BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. UMUM
2.1.1. Definisi Pelat Lantai
Pelat merupakan bagian dari suatu struktur yang mana biasanya dijumpai
dalam struktur bangunan lantai gedung, atap, lantai jembatan dan sebagainya.
Biasanya pelat yang dimaksudkan merupakan struktur yang dimensinya
tipis/tidak tebal dan memiliki bidang arah yang horizontal, sehingga beban yang
dipikul oleh pelat merupakan beban tegak lurus (transversal) pada bidang struktur
pelat tersebut. Biasanya suatu struktur pelat lantai didesain dengan tingkat
kekakuan yang tinggi (high stiff level) dengan arah strukturnya yang horizontal, sehingga dengan demikian suatu struktur pelat lantai dapat bermanfaat sebagai
diafragma/penghubung suatu unsur pengaku horizontal, sehingga balok yang
ditopangnya menjadi tegar (ketegaran struktur balok portal). Pada dasarnya suatu
struktur pelat lantai dapat memikul beban yang yang bekerja berupa beban
gravitasi/ beban pijakan yang mana berasal dari beban hidup (manusia) dan beban
mati termasuk berat sendiri yang dipikul struktur pelat tersebut. Sehingga beban
yang bekerja tersebut menimbulkan suatu momen lentur. Dengan kata lain prinsip
perencanaan pelat sebenarnya hampir sama dengan struktur perencanaan pada
2.1.2. Tumpuan Pelat Lantai
Pada dasarnya yang tak kala pentingnya di dalam mendesain suatu pelat
lantai yaitu berupa jenis dari sistem tumpuannya (perletakkannya) dan juga jenis
penghubung di tumpuan tersebut. Hal ini nantinya akan sangat bergantung dengan
nilai kekakuan struktur di tumpuan tersebut, yang mana dapat menimbulkan
besarnya momen lentur yang dihasilkan pada struktur pelat tersebut.
Pada umumnya, bila kita lihat aplikasi di lapangan khususnya pada
pekerjaan struktur bangunan gedung terdapat tumpuan pelat dengan sistem balok
monolit (lihat Gambar 2.1a), tumpuan dengan partisi dinding/tembok (lihat Gambar 2.1b), tumpuan dengan menggunakan profil balok baja/komposit (lihat Gambar 2.1c), serta pelat dengan tumpuan kolom secara langsung tanpa adanya
balok penghubung (lihat Gambar 2.1d).
Gambar2.1.aPelat Ditumpu Balok (monolit) Gambar2.1.bPelat Ditumpu Dinding.
shear connector
2.1.3. Jenis-Jenis Perletakkan Pelat Pada Balok
Pada perencanaan perletakkan pelat pada balok umumnya mengenal 3
jenis perletakkan yaitu meliputi:
1) Perletakkan Bebas
Pada kondisi ini dapat diketahui jika struktur pelat tersebut terletak begitu
saja diatas tumpuan balok, yang mana struktur pelat dan baloknya tidak
dicor secara bersama-sama, sehingga dapat diperkirakan struktur pelat
tersebut berotasi secara bebas tanpa adanya kekangan dari balok tersebut
(lihat Gambar 2.2a).
2) Perletakkan Terjepit Elastis
Kondisi ini terjadi bila struktur balok dan pelat dilakukan pengecoran
secara bersama-sama secara menyatu (monolit), akan tetapi diketahui bahwa dimensi suatu struktur balok lumayan kecil sehingga struktur balok
tersebut tidak begitu mampu mencegah rotasi struktur pelat yang terjadi
(lihat Gambar 2.2b).
3) Perletakkan Terjepit Penuh
Pada situasi ini diketahui bila struktur balok dan pelat lantai dicor secara
berbarengan dan dilakukan secara menyatu (monolit), diketahui juga bahwa dimensi balok yang dipakai cukup besar, sehingga struktur balok
tersebut akan sangat mampu untuk mencegah terjadinya suatu
sebelum dibebani
setelah dibebani
sebelum dibebani
setelah dibebani
Gambar 2.2.a Pelat Terletak Bebas. Gambar 2.2.b Pelat Terjepit Elastis.
sebelum dibebani
setelah dibebani
Gambar 2.2.c Pelat Terjepit Penuh.
2.2. KOMPOSISI BETON PRATEGANG
2.2.1. Beton
Secara umum beton adalah suatu material konstruksi yang mempunyai
karakter kuat terhadap kondisi tekan, sedangkan lemah dalam kondisi tarik, yang
mana nilai kuat tariknya biasanya ± (8-14)% dari kuat tekannya. Dengan kuat
tarik yang lemah tersebut maka cenderung beton akan mengalami lentur yang
signifikan sehingga beton sering mengalami retak. Kondisi ini biasanya terjadi
pada awal pembebanan. Untuk mengurangi retak lentur tersebut biasanya
dilakukan pemberian gaya secara konsentris atau eksentris untuk arah longitudinal
elemen strukturnya. Gaya longitudinal yang dimaksudkan dapat juga disebut gaya
Komposisi beton polos biasanya merupakan unsur dari pencampuran
agregat halus (pasir), agregat kasar (kerikil/split), air dan juga campuran
tambahan bila diinginkan. Kuat tekan beton polos biasanya akan mencapai nilai
maksimum dalam kondisi 28 hari setelah pengecoran dilakukan. Beton
prategang/pratekan/presstressed adalah beton yang mengalami tegangan internal dengan besar dan distribusi sedemikian rupa sehingga dapat mengimbangi sampai
batas tertentu tegangan yang terjadi akibat beban eksternal (ACI 318-99).
Biasanya beton prategang yang digunakan merupakan jenis beton mutu tinggi
dengan nilai fc’ berada antara 30-45 MPa. Kebutuhan akan kuat tekan yang cukup
tinggi ini diperlukan untuk dapat menahan tegangan tekannya yang terjadi pada
serat tekan, proses pengangkuran tendonnya, untuk mencegah terjadinya
keretakan, yang mana memiliki modulus elastisitas yang tinggi dan mengalami
proses rangkak lebih kecil. Diagram hubungan tegangan-regangannya dapat
dilihat pada gambar dibawah ini (Gambar 2.3).
10
Berdasarkan SNI 2002 maka nilai kuat tarik beton sebesar:
σts = 0,5√fc’ ……….. (2.1)
sedangkan berdasarkan ACI 318, nilai kuat tarik beton sebesar:
σts = 0,6√fc’ ……….. (2.2)
Untuk nilai besaran modulus elastisnya sebesar:
Ec = 4700√fc’ ……… (2.3)
2.2.2. Baja
Untuk material baja yang digunakan dalam struktur beton prategang memiliki 2
hal yaitu:
1) Baja untuk tulangan (non prategang);
Seperti yang umum kita ketahui dan telah dijelaskan sebelumnya bahwa
struktur beton hanya kuat terhadap tekan saja, namun sangat lemah dalam
hal tariknya. Untuk menutupi kelemahan dari beton tadi maka harus diberi
tambahan baja tulangan sebagai bahan penahan kondisi tarik yang muncul.
Untuk beton prategang juga membutuhkan baja tulangan didalamnya,
namun baja tulangan ini biasa disebut tulangan non prategang.
Adapun beberapa fungsi kegunaan dari tulangan non prategang tersebut
yaitu:
a) Sebagai bahan tambah fungsi kuat tarik dan juga daktilitas dari
beton tersebut.
b) Sebagai penambah kuat lentur dari struktur.
c) Berfungsi sebagai sengkang, yang mana dapat menahan gaya tarik
d) Dapat mengurangi retak yang timbul pada beban kerja pada sistem
balok beton prategang sebagian.
e) Dapat mengontrol kondisi susut dan retak pada saat temperatur
tinggi dengan gaya prategangnya yang rendah.
f) Dapat mengurangi bahaya lendutan yang terjadi jangka panjang
dan juga kondisi perpendekan akibat dari rangkak dan susut.
g) Dapat menahan gaya tekan disaat kondisi nilai kuat tekan beton
tidak sesuat dengan kondisi yang diharapkan.
Tegangan tarik untuk baja tulangan biasa (non prategang) yaitu sebesar
320 – 400 MPa dengan nilai modulus elastisnya Es sebesar 200 x 103
MPa. Namun dalam mendesain maka tegangan leleh fy digunakan
sebagai kekuatan material. Selanjutnya untuk dapat melihat penggunaan
tulangan non prategang pada beton prategang dapat dilihat dari visual
Gambar 2.4, Gambar 2.5, Gambar 2.6, Gambar 2.7, Gambar 2.8.
: T u la n g a n N o n - P r a t e g a n g
P P
Gambar 2.4. Tulangan Non Prategang Penahan Tarik Di Tengah Bentang
P P
P P
P P
Gambar 2.6. Tulangan Non Prategang Penahan Tekan
P P
P P
Gambar 2.7. Tulangan Non Prategang Penahan Lentur
P P
Gambar 2.8. Tulangan Non Prategang Penahan Retak
Untuk melihat hubungan tegangan dan regangan pada tulangan non
prategang (tulangan biasa) dapat dilihat pada Gambar 2.9. Sedangkan
untuk luas hubungan luas penampang dengan jumlah tulangannya dapat
800 Tegangan (MPa)
Regangan (%)
Gambar 2.9. Diagram Tegangan Regangan Tulangan Biasa
Tabel 2.1 Luas Penampang Tulangan Biasa (Non Prategang)
Diameter
Pada beton prategang dikenal ada 3 jenis kawat baja prategang yang sering
digunakan yaitu:
Untuk jenis kawat ini biasanya dipakai untuk beton prategang
dengan sistem pratarik. Biasanya Φ3 mm-Φ8 mm. Untuk metode
penjangkaran biasanya dibedakan atas tipe BA (button anchorage) dan tipe WA (wedge anchorage). Karakteristiknya diatur dalam ASTM A 421.
b) Kawat batangan (bars)
Untuk jenis kawat yang satu ini biasanya digunakan untuk beton
prategang pratarik. Diameter untuk batangan memiliki diameter
besar yaitu 23 mm - 38 mm. Spesifikasi teknis pembuatan menurut
ASTM A 322. Biasanya mamiliki beberapa bentuk seperti sebagai
berikut:
Polos bulat licin (smooth bars) Mis:
Bulat berprofil/berulir (deformed bars) Mis:
Lonjong berprofil
Mis:
c) Untaian kawat (strand)
Jenis kawat ini digunakan untuk baton prategang sistem
pascatarik. Diameter untuk untaian kawat (strand) berkisar antara 9,3 mm – 15,2 mm. Persyaratan untuk strand diatur dalam ASTM A 416. Untuk jenis kawat strand biasanya terdiri dari pintalan
3 kawat
7 kawat
19 kawat
Gambar 2.10 Untaian Kawat (strand)
Untuk tegangan tarik (fp) yang dimiliki jenis kawat diatas berfariasi antara
1500 -1700 MPa, dengan modulus elastisnya Ep berkisar 200 x 103 MPa.
Untuk nilai tegangan leleh sebesar:
Fy = 0,85xfp ………. (2.4)
Bila melihat diagram regangan dan tegangan untuk ketiga kawat baja
prategang tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.11, Gambar 2.12, dan
Gambar 2.13.
1200
800
400 1600 1800
Tegangan (MPa)
Regangan (%) 0
1 2 3 4 5
1000
Gambar 2.12. Diagram Tegangan Regangan Untaian Kawat
1200
Gambar 2.13. Diagram Tegangan Regangan Baja Batangan
Untuk melihat tipikal dari suatu baja prategang dapat dilihat dari Tabel
2.2.
Tabel 2.2 Tipikal Baja Prategang
Untaian
2.3. KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN DALAM PEMAKAIAN BETON
PRATEGANG
Bila kita cermati lebih jauh maka beton prategang ini memiliki banyak
sekali keunggulannya dibandingkan dengan beton bertulang pada umumnya.
Berikut ini diuraikan beberapa keuntungan dalam penggunaan beton prategang
adalah sebagai berikut:
1. Dapat menghindarkan dari terjadinya proses retak terbuka pada daerah
beton tarik, sehingga lebih tahan terhadap aspek korosif.
2. Dimensi pada penampang struktur beton jauh lebih kecil/langsing,
dikarenakan seluruh penampang dapat terpakai secara efektif, sehingga
biaya strukturnya jauh lebih ekonomis.
3. Dapat menambahkan ketahanan geser balok, yang mana hal ini
dikarenakan aspek pratekannya yang mengurangi nilai tegangan tarik
utama.
4. Pemakaian dimensi/berat untuk baja prategang jauh lebih kecil daripada
dimensi/berat baja tulangan biasa (beton bertulang). Kondisi ini bisa
sampai 1/5 – 1/3 nya, sehingga dapat mengurangi beban mati yang
5. Pada pemakaian kabel prategang untuk bentang yang panjang dan
continue maka dapat mampu mengurangi gaya geser yang terjadi di penampang tempat tumpuan struktur tersebut diletakkan.
6. Biaya pemeliharaannya yang jauh lebih ekonomis, karena hampir tidak
terjadinya kondisi retak-retak meskipun berada dalam situasi beban kerja.
7. Struktur baton prategang ini sangat dianjurkan untuk pemakaian pada
konstruksi jembatan bersegmen, struktur pelat dan cangkang, struktur
tangki, serta struktur pracetak.
Sedangkan untuk kekurangan dari penggunaan struktur prategang ini meliputi
sebagai berikut:
1. Pada saat pemasangannya dibutuhkan peralatan khusus seperti tendon,
angkur, mesin penarik, kabel/kawat prategang, dsb.
2. Bila dilihat dari kualitas bahannya yaitu mutu beton dan bajanya maka
memerlukan biaya yang sedikit lebih mahal.
3. Pemasangan beton prategang ini memerlukan keahlian dan ketelitian yang
lebih tinggi, sehingga dibutuhkan tukang/pelaksana konstruksi yang
berkopeten dalam hal pelaksanaan beton prategang tersebut.
2.4. METODE PRATEGANG
Pada dasarnya metode pelaksanaan beton prategang memiliki 2 jenis/tipe
antara lain:
2.4.1. Metode Pratarik (Pre Tension)
Definisi dari metode pratarik yaitu dengan memberikan prategang terlebih
dahulu kepada beton yang mana tendon ditarik untuk diberi gaya prategang
sebelum dilakukan tindakan pengecoran adukan beton kedalam bekisting yang
telah disiapkan. Dapat dilihat visualisasi proses tahapan-tahapannya pada Gambar
2.14.
P
a. Kabel (tendon) ditegangkan dengan alat bantu
b. Tendon dicor
c. Setelah balok mengering/keras maka tendon diputus perlahan-lahan, dimana tegangan baja ditransfer ke beton melalui tendon.
P
P P
Gambar 2.14. Sistem pratarik (pre tension)
2.4.2. Metode Pasca Tarik (Post Tension)
Untuk metode pasca tarik (post tension) dapat diartikan yaitu dengan memberikan gaya prategang pada beton yang mana baja tendon baru saja ditarik
sesudah beton tersebut dicor terlebih dahulu sehingga memiliki batas kekuatan
beton yang cukup agar dapat memikul beban tegangan sesuai dengan apa yang
dikehendaki. Dapat dilihat visualisasi proses tahapan-tahapannya pada Gambar
a. beton dicor dan tendon diatur sedemikian rupa kedalam selubung tendon, sehingga tidak ada lekatan antara beton dan baja
b. Tendon di tarik pada salah satu atau kedua ujungnya dan menekan beton langsung
c. Setelah tendon ditarik, kemudian dijangkarkan pada ujung-ujungnya. Prategang ditransfer ke beton melalui jangkar ujung tersebut. Bila ingin baja terekat pada beton, maka dilakukan grouting (penyuntikan) pasta semen ke dalam selubung.
P P
Gambar 2.15. Sistem pasca tarik (post tension)
2.5. TAHAPAN PEMBEBANAN
Sebelum melakukan pendimensian penampang beton prategang maka
dilakukan pemberian pembebanannya. Adapun pemberian beban yang dilakukan
harus memenuhi tahapan-tahapan serta dilakukan pengecekan untuk setiap
tahapannya. Di setiap tahapan tersebut berlaku tegangan ijin yang tidak sama
sesuai dengan kondisi coran beton dan baja tendon yang digunakan. Secara umum
terdapat dua tahap untuk pembebanan prategangnya yaitu: kondisi beban transfer
dan kondisi beban service.
2.5.1. Kondisi Beban Transfer
Pada kondisi ini dapat diartikan beton sudah mulai mengeras kemudian
dilakukan tahapan penarikan baja tendon/kabel prategang. Di situasi ini biasanya
Untuk beban hidup belum bekerja sehingga momen yang terjadi masih dalam
kondisi minimum, sementara untuk gaya yang bekerja yaitu gaya maksimum
sebab belum terjadi proses kehilangan gaya prategangnya.
2.5.2. Kondisi Beban Service/Final
Untuk kondisi ini maka disituasikan pada saat beton prategang telah
mampu memikul seluruh beban yang bekerja dan juga setelah seluruh
pertimbangan kehilangan gaya prategang telah dialami. Di kondisi ini maka beban
luar telah mencapai posisi maksimum/puncak sebaliknya gaya prategang yang
diberikan mendekati nilai minimum.
Kemudian di setiap kedua kondisi diatas maka dilakukan adanya analisis yang
mana berupa kontrol lendutan yang terjadi terhadap lendutan ijin, nilai retak
terhadap suatu nilai batas dan lain-lain. Analisis tegangan dimaksudkan untuk
desain dan kekuatan struktur, sedangkan kontrol terhadap harga dilakukan untuk
desain kekuatan, kemampuan layan, ketahanan baja terhadap leleh serta yang
lainnya.
2.5.3. Kombinasi Pembebanan
Untuk peraturan pembebanan yang berlaku di Indonesia mengenai Tahap
Batas Kekuatan Struktur (Strength Limit States Structure) berlaku peraturan SNI 03-2874-2002 yaitu:
Beban Mati : U = 1,4 D
Baban Mati dan Hidup : U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5 (A atau R)
Gempa : U = 1,2 D + 1,0 L + 1,0 E atau 0,9 D ± 1,0 E Sedangkan berdasarkan peraturan ACI 318-83 (1983) berlaku ketentuan
pembebanan yaitu:
Beban Angin : U = 1,4 D + 1,7 L
Gempa : U = 0,75 (1,4 D + 1,7 L + 1,7 W) atau 0,9 D + 1,3 W
Gempa : U = 0,75 (1,4 D + 1,7 L + 1,1 E) atau 0,9 G + 1,1 E
Tekanan Tanah : U = 1,4 D + 1,7 L + 1,7 E atau 0,9 D + 1,7 E
Untuk mendesain suatu struktur berdasarkan tahap batas kekuatan (strength limit state) maka aksi desain (Ru) ≤ Φ Rn. Sehingga nilai momen, geser, punter dan gaya aksial berlaku:
Mu ≤ Φ Mn ……… (2.4)
Vu ≤ Φ Vn ……… (2.5)
Tu ≤ Φ Tn ……… (2.6)
Pu ≤ Φ Pn ……… (2.7)
Untuk nilai kofisien reduksi (Φ) menurut SNI 03-2874-2002 adalah:
Φ = 0,8 untuk lentur tanpa gaya aksial.
Φ = 0,8 untuk gaya aksial tarik dan aksial tarik dengan lentur.
Φ = 0,65 untuk gaya aksial tekan dan aksial tekan dengan lentur.
Φ = 0,6 untuk gaya lintang dan puntir.
Φ = 0,75 untuk gaya geser dan puntir.
Untuk kondisi dimana kolom bertulangan simetris, maka nilai dari Φ akan naik
dari 0,65 menjadi 0,8. Suatu struktur beton prategang yang didesain guna
mengalami retak pada beban yang bekerja maka akan didesain sebagai prategang
Ada beberapa hal yang penting dalam mendesain suatu struktur beton prategang
yaitu:
1. Pada situasi beban transfer dimana terdapat gaya prategang awal dan
beban terbatas (beban mati, pekerja dan alat konstruksi).
2. Perhitungan untuk kehilangan gaya prategang biasanya sebesar 25 % di
hitungan awal pada struktur pratarik dan sebesar 20 % untuk kondisi
struktur pasca tarik.
3. Di situasi beban service yang bekerja dimana gaya prategang efektif serta beban maksimum (beban mati dan hidup serta asumsi beban-beban lain).
4. Adanya pengaruh sekunder pada struktur statis tak tentu, akibat dari faktor
P-δ serta lainnya.
2.6. KEMAMPUAN KELAYANAN
2.6.1. Umum
Adapun hal yang paling pertama dilakukan pada saat mendesain struktur
beton prategang yaitu menyiapkan parameter-parameter yang dibutuhkan, yang
mana antara lain: denah dan detail gambar dimensi penampang, mutu bahan yang
dipakai, sistem dan metode perencanaan struktur dan kebutuhan lainnya. Ada dua
langkah utama di saat menentukan kelayanan struktur beton prategang yaitu:
1. Tahap kondisi saat transfer yang mana nilai kekuatan dari suatu struktur
masih amat rendah sehingga beban muatan struktur masih kecil (hanya
beban mati, pekerja dan alat konstruksi yang bekerja), namun memiliki
2. Tahap kondisi service/final yang mana semua beban telah bekerja, dan nilai gaya prategangnya mencapai nilai terendah. Kondisi ini seluruh
persyaratan harus terpenuhi.
Pada dasarnya untuk persyaratan kemampuan kelayanan harus memenuhi syarat
kombinasi beban, lendutan jangka panjang dan pendek serta deformasi struktur
yang terjadi keretakan penampang. Dalam menentukan suatu nilai besaran dari
gaya prategang yang bekerja maka ditentukan dahulu section properties, dimana dihitung nilai inersia penampang (I), momen tahanan (W), eksentrisitas tendon
pada penampang (e), serta batas-batas dimana terletak tegangan tarik dan
tekannya.
2.6.2. Pendimensian Penampang Jenis Pelat
Dalam menentukan dimensi suatu penampang struktur prategang maka
ada banyak hal yang mesti diperhatikan yang mana diantaranya yaitu panjang
bentang, sistem kekakuan/statika, beban/muatan yang bekerja baik beban mati
dan hidup, mutu bahan (kualitas beton, baja tulangan non-prategang dan
tendonnya) serta unsur-unsur lainnya. Berdasarkan hal tersebut maka didalam
mendesain suatu struktur pelat lantai beton prategang maka dilakukanlah suatu
pendekatan nilai dari rasio/perbandingan panjang bentang terhadap tinggi
penampang. Berikut merupakan nilai tabel pendekatan rasio antara panjang
bentang dengan tinggi/tebal suatu struktur pelat lantai (lihat Tabel 2.3 dan Tabel
Tabel 2.3. Asumsi Rasio Panjang Bentang Dengan Tinggi Pelat (Lin, 1982)
Tabel 2.4. Asumsi Rasio Panjang Bentang Dengan Tebal Pelat (PTI, 1977)
Sistem Pelat Lantai Rasio Panjang Bentang Thd. Tebal
Pelat datar 45
Pelat datar dengan drop panel 50
Pelat satu arah 48
Pelat ditumpu diujung 55
Pelat dengan balok ban (b≈3D) 30
Sumber: Budiadi, A. 2008.
Bila digunakan rumus pendekatan maka menurut Gilbert (1990) ditetapkan
persamaan rasio panjang bentang dengan tinggi pelat sebagai berikut:
≤
/
……… ………. 2.8
Dimana:
≤
50
untuk pelat tipe satu arah.
≤
55
untuk pelat tipe dua arah ditumpu diujung.
Untuk nilai koefisien K yang merupakan faktor sistem pelat dengan nilai berkisar
1,9 - 3,0.
2.6.3. Lendutan Untuk Jenis Struktur Pelat Lantai
Ada beberapa cara/metode dalam menentukan nilai batas lendutan untuk
struktur pelat dua arah yang mana salah satunya adalah metode klasik oleh
Timoshenko dan Woinowsky-Krieger (1959), yaitu persamaan:
=
………...…………... 2.9Dimana:
β : nilai koefisien lendutan pelat seperti pada Tabel 2.5,
w : beban merata,
L : panjang bentang,
Ec : nilai modulus elastisitas beton.
Untuk AS 3600 pada pelat dua arah maka nilai beban ultimate merata yang
bekerja dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
=
……… 2.10Dimana:
Ly : ukuran bentang panjang dari struktur pelat lantai,
Lx : ukuran bentang pendek dari struktur pelat lantai,
α : nilai faktor di kondisi tumpuan, yang mana harganya berupa:
α = 1,0 untuk 4 sisi menerus (continue) atau tidak menerus (uncontinue).
α = 1,0 untuk 2 sisi yang berdekatan dengan tidak menerus (uncontinue).
α = 2,0 untuk 1 sisi panjang dengan tidak menerus (uncontinue).
α = 0,5 untuk 1 sisi pendek dengan tidak menerus (uncontinue).
α = 2,5 untuk 2 sisi panjang dan 1 sisi pendek tidak menerus (uncontinue)
α = 0,4 untuk 2 sisi pendek dan 1 sisi panjang tidak menerus (uncontinue)
α = 5,0 untuk 2 sisi panjang dengan tidak menerus (uncontinue).
α = 5,0 untuk 2 sisi pendek dengan tidak menerus (uncontinue).
Bila ingin mencegah keretakan, maka untuk AS 3600 dipasang tulangan
minimum pada pelat. Rasio minimumnya yaitu 0,0018
diujung-ujungnya maka rasio tulangan minimum sebesar 0,0063, sedangkan nilai
rasio minimum 0,0035 untuk kondisi pelat yang tidak boleh mengalami keretakan
seperti pada struktur pelat dan atap yang berfungsi menahan air pada bagian
Tabel 2.5. Koefisien Lendutan Pelat β Untuk Rasio Poissonυ = 0,2 (Gilbert,
Jika lendutan struktur pelat tersebut dipengaruhi oleh susut dan rangkak, maka
nilai lendutan yang disebabkan oleh rangkak yaitu:
= ……….. 2.11
Dimana:
δ sus = lendutan jangka pendek,
Sedangkan apabila lendutan tersebut disebabkan oleh faktor susut maka nilai
lendutannya dapat dihitung menggunakan persamaan yaitu:
= ……….. 2.12
Dimana:
β = faktor kondisi di tumpuan dengan harga 0,125 untuk perletakan
sederhana, nilai 0,009 untuk kondisi bentang di ujung pelat menerus, serta
nilai 0,065 bila bentang tengah pelat menerus.
Ksh = kelengkungan nilai rata-rata akibat susut.
Le = nilai panjang bentang yang ditinjau.
Untuk mencari nilai Ksh dimana pelat merupakan prategang penuh, maka:
=
, ……….. 2.13Dimana:
εsh = regangan susut.
h = tebal pelat.
Untuk nilai batasan defleksi/lendutan menurut BMS dapat dilihat pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6. Tabel Batasan Lendutan Menurut BMS
Jenis Elemen Defleksi yang
ditinjau
Defleksi maksimum yang diijinkan
Beban kendaraan Beban kendaraan
Kantilever beban impak l/400 l/375
Sedangkan menurut peraturan SNI maka lendutan ijin maksimum yaitu:
Tabel 2.7. Batas Lendutan Ijin Maksimum Berdasarkan SNI
Jenis komponen
Lendutan seketika akibat
beban hidup (L)
Lendutan seketika akibat
beban hidup (L)
360
Konstruksi atap atau
lantai yang menahan atau
disatukan dengan
komponen nonstruktural
yang mungkin akan rusak
oleh lendutan yang besar
Bagian dari lendutan total
yang terjadi setelah
pemasangan komponen
nonstruktural (jumlah
dari lendutan jangka
panjang, akibat semua
Konstruksi atap atau
lantai yang menahan atau
disatukan dengan
komponen nonstruktural
yang mungkin tidak akan
rusak oleh lendutan yang
besar.
beban tetap yang bekerja
dan lendutan seketika,
akibat penambahan beban
hidup)
240
2.7. KEHILANGAN GAYA PRATEGANG
Kehilangan gaya prategang merupakan suatu kondisi dimana menurunnya
gaya prategang yang bekerja pada baja tendon pada tahap-tahap pembebanan
berlangsung. Berdasarkan jenisnya maka kehilangan gaya prategang ini memiliki
2 jenis yaitu:
1. Kehilangan Langsung/Immedietly Loss.
Yaitu kondisi dimana kehilangan gaya prategang terjadi setelah peralihan
gaya prategang yang mana didalamnya terdapat pengaruh:
a. Akibat gesekan kabel/tendon (friction and wobble effect). b. Akibat slip angker (slip anchorage).
c. Akibat perpendekan elastis (elastomic shortening). 2. Kehilangan Tak Langsung/Time Dependent Loss.
Yaitu kehilangan gaya prategang yang mana bergantung pada waktu yang
mana didalamnya terdapat pengaruh:
c. Akibat relaksasi baja (relaxation).
2.7.1. Akibat Perpendekkan Elastis (Elastomic Shortening)
Pada prinsipnya proses pengeringan beton pada sistem prategang dapat
mempengaruhi kehilangan gaya tegangan tendonnya. Pada struktur prategang
memiliki perbedaan dalam hal kehilangan prategang yang disebabkan adanya
perpendekan gaya elastisitas dari beton tersebut. Perbedaan tersebut terjadi pada
sistem pratarik dan pasca tarik.
2.7.1.1.Pratarik
Biasanya sistem pratarik sangat dipengaruhi oleh perbandingan modular
dan tegangan beton pada tingkatan baja, sehingga dapat dinyatakan dalam
persamaan:
ES = n fc ………..……….. 2.14
Dimana:
fc = tegangan beton pada tingkatan baja, sedangkan
n = perbandingan modular dengan nilai dari n = Es/Ec.
Sedangkan untuk kehilangan tegangan yang terjadi akibat dari perpendekan
elastik yaitu:
=
……… 2.15Dimana:
n = nilai perbandingan modular di saat kondisi beban transfer, dengan
asumsi n = Es/Eci,
Ac = luas penampang beton,
As = luas penampang baja.
2.7.1.2.Pascatarik
Pada kondisi pascatarik maka kehilangan gaya prategang dihitung dengan
menggunakan persamaan:
=
∆
=
……….. 2.16Dimana:
fc : tegangan pada penampang,
Pi : gaya prategang awal.
Atau dapat juga dihitung dengan menggunakan pendekatan persamaan:
= 0,5 ……….. 2.17
2.7.2. Akibat Gesekan Pada Tendon
Bila diketahui pada struktur prategang di saat kondisi tendon mengalami
kelengkungan maka akan terjadi gesekan pada tendon dan angkur sehingga nilai
tegangan pada tendon akan mengalami pengurangan. Kehilangan yang terjadi di
tendon sangat dipengaruhi oleh pergesekan dari selongsong (wobble). Harga K yang ditetapkan untuk tenson dengan 7 wire strand yaitu berkisar 0,0016 dan 0,0066, sedangkan harga µ yaitu 0,15 dan 0,25. Maka asumsi kehilangan gaya
prategang akibat gesekan pada tendon yang melengkung yaitu dapat dihitung pada
persamaan sebagai berikut:
Dimana:
P1 : nilai gaya prategang di posisi 1,
P2 : nilai gaya prategang di posisi 2,
L : panjang segmen yang harus ditinjau,
α : besaran nilai sudut yang dibentuk pada lengkungan tendon yang ditarik,
e : 2,7183.
Untuk menghitung kehilangan nilai prategang yang disebabkan oleh gesekan
/friksi yang terjadi pada tendon kondisi pasca tarik dapat dihitung oleh persamaan:
=
. ( ) ……….………. 2.19 Namun bila dalam perhitungan didapat nilai (K Lx + µα) ≤ 0,3 , maka nilaikehilangan gaya prategang akibat adanya gesekan/friksi dihitung dengan persamaan:
= ( 1 + + μ ) ……….……… 2.20
Dimana:
Ps : nilai gaya prategang di posisi ujung angkur,
Px : nilai gaya prategang di posisi titik x atau posisi tinjauan.
Nilai K dan µ merupakan nilai ketetapan (konstanta) yang mana besaran nilainya
dapat dilihat pada Tabel 2.8.
Tabel 2.8. Koefisien Wobble dan Koefisien Friksi (SNI 2002)
Jenis Baja
Batang
Kekuatan Tinggi
0,0003–0,0020 0,08–0,3
Strand 7 Kawat 0,0016–0,0066 0,15–0,25 Tendon Kawat 0,0033–0,0066 0,05–0,15
Strand 7 Kawat 0,0033–0,0066 0,05–0,15
Tendon
Tanpa
Lekatan
Mastic Coated
Tendon Kawat 0,0010–0,0066 0,05–0,15
Pre-greassed
Strand 7 Kawat 0,0010–0,0066 0,05–0,15
Sumber: Budiadi, A. 2008.
Bila mengadopsi peraturan yang dikeluarkan oleh ACI 318, maka nilai asumsi
kehilangan gaya prategang akibat dari adanya gesekan/friksi adalah persamaannya
sebagai berikut:
=
. ( ) ……….……… 2.21Dimana:
Lpa : nilai jarak dari tendon yang ditarik,
αt : jumlah ketetapan nilai mutlak pada semua deviasi angular dari tendon
pada sepanjang Lpa dalam radian,
βp : nilai deviasi angular (dalam wobble), dimana nilainya ditinjau berdasarkan diameter selongsong (ds). Dimana nilai selongsong berisi
strand yang mana memiliki diameter dalam:
ds ≤ 50 mm 0,016 ≤ βp ≤ 0,024
90 < ds ≤ 140 mm 0,008 ≤ βp ≤ 0,012
Selongsong metal datar 0,016 ≤ βp ≤ 0,024
Batang yang diberi gemuk (greased), kemudian dibungkus βp =
0,008
µ : nilai koefisien kelengkungan gesekan/friksi, dimana nilainya:
µ ≈ 0,2 yaitu pada strand yang selongsong besi yang mengkilap
dan dilapisi zinc,
µ ≈ 0,15 yaitu pada strand yang diberi gemuk (greased) dan
dibungkus,
µ ≈ 0,5 yaitu pada strand di selongsong beton yang tidak
mengalami proses pembentukan (unlined),
2.7.3. Akibat Slip Pada Bagian Angkur
Biasanya proses kehilangan gaya prategang akibat slip terjadi disaat kawat
(tendon) dilepaskan dari mesin penarik kemudian ditahan oleh penahan pada
bagian angkur. Nilai rata-rata untuk panjang slip pada tendon yaitu sebesar 2,5
milimeter. Maka dari itu untuk menghitung gaya prategang yang hilang akibat
dari slip di bagian angkur dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
= ∆ = ……….. 2.22
Dimana:
Δ : deformasi di bagian angkur, dimana dapat dilihat dari rasio fs dan Es,
fc : nilai tegangan pada penampang,
Es : nilai modulus elastisitas baja tendon,
2.7.4. Akibat Rangkak Pada Struktur Beton
Pada dasarnya kehilangan gaya pratekan yang disebabkan rangkak dapat
ditentukan dengan menggunakan 2 metode yaitu:
1. Metode regangan rangkak batas,
2. Metode koefisien nilai rangkak.
2.7.4.1. Metode Regangan Rangkak Batas
Dengan metode regangan rangkak batas, maka nilai kehilangan akibat
rangkak dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
= ………... 2.23
Dimana:
εcr : regangan akibat rangkak batas,
fc : tegangan tekan beton pada level baja,
Es : nilai modulus elastisitas baja.
2.7.4.2. Metode Nilai Koefisien Rangkak
Bila menggunakan metode nilai koefisien rangkak, maka besarnya nilai
kehilangan tegangan pada baja prategang akibat proses rangkak dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan:
= ……….. 2.24
= = ………..……….. 2.25
= = = = ………... 2.26
Dimana:
φ : nilai koefisien rangkak, n : angka rasio modular,
εcr: nilai regangan disebabkan rangkak, fc : kuat tekan beton pada level baja,
εe : regangan elastis, Ec : nilai modulus elastisitas beton,
Es : nilai modulus elastisitas baja.
Pada suatu struktur beton prategang, apabila memiliki rekatan yang baik antara
beton dan tendon (bonded members), maka kehilangan nilai gaya tegangan akibat rangkak dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
= ( − ) ………. 2.27
Dimana:
Kcr : nilai koefisien rangkak, dimana harganya 2,0 untuk sistem pratarik dan
1,6 untuk sistem pasca tarik,
Ec : nilai modulus elastisitas beton,
Es : nilai modulus elastisitas baja,
fci : nilai tegangan pada beton pada level baja sesaat setelah transfer,
fcd : nilai tegangan pada beton di titik pusat berat tendon akibat beban mati.
Dan apabila suatu struktur tidak terjadi lekatan yang baik antara tendon dan beton
(unbounded members), maka nilai kehilangan gaya prategannya dapat ditentukan dengan persamaan yaitu:
= ( ) ………. 2.28
2.7.5. Akibat Susut Pada Struktur Beton
Pada dasarnya pengurangan gaya prategang yang disebabkan oleh susut
pada beton dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu perbandingan volume
terhadap luas permukaan, kelembaban relatif serta durasi waktu antara akhir
pengecoran dan pemberian gaya prategang. Sehingga kehilangan akibat susut
beton dapat dirumuskan sebagai berikut:
= ………...……… 2.29
Dimana:
εcs : nilai regangan susut sisa total, dimana
εcs = 300 x 10-6 terjadi pada struktur pratarik,
=
( ) terjadi pada struktur pascatarik yang mana fungsi t
merupakan usia beton pada kondisi beban transfer gaya prategang yang
dinyatakan dalam hari.
Nilai suatu susut pada beton juga dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
= ……….……… 2.30
Dimana harga εsh dapat ditentukan sebagai berikut:
= 8,2 10 1−0,06 ( 100− ) ……… 2.31
Dimana:
εsh : nilai susut efektif,
Ksh : nilai koefisien susut yang mana ditentukan oleh durasi waktu antara akhir
pengecoran dan saat pemberian gaya prategang, dimana nilai Ksh dapat
dilihat pada Tabel 2.9.
Es : nilai modulus elastisitas baja prategang,
RH : nilai kelembaban udara relatif.
Tabel 2.9. Koefisien Susut Ksh
Waktu Antara
(hari)
1 3 5 7 10 20 30 60
Ksh 0,92 0,85 0,80 0,77 0,73 0,64 0,58 0,45
Sumber: Budiadi, A. 2008.
2.7.6. Akibat Relaksasi Baja
Proses relaksasi baja biasanya terjadi bila tendon mengalami perpanjang
tetap dan selama itu terjadi pengurangan gaya prategang pada tendon. Besarnya
kehilangan gaya prategang tersebut dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan:
= [ − ( + + ) ] ……….………… 2.32
Dimana:
C : koefisien faktor reaksi, dimana harganya tergantung pada jenis strand
baja prategang yang digunakan,
Kre : nilai koefisien relaksasi, dimana nilainya antara 41 – 138 N/mm2,
J : koefisien faktor berdasarkan waktu, dimana nilainya antara 0,05 dan
0,15,
SH : hilangnya tegangan yang diakibatkan oleh susut,
CR : hilangnya tegangan yang diakibatkan oleh rangkak,
ES : hilangnya tegangan yang diakibatkan oleh proses perpendekan elastik.
Dengan demikian kehilangan gaya prategang yang diakibatkan oleh proses
= 1− ……….………. 2.33
Dimana:
R : nilai relaksasi rencana yang dinyatakan dalam satuan %,
ECS : hilangnya tegangan di daerah tendon yang disebabkan oleh rangkak CR
serta akibat proses susut SH (persamaan CR + persamaan SH),
fpi : nilai tegangan pada beton setelah terjadinya perpindahan gaya prategang.
2.8. EKSENTRISITAS DAN GAYA PRATEGANG
Pada aplikasinya yang dijumpai di lapangan biasanya pemakaian tendon
lurus banyak dipakai pada metode beton prategang pracetak dengan ukuran
bentang sedang, sedangkan untuk tendon yang diposisikan melengkung yang pada
umumnya dijumpai pada desain pascatarik dengan metode pengerjaan cor di
tempat (in situ). Ada dua jenis tendon tidak lurus yang kita kenal yaitu:
a. Draped
Jenis tendon ini memiliki suatu lengkung alinyemen secara gradual,
terlihat seperti parabolik yang mana dipakai pada balok yang mengalami
beban dari luar (eksternal) terbagi secara merata pada komponen struktur
yang memikulnya,
b. Harped
Jenis tendon ini diposisikan miring dengan diskontinuitas alinyemen pada
bidangnya, dimana terdapat beban terpusat, dipakai pada struktur balok
yang mengalami beban transversal terpusat.
Pada perhitungan tegangan pada struktur prategang dapat dikenal 2 kondisi yaitu:
Adalah situasi dimana beban yang diterima oleh struktur prategang
meliputi beban mati yaitu berat sendiri struktur pada saat transfer. Tegangan di kondisi akhir/layan (final),
Adalah situasi dimana beban yang diterima oleh struktur prategang
meliputi keseluruhan beban rencana baik itu beban hidup dan beban
mati/sendiri struktur pada kondisi pembebanan final.
Dalam menghitung gaya prategangnya maka digunakan persamaan:
Tegangan akibat prategang: + . ………..………. 2.34
Tegangan akibat beban luar termasuk berat sendiri:
……....
2.35Dimana:
P : nilai gaya prategang (N),
e : nilai eksentrisitas penampang (mm),
M : nilai momen akibat beban luar (N.mm),
W : nilai momen tahan (mm3).
Bila dilihat berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Dinas Bina Marga
021/BM/2011 adalah sebagai berikut:
Kondisi awal (transfer):
= − + . . − . ≤
……...
2.36= − − . . + . ≤
……...
2.37 Kondisi akhir/layan (final):
= − + . . − . ≤
……...
2.38Dimana:
σti : 0,5√fci MPa (nilai tegangan ijin tarik di kondisi awal/transfer), σci : 0,6√fci MPa (nilai tegangan ijin tekan di kondisi awal/transfer), σts : 0,5 √fc MPa (nilai tegangan ijin tarik di kondisi akhir/final), σcs : 0,45√fc MPa(nilai tegangan ijin tekan di kondisi akhir/final).
Mmin : Nilai momen maksimum yang bekerja pada kondisi awal/transfer, yang
mana momen yang muncul akibat dari berat sendiri struktur di kondisi
awal/transfer.
Mmax : Nilai momen total maksimum yang bekerja pada kondisi akhir/final.
Adapun beberapa hasil penjabaran rumus estimasi nilai eksentrisitas penampang
struktur balok prategang yaitu:
1. − + . − ≤ ′
.
≤ + +
……... x
≤ + +
……... 2.
402. − − . + ≤ ′
.
≤ − −
……... x
≤ + − −
……... 2.
413. -η. + η. . − ≤ ′
η. .
≥
η. + . +
……... 2.
424. −η. −η. . + ≤ ′
η. .
≥ − −
η
……... x
.≥
η. − . +
……... 2.
43Nb: - Dari persamaan 2.40 dan 2.41 maka diambil nilai terkecil
(menjadi e min),
- Dari persamaan 2.42 dan 2.43 maka diambil nilai terbesar
(menjadi e maks).
Sehingga untuk nilai akhir eksentrisitas (e) yaitu berkisar antara rentan emin≤ e ≤
emax. Dapat dilihat posisi eksentrisitasnya pada Gambar 2.16.
e m in
e m a x
D a e r a h k e r n
Gambar 2.16. Daerah Aman Kabel (Daerah Kern) Pada Struktur Balok
Sedangkan bila dilihat posisi kern pada penampang bentuk persegi dapat dilihat
h/6
h/6 h
b b/6 b/6
Gambar 2.17. Daerah Aman Kabel (Daerah Kern) Pada Struktur Balok
Bila menghitung besarnya gaya prategang (P) pada suatu struktur balok prategang
maka dipakai persamaan-persamaan sebagai berikut:
a. Kondisi awal (transfer), Serat Atas:
≤ .
.
……... 2.
44Serat Bawah:
≤ .
.
……... 2.
45Dari persamaan 2.44 dan 2.45 menghasilkan Pmin
b. Kondisi akhir (final), Serat Atas:
≥ .
η( . )
……... 2.
46Serat Bawah:
≥ .
η( . )
……... 2.
47Dari persamaan 2.46 dan 2.47 menghasilkan Pmaks
Pmin ≤ P ≤ Pmax
2.9. DAERAH AMAN KABEL/TENDON
Daerah aman kabel ini dimaksudkan supaya mengantisipasi terjadinya
tegangan yang mungkin akan melebihi tegangan ijinnya. Bila mengetahui daerah
aman tendon yang dimaksud maka dapat dilakukan langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Carilah terlebih dahulu nilai modulus penampang pada serat atas dan serat
bawah (Wa dan Wb)
= ; =
……... 2.
48Dimana: Ya = jarak titik pusat berat kearah serat atas,
Yb = jarak titik pusat berat kearah serat bawah.
2. Carilah jarak pusat penampang kearah serat atas dan bawah kern (ka dan kb)
= − ; =
……... 2.
49Dimana: Ac = luas penampang
3. Carilah nilai batas posisi kern arah atas dan bawah (k’a dan k’b)
Menurut peraturan yang dikeluarkan Dinas Binamarga tahun 2011, maka nilai
batas posisi kern yaitu di sepanjang balok dimana gaya aksial tekan tidak
dapat menimbulkan nilai tegangan yang melebihi tegangan ijinnya (baik pada
kondisi tarik maupun tekan).
′ = ( + 1) ′ = ( + 1)
……... 2.
50Dimana: k’a = nilai maksimum
′ = ( + 1) ′ = ( + 1)
……... 2.
51Dimana: k’b = nilai minimum
σgi = nilai tegangan akibat gaya prategang di kondisi saat
penarikan tendon = Pi/Ac.
4. Maka dapat diperoleh daerah aman tendon dengan menggunakan persamaan: