• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISTRIBUSI BESAR BUTIR SEDIMEN DASAR DAN KONSENTRASI SEDIMEN TERSUSPENSI AKIBAT PENGERUKAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN SUNGAI MALILI, SULAWESI SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DISTRIBUSI BESAR BUTIR SEDIMEN DASAR DAN KONSENTRASI SEDIMEN TERSUSPENSI AKIBAT PENGERUKAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN SUNGAI MALILI, SULAWESI SELATAN"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

DISTRIBUSI BESAR BUTIR SEDIMEN DASAR DAN KONSENTRASI SEDIMEN TERSUSPENSI AKIBAT

PENGERUKAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN SUNGAI MALILI,

SULAWESI SELATAN

SKRIPSI

Oleh :

MUSTIARA BAKRI HK

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(2)

ABSTRAK

MUSTIARA BAKRI HK, L111 11 259. Distribusi Besar Butir Sedimen Dasar dan Konsentrasi Sedimen Tersuspensi Akibat Pengerukan Dan Dampaknya Terhadap Komunitas Makrozoobentos di Perairan Sungai Malili, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh MAHATMA LANURU dan MARZUKI UKKAS

Sedimentasi yang terjadi pada suatu perairan menjadi salah satu faktor terganggunya kondisi ekosistem. Perairan dengan tingkat sedimentasi yang tinggi pada umumya terdapat pada area sungai. Sungai Malili merupakan salah satu daerah yang mengalami sedimentasi berkala yang selain disebabkan karena faktor hidro osseanografi juga disebabkan oleh adanya aktvitas pengerukan di sekitar badan sungai yang berdampak pada eksistensi komunitas makrozoobentos di daerah tersebut. Penelitian ini, dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2016 di Muara Sungai Malili. Metode purposive sampling digunakan untuk menentukan 4 stasiun yang berkaitan langsung maupun tidak dengan aktivitas pengerukan. Selain itu, parameter hidro oseanografi dan analisis sedimen serta komunitas makrozoobentos juga dilakukan untuk melihat dampak yang diberikan terhadap aktivtas pengerukan.

Hasil penelitian didapatkan bahwa, karakteristik sedimen di Sungai Malili berupa pasir sangat halus, pasir halus dan pasir sedang dengan kisaran rata-rata ukuran pasir yakni 0.155-0.975 mm. Di samping itu, konsentrasi sedimen tersuspensi tertinggi didapatkan pada stasiun II dan III diikuti dengan sedikitnya kelimpahan bentos pada titik tersebut. Hal ini dapat mengindikasikan adanya dampak yang dihasilkan dari kegiatan pengerukan.

Kata Kunci : Sedimentasi, Pengerukan, Sungai Malili, Makrozoobentos

(3)

ABSTRACT

MUSTIARA BAKRI HK, L111 11 259. The Distribution of Basic Grain Sediment and Suspended Sediment Concentration due to Dredging and its Impac on The Macrozoobentos Community in Malili River Waters, South Sulawesi. Supervised by MAHATMA LANURU and MARZUKI UKKAS

Sedimentation that occurs in a waters become one of the factor disturbance of ecosystem condition. Waters with high levels of sedimentation are commo from in the river area. Malili river is one of the areas that have periodic sedimentation which is caused not only by the physical factors of oceanography but also due to dredging activity around the river that affects the existence of macrozoobenthos community in the area. This result were conducted in May-June 2016 in Malili River. Purposive sampling method was used to determine 4 stations that directly or indirectly related to dredging activity. In addition, oceanographic parameters and sediment analysis as well as macrozoobenthos communities were also measured to see the impacts of dredging activity. The results showed that the sediment characteristic in Malili River was very fine sand, fine sand and medium sand the average range of sand size 0.155-0.975 mm. In addition, the highest suspended sediment concentrations are obtained at stations II and III followed by fewest benthic abundance at the point. This indicates that dredging activity impacted the sediment characteristic as well as the macrozoobenthic community of the river. So as to interpret the impact of dredging activity on the basis of the results obtained.

Kata Kunci : Sedimentation, Dregding, Malili River, Makrozoobenthos

(4)

DISTRIBUSI BESAR BUTIR SEDIMEN DASAR DAN KONSENTRASI SEDIMEN TERSUSPENSI AKIBAT

PENGERUKAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN SUNGAI MALILI,

SULAWESI SELATAN

Oleh:

MUSTIARA BAKRI HK

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Program Studi Ilmu Kelautan

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(5)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi :Distribusi Besar Butir Sedimen Dasar dan Konsentasi Sedimen Tersuspensi Akibat Pengerukan Dan Dampaknya Terhadap Komunitas Makrozoobentos di Perairan Muara Sungai Malili, Sulawesi Selatan

Nama Mahasiswa : Mustiara Bakri HK Nomor Pokok : L111 11 259 Program Studi : Ilmu Kelautan Departemen : Ilmu Kelautan

Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui :

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

Dr. Mahatma Lanuru, ST, M.Sc Ir. Marzuki Ukkas, DEA NIP.: 19701029 199503 1 001 NIP.: 19560801 199503 1 001

Mengetahui,

Dekan Ketua

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Departemen Ilmu Kelautan,

Dr. Ir. St. Aisjah Farhum, M.si Dr. Ahmad Faizal, ST. M.Si NIP.: 19690605 199303 2 002 NIP:1975072 720011 2 1 003

(6)

RIWAYAT HIDUP

Mustiara Bakri HK di Lahirkan di Mamuju, Sulawesi Barat pada tanggal 07 agustus 1993. Anak kedelapan dari sembilan bersaudara. Buah hati dari pasangan H. Muhammad Bakri HK dan Hj. Nurhayati Samad. Penulis mengawali pendidikan formal di sekolah Dasar Negeri (SDN) 01 Mamuju pada tahun 1999-2005. Kemudian melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menegah Pertama (SMP) Negeri 01 Mamuju pada tahun 2005-2008, kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 01 Mamuju tahun 2008-2011. Pada tahun 2011, penulis diterima di Universitas Hasanuddin melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.

Selama menjadi Mahasiswa, penulis aktif pada bidang kemahasiswaan dengan mengikuti Organisasi Mahasisa yaitu Senat Mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin (SEMA KELAUTAN UH) periode 2013-2014.

Pada tahun 2015, penulis melaksanakan salah satu tridarma perguruan tinggi yaitu pengabdian masyarakat dengan mengikuti Kuliah Keja Nyata (KKN) gelombang 90, di Kelurahan Lamalaka, Kecamatan Bantaeng, Kabupaten Bantaeng, Sulawasi Selatan.

Pada tahun 2016 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Makassar dan di Hatchery Marine Station Pulau Barrang Lompo Makassar. Melakukan penelitian dengan judul

‘’Distribusi Besar Butir Sedimen Dasar dan Konsentasi Sedimen Tersuspensi Akibat Pengerukan Dan Dampaknya Terhadap Komunitas Makrozoobentos

(7)

Perairan Muara Sungai Malili, Sulawesi Selatan’’. Dibawah bimbingan Dr.

Mahatma Lanuru, M.Sc dan Ir. Marzuki Ukkas, DEA.

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil Alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat tuhan Yang Maha Esa atas berkah, anugerah-Nya serta kasing saying-Nya yang tidak henti-henti. Khususnya kepada penulis dan keluarga penulis, hingga saat ini.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih yang sangat tulus kepada pihak-pihak yang telah membantu menulis mulai dari awal perkuliahan hingga tersusunnya skripsi ini.

1. Kepada kedua orangtua ku, Ayahanda H. Muhammad Bakri HK dan Ibunda Hj.

Nurhayati Samad yang telah bersedia dengan ikhlas menerima beban senang dan sakit yang dirasakan selama merawatku, menjaga serta mengarahkanku ketika salah, menerimaku apa adanya dan banyak hal yang tidak bisa diungkapkan ata semua pengorbanan dan kasih sayang mereka.

2. Kepada Dr. Mahatma Lanuru, ST., M.Sc dan Ir. Marzuki Ukkas, DEA yang telah meluangkan waktu serta pikiran untuk membimbing dan mengarahkan melalui kritik dan saran yang membangun hingga skripsi ini dapat selesai sesuai yang diinginkan.

3. Kepada Dr. Wasir Samad, S.Si, M.Si. Dr. Khairul Amri, ST, M.Sc. Stud dan Dr. Yayu Anugrah La Nafie, ST, M.Sc. selaku dosen penguji, memberikan tanggapan dan saran terhadap penyempurnaan skripsi ini.

4. Kepada Ibu Dr. Ir. St. Aisjah Farhum, M.si selaku Dekan FIKP beserta jajarannya, bapak Dr. Mahatma Lanuru M.Sc selaku Ketua Departemen Ilmu Kelautan.

(9)

5. Bapak dan Ibu dosen Departemen Ilmu Kelautan yang telah membagikan pengetahuan dan pengalaman kepada penulis.

6. Kepada seluruh saudara tak serahim, seperjuangan OMBAK KELAUTAN 2011, Terutama Widyastuti si calon Doctor telah banyak membantu dalam hal penulisan. Hardin Lakota, Nizar Hardiansyah, Muh Arham, Muh. Isman, Ivander, Aswin, Asgar saputra, Januardi Septian, Issatul, Abunaim Arifin, Damar Sagara, Alif Farul Raazi, Fajar fajrin, Asirwan, Muh Reza Hidayat, Taufik Kurahman, Mustono, Afdal, Sulham Syahid, Robby Nimzet, Firman Wira Pratama, Samsul Bahri, Funty Septiawaty polapa, Raodah Septi Legina, Ismayanti, Fajria Sari Sakaria, Dewi suswati Kamal, Hasriani Ayu Lestari, Sitti Radiah Jasrah, Gamariah, Wulan Sari Usman, Wajdiah, Annisa Surya Karimah, Endang, Suci Rahmadani Artika, Irma, Fajaria Sari Sakaria, Sartina, Rany Ristanti, Suwigo, Surahman, Muh Lukman, Arif Rifan, Eva, (Alm. Recky dan Rina) yang selalu mendampingi, menyemangati, susah senang bersama, pengingat terbaik, memberikan hidup penulis lebih bahagia.

7. Kepada seluruh KELUARGA SENAT MAHASISWA ILMU KELAUTAN Universitas Hasanuddin terima kasih atas semua arahan, ilmu dan pengetahuan, bimbingan serta pelajaran hidup yang diberikan kepada penulis.

8. Untuk semua pihak yang telah membantu tapi tidak sempat disebutkan satu persatu, terima kasih untuk segala bantuannya.

Semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat dan Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua bentuk kebaikan dan ketulusan yang telah diberikan oleh penulis.

(10)

DAFTAR ISI

SKRIPSI ... ii

ABSTRAK ...iii

ABSTRACT ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

RIWAYAT HIDUP ...iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ...x

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan dan Kegunaan ... 2

C. Ruang Lingkup ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. Gambaran Umum Sedimentasi ... 3

B. Pengangkutan dan Pengendapan Sedimen ... 4

C. Muatan dan Sistem Transportasi Sedimen ... 7

D. Sedimen Tersuspensi ... 8

E. Sedimentasi Muara Sungai ... 8

F. Estuaria ... 10

G. Karaktristik Sungai ... 11

H. Jenis dan Karakteristik Sedimen... 13

I. Makrozoobenthos ... 16

J. Peranan Benthos ... 16

K. Distribusi Benthos ... 17

L. Klasifikasi Benthos ... 18

M. Parameter Hidro Oseanografi ... 19

a) Suhu ... 19

b) Salinitas ... 20

(11)

c) Kecepatan Arus ... 21

N. Indeks Ekologi ... 21

III. METODE PENELITIAN ... 23

A. Waktu dan Tempat ... 23

B. Alat dan Bahan ... 23

C. Prosedur Penelitian ... 24

1. Tahap Persiapan ... 24

2. Tahap Penentuan Stasiun ... 24

3. Tahap Pengambilan Data ... 26

4. Analisis Sampel di Laboratorium ... 28

5. Analisis Data ... 30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

A. Gambaran Umum Lokasi ... 32

B. Faktor Lingkungan / Parameter Oseanografi ... 33

1. Suhu ... 33

2. Salinitas ... 34

3. Kecepatan Arus ... 35

4. Kandungan Bahan Organik Terlarut (BOT) ... 36

C. Tekstur Sedimen Sungai Malili ... 38

D. Konsentrasi Sedimen Tersuspensi ... 39

E. Dampak Pengerukan Terhadap Benthos ... 41

1. Distribusi Makrozoobnthos... 41

2. Kelimpahan Benthos ... 43

3. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) ... 43

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Lokasi Pengambilan sampel sedimen dasar, sedimen tersuspensi dan

benthos ... 25

Gambar 2. Nilai rata-rata suhu pada tiap stasiun. ... 33

Gambar 3. Nilai salinitas setiap stasiun. ... 34

Gambar 4. Nilai kecepatan arus setiap stasiun. ... 35

Gambar 5.Kandungan Bahan Organik Total (BOT) pada setiap stasiun. ... 37

Gambar 6. Tingkat Kecerahan ... 41

Gambar 7. Kelimpahan benthos pada setiap stasiun. ... 43

Gambar 8. Indeks Ekologi Benthos pada setiap stasiun (indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi). ... 44

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skala Wentworth untuk mengklasifikasi partikel-partikel sedimen ... 15

Tabel 2. Titik kordinat lokasi sampling sedimen dasar, sedimen tersuspensi dan benthos ... 25

Tabel 3. Kriteria kandungan bahan organik dalam sedimen (Reynold, 1971)... 28

Tabel 4. Tipe butiran sedimen untuk seluruh stasiun. ... 38

Tabel 5. Konsentrasi sedimen tersuspensi. ... 40

Tabel 6. Distribusi makrozoobenthos pada setiap stasiun. ... 41

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisis besar butir sedimen setiap stasiun ... 51

Lampiran 2. Indeks Keanekaragaman setiap stasiun ... 52

Lampiran 3.Parameter Lingkungan setiap stasiun ... 53

Lampiran 4. Pengukuran kandungan bahan organik total (BOT) ... 53

Lampiran 5. Kelimpahan Makrozoobentos ... 54

Lampiran 6. Sampel Benthos ... 55

Lampiran 7. Pengambilan Sampel ... 56

Lampiran 8. Analisis Sampel ... 57

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Muara Sungai Malili merupakan tempat pertemuan antara air laut dengan air sungai dan merupakan bagian hilir dari sungai. Muara Sungai Malili berpotensi terjadi sedimentasi yang dibawa oleh sungai sehingga berpengaruh pada perilaku kehidupan organisme muara.

Muara Sungai Malili mengalami pengendapan lumpur dan pasir secara terus menurus mengakibatkan pendangkalan alur pelayaran sehingga mengharuskan pihak yang terkait untuk melakukan kegiatan pengerukan di lokasi tersebut.

Pengerukan adalah mengambil tanah atau material dari lokasi dasar air, biasanya perairan dangkal seperti danau, sungai, muara ataupun laut dangkal, dan memindahkan atau membuangnya ke lokasi lain.

Ketentuan mengenai aktifitas pengerukan diatur pada Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 52 Tahun 2011 tentang Pengerukan dan Reklamasi (Pasal 2 dan Pasal 4). Kegiatan pengerukan oleh peraturan pemerintah tersebut ini dikategorikan sebagai kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap sistem hidrologi dan ekologis yang lebih luas dari batas dampak kegiatan itu sendiri, perubahan batimetri, ekosistem, dan menganggu proses alamiah baik di daerah perairan maupun pada perairan laut atau pantai, sehingga dapat mengakibatkan menurunnya produktifitas kawasan yang dapat menimbulkan dampak sosial.

Benthos merupakan komponen yang sangat penting dalam jaring-jaring makanan di suatu perairan, dimanfaatkan sebagai makanan bagi konsumen yang lebih tinggi, misalnya burung, ikan dan lain-lain. Pengerukan terhadap benthos

(16)

mempengaruhi faktor fisik kimia perairan, sehingga secara tidak langsung juga akan berpengaruh terhadap keanekaragaman makrozoobenthos. (Hendrasarie, 2001).

Berdasarkan fenomena tersebut diatas maka penting dilakukan penelitian tentang distibusi tekstur sedimen dasar dan sedimen tersuspensi akibat pengerukan dan dampaknnya terhadap kominitas benthos dan perairan Muara Sungai Malili.

B. Tujuan dan Kegunaan Tujuan dari penelitian ini yaitu

1. Mengetahui besar butir sedimen dasar akibat pengerukan 2. Mengukur konsentrasi sedimen tersuspensi akibat pengerukan 3. Mengertahui dampak pengerukan terhadap benthos.

Kegunaan dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat menjadi bahan informasi terhadap implikasi pengerukan dan terhadap organisme benthos pada sedimen dasar perairan Muara Sungai Malili.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini terbatas pada pengambilan sampel sedimen dasar untuk analisis ukuran butiran dan penentuan kandungan organik sedimen, pengambilan air sungai, pengukuran konsentrasi sedimen tersuspensi, melakukan pengukuran suhu, salinitas, kecerahan dan arus perairan, serta identifikasi jenis benthos.

(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum Sedimentasi

Sedimen adalah material atau pecahan dari batuan, mineral dan material organik yang melayang-layang di dalam air, udara, maupun yang dikumpulkan di dasar sungai atau laut oleh pembawa atau perantara alami lainnya.

Beberapa ahli memberikan pengertian yang berbeda tentang sedimen.

menurut (Suripin, 2003) Sedimentasi merupakan akibat lebih laju dari erosi yang terdapat pada daerah yang lebih rendah, terutama pendangkalan mulut kanal.

Material erosi yang dibawa aliran air dari hulu, pada saat memasuki daerah/ saluran yang ditandai, tidak semuanya mampu hanyut kehilir, sebagian akan terendapkan disepanjang perjalanan disaluran sungai yang dilewati.

Pipkin (1977) menyatakan bahwa sedimen adalah pecahan, mineral, atau material organik yang ditransportasikan dari berbagai sumber dan diendapkan oleh media udara, angin, es, atau oleh air dan juga termasuk didalamnya material yang diendapakan dari material yang melayang dalam air atau dalam bentuk larutan kimia. Selanjutnya oleh (Pettijohn, 1975) mendefinisikan sedimentasi sebagai proses pembentukan sedimen atau batuan sedimen yang diakibatkan oleh pengendapan dari material pembentuk atau asalnya pada suatu tempat yang disebut dengan lingkungan pengendapan berupa sungai, muara, danau, delta, estuaria, laut dangkal sampai laut dalam. Sedangkan (Gross, 1990) mendefinisikan sedimen laut sebagai akumulasi dari mineral-mineral dan pecahan-pecahan batuan yang bercampur dengan hancuran cangkang dan tulang dari organisme laut serta beberapa partikel lain yang terbentuk lewat proses kimia yang terjadi di laut.

(18)

Sedimentasi dapat didefenisikan sebagai pengangkutan, melayangnya (suspensi) atau mengendapnya material fragmentasi oleh air atau sedimentasi merupakan pengendapan yang terjadi pada bagian-bagian tertentu pada saluran dengan kondisi aliran dan dasar saluran yang memungkinkannya terjadinya pengendapan tersebut.

B. Pengangkutan dan Pengendapan Sedimen

Dua sifat yang mempengaruhi media untuk mengangkut partikel sedimen adalah berat jenis dan kekentalan media. Berat jenis media akan mempengaruhi gerakan media, terutama cairan. Sebagai contoh air sungai bergerak turun karena berat jenis yang langsung berhubungan dengan gravitasi. Sedangkan pada jenis sedimen dan ukuran partikel- partikel tanah serta komposisi mineral dan bahan induk yang menyusun dikenal bermacam sedimen seperti pasir, liat, dan lain sebagainya. Tergantung dari ukuan partikelnya, sedimen ditemukan terlarut dalam sungai atau disebut muatan sedimen (suspended sediment) dan merayap (bed load) (Anasiru, 2006).

Secara garis besar ada dua jenis sedimen yang ditransportasikan yaitu cohesive dan non cohesive, Transportasi sedimen cohesive adalah suspended load transport (transport sedimen tersuspensi) karena kebanyakan sifatnya melayang dalam badan air, sedangkan non cohesive disebut bed load transport (Transpor sedimen dasar).

Material sedimentasi umumnya bersumber dari kontingen yang ditransportasi melalui sungai atau media dalam bentuk sedimen trigen, mulai dari ukuran kasar hingga ukuran halus. Angkutan sedimen dasar adalah angkutan material sedimen yang terkonsentrasi atau dekat dengan dasar perairan, termasuk dalam angkutan

(19)

1. Muatan Dasar (Bed Load Transport)

Muatan dasar (bed load) adalah partikel yang bergerak pada dasar sungai dengan cara berguling meluncur dan meloncat. Muatan dasar keadaannya selau bergerak, oleh sebab itu pada sepanjang aliran dasar sungai selau terjadi proses degradasi.

2. Sedimen layang (suspended Load)

Partikel sedimen dikatakan melayang bila mana partikel tersebut bergerak tanpa menyentuh dsar saluran. Karena adanya pengaruh gaya berat, partikel-partikel tersebut cenderung untuk mengendap.

Kecenderungan untuk mengendap ini akan dilawan oleh gerakan partikel zat cair, yaitu komponen fluktuasi kecepatan dari aliran turbulen. Angkutan sedimen melayang sering disertai dengan angkutan sedimen dasar, dan transisi antara dua metode transport tersebut dapat terjadi secara bertahap, sesuai dengan perubahan kondisi aliran.

Soemarto (1987), mengatakan bahwa sedimentasi merupakan perpaduan antara proses pengakutan dan pengendapan material tersuspensi atau material fragmental oleh air, sehingga terjadi erosi dan member dampak terhadap banyak perubahan-perubahan lingkungan sebagai berikut :

a) Di sungai, pengendapan sedimen di dasar sungai yang menyebabkan naiknya dasar sungai, kemudian menyebabkan tingginya permukaan air sehingga mengakibatkan banjir yang menimpa lahan-lahan yang tidak dilindungi (unprotected land). Hal tersebut diatas dapat pula mengakibatkan aliran mengering dan mencari aliran baru.

(20)

b) Di saluran, jika saluran irigasi atau saluran pelayaran dialiri oleh air yang penuh sedimen akan terjadi pengendapan sedimen dari dasar saluran tersebut.

c) Pengendapan sedimen di waduk-waduk, akan mengurangi volume efektifitasnya.

d) Di bendung atau pintu-pintu air, yang menyebabkan kesulitan dalam mengoperasikan pintu-pintu.

e) Di daerah sepanjang sungai, akan menyebabkan terjadinya endapan yang menggangu stabilitas pantai dan juga mempengaruhi organisme bentik disekitarnya.

Supriharyono (2002), mengatakan bahwa pengendapan sedimen atau sedimentasi ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kecepatan arus sungai, kondisi dasar sungai, turbulensi, dan lainnya termasuk diameter sedimen itu sendiri. Sedimen dengan diameter 104µm akan tererosi oleh arus dengan kecepatan 150cm/det, dan terbawa arus kecepatan antara 90-150 cm/det, selanjutnya akan mengendap pada kecepatan > 90cm/det. Hal yang sama untuk sedimen yang halus 102µm, sedimen ini dengan kecepatan arus > 30 cm/det, dan terdeposisi pada kecepatan, 15cm/det. Konsekuensi dari hal ini, bahwa di daerah estuari yang arus sungainya dan arus pasang surutnya kuat, maka seluruh partikel –partikel sedimen kemungkinan akan tererosi dan terbawa arus, begitu arus agak melemah, sedimen berkurang besar, seperti pasir, akan mengendap dulu, sedangkan sedimen yang berukuran halus seperti shit dan clay, masih terbawa arus. Partikel-partikel ini mengendap ketika arus sudah cukup lemah, yaitu di daerah tengah estuaria, dimana arus sungai dan laut bertemu.

(21)

Laju sedimentasi atau kecepatan endapan (settling) sedimen tergantung pada ukuran partikel. Kebanyakan sedimen yang terbawa ke daerah estuaria berada dalam bentuk suspensi dan berukuran kecil. Partikel-partikel tersebut umumnya berdiameter < 2µm dan merupakan komposisi dan clay mineral yaitu illite koalinite, dan montmorilanite, yang dibawa oleh air sungai. Semakin kecil diameter sedimen semakin sulit mengendap.

C. Muatan dan Sistem Transportasi Sedimen

Massa air selalu mengandung komponen-komponen fisik, kimia, baik yang biotik maupun yang abiotik, yang secara umum disebut sebagai sedimen. Muata sedimen dalam air ini dapat terdapat dalam berbagai ukuran butir, dari yang sangat kasar sampai yang sangat halus dan bahkan dalam tingkatan suspensi, koloid, dan larutan. Namun dapat pula muatan sedimen ini mengalami pemilihan yang sangat bagus sehingga hanya didominasi oleh ukuran butir tertentu, baik yang sangat kasar, kasar, sedang bahkan sampai yang halus dan sangat halus atau larutan sekalipun.

Ukuran butir sedimen pada muatan dasar dapat dalam tingkatan yang sangat kasar seperti bongkah, kerakal dan kerikil sampai dengan pasir. Ukuran pasir biasanya dipisahkan dari tingkatan pasir sangat kasar, kasar, sedang, halus dan sangat halus. Ada beberapa klasifikasi ukuran butir, namun yang sering digunakan adalah klasifikasi cara (Wenthworth, 1992) yang merupakan perbaikan cara dari (Udden, 1898). Muatan suspense biasanya ditekankan pada yang berukuran disiplin geologi dan tehnik sipil pada umumnya. Tingkat koloid dan larutan lebih diminati oleh disiplik kimia, baik yang mengaitkan dengan ilmu lingkungan, geokimia, dan biokimia.

(22)

Sistem pengangkutan sedimen, terutama tergantung pada ukuran jenis butirnya, dapat berlangsung menggeser (dragging), menggelundung (rolling), meloncat (saltation), yang ketiganya sering masuk dalam sistem traksi (traction), melayang (suspension) dan melarut (solution). Dari system menggeser sampai dengan system melarut merupakan kemenerusan yang menunjukkan ukuran butir yang semakin halus, berat butir yang semskin ringan, dan system aliran yang semakin tenang. Selain itu sebenarnya terdapat sedimen yang tersangkut secara mengambang(floatation, flotation), sebagai misal batuapung, kayu dan daun.

D. Sedimen Tersuspensi

Sedimen tersupensi merupakan padatan yang berada pada kolom air dan memiliki ukuran partikel 0,45 – 2,0 mm, dikenal pula dengan sebutan seston.

Masuknya padatan suspensi kedalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air.

Hal ini menyebabkan turunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktifitas perairan menurun yang pada akhirnya menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai makanan. Kekuatan dasar untuk mentranspor muatan tersuspensi adalah aliran terbulensi. Partikel tersuspensi dalam air disebut dengan suspensi aquus secara aktif saling menukar muatan dengan substrak masing-masing (Ongkosongo, 2010)

E. Sedimentasi Muara Sungai

Neraca sedimen ini merupakan perhitungan keseimbangan (equilibrium) jumlah sedimen yang masuk dengan jumlah yang keluar, di mana sebagian dari yang tertahan sementara atau menetap, baik dalam kondisi suplus atau defisit sedimen, akan mempengaruhi hidup, kehidupan, dan pertumbuhan biota yang ada.

Dampak terharap perubahan neraca sedimen alami dalam bentuk kecemaran

(23)

lingkungan dan kerusakan lingkungan menyebabkan gangguan terhadap rantai kehidupan dan makanan, termasuk produktivitas yang menjadi keseimbangan berkelanjutan lingkungan setempat (Ongkosongo, 2010)

Sebagai salah satu tempat yang mengalamin sedimentasi aktif, daerah muara sungai, apalagi pada perairan berenergi tinggi, memiliki banyak endapan sedimen seringkali pasir dan muaranya mengalami pendangkalan (river mounth shoaling)

(24)

F. Estuaria

Estuaria adalah suatu perairan semi tertutup yang berada di bagian hilir sungai dan masih berhubungan dengan laut, sehingga memungkinkan terjadinya percampuran antara air tawar dan air laut (Dahuri, 2004 ; Efrieldi, 1999) merupakan daerah pertemuan massa air asin dan air tawar, yang secara periodik berubah-ubah karena adanya percampuran. Percampuran ini menyebabkan zona lingkungan dikawasan muara sungai sangat labil. Walaupun demikian kawasan ini merupakan daerah yang sangat produktif karena input nutrient dari daratan yang dibawa oleh aliran sungai (Thoha, 2007).

1) Tipe Estuaria

Berdasarkan pada sirkulasi air dan stratifikasi airnya estuaria terbagi atas 3 tipe yaitu:

a) Estuaria berstatifikasi sempurna/nyata atau estuaria baji garam, cirinya adanya batasan yang jelas antara air tawar dan air laut/asin.

Air tawar dari sungai merupakan lapisan atas dan air laut menjadi lapisan bawah. Terjadinya perubahan salinitas dengan cepat dari arah permukaan kedasar. Estuaria ditemukan didaerah-daerah dimana aliran air tawar dan sebagaian besar lebih dominan daripada instrusi air laut yang dipengaruhi oleh pasang surut.

b) Estuaria campuran sempurna atau estuaria homogen vertikal.

Dijumpai di lokasi-lokasi dimana arus pasang surut sangat dominan dan kuat, sehingga air estuaria tercampur dan tidak terdapat stratifikasi.

(25)

c) Estuaria berstratifikasi sebagian/parsial (paling umum di jumpai).

Aliran air tawar dari sungai seimbang dengan air laut yang masuk melalui air pasang. Percampuran air dapat terjadi karena adanya turbulensi yang berlangsung secara berkala oleh pasang surut.

G. Karaktristik Sungai

a) Berdasarkan Sumber Airnya 1) Sungai Hujan

Sungai hujan diketahui bahwa adalah sungai yang sumber airnya berasal dari air hujan. Air yang berasal dari air hujan ini dapat turun baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Sungai yang sumber airnya secara langsung berasal dari air hujan, maka apabila curah hujan yang jatuh langsung mengalir ke permukaan bumi dan kemudian akan masuk ke dalam aliran sungai. Sedangkan sungai hujan yang airnya secara tidak langsung berasal dari air hujan, apabila ada hujan turun maka akan lebih dulu mengalami peresapan ke dalam tanah atau infiltrasi dan pada tempat- tempat yang lebih rendah. Kemudian air hujan yang tadi meresap ke dalam tanah akan kembali muncul sebagai mata air dan kemudian membentuk suatu aliran sungai. Pada umumnya, jenis sungai hujan ini merupakan sungai yang mendominasi sungai- sungai yang ada di Indonesia.

2) Sungai Glester

Yang dimaksud dengan sungai gletser adalah salju yang mencair.

Gletser adalah lapisan es yang bergerak secara perlahan- lahan melalui lembah menuruni pegunungan– pengunungan karena memiliki gaya berat.

(26)

Karena sungai glestser berasal dari salju yang mencair, maka sungai gletser ini biasanya terdapat di daerah yang mempunyai iklim dingin, yakni daerah yang ada di sekitar kutub- kutub bumi.

3) Sungai Campuran

Sungai campuran merupakan sungai yang asal mula airnya dari campuran air hujan dan juga gletser. Di daerah garis lintang yang sedang, beberapa pengunungan yang tinggi pada umumnya tertutupi oleh salju. Di puncak gunung tersebut banyak glester yang meleleh kemudian menuruni lereng melalui lembah- lembah dari gunung tersebut. Gletser dari gunung ini dapat mencair karena berbagai macam faktor seperti karena adanya perubahan suhu dan dapat terjadi sewaktu- waktu dan mengisi lembah- lembah lereng tersebut. Di wilayah lereng pegunungan tersebut juga memiliki daerah presipitasi atau peresapan yang tinggi maka air hujan di daerah tersebut juga masuk ke dalam palung- palung sungai. Sungai yang mana airnya berasal dari gletser yang telah mencair dan juga dari air hujan disebut dengan sungai campuran. Ada beberapa contoh sungai campuran yang terdapat di Indonesia.

b) Berdasarkan Debit Airnya 1) Sungai Permanen

Sungai permanen merupakan sungai yang mana debit airnya bersifat tetap sepanjang tahun. Bahkan seperti tidak ada perubahan yang berarti pada besar kecilnya debit air pada pada musim penghujan maupun musim kemarau.

(27)

2) Sungai Periodik

Sungai periodik adalah sungai yang memiliki debit air melimpah pada musim penghujan dan kecil ketika musim kemarau. Sehingga kita tahu bahwa sungai periodik ini merupakan sungai yang keadaannya menurut alur musim.

3) Sungai Episodik

Sungai episodik hampir mirip dengan sungai Periodik. Yang membedakan hanya tingkat keparahannya. Sungai Episodik merupakan sungai yang mempunyai debit air yang besar ketika musim penghujan dan akan kering ketika musim kemarau tiba. Sungai episodik ini banyak terdapat di daerah- daerah yang memiliki musim kemarau sangat panjang dibandingkan dengan musim penghujannya.

H. Jenis dan Karakteristik Sedimen

Pada umumnnya struktur sedimen diperairan teluk berupa lensa-lensa lempung (flaser), dimana struktur sedimen yang ada tidak terlalu dipengaruhi oleh laut terbuka melainkan sangat dipengaruhi oleh pasang surut. Pada waktu surut ia mengendapkan bagian sedimen dari darat sedangkan pada waktu pasang mengenadpkan bagian sedimen dari laut. Sehingga mengakibatkan terjadinya pengendapkan yang selang seling antara fraksi kasar dan fraksi halus yaitu antara pasir halus dan lempung. Jika disayat tegak lurus arus maka akan terlihat penampang lapisan yang berupa lensa-lensa pasir (lenticular) dan lensa-lensa lempung (flaser). Ini mencerminka ndaerah pasang surut atau tidak flag (Graha, 1987).

(28)

Hutabarat dan Evans (1984), mengklasifikasikan beberapa jenis sedimen berdadarkan asalnya, yaitu :

1. Sedimen Lithogeneus, yakni sedimen yang berasal dari batu-batuan di darat.

Hal ini terjadi karena adanya suatu kondisi fisik yang ekstrim seperti yang disebabkan oleh adanya pemanasan dan pendinginan batuan yang terjadi secara berulang-ulang.

2. Sedimen Biogeneus, yakni sedimen yang berasal dari rangka organisme hidup yang membentuk endapan partikel-partikel halus.

3. Sedimen Hidrogeneus, yakni sedimen berasal dari reaksi kimia dalam air laut. Hasil reaksi tersebut membentuk partikel-partikel yang tidak larut dalam air sehingga mengendap ke dasar.

Sedangkan berdasarkan tenaga pengangkutnya, sedimen dapat digolongkan atas tiga bagian utama, yaitu :

1. Sedimen Aquatis, yaitu sedimen yang diendapkan oleh tenaga air

2. Sedimen Aeolis/Aeris, yaitu sedimen yang diendapkan oleh tenang angin.

3. Sedimen Glasial, yaitu sedimen yang diendapkan oleh glatster.

Batuan sedimen yang ada di muka bumi iniberdasarkan cara terbentuknya dapat dikelompokkan ke dalam 5 kelompok besar yaitu : batuan sedimen detritus(klasik), batuan sedimen evaporit, batuan sedimen batu bara, batuan sedimen silika dan batuan sedimen dan sedimen karbonat. Setiap kelompok tersebut mempunyai tempat pengendapan sendiri, mulai pengendapan dilingkungan darat, sungai, danau, sampai kelingkungan laut (Anwar, 2005).

Butiran sedimen dihasilkan oleh bebatuan yang hancur, tapi hanya satu dari dua kategori dasar yang lainnya terbuat dari calcium carbonat. Butiran sedimen akibat penghancuran bebatuan disebut sebagai sedimen klasik sedangkan sebagian

(29)

besar butiran calcium carbonat disebut biogenik karena kebanyakan terbuat dari cangkang atau kerangka invertebrata. Beberapa area tropis airnya jenuh dengan kalsium karbonat dan ini dapat berprestasi membentuk olite, kalsium karbonattidak secara langsung membentuk sedimen (Pethick, 1984)

Sedimen terutama terdiri dari partikel-partikel yang berasal dari hasil pembongkaran batu-batuan dan potongan-potongan kulit (shell) serta sisa-sisa rangka dari organisme laut. Pada Tabel 1 memuat kiasaran ukuran Wentworth yang digunakan untuk mengukur partikel-partikel yang diklasifikasikan mulai dari golongan yang termasuk partikel tanah liat yang berukuran diameter kurang dari 0.004 mm sampai kepada boulder (batu berukuran besar yang berasal dari kikisan arus air) yang mempunyai ukuran diameter 256 mm (Hutabarat dan Evans 2000).

Tabel 1. Skala Wentworth untuk mengklasifikasi partikel-partikel sedimen Kelas Ukuran Butir Diameter Butir (mm)

Boulders (Kerikil besar) >256

Gravel (Kerikil kecil) 2 – 256

Very coarse sand (Pasir sangat kasar) 1 – 2

Coarse sand (Pasir kasar) 0,5 – 1

Medium sand (Pasir sedang) 0,25 – 0,5

Fine sand (Pasir halus) 0,125 – 0,25

Very fine sand (Pasir sangat halus) 0,0625 – 0,125

Silt (Debu) 0,002 – 0,0625

Clay (Lempung) 0,0005 – 0,002

Dissolved material (Material terlarut) < 0,0005 Sumber: Hutabarat dan Evans (2000)

(30)

I. Makrozoobenthos

Makrozoobentos adalah organisme yang hidup didasar perairan (epifauna) atau di dalam substrat dasar perairan (infauna) dengan ukuran lebih besar dari 1mm (Odum, 1993).

Makrozoobentos memiliki siklus hidup yakni hidup sebagai bentos dalam separuh dari fase hidupnya. Pada umumnya cacing dan bivalvia hidup sebagai bentos pada stadia dewasa, sedangkan ikan demersal hidup sebagi bentos pada stadia larva (Nybakken, 1992)

Menurut (Ihlas, 2001), makrozoobentos berdasarkan dapat diklasifikasikan cara makannya kedalam lima kelompok yaitu : Hewan pemangsa, hewan penggali, hewan pemakan detritus yang mengendap dipermukaan, hewan yang menelan makanan pada dasar, hewan yang sumberb bahan makanannya dari atas permukaan.

J. Peranan Benthos

Benthos merupakan sumber daya hayati perairan alam lingkungan yang hidup di dasar perairan. Organisme yang relative mudah didentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok Makrozoobentos (Rizky, 2007). Hewan ini sangat peka terhadap kualitas air tempat hidupnya sehingga dapat berpengaruh terhadap komposisi dan distribusi.

Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya perubahan lingkungan dari waktu ke waktu, karena organisme ini terus menerus terendam oleh air yang kulalitasnya berubah-ubah. Ketika air surut, organisme akan kembali ke dasar perairan untuk mencari makan. Beberapa makrozoobentos dari kelas Gastropoda, Bivalvia, Crustacea, dan Polychaeta (Arief, 2003).

(31)

Benthos memegang peranan yang penting dalam komunitas perairan, terutama dalam pendaur ulangan bahan organik dan proses mineralisasi, serta menduduki posisi penting dalam rantai makanan, yaitu tingkat rantai makanan kedua dan ketiga. Sebagai konsumen tingkkat pertama, hewan bentos terdiri dari pemakan tanaman air tingkat tinggi dan sebagai konsumen tingkat kedua, hewan bentos memangsa zooplankton atau sesame hewan bentos lainnya. (Lind, 1979 dalam Sudarja, 1987).

Makrozoobentos dapat dipergunakan untuk menduga kualitas perairan dalam jangka waktu panjang karena bebrapa jenis organisme dasar sangat peka terhadap perubahan lingkungan yang ekstrim (Mason, 1981 dalam Sappaile, 1991). Perairan yang mempunyai tingkat kestabilan rendah akan memiliki organisme bentos yang indeks keanekaragaman rendah pula. Tingkat kestabilan yang rendah ini disebabkan karena miskinnya jumlah spesies bentos. (Payne, 1986 dalam Sudarja, 1987).

K. Distribusi Benthos

Macan (1963) dalam Massinai (1990) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi keberadaan makrozoobentos di perairan adalah kedalaman, fluktuasi, faktor fisika, kimia, serta pemangsaan. Penyebaran hewan bentos dipengaruhi oleh sifat fisika, kimia dan biologi perairan. Sifat fisika yang berpengaruh langsung terhadap hewan makrozoobentos adalah kedalaman, kecepatan arus, kekeruhan, substrat dasar dan suhu, kangdungan dioksida bebas, dan kandungan oksigen terlarut (Odum, 1971).

Krebs (1978) dalam Massinai (1990) berpendapat bahwa faktor biologi perairan yang mempengaruhi komunitas hewan bentos dalam hal kompetensi (persaingan ruangan hidup dan makan) dan tingkat produksi primer. Masing-masing

(32)

faktor biologi tersebut saling berinteraksi dan bersama-sama mempengaruhi komunitas bentos pada suatu perairan.

Menurut Welch (1999) daerah litoral dihuni oleh hewan bentos yang jauh lebih banyak, baik jumlah maupun jenisnya, bila dibandingkan dengan daerah sub litoral menyatakan bahwa pada dasar perairan yang lebih dalam, bahan-bahan organik yang terkandung di dalamnya cenderung kurang melimpah, sehingga produktivitas perairan di atasnya juga berkurang, menyebabkan kepadatan hewan bentos rendah.

L. Klasifikasi Benthos

Berdasarkan ukurannya (Lind, 1979) mengklasifikasikan zoobentos menjadi dua kelompok yaitu mikrozoobentos dan makrozoobentos. Sejalan dengan ukurannya (Hutabarat dan Evans, 2000) juga mengklasifikasikan zoobentos ke dalam tiga kelompok berdasarkan ukurannya, yaitu :

1. Mikrofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran < 0,1 mm yang digolongkan ke dalam protozoa dan bakteri.

2. Meiofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran 0,1 hingga 1,0 mm.

digolongkan ke dalam beberapa kelas protozoa berukuran besar dan kelas krustasea yang sangat kecil serta cacing dan larva invertebrata.

3. Makrofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran lebih besar dari > 1 mm.

Digolongkan ke dalam hewan moluska, echinodermata, krustasea dan beberapa filum annelid.

Beberapa tempat hidupnya, zoobentos dibagi atas dua kelompok, yaitu : (a) epifauna yaitu organisme bentik yang hidup dan berasosiasi dengan permukaan

(33)

substrat, (b) infauna yaitu organisme bentik yang hidup di dalam sedimen (substrat) dengan cara menggali lubang (Hutabarat dan Evans,1985)

Odum (1971), mengklasifikasikan zoobentos berdasarkan kebiasaan makannya ke dalam dua kelompok yaitu : (a) filter-feeder yaitu hewan yang menyaring partikel-partikel detritus yang melayang-layang dalam perairan misalnya Balanus (Crustacea), Chaetopterus (Polyhaeta) dan Crepudia (Gastropoda). (b) deposit-feeder yaitu hewan bentos yang memakan partikel-partikel yang telah mengendap di dasar perairan misalnya Terebella dan Amphitrile (Polychaeta), Tellina dan Arba (Bivalvia).

Sejalan dengan kebiasaan makannya (Krebs, 1978) membagi pula ke dalam lima kelompok yaitu : hewan pemangsa, hewan penggali, hewan pemakan detritus yang mengendap di permukaan, hewan yang menelan makanan pada dasar, dan hewan yang sumber makanannya dari atas permukaan.

M. Parameter Hidro Oseanografi a) Suhu

Suhu merupakan faktor fisik yang sangat penting di sungai. Perubahan suhu akan berpengaruh besar terhadap sifat-sifat air laut lainnya serta kepada biota laut (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Hewan yang hidup di zona pasang-surut dan sering mengalami kekeringan mempunyai daya tahan yang besar terhadap perubahan suhu. Hewan yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan suhu dikenal bersifat euriterm sedangkan stenoterm yakni hewan dengan sifat toleransi yang kecil terhadap perubahan suhu lingkungan. Suhu air permukaan di perairan Nusantara kita umumnya berkisar antara 28-310C (Nontji, 2002).

(34)

Perairan pantai daerah tropika umumnya memiliki suhu antara 27-290C, dimana akan mengalami peningkatan seiring berkurangnya kedalaman air. Suhu pada permukaan dataran lumpur atau batuan dapat mencapai 400C, akan tetapi suhu dalam hutan mangrove yang teduh biasanya lebih wajar (Whitten, 1984).

Suhu 25-360C adalah nilai kisaran yang dapat di tolerir oleh makrozoobentos karena dapat mendukung hidup yang layak dalam habitat mereka (Sukarno, 1988) sedangkan (Hawkes, 1978) menjelaskan bahwa suhu 35-400C merupakan suhu letak bagi makrozoobentos dalam artian bahwa makrozoobentos telah mencapai titik kritis yang dapat menyebabkan kematian.

b) Salinitas

Salinitas merupakan faktor penting yang juga mempengaruhi komunitas bentos di daerah pasang surut (Koesoebiono, 1979). Faktor yang bereaksi pada daerah intertidal adalah salinitas yang mana dapat menimbulkan tekanan osmotik.

Perubahan salinitas akan mempengaruhi keseimbangan di dalam tubuh organisme melalui perubahan berat jenis air dan perubahan tekanan osmosis. Semakin tinggi salinitas, semakin tinggi tekanan osmosisnya sehingga organisme harus memiliki kemampuan beradaptasi terhadap perubahan salinitas sampai batas tertentu melalui mekanisme osmoregulasi. Menurut Nybakken (1988), osmoregulasi adalah kemampuan mengatur konsentrasi garam atau air di cairan internal.

Selanjutnya Nybakken (1988) menjelaskan bahwa fluktuasi salinitas di daerah intertidal disebabkan oleh dua hal. Pertama, akibat hujan lebat sehingga salinitas akan sangat turun dan kedua, akibat penguapan yang sangat tinggi pada siang hari sehingga salinitas akan sangat tinggi. Organisme yang hidup di daerah

(35)

intertidal biasanya beradaptasi untuk mentolerir perubahan salinitas yang cukup tinggi yaitu sekitar 15%.

Perubahan salinitas sangat berpengaruh terhadap perkembangan beberapa jenis makrozoobentos, sejak larva sampai dewasa adanya masukan air sungai atau hujan akan menurunkan kadar salinitas, yang menyebabkan kematian beberapa jenis makrozoobentos tersebut (Arief, 2003).

Mudjiman (1981) menyatakan bahwa kisaran salinitas yang dianggap layak bagi kehidupan makrozoobentos berkisar 15-45% (Irawan, 1997) bahwa pada perairan yang bersalinitas rendah maupun tinggi dapat ditemukan makrozoobentos seperti siput, cacing (Annelida) dan kerang-kerangan.

c) Kecepatan Arus

Arus merupakan pergerakan massa air laut yang ditimbulkan oleh aktifitas angin yang bertiup di atas permukaan air laut dan atau karena adanya perbedaan densitas air laut. Pergerakan arus tersebut dapat membawa organisme bentos dari ke suatu tempat atau perairan lainnya.

Kecepatan arus suatu badan air sangat berpengaruh terhadap kemampuan badan air tersebut untuk mengasimilasi bahan pencemar. Pengetahuan akan kecepatan arus digunakan untuk memperkirankan kapan bahan pencemar akan mencapai suatu lokasi tertentu, apabila bagian hulu suatu badan air mengalami pencemaran (Effendi, 2003).

N. Indeks Ekologi

1. Indeks Keanekaragaman (H’)

Kekayaan jenis dalam komunitas dan keseimbangan jumlah individu setiap spesies diperlihatkan dengan besarnya nilai indeks keanekaragaman yang dimiliki.

(36)

(Brower et al, 1990). Keanekaragaman merupakan sifat komunitas yang memperlihatkan tingkat keanekaragaman jenis organisme yang ada. Indeks keanekaragaman Shannon-Weiner merupakan indeks keanekaragaman jenis yang sering digunakan untuk mengukur keanekaragaman suatu spesies dalam komunitas (Krebs, 1978).

2. Indeks Keseragaman (E)

Komposisi dari spesies yang terdapat dalam suatu komunitas ditunjukkan dengan adanya keseragaman. Nilai keseragaman berbanding terbalik dengan indeks dominasi spesies dalam suatu komunitas bila ada keanekaragaman dalam komunitas tersebut (Dahuri et al, 2001).

3. Indeks Dominasi (C)

Odum (1998) menyatakan bahwa untuk menghitung adanya spesies tertentu yang mendominasi suatu komunitas benthos maka digunakan indeks dominasi makrozoobentos, selanjutnya nilai indeks dominasi berkisar antara 0-1 berarti tingkat dominan spesies tertentu berada dalam kategori tinggi. Sebaiknya jika nilai indeks dominasi mendekati nol berarti tidak ada jenis tertentu yang mendominasi.

(37)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Juni 2016, di Muara Sungai Malili Kabupaten Luwu Timur Sulawesi Selatan. Analisis ukuran butiran sedimen dilakukan di Laboratorium Oseanografi Fisika dan Geomorfologi Pantai dan Identifikasi benthos dilaksanakan di Laboratorium Ekologi Laut. Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin Makassar.

B. Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan di lapangan adalah GPS (Global Position System) digunakan untuk menentukan titik lokasi penelitian, Grab Sampler (Van Veen Grab )digunakan untuk pengambilan substrat (sampel bentos dan sampel sedimen) didasar sungai, Coolbox untuk menyimpan sampel, Kemmerer Water Sampler untuk mengambil sampel air, layang-layang arus untuk mengukur kecepatan arus, Secchi Disk untuk mengukur kecerahan air, sieve net untuk mengayak sampel benthos dengan skala (2 mm, 1 mm, 0,5 mm, 0,25 mm, 0,063 mm dan < 0,063 mm), dan alat tulis untuk mencatat data. Yang digunakan di laboratorium adalah Beaker glass sebagai wadah atau tempat sampel sedimen, timbangan digital untuk menimbang berat sampel sedimen, cawan petri sebagai wadah sampel sedimen saat penimbangan, oven untuk mengeringkan sampel sedimen, tanur (tempat pembakaran) untuk pembakaran sampel sedimen, baki sebagai wadah sampel sedimen saat identifikasi di laboratorium, pinset untuk mengambil Benthos dari baki, loop untuk memperjelas pada saat identifikasi benthos,makroskopuntuk mengamati

(38)

dan membantu dalam proses identifikasi sampel, kamera untuk dokumentasi sampel dan kegiatan penelitian.

Sedangkan bahan yang digunakan dalam peneltian ini adalah kantong plastik sampel untuk menyimpan sampel sedimen, botol sampel untuk menyimpan sampel air, label untuk memberi tanda setiap kantong atau botol sampel maupun keperluan lainnya, aquades untuk membersihkan alat, tissue untuk membersihkan alat atau mengeringkan alat, alkohol 70% digunakan untuk mengawetkan sampel bentos dan buku identifikasi Gastropoda dan Conchology Inc (http://www.conchology.be) untuk mengidentifikasi benthos.

C. Prosedur Penelitian

Tahapan prosedur yang dilakukan selama penelitian dan pengambilan data di lapangan antara lain :

1. Tahap Persiapan

Tahapan ini meliputi konsultasi dengan pembimbing mengenai kondisi lokasi penelitian berupa sedimentasi akibat pengerukan dan dampaknya terhadap komunitas benthos dan menyiapkan alat-alat yang akan digunakan saat penelitian.

2. Tahap Penentuan Stasiun

Menentukan 4 stasiun pengambilan sampel, yaitu stasiun I daerah yang belum dilakukan pengerukan, pada stasiun II dan III daerah yang sedang dilakukan pengerukan, sedangkan stasiun IV untuk daerah yang tidak dilakukan pengerukan.

Titik koordinat tiap stasiun disajikan pada Gambar 1.

.

(39)

Tabel 2. Titik kordinat lokasi sampling sedimen dasar, sedimen tersuspensi dan benthos

NO Titik sampling Titik kordinat

S E

1 Stasiun I 2°38'43.41"S 121° 3'33.61"E 2 Stasiun II 2°39'5.56"S 121° 3'25.13"E 3 Stasiun III 2°39'19.78"S 121° 3'18.02"E 4 Stasiun IV 2o39’26.61”S 121° 3'11.17"E

Gambar 1. Lokasi Pengambilan sampel sedimen dasar, sedimen tersuspensi dan benthos

(40)

3. Tahap Pengambilan Data

a) Pengukuran Parameter Oseanografi 1. Suhu

Parameter perairan ini diukur dengan menggunakan Thermometer.

Pengukuran dilakukan pada permukaan air di setiap stasiun dengan mencelupkan thermometer ke dalam perairan, selanjutnya membaca nilai skala yang tertera pada thermometer.

2. Salinitas

Salinitas diukur dengan menggunakan Handrefraktometer dan dilakukan langsung di lapangan pada setiap stasiun pengamatan.

3. Kecepatan Arus

Pengukuran kecepatan arus dilakukan dengan menggunakan layang-layang arus yang dilengkapi tali sepanjang 5 meter. Layang-layang arus diturunkan ke perairan lalu dibiarkan merenggang mengikuti arus, selanjutnya mencatat durasi yang dibutuhkan oleh tali layang-layang arus untuk merenggang yang dianggap sebagai kecepatan arus suatu perairan.

Kecepatan arus ditentukan dengan pengukuran selang waktu yang dibutuhkan oleh arus untuk menempuh jarak tertentu dengan persamaan berikut :

Dimana: S = panjang tali (meter) t = waktu (detik)

V = kecepatan arus (m/detik)

(41)

b) Pengambilan Data Bentos

Pengambilan data bentos dilakukan pada titik sampling yang telah ditentukan, pengambilan sampel ini dilakukan dengan menggunakan Van Veen Grab Sampler dengan luas (19,5 x 15,5) cm2 di setiap titik sampling pada kedalaman berkisar 3 meter. Sampel yang telah diambil kemudian disaring dengan Sieve Net dan organisme bentos yang disaring diambil kemudian dimasukkan ke dalam kantong sampel yang telah diberi larutan alkohol 70% yang difungsikan sebagai larutan pengawet. Selanjutnya, sampel dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi lebih lanjut.

c) Pengambilan Sedimen Dasar

Pengambilan sampel sedimen dasar dilakukan pada 4 stasiun yang telah ditentukan (Gambar 1). Pengambilan sedimen dasar menggunakan alat Van Veen Grab Sampler yang dilakukan pada kedalaman 3 meter. Pengambilan sampel ini dilakukan untuk analisa ukuran besar butir sedimen. Sedimen dasar diambil sebanyak ±500gr dari setiap titik/stasiun, dan disimpan dalam kantong sampel yang kemudian akan dianalisis lebih lanjut di laboratoirum.

d) Pengambilan sampel air untuk analisis sedimen tersuspensi

Data sebaran sedimen tersuspensi atau Total Suspended Solid (TSS) perairan akibat pengerukan dilakukan dengan pengambilan sampel air laut selama waktu pasang dan surut pada pertengahan level air dengan menggunakan Kemmerer Water Sampler pada setiap stasiun. Penentuan lokasi pengukuran menggunakan metode pertimbangan (Purposive Sampling Method) yaitu menentukan lokasi pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan keterwakilan lokasi penelitian. Sampel air tersebut dimasukkan ke dalam botol sampel dengan volume ±1 liter dan disimpan di dalam Cool Box untuk dibawa ke laboratorium.

(42)

4. Analisis Sampel di Laboratorium a) Analisis ukuran butiran sedimen

Sedimen yang telah disajikan dengan oven (105 0C, 2x 24 jam ) penentuan ukuran butiran sedimen dilakukan dengan metode pengayakan kering (dry sieving).

Sekitar 100gr sedimen kering yang telah ditimbang menggunakan timbangan analitik diayak selama 10 menit dengan menggunakan sieve net yang bersusun dengan ukuran (meshzize) 2mm, 1mm, 0,5mm, 0,25mm, 0,125mm dan 0,063mm. Setiap fraksi sedimen yang tertahan pada setiap ayakan ditimbang dan diklasifikasikan menurut ukuran butirannya. Adapun rumus yang digunakan untuk mengetahui persenan berat sedimen sebagai berikut ;

Selanjutnya analisis sampel sedimen dilakukan dengan metode Wentworth.

Metode ini dipakai untuk menunjukkan distribusi ukuran butiran sedimen untuk mengetahui dominansi jenis pada daerah penelitian (Reynolds, 1971) mengklasifikasikan kandungan bahan organik dalam sedimen yaitu terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kriteria kandungan bahan organik dalam sedimen (Reynold, 1971)

NO Kandungan bahan organik (%) Kriteria

1 >35 Sangat Tinggi

2 17 – 35 Tinggi

3 7- 17 Sedang

4 3,5 – 7 Rendah

5 < 3,5 Sangat Rendah

(43)

b) Penentuan Kandungan organik sedimen

Pengukuran kandungan organik sedimen dilakukan dengan metode luss by ignition yang mengikuti merode yang digunakan oleh Fairhurst dan Graham (2003).

Dalam metode ini, sebanyak 5 gram sedimen yang telah melalui proses pengeringan, dimasukkan ke dalam cawan porselin. Sampel selanjutnya ditempatkan di pembakaran (tanur) pada suhu 650oC selama 3 jam. Proses pembakaran ini bertujuan untuk mendapatkan nilai bahan organik yang terkandung pada sampel sedimen dan akan hilang pada saat proses pembakaran. Persentase kandungan organik total sedimen dihitung dengan menggunakan rumus:

Ket : Wa = berat awal (gram) Wt = berat akhir (gram)

c) Analisis Konsentrasi Sedimen Tersuspensi

Analisis Konsentrasi dilakukan dengan metode dekantasi, evaporasi dan gravimetri. Dalam proses dekantasi pemisahan air suspensi dengan sedimen tersuspensi dalam waktu 24 jam, setelah proses sedimentasi dianggap sempurna dapat diketahui volume air suspensi (V mL) dan volume sedimen secara kasar (v mL). Evaporasi air suspensi yang masih terdapat dalam sedimen dilakukan pada alat Pemanas (hot plate), kemudian dipanaskan pada suhu 103-1050 C untuk mendapatkan besaran berat tetap sedimen, yang diperoleh melalui penimbangan.

Sehingga penetapan kadar sedimen tersuspensi melalui rumus empiric sebagai berikut :

C = g . 1000 / V (dalam : mg/L)

(44)

Ket : C = Kadar sedimen tersuspensi (mg/L) g = Berat sedimen (mg)

V = Volume air suspensi (L) d) Identifikasi Bentos

Oganisme benthos yang didapatkan pada setiap stasiun diidentifikasi dengan menggunakan loop atau makroskop. Identifikasi sampel dilakukan dengan melihat bentuk cangkang, corak cangkang dan bentuk pertumbuhan dari sampel tersebut yang kemudian dicocokkan dengan menggunakan buku pedoman Siput dan Kerang Indonesia (Bujamin Dharma, 1988).

5. Analisis Data

a) Indeks Keakaragaman (H’)

Indeks keanekaragaman makrozoobenthos dihitung dengan menggunakan rumus Evennes Indexs. Odum (1998) sebagai berikut :

H’ = -Ʃ Ni/N × In Ni/N

Ket : H’ = Indeks keanekaragaman jenis Ni = Jumlah individu setiap jenis N = Jumlah seluruh individu

b) Indeks Keseragaman (E)

Indeks keseragaman makrozoobenthos dihitung dengan menggunakan rumus Evennes Indexs (Odum, 1998) sebagai berikut :

E = H’ / LnS

Ket E = Indeks keseragaman

H’ = Indeks keanekaragaman jenis S = Jumlah jenis organisme

(45)

c) Indeks Dominansi (C)

Indeks dominansi organisme makrozoobentos dihitung dengan menggunakan rumus (Odum, 1971) sebagai berikut :

C = Ʃ (ni/N)2 Ket : C = Indeks dominasi

ni = Jumlah individu jenis N = Jumlah total individu

d) Kelimpahan (ind/m2)

Kelimpahan makrozoobentos dihitung berdasarkan jumlah individu persatuan luas (ind/m2), dengan menggunakan rumus Shannon-Wiener (Odum, 1993).

Dimana : Y = Kelimpahan jenis (ind/m2)

a =Jumlah makrozoobenthos yang tersaring (ind) b = Luasan plot (cm2)

10.000 = Nilai Konversi dari cm² ke m² Y = χ 10.000

(46)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi

Kabupaten Luwu Timur secara geografis terletak pada koordinat 2o15’00’’- 3o03'25" Lintang Selatan dan 120o30’00’’ sampai 121o30’00’’ Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Luwu Timur adalah 6.646,87 km2. Letak Kabupaten Luwu Timur pada Pulau Sulawesi sangat strategis sehingga dapat menjadi wilayah penghubung bagi wilayah hinterland, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam.

Kecamatan Malili merupakan ibu kota dari Kabupaten Luwu Timur.

Kecamatan ini memiliki luas wilayah sebesar 921,20 km2. Kecamatan Malili berbatasan dengan kecamatan Nuha di sebelah utara, Kecamatan Nuha dan Towuti sebelah timur, sebelah selatan dengan Kecamatan Angkona dan Teluk Bone dan Propinsi Sulawesi Tenggara, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Angkona Teluk Bone.

Kecamatan Malili terdiri dari 14 wilayah pedesaan dan 1 wilayah kelurahan yang semuanya berstatus definitive. Wilayah Kecamatan Malili yaitu wilayah bukan pantai, dari 15 desa/kelurahan, hanya terdapat 2 desa yang merupakan wilayah pantai yaitu Desa Harapan dan Desa Lakawali Pantai. Secara Topografi, wilayah Kecamatan Malili merupakan daerah bukit. Terdapat empat sungai yang mengalir di Kecamatan ini yaitu Sungai Lawape, Sungai Malili, Sungai Cerekang, dan Sungai Pongkeru.

Sungai Malili bagian hilir dari muara masuk ke arah hulu sejauh 10 km digunakan sebagai sarana transportasi air dengan ukuran perahu yang memiliki draft rendah (local: katinting). Khususnya dari muara ke Balantang, Sungai Malili

(47)

merupakan jalur pelayaran kapal/tongkang dengan draft kapal ukuran sedang.

Sebagian besar vegetasi bantaran Sungai Malili adalah semak belukar pada bagian hilir 5 km dari muara vegetasi bakau tampak dominan. Dinding Sungai Malili ruas hilir tersebut umumnya tajam, tampak visualnya terdiri dari pasir lanau, ini menunjukkan pergerakan alur sungai msih aktif.

B. Faktor Lingkungan / Parameter Oseanografi

Parameter lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi kondisi suatu organisme, adapun hasil parameter lingkungan yang diukur pada penelitian ini yaitu :

1. Suhu

Hasil pengukuran suhu pada lokasi Muara Sungai Malili dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Nilai rata-rata suhu pada tiap stasiun.

Pada makrozoobentos, suhu digunakan sebagai pendukung dalam proses metabolisme tubuh yang dilakukan. Suhu yang tidak ideal atau di atas toleransi dapat menghambat aktivitas tubuh ataupun mengancam kelangsungan hidup dari

(48)

organisme tersebut. Berdasarkan pernyataan (Hawkes, 1978) bahwa makrozoobentos akan mengalami masa kritis saat berada pada suhu perairan dengan kisaran 350C - 400C.

Pada penelitian ini, pengukuran suhu yang dilakukan pada setiap stasiun memiliki nilai dengan kisaran rata-rata 29,770C (Lampiran 3) seperti yang disajikan pada gambar 2. Kisaran suhu ini masih dapat ditolerir oleh makrozoobenthos untuk dapat hidup, hal ini sesuai dengan pernyataan Sukarno (1988) bahwa nilai kisaran suhu yang dapat ditolerir oleh makrozoobenthos antara 250C-360C.

2. Salinitas

Hasil pengukuran salinitas pada lokasi Muara Sungai Malili dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Nilai salinitas setiap stasiun.

Pada umumnya salinitas merupakan faktor penting bagi organisme yang hidup di daerah pasang surut, seperti halnya pada organisme makrozoobentos.

Perubahan kualitas air seperti salinitas dapat mempengaruhi keseimbangan pada

(49)

organisme tersebut. Menurut (Arief, 2003) perubahan salinitas sangat berpengaruh terhadap perkembangan beberapa jenis makrozoobentos, sejak larva sampai dewasa adanya masukan air sungai atau hujan akan menurunkan kadar salinitas yang menyebabkan kematian beberapa jenis makrozoobentos tersebut. Pada hasil penelitian ini, nilai salinitas yang didapatkan tidak berbeda jauh pada setiap stasiun.

Hal ini dikarenakan pengambilan salinitas masih dipengaruhi oleh aliran sungai (Gambar 3).

3. Kecepatan Arus

Hasil pengukuran arus pada lokasi Muara Sungai Malili dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Nilai kecepatan arus setiap stasiun.

(50)

Arus merupakan pergerakan massa air yang terjadi pada suatu perairan.

Arus dibedakan menjadi 2 macam yakni arus laut dalam dan arus permukaan. Pada perairan dangkal seperti yang terdapat di lokasi penelitian, jenis arus yang sering ditemui ialah arus permukaan yang dipengaruhi oleh aktivitas angin. Kecepatan arus perairan dapat menjadi salah satu faktor oseanografi yang dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada suatu organisme. Bagi makrozoobentos yang pada umumnya memiliki keterbatasan dalam bergerak sehingga fleksibilitas organisme tersebut sangat mudah dipengaruhi oleh arus perairan.

Pada pengukuran arus yang dilakukan di lokasi penelitian, kecepatan arus rata-rata yang tertinggi didapatkan pada stasiun IV yaitu 0.65 m/s, hal ini disebabkan karena stasiun ini berada pada muara sungai yang berhubungan langsung dengan laut atau perairan terbuka sehingga memungkinkan jika kecepatan arus di lokasi ini lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun yang lainnya. Dari kisaran nilai yang diperoleh dapat dikatakan bahwa arus pada perairan muara Sungai Malili pada stasiun I, II, III termasuk arus lambat sedangkan stasiun IV dikategorikan sebagai arus cepat. Hal tersebut sesuai dengan kategori kecepatan arus menurut Mason (1981) bahwa perairan yang mempunyai arus > 1 m/det dikategorikan dalam perairan yang berarus sangat deras, > 0,5 – 1 m/det diketegorikan sebagai arus deras, arus 0.25 – 0,5 m/det arus lambat dan kecepatan arus < 0.1 m/det dikategorikan sebagai arus sangat lambat.

4. Kandungan Bahan Organik Terlarut (BOT)

Hasil pengukuran BOT pada lokasi Muara Sungai Malili dapat dilihat pada Gambar 5.

(51)

Gambar 5.Kandungan Bahan Organik Total (BOT) pada setiap stasiun.

Bahan organik total menggambarkan kandungan bahan organik suatu perairan yang terdiri dari bahan organik terlarut, tersuspensi (particulate) dan koloid.

Di samping itu, bahan organik merupakan bahan bersifat kompleks dan dinamis yang berasal dari sisa tanaman dan hewan yang terdapat di dalam perairan yang mengalami perombakan. Bahan ini terus-menerus mengalami perubahan bentuk karena dipengaruhi oleh faktor fisika, kimia dan biologi. Dekomposisi bahan organik dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain susunan residu, suhu, pH, dan ketersediaan zat hara dan oksigen (Miswar, 2006).

Berdasarkan hasil analisis untuk mendapatkan nilai BOT sedimen yang diperoleh pada semua stasiun menunjukkan nilai BOT yang bervariasi, seperti pada stasiun IV dengan nilai 2,81% yang merupakan nilai BOT tertinggi dibandingkan stasiun lain dan terendah pada stasiun 1 dengan nilai yang didapatkan 0,49, sedangkan stasiun II dengan nilai 1,35 % dan stasiun III dengan nilai 1,53%.

(52)

Pada stasiun IV kandungan bahan organik terlarut lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun yang lainnya karena lokasi ini berhubungan langsung dengan perairan terbuka sehingga memungkinkan untuk adanya transportasi bahan organik dari laut. Selain itu, asumsi ini juga didukung dengan tingginya nilai kecepatan arus pada stasiun IV sehingga distribusi ataupun sumbangan bahan organik pada daerah ini cenderung lebih tinggi (Gambar 5).

Hubungan antara bahan organik total (BOT) dengan kelimpahan nakrozoobentos menunjukkan hubungan regresi nonlinear (polynomial). Hubungan antara keduanya menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan BOT maka semakin tinggi pula kelimpahan makrozoobentos (Isman, 2016)

C. Tekstur Sedimen Sungai Malili

Dari hasil analisis sampel, jenis sedimen yang ditemukan di lokasi penelitian dapat digolongkan ke dalam 2 bagian yakni pasir sedang dan sangat halus berdasarkan kategori Hutabarat dan Evans (2000) (Tabel 3).

Tabel 4. Tipe butiran sedimen untuk seluruh stasiun.

Stasiun Ukuran partikel sedimen (mm) Median (mm)

Jenis tekstur sedimen

I 0.25 - 0.5 0.480 Pasir sedang

II 0.125 – 0.25 0.155 Pasir halus

III 0.063 – 0.125 0.095 Pasir sangat halus

IV 0.063 – 0.125 0.097 Pasir sangat halus

Dari analisis yang dilakukan didapatkan data tipe butiran di lokasi penelitian dari ke empat stasiun. Data tersebut menunjukkan bahwa ukuran butir sedimen terbesar berada pada stasiun I dengan ukuran butir berkisar antara 0.25 – 0.5 atau

Referensi

Dokumen terkait

digunakan untuk membunuhlawan meski hanya dengan luka yang sangat kecil, jika keris memiliki kadar racun yang tinggi (dapat terbawa oleh udara) maka dapat membahayakan

Hal ini dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara sikap dengan perilaku deteksi dini kanker serviks dengan pemeriksaan IVA oleh wanita usia subur di Desa Sorek Satu

Hal ini berarti bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia dengan pendekatan Inquiring Minds Want To Know Learning (Pembelajaran yang Membangkitkan Minat Belajar Siswa)

Fagsynet til lærarane vert nok påverka av Kunnskapsløftet, fordi det er kompetansemåla ein lagar kriterium ut i frå når ein skal vurdere, men korleis ein utfører dette arbeidet

Berdasarkan fakta tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa buah delima dengan komposisi paling lengkap bila dibandingkan dengan bagian tanaman yang lain serta mengandung EA,

plantlet yang ditanam pada media yang mengandung pupuk majemuk kristal larut air, pupuk daun cair dengan EDTA chelates dan Vacin dan Went berturut-turut memiliki rataan tinggi

Tidak lama kemudian, timbullah perdebatan karena mereka tidak dapat memutuskan siapa yang terbesar di antara mereka, tetapi mereka berbicara dengan suara

32 Maka datanglah prajurit- prajurit lalu mematahkan kaki orang yang pertama dan kaki orang yang lain yang disalibkan bersama-sama dengan Ye- sus; 33 tetapi ketika