• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran operasi hitung bilangan bulat di SLB B Yapenas kelas V dengan menggunakan alat peraga bola bermuatan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aktivitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran operasi hitung bilangan bulat di SLB B Yapenas kelas V dengan menggunakan alat peraga bola bermuatan."

Copied!
185
0
0

Teks penuh

(1)

AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN OPERASI HITUNG BILANGAN BULAT DI SLB B YAPENAS KELAS V

DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERAGA BOLA BERMUATAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika

Disusun Oleh :

Paulina Lystianingsih Riardi 081414076

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

(2)

AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN OPERASI HITUNG BILANGAN BULAT DI SLB B YAPENAS KELAS V

DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERAGA BOLA BERMUATAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh :

Paulina Lystianingsih Riardi NIM : 081414076

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Sedikit pengetahuan yang dilaksanakan jauh lebih berharga

daripada banyak pengetahuan tapi tidak digunakan

(Kahlil Gibran)

“ Segala Sesuatu Indah Pada Waktunya”

(Pengkhotbah 3:11a)

Skripsi ini ku persembahkan untuk:

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu memberkati dan melimpahkan

kasih-Nya untukku.

Bapak dan Ibu ku tercinta

Nenek ku tersayang

Mbak-mbak dan adik-adik ku tersayang

(6)
(7)
(8)

ABSTRAK

Paulina Lystianingsih Riardi. 2013. Aktivitas Dan Hasil Belajar Siswa Dalam Pembelajaran Operasi Hitung Bilangan Bulat Di SLB B Yapenas Kelas V Dengan Menggunakan Alat Peraga Bola Bermuatan. Skripsi. Yogyakarta: Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Tujuan dari penelitan ini adalah untuk (1) mengetahui aktivitas belajar siswa-siswi SLB B (tunarungu) dalam pembelajaran operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan alat peraga dan (2) mengetahui apakah pembelajaran operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan alat peraga dapat meningkatkan hasil belajar siswa-siswi di SLB.

Subyek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SLB B Yapenas, tahun ajaran 2012/2013 yang berjumlah 2 siswa. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif-kuantitatif. Instrumen penelitian yang digunakan terdiri dari: (1) lembar pengamatan aktivitas belajar siswa, (2) soal tes hasil belajar siswa berupa pre test dan post test, (3) wawancara dan (4) dokumentasi. Analisis data aktivitas siswa diperoleh berdasarkan lembar pengamatan, video rekaman dan hasil wawancara sedangkan analisis hasil belajar siswa dengan cara menghitung nilai pada saat pre test dan juga post test, kemudian dibandingkan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) Dyah dan Ika melakukan aktivitas-aktivitas belajar meliputi visual activities seperti siswa memperhatikan guru ketika menjelaskan materi, listening activities seperti siswa mendengarkan guru saat menjelaskan dan siswa berdiskusi/bekerjasama, writing activities seperti siswa mencatat hal-hal penting, motor activities seperti siswa melakukan praktek menggunakan alat peraga bola bermuatan dan mental activities seperti siswa mengerjakan soal latihan yang diberikan. Aktivitas yang kurang menonjol adalah

oral activities seperti bertanya dan menyatakan pendapat. (2) Hasil belajar siswa pada pembelajaran operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan alat peraga terlihat ada peningkatan, nilai Dyah pada saat pre test 46,63 naik menjadi 67, 86 pada saat post test sedangkan nilai Ika pada saat pre test 53,57 naik menjadi 75 pada saat post test jadi nilai post test mereka memenuhi KKM yaitu 67.

(9)

ABSTRACT

Paulina Lystianingsih Riardi. 2013. Student Activities and Student Learning Result in Learning Integer Count Operation in SLB B Yapenas Grade V with Using Contained Ball Props. Thesis. Yogyakarta: Mathematic Education, Deaprtment of Mathematic and Science Education, Teacher Training and Education Faculty, Sanata Dharma University.

The purposes of this research were to (1) elaborate the learning activities of SLB B students (with hearing impairment) in Learning Integer Count Operation with using props and (2) know learning integer with using props can

increase student’s SLB B learning result.

The subjects of this research is all of the SLB B Yapenas grade V students, school year 2012/2013 which were two students. This research was Qualitative-Quantitative Descriptive Research. The research instruments were as following (1) student activities observation sheet, (2) test material and student’s test result in form of pre test and post test, (3) interview and (4) documentation. Data analysis of student activities was obtained according to observation sheet, recorded videos, and interview result, while student learning result analysis was obtained by calculation the pre test and post test score, then both of them were compared.

The result of this research showed that (1) Dya and Ika did learning activities such as visual activities which is student’s paid attention of the teacher when describe of material, listening activities which is student’s listening when teacher explained and student’s did disscusion, writing activities which is student’s take a note the important things, motor activities which is student’s did practicing use contained ball props and mental activities which is student’s did exercises that giving. The less activity that showed is oral activities which is student’s asked and explained opinion. (2) student learning result in integer count operation using props increases. Dyah’s score increases from 46,63 in pre test to 67,86 in post test, while Ika’s score increases from 53,57 in pre test to 75 in post test. Therefore, their post test scores have passed KKM which is 67.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Pengasih atas berkat

dan karunia-Nya, sehingga penulis diberi waktu dan kemampuan untuk dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa dalam

Pembelajaran Operasi Hitung Bilangan Bulat di SLB B Yapenas Kelas V dengan

Menggunakan Alat Peraga”. Pembuatan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi

syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dari Program Studi Pendidikan

Matematika. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa

bangtuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik yang terlibat langsung maupun

tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima

kasih kepada :

1. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku Dekan FKIP.

2. Bapak Drs. Aufridus Atmadi, M. Si. Selaku Ketua Jurusan Pendidikan

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

3. Bapak Dr. Marcellinus Andy Rudhito, S.Pd. selaku ketua Program Studi

Pendidikan Matematika yang telah memberikan dukungan kepada penulis

untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Prof. Dr. St. Suwarsono selaku Dosen Pembimbing Akademik.

5. Bapak Drs. A. Sardjana, M.Pd. selaku dosen pembimbing yang dengan

penuh kesabaran telah membimbing dan memberikan masukan bagi

(11)

6. Bapak Drs. Th. Sugiarto, M.T dan Bapak Dominikus Arif Budi Prasetyo,

S.Si., M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan bagi

penulis untuk menyempurnakan skripsi ini.

7. Segenap dosen JPMIPA yang telah membantu dan memberikan dukungan

selama penulis menempuh kuliah, sehingga akhirnya penulis dapat

menyelesaikan studi dengan tepat waktu.

8. Segenap Staf Sekretariat JPMIPA yang telah membatu dalam hal

administrasi kampus selama penulis melakukan studi disini.

9. Bapak Marjani, M.Pd selaku kepala sekolah SLB Yapenas Yogyakarta

yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melaksanakan

penelitian.

10.Ibu Sayekti Ningsih, S.Pd selaku guru kelas V SLB B Yapenas

Yogyakarta dan Bapak Tri Rukmana, S.Pd selaku guru konsultan, yang

dengan tulus dan sabar membantu dan membimbing penulis dalam

melaksanakan penelitian.

11.Siswa-siswa SLB B Yapenas kelas V atas kesediaan terlibat dalam

penelitian ini.

12.Orang tua terkasih, Bapak Clement Junardi dan Ibu Theresia Riami.

Terimakasih atas doa dan dukungan yang diberikan untuk penulis.

13.Mbak Ana, Mbak Eko, Adik-Adikku Agung, Siska, Vendo dan Cicing.

Terimakasih untuk doa dan dukungan yang telah diberikan.

14.Teman-temanku yang telah membantu selama penelitian Ana, Nesya, Ayu,

(12)

studi Pendidikan Matematika angkatan 2008 yang memberikan dukungan

kepada penulis selama studi.

15.Teman-teman Mitra Perpustakaan Universitas Sanata Dharma atas

dukungan yang diberikan kepada penulis.

16.Seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah turut

serta membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata, semoga karya ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Penulis

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Rumusan Masalah... 5

E. Batasan Istilah... 6

F. Tujuan Penelitian ... 7

(14)

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

A. Aktivitas Belajar ... 9

B. Hasil Belajar ... 13

C. Bilangan Bulat ... 14

D. Alat Peraga... 15

E. Bola Bermuatan ... 17

F. Klasifikasi Sekolah Luar Biasa... 25

G. Tunarungu... 29

1. Pengertian Anak Tunarungu... 29

2. Klasifikasi Anak Tunarungu... 29

3. Dampak Ketunarunguan... 34

4. Karakteristik Kecerdasan Anak Tunarungu... 35

5. Metode Komunikasi Anak Tunarungu... 37

H. Prinsip Pendidikan Anak Berkelainan... 39

I. Kerangka Berpikir... 42

BAB III METODE PENELITIAN ... 44

A. Jenis Penelitian ... 44

B. Variabel Penelitian ... 44

C. Waktu dan Tempat Penelitian... 45

D. Subyek Penelitian ... 45

E. Bentuk Data ... 45

F. Metode Pengumpulan Data ... 46

(15)

H. Analisis Data... 51

I. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 52

BAB IV DESKRIPSI PENELITIAN, ANALISIS HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55

A. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian ... 55

1. Observasi Sebelum Pelaksanaan Penelitian ... 56

2. Pelaksanaan Penelitian ... 58

a. Pertemuan Pertama ... 58

b. Pertemuan Kedua ... 64

c. Pertemuan Ketiga ... 68

d. Pertemuan Keempat ... 77

e. Pertemuan Kelima ... 83

f. Pertemuan Keenam ... 89

B. Data Hasil Penelitian ... 90

C. Analisis Data... 94

1. Analisis Lembar Pengamatan Aktivitas Belajar Siswa ... 94

2. Analisis Hasil Belajar Siswa... 101

BAB V PENUTUP ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 109

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Hasil Belajar Siswa Soal Pre Test Bagian A ... 93

Tabel 4.2 Hasil Belajar Siswa Soal Pre Test Bagian B ... 93

Tabel 4.3 Hasil Belajar Siswa Soal Pre Test Bagian C ... 93

Tabel 4.4 Hasil Belajar Siswa Soal Post Test Bagian A ... 93

Tabel 4.5 Hasil Belajar Siswa Soal Post Test Bagian B ... 94

Tabel 4.6 Hasil Belajar Siswa Soal Post Test Bagian C ... 94

Tabel 4.7 Perbandingan Hasil Pre Test dan Post Test Bagian A ... 103

Tabel 4.8 Perbandingan Hasil Pre Test dan Post Test Bagian B... 103

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN A

Lampiran A.1 Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran ... 111

Lampiran A.2 Kisi-Kisi Soal Pre Test dan Post Test ... 117

Lampiran A.3 Soal Pre Test ... 118

Lampiran A.4 Soal Post Test ... 120

Lampiran A.5 Kunci Jawaban Soal Pre Test ... 122

Lampiran A.6 Kunci Jawaban Soal Post Test ... 124

Lampiran A.7 Lembar Pengamatan Aktivitas Siswa ... 126

LAMPIRAN B Lampiran B.1 Hasil Rangkuman Pengamatan Aktivitas Siswa ... 127

Lampiran B.2 Hasil Lembar Pengamatan Aktivitas Siswa ... 131

Lampiran B.3 Hasil Pre Test ... 155

Lampiran B.4 Hasil Post Test ... 159

Lampiran B.5 Foto Penelitian ... 163

Lampiran B.6 Surat Ijin Penelitian ... 165

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Matematika merupakan bidang studi yang diajarkan sejak siswa

menginjak usia sekolah. Hal ini dimaksudkan agar siswa-siswi tidak

merasa asing dengan pelajaran matematika dan mereka dapat berpikir logis

sejak usia dini. Walaupun demikian, sebagian besar siswa-siswi kurang

berminat dalam mata pelajaran matematika. Mereka memandang

matematika sebagai sesuatu yang sulit dan membebani. Kesulitan yang

mereka hadapi diantaranya adalah matematika merupakan mata pelajaran

yang abstrak dan berisi perhitungan yang menggunakan banyak rumus.

Hal seperti ini juga dirasakan oleh siswa-siswi di Sekolah Luar Biasa,

bahkan mungkin kesulitan yang mereka alami lebih banyak daripada

kesulitan yang dialami oleh siswa-siswi di sekolah umum karena kondisi

mereka yang berbeda. Pengertian berbeda/berkelainan adalah suatu

kondisi yang menyimpang dari rata-rata umumnya. Penyimpangan

tersebut secara eksplisit ditujukan kepada anak yang dianggap memiliki

kelainan penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal umumnya,

dalam hal fisik, mental, maupun karakteristik perilaku sosialnya

(Mohammad Efendi, 2006: 2). Anak berkelainan adalah anak yang

(19)

kemampuan berpikir, penglihatan, pendengaran, sosialisasi, dan bergerak

(Hallahan dan Kauffman dalam Mohammad Efendi, 2006: 2).

Sekolah Luar Biasa adalah sekolah yang ditujukan untuk

anak-anak berkebutuhan khusus. Pengklasifikasian anak-anak berkelainan di

Indonesia jika dikaitkan dengan kepentingan pendidikannya dapat dibagi

menjadi: bagian A adalah sebutan untuk kelompok anak tunanetra (anak

berkelainan penglihatan), bagian B adalah sebutan untuk kelompok anak

tunarungu (anak berkelainan pendengaran), bagian C adalah sebutan untuk

kelompok anak tunagrahita (anak berkelainan mental subnormal), bagian

D adalah sebutan untuk kelompok anak tunadaksa (anak berkelainan

fungsi anggota tubuh), dan bagian E adalah sebutan untuk kelompok anak

tunalaras (anak berkelainan perilaku) (Mohammad Efendi, 2006: 11).

Tunarungu adalah anak yang berkekurangan pada indera pendengaran,

anak-anak ini berkomunikasi dan berinteraksi dengan menggunakan

bahasa isyarat dan membaca bibir.

Prinsip pendidikan anak berkelainan berbeda dengan prinsip

pendidikan untuk anak di sekolah umum. Prinsip pendidikan bagi anak

berkelainan antara lain kasih sayang, layanan individual, kesiapan,

keperagaan, motivasi, belajar dan bekerja kelompok, keterampilan,

penanaman dan penyempurnaan sikap (Mohammad Efendi, 2006: 24).

Salah satu prinsip pendidikan bagi anak berkelainan adalah keperagaan

yang maksudnya adalah penggunaan alat peraga dalam proses

(20)

pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan guru. Khususnya untuk

mata pelajaran matematika, penggunaan alat peraga dalam proses

pembelajaran diharapkan dapat membantu siswa-siswi agar dapat

memahami konsep-konsep matematika yang abstrak dengan lebih mudah.

Matematika banyak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari,

setiap siswa-siswi di SLB pasti mengalami kejadian-kejadian yang

berhubungan dengan matematika. Sehingga penggunaan media

pembelajaran berupa alat peraga dalam pembelajaran kiranya dapat

meningkatkan minat siswa-siswi untuk belajar yang tentunya dapat

berdampak pada hasil belajar dan aktivitas belajar siswa di kelas. Alat

peraga yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah bola bermuatan.

Alasan menggunakan alat peraga ini adalah untuk lebih menarik perhatian

siswa-siswi SLB kelas V karena alat peraga ini menggunakan bola-bola

dengan 2 macam warna. Pemanfaatan alat peraga dalam pelajaran

matematika dapat membantu menyampaikan konsep matematika yang

membutuhkana alat bantu seperti materi bilangan bulat. Materi ini tidak

mudah dalam menanamkan konsepnya dan terbukti masih banyak

siswa-siswi yang kesulitan untuk memahami konsep materi ini. Bilangan bulat

terdiri dari semua bilangan asli, nol dan semua lawan bilangan asli.Materi

yang akan diteliti pada penelitian ini adalah operasi hitung bilangan bulat

khususnya pada operasi penjumlahan dan pengurangan pada siswa-siswi

SLB B kelas V. Materi ini sudah didapat di kelas IV namun masih banyak

(21)

kesulitan dalam menjumlahkan bilangan negatif dengan bilangan negatif

dan juga mengurangkan bilangan negatif dengan bilangan negatif.

Berdasarkan observasi di SLB Yapennas, proses pembelajaran

yang berlangsung disini lebih terfokus pada siswa-siswi, guru mengajar

berdasarkan kemampuan dan kondisi siswa-siswi karena guru mengetahui

bagaimana tingkat pemahaman siswa-siswi. Akan tetapi berdasarkan

pengamatan yang dilakukan, siswa-siswi disini kurang aktif dalam proses

pembelajaran. Mereka cenderung pasif dan melakukan apapun sesuai

dengan petunjuk guru dan juga proses pembelajaran yang berlangsung,

guru belum memanfaatkan penggunaan alat peraga. Berdasarkan

wawancara dengan guru kelas, siswa-siswi disini kurang cepat dalam

memahami materi sehingga guru akan sering mengulang materi yang

sedang dipelajari.

Dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana

proses pembelajaran yang berlangsung di SLB. Dengan demikian peneliti

memilih judul “AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM

PEMBELAJARAN OPERASI HITUNG BILANGAN BULAT DI SLB B

YAPENAS KELAS V DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERAGA

BOLA BERMUATAN”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pengamataan peneliti, identifikasi masalah yang dapat

(22)

1. Masih kurangnya pemanfaatan media pembelajaran berupa alat

peraga yang digunakan oleh guru

2. Banyaknya siswa-siswi yang kurang berminat dan kurang aktif

dalam proses pembelajaran matematika di kelas.

C. Pembatasan Masalah

Penelitian yang akan dilaksanakan dibatasi pada:

1. Pembelajaran hanya pada materi operasi hitung bilangan bulat

terutama untuk penjumlahan dan pengurangan.

2. Kelompok sasaran yang akan dikenai tindakan adalah siswa-siswi

di SLB B kelas V.

3. Alat peraga yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah bola

bermuatan.

4. Hasil belajar yang digunakan dalam penelitian ini adalah sesuatu

yang diperoleh setelah siswa-siswi melakukan proses pembelajaran

yang dinyatakan dalam bentuk angka (skor).

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang

akan peneliti teliti adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah aktivitas belajar siswa-siswi SLB dalam

pembelajaran dengan menggunakan alat peraga pada materi operasi

(23)

2. Apakah pembelajaran dengan menggunakan alat peraga dapat

meningkatkan hasil belajar siswa-siswi di SLB?

E. Batasan Istilah

1. Aktivitas Belajar

Aktivitas belajar adalah kegiatan yang dilakukan siswa-siswi pada saat

proses pembelajaran berlangsung dibatasi dengan adanya peran serta

siswa dalam kegiatan pembelajaran yang berkaitan dengan keaktifan

siswa.

2. Hasil Belajar

Hasil belajar adalah sesuatu yang diperoleh atau di dapat sebagai

bentuk perubahan, dimana perubahan ini di dapat setelah seseorang

melakukan proses belajar yang dinyatakan dalam bentuk nilai (skor).

3. Alat Peraga

Suatu alat/benda yang sengaja dibuat untuk membantu menanamkan

konsep matematika kepada siswa-siswi sehingga siswa-siswi dapat

lebih mudah memahami materi yang diajarkan.

4. Bilangan Bulat

Bilangan bulat adalah bilangan-bilangan yang terdiri atas semua

bilangan asli, nol dan semua lawan bilangan asli. Bilangan asli dikenal

dengan bilangan bulat positif dan lawan bilangan asli dikenal dengan

bilangan bulat negatif. Himpunan bilangan bulat dapat dituliskan

(24)

5. Siswa SLB B Yapennas kelas V adalah siswa-siswi kelas V SLB

tunarungu di sekolah SLB Yapennas tahun ajaran 2012/2013.

Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam

pendengaran baik permanen maupun tidak permanen.

Dari berbagai batasan istilah di atas, maka peneliti dapat menarik

kesimpulan bahwa Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa dalam

Pembelajaran Operasi Hitung Bilangan Bulat di SLB B Yapenas Kelas

V dengan Menggunakan Alat Peraga Bola Bermuatan adalah segala

kegiatan yang dilakukan siswa-siswi kelas V SLB tunarungu selama

proses pembelajaran berkaitan dengan keaktifan siswa dan hasil yang

telah dicapai setelah siswa mengikuti pembelajaran matematika

mengenai operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan alat

peraga bola bermuatan.

F. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

1. Mengetahui aktivitas belajar siswa-siswi SLB B (tunarungu) dalam

pembelajaran operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan

alat peraga

3. Mengetahui apakah pembelajaran operasi hitung bilangan bulat

dengan menggunakan alat peraga dapat meningkatkan hasil belajar

(25)

G. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Bagi peneliti

a. Peneliti mendapat pengalaman dan menjadi lebih mengerti

bagaimana cara mengajarkan materi operasi hitung bilangan

bulat pada siswa-siswi di SLB

b. Peneliti dapat mengetahui aktivitas dan hasil belajar yang

dicapai siswa-siswi SLB dalam pembelajaran dengan

menggunakan alat peraga pada materi operasi hitung bilangan

bulat.

2. Bagi siswa

Siswa-siswi dapat tertarik untuk belajar matematika dengan

pemanfaatan alat peraga yang menarik dan tepat sasaran.

3. Bagi guru

Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai masukan dalam

menemukan metode yang tepat untuk membuat pembelajaran

matematika lebih menarik.

4. Bagi sekolah

Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk

melengkapi sarana dan prasarana belajar dalam menunjang

peningkatan kualitas hasil belajar siswa khususnya penggunaan

(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Aktivitas Belajar

Aktivitas sangat penting dalam proses pembelajaran, pembelajaran

di kelas tidak dapat berlangsung jika tidak ada aktivitas belajar

siswa-siswi. Aktivitas belajar adalah kegiatan dan kesibukan yang dilakukan

siswa dalam proses pembelajaran yang menghasilkan

perubahan-perubahan dalam pengetahuannya dan dapat menimbulkan perbuatan

belajar. Perbuatan belajar ini akan membawa perubahan pada diri

seseorang untuk memperoleh suatu kecakapan/pengetahuan baru.

Aktivitas belajar siswa adalah inti dari kegiatan belajar di sekolah. Dari

beberapa uraian di atas, jelas bahwa dalam kegiatan belajar, subjek

didik/siswa harus aktif berbuat. Dengan kata lain, bahwa dalam belajar

sangat diperlukan adanya aktivitas. Tanpa aktivitas, proses belajar tidak

mungkin berlangsung dengan baik (Sardiman A. M, 2008: 97).

Menurut Sardiman A. M, aktivitas belajar adalah aktivitas yang

bersifat fisik maupun mental. Dalam kegiatan belajar, kedua aktivitas itu

harus terkait. Sebagai contoh seseorang sedang belajar dengan membaca,

secara fisik terlihat bahwa dia sedang membaca menghadapi suatu buku

tetapi mungkin pikiran dan sikap mentalnya tidak tertuju pada buku yang

dibaca. Begitu pula sebaliknya jika yang aktif hanya mentalnya. Misalnya

(27)

diketahui oleh masyarakat tetapi jika tidak disertai dengan

perbuatan/aktivitas fisik seperti dituangkan pada tulisan atau disampaikan

kepada orang lain maka ide/pemikiran tersebut tidak berguna. Oleh karena

itu, harus ada keserasian antara aktivitas fisik dengan aktivitas mental agar

tercipta proses belajar yang optimal.

Prinsip-prinsip aktivitas belajar dari sudut pandangan ilmu jiwa

secara garis besar dibagi menjadi dua pandangan yakni Ilmu Jiwa Lama

dan Ilmu Jiwa Modern (Sardiman A.M, 2008: 97).

1. Menurut pandangan Ilmu Jiwa Lama

John Locke dengan konsepnya Tabularasa, mengibaratkan

jiwa seseorang bagaikan kertas putih yang tidak bertulis

kemudian kertas ini akan mendapatkan coretan atau tulisan

dari luar. Konsep semacam ini kemudian di transfer ke dalam

dunia pendidikan. Siswa diibaratkan kertas putih sedangkan

unsur dari luar yang menulisi adalah guru sehingga aktivitas

berpusat pada guru, siswa hanya pasif dan menerima begitu

saja. Selanjutnya Herbert memberikan rumusan bahwa jiwa

adalah keseluruhan tanggapan yang secara mekanis dikuasai

oleh hukum-hukum asosiasi, hubungannya dengan konsep

John Locke adalah bahwa guru pulalah yang aktif sedangkan

siswa pasif, secara mekanis hanya menuruti alur dari

hukum-hukum asosiasi tadi. Berdasarkan pendapat 2 ahli tersebut,

(28)

kelas, guru lebih mendominasi kegiatan yang berlangsung

sedangkan siswa-siswi pasif dan hanya menerima apa saja

yang guru berikan. Aktivitas siswa-siswi terutama terbatas

pada mendengarkan, mencatat, dan menjawab pertanyaan bila

guru memberikan pertanyaan. Aktivitas yang dilakukan

siswa-siswi didasarkan atas perintah guru, menurut cara yang

ditentukan guru sehingga proses belajar mengajar seperti ini

tidak mendorong siswa-siswi untuk berpikir dan beraktivitas.

2. Menurut pandangan ilmu Jiwa Modern

Aliran ilmu jiwa yang tergolong modern akan

menerjemahkan jiwa manusia sebagai sesuatu yang dinamis.

Oleh karena itu, secara alami siswa-siswi juga bisa menjadi

aktif, karena adanya motivasi dan didorong oleh

bermacam-macam kebutuhan, mereka dipandang sebagai manusia yang

yang mempunyai potensi untuk berkembang. Guru bertugas

menyediakan bahan pelajaran tetapi yang mengolah dan

mencerna adalah para siswa sesuai dengan bakat, kemampuan

dan latar belakang masing-masing siswa.

Menurut Paul B. Diedrich (Sardiman A. M, 2008: 101), aktivitas

belajar dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi antara lain:

1. Visual activities, yang termasuk di dalamnya misalnya,

membaca, memerhatikan gambar demonstrasi, percobaan,

(29)

2. Oral activities, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya,

memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan

wawancara, diskusi, interupsi.

3. Listening activities, sebagai contoh mendengarkan: uraian,

percakapan, diskusi, musik, pidato.

4. Writing activities, seperti misalnya menulis cerita, karangan,

laporan, angket, menyalin.

5. Drawing activities, misalnya: menggambar, membuat grafik,

peta, diagram.

6. Motor activities, yang termasuk di dalamnya antara lain:

melakukan percobaan, membuat konstruksi, model mereparasi,

bermain, berkebun, beternak.

7. Mental activities, sebagai contoh misalnya: menanggapi,

mengingat, memecahkan soal, menganalisis, melihat hubungan,

mengambil keputusan.

8. Emotional activities, seperti misalnya: menaruh minat, merasa

bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, gugup.

Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan

bahwa aktivitas belajar dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan

siswa-siswi pada saat proses pembelajaran berlangsung dibatasi dengan

adanya peran serta siswa dalam kegiatan pembelajaran yang berkaitan

(30)

B. Hasil Belajar

Hasil perilaku belajar ditunjukkan dengan adanya perubahan

perilaku dalam keseluruhan pribadi pelajar. Perilaku hasil belajar

mencakup aspek-aspek kognitif (penguasaan intelektual), afektif

(berhubungan dengan sikap dan nilai), dan psikomotorik (kemampuan

keterampilan bertindak/berperilaku). Para pengajar sangat diharapkan

mampu mengantisipasi aspek-aspek perubahan perilaku ini yang dimulai

dengan perencanaan kegiatan belajar berakhir. Akan tetapi perlu diingat

bahwa perilaku belajar sesungguhnya bersumber dari berbagai aspek

perilaku lainnya, baik yang bersifat internal maupun eksternal.

Aspek-aspek internal peserta didik yang perlu dipahami antara lain Aspek-aspek potensi,

prestasi, kebutuhan, minat, sikap, pengalaman, keadaan fisik, cita-cita,

dsb. Sedangkan aspek eksternal adalah antara lain latar belakang keluarga,

sosial budaya, ekonomi, lingkungan fisik, dan sebagainya (Mohammad

Surya, 2004: 50).

Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa

setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Horward Kingsley (Nana

Sudjana, 2010: 22) membagi tiga macam hasil belajar, yakni: (a)

keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan

cita-cita. Sedangkan Gagne (Nana Sudjana, 2010: 22) membagi lima

kategori hasil belajar, yakni: (a) informasi verbal, (b) keterampilan

(31)

Dari pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil

belajar yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sesuatu yang

diperoleh atau di dapat sebagai bentuk perubahan, dimana perubahan ini di

dapat setelah seseorang melakukan proses belajar yang dinyatakan dalam

bentuk nilai (skor).

C. Bilangan Bulat

Menurut B. Harahap dan ST. Negoro (1979: 7), bilangan bulat

adalah bilangan-bilangan yang terdiri atas semua bilangan asli, nol dan

semua lawan bilangan asli. Dengan demikian bilangan bulat meliputi:

a. Bilangan asli atau bilangan bulat positif

b. Bilangan nol dan

c. Lawan bilangan asli atau bilangan bulat negatif

Berdasarkan Ensiklopedia Matematika, bilangan bulat adalah

bilangan yang terdiri dari bilangan bulat positif {1, 2, 3, ... }, bilangan

bulat negatif {..., -3, -2, -1}, dan nol {0}. Jadi, himpunan bilangan bulat

dapat dituliskan seperti berikut :{... , -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, ...}.

Dengan diagram digambarkan sebagai berikut :

Bilangan bulat negatif Bilangan 0 Bilangan bulat positif

Melalui garis bilangan di atas, anak dapat melihat dan memahami

(32)

bilangan nol. Nol dapat dianggap sebagai batas antara bilangan bulat

positif dan bilangan bulat negatif. Pada umumnya, bilangan bulat negatif

berada di sebelah kiri bilangan nol dan bilangan bulat positif berada di

sebelah kanan bilangan nol. Semakin jauh ke kiri dari nol letak bilangan

bulat negatif, maka nilainya akan semakin kecil. Sedangkan semakin jauh

ke kanan dari nol letak bilangan bulat positif, maka nilainya akan semakin

besar.

D. Alat Peraga

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, alat peraga adalah alat

bantu untuk mendidik/mengajar supaya apa yang diajarkan mudah

dimengerti anak didik. Alat peraga merupakan alat bantu yang digunakan

untuk menyampaikan pengetahuan dan pelajaran, yang tentunya alat ini

mampu diserap oleh mata dan telinga agar proses belajar mengajar dapat

bekerja secara efektif dan lebih efisien, intinya dengan menggunakan alat

peraga dapat mempermudah penyampaian pesan yang akan disampaikan.

Alat peraga pendidikan merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan

untuk menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan,

perhatian, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya

proses belajar pada diri siswa.

Kelebihan penggunaan alat peraga menurut Ruseffendi (1990: 1),

(33)

1. Proses belajar mengajar termotivasi. Baik murid maupun guru,

dan terutama murid, minatnya akan timbul. Ia akan senang,

terangsang, tertarik, dan karena itu akan bersikap positif

terhadap pengajaran matematika.

2. Konsep abstrak matematika tersajikan dalam bentuk konkrit

dan karena itu lebih dapat dipahami dan dimengerti.

3. Hubungan antara konsep abstrak matematika dengan

benda-benda di alam sekitar akan lebih dapat dipahami.

4. Konsep-konsep abstrak yang tersajikan dalam bentuk konkrit

yaitu dalam bentuk model matematika yang dapat dipakai

sebagai obyek penelitian maupun sebagai alat untuk meneliti

ide-ide baru dan relasi baru, menjadi bertambah banyak.

Menurut Ruseffendi (1990: 3), beberapa hal supaya diperhatikan

dalam pembuatan alat peraga yang baik adalah, alat peraga itu:

1. Tahan lama (dibuat dari bahan-bahan yang cukup kuat).

2. Bentuk dan warnanya menarik.

3. Sederhana dan mudah dikelola (tidak rumit).

4. Ukurannya sesuai (seimbang) dengan ukuran fisik anak.

5. Dapat menyajikan (dalam bentuk real, gambar atau diagram)

konsep matematika.

6. Sesuai dengan konsep pembelajaran matematika.

(34)

8. Peragaan itu supaya merupakan dasar bagi tumbuhnya konsep

berpikir yang abstrak bagi siswa.

9. Menjadikan siswa belajar aktif dan mandiri dengan

memanipulasi alat peraga, yaitu dapat diraba, dipegang,

dipindahkan dan diutak-atik, atau dipasangkan dan dicopot, dan

lain-lain.

10.Bila mungkin dapat berfaedah lipat (banyak).

Proses pembelajaran memerlukan media yang penggunaannya

diintegrasikan dengan tujuan dan isi/materi pelajaran yang dimaksudkan

untuk mengoptimalkan pencapaian suatu tujuan pengajaran yang telah

ditetapkan. Fungsi media pendidikan atau alat peraga pendidikan

dimaksudkan agar komunikasi antara guru dan siswa dalam hal

penyampaian pesan, siswa lebih memahami dan mengerti tentang konsep

abstrak matematika. Siswa diajar lebih mudah memahami materi pelajaran

jika ditunjang dengan alat peraga pendidikan.

E. Bola Bermuatan

Alat peraga yang digunakan dalam penelitian ini adalah bola

bermuatan. Alat peraga ini terdiri dari bola-bola yang memiliki 2 warna

yang berbeda dan dapat membantu siswa-siswi dalam menanamkan

konsep matematika materi operasi hitung bilangan bulat khususnya untuk

operasi penjumlahan dan pengurangan. Bilangan bulat mencakup bilangan

(35)

akan belajar mengenai penjumlahan bilangan positif dengan bilangan

positif, penjumlahan bilangan positif dengan bilangan negatif dan

sebaliknya, penjumlahan bilangan negatif dengan bilangan negatif,

pengurangan bilangan positif dengan bilangan positif, pengurangan

bilangan positif dengan bilangan negatif dan sebaliknya, pengurangan

bilangan negatif dengan bilangan negatif.

Asumsikan bahwa bola-bola tersebut bermuatan positif dan negatif.

Kemudian dilakukan kesepakatan terlebih dahulu bahwa satu warna

mewakili nilai +1, satu warna yang lain mewakili nilai -1 dan sepasang

kedua bola tersebut (bernilai +1 dan -1) bernilai nol. Jumlah bola yang

akan digunakan dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Buat kesepakatan bahwa:

a. = +1

b. = -1

c. = 0

+

-

-

-

-

-

+

+

+

-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5

(36)

Penggunaan alat peraga:

a. Operasi Penjumlahan

1) Bilangan bulat positif dengan bilangan bulat positif

Contoh: 3 + 2 =

Langkah-langkah:

a) Ambil 3 buah bola bermuatan positif dan

masukkan ke dalam kotak

b) Karena penjumlahan maka terjadi proses

penambahan atau penggabungan sehingga ambil

lagi 2 buah bola bermuatan positif dan masukkan

ke dalam kotak

c) Hitung semua bola yang ada dalam kotak, sehingga

didapatkan 3 + 2 = 5.

2) Bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif

Contoh: 6 + (-2) =

Langkah-langkah:

+

+

+

+

+

(37)

a) Ambil 6 buah bola bermuatan positif dan

masukkan ke dalam kotak

b) Karena penjumlahan maka terjadi proses

penambahan atau penggabungan. Sehingga ambil

lagi 2 bola negatif dan masukkan kedalam kotak.

c) Sebelumnya telah disepakati bahwa sepasang bola

positif dan negatif bernilai 0. Maka keluarkan

semua pasangan bola yang bernilai 0, pada contoh

ini ada dua pasang bola bernilai nol sehingga

didapatkan 4 + 0 + 0 = 4. Hasil dari 6 + (-2) = 4.

3) Bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat negatif

Contoh: (-4) + (-1) =

Langkah-langkah:

a) Ambil 4 bola bermuatan negatif dan masukkan ke

(38)

b) Karena penjumlahan maka terjadi proses

penambahan atau penggabungan. Sehingga, ambil

satu lagi bola bermuatan negatif dan masukkan ke

dalam kotak.

c) Terdapat 5 bola bermuatan negatif di dalam kotak

sehingga hasilnya di dapat (-4) + (-1) = (-5)

b. Operasi Pengurangan

1) Bilangan bulat positif dengan bilangan bulat positif

Contoh: 4 – 6 =

Langkah-langkah:

a) Ambil 4 buah bola bermuatan positif dan

masukkan ke dalam kotak

-

-

-

-

-

-

-

-

-

+

+

(39)

b) Lakukan proses pengurangan dengan mengambil 6

buah bola bermuatan positif tetapi bola yang ada di

dalam kotak masih kurang sehingga kita mengingat

kembali sifat bilangan bulat yaitu suatu bilangan

bila ditambah nol hasilnya tidak berubah.

c) Kita ambil 2 pasang bola bermuatan positif dan

negatif ke dalam kotak sehingga di dalam kotak

telah ada 6 buah bola bermuatan positif sehingga

dapat dilakukan proses pengurangan.

d) Sekarang ambilah 6 buah bola bermuatan positif

dan didapatkan 2 buah bola bermuatan negatif

yang ada di dalam kotak. Sehingga 4 – 6 = -2

2) Bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif

Contoh: 2 – (-3) =

Langkah-langkah:

+

+

+

+

+

+

-

-

Tambahkan pasangan bola bernilai

0

(40)

a) Ambil 2 buah bola bermuatan positif dan

masukkan ke dalam kotak

b) Lakukan proses pengurangan dengan mengambil 3

buah bola bermuatan negatif tetapi ternyata di

dalam kotak hanya terdapat 2 buah bola bermuatan

positif sehingga kita mengingat kembali sifat

bilangan bulat yaitu suatu bilangan bila ditambah

nol hasilnya tidak berubah.

c) Kita ambil 3 pasang bola bermuatan positif dan

negatif ke dalam kotak sehingga di dalam kotak

telah ada 3 buah bola bermuatan negatif sehingga

dapat dilakukan proses pengurangan.

d) Sekarang ambilah 3 buah bola bermuatan negatif

dan didapatkan 5 buah bola bermuatan positif yang

ada di dalam kotak. Sehingga 2 – (-3) = 5

+

+

+

+

+

+

+

-

-

-

Tambahkan pasangan

(41)

3) Bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat negatif

Contoh: (-4) – (-3) =

Langkah-langkah:

a) Ambilah 4 buah bola bermuatan negatif dan

masukkan ke dalam kotak

b) Lakukan proses pengurangan dengan mengambil 3

buah bola bermuatan negatif. Dari 4 buah bola

bermuatan negatif diambil 3 buah bola bermuatan

negatif lalu dihitung bola yang masih ada di dalam

kotak adalah 1 bola bermuatan negatif. Sehingga

didapat (-4) – (-3) = -1.

Dari beberapa penjabaran mengenai alat peraga di atas, alat peraga

dalam penelitian ini diartikan sebagai suatu alat/benda yang sengaja dibuat

untuk membantu menanamkan konsep matematika kepada siswa-siswi

sehingga siswa-siswi dapat lebih mudah memahami materi yang

diajarkan.

-

-

-

-

-

+

+

+

(42)

F. Klasifikasi Sekolah Luar Biasa

1. Tunanetra (SLB A)

Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam

penglihatan. Klasifikasi anak tunanetra ditinjau dari ketajaman untuk

melihat bayangan benda dapat dikelompokkan sebagai berikut

(Mohammad Efendi, 2006: 31): (a) anak yang mengalami

ketunanetraan yang memungkinkan dikoreksi alat optik atau terapi

medis, (b) anak yang mengalami ketunanetraan yang memungkinkan

dikoreksi alat optik atau terapi medis, tetapi masih mengalami

kesulitan menggunakan fasilitas awas/lemah penglihatan, (c) anak

mengalami ketunanetraan yang tidak memungkinkan dikoreksi alat

optik atau terapi medis serta tidak dapat sama sekali memanfaatkan

penglihatan untuk kepentingan pendidikan.

2. Tunarungu (SLB B)

Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam

pendengaran. Klasifikasi anak tunarungu ditinjau dari kepentingan

tujuan pendidikannya dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut

(Mohammad Efendi, 2006: 59): (a) anak tunarungu yang kehilangan

pendengaran antara 20-30 dB (slight losses), (b) anak tunarungu yang

kehilangan pendengaran antara 30-40 dB (mild losses), (c) anak

tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 40-60 dB (moderate

losses), (d) anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 60-75

(43)

lebih dari 75 dB (profoundly losses). Sedangkan ditinjau dari lokasi

terjadinya ketunarunguan (Mohammad Efendi, 2006: 63), klasifikasi

anak tunarungu dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:

tunarungu konduktif, tunarungu perseptif, dan tunarungu campuran.

3. Tunagrahita (SLB C)

Tunagrahita adalah individu yang memiliki taraf kecerdasan yang

sangat rendah sehingga untuk meniti tugas perkembangannya ia sangat

membutuhkan layanan pendidikan dan bimbingan secara khusus.

Klasifikasi anak tunagrahita dapat dilihat pada angka tes kecerdasan,

seperti IQ 0-25 dikategorika idiot, IQ 25-50 dikategorikan imbecil, dan

IQ 50-75 dikategorikan debil/moron (Mohammad Efendi, 2006: 90).

Sedangkan klasifikasi anak tunagrahita didasarkan pada penilaian

program pendidikan dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut

(Mohammad Efendi, 2006: 90): (a) anak tunagrahita mampu didik

(debil) adalah anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti program

sekolah biasa, tetapi masih memilki kemampuan yang dapat

dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal.

Anak tunagrahita mampu didik berarti anak tunagrahita yang dapat

dididik secara minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial, dan

pekerjaan. (b) anak tunagrahita mampu latih (imbecil) adalah anak

tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya sehingga

tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukkan bagi

(44)

dapat dilatih untuk mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan

sehari-hari, serta melakukan fungsi sosial kemasyarakatan menurut

kemampuannya. (c) anak tunagrahita mampu rawat (idiot) adalah anak

tunagrahita yang memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak

mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi. Untuk mengurus

kebutuhan diri sendiri sangat membutuhkan orang lain. Dengan kata

lain (menurut Patton dalam Mohammad Efendi, 2006: 91), anak

tungrahita mampu rawat adalah anak tungrahita yang membutuhkan

perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu

terus hidup tanpa bantuan orang lain.

4. Tunadaksa (SLB D)

Tunadaksa adalah individu yang memiliki ketidakmampuan anggota

tubuh untuk melaksanakan fungsinya secara normal akibat luka,

penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna. Klasifikasi anak

tunadaksa (Mohammad Efendi, 2006: 115), dapat dikelompokkan

menjadi: (a) anak tunadaksa ortopedi adalah anak tunadaksa yang

mengalami kelainan, kecacatan, ketunaan tertentu pada bagian tulang,

otot tubuh, ataupun daerah persendian (Heward & Orlansky, 1998

dalam Mohammad Efendi, 2006: 115), baik yang dibawa sejak lahir

maupun yang diperoleh kemudian (karena penyakit atau kecelakaan)

sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh secara normal. (b)

anak tunadaksa saraf (Heward & Orlansky, 1991 dalam Mohammad

(45)

akibat gangguan pada susunan saraf di otak. Otak sebagai pengontrol

tubuh memiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali mekanisme

tubuh sehingga jika otak mengalami kelainan, sesuatu akan terjadi

pada organisme fisik, emosi dan mental.

5. Tunalaras (SLB E)

Tunalaras adalah individu yang memiliki tingkah laku yang

berkelainan, tidak memiliki sikap, suka melakukan pelanggaran

terhadap peraturan dan norma sosial dengan frekuensi yang cukup

besar, tidak/kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok dan orang

lain, mudah terpengaruh suasana, sehingga dapat membuat kesulitan

bagi diri sendiri maupun orang lain. Klasifikasi anak tunalaras ditinjau

dari sumber pemicu tumbuhnya perilaku menyimpang dapat dibedakan

menjadi (Mohammad Efendi, 2006:144): (a) penyimpangan tingkah

laku ekstrem sebagai bentuk kelainan emosi, anak yang dikategorikan

memiliki penyimpangan ini adalah anak yang mengalami kesulitan

menyesuaikan perilakunya dengan lingkungan sosial karena adanya

tekanan dari dalam, adanya hal-hal yang bersifat neurotic atau psikotic.

Indikasi anak berkelainan emosi dapat dipantau dari tekanan jiwa yang

ditunjukkan dalam bentuk kecemasan yang mendalam. (b)

penyimpangan tingkah laku sebagai bentuk kelainan penyesuaian

sosial, anak yang dikategorikan memiliki penyimpangan ini adalah

anak yang mempunyai tingkah laku tidak sesuai dengan adat kebiasaan

(46)

G. Tunarungu

1. Pengertian Anak Tunarungu

Yang dimaksud dengan tunarungu atau berkelainan pendengaran

adalah jika dalam proses mendengar terdapat satu atau lebih organ

telinga bagian luar, organ telinga bagian tengah, dan organ telinga

bagian dalam mengalami gangguan atau kerusakan disebabkan

penyakit, kecelakaan, atau sebab lain yang tidak diketahui sehingga

organ tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Anak

yang berada dalam keadaan kelainan pendengaran seperti itu disebut

anak berkelainan pendengaran atau anak tunarungu (Mohammad

Efendi, 2006: 57).

2. Klasifikasi Anak Tunarungu

Ketajaman pendengaran seseorang diukur dan dinyatakan dalam

satuan bunyi deci-Bell (disingkat dB). Penggunaan satuan tersebut

untuk membantu dalam interpretasi hasil tes pendengaran dan

mengelompokkan dalam jenjangnya. Berdasarkan kriteria

International Standard Organization (ISO) klasifikasi anak kehilangan

pendengaran atau tunarungu dapat dikelompokkan menjadi kelompok

tuli dan kelompok lemah pendengaran. Menurut ISO, seseorang

dikategorikan tuli (tunarungu berat) jika ia kehilangan kemampuan

mendengar 70 dB atau lebih sehingga ia mengalami kesulitan untuk

mengerti atau memahami pembicaraan orang lain walaupun

(47)

dengar. Sedangkan seseorang dikategorikan lemah pendengaran jika ia

kehilangan kemampuan mendengar antara 35-69 dB sehingga

mengalami kesulitan mendengar suara orang lain secara wajar, namun

tidak terhalang untuk mengerti atau mencoba memahami bicara orang

lain dengan menggunakan alat bantu dengar.

Ditinjau dari kepentingan tujuan pendidikannya (Mohammad

Efendi, 2006: 59), secara terinci anak tunarungu dapat dikelompokkan

menjadi sebagai berikut:

a. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 20 – 30 dB

Ciri-ciri anak tunarungu kehilangan pendengaran pada rentangan

tersebut antara lain: (a) kemampuan mendengar masih baik karena

berada di garis batas antara pendengaran normal dan kekurangan

pendengaran taraf ringan, (b) tidak mengalami kesulitan memahami

pembicaraan dan dapat mengikuti sekolah biasa dengan syarat

tempat duduknya perlu diperhatikan, terutama harus dekat guru, (c)

dapat belajar bicara secara efektif dengan melalui kemampuan

pendengarannya, (d) perlu diperhatikan kekayaan perbendaharaan

bahasanya supaya perkembangan bicara dan bahasanya tidak

terhambat, dan (e) disarankan yang bersangkutan menggunakan

alat bantu dengar untuk meningkatkan ketajaman daya

pendengarannya. Untuk kepentingan pendidikannya pada anak

tunarungu kelompok ini cukup hanya memerlukan latihan

(48)

b. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 30-40 dB

Ciri-ciri anak kehilangan pendengaran pada rentangan tersebut

antara lain: (a) dapat mengerti percakapan biasa pada jarak sangat

dekat, (b) tidak mengalami kesulitan untuk mengekspresikan isi

hatinya, (c) tidak dapat menangkap suatu percakapan yang lemah,

(d) kesulitan menangkap isi pembicaraan dari lawan bicaranya jika

berada pada posisi tidak searah dengan pandangannya

(berhadapan), (e) untuk menghindari kesulitan bicara perlu

mendapatkan bimbingan yang baik dan intensif, (f) ada

kemungkinan dapat mengikuti sekolah biasa, namun untuk

kelas-kelas permulaan sebaiknya dimasukkan dalam kelas-kelas khusus, dan

(g) disarankan menggunakan alat bantu dengar untuk menambah

ketajaman daya pendengarannya. Kebutuhan layanan pendidikan

untuk anak tunarungu kelompok ini yaitu membaca bibir, latihan

pendengaran, latihan bicara, artikulasi, serta latihan kosakata.

c. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 40-60 dB

Ciri-ciri anak kehilangan pendengaran pada rentangan tersebut

antara lain: (a) dapat mengerti percakapan keras pada jarak dekat,

kira-kira satu meter sebab ia kesulitan menangkap percakapan pada

jarak normal, (b) sering terjadi mis-understanding terhadap lawan

bicaranya jika ia diajak bicara, (c) penyandang tunarungu

kelompok ini mengalami kelainan bicara terutama pada huruf

(49)

diucapkan menjadi “T” dan “D”, (d) kesulitan menggunakan

bahasa dengan benar dalam percakapan, (e) perbendaharaan

kosakatanya sangat terbatas. Kebutuhan layanan pendidikan untuk

anak tunarungu kelompok ini meliputi latihan artikulasi, latihan

membaca bibir, latihan kosakata, serta perlu menggunakan alat

bantu dengar untuk membantu ketajaman pendengarannya.

d. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 60-75 dB

Ciri-ciri anak kehilangan pendengaran pada rentangan tersebut

adalah (a) kesulitan membedakan suara, dan (b) tidak memiliki

kesadaran bahwa benda-benda yang ada di sekitarnya memiliki

getaran suara. Kebutuhan layanan pendidikannya, perlu layanan

khusus dalam belajar bicara maupun bahasa, menggunakan alat

bantu dengar sebab anak yang tergolong kategori ini tidak mampu

berbicara spontan. Kebutuhan pendidikan anak tunarungu

kelompok ini perlu latihan pendengaran intensif, membaca bibir,

dan latihan pembentukan kosakata.

e. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran 75 dB ke atas

Ciri-ciri anak yang kehilangan pendengaran pada kelompok ini, ia

hanya dapat mendengar suara keras sekali pada jarak kira-kira 1

inchi (± 2, 54 cm) atau sama sekali tidak mendengar. Biasanya ia

tidak menyadari bunyi keras, mungkin juga ada reaksi jika dekat

telinga. Kebutuhan layanan pendidikan untuk anak tunarungu

(50)

untuk kesadaran bunyi, latihan membentuk dan membaca ujaran

dengan menggunakan metode-metode pengajaran yang khusus,

seperti tactile kinestetic, visualisasi yang dibantu dengan segenap

kemampuan indranya yang tersisa.

Klasifikasi anak tunarungu ditinjau dari lokasi terjadinya

ketunarunguan (Mohammad Efendi, 2006: 63), dapat dikelompokkan

menjadi sebagai berikut:

a. Tunarungu Konduktif

Ketunarunguan tipe konduktif ini terjadi karena beberapa organ

yang berfungsi sebagai penghantar suara di telinga bagian luar,

seperti liang telinga, selaput gendang, serta ketiga tulang

pendengaran (malleus, incus, dan stapes) yang terdapat di telinga

bagian dalam dan dinding-dinding labirin mengalami gangguan.

Ada beberapa kondisi yang menghalangi masuknya getaran suara

atau bunyi ke organ yang berfungsi sebagai penghantar, yaitu

tersumbatnya liang telinga oleh kotoran telinga (cerumen) atau

kemasukan benda-benda asing lainnya; mengeras, pecah, berlubang

pada selaput gendang telinga dan ketiga tulang pendengaran

sehingga efeknya dapat menyebabkan hilangnya daya hantaran

organ tersebut.

b. Tunarungu Perseptif

Ketunarunguan tipe perseptif disebabkan terganggunya

(51)

Ketunarunguan perseptif ini terjadi jika getaran suara yang diterima

oleh telinga bagian dalam (terdiri dari rumah siput, serabut saraf

pendengaran) yang bekerja mengubah rangsang mekanis menjadi

rangsang elektris tidak dapat diteruskan ke pusat pendengaran otak.

c. Tunarungu Campuran

Ketunarunguan tipe campuran ini sebenarnya untuk menjelaskan

bahwa pada telinga yang sama rangkaian organ-organ telinga yang

berfungsi sebagai penghantar dan menerima rangsangan suara

mengalami gangguan, sehingga yang tampak pada telinga tersebut

telah terjadi campuran antara ketunarunguan konduktif dan

ketunarunguan perseptif.

Kondisi ketunarunguan yang dialami anak, dapat dihubungkan

dengan kurun waktu terjadinya, yaitu sebelum anak lahir (prenatal), saat

anak lahir (neonatal), atau sesudah anak lahir (posnatal).

Ketunarunguan yang terjadi sebelum anak lahir maupun saat anak lahir

disebut tunarungu bawaan, sedangkan ketunarunguan yang terjadi

ketika anak mulai meniti tugas perkembangannya disebut tunarungu

perolehan.

3. Dampak Ketunarunguan

Anak tunarungu akan menanggung konsekuensi sangat kompleks

berkaitan dengan masalah kejiwaannya. Pada diri mereka seringkali

(52)

lingkungannya dan mereka juga harus berjuang dalam meniti tugas

perkembangannya.

Ada dua bagian penting dari dampak ketunarunguan berdasarkan

uraian di atas yaitu: Pertama, konsekuensi akibat gangguan

pendengaran tersebut bahwa penderitanya akan mengalami kesulitan

dalam menerima segala macam rangsang atau peristiwa bunyi yang

ada di sekitarnya. Kedua, akibat kesulitan menerima rangsang bunyi

tersebut konsekuensinya penderita tunarungu akan mengalami

kesulitan pula dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang

terdapat di sekitarnya.

4. Karakteristik Kecerdasan Anak Tunarungu

Kecerdasan yang dimiliki anak tunarungu sebenarnya tidak

berbeda dengan anak normal umumnya karena anak tunarungu ada

yang memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata (superior), rata-rata

(average), maupun di bawah rata-rata (subnormal). Namun, untuk

mengetahui kondisi kecerdasan anak tunarungu memerlukan cara yang

agak berbeda dibandingkan dengan anak normal umumnya.

Cruickshank (Mohammad Efendi, 2006: 79) mengemukakan

bahwa anak tunarungu seringkali memperlihatkan keterlambatan

dalam belajar. Hal ini dapat disebabkan karena derajat gangguan

pendengaran yang dialami oleh anak dan juga potensi kecerdasan yang

(53)

Jensema (Mohammad Efendi, 2006: 80) mencatat bahwa

kemampuan membaca anak tunarungu usia 14 tahun setingkat dengan

anak kelas III. Demikian juga dalam kemampuan berhitung, anak

tunarungu usia 10 tahun setingkat dengan anak normal kelas III.

Trybus dan Kurchmer (Mohammad Efendi, 2006: 80) melaporkan

bahwa hasil penelitiannya tentang kemajuan membaca dan berhitung

pada 1.543 anak tunarungu usia 3 tahun. Ia menemukan bahwa

pemahaman membaca anak tunarungu usia 9 tahun setingkat anak

kelas II, dan pada usia 20 tahun setingkat dengan anak normal kelas V.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan secara berkelanjutan,

Van Uden (Mohammad Efendi, 2006: 84) berhasil mencatat beberapa

sifat kepribadian anak tunarungu yang berbeda dengan anak normal,

antara lain:

a. Anak tunarungu lebih egosentris.

b. Anak tunarungu lebih tergantung pada orang lain dan yang sudah

dikenal.

c. Perhatian anak tunarungu lebih sukar dialihkan.

d. Anak tunarungu lebih memerhatikan yang konkret.

e. Anak tunarungu kurang dalam berfantasi.

f. Anak tunarungu umumnya mempunyai sifat polos, sederhana,

tanpa banyak masalah.

g. Perasaan anak tunarungu cenderung dalam keadaan ekstrem tanpa

(54)

h. Anak tunarungu lebih mudah marah dan lekas tersinggung.

i. Anak tunarungu kurang mempunyai konsep tentang hubungan.

j. Anak tunarungu mempunyai perasaan takut akan hidup yang lebih

besar.

5. Metode Komunikasi Anak Tunarungu

Terdapat berbagai cara komunikasi untuk anak-anak yang memiliki

masalah pendengaran (Jamila K.A Muhammad, 2008: 70), yaitu

sebagai berikut:

a. Metode auditory oral

- Menekankan pada proses mendengar serta bertutur kata dengan

penggunaan alat bantu pendengaran, penglihatan, dan sentuhan

- Menekankan pada metode pembacaan gerak bibir (lip reading)

- Menggunakan bantuan bunyi sebagai latihan pendengaran agar

anak-anak berlatih untuk mendengar bunyi dan dapat

mengklasifikasikan bunyi-bunyi yang berbeda.

b. Metode membaca bibir

- Metode ini baik untuk anak-anak yang mampu berkonsentrasi

tinggi dan mempunyai penglihatan yang baik.

c. Metode bahasa isyarat

- Bahasa isyarat digunakan dengan menggabungkan perkataan

(55)

d. Metode komunikasi universal

- Metode yang menggabungkan gerakan jari, isyarat, pembacaan

gerak bibir, penuturan, dan bahasa isyarat manual-visual

- Elemen penting dalam metode ini adalah penggunaan isyarat

dan penuturan secara bersamaan.

e. Penuturan isyarat (cued speech)

- Menggunakan simbol-simbol tangan untuk membantu

bunyi-bunyian. Simbol-simbol tangan yang dilambangkan ditentukan

dengan bentuk-bentuk tangan yang menentukan maksud

perkataan.

Pada penelitian ini, siswa-siswi tunarungu di SLB Yapenas

berkomunikasi menggunakan metode membaca bibir dan bahasa

isyarat. Ada dua hal penting yang menjadi ciri khas hambatan anak

tunarungu dalam aspek kebahasaannya, yaitu: pertama, konsekuensi

akibat kelainan pendengaran (tunarungu) berdampak pada kesulitan

dalam menerima segala macam rangsang bunyi atau peristiwa bunyi

yang ada di sekitarnya. Kedua, akibat keterbatasannya dalam menerima

rangsang bunyi, penderita akan mengalami kesulitan dalam

memproduksi suara atau bunyi bahasa yang ada di sekitarnya. Adanya

dua kondisi ini pada anak tunarungu secara langsung dapat berpengaruh

terhadap kelancaran perkembangan bahasa dan bicaranya (Mohammad

(56)

yang mengalami tunarungu seringkali diikuti pula dengan tunawicara

(kesulitan dalam hal berbicara).

Di SLB Yapennas ini, siswa-siswi tunarungu sudah pada

klasifikasi tuli, mereka juga kesulitan dalam hal berbicara (tunawicara),

mereka berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat dan membaca

bibir. Alasan menggunakan alat peraga bola bermuatan dalam

penelitian ini adalah karena siswa-siswi tunarungu terbatas dalam hal

mendengar dan berbicara tetapi penglihatan dan indera yang lain dapat

berfungsi dengan baik. Sehingga, pemilihan alat peraga bola bermuatan

ini sesuai dengan kondisi siswa-siswi tunarungu karena alat peraga ini

dapat dilihat dan juga menggunakan bola-bola dengan dua warna yang

berbeda yang diharapkan dapat menarik perhatian dan minat

siswa-siswi tunarungu. Selain itu, alat peraga ini mudah digunakan.

Penggunaannya hanya hanya dengan menjumlahkan (menggabungkan)

dan mengurangkan (memisahkan/mengambil) bola-bola tersebut.

H. Prinsip Pendidikan Anak Berkelainan

Mendidik anak berkelainan tidak sama dengan mendidik anak normal

karena memerlukan suatu pendekatan dan strategi yang khusus.

Pengembangan prinsip-prinsip pendekatan secara khusus, yang dapat

dijdikan dasar dalam upaya mendidik anak berkelainan (Mohammad

(57)

1. Prinsip kasih sayang

Pada dasarnya prinsip kasih sayang adalah menerima mereka

sebagaimana adanya, dan mengupayakan agar mereka dapat menjalani

hidup seperti anak normal lainnya. Oleh karena itu, upaya yang perlu

dilakukan untuk mereka adalah tidak bersikap memanjakan, tidak

bersikap acuh tak acuh terhadap kebutuhannya, dan memberikan tugas

yang sesuai dengan kemampuan anak.

2. Prinsip Layanan Pendidikan

Prinsip ini sangat penting karena setiap anak berkelainan dalam

jenis dan derajat yang sama seringkali memiliki keunikan masalah

yang berbeda antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, upaya

yang perlu dilakukan untuk mereka selama pendidikannya adalah:

jumlah siswa yang dilayani guru tidak lebih dari 4-6 anak dalam setiap

kelasnya, pengaturan kurikulum dan jadwal pelajaran dapat bersifat

fleksibel, penataan kelas harus dirancang sedemikian rupa sehingga

guru dapat menjangkau semua siswanya dengan mudah, dan

modifikasi alat bantu pengajaran.

3. Prinsip Kesiapan

Untuk menerima suatu pelajaran tertentu diperlukan kesiapan.

Khususnya kesiapan anak untuk mendapatkan pelajaran yang akan

diajarkan. Anak berkelainan secara umum mempunyai kecenderungan

cepat bosan dan cepat lelah apabila menerima pelajaran. Oleh karena

(58)

mereka diberikan kegiatan yang menyenangkan dan rileks, setelah

segar kembali guru baru dapat melanjutkan memberikan pelajaran.

4. Prinsip Keperagaan

Kelancaran pembelajaran pada anak berkelainan sangat didukung

oleh penggunaan alat peraga sebagai medianya. Fungsi dari

penggunaan alat peraga adalah dapat mempermudah guru dalam

mengajar dan juga dapat mempermudah pemahaman siswa terhadap

materi yang disajikan guru.

5. Prinsip Motivasi

Prinsip ini lebih menitikberatkan pada cara mengajar dan

pemberian evaluasi yang disesuaikan dengan kondisi anak berkelainan.

Contoh, bagi anak tunanetra, mempelajari orientasi dan mobilitas yang

ditekankan pada pengenalan suara binatang akan lebih menarik dan

mengesankan jika mereka diajak ke kebun binatang. Bagi anak

tunagrahita, untuk menerangkan makanan empat sehat lima sempurna,

barangkali akan lebih menarik jika diperagakan bahan aslinya

kemudian diberikan kepada anak untuk dimakan, daripada hanya

berupa gambar-gambar saja.

6. Prinsip Belajar dan Bekerja Kelompok

Arah penekanan prinsip ini adalah agar mereka sebagai anggota

masyarakat dapat bergaul dengan masyarakat lingkungannya, tanpa

(59)

kegiatan ini diharapkan mereka dapat memahami bagaimana cara

bergaul dengan orang lain secara wajar.

7. Prinsip Keterampilan

Pendidikan keterampilan yang diberikan kepada anak berkelainan

dapat berfungsi: (a) selektif yang berarti untuk mengarahkan minat,

bakat, keterampilan dan perasaan anak berkelainan secara tepat guna.

(b) edukatif yang berarti membimbing anak berkelainan untuk berpikir

logis, berperasaan halus, dan kemampuan untuk bekerja. (c) rekreatif

yang berarti unsur kegiatan yang diperagakan sangat menyenangkan

bagi anak berkelainan. (d) terapi yang berarti aktivitas keterampilan

yang diberikan dapat menjadi salah satu sarana habilitasi

(penyembuhan) akibat kelainan atau ketunaan yang disandangnya. Dan

(e) dapat dijadikan sebagai bekal dalam kehidupannya kelak.

8. Prinsip Penanaman dan Penyempurnaan Sikap

Secara fisik dan psikis sikap anak berkelainan memang kurang

baik sehingga perlu diupayakan agar mereka mempunyai sikap yang

baik serta tidak selalu menjadi perhatian orang lain. Misalnya anak

tunarungu memiliki kecenderungan rasa curiga pada orang lain akibat

ketidakmampuannya menangkap percakapan orang lain.

I. Kerangka Berpikir

Ketepatan pemilihan dan penggunaan alat peraga dalam

(60)

pembelajaran matematika. Untuk itu penggunaan alat peraga dalam

pembelajaran akan membantu siswa dalam mencapai tujuan yang telah

direncanakan dan membantu guru untuk menyampaikan materi pelajaran.

Proses pembelajaran yang direncanakan adalah pembelajaran

dengan menggunakan alat peraga bola bermuatan. Alat peraga bola

bermuatan ini diberikan untuk anak-anak tunarungu di SLB B Yapenas

kelas V. Alat peraga ini bertujuan agar anak-anak tunarungu dapat

memanfaatkan indra yang lain karena satu indra tidak dapat digunakan.

Anak-anak tunarungu adalah anak-anak yang berkekurangan dalam hal

indra pendengaran tetapi indra yang lain seperti indra penglihatan, indra

penciuman, indra perasa, dan indra peraba masih dapat digunakan. Oleh

karena itu, pemilihan alat peraga bola bermuatan ini dimaksu

Gambar

Tabel 4.1 Hasil Belajar Siswa Soal Pre Test Bagian A .........................  93
tabel ditulis P.1, P.2 dan P.3.
Tabel 4.1 Hasil Belajar Siswa Soal Pre Test Bagian A
Tabel 4.5 Hasil Belajar Siswa Soal Post Test Bagian B
+4

Referensi

Dokumen terkait

Apa yang akan terjadi pada arus listrik dalam sebuah bola-lampu senter apabila kamu mengganti lampu itu dengan lampu yang me- miliki hambatan lebih ren- dah?. Apa yang akan

Peserta yang memenuhi persyaratan dan sesuai dengan surat pernyataan yang telah.. ditandatangani di atas materai, mengikuti seluruh tahapan

Siswa diajak mengingat satu kegiatan yang dilakukan di hari sebelumnya (apabila kegiatan menulis dilakukan pada hari Senin, maka siswa harus mengingat kegiatan pada hari

Dari penjajakan awal penulis dan pembicaraan dengan kepala sekolah SMP Negeri 1 Banjarbaru, guru-guru khususnya guru Pendidikan Agama Islam di SMP Negeri 1 Banjarbaru

Merujuk pada panduan Pos PAUD, “ Pos PAUD merupakan aktivitas yang dilaksanakan masyarakat dilingkungan RW yang diselenggarakan oleh PKK RW dan dibina oleh PKK Desa serta

[r]

pengaruh dalam pengungkapan secara sukarela yang dilakukan oleh perusahaan. Peneliti bertitik tolak dari pemikiran bahwa sejauh mana

9.4.3 Mengenal pasti alat pengubah tenaga yang lain dengan menyatakan perubahan bentuk tenaga yang berlaku menggunakan persembahan multimedia melalui aktiviti dalam