AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN OPERASI HITUNG BILANGAN BULAT DI SLB B YAPENAS KELAS V
DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERAGA BOLA BERMUATAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika
Disusun Oleh :
Paulina Lystianingsih Riardi 081414076
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN OPERASI HITUNG BILANGAN BULAT DI SLB B YAPENAS KELAS V
DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERAGA BOLA BERMUATAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika
Oleh :
Paulina Lystianingsih Riardi NIM : 081414076
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
HALAMAN PERSEMBAHAN
“
Sedikit pengetahuan yang dilaksanakan jauh lebih berharga
daripada banyak pengetahuan tapi tidak digunakan
”
(Kahlil Gibran)
“ Segala Sesuatu Indah Pada Waktunya”
(Pengkhotbah 3:11a)
Skripsi ini ku persembahkan untuk:
Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu memberkati dan melimpahkan
kasih-Nya untukku.
Bapak dan Ibu ku tercinta
Nenek ku tersayang
Mbak-mbak dan adik-adik ku tersayang
ABSTRAK
Paulina Lystianingsih Riardi. 2013. Aktivitas Dan Hasil Belajar Siswa Dalam Pembelajaran Operasi Hitung Bilangan Bulat Di SLB B Yapenas Kelas V Dengan Menggunakan Alat Peraga Bola Bermuatan. Skripsi. Yogyakarta: Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
Tujuan dari penelitan ini adalah untuk (1) mengetahui aktivitas belajar siswa-siswi SLB B (tunarungu) dalam pembelajaran operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan alat peraga dan (2) mengetahui apakah pembelajaran operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan alat peraga dapat meningkatkan hasil belajar siswa-siswi di SLB.
Subyek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SLB B Yapenas, tahun ajaran 2012/2013 yang berjumlah 2 siswa. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif-kuantitatif. Instrumen penelitian yang digunakan terdiri dari: (1) lembar pengamatan aktivitas belajar siswa, (2) soal tes hasil belajar siswa berupa pre test dan post test, (3) wawancara dan (4) dokumentasi. Analisis data aktivitas siswa diperoleh berdasarkan lembar pengamatan, video rekaman dan hasil wawancara sedangkan analisis hasil belajar siswa dengan cara menghitung nilai pada saat pre test dan juga post test, kemudian dibandingkan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) Dyah dan Ika melakukan aktivitas-aktivitas belajar meliputi visual activities seperti siswa memperhatikan guru ketika menjelaskan materi, listening activities seperti siswa mendengarkan guru saat menjelaskan dan siswa berdiskusi/bekerjasama, writing activities seperti siswa mencatat hal-hal penting, motor activities seperti siswa melakukan praktek menggunakan alat peraga bola bermuatan dan mental activities seperti siswa mengerjakan soal latihan yang diberikan. Aktivitas yang kurang menonjol adalah
oral activities seperti bertanya dan menyatakan pendapat. (2) Hasil belajar siswa pada pembelajaran operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan alat peraga terlihat ada peningkatan, nilai Dyah pada saat pre test 46,63 naik menjadi 67, 86 pada saat post test sedangkan nilai Ika pada saat pre test 53,57 naik menjadi 75 pada saat post test jadi nilai post test mereka memenuhi KKM yaitu 67.
ABSTRACT
Paulina Lystianingsih Riardi. 2013. Student Activities and Student Learning Result in Learning Integer Count Operation in SLB B Yapenas Grade V with Using Contained Ball Props. Thesis. Yogyakarta: Mathematic Education, Deaprtment of Mathematic and Science Education, Teacher Training and Education Faculty, Sanata Dharma University.
The purposes of this research were to (1) elaborate the learning activities of SLB B students (with hearing impairment) in Learning Integer Count Operation with using props and (2) know learning integer with using props can
increase student’s SLB B learning result.
The subjects of this research is all of the SLB B Yapenas grade V students, school year 2012/2013 which were two students. This research was Qualitative-Quantitative Descriptive Research. The research instruments were as following (1) student activities observation sheet, (2) test material and student’s test result in form of pre test and post test, (3) interview and (4) documentation. Data analysis of student activities was obtained according to observation sheet, recorded videos, and interview result, while student learning result analysis was obtained by calculation the pre test and post test score, then both of them were compared.
The result of this research showed that (1) Dya and Ika did learning activities such as visual activities which is student’s paid attention of the teacher when describe of material, listening activities which is student’s listening when teacher explained and student’s did disscusion, writing activities which is student’s take a note the important things, motor activities which is student’s did practicing use contained ball props and mental activities which is student’s did exercises that giving. The less activity that showed is oral activities which is student’s asked and explained opinion. (2) student learning result in integer count operation using props increases. Dyah’s score increases from 46,63 in pre test to 67,86 in post test, while Ika’s score increases from 53,57 in pre test to 75 in post test. Therefore, their post test scores have passed KKM which is 67.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Pengasih atas berkat
dan karunia-Nya, sehingga penulis diberi waktu dan kemampuan untuk dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa dalam
Pembelajaran Operasi Hitung Bilangan Bulat di SLB B Yapenas Kelas V dengan
Menggunakan Alat Peraga”. Pembuatan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi
syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dari Program Studi Pendidikan
Matematika. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa
bangtuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik yang terlibat langsung maupun
tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku Dekan FKIP.
2. Bapak Drs. Aufridus Atmadi, M. Si. Selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
3. Bapak Dr. Marcellinus Andy Rudhito, S.Pd. selaku ketua Program Studi
Pendidikan Matematika yang telah memberikan dukungan kepada penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. St. Suwarsono selaku Dosen Pembimbing Akademik.
5. Bapak Drs. A. Sardjana, M.Pd. selaku dosen pembimbing yang dengan
penuh kesabaran telah membimbing dan memberikan masukan bagi
6. Bapak Drs. Th. Sugiarto, M.T dan Bapak Dominikus Arif Budi Prasetyo,
S.Si., M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan bagi
penulis untuk menyempurnakan skripsi ini.
7. Segenap dosen JPMIPA yang telah membantu dan memberikan dukungan
selama penulis menempuh kuliah, sehingga akhirnya penulis dapat
menyelesaikan studi dengan tepat waktu.
8. Segenap Staf Sekretariat JPMIPA yang telah membatu dalam hal
administrasi kampus selama penulis melakukan studi disini.
9. Bapak Marjani, M.Pd selaku kepala sekolah SLB Yapenas Yogyakarta
yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melaksanakan
penelitian.
10.Ibu Sayekti Ningsih, S.Pd selaku guru kelas V SLB B Yapenas
Yogyakarta dan Bapak Tri Rukmana, S.Pd selaku guru konsultan, yang
dengan tulus dan sabar membantu dan membimbing penulis dalam
melaksanakan penelitian.
11.Siswa-siswa SLB B Yapenas kelas V atas kesediaan terlibat dalam
penelitian ini.
12.Orang tua terkasih, Bapak Clement Junardi dan Ibu Theresia Riami.
Terimakasih atas doa dan dukungan yang diberikan untuk penulis.
13.Mbak Ana, Mbak Eko, Adik-Adikku Agung, Siska, Vendo dan Cicing.
Terimakasih untuk doa dan dukungan yang telah diberikan.
14.Teman-temanku yang telah membantu selama penelitian Ana, Nesya, Ayu,
studi Pendidikan Matematika angkatan 2008 yang memberikan dukungan
kepada penulis selama studi.
15.Teman-teman Mitra Perpustakaan Universitas Sanata Dharma atas
dukungan yang diberikan kepada penulis.
16.Seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah turut
serta membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.
Akhir kata, semoga karya ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 4
C. Pembatasan Masalah ... 5
D. Rumusan Masalah... 5
E. Batasan Istilah... 6
F. Tujuan Penelitian ... 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9
A. Aktivitas Belajar ... 9
B. Hasil Belajar ... 13
C. Bilangan Bulat ... 14
D. Alat Peraga... 15
E. Bola Bermuatan ... 17
F. Klasifikasi Sekolah Luar Biasa... 25
G. Tunarungu... 29
1. Pengertian Anak Tunarungu... 29
2. Klasifikasi Anak Tunarungu... 29
3. Dampak Ketunarunguan... 34
4. Karakteristik Kecerdasan Anak Tunarungu... 35
5. Metode Komunikasi Anak Tunarungu... 37
H. Prinsip Pendidikan Anak Berkelainan... 39
I. Kerangka Berpikir... 42
BAB III METODE PENELITIAN ... 44
A. Jenis Penelitian ... 44
B. Variabel Penelitian ... 44
C. Waktu dan Tempat Penelitian... 45
D. Subyek Penelitian ... 45
E. Bentuk Data ... 45
F. Metode Pengumpulan Data ... 46
H. Analisis Data... 51
I. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 52
BAB IV DESKRIPSI PENELITIAN, ANALISIS HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55
A. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian ... 55
1. Observasi Sebelum Pelaksanaan Penelitian ... 56
2. Pelaksanaan Penelitian ... 58
a. Pertemuan Pertama ... 58
b. Pertemuan Kedua ... 64
c. Pertemuan Ketiga ... 68
d. Pertemuan Keempat ... 77
e. Pertemuan Kelima ... 83
f. Pertemuan Keenam ... 89
B. Data Hasil Penelitian ... 90
C. Analisis Data... 94
1. Analisis Lembar Pengamatan Aktivitas Belajar Siswa ... 94
2. Analisis Hasil Belajar Siswa... 101
BAB V PENUTUP ... 107
A. Kesimpulan ... 107
B. Saran ... 108
DAFTAR PUSTAKA ... 109
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Hasil Belajar Siswa Soal Pre Test Bagian A ... 93
Tabel 4.2 Hasil Belajar Siswa Soal Pre Test Bagian B ... 93
Tabel 4.3 Hasil Belajar Siswa Soal Pre Test Bagian C ... 93
Tabel 4.4 Hasil Belajar Siswa Soal Post Test Bagian A ... 93
Tabel 4.5 Hasil Belajar Siswa Soal Post Test Bagian B ... 94
Tabel 4.6 Hasil Belajar Siswa Soal Post Test Bagian C ... 94
Tabel 4.7 Perbandingan Hasil Pre Test dan Post Test Bagian A ... 103
Tabel 4.8 Perbandingan Hasil Pre Test dan Post Test Bagian B... 103
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
LAMPIRAN A
Lampiran A.1 Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran ... 111
Lampiran A.2 Kisi-Kisi Soal Pre Test dan Post Test ... 117
Lampiran A.3 Soal Pre Test ... 118
Lampiran A.4 Soal Post Test ... 120
Lampiran A.5 Kunci Jawaban Soal Pre Test ... 122
Lampiran A.6 Kunci Jawaban Soal Post Test ... 124
Lampiran A.7 Lembar Pengamatan Aktivitas Siswa ... 126
LAMPIRAN B Lampiran B.1 Hasil Rangkuman Pengamatan Aktivitas Siswa ... 127
Lampiran B.2 Hasil Lembar Pengamatan Aktivitas Siswa ... 131
Lampiran B.3 Hasil Pre Test ... 155
Lampiran B.4 Hasil Post Test ... 159
Lampiran B.5 Foto Penelitian ... 163
Lampiran B.6 Surat Ijin Penelitian ... 165
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Matematika merupakan bidang studi yang diajarkan sejak siswa
menginjak usia sekolah. Hal ini dimaksudkan agar siswa-siswi tidak
merasa asing dengan pelajaran matematika dan mereka dapat berpikir logis
sejak usia dini. Walaupun demikian, sebagian besar siswa-siswi kurang
berminat dalam mata pelajaran matematika. Mereka memandang
matematika sebagai sesuatu yang sulit dan membebani. Kesulitan yang
mereka hadapi diantaranya adalah matematika merupakan mata pelajaran
yang abstrak dan berisi perhitungan yang menggunakan banyak rumus.
Hal seperti ini juga dirasakan oleh siswa-siswi di Sekolah Luar Biasa,
bahkan mungkin kesulitan yang mereka alami lebih banyak daripada
kesulitan yang dialami oleh siswa-siswi di sekolah umum karena kondisi
mereka yang berbeda. Pengertian berbeda/berkelainan adalah suatu
kondisi yang menyimpang dari rata-rata umumnya. Penyimpangan
tersebut secara eksplisit ditujukan kepada anak yang dianggap memiliki
kelainan penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal umumnya,
dalam hal fisik, mental, maupun karakteristik perilaku sosialnya
(Mohammad Efendi, 2006: 2). Anak berkelainan adalah anak yang
kemampuan berpikir, penglihatan, pendengaran, sosialisasi, dan bergerak
(Hallahan dan Kauffman dalam Mohammad Efendi, 2006: 2).
Sekolah Luar Biasa adalah sekolah yang ditujukan untuk
anak-anak berkebutuhan khusus. Pengklasifikasian anak-anak berkelainan di
Indonesia jika dikaitkan dengan kepentingan pendidikannya dapat dibagi
menjadi: bagian A adalah sebutan untuk kelompok anak tunanetra (anak
berkelainan penglihatan), bagian B adalah sebutan untuk kelompok anak
tunarungu (anak berkelainan pendengaran), bagian C adalah sebutan untuk
kelompok anak tunagrahita (anak berkelainan mental subnormal), bagian
D adalah sebutan untuk kelompok anak tunadaksa (anak berkelainan
fungsi anggota tubuh), dan bagian E adalah sebutan untuk kelompok anak
tunalaras (anak berkelainan perilaku) (Mohammad Efendi, 2006: 11).
Tunarungu adalah anak yang berkekurangan pada indera pendengaran,
anak-anak ini berkomunikasi dan berinteraksi dengan menggunakan
bahasa isyarat dan membaca bibir.
Prinsip pendidikan anak berkelainan berbeda dengan prinsip
pendidikan untuk anak di sekolah umum. Prinsip pendidikan bagi anak
berkelainan antara lain kasih sayang, layanan individual, kesiapan,
keperagaan, motivasi, belajar dan bekerja kelompok, keterampilan,
penanaman dan penyempurnaan sikap (Mohammad Efendi, 2006: 24).
Salah satu prinsip pendidikan bagi anak berkelainan adalah keperagaan
yang maksudnya adalah penggunaan alat peraga dalam proses
pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan guru. Khususnya untuk
mata pelajaran matematika, penggunaan alat peraga dalam proses
pembelajaran diharapkan dapat membantu siswa-siswi agar dapat
memahami konsep-konsep matematika yang abstrak dengan lebih mudah.
Matematika banyak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari,
setiap siswa-siswi di SLB pasti mengalami kejadian-kejadian yang
berhubungan dengan matematika. Sehingga penggunaan media
pembelajaran berupa alat peraga dalam pembelajaran kiranya dapat
meningkatkan minat siswa-siswi untuk belajar yang tentunya dapat
berdampak pada hasil belajar dan aktivitas belajar siswa di kelas. Alat
peraga yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah bola bermuatan.
Alasan menggunakan alat peraga ini adalah untuk lebih menarik perhatian
siswa-siswi SLB kelas V karena alat peraga ini menggunakan bola-bola
dengan 2 macam warna. Pemanfaatan alat peraga dalam pelajaran
matematika dapat membantu menyampaikan konsep matematika yang
membutuhkana alat bantu seperti materi bilangan bulat. Materi ini tidak
mudah dalam menanamkan konsepnya dan terbukti masih banyak
siswa-siswi yang kesulitan untuk memahami konsep materi ini. Bilangan bulat
terdiri dari semua bilangan asli, nol dan semua lawan bilangan asli.Materi
yang akan diteliti pada penelitian ini adalah operasi hitung bilangan bulat
khususnya pada operasi penjumlahan dan pengurangan pada siswa-siswi
SLB B kelas V. Materi ini sudah didapat di kelas IV namun masih banyak
kesulitan dalam menjumlahkan bilangan negatif dengan bilangan negatif
dan juga mengurangkan bilangan negatif dengan bilangan negatif.
Berdasarkan observasi di SLB Yapennas, proses pembelajaran
yang berlangsung disini lebih terfokus pada siswa-siswi, guru mengajar
berdasarkan kemampuan dan kondisi siswa-siswi karena guru mengetahui
bagaimana tingkat pemahaman siswa-siswi. Akan tetapi berdasarkan
pengamatan yang dilakukan, siswa-siswi disini kurang aktif dalam proses
pembelajaran. Mereka cenderung pasif dan melakukan apapun sesuai
dengan petunjuk guru dan juga proses pembelajaran yang berlangsung,
guru belum memanfaatkan penggunaan alat peraga. Berdasarkan
wawancara dengan guru kelas, siswa-siswi disini kurang cepat dalam
memahami materi sehingga guru akan sering mengulang materi yang
sedang dipelajari.
Dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana
proses pembelajaran yang berlangsung di SLB. Dengan demikian peneliti
memilih judul “AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM
PEMBELAJARAN OPERASI HITUNG BILANGAN BULAT DI SLB B
YAPENAS KELAS V DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERAGA
BOLA BERMUATAN”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pengamataan peneliti, identifikasi masalah yang dapat
1. Masih kurangnya pemanfaatan media pembelajaran berupa alat
peraga yang digunakan oleh guru
2. Banyaknya siswa-siswi yang kurang berminat dan kurang aktif
dalam proses pembelajaran matematika di kelas.
C. Pembatasan Masalah
Penelitian yang akan dilaksanakan dibatasi pada:
1. Pembelajaran hanya pada materi operasi hitung bilangan bulat
terutama untuk penjumlahan dan pengurangan.
2. Kelompok sasaran yang akan dikenai tindakan adalah siswa-siswi
di SLB B kelas V.
3. Alat peraga yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah bola
bermuatan.
4. Hasil belajar yang digunakan dalam penelitian ini adalah sesuatu
yang diperoleh setelah siswa-siswi melakukan proses pembelajaran
yang dinyatakan dalam bentuk angka (skor).
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang
akan peneliti teliti adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah aktivitas belajar siswa-siswi SLB dalam
pembelajaran dengan menggunakan alat peraga pada materi operasi
2. Apakah pembelajaran dengan menggunakan alat peraga dapat
meningkatkan hasil belajar siswa-siswi di SLB?
E. Batasan Istilah
1. Aktivitas Belajar
Aktivitas belajar adalah kegiatan yang dilakukan siswa-siswi pada saat
proses pembelajaran berlangsung dibatasi dengan adanya peran serta
siswa dalam kegiatan pembelajaran yang berkaitan dengan keaktifan
siswa.
2. Hasil Belajar
Hasil belajar adalah sesuatu yang diperoleh atau di dapat sebagai
bentuk perubahan, dimana perubahan ini di dapat setelah seseorang
melakukan proses belajar yang dinyatakan dalam bentuk nilai (skor).
3. Alat Peraga
Suatu alat/benda yang sengaja dibuat untuk membantu menanamkan
konsep matematika kepada siswa-siswi sehingga siswa-siswi dapat
lebih mudah memahami materi yang diajarkan.
4. Bilangan Bulat
Bilangan bulat adalah bilangan-bilangan yang terdiri atas semua
bilangan asli, nol dan semua lawan bilangan asli. Bilangan asli dikenal
dengan bilangan bulat positif dan lawan bilangan asli dikenal dengan
bilangan bulat negatif. Himpunan bilangan bulat dapat dituliskan
5. Siswa SLB B Yapennas kelas V adalah siswa-siswi kelas V SLB
tunarungu di sekolah SLB Yapennas tahun ajaran 2012/2013.
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam
pendengaran baik permanen maupun tidak permanen.
Dari berbagai batasan istilah di atas, maka peneliti dapat menarik
kesimpulan bahwa Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa dalam
Pembelajaran Operasi Hitung Bilangan Bulat di SLB B Yapenas Kelas
V dengan Menggunakan Alat Peraga Bola Bermuatan adalah segala
kegiatan yang dilakukan siswa-siswi kelas V SLB tunarungu selama
proses pembelajaran berkaitan dengan keaktifan siswa dan hasil yang
telah dicapai setelah siswa mengikuti pembelajaran matematika
mengenai operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan alat
peraga bola bermuatan.
F. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Mengetahui aktivitas belajar siswa-siswi SLB B (tunarungu) dalam
pembelajaran operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan
alat peraga
3. Mengetahui apakah pembelajaran operasi hitung bilangan bulat
dengan menggunakan alat peraga dapat meningkatkan hasil belajar
G. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Bagi peneliti
a. Peneliti mendapat pengalaman dan menjadi lebih mengerti
bagaimana cara mengajarkan materi operasi hitung bilangan
bulat pada siswa-siswi di SLB
b. Peneliti dapat mengetahui aktivitas dan hasil belajar yang
dicapai siswa-siswi SLB dalam pembelajaran dengan
menggunakan alat peraga pada materi operasi hitung bilangan
bulat.
2. Bagi siswa
Siswa-siswi dapat tertarik untuk belajar matematika dengan
pemanfaatan alat peraga yang menarik dan tepat sasaran.
3. Bagi guru
Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai masukan dalam
menemukan metode yang tepat untuk membuat pembelajaran
matematika lebih menarik.
4. Bagi sekolah
Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk
melengkapi sarana dan prasarana belajar dalam menunjang
peningkatan kualitas hasil belajar siswa khususnya penggunaan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Aktivitas Belajar
Aktivitas sangat penting dalam proses pembelajaran, pembelajaran
di kelas tidak dapat berlangsung jika tidak ada aktivitas belajar
siswa-siswi. Aktivitas belajar adalah kegiatan dan kesibukan yang dilakukan
siswa dalam proses pembelajaran yang menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuannya dan dapat menimbulkan perbuatan
belajar. Perbuatan belajar ini akan membawa perubahan pada diri
seseorang untuk memperoleh suatu kecakapan/pengetahuan baru.
Aktivitas belajar siswa adalah inti dari kegiatan belajar di sekolah. Dari
beberapa uraian di atas, jelas bahwa dalam kegiatan belajar, subjek
didik/siswa harus aktif berbuat. Dengan kata lain, bahwa dalam belajar
sangat diperlukan adanya aktivitas. Tanpa aktivitas, proses belajar tidak
mungkin berlangsung dengan baik (Sardiman A. M, 2008: 97).
Menurut Sardiman A. M, aktivitas belajar adalah aktivitas yang
bersifat fisik maupun mental. Dalam kegiatan belajar, kedua aktivitas itu
harus terkait. Sebagai contoh seseorang sedang belajar dengan membaca,
secara fisik terlihat bahwa dia sedang membaca menghadapi suatu buku
tetapi mungkin pikiran dan sikap mentalnya tidak tertuju pada buku yang
dibaca. Begitu pula sebaliknya jika yang aktif hanya mentalnya. Misalnya
diketahui oleh masyarakat tetapi jika tidak disertai dengan
perbuatan/aktivitas fisik seperti dituangkan pada tulisan atau disampaikan
kepada orang lain maka ide/pemikiran tersebut tidak berguna. Oleh karena
itu, harus ada keserasian antara aktivitas fisik dengan aktivitas mental agar
tercipta proses belajar yang optimal.
Prinsip-prinsip aktivitas belajar dari sudut pandangan ilmu jiwa
secara garis besar dibagi menjadi dua pandangan yakni Ilmu Jiwa Lama
dan Ilmu Jiwa Modern (Sardiman A.M, 2008: 97).
1. Menurut pandangan Ilmu Jiwa Lama
John Locke dengan konsepnya Tabularasa, mengibaratkan
jiwa seseorang bagaikan kertas putih yang tidak bertulis
kemudian kertas ini akan mendapatkan coretan atau tulisan
dari luar. Konsep semacam ini kemudian di transfer ke dalam
dunia pendidikan. Siswa diibaratkan kertas putih sedangkan
unsur dari luar yang menulisi adalah guru sehingga aktivitas
berpusat pada guru, siswa hanya pasif dan menerima begitu
saja. Selanjutnya Herbert memberikan rumusan bahwa jiwa
adalah keseluruhan tanggapan yang secara mekanis dikuasai
oleh hukum-hukum asosiasi, hubungannya dengan konsep
John Locke adalah bahwa guru pulalah yang aktif sedangkan
siswa pasif, secara mekanis hanya menuruti alur dari
hukum-hukum asosiasi tadi. Berdasarkan pendapat 2 ahli tersebut,
kelas, guru lebih mendominasi kegiatan yang berlangsung
sedangkan siswa-siswi pasif dan hanya menerima apa saja
yang guru berikan. Aktivitas siswa-siswi terutama terbatas
pada mendengarkan, mencatat, dan menjawab pertanyaan bila
guru memberikan pertanyaan. Aktivitas yang dilakukan
siswa-siswi didasarkan atas perintah guru, menurut cara yang
ditentukan guru sehingga proses belajar mengajar seperti ini
tidak mendorong siswa-siswi untuk berpikir dan beraktivitas.
2. Menurut pandangan ilmu Jiwa Modern
Aliran ilmu jiwa yang tergolong modern akan
menerjemahkan jiwa manusia sebagai sesuatu yang dinamis.
Oleh karena itu, secara alami siswa-siswi juga bisa menjadi
aktif, karena adanya motivasi dan didorong oleh
bermacam-macam kebutuhan, mereka dipandang sebagai manusia yang
yang mempunyai potensi untuk berkembang. Guru bertugas
menyediakan bahan pelajaran tetapi yang mengolah dan
mencerna adalah para siswa sesuai dengan bakat, kemampuan
dan latar belakang masing-masing siswa.
Menurut Paul B. Diedrich (Sardiman A. M, 2008: 101), aktivitas
belajar dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi antara lain:
1. Visual activities, yang termasuk di dalamnya misalnya,
membaca, memerhatikan gambar demonstrasi, percobaan,
2. Oral activities, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya,
memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan
wawancara, diskusi, interupsi.
3. Listening activities, sebagai contoh mendengarkan: uraian,
percakapan, diskusi, musik, pidato.
4. Writing activities, seperti misalnya menulis cerita, karangan,
laporan, angket, menyalin.
5. Drawing activities, misalnya: menggambar, membuat grafik,
peta, diagram.
6. Motor activities, yang termasuk di dalamnya antara lain:
melakukan percobaan, membuat konstruksi, model mereparasi,
bermain, berkebun, beternak.
7. Mental activities, sebagai contoh misalnya: menanggapi,
mengingat, memecahkan soal, menganalisis, melihat hubungan,
mengambil keputusan.
8. Emotional activities, seperti misalnya: menaruh minat, merasa
bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, gugup.
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan
bahwa aktivitas belajar dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan
siswa-siswi pada saat proses pembelajaran berlangsung dibatasi dengan
adanya peran serta siswa dalam kegiatan pembelajaran yang berkaitan
B. Hasil Belajar
Hasil perilaku belajar ditunjukkan dengan adanya perubahan
perilaku dalam keseluruhan pribadi pelajar. Perilaku hasil belajar
mencakup aspek-aspek kognitif (penguasaan intelektual), afektif
(berhubungan dengan sikap dan nilai), dan psikomotorik (kemampuan
keterampilan bertindak/berperilaku). Para pengajar sangat diharapkan
mampu mengantisipasi aspek-aspek perubahan perilaku ini yang dimulai
dengan perencanaan kegiatan belajar berakhir. Akan tetapi perlu diingat
bahwa perilaku belajar sesungguhnya bersumber dari berbagai aspek
perilaku lainnya, baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Aspek-aspek internal peserta didik yang perlu dipahami antara lain Aspek-aspek potensi,
prestasi, kebutuhan, minat, sikap, pengalaman, keadaan fisik, cita-cita,
dsb. Sedangkan aspek eksternal adalah antara lain latar belakang keluarga,
sosial budaya, ekonomi, lingkungan fisik, dan sebagainya (Mohammad
Surya, 2004: 50).
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa
setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Horward Kingsley (Nana
Sudjana, 2010: 22) membagi tiga macam hasil belajar, yakni: (a)
keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan
cita-cita. Sedangkan Gagne (Nana Sudjana, 2010: 22) membagi lima
kategori hasil belajar, yakni: (a) informasi verbal, (b) keterampilan
Dari pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sesuatu yang
diperoleh atau di dapat sebagai bentuk perubahan, dimana perubahan ini di
dapat setelah seseorang melakukan proses belajar yang dinyatakan dalam
bentuk nilai (skor).
C. Bilangan Bulat
Menurut B. Harahap dan ST. Negoro (1979: 7), bilangan bulat
adalah bilangan-bilangan yang terdiri atas semua bilangan asli, nol dan
semua lawan bilangan asli. Dengan demikian bilangan bulat meliputi:
a. Bilangan asli atau bilangan bulat positif
b. Bilangan nol dan
c. Lawan bilangan asli atau bilangan bulat negatif
Berdasarkan Ensiklopedia Matematika, bilangan bulat adalah
bilangan yang terdiri dari bilangan bulat positif {1, 2, 3, ... }, bilangan
bulat negatif {..., -3, -2, -1}, dan nol {0}. Jadi, himpunan bilangan bulat
dapat dituliskan seperti berikut :{... , -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, ...}.
Dengan diagram digambarkan sebagai berikut :
Bilangan bulat negatif Bilangan 0 Bilangan bulat positif
Melalui garis bilangan di atas, anak dapat melihat dan memahami
bilangan nol. Nol dapat dianggap sebagai batas antara bilangan bulat
positif dan bilangan bulat negatif. Pada umumnya, bilangan bulat negatif
berada di sebelah kiri bilangan nol dan bilangan bulat positif berada di
sebelah kanan bilangan nol. Semakin jauh ke kiri dari nol letak bilangan
bulat negatif, maka nilainya akan semakin kecil. Sedangkan semakin jauh
ke kanan dari nol letak bilangan bulat positif, maka nilainya akan semakin
besar.
D. Alat Peraga
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, alat peraga adalah alat
bantu untuk mendidik/mengajar supaya apa yang diajarkan mudah
dimengerti anak didik. Alat peraga merupakan alat bantu yang digunakan
untuk menyampaikan pengetahuan dan pelajaran, yang tentunya alat ini
mampu diserap oleh mata dan telinga agar proses belajar mengajar dapat
bekerja secara efektif dan lebih efisien, intinya dengan menggunakan alat
peraga dapat mempermudah penyampaian pesan yang akan disampaikan.
Alat peraga pendidikan merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan,
perhatian, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya
proses belajar pada diri siswa.
Kelebihan penggunaan alat peraga menurut Ruseffendi (1990: 1),
1. Proses belajar mengajar termotivasi. Baik murid maupun guru,
dan terutama murid, minatnya akan timbul. Ia akan senang,
terangsang, tertarik, dan karena itu akan bersikap positif
terhadap pengajaran matematika.
2. Konsep abstrak matematika tersajikan dalam bentuk konkrit
dan karena itu lebih dapat dipahami dan dimengerti.
3. Hubungan antara konsep abstrak matematika dengan
benda-benda di alam sekitar akan lebih dapat dipahami.
4. Konsep-konsep abstrak yang tersajikan dalam bentuk konkrit
yaitu dalam bentuk model matematika yang dapat dipakai
sebagai obyek penelitian maupun sebagai alat untuk meneliti
ide-ide baru dan relasi baru, menjadi bertambah banyak.
Menurut Ruseffendi (1990: 3), beberapa hal supaya diperhatikan
dalam pembuatan alat peraga yang baik adalah, alat peraga itu:
1. Tahan lama (dibuat dari bahan-bahan yang cukup kuat).
2. Bentuk dan warnanya menarik.
3. Sederhana dan mudah dikelola (tidak rumit).
4. Ukurannya sesuai (seimbang) dengan ukuran fisik anak.
5. Dapat menyajikan (dalam bentuk real, gambar atau diagram)
konsep matematika.
6. Sesuai dengan konsep pembelajaran matematika.
8. Peragaan itu supaya merupakan dasar bagi tumbuhnya konsep
berpikir yang abstrak bagi siswa.
9. Menjadikan siswa belajar aktif dan mandiri dengan
memanipulasi alat peraga, yaitu dapat diraba, dipegang,
dipindahkan dan diutak-atik, atau dipasangkan dan dicopot, dan
lain-lain.
10.Bila mungkin dapat berfaedah lipat (banyak).
Proses pembelajaran memerlukan media yang penggunaannya
diintegrasikan dengan tujuan dan isi/materi pelajaran yang dimaksudkan
untuk mengoptimalkan pencapaian suatu tujuan pengajaran yang telah
ditetapkan. Fungsi media pendidikan atau alat peraga pendidikan
dimaksudkan agar komunikasi antara guru dan siswa dalam hal
penyampaian pesan, siswa lebih memahami dan mengerti tentang konsep
abstrak matematika. Siswa diajar lebih mudah memahami materi pelajaran
jika ditunjang dengan alat peraga pendidikan.
E. Bola Bermuatan
Alat peraga yang digunakan dalam penelitian ini adalah bola
bermuatan. Alat peraga ini terdiri dari bola-bola yang memiliki 2 warna
yang berbeda dan dapat membantu siswa-siswi dalam menanamkan
konsep matematika materi operasi hitung bilangan bulat khususnya untuk
operasi penjumlahan dan pengurangan. Bilangan bulat mencakup bilangan
akan belajar mengenai penjumlahan bilangan positif dengan bilangan
positif, penjumlahan bilangan positif dengan bilangan negatif dan
sebaliknya, penjumlahan bilangan negatif dengan bilangan negatif,
pengurangan bilangan positif dengan bilangan positif, pengurangan
bilangan positif dengan bilangan negatif dan sebaliknya, pengurangan
bilangan negatif dengan bilangan negatif.
Asumsikan bahwa bola-bola tersebut bermuatan positif dan negatif.
Kemudian dilakukan kesepakatan terlebih dahulu bahwa satu warna
mewakili nilai +1, satu warna yang lain mewakili nilai -1 dan sepasang
kedua bola tersebut (bernilai +1 dan -1) bernilai nol. Jumlah bola yang
akan digunakan dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Buat kesepakatan bahwa:
a. = +1
b. = -1
c. = 0
+
-
-
-
-
-
+
+
+
-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5
Penggunaan alat peraga:
a. Operasi Penjumlahan
1) Bilangan bulat positif dengan bilangan bulat positif
Contoh: 3 + 2 =
Langkah-langkah:
a) Ambil 3 buah bola bermuatan positif dan
masukkan ke dalam kotak
b) Karena penjumlahan maka terjadi proses
penambahan atau penggabungan sehingga ambil
lagi 2 buah bola bermuatan positif dan masukkan
ke dalam kotak
c) Hitung semua bola yang ada dalam kotak, sehingga
didapatkan 3 + 2 = 5.
2) Bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif
Contoh: 6 + (-2) =
Langkah-langkah:
+
+
+
+
+
a) Ambil 6 buah bola bermuatan positif dan
masukkan ke dalam kotak
b) Karena penjumlahan maka terjadi proses
penambahan atau penggabungan. Sehingga ambil
lagi 2 bola negatif dan masukkan kedalam kotak.
c) Sebelumnya telah disepakati bahwa sepasang bola
positif dan negatif bernilai 0. Maka keluarkan
semua pasangan bola yang bernilai 0, pada contoh
ini ada dua pasang bola bernilai nol sehingga
didapatkan 4 + 0 + 0 = 4. Hasil dari 6 + (-2) = 4.
3) Bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat negatif
Contoh: (-4) + (-1) =
Langkah-langkah:
a) Ambil 4 bola bermuatan negatif dan masukkan ke
b) Karena penjumlahan maka terjadi proses
penambahan atau penggabungan. Sehingga, ambil
satu lagi bola bermuatan negatif dan masukkan ke
dalam kotak.
c) Terdapat 5 bola bermuatan negatif di dalam kotak
sehingga hasilnya di dapat (-4) + (-1) = (-5)
b. Operasi Pengurangan
1) Bilangan bulat positif dengan bilangan bulat positif
Contoh: 4 – 6 =
Langkah-langkah:
a) Ambil 4 buah bola bermuatan positif dan
masukkan ke dalam kotak
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
+
b) Lakukan proses pengurangan dengan mengambil 6
buah bola bermuatan positif tetapi bola yang ada di
dalam kotak masih kurang sehingga kita mengingat
kembali sifat bilangan bulat yaitu suatu bilangan
bila ditambah nol hasilnya tidak berubah.
c) Kita ambil 2 pasang bola bermuatan positif dan
negatif ke dalam kotak sehingga di dalam kotak
telah ada 6 buah bola bermuatan positif sehingga
dapat dilakukan proses pengurangan.
d) Sekarang ambilah 6 buah bola bermuatan positif
dan didapatkan 2 buah bola bermuatan negatif
yang ada di dalam kotak. Sehingga 4 – 6 = -2
2) Bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif
Contoh: 2 – (-3) =
Langkah-langkah:
+
+
+
+
+
+
-
-
Tambahkan pasangan bola bernilai
0
a) Ambil 2 buah bola bermuatan positif dan
masukkan ke dalam kotak
b) Lakukan proses pengurangan dengan mengambil 3
buah bola bermuatan negatif tetapi ternyata di
dalam kotak hanya terdapat 2 buah bola bermuatan
positif sehingga kita mengingat kembali sifat
bilangan bulat yaitu suatu bilangan bila ditambah
nol hasilnya tidak berubah.
c) Kita ambil 3 pasang bola bermuatan positif dan
negatif ke dalam kotak sehingga di dalam kotak
telah ada 3 buah bola bermuatan negatif sehingga
dapat dilakukan proses pengurangan.
d) Sekarang ambilah 3 buah bola bermuatan negatif
dan didapatkan 5 buah bola bermuatan positif yang
ada di dalam kotak. Sehingga 2 – (-3) = 5
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
Tambahkan pasangan
3) Bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat negatif
Contoh: (-4) – (-3) =
Langkah-langkah:
a) Ambilah 4 buah bola bermuatan negatif dan
masukkan ke dalam kotak
b) Lakukan proses pengurangan dengan mengambil 3
buah bola bermuatan negatif. Dari 4 buah bola
bermuatan negatif diambil 3 buah bola bermuatan
negatif lalu dihitung bola yang masih ada di dalam
kotak adalah 1 bola bermuatan negatif. Sehingga
didapat (-4) – (-3) = -1.
Dari beberapa penjabaran mengenai alat peraga di atas, alat peraga
dalam penelitian ini diartikan sebagai suatu alat/benda yang sengaja dibuat
untuk membantu menanamkan konsep matematika kepada siswa-siswi
sehingga siswa-siswi dapat lebih mudah memahami materi yang
diajarkan.
-
-
-
-
-
+
+
+
F. Klasifikasi Sekolah Luar Biasa
1. Tunanetra (SLB A)
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam
penglihatan. Klasifikasi anak tunanetra ditinjau dari ketajaman untuk
melihat bayangan benda dapat dikelompokkan sebagai berikut
(Mohammad Efendi, 2006: 31): (a) anak yang mengalami
ketunanetraan yang memungkinkan dikoreksi alat optik atau terapi
medis, (b) anak yang mengalami ketunanetraan yang memungkinkan
dikoreksi alat optik atau terapi medis, tetapi masih mengalami
kesulitan menggunakan fasilitas awas/lemah penglihatan, (c) anak
mengalami ketunanetraan yang tidak memungkinkan dikoreksi alat
optik atau terapi medis serta tidak dapat sama sekali memanfaatkan
penglihatan untuk kepentingan pendidikan.
2. Tunarungu (SLB B)
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam
pendengaran. Klasifikasi anak tunarungu ditinjau dari kepentingan
tujuan pendidikannya dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut
(Mohammad Efendi, 2006: 59): (a) anak tunarungu yang kehilangan
pendengaran antara 20-30 dB (slight losses), (b) anak tunarungu yang
kehilangan pendengaran antara 30-40 dB (mild losses), (c) anak
tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 40-60 dB (moderate
losses), (d) anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 60-75
lebih dari 75 dB (profoundly losses). Sedangkan ditinjau dari lokasi
terjadinya ketunarunguan (Mohammad Efendi, 2006: 63), klasifikasi
anak tunarungu dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
tunarungu konduktif, tunarungu perseptif, dan tunarungu campuran.
3. Tunagrahita (SLB C)
Tunagrahita adalah individu yang memiliki taraf kecerdasan yang
sangat rendah sehingga untuk meniti tugas perkembangannya ia sangat
membutuhkan layanan pendidikan dan bimbingan secara khusus.
Klasifikasi anak tunagrahita dapat dilihat pada angka tes kecerdasan,
seperti IQ 0-25 dikategorika idiot, IQ 25-50 dikategorikan imbecil, dan
IQ 50-75 dikategorikan debil/moron (Mohammad Efendi, 2006: 90).
Sedangkan klasifikasi anak tunagrahita didasarkan pada penilaian
program pendidikan dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut
(Mohammad Efendi, 2006: 90): (a) anak tunagrahita mampu didik
(debil) adalah anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti program
sekolah biasa, tetapi masih memilki kemampuan yang dapat
dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal.
Anak tunagrahita mampu didik berarti anak tunagrahita yang dapat
dididik secara minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial, dan
pekerjaan. (b) anak tunagrahita mampu latih (imbecil) adalah anak
tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya sehingga
tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukkan bagi
dapat dilatih untuk mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan
sehari-hari, serta melakukan fungsi sosial kemasyarakatan menurut
kemampuannya. (c) anak tunagrahita mampu rawat (idiot) adalah anak
tunagrahita yang memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak
mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi. Untuk mengurus
kebutuhan diri sendiri sangat membutuhkan orang lain. Dengan kata
lain (menurut Patton dalam Mohammad Efendi, 2006: 91), anak
tungrahita mampu rawat adalah anak tungrahita yang membutuhkan
perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu
terus hidup tanpa bantuan orang lain.
4. Tunadaksa (SLB D)
Tunadaksa adalah individu yang memiliki ketidakmampuan anggota
tubuh untuk melaksanakan fungsinya secara normal akibat luka,
penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna. Klasifikasi anak
tunadaksa (Mohammad Efendi, 2006: 115), dapat dikelompokkan
menjadi: (a) anak tunadaksa ortopedi adalah anak tunadaksa yang
mengalami kelainan, kecacatan, ketunaan tertentu pada bagian tulang,
otot tubuh, ataupun daerah persendian (Heward & Orlansky, 1998
dalam Mohammad Efendi, 2006: 115), baik yang dibawa sejak lahir
maupun yang diperoleh kemudian (karena penyakit atau kecelakaan)
sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh secara normal. (b)
anak tunadaksa saraf (Heward & Orlansky, 1991 dalam Mohammad
akibat gangguan pada susunan saraf di otak. Otak sebagai pengontrol
tubuh memiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali mekanisme
tubuh sehingga jika otak mengalami kelainan, sesuatu akan terjadi
pada organisme fisik, emosi dan mental.
5. Tunalaras (SLB E)
Tunalaras adalah individu yang memiliki tingkah laku yang
berkelainan, tidak memiliki sikap, suka melakukan pelanggaran
terhadap peraturan dan norma sosial dengan frekuensi yang cukup
besar, tidak/kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok dan orang
lain, mudah terpengaruh suasana, sehingga dapat membuat kesulitan
bagi diri sendiri maupun orang lain. Klasifikasi anak tunalaras ditinjau
dari sumber pemicu tumbuhnya perilaku menyimpang dapat dibedakan
menjadi (Mohammad Efendi, 2006:144): (a) penyimpangan tingkah
laku ekstrem sebagai bentuk kelainan emosi, anak yang dikategorikan
memiliki penyimpangan ini adalah anak yang mengalami kesulitan
menyesuaikan perilakunya dengan lingkungan sosial karena adanya
tekanan dari dalam, adanya hal-hal yang bersifat neurotic atau psikotic.
Indikasi anak berkelainan emosi dapat dipantau dari tekanan jiwa yang
ditunjukkan dalam bentuk kecemasan yang mendalam. (b)
penyimpangan tingkah laku sebagai bentuk kelainan penyesuaian
sosial, anak yang dikategorikan memiliki penyimpangan ini adalah
anak yang mempunyai tingkah laku tidak sesuai dengan adat kebiasaan
G. Tunarungu
1. Pengertian Anak Tunarungu
Yang dimaksud dengan tunarungu atau berkelainan pendengaran
adalah jika dalam proses mendengar terdapat satu atau lebih organ
telinga bagian luar, organ telinga bagian tengah, dan organ telinga
bagian dalam mengalami gangguan atau kerusakan disebabkan
penyakit, kecelakaan, atau sebab lain yang tidak diketahui sehingga
organ tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Anak
yang berada dalam keadaan kelainan pendengaran seperti itu disebut
anak berkelainan pendengaran atau anak tunarungu (Mohammad
Efendi, 2006: 57).
2. Klasifikasi Anak Tunarungu
Ketajaman pendengaran seseorang diukur dan dinyatakan dalam
satuan bunyi deci-Bell (disingkat dB). Penggunaan satuan tersebut
untuk membantu dalam interpretasi hasil tes pendengaran dan
mengelompokkan dalam jenjangnya. Berdasarkan kriteria
International Standard Organization (ISO) klasifikasi anak kehilangan
pendengaran atau tunarungu dapat dikelompokkan menjadi kelompok
tuli dan kelompok lemah pendengaran. Menurut ISO, seseorang
dikategorikan tuli (tunarungu berat) jika ia kehilangan kemampuan
mendengar 70 dB atau lebih sehingga ia mengalami kesulitan untuk
mengerti atau memahami pembicaraan orang lain walaupun
dengar. Sedangkan seseorang dikategorikan lemah pendengaran jika ia
kehilangan kemampuan mendengar antara 35-69 dB sehingga
mengalami kesulitan mendengar suara orang lain secara wajar, namun
tidak terhalang untuk mengerti atau mencoba memahami bicara orang
lain dengan menggunakan alat bantu dengar.
Ditinjau dari kepentingan tujuan pendidikannya (Mohammad
Efendi, 2006: 59), secara terinci anak tunarungu dapat dikelompokkan
menjadi sebagai berikut:
a. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 20 – 30 dB
Ciri-ciri anak tunarungu kehilangan pendengaran pada rentangan
tersebut antara lain: (a) kemampuan mendengar masih baik karena
berada di garis batas antara pendengaran normal dan kekurangan
pendengaran taraf ringan, (b) tidak mengalami kesulitan memahami
pembicaraan dan dapat mengikuti sekolah biasa dengan syarat
tempat duduknya perlu diperhatikan, terutama harus dekat guru, (c)
dapat belajar bicara secara efektif dengan melalui kemampuan
pendengarannya, (d) perlu diperhatikan kekayaan perbendaharaan
bahasanya supaya perkembangan bicara dan bahasanya tidak
terhambat, dan (e) disarankan yang bersangkutan menggunakan
alat bantu dengar untuk meningkatkan ketajaman daya
pendengarannya. Untuk kepentingan pendidikannya pada anak
tunarungu kelompok ini cukup hanya memerlukan latihan
b. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 30-40 dB
Ciri-ciri anak kehilangan pendengaran pada rentangan tersebut
antara lain: (a) dapat mengerti percakapan biasa pada jarak sangat
dekat, (b) tidak mengalami kesulitan untuk mengekspresikan isi
hatinya, (c) tidak dapat menangkap suatu percakapan yang lemah,
(d) kesulitan menangkap isi pembicaraan dari lawan bicaranya jika
berada pada posisi tidak searah dengan pandangannya
(berhadapan), (e) untuk menghindari kesulitan bicara perlu
mendapatkan bimbingan yang baik dan intensif, (f) ada
kemungkinan dapat mengikuti sekolah biasa, namun untuk
kelas-kelas permulaan sebaiknya dimasukkan dalam kelas-kelas khusus, dan
(g) disarankan menggunakan alat bantu dengar untuk menambah
ketajaman daya pendengarannya. Kebutuhan layanan pendidikan
untuk anak tunarungu kelompok ini yaitu membaca bibir, latihan
pendengaran, latihan bicara, artikulasi, serta latihan kosakata.
c. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 40-60 dB
Ciri-ciri anak kehilangan pendengaran pada rentangan tersebut
antara lain: (a) dapat mengerti percakapan keras pada jarak dekat,
kira-kira satu meter sebab ia kesulitan menangkap percakapan pada
jarak normal, (b) sering terjadi mis-understanding terhadap lawan
bicaranya jika ia diajak bicara, (c) penyandang tunarungu
kelompok ini mengalami kelainan bicara terutama pada huruf
diucapkan menjadi “T” dan “D”, (d) kesulitan menggunakan
bahasa dengan benar dalam percakapan, (e) perbendaharaan
kosakatanya sangat terbatas. Kebutuhan layanan pendidikan untuk
anak tunarungu kelompok ini meliputi latihan artikulasi, latihan
membaca bibir, latihan kosakata, serta perlu menggunakan alat
bantu dengar untuk membantu ketajaman pendengarannya.
d. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 60-75 dB
Ciri-ciri anak kehilangan pendengaran pada rentangan tersebut
adalah (a) kesulitan membedakan suara, dan (b) tidak memiliki
kesadaran bahwa benda-benda yang ada di sekitarnya memiliki
getaran suara. Kebutuhan layanan pendidikannya, perlu layanan
khusus dalam belajar bicara maupun bahasa, menggunakan alat
bantu dengar sebab anak yang tergolong kategori ini tidak mampu
berbicara spontan. Kebutuhan pendidikan anak tunarungu
kelompok ini perlu latihan pendengaran intensif, membaca bibir,
dan latihan pembentukan kosakata.
e. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran 75 dB ke atas
Ciri-ciri anak yang kehilangan pendengaran pada kelompok ini, ia
hanya dapat mendengar suara keras sekali pada jarak kira-kira 1
inchi (± 2, 54 cm) atau sama sekali tidak mendengar. Biasanya ia
tidak menyadari bunyi keras, mungkin juga ada reaksi jika dekat
telinga. Kebutuhan layanan pendidikan untuk anak tunarungu
untuk kesadaran bunyi, latihan membentuk dan membaca ujaran
dengan menggunakan metode-metode pengajaran yang khusus,
seperti tactile kinestetic, visualisasi yang dibantu dengan segenap
kemampuan indranya yang tersisa.
Klasifikasi anak tunarungu ditinjau dari lokasi terjadinya
ketunarunguan (Mohammad Efendi, 2006: 63), dapat dikelompokkan
menjadi sebagai berikut:
a. Tunarungu Konduktif
Ketunarunguan tipe konduktif ini terjadi karena beberapa organ
yang berfungsi sebagai penghantar suara di telinga bagian luar,
seperti liang telinga, selaput gendang, serta ketiga tulang
pendengaran (malleus, incus, dan stapes) yang terdapat di telinga
bagian dalam dan dinding-dinding labirin mengalami gangguan.
Ada beberapa kondisi yang menghalangi masuknya getaran suara
atau bunyi ke organ yang berfungsi sebagai penghantar, yaitu
tersumbatnya liang telinga oleh kotoran telinga (cerumen) atau
kemasukan benda-benda asing lainnya; mengeras, pecah, berlubang
pada selaput gendang telinga dan ketiga tulang pendengaran
sehingga efeknya dapat menyebabkan hilangnya daya hantaran
organ tersebut.
b. Tunarungu Perseptif
Ketunarunguan tipe perseptif disebabkan terganggunya
Ketunarunguan perseptif ini terjadi jika getaran suara yang diterima
oleh telinga bagian dalam (terdiri dari rumah siput, serabut saraf
pendengaran) yang bekerja mengubah rangsang mekanis menjadi
rangsang elektris tidak dapat diteruskan ke pusat pendengaran otak.
c. Tunarungu Campuran
Ketunarunguan tipe campuran ini sebenarnya untuk menjelaskan
bahwa pada telinga yang sama rangkaian organ-organ telinga yang
berfungsi sebagai penghantar dan menerima rangsangan suara
mengalami gangguan, sehingga yang tampak pada telinga tersebut
telah terjadi campuran antara ketunarunguan konduktif dan
ketunarunguan perseptif.
Kondisi ketunarunguan yang dialami anak, dapat dihubungkan
dengan kurun waktu terjadinya, yaitu sebelum anak lahir (prenatal), saat
anak lahir (neonatal), atau sesudah anak lahir (posnatal).
Ketunarunguan yang terjadi sebelum anak lahir maupun saat anak lahir
disebut tunarungu bawaan, sedangkan ketunarunguan yang terjadi
ketika anak mulai meniti tugas perkembangannya disebut tunarungu
perolehan.
3. Dampak Ketunarunguan
Anak tunarungu akan menanggung konsekuensi sangat kompleks
berkaitan dengan masalah kejiwaannya. Pada diri mereka seringkali
lingkungannya dan mereka juga harus berjuang dalam meniti tugas
perkembangannya.
Ada dua bagian penting dari dampak ketunarunguan berdasarkan
uraian di atas yaitu: Pertama, konsekuensi akibat gangguan
pendengaran tersebut bahwa penderitanya akan mengalami kesulitan
dalam menerima segala macam rangsang atau peristiwa bunyi yang
ada di sekitarnya. Kedua, akibat kesulitan menerima rangsang bunyi
tersebut konsekuensinya penderita tunarungu akan mengalami
kesulitan pula dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang
terdapat di sekitarnya.
4. Karakteristik Kecerdasan Anak Tunarungu
Kecerdasan yang dimiliki anak tunarungu sebenarnya tidak
berbeda dengan anak normal umumnya karena anak tunarungu ada
yang memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata (superior), rata-rata
(average), maupun di bawah rata-rata (subnormal). Namun, untuk
mengetahui kondisi kecerdasan anak tunarungu memerlukan cara yang
agak berbeda dibandingkan dengan anak normal umumnya.
Cruickshank (Mohammad Efendi, 2006: 79) mengemukakan
bahwa anak tunarungu seringkali memperlihatkan keterlambatan
dalam belajar. Hal ini dapat disebabkan karena derajat gangguan
pendengaran yang dialami oleh anak dan juga potensi kecerdasan yang
Jensema (Mohammad Efendi, 2006: 80) mencatat bahwa
kemampuan membaca anak tunarungu usia 14 tahun setingkat dengan
anak kelas III. Demikian juga dalam kemampuan berhitung, anak
tunarungu usia 10 tahun setingkat dengan anak normal kelas III.
Trybus dan Kurchmer (Mohammad Efendi, 2006: 80) melaporkan
bahwa hasil penelitiannya tentang kemajuan membaca dan berhitung
pada 1.543 anak tunarungu usia 3 tahun. Ia menemukan bahwa
pemahaman membaca anak tunarungu usia 9 tahun setingkat anak
kelas II, dan pada usia 20 tahun setingkat dengan anak normal kelas V.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan secara berkelanjutan,
Van Uden (Mohammad Efendi, 2006: 84) berhasil mencatat beberapa
sifat kepribadian anak tunarungu yang berbeda dengan anak normal,
antara lain:
a. Anak tunarungu lebih egosentris.
b. Anak tunarungu lebih tergantung pada orang lain dan yang sudah
dikenal.
c. Perhatian anak tunarungu lebih sukar dialihkan.
d. Anak tunarungu lebih memerhatikan yang konkret.
e. Anak tunarungu kurang dalam berfantasi.
f. Anak tunarungu umumnya mempunyai sifat polos, sederhana,
tanpa banyak masalah.
g. Perasaan anak tunarungu cenderung dalam keadaan ekstrem tanpa
h. Anak tunarungu lebih mudah marah dan lekas tersinggung.
i. Anak tunarungu kurang mempunyai konsep tentang hubungan.
j. Anak tunarungu mempunyai perasaan takut akan hidup yang lebih
besar.
5. Metode Komunikasi Anak Tunarungu
Terdapat berbagai cara komunikasi untuk anak-anak yang memiliki
masalah pendengaran (Jamila K.A Muhammad, 2008: 70), yaitu
sebagai berikut:
a. Metode auditory oral
- Menekankan pada proses mendengar serta bertutur kata dengan
penggunaan alat bantu pendengaran, penglihatan, dan sentuhan
- Menekankan pada metode pembacaan gerak bibir (lip reading)
- Menggunakan bantuan bunyi sebagai latihan pendengaran agar
anak-anak berlatih untuk mendengar bunyi dan dapat
mengklasifikasikan bunyi-bunyi yang berbeda.
b. Metode membaca bibir
- Metode ini baik untuk anak-anak yang mampu berkonsentrasi
tinggi dan mempunyai penglihatan yang baik.
c. Metode bahasa isyarat
- Bahasa isyarat digunakan dengan menggabungkan perkataan
d. Metode komunikasi universal
- Metode yang menggabungkan gerakan jari, isyarat, pembacaan
gerak bibir, penuturan, dan bahasa isyarat manual-visual
- Elemen penting dalam metode ini adalah penggunaan isyarat
dan penuturan secara bersamaan.
e. Penuturan isyarat (cued speech)
- Menggunakan simbol-simbol tangan untuk membantu
bunyi-bunyian. Simbol-simbol tangan yang dilambangkan ditentukan
dengan bentuk-bentuk tangan yang menentukan maksud
perkataan.
Pada penelitian ini, siswa-siswi tunarungu di SLB Yapenas
berkomunikasi menggunakan metode membaca bibir dan bahasa
isyarat. Ada dua hal penting yang menjadi ciri khas hambatan anak
tunarungu dalam aspek kebahasaannya, yaitu: pertama, konsekuensi
akibat kelainan pendengaran (tunarungu) berdampak pada kesulitan
dalam menerima segala macam rangsang bunyi atau peristiwa bunyi
yang ada di sekitarnya. Kedua, akibat keterbatasannya dalam menerima
rangsang bunyi, penderita akan mengalami kesulitan dalam
memproduksi suara atau bunyi bahasa yang ada di sekitarnya. Adanya
dua kondisi ini pada anak tunarungu secara langsung dapat berpengaruh
terhadap kelancaran perkembangan bahasa dan bicaranya (Mohammad
yang mengalami tunarungu seringkali diikuti pula dengan tunawicara
(kesulitan dalam hal berbicara).
Di SLB Yapennas ini, siswa-siswi tunarungu sudah pada
klasifikasi tuli, mereka juga kesulitan dalam hal berbicara (tunawicara),
mereka berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat dan membaca
bibir. Alasan menggunakan alat peraga bola bermuatan dalam
penelitian ini adalah karena siswa-siswi tunarungu terbatas dalam hal
mendengar dan berbicara tetapi penglihatan dan indera yang lain dapat
berfungsi dengan baik. Sehingga, pemilihan alat peraga bola bermuatan
ini sesuai dengan kondisi siswa-siswi tunarungu karena alat peraga ini
dapat dilihat dan juga menggunakan bola-bola dengan dua warna yang
berbeda yang diharapkan dapat menarik perhatian dan minat
siswa-siswi tunarungu. Selain itu, alat peraga ini mudah digunakan.
Penggunaannya hanya hanya dengan menjumlahkan (menggabungkan)
dan mengurangkan (memisahkan/mengambil) bola-bola tersebut.
H. Prinsip Pendidikan Anak Berkelainan
Mendidik anak berkelainan tidak sama dengan mendidik anak normal
karena memerlukan suatu pendekatan dan strategi yang khusus.
Pengembangan prinsip-prinsip pendekatan secara khusus, yang dapat
dijdikan dasar dalam upaya mendidik anak berkelainan (Mohammad
1. Prinsip kasih sayang
Pada dasarnya prinsip kasih sayang adalah menerima mereka
sebagaimana adanya, dan mengupayakan agar mereka dapat menjalani
hidup seperti anak normal lainnya. Oleh karena itu, upaya yang perlu
dilakukan untuk mereka adalah tidak bersikap memanjakan, tidak
bersikap acuh tak acuh terhadap kebutuhannya, dan memberikan tugas
yang sesuai dengan kemampuan anak.
2. Prinsip Layanan Pendidikan
Prinsip ini sangat penting karena setiap anak berkelainan dalam
jenis dan derajat yang sama seringkali memiliki keunikan masalah
yang berbeda antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, upaya
yang perlu dilakukan untuk mereka selama pendidikannya adalah:
jumlah siswa yang dilayani guru tidak lebih dari 4-6 anak dalam setiap
kelasnya, pengaturan kurikulum dan jadwal pelajaran dapat bersifat
fleksibel, penataan kelas harus dirancang sedemikian rupa sehingga
guru dapat menjangkau semua siswanya dengan mudah, dan
modifikasi alat bantu pengajaran.
3. Prinsip Kesiapan
Untuk menerima suatu pelajaran tertentu diperlukan kesiapan.
Khususnya kesiapan anak untuk mendapatkan pelajaran yang akan
diajarkan. Anak berkelainan secara umum mempunyai kecenderungan
cepat bosan dan cepat lelah apabila menerima pelajaran. Oleh karena
mereka diberikan kegiatan yang menyenangkan dan rileks, setelah
segar kembali guru baru dapat melanjutkan memberikan pelajaran.
4. Prinsip Keperagaan
Kelancaran pembelajaran pada anak berkelainan sangat didukung
oleh penggunaan alat peraga sebagai medianya. Fungsi dari
penggunaan alat peraga adalah dapat mempermudah guru dalam
mengajar dan juga dapat mempermudah pemahaman siswa terhadap
materi yang disajikan guru.
5. Prinsip Motivasi
Prinsip ini lebih menitikberatkan pada cara mengajar dan
pemberian evaluasi yang disesuaikan dengan kondisi anak berkelainan.
Contoh, bagi anak tunanetra, mempelajari orientasi dan mobilitas yang
ditekankan pada pengenalan suara binatang akan lebih menarik dan
mengesankan jika mereka diajak ke kebun binatang. Bagi anak
tunagrahita, untuk menerangkan makanan empat sehat lima sempurna,
barangkali akan lebih menarik jika diperagakan bahan aslinya
kemudian diberikan kepada anak untuk dimakan, daripada hanya
berupa gambar-gambar saja.
6. Prinsip Belajar dan Bekerja Kelompok
Arah penekanan prinsip ini adalah agar mereka sebagai anggota
masyarakat dapat bergaul dengan masyarakat lingkungannya, tanpa
kegiatan ini diharapkan mereka dapat memahami bagaimana cara
bergaul dengan orang lain secara wajar.
7. Prinsip Keterampilan
Pendidikan keterampilan yang diberikan kepada anak berkelainan
dapat berfungsi: (a) selektif yang berarti untuk mengarahkan minat,
bakat, keterampilan dan perasaan anak berkelainan secara tepat guna.
(b) edukatif yang berarti membimbing anak berkelainan untuk berpikir
logis, berperasaan halus, dan kemampuan untuk bekerja. (c) rekreatif
yang berarti unsur kegiatan yang diperagakan sangat menyenangkan
bagi anak berkelainan. (d) terapi yang berarti aktivitas keterampilan
yang diberikan dapat menjadi salah satu sarana habilitasi
(penyembuhan) akibat kelainan atau ketunaan yang disandangnya. Dan
(e) dapat dijadikan sebagai bekal dalam kehidupannya kelak.
8. Prinsip Penanaman dan Penyempurnaan Sikap
Secara fisik dan psikis sikap anak berkelainan memang kurang
baik sehingga perlu diupayakan agar mereka mempunyai sikap yang
baik serta tidak selalu menjadi perhatian orang lain. Misalnya anak
tunarungu memiliki kecenderungan rasa curiga pada orang lain akibat
ketidakmampuannya menangkap percakapan orang lain.
I. Kerangka Berpikir
Ketepatan pemilihan dan penggunaan alat peraga dalam
pembelajaran matematika. Untuk itu penggunaan alat peraga dalam
pembelajaran akan membantu siswa dalam mencapai tujuan yang telah
direncanakan dan membantu guru untuk menyampaikan materi pelajaran.
Proses pembelajaran yang direncanakan adalah pembelajaran
dengan menggunakan alat peraga bola bermuatan. Alat peraga bola
bermuatan ini diberikan untuk anak-anak tunarungu di SLB B Yapenas
kelas V. Alat peraga ini bertujuan agar anak-anak tunarungu dapat
memanfaatkan indra yang lain karena satu indra tidak dapat digunakan.
Anak-anak tunarungu adalah anak-anak yang berkekurangan dalam hal
indra pendengaran tetapi indra yang lain seperti indra penglihatan, indra
penciuman, indra perasa, dan indra peraba masih dapat digunakan. Oleh
karena itu, pemilihan alat peraga bola bermuatan ini dimaksu