REDESAIN PRESTRESS (POST-TENSION)
BETON PRACETAK I GIRDER ANTARA PIER 4 DAN PIER 5, RAMP 3 JUNCTION KUALANAMU
“Studi Kasus pada Jembatan Fly-Over Jalan Toll Medan-Kualanamu”
TUGAS AKHIR
Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Penyelesaian Pendidikan Sarjana Teknik Sipil
Disusun Oleh
ADRIANSYAH PAMI RAHMAN SIREGAR 110404057
BIDANG STUDI STRUKTUR DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2015
ABSTRAK
Pekerjaan Struktural pembuatan Fly-over Toll Medan-Kualanamu, junction Kualanamu, merupakan pekerjaan struktur yang menggunakan balok I sebagai balok girdernya. Girder pada fly-over toll Medan-Kualanamu merupakan balok precast segmental yang selanjutnya akan disatukan menggunakan sistem kabel prategang
Dengan adanya revisi clearance height, sehingga pier 5 pada ramp 3, Junction Kualanamu, mengalami peninggian, maka hal ini akan menyebabkan balok di atasnya mengalami modifikasi pada ujung-ujungnya. Bentuk yang dipilih untuk permasalahan ini yaitu dapped-end. Dengan diberi model dapped-end ini pada ujung balok (perletakan), maka elevasi jalan rencana di atasnya tidak akan berubah.
Dari hasil modifikasi PCI girder diperoleh bentuk tulangan pada perletakan yang berbeda dengan bentuk tulangan balok sebelumnya. Model keruntuhan pada jenis balok inilah yang memerlukan penyusunan tulangan khusus, sehingga balok ini mampu memikul beban di atasnya tanpa mengalami keruntuhan.
Kata kunci: Beton prategang, PCI girder, pratekan penuh, losses, end-block, dapped-end.
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL... vi
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR NOTASI ... xi
KATA PENGANTAR ... xiv
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ... 1
I.2 Perumusan Masalah ... 3
I.3 Tujuan ... 4
I.4 Manfaat ... 4
I.5 Pembatasan Masalah ... 5
I.6 Metodologi Penelitian ... 6
I.7 Sistematika Penulisan ... 7
BAB II STUDI PUSTAKA II.1 Umum ... 8
II.2 Proses Pencetakan Beton ... 11
II.3 Proses Penarikan Kabel (Stressing) ... 13
II.3.1 Pratarik ... 13
II.3.2 Pascatarik ... 14
II.4 Jenis Balok Girder ... 15
II.4.1 PCI Girder ... 15
II.4.2 PCU Girder ... 16
II.4.3 Box Girder ... 16
II.5 Peraturan Pembebanan ... 17
II.5.1 Beban mati ... 17
II.5.2 Beban hidup ... 18
II.5.2.1 Lajur lalu lintas rencana ... 19
II.5.2.2 Beban truk “T” ... 19
II.5.2.3 Beban lajur “D” ... 21
a. Beban terbagi rata ... 22
b. Beban garis ... 22
II.6 Kombinasi Pembebanan ... 24
II.7 Kabel prategang ... 26
II.7.1 Daerah aman kabel ... 26
II.7.2 Kehilangan gaya prategang ... 29
II.7.2.1 Short term... 29
a. Kehilangan akibat gesekan ... 29
b. Kehilangan akibat slip pengangkuran... 30
c. Kehilangan akibat pemendekan elastis ... 31
II.7.2.2 Long term ... 33
a. Kehilangan akibat penyusutan ... 33
b. Kehilangan akibat rangkak ... 34
c. Kehilangan akibat relaksasi baja ... 34
II.8 Tegangan dan lendutan ... 35
II.9 Desain Dapped End ... 37
II.9.1 Lentur dan aksial tarik pada ujung yang diperpanjang ... 38
II.9.2 Geser langsung ... 39
II.9.3 Tarik diagonal sudut ... 40
II.9.4 Tarik diagonal pada ujung yang diperpanjang ... 40
II.10 Kontrol tegangan pada angkur... 40
BAB III APLIKASI DAN PEMBAHASAN III.1 Karakteristik Beton prategang... 43
III.2 Spesifikasi Balok ... 43
III.3 Pembebanan ... 45
III.3.1 Beban Mati ... 45
III.3.2 Beban Hidup... 51
III.4 Section Properties... 53
III.4.1 Penentuan lebar efektif plat lantai ... 53
III.4.2 Section analysis pada tengah bentang ... 55
III.4.2.1 Precast beam... 55
III.4.2.2 Composite beam ... 56
III.4.2.3 Rangkuman ... 57
III.4.3 Section analysis pada tumpuan ... 58
III.4.3.1 Precast beam... 58
III.4.3.2 Composite beam ... 59
III.4.3.3 Rangkuman ... 60
III.5 Kombinasi Pembebanan Ultimit ... 60
III.6 Analisa Momen dan Geser ... 60
III.6.1 Analisa Balok A ... 61
III.6.1.1 Analisa momen ultimate ... 61
III.6.1.2 Analisa geser ultimate ... 62
III.6.2 Analisa Balok C ... 62
III.6.2.1 Analisa momen ultimate ... 63
III.6.2.2 Analisa geser ultimate ... 63
III.7 Perencanaan gaya prategang ... 64
III.7.1 Asumsi Losses ... 64
III.7.2 Asumsi letak tendon ekivalen ... 64
III.7.3 Perhitungan kebutuhan prategang ... 66
III.7.4 Karakteristik kabel prategang ... 67
III.7.5 Cek terhadap daerah aman kabel... 68
III.7.6 Cable setting... 70
III.8 Losses actual... 73
III.8.1 Kehilangan akibat gesekan ... 73
III.8.2 Kehilangan akibat slip pengangkuran ... 74
III.8.3 Kehilangan akibat pemendekan elastis ... 76
III.8.4 Kehilangan akibat penyusutan ... 80
III.8.5 Kehilangan akibat rangkak ... 82
III.8.6 Kehilangan akibat relaksasi baja ... 84
III.9 Tegangan efektif kabel ... 85
III.10 Analisa tegangan dan lendutan... 86
III.10.1 Tegangan awal ... 86
III.10.2 Lendutan awal ... 88
III.10.3 Tegangan layan ... 89
III.10.4 Lendutan layan ... 91
III.11 Desain Dapped End... 93
III.12 End Block ... 98
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN IV.1 Kesimpulan ... 99
IV.2 Saran ... 100
DAFTAR PUSTAKA ... xvi
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Halaman
Tabel 2.1 Berat Isi Untuk Beban Mati 17
Tabel 2.2 Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana 19
Tabel 2.3 Faktor Distribusi Untuk Pembebanan Truk “T” 20
Tabel 2.4 Faktor Pembebanan 25
Tabel 2.5 Faktor Beban Untuk Berat Sendiri 26
Tabel 2.6 Faktor Beban Untuk Beban Mati Tambahan 26
Tabel 2.7 Tabel Ksh untuk pasca-tarik 34
Tabel 2.8 Tabel batasan defleksi berdasarkan BMS (l=panjang bentang) 37 Tabel 2.9 Koefisien shear-friction yang disyaratkan 39
Tabel 2.10 Faktor reduksi kekuatan ϕ 41
Tabel 3.1 Panjang tiap-tiap segmen balok 44
Tabel 3.2 Beban akibat berat sendiri pada balok A dan C 51
Tabel 3.3 Pembebanan truk “T” 51
Tabel 3.4 Resume beban hidup 53
Tabel 3.5 Section properties balok pracetak I lapangan 55 Tabel 3.6 Section properties balok komposit lapangan 56 Tabel 3.7 Resume Section properties balok lapangan 57 Tabel 3.8 Section properties balok pracetak I pada tumpuan 58 Tabel 3.9 Section properties balok komposit I pada tumpuan 59 Tabel 3.10 Resume section properties balok pada tumpuan 60
Tabel 3.11 Momen ultimate balok A 61
Tabel 3.12 Geser ultimate balok A 62
Tabel 3.13 Momen ultimate balok C 63
Tabel 3.14 Geser ultimate balok C 63
Tabel 3.15 Cable setting 70
Tabel 3.16 Losses akibat friksi 74
Tabel 3.17 Losses akibat slip pengangkuran 76
Tabel 3.18 Losses akibat pemendekan elastis 80
Tabel 3.19 Losses akibat penyusutan beton 81
Tabel 3.20 Losses akibat rangkak beton 83
Tabel 3.21 Losses akibat relaksasi baja 84
Tabel 3.22 Resume gaya pratekan setelah kehilangan losses 85 Tabel 3.23 Resume losses taksiran vs losses aktual 86
Tabel 3.24 Tegangan inisial aktual 86
Tabel 3.25 Tegangan layan aktual 89
Tabel 3.26 Dimensi end block 98
Tabel 3.27 Kontrol end block 98
DAFTAR GAMBAR
Tabel Judul Halaman
Gambar 1.1 Balok I Girder 2
Gambar 1.2 Balok sebelum dan setelah revisi 4
Gambar 2.1 Retak pada Struktur Beton Bertulang 9 Gambar 2.2 Struktur Beton Pratekan Pertama oleh Jackson, 1886 9
Gambar 2.3 Pencetakan Beton di lapangan 11
Gambar 2.4 Pencetakan Balok di Pabrik 12
Gambar 2.5 Urutan pengerjaan kabel hingga menjadi tendon prategang 13
Gambar 2.6 Metode Penarikan Kabel Pratarik 14
Gambar 2.7 Metode Penarikan Kabel Pasca Tarik 15 Gambar 2.8 Bentuk tampang balok girder PCI Girder 15 Gambar 2.9 Bentuk tampang balok girder PCU Girder 16 Gambar 2.10 Bentuk tampang balok girder Box Girder 16
Gambar 2.11 Pembebanan truk “T” 20
Gambar 2.12 Beban “D”: beban terbagi rata vs panjang bentang 22 yang dibebani
Gambar 2.13 Faktor beban dinamis untuk beban garis terbagi rata “D” 23
Gambar 2.14 Beban lajur “D” 23
Gambar 2.15 Penyebaran pembebanan arah melintang 24 Gambar 2.16 Hubungan limit kern dan daerah aman kabel 28 Gambar 2.17 Bentuk tipikal daerah aman kabel 28
Gambar 2.18 Slip angkur 31
Gambar 2.19 Diagram Tegangan pada Balok Beton Prategang 36 Gambar 2.20 Model keruntuhan pada dapped end 38
Gambar 3.1 Potongan melintang balok 44
Gambar 3.2 Potongan melintang jembatan 45
Gambar 3.3 Potongan melintang deck slab 46
Gambar 3.4 Penampang parapet 48
Gambar 3.5 Diaphragma ujung 49
Gambar 3.6 Diaphragma tengah 50
Gambar 3.7 Beban T 51
Gambar 3.8 Pemodelan melintang jembatan dengan SAP 2000 52 Gambar 3.9 Penempatan beban “T” dengan SAP 2000 52 Gambar 3.10 Hasil reaksi tumpuan beban “T” dengan SAP 2000 52 Gambar 3.11 Penempatan beban “D” dengan SAP 2000 53 Gambar 3.12 Hasil reaksi tumpuan beban “D” dengan SAP 2000 53 Gambar 3.13 Section analysis penampang balok lapangan 55 Gambar 3.14 Section analysis penampang balok tumpuan 58
Gambar 3.15 Model analisa balok A 61
Gambar 3.16 Model analisa balok C 62
Gambar 3.17 Letak kabel ekivalen 66
Gambar 3.18 Diagram tegangan pratekan penuh 66
Gambar 3.19 Daerah aman kabel 70
Gambar 3.20 Tata letak tendon 73
Gambar 3.21 Losses akibat gesekan 74
Gambar 3.22 Losses akibat slip pengangkuran 76
Gambar 3.23 Losses akibat pemendekan elastis 80
Gambar 3.24 Losses akibat penyusutan 81
Gambar 3.25 Losses akibat rangkak 83
Gambar 3.26 Losses akibat relaksasi baja 85
Gambar 3.27 Tegangan initial balok prategang 87
Gambar 3.28 Tegangan layan balok prategang 90
Gambar 3.29 Detail penulangan dapped-end 97
Gambar 3.30 Detail penulangan balok sebelum revisi 97
DAFTAR NOTASI
A = Luas penampang be = Lebar efektif plat lantai E = Elastisitas bahan e = Eksentrisitas kabel eoa = Batas atas aman kabel eob = Batas bawah aman kabel fy = Tegangan leleh baja
f’c = Kuat tekan beton kondisi layan
f’ci = Kuat tekan beton kondisi awal penegangan kabel Ic = Inersia komposit
Io = Inersia penampang Ix = Inersia arah x K = Koefisien wobble
Ka = Jarak dari pusat berat ke batas atas kern Kb = Jarak dari pusat berat ke batas bawah kern K’a = Limit kern atas
K’b = Limit kern bawah Ksh = Konstanta penyusutan Ld = Panjang penyaluran tulangan Mu = Momen ultimit
P = Gaya prategang kondisi layan
Pi = Gaya prategang kondisi awal penegangan kabel r = Jari-jari girasi
Rh = Kelembaban relatif
S = Jarak rata-rata antara balok memanjang Vu = Gaya lintang ultimit
Wa = Momen tahanan sisi atas penampang Wb = Momen tahanan sisi bawah penampang ya = Jarak dari pusat berat balok ke atas balok yb = Jarak dari pusat berat balok ke bawah balok ya’ = Jarak dari pusat berat komposit ke atas komposit yb’ = Jarak dari pusat berat komposit ke bawah balok ya” = Jarak dari pusat berat komposit ke atas balok ϕ = Faktor reduksi kekuatan
µ = Koefisien friksi
σci = Tegangan tekan kondisi awal penegangan σcs = Tegangan tekan kondisi layan
σg = Tegangan normal kabel kondisi layan
σgi = Tegangan normal kabel kondisi awal penegangan σti = Tegangan tarik kondisi awal penegangan
σts = Tegangan tarik kondisi layan
∆pi = Lendutan kondisi awal penegangan akibat kabel
∆bs = Lendutan akibat berat sendiri
∆i = Lendutan total kondisi awal penegangan
∆p = Lendutan akibat kabel kondisi layan
∆c = Lendutan akibat deck slab + slab
∆asp = Lendutan akibat aspal
∆ll = Ledutan akibat beban hidup
∆l = Lendutan total kondisi layan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.
Penulisan Tugas Akhir yang berjudul REDESAIN PRESTRESS (POST-TENSION) BETON PRACETAK I GIRDER ANTARA PIER 4 DAN PIER 5, RAMP 3 JUNCTION KUALANAMU “Studi Kasus Pada Jembatan Fly-Over Jalan Toll Medan-Kualanamu” ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat penyelesaian Pendidikan Sarjana di bidang Sub Jurusan Struktur Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
Sehubungan dengan selesainya tugas akhir ini, penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, sebagai Ketua Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Ir. Syahrizal, M.T., sebagai Sekretaris Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Ir. Sanci Barus, M.T. sebagai koordinator Sub Jurusan Struktur Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Ir. Besman Surbakti, M.T., sebagai Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan ilmu dalam penyusunan tugas akhir ini.
5. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan dan Ibu Rahmi Karolina,S.T.,M.T.
sebagai dosen pembanding dan penguji penulis.
6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Pengajar Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing dan memberikan pengajaran kepada Penulis selama menempuh masa studi di Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
7. Seluruh staf pegawai Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
8. Satker Pelaksanaan Jalan Bebas Hambatan Medan-Kualanamu, Bapak Ir.
Soeryadi, M.T., Bapak Ir. Tohom L. Tobing, M.T., Bapak Ir. Irawan Sungkono, Bapak M. Husein Gultom, S.T,M.T., yang telah membimbing saya dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.
9. Kedua orang tua saya, Ayahanda Pandapotan Siregar, S.H. dan Ibunda Misrah Farida Hutasuhut, S.Pd., yang tak pernah berhenti memberikan doa, dukungan, motivasi, kasih sayang dan segalanya selama ini.
10. Adik-adik saya, Ahmad Fachrizal Pami Rahman Siregar, dan Ichsan Luthfi Pami Rahman Siregar. Serta seluruh keluarga besar saya yang selalu mendukung dan membantu dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.
11. Seluruh keluarga saya, sipil 2011, yang telah sangat banyak membantu saya hingga selesainya Tugas Akhir ini.
12. Buat teman-teman saya Zulfuadi Lubis, Her Afriyandi, M. Arief Rizqy, dan Surya Darma Lubis terima kasih atas dukungannya selama ini.
13. Dan segenap pihak yang belum penulis sebut disini atas jasa-jasanya dalam mendukung dan membantu penulis dari segi apapun, sehingga Tugas Akhir ini dapat diselesaikan dengan baik.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya menerima kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan Tugas Akhir ini.
Akhir kata saya mengucapkan terima kasih, dan semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.
Medan, 20 Agustus 2015 Penulis
( Adriansyah Pami Rahman Siregar )
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Pada beberapa dekade belakangan ini, dunia konstruksi mengalami perkembangan yang begitu pesat. Hal ini dapat dilihat dari proses ataupun komponen struktur yang semakin canggih. Salah satu contoh komponen struktur yang berkembang dan sangat diminati di bidang konstruksi belakangan ini adalah
“Balok Girder Pratekan”.
Balok Girder Pratekan merupakan hasil rekayasa ilmu di bidang teknik sipil yang menggunakan gaya pra-tekan untuk meminimalisir kekurangan yang dimiliki beton itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui bahwa sifat alami beton adalah lemah terhadap gaya tarik. Atas dasar inilah dikembangkan suatu rekayasa yang mana beton akan mengalami kondisi pratekan penuh pada setiap segmen balok (tanpa adanya bagian beton yang mengalami tarik).
Pada proyek Jalan Bebas Hambatan Medan-Kualanamu ini menggunakan jenis I girder. Jumlah girder yang digunakan dalam satu bentang yaitu 5 buah balok.
Ukuran balok disesuaikan dengan panjang bentang yang ada.
Produksi girder pada proyek ini dilakukan oleh PT. Wijaya Karya Beton (Wika Beton) di Binjai. Setelah PCI girder selesai dicetak, dan mempunyai umur yang cukup untuk dibawa ke lokasi proyek, maka balok-balok tersebut diangkut menggunakan Flat Bed. Itulah salah satu alasan mengapa PCI girder dibagi atas
beberapa segmen balok sehingga pada saat membawa balok tersebut ke lokasi proyek akan lebih mudah.
Proyek Pembangunan Jalan Bebas Hambatan Medan-Kualanamu ini merupakan salah satu proyek yang menggunakan sistem balok girder Post-Tension.
Pelaksana stressing yaitu VSL (Voorspan System Losinger). Bentuk kabel yang digunakan yaitu jenis kabel yang melengkung.
Kualanamu Junction menggunakan Precast Concrete I (PCI) sebagai balok girdernya yang terdiri atas balok-balok beton segmental. Balok-balok beton segmental ini kemudian akan disatukan dengan sistem kabel tarik (sistem prategang) sebagai penyalur gaya pratekan. Dengan menggunakan sistem prategang ini, balok dapat didesain seefektif dan seekonomis mungkin, namun dapat memikul beban yang lebih besar dibanding dengan balok beton bertulang biasa. Jika digunakan balok beton bertulang biasa maka akan menghasilkan dimensi yang lebih besar dibanding dengan balok sistem prategang. Hal ini tentu akan mengakibatkan penggunaan beton dan baja tulangan yang lebih banyak sehingga tidak efektif dari segi beban maupun biaya yang dibutuhkan.
Gambar 1.1 Balok I Girder
Kasus yang timbul dalam proyek ini yaitu balok girder yang terletak pada pier 4-5 dan pier 5-6, lereng/ ramp 3. Pier ini terletak tepat di median jalan utama Medan-Kualanamu. Pada pier ini dudukan pier head tidak mencukupi tinggi PCI girder dikarenakan adanya peninggian pier head. Peninggian pier head ini dimaksudkan agar tinggi bersih (clearance height) untuk jalan dibawahnya memenuhi standar rencana yaitu sebesar 5,1m (BMS’92). Atas dasar inilah diperlukan perencanaan ulang dari balok girder untuk segmen tersebut. Beranjak dari kasus ini, penulis tertarik mengangkat judul “Redesain Prestress (Post- Tension) pada Beton Pracetak I Girder Studi Kasus pada Jembatan Fly-Over Junction Jalan Toll Medan-Kualanamu Pier 4-pier 5, Ramp 3”.
I.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang perlu diteliti yaitu menganalisa dan merencanakan ulang balok girder yang terdapat pada pier 4-5 agar didapatkan clearance height yang aman untuk jalan dibawahnya yaitu sebesar 5,1 m (BMS’92). Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar berikut:
Balok desain awal rencana tidak memenuhi clearance height perlu
Balok revisi sehingga terpenuhi clearance height perlu Gambar 1.2 Balok sebelum dan setelah revisi
I.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
a. menganalisa dan merencanakan ulang PCI girder pada pier 4- pier 5; ramp 3, sehingga clearance yang diperlukan untuk jalan di bawahnya memenuhi standar rencana sebesar 5,1 m
b. mengontrol apakah struktur balok girder tersebut aman atau tidak menerima beban yang terjadi.
I.4 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah
a. pemecahan masalah kasus yang terdapat di Proyek Pembangunan Jalan Bebas Hambatan Medan-Kualanamu.
b. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi bahan referensi pembelajaran tentang PCI girder prestress.
I.5 Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah mengenai penulisan tugas akhir ini adalah:
1. Balok girder yang diteliti yaitu PCI girder.
2. Lokasi penelitian pada Junction Kualanamu antara pier 4 - pier 5, ramp 3.
3. Sistem penarikan kabel post tension.
4. Pemodelan balok statis tertentu.
5. Perhitugan beban kendaraan berdasarkan RSNI T-02-2005.
6. Standard yang dipakai untuk perencanaan struktur beton jembatan yaitu RSNI T-12-2004, Perencanaan Struktur Beton Pratekan untuk Jembatan dan Bridge Management System (BMS’92).
7. Perhitungan Losses.
8. Kontrol tegangan dan lendutan.
9. Perhitungan tulangan dapped-end 10. Kontrol Block Angker.
I.6 Metodologi Penelitian
Tujuan Mulai
Perumusan Masalah
Pengumpulan Data Lapangan Berupa Panjang Bentang dan Tinggi Balok Perlu.
Analisa Beban Rencana Pendimensian I Girder
Perhitungan Lintang dan Momen yang Terjadi Dengan Bantuan MS.Excel
Tata Letak Kabel (Tendon)
A Taksiran losses
Gaya prategang rencana
Daerah aman kabel
Losses aktual
OK
NOT OK
I.7 Sistematika Penulisan
Penulisan ini disusun dalam lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan Bab II Studi Pustaka
Bab III Aplikasi dan Pembahasan Bab IV Kesimpulan dan Saran
-Kontrol Tegangan Setelah Kehilangan Prategang -Kontrol Lendutan
Kontrol Block Angker Perencanaan
dapped end
Kesimpulan dan Saran
Selesai A
BAB II
STUDI PUSTAKA
II.1 Umum
Balok merupakan komponen struktur jembatan yang penting. Balok pada jembatan ini berfungsi untuk memikul sekaligus menyalurkan beban dari lantai kendaraan ke kolom-kolom jembatan atau disebut dengan pier.
Balok jembatan yang sering kita jumpai dapat berupa baja ataupun beton bertulang. Balok dengan bahan baja umumnya dijumpai pada jembatan komposit yaitu balok baja yang digabungkan dengan slab beton di atasnya, sedangkan balok beton bertulang biasa banyak dijumpai pada jembatan dengan bentang pendek.
Balok beton bertulang biasa memiliki keterbatasan bila digunakan untuk bentang yang panjang. Balok dengan bentang yang panjang akan mengakibatkan beban yang lebih besar pula. Hal ini akan berpengaruh pada penampang balok beton yang lebih besar lagi, sehingga tidak efisien dalam memikul beban serta dalam biaya konstruksi.
Sebagaimana kita ketahui sifat alami beton adalah lemah terhadap Tarik, namun kuat dalam keadaan tekan. Menurut Edward G. Nawy (2001), kuat tarik beton bervariasi antara 8 sampai 14 persen dari kuat tekannya. Karena rendahnya kuat tarik pada beton, maka retak akibat lentur sering terjadi meskipun pembebanan masih rendah.
Gambar 2.1 Retak pada Struktur Beton Bertulang [Budiadi, 2008]
Untuk meminimalisir keretakan yang terjadi akibat tarik tersebut, diberikan gaya eksentris dalam arah longitudinal elemen struktur tersebut. Gaya ini bekerja dengan mengurangi tegangan tarik yang terjadi pada daerah tumpuan dan daerah kritis pada saat beban bekerja. Akibat gaya ini hampir semua elemen beton memikul tekan pada saat semua beban rencana bekerja di struktur tersebut.
Gaya longitudinal di atas disebut gaya pratekan, yaitu gaya tekan yang mengakibatkan tegangan awal pada penampang di sepanjang bentang sebelum beban rencana bekerja.
Banyak buku yang menyebutkan nama yang berbeda sebagai penggagas pratekan ini, namun menurut Andri Budiadi (2008) system penegangan ini mulai digunakan pada tahun 1886 saat PH. Jackson dari Amerika Serikat membuat konstruksi pelat atap.
Gambar 2.2 Struktur Beton Pratekan Pertama oleh Jackson, 1886 [Budiadi,2008]
Atas gagasan inilah konsep gelagar beton bertulang konvensional berkembang pesat menjadi beton prategang. Dengan konsep ini penggunaan beton pada konstruksi jembatan tidak lagi hanya sebatas beton dengan gelagar pendek namun mampu menghasilkan jembatan beton dengan gelagar menengah hingga panjang.
Sehingga dapat kita simpulkan beton prategang adalah beton yang diberi tegangan awal sebelum beban bekerja untuk mengimbangi beban luar yang akan dipikulkan kepadanya, sehingga seluruh komponen beton dapat bekerja secara optimal. Yang dimaksudkan optimal yaitu keseluruhan beton menerima gaya tekan sehingga sifat alami beton bekerja optimal yaitu kuat terhadap tekan.
Menurut Manual Bina Marga, Perencanaan Struktur Beton Pratekan untuk Jembatan (2011), beberapa keuntungan digunakannya sistem beton pratekan adalah:
1. Terhindar dari retak terbuka di daerah tarik, sehingga dengan demikian beton pratekan lebih tahan terhadap penetrasi klorida
2. Lebih kedap air, sehingga air pada plat jembatan tidak mudah meresap.
3. Dapat diperoleh defleksi struktur yang lebih kecil sehingga terbetuknya lawan lendut (chamber) dari konfigurasi layout kabel prategang sepanjang elemen.
4. Penampang struktur lebih kecil/langsing karena seluruh luas penampang dapat digunakan secara efektif.
5. Memungkinkan bentang yang lebih panjang dibandingkan beton bertulang.
6. Karena kabel prategang menggunakan mutu baja tinggi, sehingga kapasitas penampangnya jauh lebih besar daripada tulangan biasa dengan luas tulangan yang sama
II.2 Proses Pencetakan Beton
Salah satu butir pekerjaan pada proyek yaitu pencetakan beton. Beradasarkan tempat pencetakannya, balok girder dibedakan atas dua jenis:
1. Cast in Place
Pada metode ini beton dicetak langsung di lapangan. Metode ini membutuhkan waktu pelaksanaan konstruksi yang lebih lama, sebab beton yang dicetak harus ditunggu sampai umur rencana kemudian dapat mengerjakan kostruksi diatasnya. Namun metode ini sangat efisien untuk proyek dengan akses transportasi yang sulit.
Gambar 2.3 Pencetakan Beton di lapangan
2. Precast
Precast merupakan metode pencetakan beton yang dilakukan di pabrik.
Pada metode ini, beton telah dikerjakan terlebih dahulu di pabrik meskipun pekerjaan di lapangan belum sampai pada tahap teresebut. Beton yang telah dicetak di pabrik akan dikirim ke lokasi proyek dengan menggunakan flat bed jika umur rencana sudah memenuhi.
Metode ini sangat baik diterapkan di lapangan sehingga dapat mengefisienkan waktu pelaksanaan konstruksi. Metode ini juga cocok untuk proyek dengan lahan yang sempit, dimana tidak tersedianya lahan untuk pencetakan balok di lapangan. Kekurangan dari metode ini tidak bisa dipakai jika akses menuju proyek tidak memadai. Hal ini akan menghambat pengiriman beton dari pabrik menuju proyek.
Gambar 2.4 Pencetakan Balok di Pabrik [Wika Beton]
Pada proyek pembangunan jalan bebas hambatan Medan-Kualanamu ini menggunakan kedua metode tersebut. Untuk bagian footing, kolom, diafragma, dan pier head menggunakan metoda cast in place. Sedangkan untuk bagian bore pile dan balok girder menggunakan metode precast.
II.3 Kabel prategang
Salah satu jenis strand prategang adalah seven-wire strand. seven-wire strand adalah untaian kabel yang terdiri dari 7 kabel yang dipilin sehingga menjadi satu untaian kabel. Beberapa strand ini kemudian akan disatukan menjadi sebuah tendon.
Gambar 2.5 Urutan pengerjaan kabel hingga menjadi tendon prategang Ada dua metode yang digunakan dalam pemberian tegangan kabel pada beton, yaitu Pre-Tension (pratarik) dan Post-Tension (pascatarik).
II.3.1 Pratarik
Metode ini biasanya dilakukan di pabrik. Pada metode ini kabel ditarik terlebih dahulu, kemudian beton dicor pada cetakan bersamaan dengan kabel tersebut. Jika kekuatan beton sudah mencapai kekuatan rencana, maka kabel di potong. Pada saat baja mengalami kontraksi, maka beton akan tertekan. Metode ini tidak menggunakan duct, yaitu saluran kabel di dalam beton. Metode ini hanya bisa
Wire
[Sumber: www.alibaba.com]
Strand 7 kabel
[Sumber: www.alibaba.com]
Tendon
dilakukan untuk tendon yang lurus saja, dan tidak memungkinkan untuk tendon berbentuk kurva karena pengerjaan yang sulit.
a. Kabel di tarik dan diangkur
b. Beton dicor bersamaan dengan kabel dan dibiarkan mengeras
c. Kabel dipotong dan beton akan mengalami gaya tekan Gambar 2.6 Metode Penarikan Kabel Pratarik II.3.2 Pascatarik
Proses penarikan kabel metode ini biasanya dilakukan di lapangan.
Penarikan dilakukan setelah beton mengeras. Dengan metode ini memungkinkan membentuk kabel menjadi kurva karena sebelum beton dicor, terlebih dahulu disediakan duct (saluran kabel). Dengan adanya duct ini kita dapat membentuk alur kabel nantinya setelah beton mengeras.
a. Kabel Dimasukkan ke Dalam Duct Setelah Beton Mengeras
b. Kabel Ditarik
c. Kabel Diangkur dan Di-grouting Gambar 2.7 Metode Penarikan Kabel Pasca Tarik
II.4 Jenis Balok Girder
Berdasarkan bentuk tampang, girder beton jembatan secara umum dibedakan atas 3 jenis yaitu PCI girder, PCU girder, dan box girder.
II.4.1 PCI Girder
PCI girder (Precast-Prestress Concrete I Girder) yaitu balok girder yang memiliki tampang bentuk huruf I. PCI girder ini terdiri atas beberapa buah balok dalam satu bentang jembatan. Contoh struktur yang menggunakan PCI girder yaitu pada Proyek Pembangunan Jalan Bebas-Hambatan Medan Kualanamu ini.
Gambar 2.8 Bentuk tampang balok girder PCI Girder
II.4.2 PCU Girder
PCU (Precast-Prestress Concrete U Girder) adalah balok girder yang memiliki bentuk tampang huruf U. Sama halnya seperti I girder, dalam satu bentang jembatan terdiri atas beberapa balok girder (balok segmental). Salah satu contoh penggunaan PCU girder ini adalah pada jembatan fly-over Amplas Medan. Jenis yang terakhir adalah box girder.
Gambar 2.9 Bentuk tampang balok girder PCU Girder [Wika Beton]
II.4.3 Box Girder
Box girder adalah jenis girder yang memiliki bentuk tampang box persegi.
Contoh penggunaan box girder adalah pada jembatan fly-over Simpang Pos Medan.
Bentuk tampang tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.10 Bentuk tampang balok girder Box Girder [https://dukenmarga. wordpress.com/category/sipil/]
II.5 Peraturan Pembebanan
Sebelum melakukan perhitungan analisa struktur, hal yang terlebih dahulu dilakukan yaitu menganalisa beban-beban yang akan bekerja. Peraturan pembebanan yang tersedia sangatlah banyak, sehingga terkadang menyulitkan perencana untuk menentukan peraturan mana yang harus ia pakai. Peraturan- peraturan tersebut diantaranya AASHTO, PPPJJR 1987, BMS 1992, dan RSNI 2005. Pada tugas akhir ini saya menggunakan peraturan RSNI 2005 sebagai acuan dalam menganalisa beban-beban rencana.
Beban-beban rencana dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Beban mati 2. Beban hidup 3. Beban kejut II.5.1 Beban mati
Menurut RSNI 2005, beban mati adalah semua beban tetap yang berasal dari berat sendiri jembatan atau bagian jembatan yang ditinjau, termasuk segala unsur tambahan yang dianggap merupakan satu kesatuan tetap dengannya.
Tabel 2.1 Berat Isi Untuk Beban Mati (kN/m3) No. Bahan Berat/ Satuan Isi
(kN/m3)
Kerapatan Massa (kg/m3)
1 Campuran aluminium 26,7 2720
2 Lapisan permukaan
beraspal 22,0 2240
3 Besi tuang 71,0 7200
4 Timbunan tanah
dipadatkan 17,2 1760
5 Kerikil dipadatkan 18,8-22,7 1920-2320
6 Aspal beton 22,0 2240
7 Beton ringan 12,25-19,6 1250-2000
8 Beton 22,0-25,0 2240-2560
9 Beton prategang 25,0-26,0 2560-2640 10 Beton bertulang 23,5-25,5 2400-2600
11 Timbal 111 11400
12 Lempung lepas 12,5 1280
13 Batu pasangan 23,5 2400
14 Neoprin 11,3 1150
15 Pasir kering 15,7-17,2 1600-1760
16 Pasir basah 18,0-18,8 1840-1920
17 Lumpur lunak 17,2 1760
18 Baja 77,0 7850
19 Kayu (ringan) 7,8 800
20 Kayu (keras) 11,0 1120
21 Air murni 9,8 1000
22 Air garam 10,0 1025
23 Besi tempa 75,5 7680
(Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)
Beban mati dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu beban mati primer dan beban mati sekunder. Beban mati primer adalah beban yang berupa berat sendiri dari pelat dan sistem lainnya yang dipikul langsung oleh masing-masing gelagar jembatan. Sedangkan beban mati sekunder adalah beban-beban yang berupa berat kerb, trotoar, tiang sandaran, dan lain-lain yang dipasang setelah pelat dicor.
II.5.2 Beban hidup
Beban hidup yang harus ditinjau dalam perencanaan beban jembatan terdiri atas dua yaitu beban truk “T” dan beban lajur “D”.
Secara umum, yang menjadi penentu dalam perhitungan jembatan dengan bentang sedang sampai panjang adalah beban “D”, sedangkan beban “T” digunakan untuk bentang pendek.
II.5.2.1 Lajur lalu lintas rencana
Lajur lalu lintas rencana harus memiliki lebar 2,75 m. Jumlah maksimum lajur lalu lintas untuk berbagai lebar jembatan dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 2.2 Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana Tipe Jembatan (1) Lebar Jalur Kendaraan
(m) (2)
Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana (n1)
Satu lajur 4,0 - 5,0 1
Dua arah, tanpa median 5,5 – 8,25 11,3 – 15,0
2 (3) 4 Banyak arah 8,25 – 11,25
11,3 – 15,0 15,1 – 18,75 18,8 – 22,5
3 4 5 6
CATATAN (1) Untuk jembatan tipe lain, jumlah lajur lalu lintas rencana harus ditentukan oleh instansi yang berwenang.
CATATAN (2) Lebar jalur kendaraan adalah jarak minimum antara kerb atau rintangan untuk satu arah atau jarak antara kerb/rintangan/median untuk banyak arah.
CATATAN (3) Lebar minimum yang aman untuk dua-lajur adalah 6,0 m. Lebar jembatan antara 5,0 m sampai 6,0 m harus dihindari oleh karena hal ini akan memberikan kesan kepada pengemudi seolah-olah memungkinkan untuk menyiap.
(Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005) II.5.2.2 Beban truk “T”
Beban truk “T” adalah satu kendaraan berat dengan 3 as yang ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana (RSNI 2005). Dalam
perencanaan hanya diterapkan satu truk tiap lajur rencana. Jarak antara dua as truk tersebut dapat diubah-ubah 4 sampai 9 meter agar diperoleh pembebanan maksimum pada arah memanjang jembatan. Besar pembebanan dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.11 Pembebanan truk “T” (500 kN) [RSNI T-02-2005]
Faktor penyebaran beban truk “T” pada arah melintang gelagar jembatan disajikan dalam table berikut:
Tabel 2.3 Faktor Distribusi Untuk Pembebanan Truk “T”
Jenis bangunan
atas Jembatan jalur tunggal Jembatan jalur majemuk Pelat lantai beton di
atas:
- balok baja I atau balok beton pratekan - balok
beton bertulang T - balok kayu
S/4,2
(bila S>3,0 m lihat catatan 1) S/4,0
(bila S>1,8 m lihat catatan 1) S/4,8
(bila S>3,7 m lihat catatan 1)
S/3,4
(bila S>4,3 m lihat catatan 1) S/3,6
(bila S>3,0 m lihat catatan 1) S/4,2
(bila S>4,9 m lihat catatan 1)
Lantai papan kayu S/2,4 S/2,2
Lantai baja gelombang tebal 50 mm atau lebih
S/3,3 S/2,7
Kisi-kisi baja - kurang dari tebal
100 mm
- tebal 100 mm atau lebih
S/2,6 S/3,6
(bila S>3,6 m lihat catatan 1)
S/2,4 S/3,0
(bila S>3,2 m lihat catatan 1) CATATAN 1 Dalam hal ini, beban pada tiap balok memanjang adalah reaksi
beban roda dengan menganggap lantai antara gelagar ssebagai balok sederhana
CATATAN 2 Geser balok dihitung untuk beban roda dengan reaksi 2S yang disebabkan oleh S/factor ≥ 0,5
CATATAN 3 S adalah jarak rata-rata antara balok memanjang (Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005) Kriteria pengambilan bentang efektif S adalah sebagai berikut:
a. Untuk pelat lantai yang bersatu dengan balok atau dinding (tanpa peninggian), S = bentang bersih
b. Untuk [elat lantai yang didukung pada gelagar dari bahan berbeda atau tidak dicor menjadi kesatuan, S = bentang bersih+setengah lebar dudukan tumpuan.
Faktor beban dinamis (FBD) merupakan hasil pengaruh antara beban kendaraan yang bergerak dengan jembatan. Untuk pembebanan truk ditetapkan sebesar 30%. Harga ini dikhususkan untuk bangunan yang berada di atas permukaan tanah.
II.5.2.3 Beban lajur “D”
Beban lajur D merupakan beban yang bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekivalen dengan suatu iring-iringan kendaraan yang sebenarnya. Besarnya beban lajur bergantung pada besarnya lebar jalur kendaraan rencana.
Beban lajur D terdiri atas 2 jenis yaitu beban terbagi rata, dan beban garis.
a. Beban terbagi rata
Beban ini dilambangkan q kPa dengan intensitas beban bergantung pada panjang bentang total yang dibebani. Besarnya beban yaitu sebagai berikut:
L ≤ 30 m ; q = 9,0 kPa
L > 30 m ; q dapat dilihat pada grafik dibawah Dengan:
q adalah intensitas beban terbagi rata dalam arah memanjang jembatan (kPa) L adalah panjang total jembatan yang dibebani (meter)
Gambar 2.12 Beban “D”: beban terbagi rata vs panjang bentang yang dibebani [RSNI T-02-2005]
b. Beban garis
Beban ini dilambangkan p kN/m dengan arah yang tegak lurus terhadap arus lalu lintas pada jembatan. Besar beban garis yaitu 49 kN/m.
Faktor beban dinamik (FBD) untuk beban lajur garis “D” dapat dilihat dalam gambar berikut
Gambar 2.13 Faktor beban dinamis untuk beban garis terbagi rata “D”
[RSNI T-02-2005]
Sistem pembebanan beban terbagi rata dan beban garis dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.14 Beban lajur “D” [RSNI T-02-2005]
Penyebaran beban “D” harus diperhatikan dan memenuhi persyaratan sebagaimana yang tertera pada RSNI T-02-2005 yaitu sebagai berikut:
1. Bila lebar jalur kendaraan jembatan kurang atau sama dengan 5,5 m, maka beban “D” harus ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100%.
2. Apabila lebar jalur lebih besar dari 5,5 m, beban”D” harus ditempatkan pada jumlah lajur lalu lintas rencana (n1) yang berdekatan (table 2.2) dengan intensitas 100%. Hasilnya adalah beban garis ekuivalen sebesar n1 x 2,75 q
kN/m dan beban terpusat ekuivalen sebesar n1 x 2,75 p kN, kedua-duanya bekerja berupa strip pada jalur selebar n1 x 2,75 m.
3. Lajur lalu lintas rencana yang membentuk strip ini bisa ditempatkan dimana saja pada jalur jembatan. Beban “D” tambahan harus ditempatkan pada seluruh lebar sisa dari jalur dengan intensitas sebesar 50%.
Susunan pembebanan dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.15 Penyebaran pembebanan arah melintang II.6 Kombinasi Pembebanan
Kombinasi beban rencan dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok- kelompok yaitu:
a. Kombinasi dalam batas daya layan b. Kombinasi dalam batas ultimit
c. Kombinasi dalam perencanaan berdasarkan tegangan kerja
Faktor beban yang digunakan untuk menghitung aksi rencana disajikan dalam table berikut
Tabel 2.4 Faktor Pembebanan Pasal
No Aksi
Lamanya waktu (3)
Faktor Beban pada Keadaan Batass
Nama Simbol (1)
Daya Layan
K S;xx;
Ultimit K U;;XX;
Normal Terkurangi
5.2 Berat Sendiri PMS Tetap 1,0 *(3) *(3)
5.3 Beban Mati
Tambahan PMA Tetap 1,0/1,3 (3)
2,0/1,4 (3)
0,7/0,8 (3) 5.4 Penyusutan
dan Rangkak PSR Tetap 1,0 1,0 N/A
5.5 Prategang PPR Tetap 1,0 1,0 N/A
5.6 Tekanan Tanah PTA Tetap 1,0 *(3) *(3)
5.7 Beban
Pelaksanaan Tetap
PPL Tetap 1,0 1,25 N/A
6.3 Beban Lajur
“D” TTD Trans 1,0 1,8 N/A
6.4 Beban Truk
“T” TTT Trans 1,0 1,8 N/A
6.7 Gaya Rem TTB Trans 1,0 1,8 N/A
6.8 Gaya
Sentrifugal TTR Trans 1,0 1,8 N/A
6.9 Beban Trotoar TTP Trans 1,0 1,8 N/A
6.10 Beban-Beban
Tumbukan TTC Trans *(3) *(3) N/A
7.2 Penurunan PES Tetap 1,0 N/A N/A
7.3 Temperatur TET Trans 1,0 1,2 0,8
7.4 Aliran/Benda
Hanyutan TEF Trans 1,0 *(3) N/A
7.5 Hidro/Daya
Apung TEU Trans 1,0 1,0 1,0
7.6 Angin TEW Trans 1,0 1,2 N/A
7.7 Gempa TEQ Trans N/A 1,0 N/A
8.1 Gesekan TBF Trans 1,0 1,3 0,8
8.2 Getaran TVI Trans 1,0 N/A N/A
8.3 Pelaksanaan TCL Trans *(3) *(3) *(3)
CATATAN (1) Simbol yang terlihat hanya untuk beban nominal, simbol unntuk beban rencana menggunakan tanda bintang, untuk PMS = berat sendiri nominal, P*MS = Berat sendiri rencana
CATATAN (2) Trans = transien
CATATAN (3) Untuk penjelasan lihat pasal yang sesuai
CATATAN (4) “N/A” menandakan tidak dapat dipakai. Dalam hal dimana pengaruh beban transien adalah meningkatkan keamanan, faktor beban yang cocok adalah nol
(Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005) Tabel 2.5 Faktor Beban Untuk Berat Sendiri Jangka
Waktu
Faktor Beban KS;;MS;
KU;;MS;
Biasa Terkurangi
Tetap
Baja, aluminium 1,0 Beton pracetak 1,0 Beton dicor di tempat 1,0 Kayu 1,0
1,1 1,2 1,3 1,4
0,9 0,85 0,75 0,7 (Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)
Tabel 2.6 Faktor Beban Untuk Beban Mati Tambahan Jangka
Waktu
Faktor Beban KS;;MA;
KU;;MA;
Biasa Terkurangi Tetap Keadaan umum 1,0 (1)
Keadaan khusus 1,0
2,0 1,4
0,7 0,8 CATATAN (1) Faktor beban daya layan 1,3 digunakan untuk berat utilitas
(Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)
II.7 Kabel prategang II.7.1 Daerah aman kabel
Daerah aman kabel yaitu daerah sepanjang balok dimana bila kabel ditempatkan pada daerah tersebut tidak akan menyebabkan terjadinya tegangan yang melebihi tegangan izinnya.
Untuk mendapatkan daerah aman kabel lakukan langkah-langkah perhitungan berikut:
- Cari nilai modulus penampang serat atas dan bawah (Wa dan Wb)
Wa = yaI dan Wb = ybI
Dimana : ya = jarak pusat berat ke serat atas yb = jarak pusat berat ke serat bawah
- Cari jarak pusat ke serat atas dan bawah kern ( ka dan kb) Ka =− WbAc dan Kb = WaAc
Dimana : Ac = Luas penampang
- Cari limit kern atas dan bawah (k’a dan k’b)
Menurut binamarga (2011), limit kern yaitu daerah sepanjang balok dimana gaya aksial tekan tidak akan menyebabkan tegangan yang melebihi tegangan izinnya (baik tarik maupun tekan)
K’a = max dari nilai
k′a = kb (σcsσg + 1) atau k′a = ka (σtsσg + 1)
Dimana σg = tegangan akibat prategang saat kondisi layan = AcP K’b = min dari nilai
k′b = kb (σgiσti + 1) atau k′b = ka (σgiσci+ 1)
Dimana σgi = tegangan akibat prategang saat penarikan kabel = AcPi - Diperoleh daerah aman kabel dengan rumus berikut
Eoa = k’a + Mmax/P Eob = k’b + MDL/Pi
Hubungan limit kern dengan daerah aman kabel dapat dilihat dalam gambar berikut
Gambar 2.16 Hubungan limit kern dan daerah aman kabel [Binamarga 2011]
(a) Desain normal; (b) desain optimum (hanya ada satu solusi P dan eo); (c) Penampang tidak kuat (preliminary)
Gambar 2.17 Bentuk tipikal daerah aman kabel [Binamarga 2011]
II.7.2 Kehilangan gaya prategang
Kehilangan gaya prategang ada yang bersifat segera (short term) dan kehilangan yang bergantung waktu (long term).
II.7.2.1 Short term
a. Kehilangan akibat gesekan
Bila kabel lurus atau agak melengkung ditarik, maka gesekan terhadap dinding saluran atau kisi-kisi penyekat akan mengakibatkan kehilangan tegangan yang semakin bertambah menurut jaraknya dari dongkrak ( Raju, N Krishna 1988).
Kehilangan tegangan akibat gesekan dapat dihitung menggunakan rumus berikut:
f0 = fx e(µα+KL)
Dimana : f0 = tegangan baja prategang pada saat jacking sebelum seating fx= tegangan baja prategang di titik x sepanjang tendon
e= nilai dasar logaritmik natural naverian
µ= koefisien friksi, bila tidak disebutkan dalam spesifikasi material nilainya dapat dilihat pada tabel 2-1 koefisien friksi
α= perubahan sudut total dari profil layout kabel dalam radian dari titik jacking
K= koefisien wobble, bila tidak disebutkan dalam spesifikasi material nilainya dapat dilihat pada tabel 2-1 koefisien friksi
L= panjang baja prategang diukur dari titik jacking
Nilai-nilai koefisien µ
0,55 untuk baja yang bergerak pada beton yang licin
0,35 untuk baja yang bergerak pada baja yang dijepit di saluran 0,25 untuk baja yang bergerak pada baja yang dijepit di beton 0,25 untuk baja yang bergerak pada timah
0,18-0,30 untuk kabel tali kawat berlapis banyak di dalam selongsong baja persegi panjang yang tegar
0,15-0,25 untuk kabel tali kawat berlapis banyak dengan pelat-pelat pengatur jarak ke arah lateral
Saran ini disarankan atas pekerjaan eksperimental yang dilakukan oleh Guyondan Cooley
Nilai-nilai koefisien K
0,15 per 100 m untuk kondisi normal
1,5 per 100 m untuk saluran berdinding tipis dan di mana dijumpai getaran-getaran hebat dan dalam kondisi-kondisi yang merugikan lainnya (Raju, N Krishna 1988)
b. Kehilangan akibat slip pengangkuran
Apabila kabel pada sistem pratarik ditarik dan jack dilepas, maka angkur yang dipasang untuk menahan kawat-kawat akan mengalami slip pada jarak yang pendek sebelum kawat-kawat tersebut berada pada posisi yang kokoh. Akibat adanya slip angkur ini akan mengakibatkan kehilangan gaya prategang pada kabel.
Menurut Bina Marga (2011), besarnya slip angkur tergantung pada sistem prategang yang digunakan, nilainya bervariasi antara 3-10 mm.
Kehilangan prategang akibat slip angkur ditentukan dengan rumus berikut:
∆fa =2. d. x 𝐿
x = √E. (∆L). L d
Dimana ∆fa= Kehilangan prategang akibat slip angkur
d= kehilangan akibat friksi padda jarak L dari titik penarikan x= panjang yang terpengaruh akibat slip angkur
L= Jarak antara titik penarikan dengan titik dimana kehilangan diketahui
∆L= slip angkur, normalnya 6 mm sd. 9 mm
Gambar 2.18 Slip angkur [Binamarga 2011]
c. Kehilangan akibat pemendekan elastis
Ketika gaya prategang diaplikasikan ke tendon, maka tendon akan mentransfer gaya tersebut ke beton yang menyelimutinya. Pentransferan gaya ini akan mengakibatkan pemendekan beton. Dengan adanya pemendekan beton
tersebut maka akan terjadi kehilangan sebahagian gaya yang diaplikasikan ke balok tersebut.
Kehilangan pemendekan beton pasca-tarik akibat pemendekan elastis tidak ada jika kabel ditarik secara bersamaan. Namun jika penarikan dilakukan secara tidak bersamaan, kehilangan gaya pratekan sebesar ½ kali nilai pra-tarik.
Tegangan di level prategang:
Fcsj = AcjPi [1 +(exj)(rj)22] −Mdj.exjIcj
Dimana: Pi: Gaya pratekan saat initial Acj: Luas beton saat jacking
exj: eksentrisitas kabel pada jarak x saat jacking rj: jari-jari girasi saat jacking
Mdj :Momen akibat beban mati saat jacking Icj :Inersia beton saat jacking
Kehilangan tegangan pada beton pra tarik n=Eps/Eci
Dimana: Eps: modulus elastisitas kabel
Eci: modulus elastisitas beton saat transfer
∆fES_pre = n. fcs
Kehilangan tegangan pada beton pasca tarik dengan penarikan secara tidak bersamaan per 1 tendon diperoleh:
jumlah penarikan 𝑛𝑗 =𝑛𝑡𝑑𝑛𝑡𝑗
∆fES=
∑𝑛𝑗𝑖=1𝑛𝑗−1𝑖−1
𝑛𝑗 . ∆fES_pre II.7.2.2 Long term
a. Kehilangan akibat penyusutan
Beton yang tidak terendam air secara terus menerus (kelembaban 100%) akan mengalami pengurangan volume. Proses ini disebut penyusutan beton.
Menurut bina marga 021/BM/2011 besarnya susut yang terjadi pada beton dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya:
- Proporsi campuran - Jenis agregat - Rasio w/c - Jenis semen
- Jenis dan waktu curing
- Ukuran dan bentuk, atau rasio volume terhadap permukaan (V/S) - Kondisi lingkungan, kelembaban rata-rata di lokasi jembatan
Rumus umum kehilangan tegangan berdasarkan PCI (Prestressed Concrete Institute) yaitu:
∆fsh = 8.2 x 10−6 x Ksh x Eps x (1 − 0.006𝑉
𝑆) 𝑥(100 − 𝑅ℎ)
Dimana: Ksh = konstanta yang bernilai 1 untuk pretension. Adapun untuk post- tension nilainya diberikan pada tabel di bawah
Eps = Modulus elastisitas baja prategang (MPa) Rh = Kelembaban relative (%)
V/S = volume/luas permukaan (inci)
Tabel 2.7 Tabel Ksh untuk pasca-tarik
t (hari) 1 3 5 7 10 20 30 60
Ksh 0.92 0.85 0.8 0.77 0.73 0.64 0.58 0.45 Catt: jumlah hari yang dimaksud adalah jumlah rentang hari antara akhir curing dan pengerjaan stressing
b. Kehilangan akibat rangkak
Jika beton dibebani secara konstan sehingga regangan beton meningkat, peristiwa ini disebut rangkak.
Menurut bina marga 021/BM/2011 regangan pada beton umumnya disebabkan oleh 3 hal yaitu susut, rangkak, dan beban itu sendiri. Regangan akibat rangkak dan susut bergantung pada fungsi waktu (time-dependent), sedangkan regangan akibat beban disebut regangan seketika.
Perkiraan kehilangan tegangan akibat rangkak dapat dihitung dengan rumus AASHTO (CL.5.9.5.4.3 AASHTO-2004) berikut:
∆fcr = 12 fcs – 7 ∆fcdp ≥ 0
Catt: fcs = tegangan beton di level pusat prategang
∆fcdp = perbedaan tegangan beton di level pusat pratekan akibat beban permanen dengan pengecualian beban yang bekerja saat gaya pratekan diaplikasikan
c. Kehilangan akibat relaksasi baja
Relaksasi diartikan sebagai penurunan tegangan secara perlahan terhadap regangan yang konstan. Besarnya kehilangan tegangan akibat relaksasi tidak hanya
bergantung lamanya waktu diaplikasikan gaya prategang, tetapi juga bergantung terhadap rasio fpi/fpy yakni tegangan awal initial dan tegangan leleh baja.
Perhitungan kehilangan tegangan akibat relaksasi baja dapat dihitung menggunakan rumus
∆fr = 𝑓𝑝𝑖 (log(𝑡2)−log (𝑡1)
10 ) . (𝑓𝑝𝑦𝑓𝑝𝑖 − 0.55) untuk baja stress-relieved
∆fr = 𝑓𝑝𝑖 (log(𝑡2)−log (𝑡1)
40 ) . (𝑓𝑝𝑦𝑓𝑝𝑖 − 0.55) untuk baja low-relaxation
Dimana: t2,t1= waktu akhir dan waktu awal interval (jam) fpi = tegangan awal baja prategang (MPa)
∆fr = Kehilangan akibat relaksasi (MPa)
II.8 Tegangan dan lendutan
Perhitungan tegangan didasarkan atas dua kondisi yaitu:
1. Tegangan pada saat kondisi awal
Yaitu tegangan yang terjadi pada kondisi awal, biasanya akibat berat sendiri balok pada saat transfer
2. Tegangan pada saat kondisi layan
Yaitu tegangan yang timbul saat semua beban rencana bekerja pada balok.
Diagram tegangan pada kedua kondisi di atas dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.19 Diagram Tegangan pada Balok Beton Prategang
Rumus umum perhitungan tegangan (Manual Bina Marga 021/BM/2011) adalah sebagai berikut:
Kondisi awal:
𝜎𝑎 = −𝐴𝑐𝑃𝑖+𝑃𝑖.𝑒0.𝑦𝑡𝐼 −𝑀𝑚𝑖𝑛.𝑦𝑡𝐼 ≤ 𝜎𝑡𝑖 ……….(1.7.3.1)
𝜎𝑏 = −𝐴𝑐𝑃𝑖 +𝑃𝑖.𝑒0.𝑦𝑏𝐼 −𝑀𝑚𝑖𝑛.𝑦𝑡𝐼 ≤ 𝜎𝑐𝑖 ……….(1.7.3.2)
Kondisi Layan:
𝜎𝑎 = −𝐴𝑐𝑃𝑖+𝑃𝑖.𝑒0.𝑦𝑡𝐼 −𝑀𝑚𝑎𝑥.𝑦𝑡𝐼 ≤ 𝜎𝑐𝑠……….(1.7.3.3) 𝜎𝑏 = −𝐴𝑐𝑃𝑖 +𝑃𝑖.𝑒0.𝑦𝑡𝐼 −𝑀𝑚𝑎𝑥.𝑦𝑡𝐼 ≤ 𝜎𝑡𝑠 ……….(1.7.3.4)
Dimana:
𝜎𝑡𝑠 = 0.5√𝑓𝑐 𝑀𝑝𝑎 (tegangan izin tarik kondisi awal)
𝜎𝑐𝑠 = −0.45. 𝑓𝑐 (tegangan izin tekan kondisi awal)
𝜎𝑡𝑠 = 0.25√𝑓𝑐 𝑀𝑝𝑎 (tegangan izin tarik kondisi layan)
𝜎𝑐𝑠 = −0.6. 𝑓𝑐 (tegangan izin tekan kondisi layan)
Mmin= Momen maksimum yang bekerja pada kondisi awal, biasanya momen akibat berat sendiri balok pada saat transfer
Mmax= Momen total maksimum yang bekerja pada kondisi akhir atau layan
Lendutan yang terjadi akibat bekerjanya beban – beban harus dikontrol.
Lendutan yang terjadi tidak boleh melebihi lendutan izin yang disyaratkan pada 021/BM/2011 sebagai berikut
Tabel 2.8 Tabel batasan defleksi berdasarkan BMS (l=panjang bentang) Jenis Elemen Defleksi yang
ditinjau
Defleksi maksimum yang diizinkan Beban kendaraan Beban kendaraan
+ pejalan kaki Bentang
sederhana atau menerus
Defleksi akibat beban hidup layan dan beban impak
l/800 l/1000
Kantilever l/400 l/375
(Sumber: Bridge Management System)
II.9 Desain Dapped End
Menurut PCI design handbook, model-model keruntuhan pada perletakan yang non prismatic dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Lentur dan aksial tarik pada ujung yang diperpanjang. Diperlukan perkuatan lentur, Af, dan perkuatan tarik aksial, An.
2. Geser pada pertemuan balok dengan tinggi yang berbeda. Diperlukan perkuatan gesekan geser yang terdiri dari Avf dan Ah, ditambah perkuatan aksial tarik, An.
3. Tarik diagonal yang berasal dari sudut antar balok. Diperlukan perkuatan geser, Ash.
4. Tarik diagonal pada ujung yang diperpanjang. Diperlukan perkuatan geser yang terdiri dari Ah dan Av.
5. Tarik diagonal pada balok yang penuh. Ditahan dengan menyediakan As
melewati daerah kemungkinan retak
Masing-masing model kerutuhan dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.20 Model keruntuhan pada dapped end [ PCI handbook design]
II.9.1 Lentur dan aksial tarik pada ujung yang diperpanjang
Perkuatan horizontal ditentukan mirip dengan cara perencanaan korbel kolom
As = Af + An
= ∅𝑓𝑦1 [𝑉𝑢 (𝑎𝑑) + 𝑁𝑢 (𝑑ℎ)]
Dimana: Φ = 0.75 sampai 0.9 (lentur)
a= panjang geser, diukur dari pusat perletakan ke tengah Ash h= ketinggian balok yang diperpanjang
d= jarak dari atas ke pusat As fy= tegangan leleh baja
Nu= 0.2 x Vu jika tidak diberikan nilai yang pasti.
II.9.2 Geser langsung
Retak vertical ditahan oleh As dan Ah seperti yang terlihat pada gambar 2.15. Perkuatan ini dapat dihitung dengan rumus berikut.
As = 2Vu
3∅fyμe+ An An = Nu
∅fy Ah = 0.5 (As − An) Dimana: ϕ = 0.75
fy= tegangan leleh baja
µe= 1000𝜆𝑏ℎ𝜇𝑉𝑢 ≤ nilai pada tabel 2.8
Tabel 2.9 Koefisien shear-friction yang disyaratkan
Crack interface condition
Recommended µ
Maximum µe Maximum Vu=ϕVn 1. Concrete to concrete,
cast monolithically
1.4λ 3.4 0.30λ2fc’Acr≤1000λ2Acr
2. Concrete to hardened concrete, with
roughened surface
1.0λ 2.9 0.25λ2fc’Acr≤1000λ2Acr
3. Concrete to concrete 0.6λ 2.2 0.20λ2fc’Acr≤800λ2Acr
4. Concrete to steel 0.7λ 2.4 0.20λ2fc’Acr≤800λ2Acr
(Sumber: PCI Design Handbook/ sixth edition) II.9.3 Tarik diagonal sudut
Retak diagonal pada sudut dapat dihitung dengan menggunakan rumus Ash = Vu
∅fy
Dimana: ϕ = 0.75
Vu= beban ultimate
Ash= Luas perlu tulangan vertical fy= tegangan leleh baja
II.9.4 Tarik diagonal pada ujung yang diperpanjang
Perkuatan tambahan untuk retak jenis 4 dapat dihitung dengan rumus
∅𝑉𝑛 = ∅ (𝐴𝑣𝑓𝑦 + 𝐴ℎ𝑓𝑦 + 2𝑏𝑑𝜆√𝑓′𝑐) Luasan tulangan perlu sebagai berikut
Min Av =2𝑓𝑦1 (𝑉𝑢∅ − 2𝑏𝑑𝜆√𝑓′𝑐)
II.10 Kontrol tegangan pada angkur
Keruntuhan local dapat terjadi pada beton yang di tekan saat pembebanan baru dilakukan. Untuk menghindari kondisi ini, beton harus cukup kuat untuk memikul gaya tekan yang disalurkan kepadanya.
Perhitungan tegangan yang dapat dipikul beton pada pengangkuran adalah sebagai berikut:
𝐹𝑏 = ∅𝑥0.85𝑓′𝑐𝑖√𝐴2𝐴1 (≤ ∅𝑥1.7𝑓′𝑐𝑖)
(Sumber: ACI 318-83,AS 3600-1988, CAN3 1984) Dimana: F’ci = tegangan beton saat kondisi inisial
A1 = area plat-area sheat
A2 = luasan terbesar beton yang menyokong permukaan yang mana secara geometri sama terhadap A1 dan konsentris terhadap A1
Nilai ϕ dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.10 Faktor reduksi kekuatan ϕ
Jenis aksi ACI 318-83 AS 3600-1988
(a) Lentur (dengan atau tanpa aksial tarik) dan aksial tarik
(b) Aksial tekan dan aksial tekan dengan lentur
(i) perkuatan Spiral (ii) perkuatan ikat
Untuk aksial tekan yang kecil, nilai ϕ meningkat secara linear dari nilai yang diberikan di (b) ke nilai yang diberikan di (a) seiring dengan aksial tekan menjadi nol
(c) Geser dan Torsi (d) Dukungan pada beton
0.9
0.75 0.7
0.85 0.7
0.8
0.6 0.6
0.7 0.6
(Sumber: ACI 318–83 and AS 3600–1988)
Untuk zona pengangkuran post-tension yang menggunakan perkuatan transvers persamaan kekuatan tekan beton dapat ditingkatkan 50% sehingga menjadi
𝐹𝑏 = 1.5𝑥∅𝑥0.85𝑓′𝑐𝑖√𝐴2
𝐴1 (≤ ∅𝑥1.7𝑓′𝑐𝑖)
BAB III
APLIKASI DAN PEMBAHASAN
III.1 Karakteristik Beton prategang Tegangan tekan
Fc’ = 40 Mpa
Saat penarikan kabel = 80% fc’i = 80% x 40 = 32 MPa Tegangan izin
Tegangan izin saat transfer gaya pratekan ( 021/BM/2011) Tekan = -0,6 x fc’i = -0,6 x 32 Mpa = -19,2 Mpa
Tarik = 0,25 𝑥 √𝑓𝑐′𝑖 = 0,25 𝑥 √32 𝑀𝑝𝑎 = 1,41 Mpa (selain perletakan) Tarik = 0,5 𝑥 √𝑓𝑐′𝑖 = 0,5 𝑥 √32 𝑀𝑝𝑎 = 2,83 Mpa (perletakan) Tegangan izin saat layan ( 021/BM/2011)
Tekan = -0,45 x fc’ = -0,45 x 40 Mpa = -18 Mpa Tarik = 0,5 𝑥 √𝑓𝑐′ = 0,5 𝑥 √40 𝑀𝑝𝑎 = 3,16 Mpa
III.2 Spesifikasi Balok
Span : 25 m (panjang balok = 25,60 m)
Tinggi balok (H) : 1600 mm Jarak antar pusat balok (s) : 1850 mm Tebal slab beton : 250 mm Kuat tekan balok : 40 MPa Kuat tekan slab beton : 25 MPa
Umur rencana jembatan : 50 tahun Susunan segmen balok
Tabel 3.1 Panjang tiap-tiap segmen balok
Nomor Segmen 1 2 3 4 5
Panjang (m) 4500 5000 6000 5000 4500
Gambar 3.1 Potongan melintang balok; (a) bagian balok 1 dan 5; (b) bagian balok 2, 3 dan 4
Panjang tambahan pada ujung balok : 0,6 m Panjang total balok : 25,6 m
Berat total balok : (2 x luas bagian persegi x panjang 1+ 2 x luas balok a x panjang 2 + luas balok b x panjang balok 3) x rapat massa beton prategang
Luas balok persegi = luas bagian persegi
= 0,9x0,55
= 0,495 m2
Luas balok a = luas persegi + 2 x trapezium
= 0,55x1,6 + 2x(0,246+0,225)
2 x0,05
= 0.90355m2 = 0,904 m2
luas balok b = 2 x trapesium 1+2 x trapesium 2 + luas persegi panjang
= 2x(0,2+0,125)
2 x0,185 + 2x(0,325+0,225)
2 x0,235 + 1,6x0,18
= 0,477 m2
Berat total balok : (2x0,495x0,9 + 2x0,904x1,25 + 0,477x21,3)m3x2600 kg/m3
: 34608,86 kg : 34,6 ton
III.3 Pembebanan III.3.1 Beban Mati
Gambar 3.2 Potongan melintang jembatan
C D E
A B
Kemungkinan beban maksimum bekerja berada pada bagian C atau bagian A potongan balok. Kedua potongan ini akan dianalisa dan dibandingkan untuk mendapatkan desain balok secara umum.
a. Berat per satuan panjang balok pracetak
= Berat total balok (kg) panjang balok (m) x g
=3460025,6 x10
= 13515,625 N/m
= 13,516 kN/m b. Slab
Tebal slab = 250 mm
Lebar slab = 9000 mm
Berat per satuan panjang slab
= luasan melintang ctc x berat isi beton
= 1,85m x 0,25m x 24 kN/m3
= 11,1 kN/m c. Deck Slab
Gambar 3.3 Potongan melintang deck slab
Tebal deck slab = 70 mm Lebar deck slab = 1200 mm
Berat per satuan panjang deck slab untuk perencanaan balok A
= 0,5 x luasan melintang x berat isi beton
= 0,5 x 1,2m x 0,07m x 24 kN/m3
= 1,008 kN/m
Berat per satuan panjang deck slab untuk perencanaan balok C
= luasan melintang x berat isi beton
= 1,2m x 0,07m x 24 kN/m3
= 2,016 kN/m d. Aspal
Tebal aspal = 50 mm Lebar aspal = 8000 mm
Berat per satuan panjang aspal perencanaan balok A
= lebar aspal x tebal aspal x berat isi aspal beton
= 1,225m x 0,05m x 22 kN/m3
= 1,3475 kN/m
Berat per satuan panjang aspal perencanaan balok C
= lebar aspal x tebal aspal x berat isi aspal beton
= 1,85m x 0,05m x 22 kN/m3
= 2,035 kN/m
e. Parapet
Khusus pembebanan pada balok A
Gambar 3.4 Penampang parapet Luasan parapet =
= (0,25 x 1,2) + ((0,35 + 1,2)
2 x 0,05) + ((0,1 + 0,35)
2 x 0,2) = 0,384 m2
Berat per satuan panjang parapet
= luasan parapet x berat isi beton
= 0,384 m2 x 24 kN/m3
= 9,216 kN/m f. Diaphragma
Analisa pemodelan diaphragma yaitu sebagai beban terpusat yang bekerja di sepanjang balok dengan jarak antara beban 6250 mm.
Ukuran diaphragma yang digunakan ada dua jenis dalam satu bentang jembatan yaitu diaphragma ujung dan diaphragma tengah.