• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERBANDINGAN PEMBIAYAAN APENDIKTOMI MENGGUNAKAN METODE ABC TERHADAP BIAYA RIIL DAN TARIF INA-CBG S DI RS TK II BHAYANGKARA MEDAN TAHUN 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS PERBANDINGAN PEMBIAYAAN APENDIKTOMI MENGGUNAKAN METODE ABC TERHADAP BIAYA RIIL DAN TARIF INA-CBG S DI RS TK II BHAYANGKARA MEDAN TAHUN 2018"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

JIMY FRAN NIM. 177032080

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2020

(2)

THESIS

By

JIMY FRAN NIM. 177032080

MASTER IN PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM F A C U L T Y O F P U B L I C H E A L T H

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA

2020

(3)

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan Masyarakat dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Peminatan Administrasi Rumah Sakit

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh JIMY FRAN NIM. 177032080

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2020

(4)
(5)

ii Telah diuji dan dipertahankan

Pada tanggal : 13 Agustus 2019

TIM PENGUJI TESIS

Ketua : Destanul Aulia, S.K.M., MBA., M.Ec., Ph.D.

Anggota : 1. Dr. Juanita, S.E., M.Kes.

2. dr. Rahayu Lubis, M.Kes., Ph.D.

3. Dr. Khaira Amalia F, S.E., Ak., M.B.A.

(6)

iii

Pernyataan Keaslian Tesis

Saya menyatakan dengan ini bahwa tesis saya yang berjudul “Analisis Efisiensi Pembiayaan Apendiktomi pada Apendisitis Akut dan Perforasi Menggunakan Metode ABC terhadap Tarif Riil Rumah Sakit dan Tarif INA- CBG’s di Rumah Sakit Bhayangkara Tk II Medan Tahun 2018” beserta seluruh isinya benar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, Agustus 2019

Jimy Fran

(7)

iv Abstrak

Perkembangan teknologi informasi yang cepat ditambah dengan kompetisi global yang semakin ketat menuntut semua jenis perusahaan, termasuk rumah sakit, agar dapat mengelola perusahaannya secara efektif. Penentuan tarif dengan metode tradisional dianggap tidak mampu mengatasi berbagai kesulitan penentuan tarif.

Indonesia menerapkan sistem Casemix INA-CBG’s (Indonesia Case Based Groups) untuk program BPJS dan belum optimal memberikan efisiensi dalam perhitungan biaya meskipun lebih baik dibandingkan perhitungan riil. Perhitungan Activity based costing (ABC) diperkirakan lebih efisien dalam penentuan tariff rumah sakit. Penelitian ini bersifat deskripif kuantitatif menggunakan kuesioner dalam mengumpulkan data. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efisiensi pembiayaan apendiktomi pada apendisitis akut dan perforasi menggunakan metode ABC terhadap tarif riil rumah sakit dan tarif INA-CBG’s di RS Tk II Bhayangkara Medan Tahun 2018. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perhitungan menggunakan metode ABC mendapatkan biaya apendiktomi sebesar Rp. 3.724.804,50 dan apendiktomi laparotomi sebesar Rp. 5.840.932,50. Biaya untuk apendiktomi dengan tarif rill sebesar Rp. 4.200.750,00 dan apendiktomi laparotomi sebesar Rp. 8.468.129,70. Biaya untuk apendiktomi dan apendiktomi laparotomi dengan tarif INA CBG’s sebesar Rp. 3.806.700.00. Selisih biaya ABC dengan tarif riil untuk apendiktomi sebesar Rp. 475.945,50 dan dengan apendiktomi laparotomi sebesar Rp. 2.627.197,70. Selisih biaya ABC dengan tarif INA CBG’s untuk apendiktomi sebesar Rp. 81.895,50 dan selisih dengan apendiktomi laparotomi sebesar Rp. 2.034.232,00 (biaya satuan lebih mahal).

Direkomendasikan kepada Pimpinan RS Bhayangakara Tingkat II Medan agar dapat menyusun atau menyediakan clinical pathway pada kasus appendiktomi dan appendiktomi laparotomi agar apat menghitung biaya satuan menggunakan metode ABC dalam menentukan tariff rumah sakit.

Kata kunci: Apendiktomi, UC, INA-CBG’s, TR, ABC

(8)

v Abstract

The rapid development of information technology coupled with increasingly fierce global competition requires all types of companies, including hospitals, to effectively manage their companies. Determination of tariffs using traditional methods is considered unable to overcome various difficulties in determining tariffs. Indonesia has implemented the Casemix INA-CBG’s (Indonesia Case Based Groups) system for the BPJS program and has not been optimal in providing cost efficiency even though it is better than real calculations.

Calculation of Activity based costing (ABC) is estimated to be more efficient in determining hospital rates. This research is descriptive quantitative using a questionnaire in collecting data. The purpose of this study was to determine the efficiency of the appendectomy financing for acute appendicitis and perforation using the ABC method of hospital real rates and INA-CBG's rates at Rumah Sakit Tk II Bhayangkara Medan in 2018. The results showed that the calculation using ABC method received appendectomy costs of Rp. 3.724.804,50 and appendectomy with laparotomy of Rp. 5.840.932,50. Fees for appendectomy with a rill rate of Rp. 4.200.750,00 and laparotomy appendectomy of Rp. 8.468.129,70. The cost for appendectomy and appendectomy with laparotomy using INA CBG's method calculation, giving rates is Rp. 3,806,700.00. ABC cost difference with real rates for appendectomy is Rp. 475.945,50 and with appendectomy laparotomy of Rp. 2.627.197,70. The ABC difference in costs with the INA CBG’s rate for appendectomy is IDR 81.895,50 and the difference with the appendectomy of laparotomy is IDR 2.034.232,00 (unit cost is more expensive). It is recommended to the Head of the Rumah Sakit Tk II Bhayangkara Medan to be able to arrange or provide a clinical pathway in the case of appendectomy and laparotomy appendectomy so that in the formulation of ABC that using unit cost in determining hospital rates.

Keywords: Appendectomy, UC, INA-CBG’s, RC, ABC

(9)

vi

Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, dan segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Efisiensi Pembiayaan Apendiktomi pada Apendisitis Akut dan Perforasi Menggunakan Metode ABC terhadap Tarif Riil Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s di Rumah Sakit Bhayangkara Tk II Medan Tahun 2018” ini.

Tesis ini dapat selesai dengan baik berkat limpahan rahmat dan karunia Allah, namun dalam penulisan tesis ini penulis mendapat bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si. selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Ir. Etti Sudaryati, M.K.M., Ph.D. selaku Ketua Program Studi S2/S3 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

4. Destanul Aulia, S.K.M., M.B.A., M.Ec, Ph.D. selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan sekaligus selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu dan perhatian serta dorongan moril dalam membimbing penulis.

(10)

vii

5. Dr. Juanita, S.E., M.Kes. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan perhatian serta dorongan moril dalam membimbing penulis.

6. dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D,. selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan perhatian, bimbingan, dan saran untuk perbaikan tesis yang lebih baik.

7. Dr. Khaira Amalia Fachruddin, S.E., Ak., M.B.A. selaku Dosen Penguji II yang juga telah memberikan perhatian, bimbingan, dan saran untuk perbaikan tesis yang lebih baik.

8. Seluruh Dosen Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

9. Seluruh Pegawai Administrasi Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah membantu kelancaran administrasi yang dibutuhkan penulis sampai penyelesaian tesis.

10. Kepala Rumah Sakit dan seluruh Staf RS Bhayangkara Tk II Medan yang telah mengizinkan dan memberikan data untuk keperluan penulis dalam pembuatan tesis ini.

11. Seluruh keluarga, khususnya ayah Stophen Sipahutar, S.H., ibu Dra. Erpita, M.Pd., kakak dr. Lely Penita, dan abang Richard Erto, S.I.P, yang telah memberikan doa, dukungan moril dan materil dalam penyusunan tesis ini.

(11)

viii

12. Teman-teman seperjuangan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara stambuk 2017, khususnya Peminatan Administrasi Rumah Sakit atas bantuan dan semangatnya dalam penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam tesis ini. Walaupun demikian, penulis berharap tesis ini semoga dapat bermanfaat bagi perbaikan perhitungan biaya rumah sakit.

Medan, Agustus 2019

Jimy Fran

(12)

ix Daftar Isi

Halaman

Halaman Persetujuan i

Halaman Penetapan Tim Penguji ii

Halaman Pernyataan Keaslian Tesis iii

Abstrak iv

Abstract v

Kata Pengantar vi

Daftar Isi ix

Daftar Tabel xi

Daftar Gambar xii

Daftar Lampiran xiii

Daftar Istilah xiv

Riwayat Hidup xv

Pendahuluan 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 6

Tinjauan Pustaka 7

Rumah Sakit 7 7

Tarif Rumah Sakit 8 9

Pengertian tarif rumah sakit 8 9

Tujuan penetapan tarif 9 10

Faktor-faktor yang mempengaruhi 10

Pembiayaan Kesehatan 13 14

BPJS Kesehatan 18 19

INA-CBG’s 19 20

Pengertian INA-CBG’s 19 20

Sistem INA-CBG’s 21 22

Mekanisme pembayaran berdasarkan case-mix 21

Apendisitis 23 24

Definisi apendisitis 23 24

Klasifikasi apendisitis 24

Pemeriksaan penunjang apendisitis 26

Penatalaksanaan apendisitis 27

Clinical Pathway apendisitis 29

Kerangka Teori 30

Kerangka Konsep 32

(13)

x

Metode Penelitian 33

Jenis Penelitian 33

Lokasi dan Waktu Penelitian 33

Populasi dan Sampel 33

Metode Pengumpulan Data 34

Variabel dan Definisi Operasional 34

Metode Pengukuran 35

Metode Analisis Data 35

Hasil Penelitian 38

Deskripsi Lokasi Penelitian 38

Sejarah RS Bhayangkara Tk II Medan 38

Visi dan misi RS Bhayangkara Tk II Medan 38

Fasilitas RS Bhayangkara Tk II Medan 38

Struktur organisasi RS Bhayangkara Tk II Medan 41

Operasional RS Bhayangkara Tk II Medan 41

Tahapan dalam Perhitungan ABC 42

Perhitungan Unit Cost Menggunakan Metode ABC 49

Kasus apendiktomi 49

Kasus apendiktomi laparotomi 55

Perhitungan Tarif Riil Rumah Sakit 62

Kasus apendiktomi 62

Kasus apendiktomi laparotomi 63

Perbandingan Unit Cost, Tarif Riil, Tarif INA-CBG’s 64

Pembahasan 66

Perhitungan Unit Cost dengan Metode ABC 66

Kasus apendiktomi 72

Kasus apendiktomi laparotomi 79

Perhitungan Tarif Riil Rumah Sakit 89

Kasus apendiktomi 89

Kasus apendiktomi laparotomi 90

Perbandingan Unit Cost, Tarif Riil, Tarif INA-CBG’s 92

Upaya RS dalam Menghadapi Perbedaan Biaya 95

Implikasi Penelitian 98

Keterbatasan Penelitian 99

Kesimpulan dan Saran 100

Kesimpulan 100

Saran 100

Daftar Pustaka 102

Lampiran 106

(14)

xi Daftar Tabel

No Judul Halaman

1 Aspek Pengukuran Variabel 35

2 Fasilitas Ruang/Kelas Perawatan 39

3 Fasilitas Lanjutan Jenis Pelayanan Kesehatan 39

4 Distribusi Jenis Tenaga Kerja 40

5 Biaya dan Tenaga Kesehatan RS 43

6 Biaya BHP IGD RS 44

7 Biaya BHP Apendiktomi di IBS 44

8 Biaya BHP Apendiktomi Laparotomi di IBS 45

9 Biaya BHP Apendiktomi di Kelas III 46

10 Biaya BHP Apendiktomi Laparotomi di Kelas III 47

11 Pengelompokan Biaya dan Cost Driver di RS 48

12 Unit Cost Apendiktomi 53

13 Total Unit Cost Apendiktomi 55

14 Unit Cost Apendiktomi Laparotomi 60

15 Total Unit Cost Apendiktomi Laparotomi 61

16 Perhitungan Biaya Riil RS Apendiktomi 62

17 Perhitungan Biaya Riil RS Apendiktomi Laparotomi 63 18 Perbandingan Unit Cost, Biaya Riil dan Tarif INA-CBG’s 64

(15)

xii

Daftar Gambar

No. Judul Halaman

1 Contoh CP apendisitis akut 30

2 Kerangka teori 31

3 Kerangka konsep 32

4 Grafik jenis tenaga di RS Bhayangkara Tk II Medan 40 5 Struktur organisasi di RS Bhayangkara Tk II Medan 41

6 BOR RS Bhayangkara Tk II Medan 41

7 LOS RS Bhayangkara Tk II Medan 42

(16)

xiii

Daftar Lampiran

Lampiran Judul Halaman

1 Daftar Pasien Apendisitis Tahun 2018 106

2 Biaya Depresiasi Fasilitas IGD 109

3 Biaya Depresiasi Fasilitas IBS 110

4 Biaya Depresiasi Fasilitas Kelas III 111

5 Surat Selesai Penelitian 112

6 Dokumentasi Penelitian 113

(17)

xiv Daftar Istilah

ABC Activity Based Costing BOR Bed Occupation Rate

BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial CMG Casemix Main Groups

CP Clinical Pathway Depkes Departemen Kesehatan FFS Fee For Services

FKRTL Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lnanjutan ICD International Classification Disease

INA-CBG’s Indonesian Case Based Group JKN Jaminan Kesehatan Nasional LED Laju Endap Darah

LOS Length Of Stay

Permenkes Peraturan Menteri Kesehatan PPK Penyedia Pelayanan Kesehatan

RS Rumah Sakit

SJSN Sistem Jaminan Sosial Nasional TNI Tentara Nasional Indonesia UGD Unit Gawat Darurat

UNU United Nation University USG Ultrasonografi

UU Undang Undang

VIP Very Important Person WHO World Health Organization

(18)

xv Riwayat Hidup

Penulis bernama Jimy Fran berumur 24 tahun dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 11 Februari 1995 beragama Kristen Protestan. Penulis anak ketiga dari pasangan Stophen Sipahutar, S.H. dan Dra. Erpita, M.Pd. Penulis berstatus belum menikah.

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di SD Cendana dan lulus pada Tahun 2006, SMP Cendana dan lulus pada Tahun 2009, SMAN 5 Pekanbaru dan lulus pada Tahun 2009. Penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia dan lulus pada Tahun 2018. Pada Tahun 2017, penulis melanjutkan kuliah di program studi S-2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Peminatan Administrasi Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis mulai bekerja pada Tahun 2018 sebagai dokter internship di RSUD Aek Kanopan Kabupaten Labuhan Batu Utara sampai sekarang.

Medan, Agustus 2019

Jimy Fran

(19)

1

Kesejahteraan warga di suatu negara tidak hanya dilihat dari tingkat pendidikan yang dimiliki, tetapi juga bagaimana tingkat kesehatan warga di negara tersebut. Kesehatan merupakan kebutuhan manusia yang utama, oleh karena itu pembangunan di bidang kesehatan perlu dilaksanakan. Pembangunan kesehatan merupakan pembangunan nasional maka pemerintah sebagai institusi tertinggi yang bertanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan harus memenuhi kewajiban dalam penyediaan sarana pelayanan kesehatan. Pelaksanaan pembangunan di bidang kesehatan melibatkan seluruh warga negara Indonesia, karena pembangunan kesehatan mempunyai hubungan yang dinamis dengan sektor lainnya (Walintukan, 2017).

Rumah sakit (RS) adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan rawat darurat. Hakikat dasar rumah sakit adalah pemenuhan kebutuhan dan tuntutan pasien yang mengharapkan penyelesaian masalah kesehatannya pada rumah sakit. Pasien memandang bahwa hanya rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan medis sebagai upaya penyembuhan dan pemulihan atas rasa sakit yang dideritanya.

Pasien mengharapkan pelayanan yang siap, cepat, tanggap, dan nyaman terhadap keluhan penyakit pasien (UU RI, 2009).

Program BPJS yang dilaksanakan di rumah sakit memakai sistem Casemix INA-CBG’s (Indonesia Case Based Groups).Yang disebut dengan sistem casemix

(20)

adalah pengelompokan diagnosis dan prosedur dengan mengacu pada ciri klinis yang mirip/sama dan biaya perawatan yang mirip/sama, pengelompokan dilakukan dengan menggunakan grouper. Terdapat 3 komponen penting dalam sistem casemix, yaitu: ICD (International Classification Disease) 10 untuk pengkodean diagnosa, ICD 9 untuk prosedural tindakan yang dilakukan, dan kelompok biaya (Permenkes, 2014).

Perkembangan teknologi informasi yang cepat ditambah dengan kompetisi global yang semakin ketat menuntut semua jenis perusahaan, termasuk rumah sakit, agar dapat mengelola perusahaannya secara efektif. Penentuan tarif dengan metode tradisional dianggap tidak mampu mengatasi berbagai kesulitan dalam menentukan tarif di rumah sakit. Menurut Mulyadi (2007), ada beberapa metode analisa biaya yang dikembangkan, yaitu: simple distribution, step down method, double distribution, multiple distribution, activity based costing, dan real cost method.

Terdapat tiga pengembangan yang dapat diadopsi rumah sakit agar tetap memiliki keuntungan kompetitif dibandingkan penyedia layanan jasa kesehatan lain, yakni meningkatkan cost-effectiveness tanpa mengurangi kualitas layanan, memiliki aliran data dan informasi yang membantu dalam pengoptimalan sumber daya, serta menciptakan pilihan baru dalam peningkatan kualitas layanan.Activity based costing (ABC) adalah salah satu metode alternatif yang melingkupi ketiga pengembangan tersebut. Metode ABC adalah metode yang menggunakan aktivitas sebagai dasar penggolongan biaya untuk menentukan tarif. Metode ABC membebankan activity cost ke produk atau jasa berdasarkan konsumsi yang

(21)

digunakan sehingga memberikan informasi tarif yang lebih akurat (Islahuzzaman, 2014).

Apendisitis di masyarakat sering dikenal dengan sebutan penyakit usus buntu. Apendisitis akut termasuk masalah pembedahan yang paling sering dan apendiktomi merupakan salah satu operasi darurat yang sering dilakukan di seluruh dunia. Batasan apendisitis akut adalah apendisitis yang terjadi secara akut yang memerlukan intervensi bedah, biasanya memiliki durasi tidak lebih dari 48 jam (Craig, 2014), Apendisitis akut nantinya akan menjadi apendisitis perforasi dan menyebabkan 67% kematian pada kasus-kasus yang terjadi (Paudel et al., 2010).

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2004, diketahui bahwa apendisitis diderita oleh 418 juta jiwa di seluruh dunia, 259 juta jiwa darinya adalah laki-laki dan selebihnya adalah perempuan, dan mencapai total 118 juta jiwa di kawasan Asia Tenggara. Di Amerika, hasil survei melaporkan angka insidensi apendisitis, dimana terdapat 11 kasus apendisitis pada setiap 1000 orang (Dahmardehei, 2013). Selain itu, Menurut Departemen Kesehatan RI tahun 2009, apendisitis terdaftar dalam 10 penyakit terbanyak pada pasien opname di RS yang ada di berbagai wilayah Indonesia dengan total kejadian 30.703 kasus dan 234 jiwa yang meninggal akibat penyakit ini.

RS Bhayangkara Tk II Medan merupakan rumah sakit kepolisian kelas B di Sumatera Utara yang menerima pelayanan apendiktomi pada pasien apendisitis dengan peserta JKN INA-CBG’s. Tindakan apendiktomi pada kasus ini termasuk salah satu tindakan bedah yang paling banyak dilakukan di Instalasi Bedah Sentral

(22)

(IBS) RS Bhayangkara Tk II Medan, peringkat kedua setelah section caesarea (sc). Kasus ini setiap tahunnya semakin meningkat sehingga sebagian besar dana yang dikeluarkan digunakan untuk biaya pasien apendisitis.

Pada survei pendahuluan diperoleh sampel data pada 48 pasien apendisitis rawat inap peserta JKN tahun 2018 yang telah dihitung klaimnya menggunakan paket INA-CBG’s. Pasien apendisitis tersebut tersebar pada kelas perawatan yang berbeda, mulai dari kelas I sampai kelas III. Data menunjukkan bahwa pasien apendisitis kelas I berjumlah 14 orang, kelas II berjumlah 21 orang dan kelas III berjumlah 13 orang. Data tersebut juga memperlihatkan perbedaan tarif paket INA-CBG’s dengan tarif riil RS. Dapat diketahui bahwa total selisih klaim yang dibayarkan oleh BPJS pada prosedur apendisitis sebesar Rp 152.865.277. Selain data tersebut, juga diperoleh informasi bahwa pada tahun 2017 terdapat 2370 pasien yang dirawat inap dengan sebaran pasien terbanyak pada pelayanan Penyakit Dalam, Obgyn, dan Bedah.

Walintukan (2017) setuju dengan penelitian ini dimana beliau menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang cukup nyata antara biaya pelayanan kesehatan dengan sistem pembayaran INA-CBG’S dan tarif riil Rumah Sakit pada pasien bedah di RS Gunung Maria Tomohon. Kesumah (2019) dalam penelitiannya yang berjudul “Perbandingan Perhitungan Unit Cost Pelayanan Medis dengan Metode Konvensional vs ABC di Klinik Agnesia” menyatakan bahwa terdapat perbedaan biaya pasien kecelakaan yang dihitung dengan menggunakan metode ABC.

Menurut publikasi Hidayat (2016) tentang “Analisis Unit Cost Tindakan Apendiktomi Menggunakan Metode ABC” di RS PKU Muhammadiyah

(23)

Yogyakarta diketahui bahwa unit cost tindakan apendiktomi secara laparotomi adalah sebesar Rp. 5,459,803 dan secara laparoskopi sebesar Rp. 6,626,222.

Kedua biaya ini lebih bernilai lebih kecil daripada real cost di di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang berjumlah Rp. 6.902.000 untuk laparotomi dan Rp. 7.382.500 untuk laparoskopi.

Berdasarkan data di atas, peneliti tidak mendapatkan rincian biaya berdasarkan aktivitas, sehingga peneliti merasa perlu melakukan analisis unit cost melalui penelitian yang berjudul “Analisis Perbandingan Pembiayaan Apendiktomi Menggunakan Metode ABC Terhadap Biaya Riil Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s di RS Bhayangkara Medan Tahun 2018”.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, pmaka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu: 1) Bagaimana menghitung unit cost apendiktomi menggunakan metode ABC. 2) Bagaimana perbandingan pembiayaan apendiktomi menggunakan metode ABC, biaya riil RS, dan tarif INA-CBG’s.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum. Untuk menganalisis perbandingan pembiayaan apendiktomi menggunakan metode ABC terhadap tarif riil dan tarif INA-CBG’s di Rumah Sakit Bhayangkara Medan.

Tujuan khusus. Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk: 1) mengetahui unit cost kasus apendisitis akut dan perforasi menggunakan metode ABC, 2) mengetahui selisih hasil unit cost dengan biaya riil RS, 3) mengetahui selisih hasil unit cost dengan klaim INA-CBG’s, 4) menemukan aktivitas yang

(24)

merugikan rumah sakit dalam penatalaksanaan kasus apendisitis akut dan perforasi.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah menjadi masukan bagi pihak manajemen rumah sakit dalam menentukan tindakan dan penatalaksanaan yang tepat pada pasien apendisitis rawat inap dan menjadi masukan bagi pemerintah kesehatan dalam evaluasi menetapkan klaim pembiayaan.

(25)

7

Pengertian Rumah Sakit yang tertulis dalam Undang-Undang RI No 44 tahun 2009 yaitu Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Beberapa fungsi Rumah Sakit adalah sebagai berikut : penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit, pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan, penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

Klasifikasi Rumah Sakit dibagi menjadi 2 jenis yaitu : a) Rumah Sakit Publik, yaitu Rumah Sakit yang dikelola oleh pemerintah (termasuk pemerintah daerah) dan badan hukum lain yang bersifat nirlaba. Rumah Sakit publik meliputi:

Rumah Sakit milik Departemen Kesehatan, milik Pemerintah Daerah Propinsi, milik Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, milik Tentara Nasional Indonesia (TNI), milik Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan milik Departemen di luar Departemen Kesehatan (termasuk milik Badan Usaha Milik Negara seperti Pertamina), b) Rumah Sakit Privat, yaitu Rumah Sakit yang dikelola oleh badan

(26)

hukum dengan tujuan profit yang berbentuk perseroan terbatas atau persero, Rumah Sakit privat meliputi: Rumah Sakit milik yayasan, milik perusahaan, milik penanam modal (dalam negeri dan luar negeri), dan milik badan hukum lain.

Pada Peraturan Menkes RI no 340 tahun 2010 Rumah Sakit juga diklasifikasikan sesuai dengan beban kerja dan fungsi. Klasifikasi untuk Rumah Sakit pemerintah adalah Rumah Sakit kelas A yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dan sub-spesialistik luas, Rumah Sakit kelas B yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik sekurang- kurangnya 11 spesialistik dan sub-spesialistik terbatas, Rumah Sakit kelas C yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik 4 spesialistik dasar, Rumah Sakit kelas D mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar. Rumah Sakit umumnya menyelenggarakan banyak pelayanan. Lengkapnya

sebuah Rumah Sakit menyelenggarakan empat kelompok dasar pelayanan, yaitu:

(a) diagnosis dan pengobatan (rawat jalan, rawat darurat, laboratorium, dan rawat inap), (b) pencegahan (pemeriksaan kesehatan, konseling), (c) promosi kesehatan (dalam gedung, luar gedung), dan (d) pemulihan (rehabilitasi medik fisik dan jiwa).

Tarif Rumah Sakit

Pengertian tarif rumah sakit. Tarif adalah nilai suatu jasa pelayanan yang ditetapkan dengan ukuran sejumlah uang berdasarkan pertimbangan bahwa dengan nilai uang tersebut sebuah rumah sakit bersedia memberikan jasa kepada pasien.

Tarif Rumah Sakit merupakan aspek yang sangat diperhatikan oleh Rumah Sakit swasta juga oleh rumah sakit milik pemerintah. Bagi sebagian Rumah Sakit

(27)

pemerintah, tarif memang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menkes atau Pemerintah Daerah. Hal ini menunjukkan adanya kontrol ketat pemerintah sebagai pemilik terhadap Rumah Sakit sebagai firma atau pelaku usaha. Akan tetapi disadari bahwa tarif pemerintah umumnya mempunyai cost-recovery (pemulihan biaya) yang rendah. Apabila tarif mempunyai tingkat pemulihan biaya rendah diberlakukan pada kelas pelayanan bawah (misal kelas III) maka hal tersebut merupakan sesuatu yang layak, sehingga terjadi subsidi pemerintah bagi masyarakat miskin untuk menggunakan pelayanan Rumah Sakit. Akan tetapi, apabila tingkat pemulihan biaya ternyata juga rendah untuk kelas VIP misalnya, maka dapat terjadi subsidi untuk masyarakat atas. Adanya kebijakan swadana telah memberikan wewenang penetapan tarif pada direktur Rumah Sakit, khususnya untuk bangsal VIP dan kelas I yang tidak banyak mempengaruhi orang miskin. Oleh karena itu, pemahaman mengenai konsep tarif perlu diketahui oleh para manajer Rumah Sakit (Dumaris, 2016).

Tujuan penetapan tarif. Menurut Dumaris (2016), penanganan penetapan tarif dan tujuan penetapan tersebut dipengaruhi oleh pemiliknya.

Dengan latar belakang kepemilikan tersebut, tarif dapat ditetapkan dengan berbagai tujuan sebagai berikut:

Penetapan tarif untuk pemulihan biaya. Keadaan ini terutama terdapat pada rumah sakit pemerintah yang semakin lama semakin berkurang subsidinya.

Penetapan tarif untuk subsidi silang. Adanya kebijakan agar masyarakat ekonomi kuat dapat ikut meringankan pembiayaan pelayanan rumah sakit bagi masyarakat ekonomi lemah.

(28)

Penetapan tarif untuk meningkatkan akses pelayanan. Kebijakan penetapan tarif serendah mungkin sehingga diharapkan dengan tarif rendah ini maka akses akan baik atau mudah terutama bagi orang miskin.

Penetapan tarif untuk meningkatkan mutu pelayanan. Kebijakan penetapan tarif pada bangsal VIP yang dilakukan berdasarkan pertimbangan untuk meningkatkan mutu layanan dan juga peningkatan kepuasan kerja dokter spesialis.

Penetapan tarif untuk mengurangi pesaing. Hal ini dapat dilakukan untuk mencegah adanya rumah sakit baru yang akan menjadi pesaing.

Penetapan tarif untuk memperbesar keuntungan. Hal ini dapat dilakukan pada pasar rumah sakit yang cenderung dikuasai satu rumah sakit (monopoli) dengan tujuan memaksimalkan pendapatan.

Penetapan tarif yang bertujuan untuk minimalisasi penggunaan pelayanan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengurangi pemakaian alat kesehatan dan obat-obatan.

Penetapan tarif dengan tujuan untuk meningkatkan citra rumah sakit.

Hal ini juga membantu rumah sakit dalam meningkatkan jumlah kunjungan berobat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penetapan tarif rumah sakit.

Menurut Lubis (2014), penetapan tarif di rumah sakit perlu memperhatikan beberapa faktor-faktor di bawah ini:

Biaya satuan. Informasi mengenai biaya satuan adalah informasi yang mengambarkan besarnya biaya pelayanan per pasien (besar pengorbanan faktor

(29)

produksi untuk menghasilkan pelayanan). Informasi ini merupakan informasi pertama yang digunakan untuk menetapkan tarif, dimana juga dapat dimanfaatkan untuk menilai skala ekonomi dihasilkan.

Jenis pelayanan tingkat pemanfaatan dan subsidi silang yang diharapkan. Jenis pelayanan dan tingkat pemanfaatan merupakan salah satu faktor penting yang diperhatikan dalam penyesuaian tarif dimana rumah sakit terdiri dari berbagai unit. Setiap unit dirumah sakit mempunyai jenis pelayanan dan tingkat pemamfaatan yang berbeda-beda. Dalam satu rumah sakit untuk tiap unit mempunyai tingkat pemamfaatan yang rendah karena berbagai kendala rumah sakit (misalnya BOR rendah, kunjungan rendah, jumlah output layanan yang rendah, dll) adalah lebih sulit untuk menaikkan tarifnya.

Tingkat kemampuan masyarakat. Salah satu persyaratan dalam penetapan tarif rumah sakit adalah mempertimbangkan kemampuan membayara masyarakat diukur dengan cara melihat ATP (ability to pay) serta WTP (willingness to pay) masyarakat. Bila masyarakat mepunyai kemampuan membayar rendah dan tingkat utilisasi selama ini rendah, maka akan sulit bagi rumah sakit untuk menaikkan tarifnya.

Tarif pelayanan pesaing yang setara. Meskipun telah menghitung biaya satuan dan tingkat kemampuan masyarakat, rumah sakit perlu juga membandingkan tarif pelayanan kesehatan dengan pesaing yang setara. Misalnya tarif poliklinik swasta, praktik bidan swasta, tarif praktik dokter, tarif rawat inap rumah sakit swasta, tarif rawat jalan rumah sakit swasta dan lain–lain. Faktor penting untuk pembanding adalah kualitas pelayanan yang diberikan bisa bersaing

(30)

dengan pesaing yang memiliki tarif serupa namun kualitas pelayanan yang berbeda pula.

Elastisitas. Perubahan tarif akan memnyebabkan perubahan permintaan produk yang diminta atau yang ditawarkan, bila rumah sakit memiliki pengalaman dalam perubahan tarif dan memiliki data pendukung angka jumlah kunjungan sebelum dan setelah perubahan tarif.

Metode dan cara penetapan tarif. Menurut Lubis (2014) ada beberapa langkah yang dilakukan dalam penetapan tarif di rumah sakit :

Melakukan analisis biaya satuan ( unit cost/ UC). Analisis biaya satuan adalah daftar biaya satuan untuk berbgai produk rumah sakit. Pada rumah sakit subsidi, maka produk-produk yang mendapatkan subsidi tersebut dengan nilai unit cost dikurangi dengan elemen biaya yang disubsidi. Misalnya produk pelayanan untuk kelas III pada rumah sakit swadana, unit cost nya dikurangi dengna biaya investasi dan biaya gaji, sedangkan kelas lainnya tidak dikurangi.

Menghitung revenue break even dengan UC tanpa subsidi silang. Dalam menghitung break even perlu dilakukan proyeksi tingkat utilisasi untuk tahun mendatang. Hal tersebut dapat dilakukan dengan dasar tingkat utilisasi untuk tahun mendatang. Hak tersebut dapat dilakukan dengan dasar tingkat utilisasi untuk mendatang yang dapat dilakukan atas dasar tingkat utilisasi pada tahun- tahun sebelumnya.

Menentukan tingkat revenue yang diinginkan. Menetukan jumlah dana yang akan diperoleh tahun mendatang. Misalnya untuk jasa medis (dibebankan langsung pada unit produksi yang bersangkutan), insentif untuk staf penunjang, perbaikan penampilan fisik layanan akan dibebankan pada VIP, Kelas I dan II.

(31)

Alternatif dengan subsidi silang dan tingkat revenue yang diinginkan.

Tetapkan tarif pada masing-masing unit produksi. Tarif baru ini besarnya adalah unit cost ditambah rata-rata beban (jasa medis, insentif, dana lain yang dibagi rata dengan perkiraan jumlah pelayanan pada tahun mendatang). Pada langkah ini sudah bisa diterapkan subsidi silang. Misalnya kelas III tidak dibebani biaya insentif, atau perbaikan penampilan pelayanan, dan volume biaya tersebut dipindahkan ke kelas VIP, Kelas I dan II.

Tarif dengan pertimbangan kemapuan membayar. Analisis kemungkinan tingkat utilisasi yang akan terjadi apabila tarif tersebut diberlakukan. Yang penting adalah bagaimana memperkirakan kemampuan membayar.

Pembiayaan Kesehatan

Pelayanan dan pembiayaan kesehatan merupakan dua hal yang saling berhubungan. Biaya kesehatan adalah banyaknya dana yang disiapkan untuk proses penyelenggaraan dan pemanfaatan upaya kesehatan yang dibutuhkan baik secara perorangan maupun kelompok masyarakat. Pengertian ini melihat biaya kesehatan dari dua sisi, sebagai yang menyediakan pelayanan kesehatan (health provider) dan yang memakai jasa pelayanan kesehatan (health consumer). Biaya dapat dikelompokkan menurut fungsinya dalam proses produksi, yaitu:

Biaya langsung. Biaya langsung (direct cost) yaitu biaya yang terjadi, yang penyebab satu-satunya adalah karena adanya sesuatu yang dibiayai. Contoh biaya langsung yang dapat dilihat pada pelayanan kesehatan adalah biaya yang dikeluarkan pada pelayanan rawat jalan, rawat inap, ICU.

Biaya tidak langsung. Biaya tidak langsung (indirect cost) yaitu biaya terjadinya tidak hanya disebabkan oleh sesuatu yang dibiayai. Contoh dari biaya

(32)

tidak langsung antara lain adalah biaya alat tulis, administrasi, transportasi (Mulyadi, 2007).

Dalam pelayanan kesehatan sangat diperlukan pembiayaan kesehatan yang kuat dan stabil. Hal ini berguna untuk mencapai berbagai tujuan pembangunan kesehatan di suatu negara, diantaranya adalah memeratakan pelayanan kesehatan di setiap daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan. Karenanya, reformasi kebijakan kesehatan harus fokus pada pembiayaan kesehatan agar dapat terselenggara kecukupan (adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency), dan efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri (Setyawan, 2018).

Dalam pembiayaan kesehatan harus melihat bagaimana pemanfaatan biaya yang efektif dan efisien baik dari aspek ekonomi maupun social sehingga masyarakat mampu menikmati sesuai kebutuhannya. Karena itu ada beberapa

syarat pokok yang harus saling berhubungan dalam pembiayaan kesehatan:

1) Jumlah yang harus cukup dalam setiap pelayanan yang dilakukan sehingga tidak menyulitkan masyarakat saat memanfaatkannya, 2) Menyesuaikan penyebaran dengan kebutuhan yang ada dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan di masyarakat, 3) Mencapai efektifitas dan efisiensi yang ada dalam pembiayaan kesehatan dengan mengatur pemanfaatan secara tepat. Pembiayaan kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai cara: 1) Out of pocket, dengan cara mengeluarkan uang dari kantong masyarakat sendiri, 2) Dibiayai oleh perusahaan tempat dimana pasien melakukan pekerjaan, 3) Pasien yang bergabung dalam asuransi akan dibiayai oleh perusahaan asuransi tersebut, 4) Individu atau

(33)

lembaga sosial yang menyumbangkan sebagian hartanya (Charity), 5) Dibayarkan oleh pemerintah menggunakan anggaran yang telah ditetapkan

untuk pelayanan masyarakat.

Sumber dalam membiayai pelayanan kesehatan:

Pemerintah. Dana didapatkan dari pajak umum dan pajak penjualan,

pinjaman luar negeri (deficit financial), dan asuransi sosial baik pada pusat maupun daerah.

Swasta. Didapat melalui perusahaan, asuransi kesehatan swasta,

sumbangan sosial, pengeluaran rumah tangga, serta communan self help (Sihombing, 2015).

Anggaran kesehatan yang telah ditetapkan harus mencapai 15% dari APBN. Indonesia meningkatkan anggaran kesehatan hingga tiga kali lipat dari tahun sebelumnya sejumlah Rp 18,8 triliun. Sekitar 54,1% dari dana itu dipakai untuk membeli obat dan alat kesehatan. Sementara pada UU Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN telah mengatur pembiayaan dengan sistem asuransi (Sitorus, 2017).

Perhitungan biaya unit cost dengan ABC (Activity Based Costing).

Metode Activity Based Costing adalah sistem akumulasi biaya dan pembebanan biaya ke produk dilakukan dengan menelusuri biaya dari aktivitas dan setelah itu menelusuri biaya dari aktivitas ke produk (Mulyadi, 2014).

Sistem ABC memperbaiki sistem kalkulasi biaya dengan mengidentifikasi aktivitas individual sebagai objek pokok (fundamental). Produk memerlukan aktivitas-aktivitas dalam mengkonsumsi sumber daya. Aktivitas bisa berupa

(34)

kejadian, tugas, atau unit kerja dengan tujuan khusus, sebagai contoh perancangan produk, penyetelan mesin, pengoperasian mesin, dan pendistribusian produk.

Sistem ABC menghitung biaya setiap aktivitas serta membebaskan biaya ke objek biaya seperti produk dan jasa berdasarkan aktivitas yang dibutuhkan untuk menghasilkan tiap produk atau jasa.

Keunggulan metode ABC (Activity Based Costing). Menurut Islahuzzaman (2014), keunggulan dari sistem activity based costing sebagai berikut : 1) Sistem Activity Based Costing (ABC) menghasilkan informasi biaya produk yang lebih dapat diandalkan daripada sistem tradisional, 2) Sistem Activity Based Costing (ABC) menggunakan aktivitas sebagai basis penggolongan biayayang memberikan informasi bagi para pengambil keputusan untuk mengontrol kinerja perusahaannya, 3) Adanya penelusuran aktivitas-aktivitas yang menimbulkan elemen biaya sehingga profitabilitas yang diperoleh dapat lebih mengoptimalkan personel perusahaan dalam mengelola aktivitas, yang

nantinya dapat lebih mengefisienkan pembiayaan dalam proses produksi.

4) Menghasilkan penetapan biaya produksi yang lebih akurat dibanding dengan sistem tradisional sehingga menolong perusahaan dalam mengelola keunggulan kompetitif yang dimiliki, 5) Penentuan harga jual per jenis produk akan lebih tepat sehingga perusahaan tidak salah menetapkan harga jual yang kompetitif untuk suatu jenis produk tertentu, 6) Mendeteksi dan menghitung biaya tidak langsung karena dalam sistem biaya konvensional dan ABC tidak berbeda dalam menentukan beban biaya bahan langsung dan tenaga kerja langsung.

Penerapan ABC (Activity Based Costing). Berikut adalah langkah- langkah dalam menerapkan metode Activity Based Costing (ABC) menurut Horngren (2006), yaitu:

(35)

Mengidentifikasi produk yang menjadi objek biaya. Objek biaya adalah produk atau jasa. Tujuan yang pertama adalah menghitung total biaya, dan kedua menghitung biaya perunit dari merancang, membuat, serta mendistribusikan dari objek biaya tersebut.

Mengidentifikasi biaya langsung produk. Objek biaya diidentifikasi biaya langsungnya yakni biaya bahan langsung dari objek biaya tersebut, biaya perawatan, biaya pembersihan alat-alat dan sebagainya yang berhubungan langsung dengan produk atau jasa.

Mengidentifikasi biaya tidak langsung yang berkaitan dengan setiap dasar alokasi biaya. Pada langkah ini biaya overhead yang ditanggung produk atau jasa dibebankan ke aktivitas berdasarkan hubungan sebab akibat antara dasar alokasi biaya untuk suatu aktivitas dan biaya aktivitas. Sebagai contoh semua biaya yang memiliki hubungan sebab akibat dengan kemasan yang dipindahkan dalam ukuran meter kubik dibebankan ke pool biaya distriibusi. Tentu saja, kuat lemahnya hubungan sebab akibat antara dasar alokasi biaya dan biaya aktivitas berbeda-beda antar pool biaya. Sebagai contoh, hubungan sebab akibat antara jam tenaga kerja manufaktur langsung dan biaya aktivitas administrasi tidak sekuat hubungan antara jam penyetelan dan biaya aktivitas penyetelan.

Beberapa biaya langsung diidentifikasi dengan aktivitas tertentu. Sebagai contoh, biaya bahan yang digunakan ketika mendesain produk, gaji yang dibayarkan kepada teknisi desain, dan penyusutan peralatan yang digunakan dalam depatemen desain bisa diidentifikasi langsung dengan aktivitas desain.

Intinya adalah bahwa semua biaya tidak harus sesuai dengan kategori aktivitas.

(36)

Seringkali, biaya dialokasikan terlebih dahulu ke aktivitas sebelum biaya aktivitas tersebut dapat dialokasikan ke produk.

Menghitung total biaya produk dengan menambahkan semua biaya langsung dan tidak langsung. Pada langkah ini biaya langsung dan biaya tidak langsung dihitung secara keseluruhan sehingga didapati total biaya yang merupakan produk atau jasa tersebut.

BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)

Menurut Permenkes No 76 Tahun 2016, jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya di bayarkan oleh pemerintah. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai Badan Pelaksana merupakan badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tujuan diberlakukannya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Program tersebut juga memberikan banyak manfaat, yaitu pelayanan kesehatan tingkat pertama yang mencakup pelayanan kesehatan non speasialistik dan pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan yang mencakuppelayanan kesehatan rawat jalan (Thabrany, 2015).

Pada hakekatnya pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan bersama oleh Pemerintah Pusat dan

(37)

Pemerintah Daerah. Pemerintah Provinsi / Kabupaten / Kota berkewajiban memberikan kontribusi sehingga menghasilkan pelayanan yang optimal. Jaminan yang diberikan ke peserta dalam bentuk pelayanan kesehatan yang bersifat menyeluruh (komprehensif) berdasarkan kebutuhan medik sesuai dengan standar pelayanan medik yang “cost effective” dan rasional, bukan berupa uang tunai (Kemenkes RI, 2010).

Undang-undang (UU) No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, pasal 2 dan 3 UU ini menyatakan bahwa tujuan penjaminan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Pasal 17 UU ini mengatur sumber pembiayaan program jaminan sosial sebagaimana dinyatakan dalam butir 4, iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh pemerintah. Pasal 19 menyatakan bahwa jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial.

Indonesia Case Base Groups (INA-CBG’s)

Pengertian INA-CBG’s. Sistem casemix pertama kali dikembangkan di Indonesia pada Tahun 2006 dengan nama INA-DRG (Indonesia-Diagnosis Related Group). Implementasi pembayaran dengan INA-DRG dimulai pada 1 September 2008 di 15 rumah sakit milik Kementerian Kesehatan RI, dan pada 1 Januari 2009 diperluas untuk seluruh rumah sakit yang bekerja sama menjadi penyedia pelayanan kesehatan dalam program Jamkesmas. Pada tanggal 31 September 2010 dilakukan perubahan nomenklatur dari INA-DRG menjadi INA- CBG (Indonesia Case Based Group) seiring dengan perubahan dari 3M Grouper

(38)

ke UNU (United Nation University) Grouper. Kemudian, dengan implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dimulai 1 Januari 2014, sistem INA- CBG kembali digunakan sebagai metode pembayaran pelayanan baik rawat jalan maupun rawat inap kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) (Permenkes, 2016).

Perhitungan biaya perawatan pada sistem ini dilakukan berdasarkan diagnosis akhir pasien saat dirawat inap di rumah sakit. Penerapan pembayaran CBG’s berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh beberapa rumah sakit untuk suatu diagnosis, besarnya biaya perawatan pasien dengan diagnosis akan berbeda apabila tipe rumah sakit tersebut berbeda (Thabrany, 2015).

Pembayaran CBG’s, rumah sakit maupun pihak pembayar (asuransi Jamkesmas) tidak lagi merinci tagihan pembayaran pasien dengan melakukan penagihan pada setiap jenis pelayanan apa saja yang telah diberikan kepada seorang pasien (Thabrany, 2015). Sistem pembayaran CBG’s adalah berdasarkan diagnosis pasien keluar perawatan. Rumah sakit mendapatkan penggantian biaya perawatan berdasarkan rata-rata biaya yang yang dihabiskan oleh rumah sakit dalam penatalaksanaan satu diagnosis penyakit. Sistem INA-CBG’s merupakan solusi untuk pengendalian biaya pelayanan kesehatan karena berhubungan dengan mutu, pemerataan, jangkauan dalam sistem kesehatan yang menjadi salah satu unsur dalam pembelanjaan kesehatan serta mekanisme pembayaran untuk pasien berbasis kasus campuran (Permenkes RI, 2016).

CBG’s adalah suatu sistem pemberian imbalan jasa pelayanan kesehatan pada penyedia pelayanan kesehatan (PPK) yang ditetapkan berdasarkan

(39)

pengelompokkan diagnosis penyakit. Diagnosis dalam CBG’s sesuai dengan ICD-9-CM (International Classification Disease NinthEdition Clinical Modification) dan ICD-10 (Hatta, 2016).

Dasar hukum implementasi dan pelaksanaan INA-CBG’s di Indonesia adalah Undang – Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN, serta Surat Keputusan Direktur Jendral Bina Upaya Kesehatan Nomor. HK.03.05/I/589/2011 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Center for Casemix Tahun 2011.

Sistem INA-CBG’s. Dalam pelaksanaan JKN, sistem INA-CBG merupakan salah satu instrumen penting dalam pengajuan dan pembayaran klaim pembayaran pelayanan kesehatan yang telah dilaksanakan oleh FKRTL yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, maka pihak manajemen maupun fungsional di setiap FKRTL tersebut perlu memahami konsep implementasi INA- CBG dalam program JKN. Sistem INA-CBG terdiri dari beberapa komponen yang saling terkait satu sama lain. Komponen yang berhubungan langsung dengan output pelayanan adalah clinical pathway, koding dan teknologi informasi, sedangkan secara terpisah terdapat komponen kosting yang secara tidak langsung mempengaruhi proses penyusunan tarif INA-CBG untuk setiap kelompok kasus (Permenkes, 2016).

Mekanisme pembayaran berdasarkan case-mix CBG’s. Pembiayaan kesehatan merupakan bagian yang penting dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pembiayaan kesehatan di fasilitas kesehatan diperoleh dengan dilakukannya pembayaran oleh penyelenggara asuransi kesehatan atas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta, yang

(40)

bertujuan untuk mendorong peningkatan mutu, mendorong layanan berorientasi pasien, mendorong efisiensi dengan tidak memberikan reward terhadap provider yang melakukan over treatment, under treatment maupun melakukan adverse event dan mendorong pelayanan tim. Dengan sistem pembiayaan yang tepat diharapkan tujuan diatas bisa tercapai.

Terdapat dua metode pembayaran Rumah Sakit yang digunakan yaitu metode pembayaran retrospektif dan metode pembayaran prospektif. Metode pembayaran retrospektif adalah metode pembayaran yang dilakukan atas layanan kesehatan yang diberikan kepada pasien berdasar pada setiap aktivitas layanan yang diberikan, semakin banyak layanan kesehatan yang diberikan semakin besar biaya yang harus dibayarkan. Contoh pola pembayaran retrospektif adalah Fee For Services (FFS). Metode pembayaran prospektif adalah metode pembayaran yang dilakukan atas layanan kesehatan yang besarannya sudah diketahui sebelum pelayanan kesehatan diberikan. Contoh pembayaran prospektif adalah global budget, perdiem, kapitasi dan case based payment (Peremenkes RI, 2014)

Perhitungan tarif INA-CBG’s berbasis pada data costing dan data koding rumah sakit. Data costing didapatkan dari rumah sakit terpilih (rumah sakit sampel) representasi dari kelas rumah sakit, jenis rumah sakit maupun kepemilikan rumah sakit (Rumah Sakit swasta dan pemerintah), meliputi seluruh data biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit, tidak termasuk obat yang sumber pembiayaannya dari program pemerintah (HIV, TB dan lainnya). Data koding diperoleh dari data koding rumah sakit PPK Jamkesmas untuk penyusunan tarif JKN digunakan data costing 137 Rumah Sakit pemerintah dan swasta serta 6 juta

(41)

data koding (kasus). Dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan, tarif INA-CBG’s adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan atas paket-paket pelayanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit yang besarannya ditetapkan dalam PMK No 59 tahun 2014.

Identifikasi dan laporan selisih adalah tahap pertama menuju pengendalian selisih dan perbaikan operasi. Suatu sistem biaya standar yang efektif mensyaratkan agar manajemen bereaksi secara tepat terhadap selisih karena selisih yang tidak terkoreksi dapat mempengaruhi perusahaan selama beberapa periode.

Besarnya selisih serta dampaknya pada operasi di masa mendatang mempengaruhi reaksi perusahaan terhadap selisih. Selisih kecil biasa terjadi dan sebagian besar tidak memerlukan perhatian khusus dari manajemen, kecuali ada pola tertentu. Selisih tidak menguntungkan kecil yang tetap, mungkin memerlukan perhatian manajemen karena efek kumulatifnya pada operasi bisa substansial dan bisa mencerminkan kemunduran operasi.

Apendisitis

Definisi. Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun . Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga abdomen dan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut (Petroianu, 2016).

(42)

Klasifikasi. Klasifikasi apendisitis saat ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

Apendisitis non komplikata. Terdapat 2 jenis apendisitis non komplikata yang sering terjadi:

Apendisitis Sederhana (Apendisitis Kataralis). Pada bentuk akut ini, mukosa apendik mengalami inflamasi, submukosa edema dan dikeliling oleh round cells sehingga bentuk apendik terlihat bengkak dan kaku. Proses peradangan terjadi di mukosa dan sub mukosa yang disebabkan oleh obstruksi.

Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen apendik dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa apendik jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala klinis diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilicus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada apendisitis kataral terjadi leukositosis dan apendik berukuran normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa. Apendisitis akut pada pemeriksaan histologi dijumpai adanya infiltrasi sel-sel limfosit dan neutrofil didalam lapisan otot apendik (Longo, 2012).

Apendisitis Purulenta (Apendisitis Supuratif). Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendik dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendik. Mikroorganisme yang ada di usus besar akan mengalami translokasi ke dalam dinding apendik menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada apendik dan mesoapendik terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat

(43)

fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik McBurney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Rasa nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum (Longo, 2012).

Apendisitis komplikata. Apendisitis komplikata dapat diartikan sebagai keadaan apendik yang gangrenosa, perforasi, abses maupun peritonitis. Pasien dengan apendisitis komplikata akan menunjukkan tanda–tanda infeksi sistemik.

Sementara itu pada anak-anak dan orang tua menunjukkan peningkatan risiko perforasi yang lebih tinggi, wanita mempunyai kemungkinan resiko yang lebih rendah untuk terjadinya apendisitis perforasi pada kasus apendisitis akut.

Keterlambatan diagnosis dan terapi pembedahan pada pasien dengan apendisitis akut menjadi penyebab utama terjadinya perforasi apendik.

Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien-pasien dengan

apendisitis perforasi yang mendapatkan tindakan bedah dapat mencapai 10x lipat. Saat ini pasien yang mempunyai resiko tinggi untukterjadinya

apendisitis perforasi adalah pasien yang usia sangat muda, pasien usiatua, pasien dengan penurunan sistem imun tubuh (Gomes et al, 2015).

Apendisitis Gangrenosa. Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulaiterganggu sehingga terjadi infark dan gangrene.

Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, apendik mengalami gangrene pada bagian tertentu. Dinding apendikberwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan cairan peritoneal yang purulent (Longo, 2012).

(44)

Apendisitis Perforasi. Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendik yang sudah gangrenosa yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendik tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik (Longo, 2012)

Pemeriksaan penunjang. Untuk menegakkan diagnosis, dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang berupa:

Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan ini dapat berupa: 1) Hitung jenis leukosit dengan hasil leukositosis. 2) Pemeriksaan urin dengan hasil sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju Endap Darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urin rutin penting untuk melihat apakah terdapat infeksi pada ginjal.

Pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan ini dapat berupa: 1) Apendikogram, dilakukan dengan cara pemberian kontras BaS04 serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara peroral dan diminum sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk dewasa, hasil apendikogram dibaca oleh dokter spesialis radiologi. 2) Ultrasonografi (USG), dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal, atau efusi pleura (Petroianu, 2016).

(45)

Penatalaksanaan apendisitis akut. Apendiktomi merupakan tindakan pembedahan untuk mengangkat apendiks dilakukan segera mungkin untuk mengurangi risiko perforasi. Apendisitis yang tidak tertangani segera maka dapat terjadi perforasi dan diperlukan tindakan operasi laparatomi. Apendiktomi terbuka dengan metode konvensional telah menjadi prosedur operasi standar untuk pengobatan apendisitis selama lebih dari satu abad dan bahkan hingga saat ini. (Brunner & Suddarth, 2013).

Terdapat beberapa langkah yang dilakukan dalam melakukan operasi apendiktomi terbuka, yaitu:

1. Penderita dalam posisi terlentang, ahli bedah dalam general anestesi.

Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada seluruh abdomen dan dada bagian bawah, kemudian lapangan operasi dipersempit dengan doek steril.

2. Dilakukan insisi dengan arah oblik melalui titik Mc Burney tegak lurus antara SIAS dan umbilikus (Irisan Gridiron), irisan lain yang dapat dilakukan adalah insisi tranversal dan paramedian.

3. Irisan diperdalam dengan memotong lemak dan mencapai aponeurosis muskulus Oblikus Abdominis Ekternus (MOE).

4. MOE dibuka sedikit dengan skalpel searah dengan seratnya, kemudian diperlebar ke lateral dan ke medial dengan pertolongan pinset anatomi.

Pengait luka tumpul dipasang di bawah MOE, tampak di bawah MOE muskulus Oblikus Internus (MOI).

5. MOI , kemudian dibuka secara tumpul dengan gunting atau klem arteri searah dengan seratnya sampai tampak lemak peritoneum, dengan haak Langen Back otot dipisahkan. Pengait dipasang di bawah muskulus tranversus abdominis.

(46)

6. Peritoneum yang berwaran putih dipegang dengan menggunakan 2 pinset bedah dan dibuka dengan gunting, perhatikan apa yang keluar: pus, udara atau cairan lain (darah, feses dll), periksa kultur dan tes kepekaan kuman dari cairan yang keluar tsb. Kemudian pengait luka diletakkan di bawah peritoneum.

7. Kemudian sekum (yang berwarna lebih putih, memiliki tanea koli dan haustra) dicari dan diluksir. Apendiks yang basisnya terletak pada pertemuan tiga taenia mempunyai bermacam-macam posisi antara lain antesekal, retrosekal, anteileal, retroileal, dan pelvinal

8. Setelah ditemukan, sekum dipegang dengan darm pinset dan ditarik keluar, dengan kassa basah sekum dikeluarkan kearah mediokaudal, sekum yang telah keluar dipegang oleh asisten dengan dengan ibu jari berada di atas.

9. Mesenterium dengan ujung spendiks dipegang dengan klem Kocher kemudian mesoapendiks diklem potong dan diligasi berturut-turut sampai pada basis apendiks dengan menggunakan benang sutera 3/0.

10. Pangkal apendiks di crush dengan apendiks klem kocher dan pada bekas crush tersebut diikat dengan sutera No. 00-2 ikatan. .

11. Dibagian distal dari ikatan diklem dengan Kocher dan diantara klem kocher dan ikatan tersebut apendiks dipotong dengan pisau yang telah diolesi betadine, ujung sisa apendiks digosok betadine.

12. Sekum dimasukkan ke dalam rongga perut.

13. Dinding abdomen ditutup lapis demi lapis. Pada kasus perforasi, dapat dipasang drain sub facial.

(47)

Clinical pathway apendisitis akut. Apendisitis akut termasuk kasus bedah terbanyak di Indonesia. Walaupun sebagai salah satu penyakit yang sering terjadi, penegakan diagnosis Apendisitis akut cukup sulit. Keterlambatan dalam diagnosis dan waktu operasi dapat mengakibatkan komplikasi yang lebih parah pada pasien Apendisitis akut, yang mengakibatkan memperpanjang lama hari rawat di rumah sakit dan meningkatkan tagihan atau biaya yang dibebankan kepada pasien.

Clinical Pathway (CP)merupakan bagianpenting dokumen dan alat dalam mewujudkan good clinical governance di rumah sakit. Di Indonesia, dokumen ini juga menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam Standar Akreditasi Rumah Sakit versi KARS 2012.Menjadi pertanyaan besar dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah-rumah sakit di Indonesia ialah bagaimana agar CP dapat berperan secara optimaldalam kendali mutu dan kendali biaya di rumah sakit serta bukan hanya sekedar dokumen kertas yang menjadi prasyarat akreditasi (Paat et.al, 2017).

(48)

Gambar 1. Contoh CP apendisitis akut Kerangka Teori

Rumah sakit memiliki tarif yang bervariasi dalam penatalaksanaan kasus apendisitis. Hal ini sering menyebabkan ketidaksesuaian biaya yang dikeluarkan terhadap klaim INA-CBG’s. Oleh karena itu, rumah sakit harus memiliki metode penghitungan unit cost yang tepat untuk kasus ini, salah satunya dengan menggunakan metode ABC.

(49)

Gambar 2. Kerangka teori

Penatalaksanaan apendisitis

 Apendiktomi

 Laparotomi

Pembiayaan Kesehatan

 Biaya langsung

 Biaya tidak langsung

Tarif di Rumah Sakit

 Tarif riil

 Tarif INA- CBG’s

Biaya satuan (unit cost) Metode ABC:

 Mengidentifikasi

produk yang menjadi objek biaya

 Mengidentifikasi

biaya langsung produk

 Mengidentifikasi

biaya tidak langsung yang berkaitan dengan setiap dasar alokasi biaya

 Menghitung total biaya produk

(50)

Kerangka Konsep

Gambar 3. Kerangka konsep Metode ABC

Pembiayaan apendiktomi dan apendiktomi laparotomi Biaya riil Rumah Sakit

Klaim INA-CBG’s

(51)

33

Metode Penelitian

Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskripif kuantitatif. Pada penelitian ini peneliti menganalisis efisiensi pembiayaan apendiktomi berupa unit cost, real cost dan tarif INA-CBG’s pada pasien JKN dengan apendisitis akut dan apendisitis perforasi di Rumah Sakit Bhayangkara TK II Medan dengan menggunakan metode (Activity Based Costing).

Subjek penelitian ini adalah semua yang terkait dalam pelayanan apendiktomi di Rumah Sakit Bhayangkara TK II Medan. Objek penelitian ini adalah seluruh aktivitas dan biaya yang terjadi di dalam pelayanan apendiktomi di Rumah Sakit Bhayangkara TK II Medan.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara TK II Medan. Waktu penelitian akan dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2019.

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh data dan berkas pada kasus pasien penderita apendisitis akut dan apendisitis perforasi yang menggunakan BPJS Kesehatan di Rumah Sakit Bhayangkara TK II Medan.

Sampel penelitian. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan Purposive Sampling, dimana peneliti menentukan pengambilan sampel dengan cara menetapkan kriteria inklusi dan eksklusi sesuai dengan tujuan

(52)

penelitian sehingga diharapkan dapat menjawab permasalahan penelitian. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut :

Kriteria inklusi. Kriteria inklusi untuk sampel dalam penelitian ini adalah pasien JKN atau pasien yang berobat dengan menggunakan BPJS Kesehatan, pasien dengan apendisitis akut dan apendisitis perforasi, pasien JKN dengan jatah rawat inap kelas tiga, dan pasien JKN dengan diagonosa apendisitis akut atau apendisitis perforasi tanpa komplikasi.

Kriteria eksklusi. Kriteria eksklusi untuk sampel dalam penelitian ini adalah pasien non JKN atau pasien yang berobat selain dengan menggunakan BPJS Kesehatan, pasien JKN atau non JKN selain jatah kelas tiga, pasien JKN atau non JKN selain dengan diagnosa apendisitis akut dan apendisitis perforasi, pasien JKN atau non JKN dengan diagnosa apendisitis akut dan apendisitis perforasi dengan komplikasi.

Metode Pengumpulan Data

Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung dari lapangan. Data sekunder adalah data yang didapat dari penelusuran dokumen berupa rekam medis pasien, serta biaya yang ditimbulkan dari seluruh aktivitas yang terjadi.

Variabel dan Definisi Operasional

Variabel penelitian. Variabel independen dalam penelitian ini adalah pembayaran dengan menggunakan metode ABC, pembayaran berbasis tarif riil rumah sakit,dan pembayaran berbasis tarif INA-CBG’s. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah biaya satuan (unit cost).

(53)

Definisi operasional

1. Pembayaran dengan menggunakan metode ABC (Unit Cost)

Pembayaran dengan menghitung biaya langsung yaitu biaya yang terdapat pada aktivitas yang berhubungan langsung dengan pelayanan apendiktomi, serta biaya tidak langsung yaitu biaya yang berhubungan secara tidak langsung dengan pelayanan apendiktomi.

2. Pembayaran berbasis tarif rill rumah sakit

Pembayaran dengan menghitung tarif total biaya perawatan, tindakan serta pengobatan yang tertera dalam berkas rekam medis pasien.

3. Pembayaran berbasis tarif INA-CBG’s

Pembayaran dengan menggunkaan tarif yang telah ditentukan besarannya dan tercantum dalam berkas pasien yang telah di verifikasi oleh BPJS Kesehatan.

Metode Pengukuran

Adapun metode pengukuran dalam penelitian ini dapat diketahui dari tabel berikut ini :

Tabel 1

Aspek Pengukuran Variabel

Nama Variabel Alat Ukur Skala Ukur

Unit Cost Aktivitas langsung dan tidak

langsung pada pelayanan/tindakan Rasio

Tarif riil Rekam medis Rasio

Tarif INA-CBD’s Berkas klaim BPJS Rasio

Metode Analisa Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kuantitatif non statistik. Data-data berupa angka dianalisis dengan

Referensi

Dokumen terkait

2) Setiap kelompok mendiskusikan hasil pengamatan dan pencermatannya. 3) Guru memberi kesempatan kepada setiap kelompok untuk mengidentifikasi relevansi antara pragmen dengan

Manfaat dari penelitian ini untuk memberikan informasi tentang parameter gelombang representatif yang dihasilkan dari pengukuran dan perhitungan dengan metode SMB

Dalam proses pemberian kredit, nasabah yang ingin mendapatkan kredit tidak langsung begitu saja di berikan tetapi harus melalui prosedur yang berlaku. Tujuan pelaksanaan

Hambatan-hambatan yang dialami oleh Dinas Kesehatan dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk menangani produsen makanan yang terbukti melanggar Pasal 8 ayat

Menurut Weisz (1973) ciri-ciri umum Bivalvia yaitu : hewan lunak; sedentary (menetap pada sedimen); umumnya di laut meskipun ada yang hidup di perairan tawar; pipih di bagian

Greatly interested with the use and development of Digital Games Based Learning (DGBL) method in English language learning — especially in enhancing students‘ reading

Deposito syariah merupakan suatu bentuk investasi yang sederhana dimana pemilik dana tidak terjun langsung dalam pendanaan suatu kegiatan namun melalui jasa

 Peserta iik meniskusikan ra4am 9ahan alat untuk mem9uat sketsa 7epat  Guru menu4askan paa peserta iik untuk men4uraikan ra4am 9ahan alat an..