KEDAWUNG CIREBON
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh A. Munsorif NIM 1111054000008
JURUSAN PENGEMBANGAN MASAYARAKAT ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
i A. Munsorif
Peran Ustadzah Afifah dalam Pemberdayaan Perempuan di Desa Tuk Kec Kedawung Cirebon
Penelitian ini memiliki rumusan masalah tentang program-program yang dikembangkan oleh Ustadzah Afifah. Bagaimana harapan masyarakat terhadap Ustadzah Afifatul Qona’ah dalam Pemberdayaan Perempuan. Bagaimana harapan Ustadzah Afifatul Qona’ah dalam Pemberdayaan Perempuan yang dilakukan pada Masyarakat desa Tuk. Apakah ada kesesuaian antara harapan Masyarakat dengan harapan Ustadzah Afifatul Qona’ah.
Kemudian Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui Program-program yang dikembangkan oleh Ustadzah Afifatul Qona’ah. Mengetahui Harapan Masyarakat Terhadap Ustadzah Afifatul Qona’ah dalam Pemberdayaan Perempuan. Mengetahui Harapan Ustadzah Afifatul Qona’ah dalam Pemberdayaan Perempuan yang dilakukan pada Masyarakat desa Tuk.
Menganalisa adanya Kesesuaian antara Harapan Masyarakat dengan Harapan Ustadzah dalam Pemberdayaan Perempuan di Desa Tuk Kec Kedawung Cirebon.
Metodologi penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan analisa deskriptif. Teori peranan dalam penelitian ini menitikberatkan pada harapan-harapan yang dikenakan pada individu atau masyarakat. Jadi, apakah harapan antara Ustadzah Afifah dan Masyarakat terseebut saling berkesinambungan atau tidak.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwasanya Ustadzah Afifah dapat melakukan pemberdayaan perempuan. Gerakan pemberdayaan tersebut mewarnai pro dan kontra. Mereka yang mengatakan pro menganggap apa yang dilakukan oleh Ustadzah Afifah adalah sesuatu yang baru dan sangat menarik untuk meningkatkan kompetensi mereka. Sedangkan mereka yang mengatakan kontra adalah mereka yang menganggap gerakan yang dilakukan oleh Ustadzah Afifah meruapakan hal yang bertentangan dengan tradisi sesepuh. Padahal secara literatur keislaman, pelarangan-pelarangan dalam tradisi tersebut tidak bermasalah.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas Karunia, Rahmat, Nikmat, dan HidayahNya yang telah diberikan kepada penulis dalam kehidupan di dunia ini, terkhusus dalam menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ Peran Ustadzah Afifatul Qona’ah dalam Pemberdayaan Perempuan di desa Tuk Kec Kedawung Cirebon”.
Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta Keluarga, Sahabat, dan Para Pengiktunya. Melalui ajaran-ajaran beliaulah penulis dapat membedakan antara yang benar dan salah.
Beberapa pihak yang ingin penulis abadikan namanya dalam skripsi ini, karena atas jasa-jasanya, penulis dapat menyelesaikan studi yang telah ditempuh selama sepuluh semester. Dan penulis mengahturkan banyak terima kasih sebesar- besarnya kepada :
1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Falutas Ilmu Dakwah dan Komunikasi. Suparto, M.Ed, PhD selaku Pudek I sekaligus sebagai dosen PA penulis selama kuliah, Dr. Roudhonah, MA selaku Pudek II, dan Dr. Suhaemi, MA selaku Pudek III.
2. Wati Nilamsari, M.Si selaku Ketua Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, M. Hudri, M.Ag selaku Sekretaris Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, dan seluruh dosen-dosen Pengembangan Masyarakat Islam dan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
iii
sehingga skripsi dapat terselesaikan. Semoga Allah SWT selalu menajaga dan memberikan keberkahan dalam kehidupannya.
4. Alm Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya’qub, MA. Pengasuh Pesantren Darus-Sunnah, sekaligus ayahanda kedua penulis selama studi sepuluh semester ini. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosanya dan dilapangkan kuburannya.
5. Keluarga besar Pondok Pesantren Darus-Sunnah yang telah memberikan wawasan ilmu keagamaan dan kehidupan.
6. Kedua orang tua saya H. Syaubari dan Hj Ruqayah, yang tiada hentinya selalu mendoakan dan mendukung saya dalam melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Semoga Allah SWT selalu menjaga dan memanjangkan umurnya dalam keadaan sehat, Islam dan Iman.
7. Kedua kakak saya, Mbak Khofidoh Maryam dan Mas Muhammad Hasanuddin yang selalu mendukung pendidikan saya hingga sampai ke perguruan tinggi. Semoga Allah SWT selalu menjaga dan memberikannya keberkahan dalam kehidupannya.
8. Ustadzah Afifatul Qona’ah yang telah memberikan waktunya untuk sekedar diskusi, walaupun beliau dalam kesibukan merawat anaknya yang baru berumur kurang lebih setahun.
9. Teman - teman Pengembangan Masyarakat Islam UIN Jakarta yang telah mewarnai kehidupan dan keilmuan penulis selama belajar di UIN
v
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Batasan dan Rumusan Masalah ... 8
D. Tujuan Penelitian ... 9
E. Manfaat Penelitian ... 9
F. Metodologi Penelitian ... 10
G. Tinjauan Pustaka ... 17
H. Sistematika Penulisan ... 24
BAB II KAJIAN TEORI A. Teori Peranan ... 26
B. Makna Ustadzah ... 30
C. Pemberdayaan Perempuan ... 33
BAB III PROFIL A. Profil Ustadzah Afifatul Qona’ah dan Keluarganya ... 46
B. Riwayat Belajar Ustadzah Afifatul Qona’ah ... 46
C. Sejarah Desa ... 48
D. Letak Geografi dan Keadaan Lingkungan ... 49
E. Kondisi Sosial dan Budaya Desa Tuk ... 51
1. Kesejahteraan Sosial Masyarakat ... 51
2. Kebudayaan Desa Tuk ... 53
3. Jumlah Penduduk ... 57
vi BAB IV TEMUAN dan ANALISA
A. Pemberdayaan Perempuan dalam Berbagai Aspek ... 58
1. Temuan ... 58
a. Pemberdayaan Pendidikan dan Penyadaran ... 58
b. Pemberdayaan Sosial Keagamaan ... 61
c. Pemberdyaaan Seni dan Budaya ... 64
d. Pemberdayaan Ekonomi ... 66
2. Analisa ... 67
a. Pemberdayaan Pendidikan dan Penyadaran ... 67
b. Pemberdayaan Sosial Keagamaan ... 72
c. Pemberdyaaan Seni dan Budaya ... 73
d. Pemberdayaan Ekonomi ... 75
B. Harapan-harapan Ustadzah Afifah dan Masyarakat dalam Pemberdayaan Perempuan di desa Tuk ... 77
1. Harapan Ustadzah Afifah ... 77
2. Harapan Masyarakat ... 78
C. Kesinambungan Harapan Ustadzah Afifah dan Masyarakat .... 1. Pro Kontra Dakwah Pemberdayaan Perempuan ... 80
2. Kesinambungann Harapan-harapan ... 87
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 90
B. Saran-saran ... 91
DAFTAR PUSTAKA ... 93 LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Tujuan pembangunan pada mulanya sederhana saja, yakni memberantas kemiskinan dan menjembatani kesenjangan. Ketika dekade pembangunan dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), segera setalah perang dunia kedua, masalah yang dihadapi saat itu adalah kehancuran ekonomi dan prasarana dari negara-negara yang kalah atau menjadi korban peperangan tersebut. Oleh karena itu, perhatian utama pembangunan ditekankan pada rehabilitasi dan rekonstruksi sarana-sarana ekonomi. Sasaranya adalah mengatasi penderitaan penduduk akibat kemiskinan dan ketidakadilan.1
Dalam mengatasi kemiskinan dan ketidakadilan tentunya ada suatu metode dalam memperbaiki kualitas hidup mereka. Metode tersebut adalah Pemberdayaan Masyarakat, yaitu salah satu metode pekerjaan sosial yang tujuan utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip sosial.2
Pemberdayaan masyarakat dapat didefinisikan sebagai metode yang memungkinkan orang dalam meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap orang-orang yang tertindas atau tidak
1 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung; Rosda, 2009), h. 136.
2 Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, (Bandung; Refika Aditama, 2010), h, 37.
2
beruntung, baik yang disebabkan oleh kemiskinan maupun oleh diskriminasi berdasarkan kelas sosial, suku, gender, jenis kelamin, usia, dan kecacatan.3
Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu dari bentuk dakwah bil hal. Kaitanya dengan Islam, Tim Islamic Community Development Model dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta merumuskan definisi untuk model pengembangan masyarakat Islam yang terdiri dari unsur-unsur:
a. Mengutamakan perilaku pengembangan atau pemberdayaan masyarakat yang beragama Islam atau organisasi yang berasaskan Islam.
b. Mengutamakan pemberdayaan umat Islam yang tertinggal dalam segala hal.
c. Mengutamakan penggunaan dana yang bersumber dari dana filantropi Islam seperti Zakat Mal, Zakat Fitrah, Infak atau Sodaqoh.
d. Pendekatan pemberdayaan menggunakan pendekatan ke- Islaman.
e. Filantropi Islam jika dijadikan sebagai bantuan modal sebaiknya menggunakan sistem bagi hasil.4
Semua yang berkaitan dengan poin-poin tersebut tidak mengecualikan pemberdayaan perempuan. Kajian perempuan merupakan salah satu topik yang sangat menarik dan selalu berkembang dari masa ke masa. Pembahasan konteks budaya dan sosial perempuan dari masa ke masa tentu memiliki perbedaan, sesuai dengan perkembangan zaman.
Ada beberapa wacana yang dikembangkan dalam kajian perempuan, salah satunya adalah wacana kajian perempuan yang dikembangkan kaum muslim
3 Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, h. 38.
4 Muhtadi & Tantan Hermansyah, Manajemen Pengembangan Masyarakat Islam, (Ciputat : UIN Jakarta Press, 2013), h. 7.
konservatif. Wacana yang mereka kembangkan seperti yang dibaca pada karya tafsir klasik yang telah memposisikan kaum perempuan ke dalam wilayah rumah (domestik atau privat). Meskipun kaum perempuan dapat melakukan aktivitas publik, akan tetapi dalam pandangan mereka, tetap saja aktivitas itu mengalami pembatasan-pembatasan. Menurut Husein Muhammad, bahwasanya seluruh ayat- ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang perempuan, dibaca secara skripturalistik dan ditafsirkan dalam perspektif kebudayaan Arab yang patriarkhis.5
Penafsiran subordinasi perempuan di bawah dominasi (kepemimpinan) laki-laki masih berkembang di kalangan masyarakat khususnya Islam konservatif (tradisonal). Meskipun di lain tempat sudah menempatkan posisi perempuan setara dengan kaum laki-laki dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial, seni, budaya, dan sebagainya.
Adanya elaborasi yang membedakan kedudukan laki-laki dengan perempuan dari sudut pandang biologis maupun psikologis telah mengakibatkan ketimpangan interaksi antara perempuan dengan laki-laki dalam konteks sosial dan dikotomi peran antara perempuan dengan laki-laki. Pembedaan ini jika dicermati ternyata berakar pada sistem nilai, kepercayaan, politik, sosial, dan ekonomi.
Pada umumnya pemuka agama dipahami sebagai sosok laki-laki meski tidak jarang kaum perempuan ada di sana. Dalam bahasa keseharian kita kenal dengan sebutan Ulama, Kyai, Ajengan, Tuan Guru, dan lain-lain sesuai budaya panggilan daerah masing-masing. Mereka merupakan seseorang yang selalu
5 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan : Pembelaan Kiai Pesanttren, (Yogyakarta: LkiS, Cet III 2009), h. 158.
4
mengkomunikasikan diri serta bergelut dengan dunia ilmu pengetahuan (agama).
Mereka lebih terpanggil untuk melaksanakan kebenaran dan keadilan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, istilah pemuka agama ini mengandung makna penghormatan kepada seseorang yang memiliki keunggulan tertentu khususnya di bidang ilmu agama.6
Partisipasi kaum perempuan di dalam kegiatan kemasyarakatan sangat terkait dengan konteks sosial dan lingkungan yang dimilikinya. Karena keberadaan kaum perempuan dalam suatu masyarakat banyak ditentukan oleh tradisi dan adat istiadat.7 Sebagian daerah di Cirebon terdapat doktrin bahwa perempuan mengikuti sekolah formal adalah sesuatu yang tabu. Karena pada prinsipnya perempuan hanya hidup pada tiga „dunia‟, yaitu kasur, sumur, dan dapur.
Dalam satu kesempatan kongres Fatayat NU, Menteri Ristek dan Dikti, Muhammad Nasir memaparkan bahwa masih rendahnya pemberdayaan perempuan dan partisipasinya dalam kehidupan masyarakat. Saat ini, katanya, jumlah penduduk perempuan Indonesia sekitar 127 juta.8
Kelompok Islam konservatif mempunyai rasa keterikatan yang kuat terhadap teks Al-Qur'an. Hal itu menyebabkan mereka berpegang teguh setiap ayat dan hadits Rasul yang membicarakan tentang posisi perempuan di dalam Islam dengan memberikan akal untuk sekedar memahami maksud Allah dan
6 Zaitunah Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Jeender dalam Islam : Agenda Sosio- Kultural dan Politik Peran Perempuan (Ciputat : el-KAHFI, 2002), h. 139.
7 Zaitunah Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Jeender dalam Islam : Agenda Sosio- Kultural dan Politik Peran Perempuan , h. 144.
8 Dikutip dari situs http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62332- lang,id-c,nasional-t,Menristek+Dikti++Partisipasi+Perempuan+Masih+Rendah-.phpx. Diakses pada 22 September 2015.
Rasul. Namun tidak memberikan peluang sedikit pun kepada nalar untuk berbeda dari pemahaman yang telah dianggap mapan dan merupakan bagian dari warisan fiqh Islam yang monumental.9
Dalam sejarah, kaum perempuan telah memberikan kontribusi terhadap perjuangan keadilan sosial, misalnya penghapusan perbudakan pada awal abad ke- 19 dan perjuangan serikat pekerja di akhir abad ke-19, dan perjuangan hak-hak asasi manusia lainya, tetapi ada kecenderungan hal-hal itu dilupakan.10
Dalam Islam, al-Qur‟an mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainya. Perbedaan tersebut untuk mendukung obsesi al-Qur‟an, yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang di lingkungan keluarga, sebagai cikal bakal terwujudnya komunitas ideal dalam suatu negeri yang damai penuh ampunan Tuhan. Ini semua bisa terwujud manakala ada pola keseimbangan dan keserasian antara laki-laki dan perempuan.11
Konsepsi tentang relasi gender dalam Islam mengacu kepada ayat-ayat esensial yang sekaligus menjadi tujuan umum syariah, seperti mewujudkan keadilan dan kebajikan, keamanan dan ketentraman, dan menyeru kepada kebaikan dan mencegah keburukan. Nilai-nilai tersebut tentu saja sulit diukur, namun kiranya yang dimaksud dalam ayat-ayat tersebut adalah nilai-nilai yang
9 Faisar Ananda Arfa, Wanita dalam Konsep Islam Modernis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h. 28
10 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an (Jakarta : Dian Rakyat, 2010), h. 77.
11 Siti Musdah Mulia, ed, Keadilan dan Kesetaraan Gender Perspektif islam (Jakarta : LKAJ, 2003), h. 75.
6
bersifat universal. Dan kulaitas individu laki-laki dan perempuan di sisi Tuhan tidak ada perebedaan.12
Oleh karena itu, diperlukan suatu gerakan untuk pemberdayaan perempuan dalam masayarakat muslim konservatif. Selain itu, diperlukan juga adanya seorang penggerak dalam melakukan gerakan pemberdayaan perempuan ini, karena apabila dibiarkan begitu saja, maka perempuan dalam masyarakat muslim konservatif ini stagnan. Begitu juga sama halnya dengan perempuan di kalangan masayarakat muslim konservatif di desa Tuk Kedawung Cirebon, mereka diperlukan penggerak dalam suatu gerakan pemberdayaan perempuan, baik itu dalam bidang pendidikan, ekonomi, daya kritis, sosial keagamaan, dan lain sebagainya.
Desa Tuk merupakan sebuah desa yang memiliki kekhasan tersendiri dalam menyelenggrakan sosial keagamaan. Mayoritas agama yang dianut oleh masyarakat adalah Islam. Dalam keagamaan mereka masih dalam paradigma konservatif, semisal bermain rebana dengan menggunakan alat musik modern seperti gitar, seruling, piano, dan lain sebagainya adalah dianggap sebagai hal yang tabu, khususnya bagi tokoh agama di desa Tuk tersebut.
Melihat hal tersebut, seorang Ustadzah mencoba membuat sebuah terobosan baru dalam pengajianya dengan inovasi-inovasinya. Salah satunya adalah membuat sebuah grup sholawat dengan mayoritas personilnya adalah perempuan, meskipun dalam grup tersebut terdapat personil laki-laki. Dan alat musik yang digunakan adalah campuran antara alat musik klasik dan modern.
12 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, h. 17.
Inilah terobosan-terobosan yang dianggap bertentangan dengan tokoh agama setempat.
Berdasarkan uraian masalah-masalah tersebut, penulis memfokuskan penelitian pada peran Ustadzah Afifatul Qona‟ah dalam melakukan sebuah pemberdayaan perempuan di kalangan masyarakat muslim konservatif di Desa Tuk Kecamatan Kedawung Cirebon. Dia melakukan suatu perubahan yang selalu bertentangan dengan tokoh agama yang konservatif.
2. Identifikasi Masalah
Untuk lebih mudah memahami masalah dalam penelitian diperlukan sebuah pemetaan masalah sesuai dengan apa yang diutarakan di latar belakang.
Dalam hal ini penulis mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :
a. Tokoh agama konservatif merupakan salah satu penghambat peran Ustadzah dalam pemberdayaan perempuan.
b. Suatu hal yang tabu perempuan mengikuti pendidikan formal yang lebih tinggi.
c. Perempuan melaksanakan acara sosial keagamaan secara terbuka.
d. Terjadi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan pada Islam konservatif.
Seperti yang sudah dijelaskan dalam latar belakang dan identifikasi masalah bahwa kajian seorang tokoh dan pemberdayaan perempuan sangat luas, maka dalam hal ini penulis perlu untk membatasi masalah yang akan diteliti agar lebih fokus terhadap penelitianya. Oleh karena itu, penulis membatasi penelitian
8
ini pada masalah “Peran Ustadzah Afifatul Qona‟ah dalam Pemberdayaan Perempuan di Desa Tuk kecamatan Kedawung Cirebon”.
3. Batasan dan Rumusan Masalah
Agar penelitian ini mempunyai arah fokus, maka penelitian dibatasi pada masalah peran Ustadzah Afifatul Qona‟ah dalam pemberdayaan Perempuan di Desa Tuk Kedawung Cirebon.
Untuk fokus dalam penelitian, selain membatasi masalah diperlukan membuat sebuah rumusan masalah. Dalam membuat sebuah rumusan masalah, pertama-tama perlu dibedakan antara perumusan masalah dengan pertanyaan penelitian, perumusan masalah bisa dalam bentuk pernyataan atau pertanyaan, sedangkan pertanyaan penelitian selalu dalam bentuk pertanyaan.13
Dari paparan latar belakang dan identifikasi masalah-masalah di atas, penulis merumuskan beberapa rumusan masalah dalam penelitian ini. Antara lain :
a. Program Apa Saja yang Dikembangkan oleh Ustadzah Afifah ?
b. Bagaimana Harapan Masyarakat Terhadap Ustadzah Afifatul Qona‟ah dalam Pemberdayaan Perempuan ?
c. Bagaimana Harapan Ustadzah Afifatul Qona‟ah dalam Pemberdayaan Perempuan yang dilakukan pada Masyarakat desa Tuk?
d. Apakah ada Kesesuaian antara Harapan Masyarakat dengan Harapan Ustadzah dalam Pemberdayaan Perempuan?
13 Uhar Suharsaputra, Metode Penelitian; Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan (Bandung; Refika Aditama, 2012), h, 190.
4. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah tentu mempunyai tujuan tertentu. Tujuan penelitian adalah jawaban atas pertanyaan apa yang akan dicapai dalam penelitian itu menurut misi ilmiah. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
a. Mengetahui Program-program yang dikembangkan oleh Ustadzah Afifatul Qona‟ah.
b. Mengetahui Harapan Masyarakat Terhadap Ustadzah Afifatul Qona‟ah dalam Pemberdayaan Perempuan.
c. Mengetahui Harapan Ustadzah Afifatul Qona‟ah dalam Pemberdayaan Perempuan yang dilakukan pada Masyarakat desa Tuk.
d. Menganalisa adanya Kesesuaian antara Harapan Masyarakat dengan Harapan Ustadzah dalam Pemberdayaan Perempuan di Desa Tuk Kec Kedawung Cirebon.
5. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan memiliki manfaat. Manfaat tersebut bisa bersifat teoritis dan praktis14:
a. Manfaat Teoritis
Hasil yang akan diperoleh dalam penelitian ini secara teoritis diharapkan agar dapat memperoleh pengetahuan yang lebih baik dan dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya, serta bermanfaat dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial, khususnya ilmu pemberdayaan masyarakat.
14 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung; Alfabeta, 2013), h, 397.
10
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti berupa fakta-fakta temuan dalam penelitianya untuk meningkatkan daya, kritis dan analisis peneliti sehingga dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam praktek pemberdayaan masyarakat.
6. Metodologi Penelitian a. Jenis Penelitian
Jenis penilitian yang dipakai dalam penulisan ini menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti.15 Penelitian kualitatif ini lebih spesifik mengarah pada studi kasus. Studi kasus merupakan tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya kepada satu kasus dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komprehensif.16
b. Sifat penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik yaitu, pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek/objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.17
c. Sumber Data
15 Bagong Suyanto dan Sutinah, ed., Metode Penelitian Sosial (Jakarta : Kencana, cet V 2010), h. 166.
16 Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial (Jakarta: Rajawali Pers, Cet X 2010), h. 22.
17 Soejono & H. Abdurrahman, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan (Jakarta; PT Rineka Cipta & PT Bina Adiakasara, 2005) , h, 23.
Ditinjau dari sumber data maka dapat dibedakan menjadi dua, data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti.18 Dalam hal ini data primer bersumber dari objek yang diteliti atau informan langsung yang berkitan dengan objek. Objek yang diteliti yaitu Ustadzah sendiri sebagai pelaku dalam menggerakkan pemberdayaan perempuan. Dan informan bisa terdiri dari perempuan di desa Tuk, Ibu-ibu yang mengikuti pengajian Ustadzah, tokoh agama yang bertentangan dengan gerakan pemberdayaan perempuan Ustadzah, dan atau yang berkaitan langsung dengan kegiatan Ustadzah.
Ini berlainan dengan data sekunder, yakni data yang sudah dalam bentuk jadi, seperti data dalam dokumen, publikasi dan sebagainya.19 Data sekunder juga merupakan data yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian yang dicari dalam dokumen atau bahan pustaka, maka kegiatan pengumpulan data itu disebut sebagai studi dokumen atau literature study.
Data yang diperlukan sudah tertulis atau diolah ulang oleh orang lain atau suatu lembaga atau dengan kata lain, data sekunder.20
d. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan sebuah penelitian, penulis menentukan sebuah metode apa yang akan digunakan untuk mengumpulkan data dalam rangka menjawab masalah dan menguji hipotesis penelitianya. Dengan kata lain, suatu penelitian pada dasarnya ialah usaha mencari data yang akan
18 Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta; Granit, 2010), h, 57.
19 Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, h, 57.
20 Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, h, 61.
12
dipergunakanya untuk memecahkan suatu masalahnya, menguji hipotesis.
Maka teknik pengumpulan data yang dipakai adalah :
1) Observasi
Observasi merupakan salah satu metode utama dalam penelitian sosial keagamaan. Menurut Imam Suprayogo dan Thobroni, observasi merupakan metode pengumpulan data yang paling alamiah dan paling banyak digunakan tidak hanya dalam dunia keilmuan, tetapi juga dalam berbagai aktivitas kehidupan. Sedangkan dalam dunia penelitian, observasi adalah mengamati dan mendengar dalam rangka memahami, mencari jawaban, mencari bukti terhadap fenomena dalam penelitian tersebut.21
2) Wawancara
Menurut Reinharz, penelitian yang berkonsentrasi pada isu gender memerlukan wawancara mendalam.22 Dalam hal ini, Reinharz menunjuk pada strategi untuk mendorong keterlibatan aktif responden dalam pembahasan mengenai tema penelitian. Dengan keterlibatan aktif tersebut diharapkan subjek penelitian dapat mengungkap pandangan dan perspektif mereka sebanyak mungkin dalam bahasa mereka sendiri. Wawancara mendalam ini terutama dilakukan terhadap Ustadzah tentang peran yang dimainkan dalam pemberdayaan perempuan tersebut.
Wawancara merupakan salah satu elemen penting dalam penelitian, kaitanya dengan teknik pengumpulan data. Wawancara dapat
21 Imam Suprayogo & Thobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2003), h. 167.
22 Shulamit Reinharz, Metode-metode Feminis dalam Penelitian Sosial, (terj, Lisabona Rahman), (Jakarta: WRI, 2005), h. 21.
diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mendapatkan informasi (data) dari responden dengan cara tanya langsung atatu tatap muka.23 Dalam hal ini, penulis melakukan teknik ini langsung dengan Ustadzah dan para jama‟ahnya sebagai pelengkap data penelitian. Dalam hal ini jumlah objek yang diwawancarai sama halnya dengan jumlah pada sumber data.
3) Dokumentasi
Teknik yang ketiga adalah penelaahan terhadap dokumen. Data yang diperoleh dari metode ini berupa cuplikan, foto, data-data administratif, dan data pendukung.
e. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh melalui kegiatan pengumpulan data pada dasarnya adalah untuk menguji hipotesis atau sekurang-kurangya menjawab rumusan masalah. Artinya, data itu diperlukan untuk membuktikan kebenaran hipotesis. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa data secara sengaja diupayakan agar mendukung dan membenarkan hipotesis sekalipun kenyataanya data tersebut bertolak belakang dengan hipotesis.24
Dalam menganlisis data penulis menggunakan metode analisis data kualitatif dengan tahapan sebagai berikut :
1) Reduksi data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data kasar yang
23 Bagong Suyanto dan Sutinah, ed., Metode Penelitian Sosial, h. 69.
24 Hadeli, Metode Penelitian Kependidikan, (Ciputat; Quantum Teaching, 2006), h, 89.
14
muncul dari data-data di lapangan. Reduksi data dapat berlangsung terus menerus selama penelitian berlangsung.25
2) Penyajian data
Alur berikutnya dalam analisis data penelitian ini adalah penyajian data. Yaitu menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.26 Penyajian data ini dimaksudkan agar sajian data yang diberikan tidak melenceng dari pokok permasalahan.
3) Menarik kesimpulan (Verifikasi)
Kesimpulan merupakan tinjauan terhadap catatan yang telah dilakukan di lapangan, sedangkan penarikan kesimpulan atau verifikasi adalah usaha untuk mencari atau memahami makna, keteraturan, pola- pola, penjelasan, alur sebab-akibat atau proposisi.27
g. Instrumen dan Alat Bantu
Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrument atau alat peneliti adalah peneliti itu sendiri.28 Karena sadar akan terbatasnya daya pengamatan manusia, para peneliti berusaha memperbesar daya ini dengan mencipta alat-alat yang dapat digunakan sebagai alat-alat bantuan dalam kegiatan-kegiatan pengamatan mereka.29
Oleh karena itu, alat bantu yang digunakan peneliti adalah kamera sebagai alat pemotret yang dapat mengabadikan peristiwa-peristiwa dalam pemberdaya
25 Imam Suprayogo & Thobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 193.
26 Imam Suprayogo & Thobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 194.
27 Imam Suprayogo & Thobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 195.
28 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung : CV Alfabeta, 2011), h. 305.
29 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Gramedia, Cet IV, 1981), h. 154.
perempuan Ustadzah Afifah. Recorder sebagai perekam wawancara dengan Ustadzah Afifah dan orang-orang yang berkaitan dengannya.
h. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Alat untuk menguji kualitas suatu penelitian, ada pada ujia validitas, uji reliabilitas, dan teknik pemeriksaan keabsahan data. Uji validitas dan uji realibilitas digunakan pada pendekatan kuantitatiif, sedangkan teknik pemeriksaan keabsahan data digunakan pada pendekatan kualitatif.30
Maka, dalam penelitian ini, untuk menguji kualitas penelitian tentunya diperlukan teknik pemeriksaan keabsahan dan validitas data. Dalam hal ini penulis menggunakan dua teknik pemeriksaan, yaitu31:
a. Ketekunan Pengamatan
Teknik ini dimaksudkan untuk menemukan ciri-ciri dan unsur- unsur dalam situasi yang relevan dengan persoalan dalam penelitian dan kemudiian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
b. Triangulasi
Adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain, hal itu dicapai dengan cara :
1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara. Dalam hal ini peneliti membadningkan hasil wawancara subjek penelitian dengan hasil temuan pengamatan lapangan tentang pemberdayaan perempuan tersebut.
30 Nurul Hidayati, Metodologi Penelitian Dakwah dengan Pendekatan Kualitatif, (Jakarta
; UIN Jakarta Press, 2006), h.52.
31 Lexy. J. Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2009), edisi revisi Cet. Ke 26, h. 124.
16
2) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain. Semisal membandingkan jawaban yang diberikan oleh Ustadzah Afifah dengan jawaban santri atau masyarakat.
3) Membandingkan hasil wawancara dengan hasil dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Wawancara tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.
i. Derajat Pengamatan
Dalam penenlitian peranan peneliti sebagai pengamat sangat dipertimbangkan. Ada beberapa peranan penenliti sebagai pengamat, yaitu berperanserta secara lengkap, pemeranserta sebagai pengamat, pengamat sebagai pemeranserta, dan pengamat penuh. Dalam penelitian ini, derajat pengamatan menggunakan pemeranserta sebagai pengamat yaitu Peranan peneliti sebagai pengamat dalam hal ini tidak sepenuhnya sebagai pemeranserta tetapi melakukan fungsi pengmatan. Ia sebagai anggota pura-pura, jadi tidak melebur dalam arti sesungguhnya. Peranan demikian masih membatasi para subjek menyerahkan dan memberikan informasi terutama yang bersifat rahasia.32
j. Teknik Penulisan
Secara umum, teknik penulisan skripsi ini mengacu pada Pedoman Penulisan Skripsi dalam buku Pedoman Akademik Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012/2013.
32 Nurul Hidayati, Metodologi Penelitian Dakwah dengan Pendekatan Kualitatif, (Jakarta
; UIN Jakarta Press, 2006), h. 29 -30.
11. Tinajuan Pustaka
Ada beberapa karya ilmiah yang telah membahas penelitian yang berkaitan dengan judul penelitian ini. Berbagai macam perspektif pembahasan, ada yang menggunakan istilah Nyai, Ulama Perempuan, dan sejenisnya, antara lain :
Pertama, buku Ulama Perempuan Indonesia (PPIM UIN Jakarta dan Gramedia) merupakan buku yang dapat memberikan inspirasi tentang penelitian penulis. Buku ini merupakan kumpulan penelitian tentang „ulama perepmuan‟
yang dilakukan oleh PPIM UIN Jakarta. Penamaan „ulama perepmuan‟
merupakan suatu yang langka dan „kontroversial‟. Karena kata „ulama‟ dipahami sebagai acuan untuk jenis kelamin laki-laki, secara sosial keagamaan adalah mereka yang dapat menguasai keagamaan atau literatur arab baik klasik maupun modern. Selain itu juga, buku ini menjelaskan bagaimana peran kepemimpinan perempuan dalam sosial kegamaan, dimana selama ini identik dengan laki-laki.33
Dalam buku ini penulis memfokuskan penelitian Murodi tentang tokoh agama perempuan Tutty Alawiyah. Dalam tulisanya yang berjudul Tutty Alawiyah : Pengembang Masyarakat Lewat Majlis taklim. Dia menjelaskan tentang bagaimana seorang Tutty Alawiyah melakukan sebuah pemberdayaan masyarakat, khususnya pemberdayaan perempuan.
Hasil penelitian tersebut adalah bahwa Tutty Alawiah dalam memberdayakan perempuan melakukan beberapa agenda. Pertama, Pemberdayaan
33 Jajat Burhanuddin, Ulama Perempuan Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 2002).
18
dalam bidang pendidikan terpadu, kesehatan anak, peningkatan akses bagi perempuan. Kedua, Keadilan dan kesetaraan gender. Ketiga, Penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun. Keempat, Pennghormatan atas martabat dan hak asasi manusia bagi perempuan. Kelima, Pemberdayaan kelembagaan pengelola kemajuan perempuan dan aktivitas kelanjutanya.
Kedua, penelitian tesis Fahmi Muhammad Ahmadi di Universitas Indonesia dengan judul Ibu Nyai dan Perubahan Sosial (Perempuan dalam Struktur Sosial Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta). Tesis ini menjelaskan tentang peran Ibu Nyai dalam ikut serta memberikan arti bagi Pesantren. Selain itu juga, Ibu Nyai ikut andil dalam mengambil kebijakan- kebijakan yang ada di pesantren. Yang kita ketahui bahwasanya Ibu Nyai meruakan pendamping seorang Kyai yang memiliki otoritas penuh dalam mengambil kebijakan-kebijakan dalam pesantren.34
Dalam penelitian tersebut juga disebutkan bahwa human capital yang dimiliki oleh Ibu Nyai dapat memberdayakaan dirinya dan membuatnya lebih berperan dalam komunitas pesantren. Tatkala ibu Nyai mendapatkan tempat dan legitimasi dari komunitas pesantren sebagai elit pesantren, ibu Nyai dapat membawa perubahan bagi pesantren.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan penelitian kualitatif.
Dan teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan teknik observasi dan pengamatan, baik pengamatan partisipatif ataupun non partisipatif. Observasi
34 Fahmi Muhammad Ahmadi, Ibu Nyai dan Perubahan Sosial : Perempuan dalam Struktur Sosial Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta, (Jakarta : FISIP UI, 2002).
yang dilakukan adalah dengan masuk dalam komunitas pesantren dan bergaul dengan dalam keluarga Nyai tersebut.
Penelitian ini memiliki perbedaan dan persamaan dengan penulis.
Perbedaannya adalah tereletak pada objeknya, dalam penelitian ini objeknya adalah pada perubahan sosial, sedangkan penulis tereletak pada pemberdayaan perempuan. Dan persamaannya pada peran tokoh agama perempuan. Dalam penelitian ini menggunakan istilah Nyai yaitu salah satu elit dalam komunitas pesantren, dan penulis menggunakan istilah Ustadzah. Istilah Nyai dalam penelitian ini lebih khusus daripada Ustadzah, karena Nyai lebih fokus pada pesantren. Sedangkan Ustadzah bisa masuk dalam komunitas pesantren atau di luar komunitas pesantren. Dan Ustadzah dalam penelitian penulis perananya dalam pesantren dan di luar pesantren.
Ketiga, penelitian skripsi yang dilakukan Rahmi Garnasih dengan judul
“Peran Modal Sosial dalam Pemberdayaan Perempuan pada Sektor Informal : Studi Kasus Pada Pedagang Warung Nasi di Pasar Depok Lama Pancoran Mas Depok”. Penelitian ini mengkaji peran modal sosial berupa norma, trust, dan jaringan dalam pemberdayaan perempuan. Semuanya diteliti melalui gambaran sektor informal dilihat dari perempuan yang bekerja sebagai pedagang nasi.
Penelitian ini menjawab berbagai permasalahan untuk mengetahui gambaran modal sosial dan peran pemberdayaan perempuan sebagai pedagang nasi di pasar Depok Lama Pancoran Mas Depok.35
35 Rahmi Garnasih, Peran Modal Sosial dalam Pemberdayaan Perempuan pada Sektor Informal : Studi Kasus Pada Pedagang Warung Nasi di Pasar Depok Lama Pancoran Mas Depok, (Ciputat : FISIP UIN Jakarta, 2011).
20
Metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti adalah dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Objek yaang dijadkan informan dalam wawancara berjumlah 9 orang. Wawancara yang digunakan menggunakan wawancara tidak terstruktur dengan cara mengajukan pertaanyaan yang tidak terikat dan lebih bebas berdasarkan pedoman pertanyaan yang dimiliki oleh penulis.
Penelitian ini tentunya memiliki persamaan dan perbedaan ditinjau dari beberapa aspek. Persamaan penelitian ini terhadap penelitian penulis adalah tentang pemberdayaan perempuan. Dan yang membedakan penelitian penulis dengan penelitian ini adalah ditinjau dari perananya. Peran yang dibutuhkan dalam pemberdayaan perempuan penelitian ini adalah modal sosial yang dimiliki oleh perempuan sebagai pedagang. Sedangkan peran yang dimainkan dalam penelitian penulis adalah peran tokoh agama perempuan dalam menggerakkan pemberdayaan perempuan.
Keempat, penelitian tesis yang dilakukan oleh Ahmad Arif Widianto dengan judul “LSM dan Pemberdayaan Perempuan : Studi pada LSM Yayasan Sahabat Ibu di Yogyakarta”.36
Penelitian ini bermula dari banyaknya permasalahan yang dihadapi perempuan dan kegagalan pemerintah dalam mengatasinya memunculkan upaya pemberdayaan oleh LSM. Salah satunya adalah Yayasan Sahabat Ibu (YSI) yang melakukan pemberdayaan perempuan melalui program-programnya yaitu PROSIBU (Program Santunan untuk Ibu), PRIMA (Program Ibu Mandiri),
36 Ahmad Arif Widianto, LSM dan Pemberdayaan Perempuan : Studi Pada LSM Yayasan Sahabat Ibu di yogyakarta, (Yogyakarta : Fisip UGM, 2014).
PINTAR (Program Ibu Cerdas dan Terampil). Namun permasalahannya adalah setiap LSM memiliki strategi berbeda yang turut mempengaruhi hasil pemberdayaannya. YSI sendiri banyak menerapkan praktik-praktik keagamaan dalam proses pemberdayaan. Di sisi lain pengurus YSI terlibat aktif dalam politik praktis sebagai kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dari latar belakang tersebut, penelitian ini mempertanyakan, bagaimana strategi pemberdayaan perempuan YSI, dan sejauh mana upaya tersebut mampu memberdayakan perempuan?. Tujuannya adalah untuk mengetahui strategi dan hasil pemberdayaan perempuan oleh YSI.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan interpretif. Untuk pengumpulan data, penelitian ini memakai teknik observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Unit analisis data penelitian ini adalah kelompok perempuan sasaran YSI di Sintokan (Cangkringan, Sleman), Pundong dan Rajek Lor (Tirtoadi, Mlati Sleman), Patukan (Gamping, Sleman) dan Jetis (Kota Yogyakarta). Sumber data penelitian ini adalah pertama informan, yaitu staf, fasilitator dan kelompok perempuan sasaran YSI serta pemangku kepentingan yang terkait. Kedua, dokumentasi berupa laporan, publikasi dan referensi terkait.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa YSI mempraktikkan strategi pemberdayaan yang dilakukan pada kelompok perempuan sebagai media dan sasaran intervensi (mezzo) melalui pendidikan (PINTAR), permodalan dan pelatihan (PRIMA) serta bantuan karitatif (PROSIBU). Strategi tersebut dipengaruhi oleh paradigma YSI yang reformis dalam memandang permasalahan perempuan sehingga YSI hanya memenuhi kebutuhan praktis perempuan. YSI
22
juga menerapkan praktik-praktik keagamaan -seperti ikrar anggota dan fasilitator, akad peminjaman modal, infaq pengembalian modal dan pengajian- sebagai pendekatan sekaligus instrumen untuk melancarkan program dan mendidik perempuan. Hal tersebut dipengaruhi latar belakang pengurus YSI yang aktif dalam gerakan dakwah.
Penelitian ini memiliki persamaan dalam gerakan pemberdayaan perempuan, namun dalam penelitian ini peranan yang dilakukan melalui sebuah LSM sedangkan penelitian penulis lebih ke personalitas. Pemberdayaan perempuan yang dilakukan penelitian ini dengan penulis sama-sama melalui gerakan dakwah, meskipun dalam penelitian ini lebih condong dalam sifat politis.
Kelima, Penelitian Skripsi Yang Diteliti Oleh Lulul Tutut Dengan Judul
“Perempuan Desa, Isu Gender, Dan Pemberdayaan Perempuan : Studi Kasus Kelompok Pemberdayaan Perempuan Oleh Lembaga Bakti Indonesia Di Desa Putatsari”.37
Penelitian ini berangkat dari kasus tentang isu kesetaraan gender yang sudah mulai banyak dikenal oleh masyarakat kita di Indonesia, bahkan masyarakat-masyarakat di desa sebagai sebuah isu yang akan mengangkat posisi bahkan derajat seorang perempuan untuk mendapatkan peran yang setara dengan lakilaki.
Salah satu bentuk nyata bahwa feminisme dan kesetaraan gender menjadi isu yang penting untuk diangkat adalah banyak munculnya lembaga-lembaga yang
37 Lulul Tutut, Perempuan Desa, Isu Gender, Dan Pemberdayaan Perempuan : Studi Kasus Kelompok Pemberdayaan Perempuan Oleh Lembaga Bakti Indonesia Di Desa Putatsari, (Yogyakarta: FISIP UGM, 2014).
menaungi perempuan-perempuan agar lebih bisa bergerak untuk maju dengan melakukan pemberdayaan perempuan, seperti yang dilakukan oleh Lembaga Bakti Indonesia di Desa Putatsari Kecamatan Grobogan Kabupaten Grobogan. Di Jawa, dimana sebagian besar masyarakatnya masih sangat tinggi menjunjung budaya patriarki menimbulkan suatu tantangan tersendiri bagi lembaga yang bersifat modern untuk bisa masuk ke dalam masyarakat yang masih bersifat konvensional.
Dalam penelitian ini peneliti ingin menjawab bagaimanakah strategi pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh Lembaga Bakti Indonesia untuk mempengaruhi pola pikir masyarakat Desa Putatsari.
Adapun teori yang peneliti gunakan dalam penelitianya adalah teori gender, teori pemberdayaan, dan teori transformasi sosial dimana dalam penelitian ini ketiga teori tersebut saling berkaitan satu sama lain.
Untuk menjawab rumusan masalah di atas, strategi yang digunakan oleh LBI dalam pemberdayaan perempuan diwujudkan dengan menyediakan sekolah bagi mereka yang disebut dengan sekolah kesetaraan gender. Penekanan pada sektor pendidikan dikarenakan pendidikan para perempuan di Desa Putatsari masih rendah dan bisa menghambat kemajuan mereka. Tantangan yang dihadapi oleh LBI dalam melakukan pemberdayaan adalah sulitnya mendapatkan kepercayaan dari masyarakat di awal kedatangannya.
Penelitian ini yang memberikan peranan dalam gerakan pemberdayaan perempuan adalah sebuah LSM. Berbeda dengan penelitian penulis yang sifatnya lebih ke personalitas. Dalam penelitian ini peneliti lebih memfokuskan pada
24
pendidikan gender, ini untuk memberikan stimulus kepada perempuan yang duberdayakan agar dapat hidup lebih mandiri.
12. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, dan sebelum memasuki bab pertama didahului dengan halaman formalitas yang terdiri dari ; Halaman sampul, Halaman Judul, Lembar pernyataan (keaslian karya), Lembar persetujuan pembimbing, Lembar pengesahan, Abstrak, Kata pengantar, dan Daftar isi.
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang terdiri dari beberapa bagian yang menjelaskan tentang, Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat dan Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab kedua, merupakan tinjauan teoritis yang terdiri dari beberapa poin yang menjelaskan tentang, teori peranan, kajian Ustadzah, Pemberdayaan Perempuan.
Bab ketiga, Profil Ustadzah Afifatul Qona‟ah dan Keluarganya, Riwayat Belajar ustadzah Afifatul Qona‟ah, Letak Geografi dan Keadaan Lingkungan Desa Tuk, Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat dan Sosial Budaya Masyarakat. Bab ini menjelaskan tentang profil Ustadzah Afifatul Qona‟ah dan Keluarganya dan gambaran umum daerah penelitian yang meliputi Letak Geografi dan Keadaan Lingkungan, Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat, Keadaan Sosial dan Budaya, dan problematika masyarakat desa Tuk yang berkaitan dengan penelitian tersebut.
Bab keempat, Peran Ustadzah dalam Pemberdayaan Perempuan di Desa Tuk. Bab ini menguraikan tentang beberapa hal, yaitu, sejarah awal mula dakwah pemberdayaan Ustadzah Afifah, program-program pemberdayaan perempuan, harapan Ustadzah Afifah dan Masyarakat, dan kesinambungan antara harapan Ustadzah Afifah dan Masyarakat.
Bab kelima, adalah penutup, yang terdiri dari kesimpulan, saran-saran, dan penutup.
26
BAB II
KAJIAN LANDASAN TEORITIS
1. Teori Peranan
Secara bahasa, peran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah beberapa tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat.1 Jadi, seseorang yang memiliki kedudukan dalam masyarakat, seperti pejabat, kyai, Ustadz atau Ustadzah, dan tokoh masyarakat, maka tingkah laku mereka sangat diharapkan oleh masyarakat untuk sebuah pemberdayaan. Dan dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa peran sangat berkaitan dengan status.
Sedangkan dalam Kamus Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, peranan memiliki arti sebuah andil atau kontribusi seseorang. Selain itu juga, memiliki makna kedudukan dan fungsi.2 Dari perspektif ini, seseorang dikatakan memiliki peran ketika dia ikut andil atau memberikan kontribusi, baik secara ide maupun materil terhadap masyarakat. Namun, tentunya dia juga memiliki kedudukan dalam struktur masyarakat tersebut.
Adanya prestige dan derajat sosial maka terbentuk pula apa yang dikenal dengan status3 dan peranan. Peranan dalam hal ini adalah dinamisasi dari status ataupun penggunaan dari hak dan kewajiban.4 Maka keduanya tidak dapat
1. Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia,2015), h, 1051.
2. Pusat Bahasa, Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, (Bandung : Mizan, 2009), h, 436.
3. Status dalam hal ini adalah kedudukan obyektif yang memberikan hak dan kewajiban kepada orang yang menempati kedudukan tersebut.
4. Astrid S. Susanto, Pengantar Sosial dan Perubahan Soisal, (Bandung : Binacipta, cet II, 1979) h. 96.
dipisahkan. Tidak ada peranan tanpa kedudukan dan tidak ada kedudukan tanpa peranan.
Kedudukan seseorang dalam suatu sistem sosial merupakan unsur yang statis yang menunjukkan tempat seseorang dalam sistem tersebut, sedangkan peranan menunjuk pada fungsi dan penyesuaian diri dalam suatu proses.5 Contoh, pemimpin dilihat dari tempatnya dalam struktur organisasi merupakan kedudukan, tetapi kalau dilihat dari segi fungsinya dalam suatu jaringan interaksi dengan kedudukan-kedudukan lain dalam struktur, hal itu merupakan peranan. Contoh lain yang berkaitan dengan penelitian ini, Ustadzah Afifah telah mempunyai murid, berarti ia telah memperoleh kedudukan sebagai Ustadzah. Dalam hal Ustadzah menjalankan tugas dan kewajibanya selaku tokoh agama, berarti ia melakukan peranan yang bersumber dari status Ustadzah.
Menurut Gross, Mason dan McEachen, sebagaimana yang dikutip oleh David Berry bahwasanya peranan merupakan seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Harapan- harapan tersebut merupakan imbangan dari norma-norma sosial. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwasanya peranan-peranan itu ditentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat.6 Artinya peranan yang dilakukan oleh individu tersebut terikat dengan harapan-harapan masyarakat sekitar.
Dalam sebuah peranan memiliki dua harapan, yaitu : pertama, harapan- harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban-kewajiban dari
5. La Ode Abdul Rauf, Peranan Elite dalam Proses Modernisasi : Suatu Studi Kasus di Muna (Jakarta : Balai Pustaka, 1999) h. 16.
6. David Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi. Penerjemah LPPS Jakarta (Jakarta : Rajawali Pers, cet II 1983), h. 99.
28
pemegang peran. Kedua, harapan-harapan yang dimiliki oleh si pemegang peran terhadap “masyarakat” atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengannya dalam menjalankan peranannya atau kwajiban-kewajibannya.7 Artinya dari pemegang peran dan masyarakat memiliki harapan masing-masing, harapan satu sama lain saling berkaitan. Tentunya ini tidak semudah apa yang diharapkan masing-masing.
Peran yang melekat pada diri seseorang, harus dibedakan dengan posisi atau tempatnya dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu dalam organisasi masyarakat. Sedangkan peran lebih banyak menunjuk pada fungsi, artinya seseorang menduduki suatu posisi tertentu dalam masyarakat dan menjalankan suatu peran. Suatu peran paling sedikit mencakup 3 hal, yaitu :
a. Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atatu tempat seseorang dalam masyarakat.
b. Peran adalah suatu konsep ikhwal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat, dan
c. Peran dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.8
Peranan dapat membimbing seseorang dalam berperilaku, karena fungsi peran sendiri adalah sebagai berikut :
a. Memberi arah pada sosialisasi
7. David Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, h. 101.
8. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Rajawali Pers, cet 43, 2007) h. 213
b. Pewarisan tradisi, kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma dan pengetahuan,
c. Dapat mempersatukan kelompok atau masyarakat, dan
d. Menghidupkan sistem pengendali dan kontrol, sehingga dapat melestarikan kehidupan masyarakat.9
Peranan seseorang dalam melakukan suatu perubahan atau modernisasi dapat dirumuskan sebagai pemikir, penginisiatif, perumus kebijakan dan perencana, pengarah, dan pengawas bagi masyarakatnya.10 Dalam hal ini Ustadzah Afifah dirumuskan dengan hal-hal tadi dalam melakukan sebuah pemberdayaan perempuan. Meskipun belum sepenuhnya melakukan semua rumusan tersebut.
Peran eksis ketika kelompok sosial meiliki norma-norma sosial yang mapan dan yang hanya berlaku bagi individu kategori tertentu. Mereka mengartikan dan menciptakan diferensi sosial atas individu sesuai dengan bagian tertentu yang diharapkan mereka mainkan dalam kehidupan kelompok. Para ahli teori sosial telah lama mengakui pengaruh harapan sosial, dengan mengggunakan istilah seperti karakter, topeng, dan pesona, untuk mengeksplorasi pola-pola kultural ke dalam kepribaian individu dan cara individu bertindak dengan cara- cara yang dibenarkan secara sosial dalam tugas tertentu. Namun tidak sampai
9. J Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, Sosiologi : Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta : Kencana, 2007) h. 160.
10. La Ode Abdul Rauf, Peranan Elite dalam Proses Modernisasi : Suatu Studi Kasus di Muna, h. 20.
30
tahun 1930-an, istilah “peran” menjadi mapan sebagai dasar untuk mengeksplorasinya.11
Kita harus berterima kasih kepada antropolog budaya Ralph Linton atas sumbangsih istilah ini. Inovasi istilah tersebut masih menjadi basis bagi Talcot Parsons untuk membangun model regulasi normatif perilaku sosial yang membentuk dasar sosiologi arus utama. Ralph Dahrendorf yang menolak keyakinan Parsons terhadap konsensus normatif yang melihat konsep peran sebagai harapan-harapan sosial yang terstruktur yang kepadanya individu mengorientasikan dirinya. Pandangan yang lebih radikal terkait dengan interaksi simbiolistik melihat ide peran ini sebagai deterministik.12
Dari beberapa pendapat mengenai teori peranan dapat disimpulkan bahwasanya peranan merupakan tentang harapan bagi seseorang yang memiliki status di masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Apakah harapan antara individu
dengan masyarakat terseebut memiliki kesinambungan atau tidak.
2. Makna Ustadzah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ustadzah memiliki makna seorang guru agama atau guru besar perempuan. Sedangkan guru agama dan guru besar laki-laki dinamakan Ustadz.13 Di sini ada dua istilah yaitu guru agama dan guru besar. Guru agama adalah seseorang yang mengajarkan tentang keagamaan, baik keilmuanya sedikit atau banyak. Sedangkan guru besar adalah mereka yang telah mendapatkan gelar profesor di kampusnya.
11. John Scott, ed. Pen : Labsos FISIP UNSOED, Sosiologi The Key Concept (Jakarta : Rajawali Pers, 2011) h. 227.
12. John Scott, ed. Pen : Labsos FISIP UNSOED, Sosiologi The Key Concept, h. 228.
13. Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h, 1539.
Ustadzah merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti guru.14 Kata Ustadzah merupakan bentuk kata yang menunjukkan pada perempuan. Sedangkan yang menunjukkan pada laki-laki adalah Ustadz. Kedua- duanya memiliki makna yang sama yaitu seseorang yang mengajarkan suatu ilmu.
Apapun pelajaran yang diajarkan maka dia layak disebut sebagai guru.15
Dalam pendapat lain mengatakan bahwa kata “Ustadz” bukanlah kata dalam bahasa Arab melainkan dari bahasa Persia. Karena tidak ditemukan dalam Arab pra Islam. Kalaupun kata Ustadz adalah bahasa Arab niscaya kalimat tersebut berasal dari kata Astadza mengikuti wazan Fu’lal bukan dari kata satadza. Kata ustadz di sini diartikan sebagai seseorang yang mahir dalam pekerjaannya. Apapun profesinya dan ahli dalam bidangnya maka dia layak disebut dengan Ustadz.16 Definisi Ustadz di atas maknanya sangat luas dibanding dengan makna Ustadz yang pertama.
Selain itu juga kata Ustadz atau Ustadzah mengandung makna sebuah gelar keilmuan tertinggi di sebuah perguruan tinggi (baca : profesor). Juga memiliki arti sebuah penghormatan terhadap budayawan, penulis, penyair, dan lain-lain.17 Di Timur Tengah memang penggunaan kata Ustadz diperuntukkan bagi guru besar dalam perguruan tinggi.
Di Indonesia penggunaan kata Ustadz/Ustadzah mengiktui pendapat pertama yang mengatakan Ustadz merupakan orang yang mengajarkan ilmu.
Namun di Indonesia penggunaan kata Ustadz dikhususkan bagi orang yang bisa
14. Ibrahim Musthofa, dkk, Al-Mu’jam al-Wasit, (Mesir : Majma‟ al-Lughoh al-
„Arobiyah, )
15. Ahmad Mukhtar Abdul Hamid, Mu’jam al-Lughoh al-Arobiyah al-Mu’ashoroh, V. 1 (T.tp : „Alam al-Kutub, 2008), h. 89.
16. Abu Manshur Al-Jawaliq, al-Mu’arrob min al-Kalam al-A’jamiy, (Leipzig: tp, 1897), h, 18-19.
17. Abu Manshur Al-Jawaliq, al-Mu’arrob min al-Kalam al-A’jamiy, h. 89.
32
berbicara tentang masalah keagamaan. Untuk mereka yang mengajarkan ilmu selain agama jarang di sebut Ustadz. Berbeda lagi kalau seseorang tersebut mengajarkan ilmu selain agama, semisal biologi, sosiologi, matematika, dan lainya di Pesantren. Maka seseorang tersebut baru bisa disebut Ustadz atau Ustadzah.
Kata Ustadz atau Ustadzah bila mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Ustadz atau Ustadzah adalah seseorang yang mengajarkan ilmu agama, maka pendapat ini tidak berlaku bagi seseorang yang yang mengajarkan ilmu selain agama di pesantren. Seorang guru filsafat atau bahasa inggris di pesantren, mereka dipanggil dengan sebutan Ustadz atau Ustadzah. Biasanya, pola pemanggilan Ustadz atau Ustadzah pada semua guru mata pelajaran berlaku di pondok pesantren modern.18 Karena mereka lebih memprioritaskan percakapan dengan menggunakan bahasa Arab. Berbeda dengan pondok pesantren salaf, mereka memanggil atau menyebut guru dengan disesuaikan budaya daerah masing-masing.
Di Indonesia, saaat ini pelabelan kata Ustadz atau Ustadzah bagi seseorang sangatlah mudah, cukup dengan modal pandai bercakap tentang agama dan berpakaian layaknya orang Arab, maka dia mendapatkan label Ustadz atau Ustadzah. Hal tersebut dapat dilihat di layar televisi. Artis-artis yang „baru‟
belajar agama dan mengklaim mendapatkan hidayah, kemudian mereka berbicara
18. Pesantren Modern adalah pola pendidikan agama Islam yang memadukan kurikulum salaf (klasik) dan khalaf (modern). Dan materi yang dipelajari merupakan kombinasi antara ilmu agama dan ilmu umum. Ciri khas pondok modern adalah penekanannya pada kemampuan berbahasa asing secara lisan. Sedangkan antitesa dari Pesantren Modern adalah Pesantren Salaf (tradisional) yang lebih menekankan pada kemampuan penguasaan kitab kuning. Contoh pesantren salaf yang murni adalah Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan. Sedangkan contoh pondok modern adalah Pondok Modern Gontor. Lihat Rumadi, Renungan Santri Dari Jihad Hingga Kritik Wacana Agama, (Jakarta : Erlangga, 2007), h.126 dan http://www.alkhoirot.com/beda-pondok-modern- dan-pesantren-salaf/.
tentang sebuah motivasi dengan diselipi beberapa ayat-ayat al-Qur‟an atau Hadis, dan langsung dilabeli Ustadz atau Ustadzah. Padahal, dalam mempelajari Agama Islam butuh proses dalam menafsirkan atau menjelaskan Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Seperti belajar nahwu dan shorof untuk mengetahui makna dan susunan kata bahasa Arab.
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwasanya kata Ustadz atau Ustadzah disematkan kepada orang yang mengajar agama. Arti bebasnya adalah guru agama, pada semua levelnya. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa bahkan kakek dan nenek. Namun hal itu lebih berlaku di Indonesia saja. Karena di dunia Arab istilah Ustadz ini lebih merupakan istilah yang digunakan di dunia kampus di beberapa negeri Arab, ketimbang sekedar guru agama biasa. Yang lebih parah lagi jika kemudian muncul anggapan bahwa orang yang pakai peci, baju koko atau sarung tak peduli apakah dia paham atau tidak tentang ajaran Islam disebut juga ustadz. Atau dengan cara-cara yang kurang lazim memposisikan dirinya sebagai ustadz
Ustadzah Afifah termasuk dalam kategori pendapat pertama versi Indonesia, yaitu mengajarkan sebuah ilmu agama. Karena Ustadzah Afifah sendiri tidak pernah mengenyam pendidikan perguruan tinggi. Namun kiprahnya dalam dakwah pemberdayaan perempuan di desanya dapat memberikan suasana baru bagi masyarakat sekitar.
3. Pemberdayaan Perempuan
a. Konsep Dasar Pemberdayaan Perempuan
Istilah “pemberdayaan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “daya”, yang memiliki makna kemampuan melakukan sesuatu atau
34
kemampuan bertindak. Sementara, pemberdayaan merupakan cara atau proses memberdayakan.19 Jadi, pemberdayaan merupakan suatu cara dalam menjadikan seseorang yang tidak berdaya menjadi berdaya.
Pengembangan masyarakat sangat memperhatikan keterpaduan antara sistem klien dengan lingkungannya. Sistem klien dapat bervariasi, mulai dari individu, keluarga, kelompok kecil, organisasi, sampai masyarakat. sementra itu sistem lingkungan dapat berupa keluarga, rukun tetangga, tempat kerja, rumah sakit, dan lain-lain.20
Sedangkan secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan berasal dari kata „power‟ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Dan kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain mengikuti apa yang kita inginkan.21 Merujuk pada pandangan Kabeer dan Parson sebagaimana yang dikutip oleh Fredian yang membedakan kekuasaaan menjadi dua dimensi, yaitu distributif dan generatif. Berdasarkan distributif, maka kekuasaan diartikan sebagai kemampuan seseorang atau kelompok untuk memaksa kehendak mereka pada orang lain. Sedangkan berdasarkan generatif, kekuasaan merupakan tindkan- tindakan yang memungkinkan masyarakat atau unit sosial untuk meningkatkan kemampuanya mengubah masa depan mereka yang dilakukan atas pilihan mereka sendiri.22
19. Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 2015), h, 300.
20. Edi Suharto, Memberdayakan Masyarakat Memberdayakan rakyat, h, 45.
21. Edi Suharto, Memberdayakan Masyarakat Memberdayakan rakyat, h, 57.
22. Ahmad Sulaeman, Titik Sumarti, dan Diah Krisnatuti, ed, Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga : Bekal Mahasiswa Kuliah Kerja Profesi, (Bogor : IPB Press, 2010), h, 5.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memberikan konsep tentang pemberdayaan perempuan bahwa pemberdayaan perempuan merupakan strategi afirmasi untuk mencapai kesetaraan gender yang bertujuan untuk.23:
a. meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan dalam berbagai bidang pembangunan,
b. meningkatkan pemenuhan hak-hak perempuan atas perlindungan dari tindak kekerasan.
Biasanya hal tersebut berwujud program dan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan praktis maupun strategis khusus perempuan. Misalnya: penguatan kapasitas perempuan calon legislatif, penyediaan layanan bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam sejarahnya di dunia ini pembangunan selalui di mulai dari atas.
Pihak atas (pemerintah, pendonor, dan LSM ) merancang berbagai program dan proyek, lalu dihantarkan pada masyarakat sasaran, dan diharapkan dapat menikmati program-program pembangunan tersebut. Di banyak negara, pola seperti ini membawa perubahan pada masyarakat setempat. Dan pendekatan tersebut biasa dikenal dengan modernisasi.24
23. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak, modul Pelatihan Fasilitatotr Perencanaan dan Penganggaran Daerah Yang Responsif Gender, (Jakarta: KPP &
PA, 2011), h, 49.
24. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak, modul Pelatihan Fasilitatotr Perencanaan dan Penganggaran Daerah Yang Responsif Gender, h, 17.