ABSTRAK
Veronika Niken Widowati. 2015. Studi Kasus Tentang Proses Penjurusan Beberapa SMA Di Yogyakarta. Skripsi. Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Telah dilakukan penelitian studi kasus mengenai proses seleksi penjurusan beberapa SMA di Yogyakarta. Penjurusan di SMA mengacu pada tiga pedoman yang berasal dari dinas pendidikan, yaitu nilai akademis, minat dan psikotes (tes psikologi). Penempatan siswa pada jurusan di SMA dimulai dengan penelusuran identifikasi minat, melihat nilai akademis siswa dan diakhiri dengan psikotes. Pengambilan data dalam penelitian dilakukan dengan mewawancarai guru-guru yang berperan dalam penjurusan, yaitu guru IPA (fisika) kelas X, guru BK, dan Wakasek Kurikulum. Dalam penjurusan, selain ketiga pedoman tersebut sekolah maupun guru mempunyai pedoman lain yang digunakan sebagai acuan dalam menjuruskan siswa untuk masuk jurusan IPA maupun jurusan IPS.
Penjurusan di SMA terlihat sederhana, namun pada relita sering terdapat banyak kendala. Kendala-kendala tersebut bisa berasal dari siswa maupun berasal dari orang tua siswa. Kendala dalam penjurusan ini bisa diselesaikan oleh guru BK maupun guru mata pelajaran yang bersangkutan. Sebagai calon terutama guru fisika, sudah sewajarnya jika kita mengetahui hal-hal apa saja yang dipertimbangkan dalam penjurusan. Dari hasil penelitian, terlihat bahwa hal utama yang dijadikan acuan dalam penjurusan adalah dengan melihat ketuntasan nilai akademis. Karena ketuntasan nilai akademis ini yang menjadi keputusan jurusan yang akan dijalani siswa.
ABSTRACT
Veronika Niken Widowati. 2015. A Case Study on Process of Class Majoring from Some High Schools in Yogyakarta. Thesis. Physics Education Study Program, Departement Matematics and Science Education, Faculty of Techers Training and education, Sanata Dharma University, Yogyakarta.
A case study has been conducted on the process of selection in
determining student’s major class in several High Schools in Jogjakarta. The student placement in major classes for High School is referred to the three guidelines that are derived from education authorities. Those are academic values, interests and psycho-test (psychological tests). It begins with the identification of interests, referring to students score or academic value and ends with a psychological test. In this research the data are collected by interviewing the teachers who play the role in major classes. Those are the Science teacher (physics) for grade X, Counseling teachers and the teachers who work on curriculum. Beside those three guidelines, schools and teachers
have other guidelines that are used as a reference to determine students’ major
class, both in Science and Social.
The student placement in major class looks simple but in fact there are many obstacles that appeared in the process. These problems faced might come from students and their parents. Therefore counseling teachers and the major class teachers must hold the role to find the solution. As the future physics teacher, we should know what to be considered in placing students in their
major class. The result from this research shows that students’ academic score
should be the primarily considered. Since the mastery of their academic value will be undertaken their majors.
i
STUDI KASUS TENTANG PROSES PENJURUSAN BEBERAPA SMA DI YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Fisika
Disusun Oleh :
VERONIKA NIKEN WIDOWATI NIM : 111424023
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
“Mundur beberapa langkah untuk melesat lebih jauh”
Kupersembahkan karyaku ini untuk:
Ibundaku tercinta dan Papah Budi tersayang
kak Adimas yang selalu ada untukku
Keluarga Besar Prodi Pendidikan Fisika
“Akhirnya, saudara
-saudaraku, bersukacitalah
dalam Tuhan”
vii ABSTRAK
Veronika Niken Widowati. 2015. Studi Kasus Tentang Proses Penjurusan Beberapa SMA Di Yogyakarta. Skripsi. Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Telah dilakukan penelitian studi kasus mengenai proses seleksi penjurusan beberapa SMA di Yogyakarta. Penjurusan di SMA mengacu pada tiga pedoman yang berasal dari dinas pendidikan, yaitu nilai akademis, minat dan psikotes (tes psikologi). Penempatan siswa pada jurusan di SMA dimulai dengan penelusuran identifikasi minat, melihat nilai akademis siswa dan diakhiri dengan psikotes. Pengambilan data dalam penelitian dilakukan dengan mewawancarai guru-guru yang berperan dalam penjurusan, yaitu guru IPA (fisika) kelas X, guru BK, dan Wakasek Kurikulum. Dalam penjurusan, selain ketiga pedoman tersebut sekolah maupun guru mempunyai pedoman lain yang digunakan sebagai acuan dalam menjuruskan siswa untuk masuk jurusan IPA maupun jurusan IPS.
Penjurusan di SMA terlihat sederhana, namun pada relita sering terdapat banyak kendala. Kendala-kendala tersebut bisa berasal dari siswa maupun berasal dari orang tua siswa. Kendala dalam penjurusan ini bisa diselesaikan oleh guru BK maupun guru mata pelajaran yang bersangkutan. Sebagai calon terutama guru fisika, sudah sewajarnya jika kita mengetahui hal-hal apa saja yang dipertimbangkan dalam penjurusan. Dari hasil penelitian, terlihat bahwa hal utama yang dijadikan acuan dalam penjurusan adalah dengan melihat ketuntasan nilai akademis. Karena ketuntasan nilai akademis ini yang menjadi keputusan jurusan yang akan dijalani siswa.
viii ABSTRACT
Veronika Niken Widowati. 2015. A Case Study on Process of Class Majoring from Some High Schools in Yogyakarta. Thesis. Physics Education Study Program, Departement Matematics and Science Education, Faculty of Techers Training and education, Sanata Dharma University, Yogyakarta.
A case study has been conducted on the process of selection in
determining student‟s major class in several High Schools in Jogjakarta. The student placement in major classes for High School is referred to the three guidelines that are derived from education authorities. Those are academic values, interests and psycho-test (psychological tests). It begins with the identification of interests, referring to students score or academic value and ends with a psychological test. In this research the data are collected by interviewing the teachers who play the role in major classes. Those are the Science teacher (physics) for grade X, Counseling teachers and the teachers who work on curriculum. Beside those three guidelines, schools and teachers
have other guidelines that are used as a reference to determine students‟ major
class, both in Science and Social.
The student placement in major class looks simple but in fact there are many obstacles that appeared in the process. These problems faced might come from students and their parents. Therefore counseling teachers and the major class teachers must hold the role to find the solution. As the future physics teacher, we should know what to be considered in placing students in their
major class. The result from this research shows that students‟ academic score
should be the primarily considered. Since the mastery of their academic value will be undertaken their majors.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terima kasih kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini. Skripsi ini ditulis dengan tujuan untuk memenuhi salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana pada program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Sanata Dharma.
Dalam penulisan skripsi ini. Tentunya penulis banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak. Baik bantuan berupa tenaga maupun dukungan yang selalu
ada. Selain bantuan tersebut, penulis juga mendapat bantuan berupa bimbingan
dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih yang tak terhingga kepada :
1. Bapak Rohandi,Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah membantu
serta membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
2. Kepala sekolah SMAN 6 Yogyakarta, SMAN 9 Yogyakarta, SMA PIRI 1
dan SMA Immanuel Kalasan yang telah menginjinkan penulis untuk
mengambil data di sekolah.
3. Kepada Bapak dan Ibu guru di SMAN 6 Yogyakarta, SMAN 9
Yogyakarta, SMA PIRI 1, dan SMA Immanuel Kalasan yang telah
bersedia menjadi narasumber dalam pengambilan data.
4. Mamah dan Papah tercinta yang selalu mendukung dalam penyelesaian
x
5. Dion, Eri dan Pery teman seperjuangan dalam skripsi yang telah
membantu menyumbangkan ide dan pemikirannya.
6. Temanku tersayang Felbi, Tammy, Lisa, Vensy, dan Erlin yang selalu
menyemangatiku dan membantu dalam berbagai kesempatan.
7. Kak Adimas yang selalu menemani dalam penyelesaian skripsi, tempat
emosiku, dan selalu mendengarkan keluh kesahku.
8. Keluarga besar prodi pendidikan fisika angkatan 2011.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya,
oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat
membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya.
Penulis
xi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi
xii
a. Faktor-faktor dalam diri individu ... 7
b. Faktor-faktor lingkungan ... 8
4. Pembelajaran di IPA ... 8
a. Minat siswa IPA ... 8
b. Karakteristik siswa IPA ... 9
C. Penjurusan di SMA ... 12
1. Pengertian Penjurusan ... 12
2 .Tujuan Penjurusan ... 13
3. Persyaratan dalam Penjurusan ... 13
D. Bimbingan Karir ... 14
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 17
C. Subyek Penelitian ... 18
A. Pelaksanaan penelitian ... 23
B. Analisa Data ... 24
1.Latar Belakang Sekolah ... 24
a. SMAN 6 Yogyakarta ... 24
b. SMAN 9 Yogyakarta... 25
c. SMA PIRI1 1 Yogyakarta ... 26
d. SMA IMMANUEL Yogyakarta ... 26
2. Kebijakan Jurusan di Sekolah ... 27
3. Faktor –Faktor yan Dipertimbangkan dalam Penjurusan ... 28
a. Nilai Akademis ... 29
xiii
c. Psikotes ... 32
4. Peran Guru Fisika dalam Penjurusan ... 39
5. Peran Bimbingan Karir ... 41
6. Penyelesaian Masalah dalam Penjurusan ... 43
a. masalah dari lingkungan sekolah ... 43
b. masalah dari luar lingkungan sekolah ... 45
C. Implikasi ... 47
BAB V ... 49
KESIMPULAN DAN SARAN ... 49
A. Kesimpulan ... 49
B. Saran ... 50
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Nilai akademis minimal tiap sekolah ... 30
Tabel 2. : Cara mengetahui minat siswa dari setiap sekolah... 31
Tabel 3. : Penjurusan IPA di SMA ... 34
xv
DAFTAR BAGAN
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
SURAT IJIN PENELITIAN ... 53
A. SMAN 6 dan SMAN 9 Yogyakarta ... 53
B. SMA PIRI1 1 Yogyakarta ... 55
C.SMA IMMANUEL Yogyakarta ... 56
SURAT SELESAI PENELITIAN ... 57
A. SMAN 6 Yogyakarta ... 57
B. SMAN 9 Yogyakarta ... 58
C. SMA PIRI 1 Yogyakarta ... 59
D. SMA IMMANUEL Yogyakarta... 60
Contoh Pedoman penjurusan sekolah dari SMAIMMANUEL ... 61
Pedoman wawancara A. Pedoman wawancara dengan guru BK... 63
B. Pedoman wawancara dengan guru mata pelajaran IPA (fisika) ... 63
C. Pedoman wawancara dengan Wakasek Kurikulum ... 63
Contoh hasil wawancara ... 64
A. Wawancara dengan Pak Bambang Widodo ... 64
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi pengembangan
kualitas sumber daya manusia (SDM). Tujuan pengembangan kualitas ini untuk
meningkatkan taraf kehidupan. Salah satu upaya untuk mengembangkan kualitas
sumber daya manusia adalah melalui pendidikan. Pendidikan dibedakan menjadi
dua, yaitu pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal
adalah pendidikan yang terikat dengan sebuah instansi, contohnya pendidikan di
lingkungan sekolah. Pendidikan nonformal adalah pendidikan yang tidak terikat
dengan instansi, contohnya pendidikan di lingkungan keluarga.
Pendidikan formal di Indonesia dimulai dari taman bermain hingga
perguruan tinggi. Pendidikan formal yang wajib diikuti warga Indonesia adalah
selama 9 (sembilan) tahun. Wajib belajar ini terhitung sejak sekolah dasar (SD)
hingga sekolah menengah pertama (SMP). Seiring berkembangnya jaman, warga
Indonesia menempuh pendidikan formal melebihi wajib belajar sembilan tahun.
Saat siswa telah menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah pertama
(SMP), selanjutnya akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu sekolah
menengah atas (SMA) atau sekolah menengah kejuruan (SMK). Pada jenjang
pendidikan ini siswa mulai lebih diarahkan untuk memilih dunia kerja. Jika siswa
memilih SMA, maka siswa akan dipilihkan 3 (tiga) jurusan yaitu IPA (Ilmu
Penjurusan di SMA (Sekolah Menengah Atas) merupakan suatu hal yang
wajib dan tidak terelakkan dari dunia pendidikan. Penjurusan dilakukan untuk
mengarahkan siswa agar menekuni karir yang dinginkan dan sesuai dengan
kemampuan. Dalam penjurusan ada beberapa hal yang dipertimbangkan sekolah
untuk menempatkan siswa pada jurusan yang sesuai. Peraturan penjurusan sudah
diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 74 tahun 2008 tentang guru.
Diluar peraturan tersebut, sekolah mempunyai peraturan khusus yang digunakan
sebagai pedoman penjurusan seperti halnya penetapan nilai ketuntasan minimal.
Penjurusan merupakan suatu proses penempatan dalam pemilihan program
studi siswa. Penjurusan ini diadakan karena yang akan menentukan keberhasilan
para siswa; baik pada waktu belajar di SMA maupun setelah perguruan tinggi
maka diperlukan suatu bimbingan penjurusan. Karena hal tersebut, Williamson
berpendapat bahwa di dalam penjurusan ini terdapat kaitan yang erat antara
bimbingan penjurusan dengan bimbingan karir, yaitu merupakan suatu proses
yang bebas, meluas dan berurutan. (Gani, 1986).
Sebagai calon guru yang akan terjun didunia pendidikan, sudah sewajarnya
untuk mengetahui detail-detail pertimbangan dalam menjuruskan siswa baik ke
IPA maupun IPS. Untuk mengetahui pertimbangan-pertimbangan yang sekolah
lakukan untuk menjuruskan siswa ke jurusan IPA atau jurusan IPS, diperlukan
B. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini, tidak akan diteliti seluruh faktor-faktor yang
mempengaruhi dalam penjurusan siswa oleh sekolah di jenjang pendidikan SMA.
Adapun faktor-faktor yang diteliti adalah faktor eksternal berdasarkan jawaban
hasil wawancara yang dipandu dengan pertanyaan terstruktur.
C.Permasalahan yang akan diteliti
Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu :
1. Pedoman dan aspek utama apa yang digunakan oleh sekolah dalam
menjuruskan siswa ke jurusan IPA ?
2. Bagaimana kebijakan sekolah tentang penjurusan?
3. Bagaimana cara sekolah menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat
kurang sesuainya jurusan yang diinginkan siswa?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
1. Mengetahui pedoman dan aspek utama yang digunakan sekolah dalam
penjurusan.
2. Mengetahui kebijakan sekolah perihal penjurusan.
3. Mengetahui cara sekolah dalam menyelesaikan permasalahan akibat
E. Manfaat penelitian
1. Bagi guru dan guru muda
Menjadi referensi saat penjurusan dilakukan, agar guru mempunyai
gambaran atau kriteria-kriteria yang sesuai sehingga tidak terjadi kurang
sesuainya penjurusan berdasarkan kemampuan siswa.
2. Bagi peneliti dan calon guru
Memberikan gambaran sebagai calon guru tentang penjurusan di SMA
yang terdapat beberapa aspek yang yang harus diperhitungkan agar siswa
tidak salah jurusan.
3. Bagi pembaca
Dapat dijadikan pedoman maupun referensi saat akan memilih suatu
jurusan dengan mengetahui poin-poin yang harus terpenuhi sebagai syarat
dalam penjurusan, serta sebagai bahan kajian untuk dikembangkan dalam
5 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pendidikan
Pengertian atau konsep pendidikan bisa ditemukan dalam berbagai
hubungan dan lingkungan. Lingkungan pendidikan terdiri dari tiga macam, yaitu :
a. Lingkungan keluarga;
b. Lingkungan sekolah;
c. Lingkungan masyarakat
Secara umum, fungsi lingkungan pendidikan adalah membantu anak
didik berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, terutama berbagai sumber
daya pendidikan yang tersedia, agar mencapai tujuan pendidikan yang optimal.
( Tatang S, 2012).
Menurut Pribadi dalam Rasyidin (2014:17) dalam bahasa Inggris,
pendidikan digunakan istilah „education‟. Itu adalah kata benda atau hal-aktif
yang terikat erat dengan perkataan bahas Latin “educere”, yang berarti
„mengeluarkan atau melahirkan suatu kemampuan”; “education/educating”
berarti membimbing dalam pergaulan untuk mewujudkan sesuatu kemampuan
yang tersimpan atau terpendam dalam diri anak (Rasyidin, 2014).
Pendidikan memiliki dua fungsi, yaitu memberikan arah kepada segenap
kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap
kegiatan pendidikan (Afifuddin, 2011). Tujuan pendidikan di Indonesia tertulis
Sistem Pendidikan Nasional serta peraturan-peraturan pemerintah yang
bertalian dengan pendidikan (Pidarta, 2014).
B. Belajar dan Pembelajaran
1. Pengertian belajar dan pembelajaran
Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses
perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan
lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan
tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku ( Slameto, 2010).
2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan belajar penting bagi guru dan siswa sendiri. Dalam desain
intruksional guru merumuskan tujuan intruksional khusus atau sasaran belajar
siswa. Rumusan tersebut disesuaikan dengan perilaku yang hendaknya dapat
dilakukan siswa. Sebagai ilustrasi, misalnya guru merumuskan sasaran belajar
sebagai “siswa dapat menyebutkan ciri khas suatu prosa atau puisi”. Sasaran
belajar tersebut berfaedah bagi guru untuk membelajarkan siswa. Dalam hal
ini, ada kesejajaran pada sasaran belajar (rumusan guru dan diinformasikan
kepada siswa) dengan tujuan belajar (Dimyati. Mudjiono,2006).
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar
Usaha dan keberhasilan belajar dipengaruhi oleh banyak faktor
faktor-faktor tersebut dapat bersumber pada dirinya atau di luar dirinya atau di luar
a. Faktor-faktor dalam diri individu
Aspek jasmaniah mencakup kondisi dan kesehatan jasmani dari
individu. Tiap orang memiliki kondisi fisik yang berbeda, ada yang tahan
belajar selama lima atau enam jam terus-menerus, tetapi ada juga yang hanya
tahan satu sampai dua jam saja. Indra yang paling penting dalam belajar adalah
penglihatan dan pendengaran. Kesehatan merupakan syarat muthlak bagi
keberhasilan belajar.
Aspek psikis atau rohaniah tidak kalah pentingnya dalam belajar
dengan aspek jasmaniah. Aspek psikis menyangkut kesehatan psikis,
kemampuan-kemampuan intelektual, sosial, psikomotor serta kondisi afektif
dan kognitif dari individu. Kondisi intelektual juga berpengaruh terhadap
keberhasilan belajar. Kondisi intelektual ini menyangkut tingkat kecerdasan,
bakat-bakat, baik bakat sekolah maupun pekerjaan
Kondisi sosial menyangkut hubungan siswa dengan orang lain, baik
gurunya, temannya, orang tuanya, maupun teman-teman lainnya. Seseorang
yang memiliki kondisi hubungan yang wajar dengan orang-orang disekitarnya
akan memiliki ketentraman hidup, dan hal ini mempengaruhi konsentrasi dan
kegiatan belajarnya. Hal lain yang ada pada diri individu yang juga
berpengaruh terhadap kondisi belajar adalah situsi afektif, selain ketenangan
b. Faktor-faktor lingkungan
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama dalam
pendidikan, memberi landasan bagi proses belajar pada lingkungan sekolah dan
masyarakat. Lingkungan sekolah juga memegang peranan penting bagi
perkembangan belajar para siswanya. Lingkungan ini meliputi lingkungan fisik
seperti lingkungan kampus, sarana dan prasarana belajar yang ada,
sumber-sumber belajar, media belajar, dsb. Lingkungan masyarakat dimana siswa atau
individu berada juga berpengaruh terhadap semangat dan aktivitas belajarnya.
Lingkungan masyarakat dimana dimana warganya memiliki latar belakang
pendidikan yang cukup, terdapat lembaga-lembaga pendidikan dan
sumber-sumber belajar di dalamnya akan memberi pengaruh yang positif terhadap
semangat dan perkembangan belajar generasi mudanya (Sukmadinata, 2009).
4. Pembelajaran di IPA
a. Minat siswa IPA
Dalam proses pembelajaran, salah satu yang mempengaruhi adalah
motivasi siswa. Memotivasi belajar penting artinya dalam proses belajar
siswa, karena fungsinya yang mendorong, menggerakkan, dan mengarahkan
kegiatan belajar (Hamalik, 2001). Minat berperan sangat penting dalam
kehidupan peserta didik dan mempunyai dampak yang besar terhadap sikap
dan perilaku. Siswa yang berminat terhadap kegiatan belajar akan berusaha
IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang mempelajari berbagai
peristiwa di sekitar kita. Dalam IPA, anak dibekali dengan berbagai
keterampilan. Selain melatih anak untuk mampu mengembangkan fakta,
konsep, dan prinsip, dalam IPA juga anak dilatih untuk memiliki berbagai
keterampilan proses. Hal yang menarik dari IPA adalah proses pembelajaran
yang dilakukan lebih menekankan pada pengalaman langsung, sehingga hal
ini akan membantu dan mempermudah anak mempelajari tentang berbagai
fenomena yang terjadi di lingkungan. Hal yang demikian akan merangsang
siswa untuk berpikir kritis dan bersikap alamiah (Rosdiani, 2013, hal 6).
b. Karakteristik siswa IPA
Sains merupakan ilmu yang terkonstruksi baik secara personal maupun
sosial. IPA merupakan rumpun ilmu, memiliki karakteristik khusus yang
mempelajari fenomena alam yang faktual (factual), baik berupa kenyataan
(reality) atau kejadian (events) dan hubungan sebab-akibatnya.
IPA merupakan ilmu yang awalnya diperoleh dan dikembangkan
berdasarkan percobaan (induktif) namun pada perkembangan selanjutnya IPA
juga diperoleh dan dikembangkan berdasarkan teori (deduktif). Ada dua hal
yang tak terpisahkan dengan IPA, yaitu IPA sebagai produk, pengetahuan IPA
yang merupakan pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan
metakognitif, dan IPA sebagai proses yaitu kerja ilmiah.
Menurut Carin dan Sund (1993) dalam Wisudawati dan Sulistyowati
(2014:24) mendefinisikan IPA sebagai “pengetahuan yang sistematis dan
observasi dan eksperimen”. Merujuk pada definisi Carin dan Sund tersebut
maka IPA memiliki empat unsur utama, yaitu :
1) Sikap : IPA memunculkan rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam,
mahluk hidup, serta hubungan sebab akibat. Persoalan IPA dapat
dipecahkan dengan prosedur yang bersifat open ended.
2) Proses : Proses pemecahan masalah pada IPA memungkinkan adanya
prosedur yang runtut dan sistematis melalui metode ilmiah. Metode
ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau
percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan.
3) Produk : IPA menghasilkan produk berupa fakta, prinsip, teori dan
hukum.
4) Aplikasi : penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan
sehari-hari.
Dalam proses pembelajaran IPA, keempat unsur tersebut dapat muncul
sehingga peserta didik dapat mengalami proses pembelajaran secara utuh dan
menggunakan rasa ingin tahunya untuk memahami fenomena alam melalui
pemecahan masalah yang menerapkan langkah-langkah metode ilmiah.
IPA mempunyai cara berpikir yang khusus. Cara berpikir IPA
merupakan ciri-ciri orang IPA. Adapaun cara berpikir IPA tersebut adalah
1) Percaya (believe)
Kecenderungan para ilmuwan melakukan penelitian terhadap masalah
gejala alam dimotivasi oleh kepercayaan bahwa hukum alam dapat
dikonstruksi, diobservasi, diterangkan dengan pemikiran dan penalaran.
2) Rasa ingin tahu (Curiosity)
Kepercayaan alam dapat didorong rasa ingin tahu untuk menemukannya.
3) Imajinasi (imagination)
Para ilmuwan sangat mengandalkan pada kemampuan imajinasinya
dalam memecahkan masalah gejala alam.
4) Penalaran (Reasoning)
Penalaran setingkat dengan imajinasi. Para ilmuwan juga mengandalkan
penalaran dalam memecahkan masalah gejala alam.
5) Koreksi diri (Self examination)
Pemikiran ilmiah adalah sesuatu yang lebih tinggi dari pada sekedar
usaha untuk mengerti alam. Pemikiran ilmiah juga merupakan sarana
untuk memahami dirinya, untuk melihat seberapa jauh para ahli sampai
pada kesimpulan tentang alam (Wisudawati dan Sulistyowati, 2014).
C. Penjurusan di SMA 1. Pengertian penjurusan
Penjurusan adalah merupakan suatu proses penempatan dalam pemilihan
keberhasilan para siswa; baik pada waktu belajar di SMA maupun setelah
perguruan tinggi maka diperlukan suatu bimbingan penjurusan. Karena hal
tersebut, Williamson berpendapat bahwa di dalam penjurusan ini terdapat
kaitan yang erat antara bimbingan penjurusan dengan bimbingan karir, yaitu
merupakan suatu proses yang bebas, meluas dan berurutan. Para pembimbing
diharapkan dapat memilihkan program studi, jurusan, studi lanjutan atau
pekerjaan. Para pembimbing diharapkan pula memperhatikan ciri-ciri
kepribadian siswa dan pengaruh lingkungan terhadap diri siswa yang
bersangkutan.
Suatu pihak yang membedakan atau memisahkan antara : inteligensi, bakat
khusus, minat dan kepribadian dengan dasar dari setiap faktor ini dapat
diukur melalui indikatornya masing-masing. Dilain pihak, berpendapat bahwa
kepribadian tersebut meliputi seluruh faktor-faktor di atas. Hal ini pun dapat
diterima karena individu adalah merupakan pribadi tersendiri yang
terintegrasi secara keseluruhan.yang dimaksud oleh Williamson mengenai
kepribadian ini yaitu kepribadian meliputi faktor-faktor secara keseluruhan.
Sedang yang dimaksud faktor lingkungan didalamnya antar lain faktor
(peran) orang tua dan pendidikan (Gani : 1986).
2. Tujuan Penjurusan
Penjurusan di SMA ini diadakan atas dasar bahwa para siswa adalah
merupakan individu-individu yang mandiri dengan keanekaragamannya
a. Mengelompokkan para siswa yang mempunyai kecakapan, kemampuan,
bakat, dan minat yang relatif sama.
b. Membantu mempersiapkan para siswa dalam melanjutkan studi dan
memilih dunia kerjanya.
c. Membantu meramalkan keberhasilan untuk mencapai prestasi yang baik ;
dalam kelanjutan studi dan dunia kerjanya.
d. Membantu memperkokoh keberhasilan dan kecococokan atas prestasi
yang akan dicapai diwaktu mendatang (kelanjutan studi dan dunia kerja).
3. Persyaratan dalam Penjurusan
Penjurusan akan terlaksana dengan baik, apabila persyaratan-persyaratan
untuk hal itu terpenuhi. Untuk memenuhi persyaratan yang lengkap tergantung
pada :
a. Kondisi sekolah yang bersangkutan; fasilitas, dan personalia di dalamnya
(kepala sekolah, guru bidang studi, guru BP/Penyuluh)
b. Kemauan/keinginan dari setiap personalia di atas dalam melengkapi data
yang diperlukan untuk penjurusan.
c. Pengetahuan dan kemampuan dari staf pelaksana tersebut mengenai data
yang diperlukan
d. Pengertian dari pihak orang tua siswa; atas obyektivitas dalam menilai
Persyaratan dalam penjurusan selain di atas, terdapat data yang harus
dipertimbangkan dalam hal penjurusan, yaitu; prestasi belajar, pengukuran tes
psikologis dan hasil bimbingan karir (Gani, 1986).
Untuk kurikulum SMA (Sekolah Mengenengah Atas) terdapat rancangan
kurikulum, khususnya pada kurikulum 2013, yaitu :
a. Penjurusan mulai kelas X (sepuluh)
Kelebihan dari kebijakan ini adalah ada pengurangan pelajaran di kelas X
yang dianggap memberatkan. Sehingga siswa dapat berkonsentrasi penuh
mempelajari bidang tertentu.
b. Berdasarkan minat pada pendidikan lanjutan
Kelebihan dari kebijakan ini, pemilihan mata pelajaran ke pendidikan
lanjutan, memungkinkan untuk memilih mata peljaran pada bidang yang
berbeda dan tidak harus mengambil mata pelajaran yang tidak disukai
c. Non penjurusan (SKS)
Kelebihan dari kebijakan ini adalah siswa belajar mata pelajaran yang
sesuai dengan minatnya serta tersedia pilihan mata pelajaran untuk
melanjutkan ke perguruan tinggi, atau sekedar ingin tahu (Hidayat, 2013).
D. Bimbingan Karir
1. Definisi Bimbingan Karir
Menurut Herr dalam Manrihu (1988:15) bimbingan karir adalah suatu
teknik-teknik, atau layanan-layanan yang dimaksudkan untuk membantu individu
memahami dan berbuat atas dasar pengenalan diri dan pengenalan
kesempatan-kesempatan dalam pekerjaan, pendidikan, dan waktu luang, serta
mengembangkan keterampilan-keterampilan yang bersangkutan dapat
menciptakan dan mengelola perkembangan karirnya (Manrihu,1988).
2. Perlunya Bimbingan Karir
Implikasi utama bimbingan dan konseling komprehensif adalah
penerapannya pada berbagai jenis populasi. Dalam pada itu, individu-individu
secara berangsur-angsur menuntut agar pekerjaanya memberikan dorongan
untuk berprestasi dan identitas kepadanya. Beberapa orang mencari jalan-jalan
lain untuk sampai kepada tujuan ini melalui gaya-gaya hidup yang bersifat
mengurangi aktivitas-aktivitas yang ditunjukan untuk mengejar pendapatan yang
banyak ke arah posisi-posisi yang relatif kurang berarti.
Pekerjaan yang kurang sesuai dapat sangat positif bagi keseluruhan
pengalaman individu. Keuntungan-keuntungan potensial dari pekerjaan yang
sesuai dapat dijelaskan berdasarkan efek-efek yang membawa malapetaka
karena kurang pekerjaan. Menurut O‟Toole dalam Manrihu (1988:17) walaupun
kurangnya pekerjaan membawa akibat yang sangat negatif, juga melemahkan
dorongan berprestasi individu. Tidak semua pekerjaan memiliki potensi yang
menantang dan mendorong, dan dalam berbagai situasi, pengaturan kembali
lingkungan kerja sangat dibutuhkan. Tetapi pilihan dan perencanaan yang lebih
memungkinkan memainkan peranan-peranan yang lebih disukai dalam hidupnya
(Manrihu, 1988).
3. Tujuan Bimbingan Karir
Tujuan umum bimbingan karir ialah membantu individu (siswa) agar
memperoleh pemahaman diri dalam proses mempersiapkan diri untuk berkarier,
sehingga dapat berguna dalam masyarakat. Tujuan khusus bimbingan karir:
a. Agar siswa dapat memahami dan menilai dirinya mengenai potensi
dasar tentang bakat, minat, sikap, kecakapan, dan cita-citanya
b. Agar siswa sadar dan memahami nilai-nilai dirinya dan nilai-nilai yang
ada dalam masyarakat
c. Agar siswa mengetahui jenis-jenis pendidikan yang berkaitan dengan
pemilihan program
d. Agar siswa dapat menemukan hambatan-hambatan yang disebabkan
oleh faktor dirinya dan faktor lingkungannya serta dapat mengatasi
hambatan-hambatan itu
e. Agar siswa dapat menentukan pilihan program sesuai dengan
kemampuan, bakat, dan minat dalam pemantapan pemilihannya, dan
siswa dapat merencanakan keputusan pemilihan untuk masa depannya.
17
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode penelitian yang
digunakan adalah studi kasus dan deskriptif analisis. Menurut Whitney dalam
Prastowo (2010:17) penelitian deskriptif merupakan pencarian fakta dengan
interprestasi tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam
masyarakat dan tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi
tertentu, termasuk hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap,
pandangan-pandangan, serta protes-protes yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh
dalam suatu fenomena (Prastowo, 2010).
Menurut Maxfield dalam Prastowo (2010:127) studi kasus adalah
penelitian tentang subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase yang
spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas (Prastowo, 2010). Penelitian
studi kasus ini digunakan untuk memperoleh informasi tentang proses
penjurusan IPA yang telah berlangsung di beberapa SMA di Yogyakarta.
Dengan demikian kesimpulan yang akan ditarik dalam penelitian ini berlaku
pada beberapa SMA yang terletak di kota Yogyakarta.
B.Tempat dan Waktu Penelitian
beberapa SMA di Yogyakarta. Adapun SMA-SMA tersebut adalah; SMAN 6
IMMANUEL Kalasan Yogyakarta pada tahun ajaran 2014/2015.
C.Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah guru-guru yang berperan langsung dalam
penjurusan. Adapun guru-guru yang berperan dalam penjurusan meliputi:
Wakasek kurikulum, guru BK, dan guru IPA kelas X (guru fisika kelas X).
Guru-guru tersebut yang berperan dalam penjurusan di SMA-SMA yang
menjadi subyek penelitian pada tahun ajaran 2014/2015.
D. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah cara sekolah menyeleksi siswa untuk
masuk ke jurusan IPA. Cara penyeleksian penjurusan yang termasuk dalam
kriteria-kriteria penjurusan, yaitu penjurusan siswa untuk masuk ke jurusan IPA.
E. Desain Penelitian 1. Kegiatan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti mencari informasi bagaimana cara dan
pertimbangan apa saja yang sekolah lakukan untuk menyeleksi siswa yang
masuk jurusan IPA. Perolehan informasi diperoleh dengan melakukan
wawancara kepada guru maupun perangkat sekolah yang berperan dalam
penjurusan. Adapun guru-guru yang berperan dalam penjurusan adalah;
Setelah diperoleh data mengenai apa saja pertimbangan yang sekolah
lakukan dalam penjurusan, kemudian peneliti mencari informasi lebih lanjut
sebagai tambahan. Kemudian data-data yang telah diperoleh nantinya akan
analisis lebih lanjut sehingga hasilnya dapat menjadi referensi maupun gambaran
umum untuk mengambil keputusan bagi yang akan memilih jurusan di SMA.
2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan instrumen wawancara. Wawancara
yang dilakukan bersifat terstruktur dengan adanya pedoman wawancara.
Jawaban hasil wawancara dapat menghasilkan pertanyaan tambahan untuk
mendapatkan data yang lebih lengkap. Data tentang informasi penjurusan dari
setiap sekolah yang diperoleh kemudian dianalisis lebih lanjut untuk
mendapatkan hasil dan kesimpulan dari penelitian. Adapun wawancara yang
ditunjukan adalah wawancara dengan guru yang berperan dalam penjurusan,
yaitu :
a) Wawancara dengan Guru BK
Wawancara dengan guru BK dilakukan untuk mengetahui
permasalahan-permasalahan dalam penjurusan yang berhubungan dengan guru BK.
Permasalahan-permasalahan itu biasanya berkaitan dengan kebimbangan siswa
saat pemilihan jurusan ataupun masalah yang diakibatkan oleh kehendak orang
b) Wawancara dengan Guru Mata pelajaran IPA
Wawancara dengan guru IPA dimaksudkan untuk melihat pertimbangan
penjurusan perihal nilai akademis siswa. Adapun guru IPA yang diwawancara
dalam penelitian ini adalah guru Fisika kelas X (sepuluh). Wawancara dengan
guru IPA juga dimaksudkan untuk mengetahui kreteria-kriteria khusus yang
menjadi pedoman guru dalam untuk menjuruskan siswa.
c) Wawancara dengan Wakasek Kurikulum
Wawancara dengan Wakasek kurikulum bertujuan untuk memperoleh data
lengkap mengenai pertimbangan-pertimbangan dalam penjurusan yang
ditetapkan di SMA.
F. Instrumen Penelitian
Instrumen adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam
penelitian (Suparno,2010:56). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu berupa pedoman wawancara. Pedoman wawancara tersebut diperoleh dari
berbagai sumber yang relevan dan realita dalam dunia pendidikan.
Pedoman wawancara merupakan sebuah alat yang dapat membantu
diperolehnya informasi yang lebih akurat. Wawancara dalam pengambilan data
dilakukan secara bebas dan terstruktur. Artinya peneliti mempunyai pedoman
wawancara, namun dari hasil wawancara bisa diperoleh pertanyaan baru yang
dapat ditanyakan pada narasumber untuk memperkaya data. Pedoman wawancara
berisi beberapa pertanyaan terkait dengan penjurusan siswa. Seperti halnya,
sekolah, kendala dan cara mengatasinya, serta bimbingan yang diberikan oleh
sekolah dalam penjurusan tersebut. Pedoman wawancara dapat dilihat pada
lampiran.
G. Metode Pengumpulan Data
Winarno Surakhman dalam Prastowo (2010:17) mengemukakan bahwa
metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan
(Prastowo, 2010). Metode perolehan data dalam penelitian ini menggunakan
instrumen pedoman wawancara. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam
wawancara berupa pertanyaan untuk memperoleh informasi perihal penjurusan di
SMA. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada narasumber berasal dari
pedoman wawancara yang telah dipersiapkan lebih dahulu. Pertanyaan-pertanyaan
dalam wawancara dapat berkembang berdasarkan jawaban dari narasumber.
H. Analisis Data
Lodico, Spaulding dan Voegtle dalam Emzir (2010:2) mendefinisikan
penelitian kualitatif yang juga disebut penelitian interpretif atau penelitian
lapangan adalah suatu metodologi yang dipinjam dari disiplin ilmu seperti
sosiologi dan antropologi dan diadaptasi kedalam seting pendidikan (Emzir,
2010).
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara kualitatif. Data
diperoleh dari hasil wawancara. Saat pengambilan data diperlukan bantuan alat
digunakan saat pengambilan data minimal menggunakan dua alat rekam, hal ini
dilakukan sebagai antisipasi jika salah satu alat rekam kurang baik saat merekam
ataupun menghindari kemungkinan kehilangan data dari rekaman tersebut.
Data yang diperoleh saat wawancara terlebih dahulu di tuliskan atau diubah
dari bentuk rekaman suara dalam bentuk teks. Penerjemahan data dilakukan
dengan mendengarkan rekaman hasil wawancara, kemudian seluruh percakapan
ditulis dalam ms word. Setelah penerjemahan data selesai, data asli ini diringkas
untuk mendapatkan data yang diinginkan. Kemudian data dianalisis secara
23
BAB IV
DATA DAN ANALISA
A.Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di empat SMA di Yogyakarta yang berlangsung
selama bulan Maret 2015 - April 2015. Adapun sekolah yang dijadikan subyek
penelitian adalah SMAN 6 Yogyakarta, SMAN 9 Yogyakarta, SMA PIRI 1
Yogyakarta dan SMA IMMANUEL YOGYAKARTA.
Penelitian dimulai pada hari kamis tanggal 26 Maret 2015 dan diakhiri pada
hari rabu tanggal 1 April 2015. Pengambilan data pertama kali dilakukan di
SMAN 6 Yogyakarta dan diakhiri di SMAN 9 Yogyakarta. Pengambilan data
dilakukan dengan mewawancarai tiga guru yang berperan dalam penjurusan
siswa, yaitu guru mata pelajaran IPA (fisika) kelas X, guru BK (Bimbingan dan
Konseling), serta guru yang memegang jabatan sebagai Wakasek kurikulum di
sekolah. Namun pada kasus yang terjadi di SMA IMMANUEL YOGYAKARTA,
pengambilan data pada guru BK digantikan dengan guru biologi, hal ini karena
guru BK di sekolah sedang cuti panjang. Selain itu, wawancara guru mata
pelajaran fisika kelas X di SMA IMMANUEL dilakukan pada guru mata
pelajaran fisika yang mengajar di kelas XII. Keputusan ini diambil karena guru
mata pelajaran fisika yang mengajar kelas X adalah guru baru, jadi peneliti
mewawancarai guru yang lebih senior.
Secara keseluruhan penelitian di setiap sekolah dilakukan dengan
antara narasumber dan peneliti. Akan tetapi untuk SMA IMMANUEL
Yogyakarta, saat pengambilan data wawacara dengan Wakasek kurikulum dan
guru biologi (pengganti BK), wawancara dilakukan secara bersamaan. Hal ini
dilakukan agar guru biologi (Bu Anna) dan Wakasek Kurikulum (Pak Yakobus)
saling melengkapi jawaban. Jenis wawancara yang dilakukan yaitu wawancara
terstruktur dengan pedoman pertanyaan dan bisa menghasilkan pertanyaan baru
sesuai jawaban dari narasumber. Saat melakukan wawancara, peneliti
menggunakan alat bantu berupa rekaman dalam bentuk redorcer maupun video.
B.Analisa Data
1. Latar Belakang Sekolah
Sekolah yang dijadikan subyek dalam penelitian berjumlah 4 (empat)
sekolah, yang dipilih berdasarkan status dalam pemerintah yaitu sekolah Negeri
dan sekolah Swasta. Selain dilihat dari status, subyek penelitian juga dipilih
berdasarkan adanya jurusan IPA dan jurusan IPS di sekolah tersebut. Keempat
sekolah yang dijadikan subyek penelitian adalah SMAN 6 Yogyakarta, SMAN 9
Yogyakarta, SMA PIRI 1, dan SMA IMMANUEL Yogyakarta. Pemilihan
sekolah yang berbeda ini bertujuan agar peneliti memperoleh gambaran yang
lebih signifikan tentang proses penjurusan yang dilakukan oleh setiap sekolah.
a) SMAN 6 Yogyakarta
SMAN 6 Yogyakarta terletak di Jl. C. Simanjutak no 2 Yogyakarta.
SMAN 6 Yogyakarta ini merupakan sekolah Negeri dengan akreditasi A. SMAN
Yogyakarta mendapat julukan The Research School Of Jogja. SMAN 6
Yogyakarta membuka dua jurusan yaitu jurusan IPA dan jurusan IPS. SMAN 6
mempunyai kelas IPA lebih banyak dibandingkan kelas IPS. Jumlah kelas yang
dimiliki oleh SMAN 6 sebanyak 24 kelas yang terbagi atas 8 kelas untuk kelas
X, 8 kelas untuk kelas XI (6 kelas IPA dan 2 kelas IPS) dan 8 kelas untuk kelas
XII (6 kelas IPA dan 2 kelas IPS). Penempatan siswa dalam kelas di sekolah ini
tidak berdasarkan pada kepandaian siswa. Hal ini dikarenakan sekolah
menginginkan persaingan antar siswa dalam kelas yang lebih merata. Untuk
masuk di SMAN 6 Yogyakarta pada tahun ajaran 2014/2015 mempunyai nilai
UN minimal 36,25.
b) SMAN 9 Yogyakarta
SMAN 9 Yogyakarta terletak di Jl. Sagan, Gondokusuman, Kota
Yogyakarta. SMAN 9 Yogyakarta mempunyai akreditasi A dengan motto
sekolah yang mengembangkan budaya. Hal ini terlihat saat memasuki ruang
tamu di SMAN 9 Yogyakarta terdapat berbagai lukisan jenis-jenis batik, dan
suara lonceng pertanda pergantian jam pelajaran maupun waktu istirahat
bernada gamelan oleh karena itu sekolah ini dijuluki sebagai The Art and
Culture School. SMAN 9 Yogyakarta membuka dua jurusan yaitu IPA dan IPS.
Jumlah kelas yang dimiliki oleh SMAN 9 Yogya sebanyak 20 kelas yang
terbagi atas 6 kelas untuk kelas X, 7 kelas untuk kelas XI (5 kelas IPA dan 2
kelas IPS), dan 7 kelas untuk kelas XII (5 kelas IPA dan 2 kelas IPS). Di
SMAN 9, penempatan siswa dalam kelas tidak berdasarkan kepandaian siswa.
dan dengan adanya kualitas antar kelas yang merata diharapkan antar siswa
mampu lebih bekerjasama dengan baik. Siswa yang ingin masuk di sekolah ini
pada tahun ajaran 2014/2015 mempunyai nilai UN minimal 35,85.
c) SMA PIRI 1 Yogyakarta
Subyek penelitian selanjutnya adalah SMA PIRI 1 Yogyakarta. SMA
PIRI 1 Yogyakarta adalah salah satu sekolah Swasta bernuansa muslim dengan
akreditasi sekolah A yang terletak di Jl. Kemuning No 14, Yogyakarta, Daerah
Istimewa Yogyakarta. SMA PIRI 1 membuka jurusan IPA dan IPS yang
masing-masing jurusan dalam setiap angkatan berjumlah satu kelas dan setiap
kelas rata-rata diisi 29-30 siswa. SMA PIRI 1 ini mempunyai 6 kelas yaitu 2
kelas untuk kelas X (X.1 dan X.2), 2 kelas untuk kelas XI (IPA dan IPS) dan 2
kelas untuk kelas XII (IPA dan IPS). Penempatan siswa di kelas X.1 dan X.2
melalui penyeleksian terlebih dahulu. Artinya, SMA PIRI 1 ini sudah
menyiapkan siswa yang akan masuk jurusan IPA ataupun IPS dari awal siswa
masuk kelas X yaitu dengan penempatan kelas yang dilakukan oleh sekolah.
Dengan kata lain, kelas X.1 berisi siswa yang cenderung masuk ke IPA,
sedangkan kelas X.2 berisi siswa yang cenderung masuk ke IPS. Persiapan ini
dilakukan sejak awal agar guru lebih mudah mengontrol siswa dan siswa dapat
mempersiapkan diri untuk masuk jurusan yang sudah terlihat lebih awal.
d) SMA IMMANUEL Yogyakarta
Sekolah terakhir yang dijadikan subyek penelitian adalah SMA
Sleman, Yogyakarta. SMA IMMANUEL Yogyakarta merupakan sekolah
Swasta yang bernuansa nasrani dengan akreditasi sekolah B. SMA
IMMANUEL Yogyakarta merupakan sekolah kecil dengan jumlah siswa yang
terhitung sedikit. Untuk kelas X tahun 2014/2015 ini SMA IMMANUEL
mempunyai siswa baru yang mengisi dua kelas, dan setiap kelas tidak diisi oleh
siswa dengan jumlah banyak. SMA IMMANUEL membuka dua jurusan yaitu
IPA dan IPS. Untuk kelas XI siswa IPA di SMA IMMANUEL berjumlah 9
siswa, sedangkan untuk kelas XII IPA jumlah siswa sebanyak 4 siswa. SMA
IMMANUEL mempunyai 6 kelas yaitu 2 kelas untuk kelas X (X.1 dan X.2), 2
kelas untuk kelas XI (IPA dan IPS), dan 2 kelas untuk kelas XII (IPA dan IPS).
2. Kebijakan Jurusan di Sekolah
Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah jenjang pendidikan dimana karir
siswa mulai dibentuk. Saat siswa mulai memasuki jenjang ini, mereka sudah
dihadapkan pada pemilihan jurusan yang merupakan langkah awal untuk menata
masa depan, hal ini terlihat dari adanya penjurusan.
Adanya dua jurusan di SMA diimbangi dengan adanya sumber daya
manusia yang mengampu. Dengan adanya jurusan IPA dan jurusan IPS tentu ada
guru di kedua jurusan tersebut. Akan tetapi dengan adanya dua jurusan, sering
terjadi ketidakseimbangan antara jumlah guru dan kelas yang akan diampu.
Ketidakseimbangan jumlah guru bisa terjadi bagi guru jurusan IPA
maupun guru jurusan IPS. Berdasarkan hasil penelitian, untuk SMA Negeri
yang terjadi di SMAN 9 Yogyakarta, untuk guru jurusan IPS yaitu untuk guru
Sosiologi, Ekonomi, dan Akuntasi masing-masing diampu oleh satu guru yang
mengajar di kelas X, XI dan kelas XII. Sehingga tidak ada guru yang
kekurangan jam mengajar yang mengharuskan guru keluar untuk mengajar di
sekolah lain. Sedangkan untuk SMA swasta, yaitu SMA Immanuel ada beberapa
guru yang kekurangan jam mengajar sehingga harus mengajar di sekolah lain.
Pembukaan dua jurusan selain biaya operasionalnya berat, hal lain yang
menjadi faktor pertimbangan adalah adanya hak guru yang sudah menjadi
ketetapan untuk memperoleh jam mengajar. Syarat para guru mendapatkan hak
adalah jika jam mengajar minimal terpenuhi dan memenuhi syarat minimal
siswa yang diajar dalam satu kelas. Adapun syarat minimal tersebut dalam satu
kelas rombongan belajar adalah sejumlah 20 siswa untuk jenjang sekololah
menengah atas (SMA) dengan tatap muka minimal 20 jam setiap minggunya hal
ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 74 tahun 2008 tentang guru.
3. Faktor-Faktor yang Dipertimbangkan dalam Penjurusan
Pada dasarnya, setiap sekolah mempunyai pedoman penjurusan yang sama,
karena peraturan penjurusan sudah ditetapkan dalam peraturan yang mengacu
pada SK Dirjen Mendikdasmen No 12/C/kep/TU/2008. Selain peraturan
tersebut, ada beberapa peraturan yang dibuat oleh sekolah yang tidak lebih berat
dari peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Contoh peraturan yang
Secara keseluruhan, faktor-faktor yang menjadi pertimbangan oleh setiap
sekolah adalah sama, yaitu dengan mempertimbangkan tiga faktor dalam
penjurusan. Faktor-faktor tersebut adalah :
a) Nilai Akademis
Nilai akademis yang dimaksud di sini adalah nilai tuntas dari standar
KKM yang telah ditentukan oleh sekolah. Standar KKM yang ditentukan
oleh setiap sekolah berbeda dikarenakan kondisi sekolah dan keadaan siswa
yang berbeda. Penetapan standar KKM dilakukan melalui rapat oleh para
dewan guru dan dimusyawarahkan bersama.
Siswa dapat masuk di jurusan yang dikehendaki apabila telah
memenuhi KKM yang ditetapkan oleh sekolah. Jika siswa ingin masuk
jurusan IPA, maka nilai mata pelajaran IPA harus memenuhi KKM. Standar
KKM untuk seleksi masuk jurusan yang ditetapkan setiap sekolah berbeda.
Untuk SMAN 6 Yogyakarta KKM yang ditentukan sekolah adalah
75, artinya jika ingin masuk jurusan IPA maka nilai Biologi, Kimia dan
Fisika haruslah minimal 75. Jika nilai siswa sudah mencapai 75 maka
siswa tersebut dapat masuk ke jurusan IPA. Hal ini juga berlaku bagi
siswa yang ingin masuk jurusan IPS. Untuk SMAN 9 Yogyakarta, KKM
yang ditetapkan sekolah adalah 76 akan tetapi jika siswa ingin masuk
jurusan IPA maka syarat untuk mata pelajaran di jurusan adalah KKM+1
yang artinya nilai minimal siswa untuk masuk jurusan IPA adalah 77.
sekolah adalah 70. Sedangkan untuk SMA PIRI1 1, KKM setiap mata
pelajaran berbeda tergantung guru mata pelajaran yang menetapkan. Untuk
mata pelajaran fisika, KKM yang ditetapkan adalah 75 sedangkan secara
keseluruhan KKM di SMA PIRI1 1 adalah 76. Penetapan KKM yang
berbeda ini dikarenakan pertimbangan akan tingkat kesulitan setiap mata
pelajaran berbeda.
Jika dibuat dalam bentuk tabel, syarat penjurusan ke-empat sekolah
tersebut dalam hal nilai akademis adalah:
Tabel 1. Nilai akademis minimal tiap sekolah
Sekolah SMAN 6
sekolah. Sekolah melihat minat siswa terlebih dahulu untuk identifikasi
siswa yang memiliki minat ke jurusan IPA dan yang memiliki minat ke
jurusan IPS. Setelah dilakukan identifikasi minat siswa, nilai akademis
siswa dievaluasi. Jika nilai akademis siswa yang minat ke IPA maupun yang
minat ke IPS memenuhi syarat maka siswa akan masuk jurusan yang
sekolah dalam menjuruskan siswa baik ke IPA maupun ke IPS adalah
dengan melihat nilai siswa di mata pelajaran pokok jurusan yang berada
diatas atau berada minimal KKM.
Identifikasi minat yang dilakukan setiap sekolah berbeda, ada yang
menggunakan angket dan ada yang menggunakan wawancara. Berdasarkan
hasil penelitian, SMA IMMANUEL Yogyakarta yang menggunakan
wawancara untuk mengetahui minat siswa. Hal yang menjadi pertimbangan
dari SMA IMMANUEL adalah agar guru dapat mengetahui minat dan
rencana siswa lebih jelas.
Jika dibuat dalam bentuk tabel, syarat penjurusan di ke-empat
sekolah mengenai cara mengetahui minat adalah:
Tabel 2. Cara mengetahui minat siswa dari setiap sekolah
Sekolah SMAN 6
Angket Angket Angket Wawancara
Proses pemberian angket dan penjaringan minat siswa di sekolah
dilakukan oleh guru BK. Akan tetapi untuk SMA IMMANUEL, proses
penjaringan minat dilakukan oleh hampir semua guru. Berdasarkan hasil
penelitian, jika siswa minat masuk ke jurusan IPA namun nilai akademisnya
dengan catatan kekurangan nilai tidak banyak. Hal ini kembali lagi pada
guru yang mengampu meskipun tidak semua dapat membantu.
c) Psikotes (Tes Psikologi)
Hasil psikotes merupakan salah satu pertimbangan dalam
menempatan siswa di suatu jurusan. Psikotes berfungsi untuk melihat
seberapa besar IQ siswa. Prosedur pemilihan jurusan yang digunakan oleh
setiap sekolah, sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya,
dimulai dari penelusuran minat, identifikasi minat siswa digunakan sebagai
acuan untuk mengelompokkan siswa. Sebut saja siswa itu berminat masuk
jurusan IPA, maka setelah mengetahui minat siswa, kemudian melihat nilai
siswa cukup atau tidak untuk masuk di jurusan IPA, setelah itu melihat hasil
psikotesnya. Jika ketiga unsur tersebut terjadi kecocokan maka siswa
tersebut dinyatakan lolos seleksi dan dapat masuk jurusan IPA.
Selain untuk melihat IQ, psikotes berfungsi sebagai pertimbangan
dalam menjuruskan siswa. Artinya, meskipun nilai siswa baik namun hasil
psikotesnya kurang baik untuk jurusan yang diinginkan, maka siswa
tersebut ada kemungkinan tidak dapat masuk jurusan yang diinginkan. Akan
tetapi psikotes yang dipertimbangkan sekolah tidak berlaku bagi siswa yang
mendapat nilai di bawah KKM pada jurusan tertentu yang diinginkan.
Psikotes merupakan faktor dalam penjurusan yang dipertimbangkan
sekolah dan menjadi hasil akhir dalam pengambilan keputusan. Di SMA
agar memperoleh data yang lebih valid. Akan tetapi, untuk sekolah Swasta
seperti halnya SMA IMMANUEL psikotes tidak dilkukan saat sekolah
menjuruskan siswanya. Hal ini dikarenakan sekolah tersebut mempunyai
siswa yang terhitung sedikit jadi guru lebih mengenal siswa. Meskipun di
SMA IMMANUEL tidak melakukan Psikotes, namun psikotes tetap
menjadi peraturan yang ditetapkan dalam penjurusan. Sedangkan untuk
SMA PIRI 1, psikotes diuji oleh guru BK.
Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan seperti nilai akedemis, minat, dan
tes psikologi merupakan cara penyeleksian sekolah dalam penjurusan dan
berjalan secara beriringan. Pertimbangan yang dilakukan sekolah dalam
penyeleksian yang cenderung ketat adalah untuk menghindari kegagalan siswa
dikemudian hari karena jurusan yang kurang sesuai. Berikut ini adalah bagan
penjurusan yang dilakukan oleh sekolah terkait minat dan KKM siswa :
Bagan 1. Penjurusan Tentang Minat dan KKM siswa
Dari bagan di atas terlihat bila siswa minat ke jurusan IPA sedangkan KKM
di rapot adalah IPS, maka keputusan jurusan dipertimbangkan. Begitu pula siswa
jurusan siswa bisa dipertimbangkan. Sedangkan bagi siswa yang nilai KKM
kurang dari mata pelajaran pokok IPA dan IPS, maka siswa tersebut akan tinggal
kelas. Hal ini seperti yang dikatakan oleh bu Dita yaitu “Parahnya kalau tidak
memenuhi semuanya ya dia tinggal kelas, tapi hal ini jarang terjadi [jawaban
dari pertanyaan ke 11 hal 7]”.
Keputusan penjurusan bagi siswa yang menunjukkan minat dan KKM
kurang sesuai dapat dipertimbangkan. Pertimbangan penjurusan dapat
dipertimbangkan karena terdapat masa percobaan pindah jurusan selama kurang
lebih satu bulan. Proses pindah jurusan ini dapat dilakukan dengan catatan nilai
siswa untuk mata pelajaran pokok IPA dan IPS berada di atas KKM. Pindah
jurusan juga dapat dilakukan jika siswa merasa bimbang untuk memilih suatu
jurusan tertentu.
Tabel 3. Penjurusan IPA di SMA
IPS IPS IPS IPA Masa Percobaan IPS
IPS IPA IPA/IPS IPA Masa Percobaan IPS
Tabel di atas terlihat bahwa selain minat dan nilai akademis, psikotes juga
dipertimbangkan dalam penjurusan. Bagi siswa yang memiliki kecocokan
jurusan dari minat, nilai KKM serta potensi akademis dapat langsung diputuskan
lolos seleksi jurusan yang diinginkan, sedangkan bagi siswa yang kurang terjadi
kecocokan antara minat, nilai KKM dan potensi akademis akan berada pada
masa percobaan. Kasus lain bagi siswa yang minat jurusan IPA, namun nilai
KKM dan potensi akademis berada di IPS maka siswa tersebut secara otomatis
akan masuk jurusan IPS.
Selain pedoman penjurusan yang dikeluarkan oleh Peraturan Pemerintah
(PP), guru juga mempunyai pemikiran lain dalam memberi pertimbangan
menjuruskan siswa. Misalnya pemikiran yang dimiliki oleh guru BK SMA
PIRI1 yaitu pak Tarda yang berpikir siswa aktif berorganisasi cocok untuk
masuk jurusan IPA, hal ini terlihat dalam percakapan sebagai berikut :
Peneliti : “Menurut bapak sendiri, aktivitas siswa yang nunjukin dia cocok di IPA seperti apa ?”
Pak Tarda :“Kalau yang cocok IPA itu saya pikir gimana, karena saya ini mengagungkan osis karena ini kuat. Jadi sepintas kalau mereka tidak terfokus pada sekolah saja tapi mau berorganisasi itu IPA yang baik menurut saya”
Pak Tarda berpendapat demikian karena menurut beliau siswa yang cocok
di jurusan IPA adalah yang mempunyai motivasi tinggi serta selalu berusaha
menjadi lebih baik dan itu ditunjukan dengan kegiatan siswa di OSIS.
Hasil percakapan dengan bu Esti selaku guru fisika SMAN 6 Yogyakarta
yang mengatakan bahwa yang menjadi eksekutor utama dalam penjurusan
adalah nilai akademis siswa.
Peneliti :“Selain nilai akademik, apakah ibu punya pedoman lain dalam menjuruskan siswa ke IPA?
Bu Esti:“Untuk penjurusan, pyur 100% saya berasal dari nilai akademik. Tidak ada nilai sikap, tidak ada nilai lain, jadi betul-betul nilai akademik mereka”
Peneliti : “Bagaimana dengan proses belajar mereka?”
Bu Esti : “Susahnya ada anak yang benar-benar belajar tapi hasilnya tetap dibawah standar dan itu tidak bisa. Karena kemampuannya hanya disitu. Bahkan ada anak yang pelajaran IPA sambil lalu tapi ketika dia dikasih pertanyaan, ketika diberikan soal bisa. Berarti kemampuan dasar anaknya itu ada di IPA. jadi nilai
yang ibu gali ya kemampuan dasarnya itu”.
[Pertanyaan dan jawaban wawancara dengan bu Esti ke 7 dan 8 di halaman 4]
Pendapat yang dikemukakan Bu Esti berbeda dengan pendapat yang
dikemukakan oleh pak Bambang selaku guru fisika di SMAN 9 Yogyakarta,
beliau berpendapat bahwa nilai siswa tidaklah menjadi syarat mutlak dalam
penjurusan, melainkan ada pertimbangan khususnya untuk motivasi siswa.
Peneliti : Kalau menurut bapak antara minat dan nilai mana yang lebih penting dalam penjurusan?” Pak Bambang :“Sebenarnya kalau dari guru-guru ya nilainya,
ya sebenarnya dua-duanya saling mengisilah” Peneliti : “kalau menurut bapak sendiri?”
Peneliti :“Kenapa menurut bapak itu penting?”
Pak Bambang :“Karena saya sendiri termasuk termotivasi disitu. Jadi nilai saya saat disemester 1 dulu tidak bagus tapi ada motivasi dari kakak bahwa kalau masuk jurusan IPA bisa gini-gini akhirnya saya kejar dan masuk jurusan IPA. Saya membayangkan bahwa saya bisa, jadi jika ada motivasi ya bisa karena punya target. Dan itu seterusnya untuk jurusan. Jadi tak pindah haluan. Waktu SMA fisika saya 5, untungnya penjurusan dikelas 2. Jadi saya naik kan bisa masuk jurusan IPA, jadi saya berpandangan bahwa jika ada motivasi bisa”
[Hasil wawancara dengan Pak Bambang Widodo pada pertanyaan dan jawaban ke 6 hal 3-4]
Kedua pendapat tersebut meskipun berlainan namun mereka mempunyai
alasan yang cukup kuat tentang pemikiran pribadi dalam menjuruskan siswa.
Jika dilihat kembali, baik pendapat bu Esti maupun pak Bambang sama-sama
relevan. Mereka mempunyai pendapat yang beralasan cukup kuat. Pendapat pak
Bambang yang mengatakan motivasi juga diperhitungkan di dukung oleh pak
Gampang selaku guru fisika dari SMA PIRI 1
Peneliti :“Untuk SMA PIRI 1, minat dan nilai mana
yang lebih penting?”
Pak Gampang :”Yang minatnya, karena nilai itu nanti dapat kita maaf bukan rekayasa jadi karena minat lebih dominan dari pada nilai. Karena bisa jadi saat ulangan kondisi anak kita nggak tau, kemudian kondisi keluarganya saat kita mengadakan ulangan seperti apa. Maka minat
lebih dominan dari pada nilai kognitifnya”.
[Pertanyaan dan jawaban wawancara ke 5 dengan pak Gampang di hal 2]
Penjurusan di SMA jika dilihat secara sepintas memang terlihat sederhana,
kerena secara tidak langsung penjurusan adalah satu langkah awal untuk
menentukan masa depan siswa. Aspek utama yang ditentukan dalam penjurusan
khususnya oleh sekolah dan guru merupakan cara untuk menyeleksi siswa yang
cocok di jurusan tertentu. Dalam penjurusan, guru mata pelajaran berperan
penting, karena guru mata pelajaran selalu membimbing dan lebih mengerti
kemampuan siswa.
Jika dilihat dalam bentuk tabel, maka aspek utama yang dipertimbangkan
dalam penjurusan dari keempat sekolah tersebut yaitu :
Tabel 4. Aspek utama dalam penjurusan di sekolah
Sekolah SMAN 6 SMAN 9 SMA
mengenal siswa dengan baik. Sederhana saja, guru maupun sekolah tidak dapat
serta merta menempatkan siswa pada suatu jurusan tertentu jika belum
mengetahui secara pasti kemampuan siswa, hal ini perlu dihindari agar siswa
tidak berada dijurusan yang kurang sesuai dengan kemampuannya. Selain itu
jika dilihat secara lebih detail, dalam penjurusan hal yang paling utama
sendiri, sedangkan nilai akademis akan mengikuti minat. Hal ini terlihat dari
syarat penjurusan adalah nilai siswa yang berada diatas KKM. Dimana nilai
berada diatas KKM juga merupakan syarat utama agar siswa bisa naik kelas.
SMAN 6 Yogyakarta mempunyai cara lain dalam menempatkan siswa di
suatu jurusan, yaitu dengan mengambil nilai rata-rata dari siswa. Bagi siswa
yang nilainya berada di bawah rata-rata, maka akan berada di jurusan IPS
sedangkan bagi siswa yang nilainya berada diatas rata-rata akan berada di
jurusan IPA, hal ini dapat dilakukan dengan melihat minat dari siswa.
4. Peran Guru Fisika dalam Penjurusan
Proses penjurusan melibatkan guru bidang IPA. Dalam hal ini, guru
fisika mengambil peran yang besar dalam penjurusan. Guru fisika berperan
dalam mengevaluasi ketuntasan nilai akademis siswa dan bertanggung jawab
terhadap nilai siswa dalam ketuntasan belajar. Selain itu, peran guru fisika dalam
penjurusan yang utama adalah untuk memotivasi dan menambah minat belajar
siswa terutama bagi siswa yang nilai akademisnya kurang baik.
Setiap guru mempunyai cara yang berbeda dalam memotivasi siswa. Bu
Esti selaku guru fisika dari SMAN 6 Yogyakarta mempunyai cara sendiri dalam
memotivasi siswa yaitu dengan mencontohkan dirinya sendiri. Seperti jawaban
beliau saat wawancara berlangsung.
Bu Esti: “Ya bentuk dukungan saya mengatakan bahwa semua itu bisa dipelajari. Saya mendukung anak itu dengan saya apa mencontohkan diri saya sendiri. Bahwa saya pernah tidak naik kelas, saya pernah mempunyai nilai matematika dan IPA tidak terlalu bagus. Tapi ada suatu hal yang memotivasi saya bangkit, ya itu yang saya gunakan untuk mengejar ketertinggalan dan ternyata bisa. Artinya semua bisa dipelajari, tidak ada yang tidak mungkin. Saya selalu mengingatkan anak seperti itu. Jika kita punya niat, kita punya semangat, kelemahan itu bisa ditutupi bahkan bisa melampaui mereka yang bakatnya lebih baik. Terutama yang memiliki potensi lebih, namun belum dikembangkan. Saya selalu bilang seperti itu kepada anak-anak.”
[Pertanyaan dan jawaban ke 9 wawancara dengan bu Esti halaman 5] penjurusan kan. Saya hubungkan materi saya dengan kehidupan sehari-hari, jadi misalnya tentang pengukuran, listrik kan ada juga itu sedikit, kemudian saya mengajak mereka menghitung apa, arus listrik sehari-hari dengan setrum, yang kedua ya hanya sedikit ya tidak tidak merasa ketakutan dengan fisika”
[Pertanyaan dan Jawaban ke 3 wawancara dengan Bu Christina hal 1]
Jadi, dalam penjurusan peran utama guru fisika adalah sebagai
penanggung jawab dalam ketuntasan nilai siswa. Selain itu sebagai seorang