikan kewajian- kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan- tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan.
(Soerjono, 2006: 160).
d. Gerak dan Perubahan Kebudayaan
Gerak kebudayaan itu adalah gerak manusia yang hidup dalam masyarakat yang menjadi wadah kebudayaan itu sendiri. Gerak manusia tersebut terjadi karena adanya hubungan-hubungan dengan manusia lain.
commit to user
Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian yaitu, kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi dan filsafat bahkan perubahan dalam bentuk juga aturan-aturan organisasi sosial. Perubahan kebudayaan akan berjalan terus-menerus tergantung dari dinamika masyarakatnya.
Transmisi kebudayaan, nilai-nilai kebudayaan bukanlah hanya sekedar dipindahkan dari satu bejana ke bejana berikut yaitu kepada generasi mudanya, tetapi dalam proses pembudayaan terdapat pengertian seperti inovasi, difusi, akulturasi, asimilasi, dan sebagainya.
Menurut Nurani Soyomukti (2010 : 444-446) kebudayaan berubah dengan cara :
1) Discovery dan Invention
Discovery dan Invention biasanya disebut suatu penemuan baru.
Ia dapat dikatakan sebagai pangkal tolak dalam studi mengenai pertumbuhan dan perubahan kebudayaan karena hanya dengan proses inilah unsur yang baru dapat ditambahkan kepada keseluruhan kebudayaan manusia. Discovery adalah setiap penambahan pada pengetahuan, sedangkan invention adalah penerapan yang baru dari sebuah pengetahuan.
2) Difusi kebudayaan
Difusi kebudayaan adalah proses penyebaran unsur kebudayaan dari satu individu ke individu lain, dan dari satu masyarakat ke masyarakat lain.
3) Akulturasi
Akulturasi meliputi fenomena yang timbul sebagai hasil jika kelompok-kelompok manusiayang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus, yang kemudian menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu kelompok atau pada kedua-duanya.
4) Asimilasi
Asimilasi adalah salah satu proses sosial yang telah lanjut dan yang ditandai oleh makin berkurangnya perbedaan antara individu-individu dan antar kelompok-kelompok, dan makin eratnya persatuan aksi, sikap, dan proses mental yang berhubungan dengan kepentingan dan tujuan yang sama.
“Di dalam proses pembudayaan terdapat pengertian seperti inovasi dan penemuan, difusi kebudayaan, akulturasi, asimilasi, inoveasi, fokus, krisis, dan prediksi masa depan serta banyak lagi terminologi
commit to user
lainnya “ (Ravik Karsidi, 2008: 128). Beberapa proses tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Tanpa penemuan-penemuan baru dan tanpa invensi maka suatu budaya akan mati dengan sendirinya. Penemuan artinya adalah menemukan sesuatu yang sebelumnya belum dikenal tetapi telah tersedia di alam sekitar atau di alam semesta ini.
Kemudian, invensi adalah penemuan baru yang sudah diakui, diterima dan diterapkan oleh masyarakat.
2) Difusi adalah penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain, dari orang lain ke orang lain, dan dari masyarakat ke masyarakat lain.
3) Akulturasi adalah suatu kebudayaan tertentu yang dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, yang lambat laun kebudayaan asing tersebut melebur ke dalam kebudayaan sendiri, tetapi tidak menghilangkan ciri kebudayaan lama.
4) Asimilasi adalah proses penyesuaian terhadap kebudayaan setempat.
5) Inovasi adalah masuknya unsur-unsur kebudayaan asing ke dalam kebudayaan setempat, dengan peperangan bangsa asing terhadap bangsa lain.
6) Fokus adalah kecenderungan di dalam kebudayaan ke arah kompleksitas dan variasi dalam lembaga-lembaga serta menekankan pada aspek-aspek tertentu.
7) Krisis adalah konsekuansi akibat proses akulturasi kebudayaan.
8) Visi masa depan maksudnya tanpa adanya visi yang jelas tentang nilai-nilai yang hidup dalam kebudayaan banga maka akan sulit untuk menentykan arah perkembangan masyarakat dan bangsa ke masa depan.
e. Unsur- Unsur Kebudayaan
Kebudayaan setiap bangsa terdiri dari unsur besar maupun unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai satu kesatuan. Dimana setiap unsur-unsur tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Melville J. Herskovits mengajukan empat unsur pokok kebudayaan yaitu, alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga, dan kekuasaan politik (Soerjono, 2006: 153). Antropolog terkenal lainnya yang membagi unsur- unsur kebudayaan adalah Bronislaw Malinowski.
Empat unsur pokok kebudayaan menurut Bronislaw Malinowski adalah sebagai berikut:
commit to user
1) Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya
2) Organisasi ekonomi
3) Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan;perlu diingat bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama 4) Organisasi kekuatan (Soekanto, 2006: 153)
Tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universal menurut antropolog C. Kluckhohn, yaitu:
1) Peralatan dan perlengkapan hidup manusia
2) Mata pencaharian hidup dan istem-sistem ekonomi 3) Sistem kemasyarakatan
4) Bahasa 5) Kesenian
6) Sistem pengetahuan
7) Religi (Soekanto, 2006: 154)
Ketujuh unsur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Peralatan dan perlengkapan hidup manusia itu meliputi pakaian, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transport, dan sebagainya. Peralatan dan perlengkapan tersebut dapat membantu kehidupan manusia sehari-hari.
2) Unsur kedua meliputi unsur ekonomi yaitu yang berupa pertanian, sistem produksi, sistem distribusi, dan sebagainya.
3) Sistem kemasyarakatan mencakup sistem kekerabatan, oragnisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan, dan sebagainya yang mengatur tentang kehidupan bermasyarakat.
4) Kesenian dapat berupa seni rupa, seni tari, seni suara, seni pahat, dan sebagainya yang banyak mengandung unsur keindahan.
5) Sistem pengetahuan yaitu menyangkut tentang pengatuan alam ataupun pengetahuan sosial yang ada.
commit to user
6) Religi yaitu sistem kepercayaan yang dianut atau dpercayai oleh masyarakat.
Jadi, unsur-unsur itu merupakan kesatuan hasil karya dari suatu karya yang dapat mewujudkan identitas dari suatu budaya itu sendiri yang terdiri dari unsur-unsur seperti organisasi sosial, politik, ekonomi, norma, adat istiadat, religi, kesenian, mata pencaharian, dan lain-lain. Semua unsur tersebut meurpakan kesatuan yang dibutuhkan manusia dalam masyarakat dan tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lain dalam kehidupan.
Masing-masing unsur kebudayaan universal tersebut pasti menjelma dalam tiga wujud budaya tersebut di atas, yaitu wujud sistem budaya, sistem sosial, dan unsur budaya fisik. Dengan demikian, sistem ekonomi misalnya, mempunyai wujud sebagai konsep-konsep, rencana- rencana, dan kebijaksanaan yang berhubungan dengan ekonomi, tetapi juga mempunyai wujud berupa tindakan dan interaksi berpola antara produsen, pedagang, dan konsumen. Selain itu, dalam sistem ekonomi terdapat juga unsur-unsurnya yang berupa peralatan dan benda-benda ekonomi. Demikian pula sistem religi misalnya mempunyai wujudnya sebagai sistem keyakinan dan gagasan tentang Tuhan, dewa dan roh halus, tetapi mempunyai wujudnya juga berupa upacara –upacara selain itu juga mempunyai wujud sebagai benda-benda religius.
f. Peristiwa- Peristiwa Kebudayaan
Karena adanya gerak kebudayaan yang berdampak pada terjadinya perubahan kebudayaan maka timbullah berbagai peristiwa atau fenomena dalam kebudayaan. Pertama, fenomena culture lag yaitu peristiwa yang muncul akibat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sementara itu, berbagai produk ilmu pengetahuan dan teknologi tadi umumnya bukan merupakan hasil benda hasil dari discovery, invention, maupun inovation dari budaya milik bangsa sendiri, tetapi dari bangsa lain. Karena, itu bukan merupakan kebudayaan milik sendiri sehingga mengharuskan mereka untuk menyesuaikan sistem sosial dan budaya
commit to user
mereka dengan budaya baru tersebut. Jadi, culture lag adalah salah satu bentuk kegagalan seseorang atau kelompok dalam proses belajar kebudayaan. Kedua, culture shock adalah kegoncangan kebudayaan.
Kegoncangan tersebut juga disebabkan karena pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut sesuai dengan uraian yang dikemukakan oleh Alvin Toffler dalam bukunya yang sangat terkenal Future Shock (1972) yang menggambarkan berbagai sebab akibat dan perubahan yang terjadi sebagai dampak pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan teknologi yang akhirnya mengakibatkan perubahan pola-pola organisasi, gaya hidup dan cinta yang melanda Amerika (Hari Poerwanto, 2000: 180).
g. Konsep Kebudayaan Menurut Clifford Geertz
Teori yang diungkapkan oleh Geertz yang menyatakan bahwa pentingnya agama adalah untuk memberikan konsepsi mengenai dunia, diri, dan hubungan antar keduanya. Agama dan kepercayaan disini memberikan pengaruh yang luas dan kuat akan perilaku yang dilakukan oleh masyarakat Desa. Konsep kebudayaan yang dipakai oleh Geertz adalah sebagai berikut ini:
1) Suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian dimana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya.
2) Suatu pola makna yang ditransmisikan secara historik diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana dimana orang – orang mengkomunikasikan, mengabadikannya, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan.
3) Suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur perilaku, sumber informasi, dan sumber informasi yang ekstrasomatik.
h. Hubungan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan
Manusia, masyarakat, dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sebab, manusia hidup dalam masyarakat dan dalam masyarakat itu lah yang menjadi cikal
commit to user
bakal munculnya suatu kebudayaan. Secara ringkasnya hubungan diantara ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Hubungan Manusia dengan Masyarakat
Manusia adalah makhluk sosial dan hidupnya dalam lingkungan masyarakat. Hal tersebut berarti hidup bermasyarakat itu adalah rukun bagi manusia agar benar-benar dapat mengembangkan budayanya dan mencapai kebudayaannya. Tanpa masyarakat hidup manusia tidak dapat menunjukkan sifat-sifat kemanusiaannya.
b) Hubungan Manusia dengan Kebudayaan
“Dipandang dari sudut antroplogi, manusia dapat ditinjau dari 2 segi yaitu manusia sebagai makhluk biologi dan manusia sebagai makhluk sosio-budaya” (Joko Tri Prasetya, 2011:35).
Hubungan yang ada diantara keduanya adalah bahwa manusialah yang dapat menghasilkan kebudayaan, dan sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa adanya manusia.
c) Hubungan Masyarakat dengan Kebudayaan
Manusia adalah sumber kebudayaan, berarti dalam masyarakat tertadapat banyak sekali kebudayaan karena telah menampung banyak sekali manusia. Kebudayaan tidak mungkin timbul tanpa adanya masyarakat, dan eksistensi masyarakat itu hanya dapat dimungkinkan oleh adanya kebudayaan.
Dengan melihat uraian di atas, dapat disimpulkan mengenai hubungan manusia, masyarakat dan kebudayaan yaitu bahwa ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena merupakan bentuk utuh. Karena ketiga hal tersebutlah maka kehidupan makhluk sosial dapat berlangsung selama ini. Sehingga, pada akhirnya manusia hidup bermasyarakat yang terdapat kebudayaan dan semuanya menjadi bahan kajian dalam sosiologi.
d) Keterkaitan Kebudayaan dan Agama
Agama dalam pengertian “Addien”, sumbernya adalah wahyu dari Tuhan. Sedangkan, kalau kebudayaan itu bersumber dari manusia. Jadi,
commit to user
kesimpulannya adalah agama tidak dapat dimasukkan ke dalam lingkup kebudayaan selama manusia berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dimasukkan ke dalam hasil cipta manusia.
Jadi jelas bahwa agama bukan bagian dari kebudayaan, tetapi berasal dari Tuhan. Kebudayaan menurut Islam adalah mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam nyata. Agama tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam nyata tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan alam gaib, terutama dengan Tuhan.
1) Agama Islam Sebagai Sumber Kebudayaan
Islam merupakan sumber paling baik dalam kebudayaan karena telah dicantumkan dalam kitab sucinya mengenai :
1) Dasar-dasar kepercayaan dan ideologi 2) Hikmah dan filsafat
3) Budi pekerti, kesenian, dan kesusasteraan 4) Sejarah umat dan biografi nabi-nabi 5) Undang-undang masyarakat
6) Kenegaraan dan pemerintahan
7) Kemiliteran dan undang-undang perang 8) Hukum perdata
9) Hukum pidana
10) Undang-undang alam dan tabiat (Joko Tri Prasetya, 2011:49) Kesepuluh poin menunjukkan bahwa semua yang ada di bumi sebagai sumber kebudayaan telah diatur dan ditulis dalam Al- Qur‟an.
2) Pengaruh Agama Terhadap Kebudayaan
Akulturasi dipandang secara kacamata agama dapat mempengaruhi isi iman dan budi yang tinggi. Agama memandang akulturasi sebagai
“syncrotisme” atau biasa disebut dengan perpaduan antara dua kepercayaan. Misalnya saja seperti, agama Jawa terdiri dari Islam bercampur dengan Budha.
commit to user
Menurut Koesoemadi bahwa, “Pengaruh kebudayaan Hindu terhadap kebudayaan Indonesia itu bersifat penetration pasifique ef sugestive.” (Joko Tri Setya, 2002:44)
Artinya adalah pengaruh kebudayaan itu bersifat damai dan mendorong. Sebab, datangnya kebudayaan Hindu bersifat menggiatkan dan meninggikan kebudayaan Indonesia-Kuno dengan tiada melepaskan kepribadian, dan setelah kebudayaanHindu hilang, kebudayaan Indonesia tetap kaya dan tetap tinggal dalam kepribadiannya.
Menurut Yosselin de Yong bahwa, “Pengaruh Islam terhadap kebudayaan Indonesia bersifat penetration passifique dan tolerante et constructive.” (Joko Tri Setya, 2002:45) .
Artinya, pengaruh Islam terhadap kebudayaan mamu membawa pengaruh damai dan membangun. Jadi, tidak hanya damai dan mendorong sja, tetapi juga membangun. Seperti halnya ada pengaruh-pengaruh Islam dalam perkawinan, warisan, sedekah, dan hak-hak wanita, kewajiban suami, dan sebagainya.
e) Sistem Religi Masyarakat Desa
Sistem religi merupakan salah satu bagian dari unsur-unsur kebudayaan yang dihubungkan dengan budaya tradisional. Selain itu, sistem religi juga merupakan pokok pembahasan dalam kajian antropologi selain sistem ilmu gaib.
Religi merupakan suatu kepercayaan kereligiusan yaitu percaya kepada ajaran agama. Kepercayaan pada agama di Indonesia belum sepenuhnya dapat diwujudkan pada kepercayaan agama yang meniru karena masih juga ada masyarakat kita yang mencampurkan budaya kepercayaan tradisional dengan budaya agama yang benar. Kepercayaan budaya religi yang tradisional ini sebenarnya bertentangan dengan budaya agama yang berkembang sekarang ini. Hal ini disebabkan kurang adanya kesadaran masyarakat belajar agama yang benar dan kurang adanya pendidik agama atau guru agama yang sadar untuk memberikan pendidikan agama ke masyarakat. Oleh karena kurangnya pemaknaan
commit to user
masyarakat terhadap agama yang benar maka masyarakat masih ada yang terpengaruh budaya tradisional tentang kereligiusan yang bertentangan dengan ajaran agama yang benar.
Dalam suatu sistem religi terdapat tiga unsur penting yaitu, (a) sistem keyakinan, (b) sistem upacara keagamaan, (c) suatu umat yang menganut religi tersebut” (Koentjaraningrat, 1990:377).
Ketiga unsur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut ini:
a. Sistem keyakinan
Dalam sistem kayakinan mengandung banyak sub-unsur. Para ahli antropologi menaruh perhatian terhadap konsepsi tentang dewa-dewa yang baik maupun yang jahat; sifat-sifat dan tanda-tanda dewa-dewa, konsepsi tentang mahluk-mahluk halus lainya seperti roh-roh leluhur, roh-roh lain yang baik maupuan yang jahat, hantu dan lain-lain, konsepsi tentang dewa tertinggi dan pencipta alam, masalah terciptanya dunia dan alam (kosmologi), masalah mengenai bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam (kosmologi), konsepsi tentang hidup dan mati, konsepsi tentang dunia roh dan dunia akhirat lain-lain.
Adapun sistem kepercayaan dan gagasan, pelajaran aturan agama, dongeng suci tentang riwayat-riwayat dewa-dewa (mitologi), tercantum dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga dianggap sebagai kesusastraan suci.
b. Sistem upacara keagamaan
Sistem upacara keagaman secara khusus mengandung emosi aspek yang menjadi perhatian khusus dari para ahli antroplogi ialah:
1) Tempat upacara keagamaan dilakukan 2) Saat-saat upacara keagamaan dijalankan 3) Benda-benda dan alat-alat upacara
4) Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara 5) Suatu umat yang menganut religi itu
Upacara itu sendiri banyak juga unsurnya, yaitu bersaji, berkorban, berdoa, makan bersama makanan yang telah disucikan
commit to user
dengan doa, menari tarian suci, menyanyi nyanyian suci, berpropesi atau berpawai, memainkan seni drama suci, berpuasa, intolsikasi atau menaburkan pikiran dengan makan obat bius untuk mencapai keadaan, mabuk, dan bersemedi
Dari sekian banyak unsur dalam upacara yang menjadi unsur pokok dalam ritual seni tradisi Reog adalah bersaji dan berdoa.
c. orang yang menganut agama atau religi
Sub-unsur ke-3 dalam rangka religi, adalah sub-unsur mengenai umat yang menganut agama atau religi yang bersangkutan khusus dengan sub-unsur itu. Sub unsur tersebut meliputi pengikut agama, hubungannya satu dengan lain hubungan dengan para pemimpin agama, baik dalam saat adanya upacara keagamaan maupun dalam kehidupan sehai-hari dan akhirnya sub-unsur itu juga meliputi soal- soal seperti organisasi para umat, kewajiban, serta hak-hak para warganya.
f) Konsep Kesenian Sebagai Unsur Kebudayaan
Kesenian merupakan salah satu unsur dari kebudayaan.
Koentjaraningrat (1980) memilahkan unsur kebudayaan tersebut menjadi tujuh, yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi / kepercayaan, dan kesenian. Kesenian sebagai karya atau hasil simbolisasi manusia merupakan sesuatu yang misterius. Namun demikian, secara universal, jika berbicara masalah kesenian, orang akan langsung terimajinasi dengan istilah indah. Filsuf Jerman Alexander Baumgarten berpikir bahwa kesempurnaan di dunia dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu, das Wahre (kebenaran), das Gute (kebaikan) dan das Shone (keindahan), (Soedarso, 1998, Hadi, 2006). Ketiga domain gejala manusiawi itu sebenarnya memiliki wilayahnya masing-masing;
keindahan berada dalam cakupan tangkapan indrawi, kebaikan dalam cakupan tangkapan moral atau hati nurani, sementara kebenaran bersangkutan dengan tangkapan rasio.
commit to user
Untuk memahami konsep kesenian dalam pembicaraan ini, Abdullah (1981:8-12) mengemukakan bahwa bentuk seni adalah komunikatif. Seni adalah satu dari berbagai cara untuk mengomunikasikan sesuatu. Seniman berkarya bertujuan menularkan dan mengomunikasikan kesan dan pengalaman subjektif yang berharga kepada audience. Ini bermula dari imajinasi kreatif yang dituangkan ke dalam suatu bentuk yang berisi , sehingga tersamar dalam satu kesatuan analisis tentang kesadaran dan realitas .
Seni tradisi Reog sebagai hasil karya seni merupakan sistem komunikasi dari bentuk dan isi. Bentuk yang berupa realitas gerak, musik, busana, property,dan peralatan (ubarampen) secara visual tampak oleh mata (oleh Lavi Strauss ini dinamakan struktur lahir atau surface structure (Ahimsa, 2001:61). Namun, isi yang berupa tujuan, harapan, dan cita-cita adalah komunikasi maya yang hanya dapat dipahami oleh masyarakat pendukung budayanya. Hal itu disebabkan simbol-simbol fisualnya hanya dimengerti/ disepakati oleh masyarakat setempat pendukung budayanya. Simbol-simbol yang disampaikan melalui komunikasi maya itu oleh paham strukturalisme dinamakan strukturbatin atau deep structure (Ahimsa, 2001:61-63). Sehubungan dengan hal tersebut, kesenian sebagai unsur kebudayaan tidak hanya dilihat sebagai hasil ciptaan berupa benda, produk manusia, tetapi dalam hal ini lebih dipandang sebagai suatu simbol, lambang yang mengatakan sesuatu tentang sesuatu, sehingga berhadapan dengan makna dan pesan. Karya seni adalah hasil simbolisasi manusia maka prinsip penciptaan seni merupakan pembentukan simbol dan pembentukan simbol bersifat abstraksi (Langer, 1957, Hadi, 2006:25).
3. Tinjauan Tentang Kesenian Reog Ponorogo a. Definisi Reog
Reog, sering diidentikkan dengan dunia hitam, preman atau jagoan serta tak lepas pula dari dunia mistis dan kekuatan supranatural. Dalam
commit to user
Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu- Zain, 1994 :1160), Reog dikenal sebagai salah satu kesenian tradisional masyarakat dan merupakan tarian yang menghibur. Di Pulau Jawa, misalnya Reog termasuk seni tradisional rakyat untuk hiburan; dilakukan dalam bentuk tarian.
Sedangkan di daerah Sunda, Reog dikenal sebagai salah satu hiburan biasanya dilakukan oleh 4 orang, ada pemimpinnya dan masing-masing menyandang gendang untuk dipukul-pukul; sifatnya humor dan mengundang sindiran-sindiran terhadap masyarakat.
Pengertian dari Reog ini juga ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua (Balai Pustaka, 1995:835). Reog adalah:
1 (jw) tarian tradisional dalam arena terbuka yang berfungsi sebagai hiburan rakyat, mengandung unsur magis, penari utama adalah orang yang berkepala singa dengan hiasan bulu merak, ditambah beberapa penari bertopeng dan berkuda lumping yang semuanya laki-laki.
2 (sd) tontonan tradisional sebagai hiburan rakyat mengandung unsur homor-humor sindiran.
Menurut Moelyadi (1986 : 106) menyimpulkan bahwa ada lima definisi tentang Reyok. Berikut kelima definisi tersebut:
1. Reyok adalah kesenian daerah, yang semula berasal dari kerajaan Wengker dan dicipta oleh mPu BAJANG ANUNG yang didalam cerita Reyok disebut Pujangga Anom, Bujangganong/ Ganongan.
2. Reyok adalah suatu penyerahan atau permintaan, mencukupi persyaratan perkawinan dari Dewi Sanggramawijaya= dalam cerita rakyat disebut Dewi Sanggalangit, yang didalam Sejarah Kebudayaan sebagai pertapa disebut Dewi KILISUCI (Red).
3. Reyok merupakan timbulnya kesenian baru dari leburnya dua nada Pelog-Slendro sekaligus merupakan kesatuan kembali dua wangsa besar ialah SANJAYA WANGSA dan SAILENDRAWANGSA, yang hampir-hampir tenggelam dalam arusnya Sejarah Kebudayaan Indonesia.
4. Reyok sebagai monumen dan Dokumen Sejarah Kebudayaan Daerah, yang semula nenek moyang kita tidak pernah mimpi bahwa tradisi tradisi Kebudayaan yang diwariskan itu sekali waktu akan punya nilai harga diri bangsa, mereka membudaya dengan sendirinya.
5. Reyok merupakan prasasti runtuhnya kerajaan Wengker semasa Warok pertama dan Gemblakan ditandai Candrasengkala NIR
commit to user
WUK TANPA JALU = 1000 Syaka = 1078 Masehi. Atau dengan kata kiasan Reyok dilahirkan dari adanya Warok dan Gemblakan . Reog adalah sendratari tradisioanl yang berasal dan berkembang di Kabupaten Ponorogo, 28 km dari Madiun, Jawa Timur. Reog dapat dikenali dari irama gamelannya yang membangkitkan semangat, serta baunya yang menimbulkan rangsang dan daya tarik. Biasanya pagelaran reog didukung oleh kekuatan mistik. Hal ini mengakibatkan pertunjukannya kadang-kadang menyeramkan. Reog mempertontonkan keperkasaan pembarong dalam mengangkat dadak merak seberat 50 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang pertunjukan berlangsung. Instrumen pengiringnya, kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan terutama selompret, menyuarakan nada slendro dan pelog yang memunculkan atmosfir mistik, unik, eksotis serta membangkitkan semangat. Satu group reog biasanya terdiri dari seorang warok tua, sejumlah warok muda, pembarong dan penari bujang ganong dan prabu kelono sewandono. Jumlah kelompok reog berkisar antara 20 hingga 30-n orang, peran utama berada pada tangan warok dan pembarongnya.
b. Sejarah Reog Ponorogo
Ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak istri raja Majapahit yang berasal dari Cina, selain itu juga murka kepada rajanya dalam pemerintahan yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan di mana ia mengajar seni bela diri kepada anak-anak muda, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan kerajaan Majapahit kembali.
commit to user
Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Kertabhumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabhumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda- kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya. Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bhre Kertabhumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer di antara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru di mana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewandono,Dewi Songgolangit, dan Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun di tengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri.
Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari
commit to user
pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujang Anom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan
"kerasukan" saat mementaskan tariannya.
Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai warisan budaya yang sangat kaya.
Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.
c. Pemain dalam Kesenian Reog Ponorogo
Pemain dalam kesenian Reog terdiri dari Barongan, Warok, Jatil, Bujangganong, dan Kelana sewandono yang masing - masing memiliki karakter sendiri-sendiri.
Moelyadi mendefinisikan “barongan yaitu berupa kepala harimau yang diatasnya dihinggapi / dihiasi, seekor Burung Merak yang sedang menari (ngigel) dengan mengembangkan bulunya yang indah permai, adalah menggambarkan mahkota Raja Singobarong raja kerajaan LODAYA” (1986:105). (hal ini sehingga ada sementara orang yang berkepercayaan, dimana hutan /rimba yang lebat terdapat ada burung merak diatas hutan ini, maka merupakan wahana dibawahnya akan ada terdapat Harimau- Raja rimbanya).
Warok Suromenggolo, Menurut Moelyadi “warok adalah orang yang setia dan taat pada kepercayaannya” (1986:80). Dalam pentasnya, sosok warok (warok muda) lebih terlihat sebagai pengawal/punggawa raja Kelana Sewandono atau sesepuh dan guru (warok tua). Sosok warok muda digambarkan tengah berlatih mengolah ilmu kanuragan, digambarkan
commit to user
berbadan gempal dengan bulu dada, kumis dan jambang lebat serta mata yang tajam. Sementara warok tua digambarkan sebagai pelatih atau pengawas warok muda yang digambarkan berbadan kurus, berjanggut putih panjang, dan berjalan dengan bantuan tongkat.
Jatil, Moelyadi menyebutkan “jatil adalah bakal warok dan atau bilamana gagal akan menjadi sebaliknya, yaitu dianggap menjadi jatilan atau pria yang dianggap seperti wanita, sekalipun berkelamin pria”
(1986:80). Jatilan diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit. Menurut Moelyadi “Gemblakan masa kini disebut
“homosexual”( senang sesama pria tunggal jenis). Pria yang dianggap istri itu digauli dan sebagainya seperti lazim orang bersuami-istri” ( 1986:79) .
Bujangganong, penari dan tarian yang menggambarkan sosok patih muda (patihnya Kelono Sewandono) yang cekatan,cerdik, jenaka, dan sakti. Sosok ini digambarkan dengan topeng yang mirip dengan wajah raksasa, hidung panjang, mata melotot, mulut terbuka dengan gigi yang besar tanpa taring, wajah merah darah dan rambut yang lebat warna hitam dan menutup pelipis kiri dan kanan.
Kelana Sewandono, penari dan tarian yang menggambarkan sosok Raja dari Kerajaan Bantarangin ( Kerajaan yang dipercaya berada di wilayah Ponorogo zaman dahulu). Sosok ini digambarkan dengan topeng bermahkota, wajah berwarna merah, mata besar melotot, dan kumis tipis.
Selain itu ia membawa Pecut Samandiman (berbentuk tongkat lurus dari rotan berhias jebug dari sayet warna merah diseling kuning sebanyak 5 atau 7 jebug).
4. Tinjauan Ritual Reog
Upacara ritual atau ceremony adalah “sistem atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya
commit to user
terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan” (Koentjaraningrat, 1990 : 190)
Dalam kajian antropologi agama, Victor Turner memberikan definisi ritual, menurut Turner ritual dapat diartikan sebagai “perilaku tertentu yang bersifat formal, dilakukan dalam waktu tertentu secara berkala, bukan sekedar sebagai rutinitas yang bersifat teknis, melainkan menunjuk pada tindakan yang didasari oleh keyakinan religius terhadap kekuasaan atau kekuatan-kekuatan mistis”.
Dalam analisis Djamari (1993), ritual ditinjau dari dua segi: tujuan (makna) dan cara.
Dari segi tujuan, ada ritual yang tujuannya bersyukur kepada Tuhan; ada ritual yang tujuannya mendekatkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan rahmat; dan ada yang tujuannya meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan. Adapun dari segi cara, ritual dapat dibedakan menjadi dua: individual dan kolektif. Sebagian ritual dilakukan secara perorangan, bahkan ada yang dilakukan dengan mengisolasi diri dari keramaian, seperti meditasi, bertapa, dan yoga. Ada pula ritual yang dilakukan secara kolektif (umum), seperti khotbah, salat berjamaah, dan haji (hlm.
36).
George Homans (Djamari, 1993: 38) menunjukkan hubungan antara ritual dan kecemasan. Menurut Homans, “ritual berawal dari kecemasan”. Dari segi tingkatannya, ia membagi kecemasan menjadi:
kecemasan yang bersifat “sangat”, yang ia sebut kecemasan primer; dan kecemasan yang biasa, yang ia sebut kecemasan sekunder. Selanjutnya, Homans menjelaskan bahwa kecemasan primer melahirkan ritual primer;
dan kecemasan sekunder melahirkan ritual sekunder. Oleh karena itu, ia mendefinisikan ritual primer sebagai upacara yang bertujuan mengatasi kecemasan meskipun tidak langsung berpengaruh terhadap tercapainya tujuan- dan ritual sekunder sebagai upacara penyucian untuk kompensasi kemungkinan kekeliruan atau kekurangan dalam ritual primer.
Berbeda dengan Homans, C. Anthony Wallace (Djamari, 1993: 39) meninjau ritual dari segi jangkauannya, yakni sebagai berikut:
commit to user
1. Ritual sebagai teknologi, seperti upacara yang berhubungan dengan kegiatan pertanian dan perburuan.
2. Ritual sebagai terapi, seperti upacara untuk mengobati dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
3. Ritual sebagai ideologis - mitos dan ritual tergabung untuk mengendalikan suasana perasaan hati, nilai, sentimen, dan perilaku untuk kelompok yang baik. Misalnya, upacara inisiasi yang merupakan konfirmasi kelompok terhadap status, hak, dan tanggung jawab yang baru.
4. Ritual sebagai penyelamatan (salvation), misalnya seseorang yang mempunyai pengalaman mistikal, seolah-olah menjadi orang baru; ia berhubungan dengan kosmos yang juga mempengaruhi hubungan dengan dunia profan.
5. Ritual sebagai revitalisasi (penguatan atau penghidupan kembali). Ritual ini sama dengan ritual salvation yang bertujuan untuk penyelamatan tetapi fokusnya masyarakat.
Ritual merupakan suatu bentuk upacara yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti merupakan pengalaman suci (O Dea, 1995:5-36). Pengalaman tersebut mencakup segala sesuatu yang dibuat dan dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungan dengan alam transendental yang aplikasinya berupa suguh pada danyang/sing mbahu reksa Desa.
Hubungan atau perjumpaan tersebut bukan merupakan sesuatu yang umum atau biasa, tetapi sesuatu yang bersifat khusus dan istimewa sehingga manusia membuat sesuatu cara yang pantas guna melaksanakan hubungan atau pertemuan tersebut.
Inti dari ritual kepercayaan/keyakianan/agama merupakan ungkapan permohonan atau rasa syukur kepada yang dihormati atau yang berkuasa. Oleh karena itu upacara ritual diselenggarakan pada waktu yang khusus, tempat yang khusus perbuatan yang luar biasa dengan dilengkapi berbagai peralatan ritus yang bersifat sakral (dalam bahasa Jawa dinamakan ubarampen sesaji).
5. Tinjauan Religi
Setidaknya ada dua konsep umum yang menerangkan tentang
„kepercayaan‟ kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggap Tuhan, yaitu
commit to user
antara konsep agama dan konsep religi. Koentjaraningrat (1987), sebagai salah seorang tokoh antropologi terkemuka di Indonesia, mengatakan bahawa religi adalah sebagai bagian dari kebudayaan, dalam banyak hal yang membahas tentang konsep ketuhanan beliau lebih menghindari istilah „agama‟, dan lebih menggunakan istilah yang lebih netral, yaitu
„religi‟. Ada juga yang berpendirian bahwa suatu sistem religi merupakan suatu agama, tetapi itu hanya berlaku bagi penganutnya saja; sistem religi Islam merupakan agama bagi anggota umat Islam, sistem religi Hindu Dharma merupakan suatu agama bagi orang Bali, ada juga pendirian lain yang mengatakan bahwa agama adalah semua sistem religi yang secara resmi diakui oleh negara.
Sebenarnya pendapat Koentjaraningrat di atas yang mengatakan bahwa religi adalah bagian dari kebudayaan karena beliau mengacu pada sebagain konsep yang dikembangkan oleh Emile Durkheim (1912) mengenai dasar-dasar religi dengan empat dasar komponen, yaitu :
1. Emosi keagamaan, sebagai suatu substansi yang menyebabkan manusia menjadi religius;
2. Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat tuhan atau yang dianggap sebagai tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib (supernatural);
3. Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan tuhan, dewa-dewa atau mahluk-mahluk halus yang mendiami alam gaib;
4. Kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut.
Keempat komponen tersebut sudah tentu terjalin erat satu dengan yang lain menjadi suatu sistem yang terintegrasi secara bulat; emosi keagamaan merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia.
Proses-proses fisiologis dan psikologis apakah yang terjadi apabila manusia terhinggap oleh getaran jiwa tadi, sepertinya belum banyak diteliti oleh orang-orang yang berkepentingan tentangnya, namun demikianlah kira-kiranya keadaan jiwa manusia yang dimasuki cahaya Tuhan.
commit to user
Terlepas dari pendapat perorangan ataupun batasan-batasan tertentu yang ditetapkan sebuah negara tentang konsep religi atau agama ini, yang jelas menurut konsep ilmu pengetahuan dan agama-agama yang ada di muka bumi ini menyatakan bahwa suatu bentuk aktifitas manusia yang dianggap sebagai suatu penyerahan diri terhadap Zat yang dianggap mengatur, menciptakan, atau menentukan kehidupan manusia di dunia dimana manusia hidup dan di dunia dimana manusia sudah mati yang mengacu kepada konsep E. Durkheim di atas dapat disebut sebagai agama.
Tidak semua perilaku keagamaan atau religi itu adalah khas manusia; untuk ajaran Islam misalnya bahkan hampir seluruh aktifitas keagamaan itu sumbernya adalah wahyu Tuhan, dan hanya sedikit sekali unsur-unsur gagasan manusia disana, demikian juga dengan agama-agama yang lain yang menganggap berbagai aktifitas itu sumbernya adalah Tuhan. Disini agama itu dipisahkan dengan kebudayaan, pada aktifitas- aktifitas tertentu yang tujuannnya adalah penyerahan diri (taat, bakti, doa, pemujaan, penyembahan dan sebagainya) pada Tuhan atau yang dianggap sebagai Tuhan, walaupun ada gagasan-gagasan atau tangan-tangan manusia yang turut di dalamnya merupakan aktifitas keagamaan; dilain pihak, segala bentuk tindakan, gagasan, dan hasil tindakan khas manusia yang relatif tidak melibatkan unsur-unsur keagamaan atau tidak dimaksudkan sebagai bentuk ritual tertentu, itulah kebudayaan.
a. Teori religi dalam kehidupan manusia terdahulu
Edward B Tylor (1873), dianggap sebagai bapak antropologi, mengemukakan teori tentang jiwa; dikatakannya asal mula religi itu adalah kesadaran manusia akan faham jiwa atau soul, kesadaran mana yang pada dasarnya disebabkan oleh dua hal :
a. Perbedaan yang tampak pada manusia mengenai hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati; suatu mahluk pada suatu saat dapat bergerak- gerak, berbicara, makan, menangis, berlari-lari dan sebagainya, artinya mahluk itu ada dalam keadaan hidup; tetapi pada saat yang lain mahluk itu seolah-olah tidak melakukan aktifitas apa-apa, tidak
commit to user
ada tanda-tanda gerak pada mahluk itu, artinya makhluk itu telah mati.
Demikian lambat laun manusia mulai sadar bahwa gerak dalam alam itu, atau hidup itu, disebabkan oleh sesuatu hal yang ada di samping tubuh-jasmani, dan kekuatan-kekuatan itulah yang disebut sebagai jiwa.
b. Peristiwa mimpi; dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempat-tempat lain dari pada tempat tidurnya. Demikian, manusia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada di tempat tidur, dan suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke tempat-tempat lain;
bagian lain itulah yang disebut sebagai jiwa.
Sifat abstrak dari jiwa tadi menimbulkan keyakinan diantara manusia bahwa jiwa dapat hidup langsung, lepas dari tubuh jasmani. Pada waktu hidup, jiwa masih bersangkutan dengan tubuh jasmani dan hanya dapat meninggalkan tubuh waktu manusia tidur dan waktu manusia tidak sadarkan diri (pingsan). Karena pada suatu saat serupa itu kekuatan hidup pergi melayang-layang, maka tubuh berada dalam keadaan yang lemah.
Namun menurut Tylor, walaupun melayang hubungan jiwa dengan jasmani pada saat-saat seperti tidur atau pingsan, tetap ada. Hanya pada waktu seorang manusia mati, jiwa itu pergi melepaskan diri dari hubungan tubuh-jasmani untuk selama-lamanya.
Dengan peristiwa-peristiwa di atas nyata terlihat, kalau tubuh- jasmani sudah hancur berubah menjadi debu di dalam tanah atau hilang berganti abu di dalam api upacara pembakaran mayat, maka jiwa yang telah merdeka lepas dari jasmani itu dapat berbuat sekehendak hatinya.
Menurut keyakinan ini maka alam semesta ini penuh dengan jiwa-jiwa yang merdeka dan tidak disebut sebagai jiwa lagi, tetapi dikatakan sebagai mahluk halus atau spirit; demikian pikiran manusia telah mentransformasikan kesadarannya akan adanya jiwa menjadi kepercayaan kepada mahluk-mahluk halus.
Pada tingkat pertama di dalam evolusi religinya manusia percaya bahwa mahluk-mahluk halus itulah yang menempati alam sekeliling
commit to user
tempat tinggal manusia. Mahluk-mahluk halus tadi, yang tinggal dekat sekeliling tempat tinggal manusia, dianggap bertubuh halus sehingga tidak dapat tertangkap oleh panca indera manusia, yang mampu berbuat hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh manusia, mendapat suatu tempat yang amat penting di dalam kehidupan manusia sehingga menjadi obyek penghormatan, pemujaan dan penyembahannya, dengan berbagai upacara keagamaan berupa doa, sajian atau korban. Pada tingkat religi semacam ini oleh Tylor disebut sebagai animism.
Pada tingkat kedua di dalam evolusi religi manusia percaya bahwa gerak alam hidup itu juga disebabkan oleh adanya jiwa yang ada di belakang peristiwa dan gejala alam itu; sungai-sungai yang mengalir dan terjun dari gunung ke laut, gunung yang meletus, gempa bumi yang merusak, angin taufan yang menderu, matahari yang menerangi bumi, berseminya tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya semuanya disebabkan oleh jiwa alam; dalam perkembangannya kemudian, jiwa alam ini dipersonifikasikan, dianggap oleh manusia sebagai mahluk-mahluk dengan suatu kepribadian, pikiran, dan kemauan. Mahluk-mahluk halus yang ada di belakang gerak alam serupa ini disebut dengan Dewa-dewa alam.
Pada tingkat ketiga dalam evolusi religi, bersama-sama dengan timbulnya susunan kenegaraan di dalam kehidupan masyarakat, timbul pula kepercayaan bahwa alam Dewa-dewa itu juga hidup di dalam suatu susunan seperti kenegaraan di atas, serupa dengan kehidupan manusia;
dengan demikian seolah-olah ada suatu susunan pangkat Dewa-dewa mulai dari raja Dewa sebagai Dewa yang tertinggi, sampai dengan dewa- dewa yang terendah. Suatu susunan seperti itu lambat laun akan menimbulkan suatu kesadaran bahwa semua dewa itu pada hakekatnya hanya merupakan penjelmaan saja dari satu dewa yang tertinggi. Akibat dari kepercayaan itu adalah berkembangnya kepercayaan kepada satu Tuhan yang Esa, dan timbulnya agama-agama monotheisme.
commit to user
b. Teori-teori agama pada kehidupan manusia kemudian
Teori-teori lain yang berkenaan dengan asal mula religi itu, atau dasar-dasar kepercayaan manusia yang menganggap adanya suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia dan bentuk-bentuk usaha manusia yang mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan itu telah menjadi perhatian menarik dari orang-orang tertentu, terutama dari kalangan antropologi; teori-teori itu mencakup :
1) Teori Batas Akal
Teori religi tentang batas akal ini dikembangkan oleh J.G. Frazer (1890) yang berpedoman bahwa manusia dalam kehidupannya senantiasa memecahkan berbagai persoalan hidup dengan perantara akal dan ilmu pengetahuan; namun dalam kenyataannya bahwa akal dan sistem pengetahuan itu itu sangat terbatas sekali. Makin maju kebudayaan manusia, makin luas batas akal itu, tetapi dalam banyak kebudayaan batas akal manusia masih amat sempit. Persoalan hidup yang tidak bisa dipecahkan dengan akal, dicoba dipecahkannya dengan melalui magic, ialah ilmu gaib.
Magic diartikan sebagai segala perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada pada alam, serta seluruh kompleks anggapan yang ada di belakangnya; pada mulanya manusia hanya mempergunakan ilmu gaib untuk memecehkan segala persoalan hidup yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya. Religi waktu itu belum ada dalam kebudayaan manusia, lambat laun terbukti bahwa banyak dari perbuatan magic itu tidak menunjukkan hasil yang diharapkan, maka pada saat itu orang mulai percaya bahwa alam itu didiami oleh makhluk-mahluk halus yang lebih berkuasa darinya, maka mulailah manusia mencari hubungan dengan mahluk-mahluk halus yang mendiami alam itu, dan timbullah religi.
Menurut Frazer, memang ada suatu perbedaan yang besar antara magic dan religi; magic adalah segala sistem perbuatan dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan mempergunakan
commit to user
kekuatan dan hukum-hukum gaib yang ada di dalam alam. Sebaliknya, religi adalah segala sistem perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan mahluk-mahluk halus seperti ruh-ruh, dewa dan sebagainya.
2) Teori masa Krisis Dalam Hidup Individu
Pandangan tentang masa-masa krisis ini disampaikan oleh M.
Crawley (1905) dan A.Van Gennep (1909); menurut ke dua orang ini, dalam jangka waktu hidupnya, manusia mengalami banyak krisis yang menjadi sering obyek perhatian dan dianggap sebagai suatu yang menakutkan. Bertapapun bahagianya hidup orang, entah sering atau jarang terjadi bahwa orang itu akan ingat akan kemungkinan- kemungkinan timbulnya krisis dalam hidupnya; krisis–krisis itu terutama berupa bencana-bencana sekitar sakit dan maut (mati), suatu keadaan yang sukar bahkan tidak dapat dikuasai dengan segala kepandaian, kekuasaan atau harta benda kekayaan yang mungkin dimilikinya.
Dalam jangka waktu hidup manusia, ada berbagai masa dimana kemungkinan adanya sakit maut ini besar sekali, yaitu misalnya saat kanak-kanak, masa peralihan dari usia pemuda ke dewasa , masa hamil, masa kelahiran, dan akhirnya maut. Van Gennep menyebut masa-masa itu sebagai crisis rites atau rites de passage. Dalam menghadapi masa krisis serupa itu manusia butuh melakukan perbuatan untuk memperteguh imannya dan menguatkan dirinya; perbuatan-perbuatan serupa itu, yang berupa upacara-upacara pada masa krisis tadi itulah yang merupakan pangkal dari religi dan bentuk-bentuk religi yang tertua.
3) Teori Kekuatan Luar Biasa
Pendirian ini dikemukakakan oleh seorang sarjana antropologi Inggris R.R. Marett; (1909) salah satu dasar munculnya teori ini adalah sebagai sanggahan terhadap teori religi yang dikemukakanoleh E.B. Tylor mengenai timbulnya kesadaran manusia akan jiwa; menurut Marett, kesadaran tersebut adalah hal yang bersifat terlalu kompleks bagi pikiran manusia yang baru ada pada tingkat-tingkat permulaan kehidupannya di
commit to user
muka bumi ini. Menurut Marett, pangkal daripada segala kelakuan agama ditimbulkan karena suatu perasaan rendah terhadap gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang dianggap sebagai biasa dalam kehidupan manusia. Alam, tempat gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa itu berasal, yang dianggap oleh manusia dahulu sebagai tempat adanya kekuatan- kekuatan yang melebihi kekuatan-kekuatan yang telah dikenal manusia dalam alam sekelilingnya, disebut the supernatural. Gejala-gejala, hal-hal, dan peristiwa-peristiwa yang luas biasa itu dianggap akibat dari suatu kekuatan supernatural, atau kekuatan luar biasa atau kekuatan sakti.
Adapun kepercayaan kepada suatu kekuatan sakti yang ada dalam gejala-gejala, hal-hal, dan peristiwa-peristiwa yang luar biasa tadi, oleh Marett dianggap sebagai suatu kepercayaan yang ada pada mahluk manusia sebelum ia percaya kepada mahluk halus dan ruh; dengan perkataan lain, sebelum ada kepercayaan animisme maka ada satu bentuk kepercayaan lain yang oleh Marett disebutnya sebagai praeanimisme.
4) Teori Sentimen Kemasyarakatan
Teori ini berasal dari seorang sarjana ilmu filsafat dan sosiologi bangsa Perancis, Emile Durkheim (1912), pada dasarnya sama dengan R.R.
Marett adalah menyanggah teori religi yang dikemukakan oleh Tylor;
serupa dengan celaan Marett tersebut di atas, beliau beranggapan bahwa alam pikiran manusia pada masa permulaan perkembangan kebudayaan itu belum dapat menyadari suatu paham abstrak „jiwa‟, sebagai suatu substansi yang berbeda dari jasmani. Kemudian Durkheim juga berpendirian bahwa manusia pada masa itu belum dapat menyadari faham abstrak yang lain seperti tercobaan dari jiwa menjadi ruh apabila jiwa itu telah terlepas dari jasmani yang mati. Mendasari celaan terhadap teori animisme Tylor itu maka beliau menyatakan suatu teori baru tentang dasar-dasar religi yang sama sekali berbeda dengan teori-teori yang pernah dikembangkan oleh para sarjana sebelumnya. Teori itu berpusat kepada beberapa pengertian dasar, ialah: