BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Hutan memiliki arti penting bagi negara. Kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya mencerminkan potensi ekonomi yang besar dan strategis bagi
pembangunan nasional. Kekayaan alam hutan, baik yang berupa hasil hutan kayu
maupun bukan kayu dapat dipergunakan untuk mendapatkan devisa yang berguna
untuk membiayai pembangunan negara. Selain potensi ekonomi, hutan juga
bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia karena hutan juga memiliki daya
dukung lingkungan yang mampu menjaga kualitas lingkungan hidup manusia.
Dalam skala global, hutan juga memainkan peran yang penting di bidang
lingkungan hidup. Peran penting hutan sebagai paru-paru dunia telah ditegaskan
melalui dokumen Agenda 21 Konperensi Tingkat Tinggi di Rio de Janeiro tahun
19921. Oleh karena itu, hutan tidak hanya penting bagi negara-negara yang memilikinya,melainkan juga penting bagi masyarakat dunia.
Pada tahun 1991 Organisasi PBB, yaitu Food and Agriculture Organinization
(FAO) mengeluarkan data bahwa kerusakan hutan di Indonesia untuk kepentingan
industri pertahun adalah 1,2% dan diperkirakan dalam kurun waktu 84 tahun hutan
indonesia akan habis2. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kepentingan industri adalah faktor kuat penyebab cepatnya perusakan hutan, industri yang
menurut Penulis identik dengan korporasi atau perusahaan yang berorentasi pada
provit atau keuntungan dan sekaligus pemegang izin HPH (Hak Pengusahaan Hutan)
tidak mematuhi hukum atau peraturan yang telah ditetapkan pemerintah demi
mengejar provit atau keuntungan yang lebih besar, salah satu contohnya adalah tidak
melaksana Sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI) dalam mengeksploitasi hutan3.
Sayangnya, dalam praktek, arti penting hutan ini tidak selalu dibarengi dengan
upaya-upaya yang serius untuk mempertahankan kelestarian hutan, termasuk di
Indonesia. Sejak tahun 1990-an masyarakat internasional mengkhawatirkan laju
deforestasi yang cepat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Pada tahun 1991,
salah satu organisasi di bawah PBB, yakni Food and Agricultural Organization
(FAO) merilis data yang menunjukkan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia
mencapai angka 1,2% per tahun, dan bahwa jika tidak diambil langkah perbaikan,
dapat dipastikan bahwa dalam jangka waktu 84 tahun ke depan hutan Indonesia akan
habis. Salah satu sektor yang menyebabkan kerusakan hutan adalah industri.
Permintaan yang tinggi terhadap produk kayu di berbagai negara menyebabkan
2Ibid, hal., 2.
tumbuhnya industri yang bergerak di bidang pengambilan dan pengolahan hasil
hutan, terutama kayu, secara ekstensif tanpa dibarengi oleh upaya pelestarian yang
mamadai. Kondisi ini diperburuk oleh maraknya perambahan hutan, alih fungsi hutan
serta pembalakan liar (illegal logging) yang sulit untuk dikendalikan.
Melihat hal tersebut tentu saja pemerintah sudah melakukan upaya
pencegahan terhadap penebangan liar yaitu dengan mengeluarkan regulasi tentang
pengusahaan hutan yaitu dengan mekanisme perizinan sehingga hanyalah pemegang
izin yang dapat memanfaatkan hutan, pemegang izin diwajibkan untuk melaksanakan
Sistem Tebang Pilih, penanaman sulam, dan pembebasan pohon dari tanaman
penganggu4.
Pemerintah sebenarnya juga tidak tinggal diam di dalam menangani berbagai
permasalahan di bidang kehutanan. Secara normatif pemerintah telah membuat
berbagai produk hukum di bidang kehutanan, termasuk Undang-Undang No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan dan berbagai peraturan pelaksanaannya. Struktur dan
fasilitas pendukung juga telah tersedia, termasuk sistem perizinan yang dapat
dipergunakan sebagai instrumen untuk mengendalikan aktivitas yang berpotensi
mengakibatkan kerusakan hutan. Namun, sejauh ini upaya yang dilakukan untuk
menjaga hutan dari kerusakan tampaknya belum membawa hasil yang diharapkan.
4Ibid.
Pada periode antara tahun 2000-2005 Indonesia masih menjadi negara dengan laju
kerusakan hutan yang tercepat5
Sebagai aset dunia, kerusakan hutan di Indonesia juga menjadi perhatian
masyarakat internasional. Salah satu pihak yang memiliki perhatian besar terhadap
kerusakan hutan di Indonesia adalah negara-negara Uni Eropa. Negara-negara ini
memiliki posisi yang strategis dalam konteks hutan Indonesia, karena kawasan
negara-negara Uni Eropa juga menjadi kawasan tujuan penting bagi ekspor kayu dan
produk kayu yang berasal dari Indonesia. dengan demikian, permintaan yang tinggi
terhadap produk kayu Indonesia di kawasan Uni Eropa tentu juga akan memunculkan
respons berupa penyediaan kayu sesuai dengan volume permintaan. Perhatian
negara-negara Uni Eropa terhadap kelestarian hutan Indonesia kemudian ikut
melatarbelakangi munculnya sebuah instrumen untuk melestarikan hutan Indonesia,
yaitu instrumen yang disebut Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
SVLK sendiri adalah suatu persyaratan untuk memenuhi legalitas
kayu/produk yang dibuat didasarkan pada kesepakatan para pihak (stakeholder) yang
memuat standar, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian6. Dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa SVLK adalah syarat atau ketentuan yang
5
Sri Lestari, Memotret Kondisi Hutan Indonesia, diakses dari http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2010/06/100609_hutanindo.shtml. pada tanggal 27 Januari 2014, pada pukul 19:35.
6 Lihat Pasal 1 Ayat (10) Peraturan Menteri Kehutanan Repubik Indonesia No. P.38/MenHut-II/2009
tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang izin atau Pemegang Hutan Hak. Yang selanjutnya akan disebut PerMenHut P.38.
dibuat oleh stakeholder7 dengan menetapkan ketentuan-ketentuan atas kayu dan
negara mewujudkannya dalam suatu peraturan atau regulasi sehingga kayu tersebut
dapat dikatakan kayu yang legal8.
SVLK merupakan sistem pelacakan yang disusun secara multistakeholder
untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di
Indonesia, SVLK juga dikembangkan untuk mendorong implementasi peraturan
pemerintah yang berlaku terkait perdagangan dan peredaran hasil hutan yang legal di
Indonesia.
SVLK dibentuk karena dilatarbelakangi oleh komitmen Pemerintah dalam
memerangi pembalakan liar dan perdagangan kayu illegal, serta merupakan
perwujudan good forest governance menuju pengelolaan hutan lestari. Permintaan
atas jaminan legalitas kayu dalam bentuk sertifikasi dari pasar internasional,
khususnya dari Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan Australia. Sebagai bentuk
"National Incentive" untuk mengantisipasi semakin maraknya permintaan skema
sertifikasi legalitas kayu dari negara asing, seperti skema FSC, PEFC, dan
sebagainya9.
7 Penulis menyimpulkan Stakeholder yang dimaksud dalam Pasal tersebut adalah pihak-pihak yang
memiliki kepentingan atas hutan yaitu, negara atau pemerintah dan para pelaku usaha industri (baik nasional maupun internasional) kehutanan ataupun perorangan maupun masyarakat.
8 Drs. Sudarsono., S.H., M.Si., Kamus Hukum, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2007, hal., 244. Legal
adalah sesuai hukum atau Undang-undang.
9 Direktorat Informasi Verifikasi Legalitas Kayu, Apa dan Bagaimana SVLK, diakses dari
Sebagai salah satu standar legalitas, SVLK menunjukkan bahwa pasar
internasional dan khususnya pasar Uni Eropa menginginkan adanya jaminan atas
legalitas kayu Indonesia untuk masuk ke pasar Uni Eropa yang berakibat pada
ditolaknya kayu-kayu tanpa sertifikat atau kayu-kayu illegal10 atau dengan kata lain SVLK memberikan diinsentif bagi kayu ilegal karena produk kayu ilegal tidak akan
diterima dipasar Uni Eropa.
SVLK telah diterapkan olah Kementrian Kehutanan pada tahun 2009 sejak
disahkan dan diberlakukannya Peraturan Menteri Kehutanan Repubik Indonesia No.
P.38/MenHut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang izin atau
Pemegang Hutan Hak. Kemudian Kementrian Perdagangan juga mewajibkan para
pelaku ekspor produk industri kehutanan maupun pelaku industri kehutanan yang
akan mengekspor produknya untuk memiliki dokumen V-Legal11 yang diterbitkan oleh Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK)12 dan ditetapkan oleh Kementrian Kehutanan sejak tanggal 1 Januari 2013 dan 1 Januari 201413.
10 Ibid., hal., 178. Illegal adalah tidak sah atau tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan atau
bertentangan dengan hukum.
11 Lihat Pasal 7 Jo Pasal 14 Ayat (2) Peraturan Menteri perdagangan No. 64/M.DAG/PER/10/2012
tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan., yang selanjutnya akan disebut PerMenDag 64.
12 Lihat Pasal 1 Angka 7 PerMenHut P.38., Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu selanjutnya akan
disingkat LVLK.
Seiring dengan berlakunya SVLK muncul banyak keberatan-keberatan
terutama dari para pelaku usaha industri kayu, para pengrajin kayu dan juga para
eksportir kayu sendiri khususnya yang berskala Usaha Kecil Menengah14 (UKM). Para pelaku usaha tersebut kesulitan memenuhi syarat di dalam SVLK misalnya, asal
usul kayu dan nota angkutan kayu administrasi penataniagaan kayu hutan yang
ternyata sangat sulit diterapkan15. Selain itu, pengurusan SVLK, juga mensyaratkan adanya legalitas usaha dari pelaku, yang jarang dimiliki oleh UKM.
Tata Niaga kayu sebagaimana dikehendaki oleh SVLK memerlukan proses
yang cukup panjang. Persyaratan pencatatan mulai dari keadaan gelondongan melalui
proses penggergajian harus dibukukan secara sistematis, sehingga nantinya suatu
produk furniture asal barang dan kayunya dari daerah mana dapat diketahui. Hal ini
sangat memberatkan karena UKM tidak terbiasa melakukan administrasi secara
lengkap. Selain itu, biaya untuk mendapatkan sertifikat SVLK juga tidak bisa
dibilang murah, yaitu mencapai 50-70 juta rupiah16.
14 Usaha Kecil Menengah selanjutnya akan disingkat UKM.
15 Suara Merdeka Cetak, Kebijakan SVLK, Tantangan atau Hambatan?, diakses di
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/03/14/218238/Kebijakan-SVLK-Tantangan-atau-Hambatan, pada tanggal 27 Januari 2014 pada pukul 20:00.
16 Gaya Lufitanti, Pengusaha Mebel Terbebani SVLK, diakses di
SVLK yang berstandar dan merupakan dari sistem pengaturan pemanfaatan
dan pengusahaan hutan, SVLK lebih dikhususkan untuk hutan hak17, hutan hak adalah hutan adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah
yang berada di luar kawasan hutan dan dibuktikan dengan alas titel atau hak atas
tanah18, atau dengan kata lain hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah19. Karena dibebani hak atas tanah maka hutan hak juga dapat disebut sebagai hutan milik20 jika ada alas hak milik diatas tanah dikawasan hutan tersebut atau dapat disebut juga sebagai hutan rakyat baik yang menguasai itu
orang-perorangan, bersama-sama atapun oleh badan hukum21. SVLK yang merupakan ketentuan yang relatif baru, juga menjadi “beban” bagi pelaku usaha kecil kayu
olahan yang mendapatkan bahan baku dari hutan hak, hutan milik atau hutan rakyat
dengan kata lain hutan yang berada diatas tanahnya22.
Pelaku usaha kecil kayu olahan (UKM) banyak yang mendapatkan kayu dari
hutan rakyat, yaitu hutan yang dikelola oleh perorangan dan keluarga, yang biasanya
17 Lihat PerMenHut P.38.
18 Lihat Pasal 1 Ayat (5) UU Kehutanan.
19 Salim, H.S., S.H., M.S., Op.Cit ., hal., 43.
20 Lihat Pasal 2 Ayat (2) Undang-undang No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan. Yang selanjutnya akan disebut UUPKhut67.
21Ibid., hal., 42.
dimanfaatkan untuk memperoleh manfaat ekonomi yang terbatas karena hutan rakyat
umumnya juga berskala kecil atau memiliki luas hutan yang kecil.
Kalau SVLK diterapkan secara menyeluruh, sebagai konsekuensinya
kayu-kayu yang berasal dari hutan rakyat pun harus diverivikasi legalitasnya. Tanpa
verifikasi, kayu dan produk kayu dari hutan rakyat akan menjadi ilegal dan tidak
dapat diterima di negara tujuan ekspor, khususnya Uni Eropa.
Hal inilah yang menarik perhatian Penulis untuk melakukan Penelitian
terhadap peraturan mengenai SVLK yang diterapkan pada hutan rakyat dan status
kayu yang didapatkan atau diambil dari hutan rakyat dengan judul: ”Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Sebagai Syarat Ekspor Produk Kayu”.
Penulis ingin meneliti tentang peraturan yang menerapkan SVLK terhadap hutan
rakyat yang tampaknya memberatkan para pelaku usaha industri kayu kecil atau
pelaku usaha kecil kayu olahan.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, penelitian yang diusulkan ini akan dilakukan
dengan berpijak pada rumusan masalah berikut:
Bagaimana kedudukan VLK sebagai instrumen perlindungan hutan?
Bagaimana pengaturan hutan rakyat dan kayu yang berasal dari hutan
Bagaimana kedudukan SVLK Sebagai Syarat Perdagangan Internasional
Kayu dan Produk Kayu Indonesia?
C.
TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu: mengetahui bagaimana
pengaturan mengenai penerapan SVLK terhadap hutan rakyat serta mengetahui
mengenai status kayu-kayu yang berasal dari hutan rakyat.
D.
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian dipecah lagi menjadi beberapa sub, misalnya:
1. Jenis dan pendekatan penelitian
2. Bahan-bahan hukum yang diteliti
3. Metode analisis
Penelitian ini adalah suatu penelitian hukum melalui pendekatan peraturan
perundang-undangan (Statute Approach). Penulis hendak meneliti dan menemukan
kembali serta mengetahui penerapan SVLK terhadap hutan rakyat serta mengetahui
mengenai status kayu-kayu yang berasal dari hutan rakyat.
Menjadi unit amatan dalam penelitian ini adalah peraturan perundangan yang
di dalamnya mengandung Sistem Verifikasi Legalitas Kayu.
Fokus peraturan perundang-undangan dalam tulisan ini yaitu Undang-undang
Indonesia No. P.38/MenHut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang
izin atau Pemegang Hutan Hak, Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan
No. P.8/VI-BPPHH/2012 tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian
Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu
(VLK)23, serta beberapa peraturan pelaksana yang terkait dengan Kehutanan, dan peraturan perundang-undangan lainnya.
23 Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan No. P.8/VI-BPPHH/2012 tentang Standar dan