1 I.1 Latar Belakang
Pulau Bangka dan Belitung telah menjadi propinsi sendiri dengan keluarnya Undang-undang No. 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tepatnya tanggal 21 Nopember 2000. Propinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi propinsi yang ke-33 dari seluruh Propinsi di Indonesia. Propinsi ini secara administratif dibagi menjadi 6 kabupaten dan 1 kota yaitu Kabupaten Bangka, Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Belitung, kabupaten Belitung Timur, dan Kota Pangkalpinang.
Pembentukan propinsi baru mencanangkan berbagai rencana untuk pembangunan. Namun efek negatifnya adalah mengendurnya peraturan untuk praktek penambangan timah dasar laut yang dahulu hanya dilakukan oleh PT.Timah.
Hal itu mengakibatkan bertambahnya praktek tambang ilegal di Selat Bangka.
Selat Bangka sudah terkenal dengan kekayaan alam berupa timahnya sejak 300 tahun yang lalu. Eksploitasi timah di Selat Bangka dilakukan dengan penambangan lepas pantai dan penambangan darat. Penambangan lepas pantai di Selat Bangka dilakukan dengan pengerukan tanah dasar laut yang menyebabkan rusaknya bentuk topografi dasar laut. Akibat yang ditimbulkan adalah bentuk topografi dasar laut perairan Bangka menjadi lebih curam sehingga daya abrasi pantai menjadi semakin kuat. Kerusakan menjadi lebih parah dengan maraknya penambangan ilegal dan penambangan legal yang masih berlangsung.
Kegiatan penambangan timah lepas pantai di dasar laut yang bersifat legal melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal isap.
Cara kerja dari kedua alat ini adalah dengan menggali dan menyedot pasir timah yang ada di dasar laut. Cara yang sama juga dilakukan dalam penambangan ilegal dengan menyelam langsung ke bekas – bekas lubang penambangan timah legal yang telah ditinggalkan, lalu menyedot pasir timah dengan mesin pompa. Hal itu tentunya
akan menyebabkan dasar laut menjadi tidak teratur akibat dari lubang – lubang yang ditimbulkan dari kegiatan penggalian dan pengisapan pasir timah lepas pantai.
Lubang – lubang ini dapat diketahui melalui penyajian informasi perubahan bentuk topografi dasar laut perairan Selat Bangka. Penyajian informasi yang dilakukan berupa analisis perubahan bentuk topografi dasar laut di perairan Selat Bangka. Data pengukuran batimetri dasar laut perairan Selat Bangka dan data pendukung lainnya diperlukan sebagai bahan untuk menganalisis perubahan bentuk topografi dasar lautnya. Analisis perubahannya dilakukan dengan membandingkan topografi dasar laut sebelum dan sesudah pembentukan propinsi Bangka Belitung.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui perubahan kondisi dari bentuk topografi dasar laut perairan Selat Bangka dalam bentuk visual tidak langsung sehingga bisa dilihat bentuk topografi dasar laut tersebut sebelum dan sesudah tahun 2000 di dasar laut Selat Bangka.
I.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai perubahan yang terjadi di Selat Bangka dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2012 akibat penambangan timah di dasar laut. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan yang diajukan sebagai berikut :
1. Bagaimana perubahan bentuk topografi dasar laut Selat Bangka akibat penambangan timah lepas pantai?
2. Berapa besarnya perubahan kedalaman dan volume yang dihasilkan di dasar laut Selat Bangka akibat penambangan timah lepas pantai?
I.3 Batasan Masalah Batasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini :
1. Area penelitian mencakup wilayah Selat Bangka bagian selatan dengan koordinat 2°38’59” – 2°47’31” LS dan 105°47’44” – 105°54’27” BT.
2. Penelitian ini menggunakan 2 epoch, peta batimetri tahun 1996 dalam bentuk digital dan data pengukuran batimetri bulan Juni 2012 di Selat Bangka.
Penelitian ini dibatasi hanya dari 2 data tersebut walaupun penambangan
timah sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda dikarenakan ketersediaan data yang terbatas.
3. Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah metode analisis perubahan mengunakan selisih kedalaman dan nilai volume yang dihasilkan antar 2 epok.
4. Hasil yang dicapai adalah peta perubahan bentuk topografi dasar laut Selat Bangka.
I.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menyajikan informasi mengenai perubahan bentuk topografi dasar laut Selat Bangka akibat penambangan timah lepas pantai.
2. Mengetahui besar perubahan kedalaman dan volume yang dihasilkan di Selat Bangka akibat penambangan timah lepas pantai.
I.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yaitu didapatkan informasi yang lengkap tentang bentuk topografi dasar laut di Selat Bangka dan perubahan kedalaman serta volume yang dihasilkan terhadap bentuk topografi dasar laut akibat penambangan timah lepas pantai di Selat Bangka.
I.6 Tinjauan Pustaka
Poerbandono (2005) menyatakan bahwa penentuan kedalaman titik pemeruman, merupakan suatu proses pengukuran untuk memperoleh nilai suatu kedalaman yang bertujuan untuk menghasilkan gambaran bentuk topografi dasar perairan. Menurut prinsip dan karakter teknologi yang digunakan penentuan kedalaman dapat dilakukan dengan metode mekanik, optik atau akustik.
Wibawa, H. K. (2006) meneliti tentang hasil analisis pada hasil survei hidro- oseanografi di kawasan rencana pelabuhan Oswald Siahaan, tepatnya di Desa
Labuhan Angin, Tapian Nauli, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara menghasilkan kontur topogafi yang relatif datar (kemiringan 0 – 2%), pengaruh arus terhadap perairan relatif kecil (< 0.3 m/dt),tinggi gelombang permukaan angin yang relatif kecil (< 10 cm), dan sedimentasi serta kadar garam relatif kecil. Kesimpulan dari penelitian tersebut menyatakan bahwa kawasan Labuhan Angin di Teluk Tapian Nauli sangat ideal untuk menjadi lokasi rencana pembangunan pelabuhan.
Berdasarkan uraian diatas, penulis beracuan pada prinsip dan cara pengukuran batimetri untuk melakukan analisis perubahan topografi dasar laut menggunakan 2 buah peta batimetri yang dihasilkan dari hasil 2 pengukuran batimetri dalam kurun waktu yang berbeda. Penulis melakukan koreksi terhadap data batimetri dengan koreksi tranducer dan koreksi pasang surut agar data kedalaman hasil ukuran direduksikan ke bidang referensi tertentu. Data koordinat tersebut kemudian diproses menjadi peta batimetri lalu dibandingkan dengan peta batimetri lain yang telah terkoreksi untuk mengetahui perubahan kedalaman dan volume yang dihasilkan.
I.7 Landasan Teori I.7.1 Survei Hidrografi
Poerbandono (2005) mengatakan hidrografi adalah cabang ilmu yang berkepentingan dengan pengukuran dan deskripsi sifat dan bentuk dasar perairan serta dinamika badan air untuk tujuan navigasi dan aktivitas kelautan lainnya.
Fenomena dasar perairan meliputi batimetri atau topografi dasar laut, jenis material dasar laut dan morfologi dasar laut. Dinamika badan air meliputi pasang surut dan arus. Data mengenai fenomena dasar perairan dan dinamika badan air dsistem referiperoleh melalui kegiatan survei hidrografi. Data tersebut diolah dan disajikan sebagai informasi geospasial yang mengacu pada suatu sistem referensi tertentu.
Survei hidrografi dalam penelitian ini meliputi : 1. Survei topografi
2. Survei batimetri
3. Pengamatan pasang surut air laut
I.7.1.1. Survei topografi. Survei topografi adalah pemetaan permukaan bumi fisik dan kenampakan hasil budaya manusia. Pengukuran dilakukan secara langsung untuk mendapatkan data teristris berupa data azimuth, data ukuran sudut dan jarak, serta data elevasi. Data – data tersebut diperlukan untuk penggambaran topografi daerah tersebut berupa peta topografi. Kegiatan dalam survei topografi meliputi (Basuki, 2006):
1. Persiapan
Persiapan dalam melakukan survei meliputi persiapan peralatan, perlengkapan dan personil. Masing – masing persiapan harus dipastikan lengkap sebelum terjun ke lapangan.
2. Survei pendahuluan
Survei pendahuluan dilakukan untuk melihat keadaan lapangan secara menyeluruh. Hasil dari survei ini dapat menentukan teknik pengukuran dan posisi titik – titik kerangka peta (bench mark) yang dapat digunakan dalam pengukuran.
3. Survei pengukuran
Survei pengukuran merupakan kegiatan untuk mendapatkan kerangka kontrol pemetaan dan detil daerah pengukuran. Bench mark (BM) yang sudah dipasang dan ditandai menjadi titik – titik kontrol pemetaan dan titik ikat pengukuran detil. Titik – titik BM juga digunakan sebagai titik kontrol pemeruman pada survei batimetri.
Titik – titik tersebut diukur jarak, azimuth, sudut dan elevasinya terhadap titik BM lainnya dalam suatu poligon. Azimuth diukur untuk memberikan orientasi arah utara pada kerangka kontrol pemetaan.
Pengukuran posisi detil dilakukan dengan pengikatan pada kerangka peta dengan metode jarak dan sudut.
I.7.1.2. Survei batimetri. Survei batimetri adalah kegiatan untuk menentukan posisi titik di dasar perairan dalam suatu koordinat tertentu . Pengukuran dilakukan dalam lajur – lajur pengukuran (pemeruman) yang diikatkan pada titik ikat di darat.
Hasil kegiatan ini diproses menjadi model bentuk topografi dasar perairan yang divisualisasikan dalam bentuk peta batimetri. Tahap – tahap kegiatan survei
batimetri terdiri dari penentuan posisi horizontal pemeruman (x,y), penentuan kedalaman (h), dan pengamatan pasang surut air laut (Wibawa, 2006).
1. Penentuan posisi horizontal
Salah satu metode pengikatan untuk menentukan posisi horizontal titik pemeruman adalah dengan metode perpotongan ke belakang. Titik pemeruman ditentukan dari titik ikat yang telah diketahui koordinatnya. Titik pemeruman diukur sudutnya terhadap titik ikat yang berada di daratan pantai.
Hasil ukuran sudut digunakan untuk mendapatkan nilai azimuth yang menunjukkan arah utara. Nilai azimuth tersebut digunakan untuk mendapatkan koordinat titik pemeruman dari titik ikat. Hasil akhirnya berupa posisi horizontal (x,y) titik pemeruman yang telah terikat dengan titik ikat atau titik acuan dengan sistem koordinat yang sama dengan titik acuan.
2. Penentuan kedalaman laut
Penentuan kedalaman laut dilakukan dengan kegiatan pemeruman.
Pemeruman adalah penentuan kedalaman dasar laut yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran kondisi topografi dasar laut. Alat yang digunakan adalah alat perum gema (echosunder). Prinsip kerja alat ini adalah dengan mengukur selang waktu yang diperlukan pulsa gelombang suara untuk menempuh jarak dari tanducer ke dasar laut dan kembali lagi ke tranducer.
Tranducer adalah perangkat dari echosounder yang diletakkan di bawah air.
Tranducer berfungsi mengubah pulsa energi listrik menjadi energi akustik agar dapat merambat di dalam air dan mengubahnya kembali menjadi energi listrik sehingga didapatkan bacaan kedalaman yang terukur. Tranducer dipasang tegak lurus bidang permukaan laut pada sisi luar di tengah-tengah bagian buritan dan haluan dengan kedalaman yang sesuai sehingga apabila kapal bergerak vertikal akibat gelombang, bagian bawah transducer tetap berada di bawah permukaan air. Sinkronisasi data kedalaman dan posisi horizontal dilakukan secara otomatis oleh firmware (software yang berada di dalam alat). Letak tranducer tidak tepat di permukaan air, sehingga perlu dilakukan koreksi draft tranducer pada masing – masing ukuran.
Penambahan bacaan kedalaman (h) dan nilai draft tranducer (d)
menghasilkan kedalaman perairan saat pengukuran. Prinsip pengukuran dengan echosounder dapat dijelaskan dalam Gambar I.1.
Gambar I.1. Pengukuran kedalaman dengan echosounder
I.7.1.3. Pengamatan pasang surut air laut. Air laut dalam pergerakannya selalu naik turun secara periodik. Fenomena ini disebut pasang surut (pasut) laut. Pasut air laut dipengaruhi oleh benda – benda langit terutama bulan dan matahari. Oleh karena itu, penentuan pasut laut diamati selama 1 piantan,1 bulan, 1 tahun, atau dalam jangka waktu tertentu sesuai pengaruh kedua bulan dan matahari terhadap bumi.
Pengamatan pasut laut dalam periode waktu tersebut akan menghasilkan suatu ketinggian maksimum dan minimum di laut sesuai periode waktu yang telah ditentukan. Tujuan pengamatan pasut secara umum meliputi dua hal berikut ini :
1. untuk keperluan analisis harmonik dan prediksi pasut laut pada suatu daerah perairan tertentu. Hasilnya berupa data tipe pasut dan prediksi bacaan pasut laut untuk kurun waktu tertentu.
2. untuk menentukan bidang mean sea level (MSL) dan bidang acuan kedalaman atau datum vertikal. MSL merupakan bidang referensi untuk posisi vertikal (ketinggian). Datum vertikal digunakan sebagai referensi tinggi untuk pengukuran kedalaman laut. Beberapa datum vertikal yang sering digunakan ditunjukkan dalam Tabel I.1.
muka laut rerata d = Draft tranducer
Antena GPS
Tranducer h = kedalaman
Dasar Laut kapal
Tabel I.1. Macam – macam datum vertikal
No. Istilah Definisi
1. Highest
Astronomical Tide (HAT)
Ketinggian pasut tertinggi yang dapat diprediksi dari rata – rata kondisi meteorologi dan kombinasi dari beberapa kondisi astronomis.
2. Higher High Water Large Tide
(HHWLT)
Rata –rata pasut tinggi tertinggi dengan pengamatan selama periode 19 tahun.
3. Lowest Astronomical Tide (LAT)
Ketinggian pasut terendah yang dapat diprediksi dari rata – rata kondisi meteorologi dan kombinasi dari beberapa kondisi astronomis.
4. Lower Low Water Large Tide (LLWLT)
Rata –rata pasut rendah terendah dengan pengamatan selama periode 19 tahun.
5. Mean Higher High Water (MHHW)
Tinggi rata –rata pasut tinggi tertinggi di suatu tempat dengan pengamatan selama periode 19 tahun.
6. Mean Lower Low Water (MLLW)
Tinggi rata –rata pasut rendah terendah di suatu tempat dengan pengamatan selama periode 19 tahun.
7. Mean Sea Level (MSL)
Tinggi rata – rata muka air laut di suatu stasiun pasut untuk semua pengukuran pasut selama periode 19 tahun. Pengukuran biasanya per jam dari suatu tinggi referensi tetap.
Data pengamatan pasut laut diperlukan untuk penyajian hasil survei batimetri berupa peta batimetri. Peta batimetri dalam pembuatannya memerlukan suatu bidang referensi kedalaman berupa muka surutan peta. Muka surutan peta adalah sebutan lain dari datum vertikal di laut. Muka surutan peta tidak pernah menyentuh permukaan air laut karena pendefinisian suatu muka surutan peta terletak di bawah permukaan air laut terendah di suatu daerah yang bersangkutan. Namun untuk pekerjaan teknis dimana muka surutan peta belum diketahui, digunakan sounding datum sebagai pengganti muka surutan peta. Muka surutan peta berupa jarak surutan
peta (Z0) yang dihitung dari duduk tengah (S0) sampai muka surutan peta yang ditentukan. Kedudukan muka surutan peta dan sounding datum ditunjukkan dalam Gambar I.2.
Gambar I.2. Kedudukan muka surutan peta dan sounding datum
Data pasut laut diperoleh dari pengukuran pasut laut di stasiun pasut laut dalam kurun waktu tertentu. Biasanya di stasiun pasut laut tersebut terdapat sebuah alat ukur pasut laut. Alat sederhana yang biasa digunakan adalah tide pole atau palem. Ketinggian muka air atau besar pasut laut yang terjadi dicatat secara manual oleh operator dengan interval waktu tertentu dalam suatu formulir pengamatan pasut laut. Cara ini lebih mudah dan efisien dengan ketelitian sekitar 2,5 cm, serta akan menghindari adanya data kosong.
I.7.2 Pengikatan Stasiun Pasang Surut
Pengikatan stasiun pasang surut atau dalam penelitian ini menggunakan palem bertujuan untuk menyatukan bidang referensi antara ketinggian topografi dengan kedalaman perairan pada bidang muka surutan peta. Palem (P) diikatkan terhadap Benchmark (BM) di darat dengan waterpassing. Hasil yang diperoleh berupa tinggi BM terhadap suatu muka surutan peta. Sebagai contoh muka surutan yang digunakan adalah MLLW, maka titik BM terhadap MLLW dijelaskan dalam persamaan (I.1).
𝐵𝑀 = ∆𝐵𝑀−𝑃 – 𝑀𝐿𝐿𝑊...(I.1) Keterangan :
Duduk Tengah (S0)
Muka Surutan Peta
Z0
Sounding Datum
Z
𝐵𝑀 : tinggi titik BM terhadap muka surutan peta
∆𝐵𝑀−𝑃 : rata – rata selisih tinggi pengukuran pergi pulang stasiun pasut dan BM
𝑀𝐿𝐿𝑊 : Muka surutan peta yang ditentukan
Nilai MLLW diperoleh dari hasil pengolahan data pasut dari pengamatan pasut di stasiun pasut.
I.7.3. Pengolahan Data
I.7.3.1. Pengolahan data pasut laut. Data pasut laut diolah untuk mendapatkan harga amplitudo (A) dan keterlambatan fase (g) dari konstanta harmonik pasut. Konstanta harmonik pasut adalah konstanta-konstanta yang dapat menyebabkan terjadinya pasut. Konstanta-konstanta pasut tersebut memilliki sifat yang harmonik terhadap waktu, sehingga dinamakan konstanta harmonik pasut. Secara garis besar konstanta harmonik pasut dapat dibagi menjadi tiga kelompok seperti di bawah ini (Rawi, 1999):
1. Konstanta harmonik pasut periode harian (diurnal period tide)
2. Konstanta harmonik pasut periode harian ganda (semidiurnal period tide) 3. Konstanta harmonik pasut periode panjang (long period tide)
Selain konstanta-konstanta di atas, terdapat konstanta harmonik pasut lainnya yang disebabkan oleh gesekan antara air laut dengan perairan dangkal (shallow water tide).
Pengolahan data pasut umumnya menggunakan 9 komponen utama konstanta harmonik pasut untuk keperluan rekayasa, yaitu: M2, S1, K2, N2, K1, O1, P1, M4 dan MS4. Penjelasan mengenai komponen harmonik pasut tersebut dijelaskan pada Tabel I.2.
Tabel I.2. Komponen harmonik utama pasang surut Tipe
Pasut Keterangan Simbol Kec. Sudut
(⁰/jam) Ganda Dipengaruhi oleh Bulan Utama
Dipengaruhi oleh Matahari Utama
M2
S2
28,9841 30,0000
Dipengaruhi oleh akibat lintasan bulan berbentuk ellips
Dipengaruhi oleh lintasan matahari berbentuk ellips
N2
K2
28,4397
30,0821
Tunggal Dipengaruhi oleh deklinasi Bulan dan deklinasi matahari
Dipengaruhi oleh deklinasi Bulan Utama Dipengaruhi oleh deklinasi Matahari Utama
K1
O1
P1
15,0411
13,9430 14,9589
Perairan Dangkal
Kecepatan sudut dua kali kecepatan sudut M2
Merupakan modulasi dari M2 dan S2
dengan kecepatan sudut jumlah kecepatan sudut M2 dan S2
M4
MS4
59,97
59,98
Pengolahan data pasut juga bertujuan untuk mengetahui sifat dan karakteristik pasut di suatu tempat dari hasil pengamatan pasut dalam kurun waktu tertentu dapat diketahui dengan melakukan analisis harmonik pasang surut laut. Tujuan dari analisis harmonik pasut adalah untuk menghitung amplitudo dan keterlambatan fase.
Amplitudo yang dihitung merupakan hasil respons dari kondisi laut setempat terhadap pasang surut setimbang sedangkan kelambatan fase yang dihitung merupakan kelambatan fase dari gelombang tiap komponen terhadap pasang surut setimbang. nilai perubahan amplitudo dan kelambatan fase tersebut dinyatakan dalam konstanta harmonik.
Metode yang sering digunakan untuk analisis harmonik adalah metode kuadrat terkecil atau lebih dikenal dengan metode least square. Persamaan pada metode kuadrat terkecil dengan faktor meteorologis diabaikan, maka tinggi pasut merupakan superposisi dari komponen pembentuknya yang dinyatakan dalam persamaan (I.2) di bawah ini (Ali, 1994):
𝜂 𝑡 = 𝑆𝑜 + 𝑠𝑠0+ 𝑁𝑖=1𝐴𝑖cos (𝜔𝑖𝑡 − 𝑃𝑖)... (I.2)
Keterangan:
𝜂 𝑡 : elevasi pasut fungsi dari waktu 𝑆𝑜 : duduk tengah (mean sea level)
𝑠𝑠𝑜 : perubahan duduk tengah musiman yang disebabkan oleh monsun atau angin, jadi oleh faktor meteorologis
𝐴𝑖 : amplitudo komponen ke-i
𝜔𝑖 : 2π/Ti, Ti = periode komponen ke-i 𝑃𝑖 : fase komponen ke-i
t : waktu
N : jumlah komponen.
Bentuk lain dari persamaan (I.2) adalah:
𝜂 𝑡𝑛 = 𝑆𝑜+ 𝑠𝑠𝑜+ 𝑘𝑟=1𝐴𝑟cos 𝜔𝑖 𝑡𝑛 + 𝑘𝑟 =1𝐵𝑟 𝜔𝑖 𝑡𝑛 ...
Keterangan:
Ar dan Br: konstanta harmonik ke-i k : jumlah komponen pasut
tn : waktu pengamatan tiap jam (tn = -n, n+1, n; tn = 0 adalah waktu tengah-tengah pengamatan.
Nilai 𝜂 𝑡𝑛 hasil perhitungan dengan persamaan (I.3) akan mendekati elevasi pasut pengamatan 𝜂 𝑡𝑛 jika:
𝜇2 = 𝑛𝑡𝑛=−𝑛 𝜂 𝑡𝑛 − 𝜂 𝑡𝑛 2 = 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚...(I.4) Fungsi 𝜇2 minimum jika memenuhi hubungan ini:
𝜕𝜇2
𝜕𝑆𝑜 = 0; 𝜕𝜇𝜕𝐴2
𝑠 = 0; 𝜕𝜇𝜕𝐵2
𝑠 = 0, 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑠 = 1,2, … … … 𝑘...(I.5)
Persamaan (I.3) bertujuan menghitung besarnya So, ar, dan br menggunakan operasi persamaan sebagai berikut:
𝐻1 = 𝐴. 𝑃1 dan 𝐻2 = 𝐵. 𝑃2 Keterangan:
(I.3)
P1: matrik parameter (a1, a2, ...,ak+1), yaitu:
𝚊1 𝚊2 . . 𝚊𝑘+1
di mana ak+1 = So
P2: matrik parameter (b1, b2, ...,bk), yaitu:
𝑏1 𝑏2 . . . 𝑏𝑛
𝐻1: matrik pengamatan, yaitu:
𝜂𝑡𝑛 cos 𝜔1𝑡
𝑛
𝑡=−𝑛
𝜂𝑡𝑛 cos 𝜔2𝑡
𝑛
𝑡=−𝑛
𝜂𝑡𝑛 cos 𝜔𝑘𝑡
𝑛
𝑡=−𝑛
𝜂𝑡𝑛
𝑛
𝑡=−𝑛
H2: matrik pengamatan, yaitu:
𝜂𝑡𝑛 sin 𝜔1
𝑛
𝑡=−𝑛
𝑡
𝜂𝑡𝑛 sin 𝜔2
𝑛
𝑡=−𝑛
𝑡 .
. . . . .
𝜂𝑡𝑛 sin 𝜔𝑘1
𝑛
𝑡=−𝑛
𝑡
A: matrik koefisien, yaitu:
𝛼1,1 𝛼1,2… … … .. 𝛼1,𝑘 𝛼2,1 𝛼2,2… … … .. 𝛼2,𝑘
. . .
𝛼𝑘+1,1 𝛼2,𝑘… … … .. 𝛼𝑘,𝑘
B: matrik koefisen, yaitu:
𝛽1,1 𝛽1,2… … … .. 𝛽1,𝑘 𝛽2,1 𝛽2,2… … … .. 𝛽2,𝑘
. . .
𝛽𝑘+1,1 𝛽2,𝑘… … … .. 𝛽𝑘,𝑘
Dengan:
⍺i,j =sin 2n+1 ωj−ωi /2
2 sin ωj−ωi /2 +sin 2n+1 ωj+ωi /2
2 sin ωj+ωi /2 ...
𝛽𝑖,𝑗 = sin 2n+1 ωj−ωi /2
2 sin ωj−ωi /2 +sin 2n+1 ωj+ωi /2
2 sin ωj+ωi /2 ...
Dari persamaan (I.6) dan (I.7) untuk i = j ditentukan:
sin 2𝑛 + 1 𝜔𝑗 − 𝜔𝑖 /2
2 sin ωj − ωi /2 =2𝑛 + 1 2
Dan jika i = j = k di mana 𝜔𝑘 = 0, ditentukan:
sin 2𝑛 + 1 𝜔𝑗 + 𝜔𝑖 /2
2 sin ωj + ωi /2 =2𝑛 + 1 2
Setelah besaran parameter (a1, a2,...,ak+1) dan besaran parameter (b1, b2...,bk) kemudian dapat ditentukan:
1. Duduk tengah permukaan laut (mean sea level) 𝑆0 = ak+1
(I.6)
(I.7)
2. Amplitudo tiap komponen pasut:
𝑐𝑟 = 𝚊𝑟2+ 𝑏𝑟2
3. Fase tiap komponen pasut:
Pr = Arc tan 𝚊𝑏𝑟
𝑟
Sehingga persamaan (I.2) dapat dinyatakan menjadi:
𝜂 𝑡 = 𝑆𝑜 + 𝑁𝑖=1𝑐𝑟cos (𝜔𝑖𝑡 − 𝑃𝑟)...(I.8)
Koreksi terhadap fase dan amplitudo ditunjukkan pada persamaan seperti di bawah ini:
gi = ɵi+ Vi+ ui ...(I.9) 𝐴𝑖 =𝐴𝑓𝑜𝑖
𝑖 ...(I.10)
Faktor koreksi amplitudo (f), koreksi fase (u), dan fase komponen (V) dapat dihitung dari fungsi-fungsi di bawah ini:
s = 277,025 + 129,38481 (Y-1900) + 13,17640 (D+L) (dalam derajat) h = 260,190 – 0,23872 (Y-1900) + 0,98565 (D+L) (dalam derajat) p = 334,385 + 40,66249 (Y-1900) + 0,11140 (D+L) (dalam derajat) N = 259,157 – 19,32818 (Y-1900) + 0,05295 (D+L) (dalam derajat)
Keterangan:
Y : tahun masehi
D : jumlah hari yang telah berlaku dari jam 00.00 tanggal 1 Januari tahun Y L : bagian integer dari (1/4)(Y-1901)
Perhitungan selanjutnya adalah menghitung nilai argumen astronomis untuk koreksi nilai amplitudo dan fase konstanta harmonik yang sering disebut sebagai koreksi nodal 𝑓𝑖 , 𝑉𝑖, dan 𝑢𝑖. Untuk menghitung nilai 𝑓𝑖 menggunakan persamaan sebagai berikut:
fM2 = 1,0004 + 0,0373 cos N + 0,0002 cos 2N fS2 = 1
fN2 = fM2
fK1= 1,006 + 0,115 cos N – 0,008 cos 2N + 0,0006 cos 3N fO1 = 1,0089 + 0,1871 cos N – 0,00147 cos 2N + 0,0014 cos 3N fM4= fM2 x fM2
fMS 4= fM2
fK2= 1,0241 + 0,2863 cos N + 0,0083 cos 2N – 0,0015 cos 3N fP1= 1
fSo= 0
Perhitungan nilai 𝑢𝑖 menggunakan persamaan sebagai berikut:
uM2= -2,14° sin N uS2= 0
uN2= 𝑢𝑀2
uK1= -8,86° sin N + 0,68° sin 2N – 0,07° sin 3N uO1= 10,8° sin N – 1,34° sin 2N + 0,04° sin 3N uM4= uM2+ uM2
uMS 4= uM2
uK2= -17,74° sin N + 0,68° sin 2N – 0,04° sin 3N uP1= 0
uSo= 0
Perhitungan nilai 𝑉𝑖 menggunakan persamaan sebagai berikut:
VM2= -2s + h + ωM2x CT VS2= ωS2 x CT
VN2= 3s + 2h + p + ωN2 x CT VK1= h + 90° + ωK1 x CT VO1= -2s + h 270° + ωO1x CT VM4= VM2+ VM2
VMS 4 = -2s + ωMS 4 x CT
VK2= 2h + ωK2 x CT
VP1= -h + 270° + ωP1 x CT VS0 = 0
Pada persamaan di atas, CT merupakan jam atau data pasang surut yang tepat di tengah-tengah periode pengamatan. Dengan menjumlahkan 𝑢𝑖 dan 𝑉𝑖 dari masing- masing komponen harmonik pasut yang bersesuaian, maka diperoleh harga (𝑉𝑖 + 𝑢𝑖) untuk masing-masing konstituen (Pangesti, 2012).
Hasil analisis harmonik tersebut menghasilkan konstanta – konstanta harmonik pasut. Konstanta harmonik pasut ini diolah untuk mengetahui tipe pasutnya. Tipe pasut yang timbul berbeda – beda tergantung pada tempat pasut terjadi. Defant (1985) mengelompokkan pasut menurut perbandingan jumlah amplitudo komponen harian tunggal (diurnal) dan harian ganda (semi diurnal) berupa bilangan Formzahl dalam persamaan (I.11).
𝑁𝐹 =KM1+O1
2+S2...(I.11) Tipe pasut berdasarkan nilai bilangan Formzahl dapat dilihat di Tabel I.3.
Tabel I.3. Tipe pasut berdasarkan nilai bilangan Formzahl
Nilai Bentuk Tipe Pasut Fenomena
0 < 𝑁𝐹 < 0,25 Harian ganda murni
2 kali pasang dalam satu hari
0,25 < 𝑁𝐹< 1,5 Campuran condong harian ganda
2 kali pasang dalam satu hari dengan interval yang berbeda
1,5 < 𝑁𝐹 < 3 Campuran condong harian tunggal
1 atau 2 kali pasang dalam satu hari dengan interval yang berbeda 𝑁𝐹 > 3 Harian tunggal
murni
1 kali pasang dalam satu hari
I.7.3.2. Perhitungan kedalaman tereduksi. Kegiatan Survei Batimetri menghasilkan data kedalaman yang masih mentah dan harus dikoreksi. Koreksi yang diberikan ke masing – masing ukuran antara lain :
1. Koreksi alat dan kecepatan perambatan gelombang suara
Koreksi kesalahan karena ketidaksamaan antara kecepatan standar di laut dan kecepatan gelombang suara dapat dilakukan dengan bar check. Koreksi ini menggunakan perbandingan kedalaman suatu titik yang telah ditentukan kedalamannya, biasanya dengan plat baja yang digantung dengan tali atau kawat dengan kedalaman hasil pengukuran echosounder. Selisih hasil perbandingan adalah besar kesalahan yang harus dikoreksikan ke hasil ukuran. Bar check dilakukan pada saat sebelum dan sesudah pengukuran dalam satu hari. Hasil koreksi tidak ikut dalam perhitungan data karena koreksi dilakukan pada waktu pengukuran.
2. Koreksi draft tranducer
Koreksi ini diperlukan karena posisi tranducer tidak tepat di permukaan air laut. Koreksi dilakukan dengan mengukur jarak tranducer ke batas air laut di tali penghubung ke tranducer. Nilai kedalaman setelah dikoreksikan terhadap draft tranducer dihitung dengan persamaan (I.12) berikut :
𝐻0 = 𝐻𝑒 + 𝑑...(I.12) Keterangan :
𝐻0 : kedalaman terkoreksi
𝐻𝑒 : kedalaman hasil bacaan echosounder 𝑑 : nilai draft tranducer
Koreksi ini bernilai positif dan ditambahkan dalam perhitungan kedalaman.
3. Koreksi pasut laut
Koreksi pasut dilakukan karena data kedalaman harus direduksikan ke bidang referensi tertentu, dalam penelitian ini muka surutan peta menggunakan MLLW.
Nilai MLLW dicari dengan persamaan (I.13) berikut :
𝑀𝐿𝐿𝑊 = 𝑍0 − (𝑀2+𝑆2)...(I.13) Nilai 𝑍0 dicari dengan penjumlahan seluruh amplitudo konstanta harmonik utama pasut dengan persamaan (I.14) berikut :
𝑍0 = 𝑂1+ 𝑃1+ 𝐾1+ 𝑁2+ 𝑀2 + 𝑆2+ 𝐾2+ 𝑀4+ 𝑀𝑆4...(I.14) Hubungan kedalaman ukuran dan pasut dalam skala waktu diterangkan dalam Gambar I.3.
Gambar I.3. Hubungan kedalaman ukuran dan pasut
Jadi, besar nilai kedalaman tereduksi dihitung dengan persamaan (I.15) berikut : 𝐻 = 𝐻0 − (𝐻𝑡 − 𝑀𝐿𝐿𝑊)... (I.15) Keterangan :
𝐻 : kedalaman tereduksi
𝐻0 : kedalaman terkoreksi 𝐻𝑡 : tinggi pasut saat t
𝑀𝐿𝐿𝑊 : tinggi muka surutan peta
Nilai Ht diperoleh melalui proses interpolasi linear dari bacaan pasut pada waktu pemeruman.
I.7.4 Interpolasi Data
Tempfli (1977) mendefinisikan interpolasi adalah penentuan nilai pendekatan dari variabel f (p) pada titik antara P dalam ruang berdimensi r. Secara umum interpolasi dapat didefinisikan sebagai penentuan nilai suatu besaran berdasarkan besaran lain yang sudah diketahui nilainya sebagai acuan, dimana letak besaran yang akan ditentukan sebagai besaran antara dicari di antara besaran yang sudah diketahui. Hubungan antara titik – titik acuan tersebut didekati menggunakan fungsi interpolasi dan penetuan nilai besaran antara sehingga didapatkan nilai interpolasi yang berada di antara titik – titik acuan.
Penggunaan teknik interpolasi dalam penelitian ini diterapkan dalam penentuan tinggi pasut pada waktu tertentu dan penggambaran garis kedalaman berdasarkan data kedalaman yang ada. Penggunaan teknik interpolasi ini juga digunakan penentuan nilai koordinat suatu titik diatas peta batimetri.
Dasar Laut
H muka air t
MLLW
H0 H
X0 X X1
f (xf (x) 1)
f (x0)
Interpolasi diklasifikasikan dalam beberapa macam. Salah satunya adalah klasifikasi interpolasi berdasarkan jumlah fungsi interpolasi pada suatu daerah (sekelompok data acuan) dikelompokkan menjadi interpolasi global dan interpolasi titik.
I.7.4.1 Interpolasi global. Interpolasi global menggunakan pendekatan satu fungsi dalam suatu wilayah interpolasi. Salah satu contoh yaitu interpolasi linear.
Interpolasi linear merupakan bentuk yang paling sederhana dari interpolasi global.
Interpolasi ini menghubungkan dua titik dengan garis lurus. Interpolasi linear dapat dilihat di Gambar I.4.
Gambar I.4. Interpolasi Linear
Jika dilihat dari gambar I.4., interpolasi linear dapat dinyatakan dalam persamaan (I.16) berikut :
𝑓1 𝑥 − 𝑓(𝑥0)
𝑥− 𝑥0 = 𝑓 𝑥𝑥1 − 𝑓(𝑥0)
1− 𝑥0 ... (I.16) Keterangan :
𝑓1 𝑥 : fungsi besaran yang dicari 𝑓(𝑥0) : fungsi besaran acuan pertama 𝑓 𝑥1 : fungsi besaran acuan kedua 𝑥 : nilai besaran yang dicari 𝑥0 : nilai besaran acuan pertama 𝑥1 : nilai besaran acuan kedua
I.7.4.2. Interpolasi titik. Interpolasi titik merupakan interpolasi yang menggunakan unit area terkecil. Setiap titik di interpolasi ini mempunyai fungsi interpolasi yang berbeda di setiap interval, sehingga satu set nilai parameter yang baru sebagai fungsi interpolasi harus ditentukan kembali. Penentuan jarak maksimum titik acuan terhadap titik antara dilakukan dahulu untuk menentukan jumlah titik acuan yang digunakan sebagai parameter. Salah satu contoh interpolasi titik yaitu dengan menggunakan rata – rata berat. Pemberian bobot lebih besar pada nilai yang sangat dekat daripada titik – titik yang jauh. Tahap perhitungannya sebagai berikut :
1. Penentuan jarak maksimum (d0).
Penentuan jarak dilakukan dengan menghitung jarak titik antara ke masing – masing titik acuan. Jumlah titik acuan sebanyak tiga buah akan menghasilkan geometri jarak yang terkontrol terhadap titik antara. Penentuan jarak maksimum dapat dilihat pada Gambar I.5.
Gambar I.5. Interpolasi titik
Jika X adalah nilai antara dan (X1, X2, X3) adalah nilai titik – titik acuan, g(x) adalah kedalaman titik antara, dan {g(x1), g(x2), g(x3)}adalah kedalaman titik – titik acuan, maka titik acuan yang digunakan adalah yang paling dekat dengan titik antara, yaitu titik acuan 2 dan 3. Jarak maksimum adalah rata – rata hasil selisih nilai koordinat x titik acuan 2 ke titik antara dan hasil selisih nilai koordinat x titik acuan 3 ke titik antara.
2. Penentuan fungsi jarak yang digunakan W (d).
X1 X2 X X3
g (x3)
g (x) g(x1) g(x2)
x
Penentuan jarak ini dilakukan dengan mengurangi nilai koordinat X masing - masing titik acuan ke titik antara.
D adalah matrik Jarak. W adalah matrik bobot jarak.
𝐷 =
𝑋 − 𝑋2 𝑋 − 𝑋3
⋮ 𝑋 − 𝑋𝑛
𝑊 =
1 𝐷1
1 𝐷2
1⋮
𝐷𝑛
3. Perhitungan nilai interpolasi. Bentuk matematisnya adalah : 𝑓 = 𝑚𝑘=1𝑊𝑘𝑊 𝑔1𝑘
𝑚 𝑘
𝑘=1 = AT F...(I.17)
A adalah matrik fungsi bobot jarak terhadap jumlah bobot jarak. F adalah matrik fungsi nilai kedalaman.
𝐴 =
𝑊1 𝑊
𝑊2 𝑊⋮ 𝑊𝑊𝑛
𝐹 = 𝑔11 𝑔12
⋮ 𝑔1𝑛
Berat yang diambil harus dari suatu fungsi yang berkurang terhadap jarak.
I.7.5 Penyajian Kondisi Topografi
Kondisi topografi suatu lokasi dapat berubah dari waktu ke waktu. Perubahan topografi dapat disebabkan oleh alam atau aktivitas manusia, contohnya penambangan timah lepas pantai di dasar laut. Perubahan tersebut dapat diketahui dengan membandingkan dua data dari lokasi yang sama dengan jangka waktu yang berbeda. Perubahan yang terjadi berupa perubahan ketinggian atau kedalaman untuk di dasar laut serta penambahan atau kekurangan massa berupa pasir atau material di dasar laut yang diperlihatkan dalam nilai volume.
Data topografi yang telah diolah dan tereferensi terdiri dari satu atau lebih jangka waktu (epok) yang berbeda di lokasi yang sama. Data topografi epok pertama adalah acuan ketinggian 0 dimana belum terjadi perubahan. Data topografi epok
kedua dan seterusnya adalah data yang dianggap telah terjadi perubahan. Nilai perubahan kedalaman dihitung dengan persamaan (I.18).
∆𝐻 = 𝐻2 − 𝐻1 ... (I.18) Keterangan :
∆𝐻 : selisih kedalaman kedua epok 𝐻2 : kedalaman epok kedua
𝐻1 : kedalaman epok pertama
Persamaan (I.18) menghasilkan nilai selisih kedalaman antar 2 epok. Luas potongan penampang melintang epok 1 dan epok 2 menghasilkan luas permukaan gabungan dari kedua epok yang di rata – rata . Nilai luas permukaan dicari dengan persamaan (I.19).
𝐴 =𝐴1+𝐴2 2 ... (I.19) Keterangan :
𝐴 : selisih kedalaman kedua epok 𝐴1 : Luas permukaan epok pertama 𝐴2 : Luas permukaan epok kedua
Nilai ∆𝐻 sama dengan nilai jarak antar kedua ujung permukaan. Nilai luas permukaan dan hasil selisih tersebut digunakan untuk menghitung volume. Volume dihitung menggunakan persamaan (I.20) (Takasaki, 1980).
𝑉 = 𝐴 ∗ ∆𝐻... (I.20) Keterangan :
∆𝐻 : selisih kedalaman kedua epok
A : Luas permukaan gabungan dari 2 epok V : Volume yang dihasilkan
I.7.5.1. Penampang memanjang dan melintang. Penampang memanjang adalah irisan tegak pada suatu permukaan dengan mengukur jarak dan beda tinggi titik-titik di atas permukaan bumi. Penampang memanjang digunakan untuk melakukan pengukuran yang jaraknya jauh, sehingga dikerjakan secara bertahap beberapa kali. Nilai panjang yang besar membuat skala vertikal yang digunakan dibuat berbeda dengan skala horisontalnya.
Penampang melintang adalah sebuah penampang vertikal yang tegak lurus terhadap garis sumbu pada stasiun penuh dan stasiun plus dalam interval jarak tertentu. Penampang ini menyatakan batas-batas suatu galian atau timbunan rencana atau yang sudah ada. Penentuan luas potongan melintang menjadi sederhana bila potongan melintang tersebut digambar diatas kertas gambar potongan melintang.
Potongan melintang digambar dengan skala yang disesuaikan untuk kemudahan dalam penggambaran.
Penyajian kondisi topografi suatu permukaan dapat disajikan dengan 2 sajian meliputi penampang memanjang dan penampang melintang. Penampang ini merepresentasikan kenampakan kondisi topografi dalam bentuk 2D. Hasilnya berupa gambar penampang (profil) yang menggambarkan tampang atau irisan dari kondisi topografi suatu permukaan. Penampang memanjang dan melintang bisa juga merepresentasikan perubahan kondisi topografi berupa perubahan kedalaman dan volume yang terjadi dari 2 epok yang berbeda di lokasi yang sama.
I.8 Hipotesis
Bentuk topografi dasar laut Selat Bangka mengalami perubahan akibat penambangan timah lepas pantai.