BAB II Tinjauan Pustaka
II.1. Umum
Menurunnya kinerja struktural didefinisikan sebagai kondisi yang menyebabkan menurun atau berkurangnya kapasitas struktur perkerasan dalam menanggung beban lalu lintas dari waktu ke waktu. Ilustrasi penuruna pelayanan dan kapasitas struktural terhadap kumulatif beban lalu lintas selama masa layan dapat dilihat pada Gambar II.1. berikut.
Gambar II.1. Penurunan tingkat pelayanan dan kapasitas struktural terhadap kumulatif beban kendaraan
(sumber AASHTO, 1993)
Dalam melakukan evaluasi kinerja dari pada struktural perkerasan eksisting dimaksudkan untuk mengetahui kapasitas struktur akibat repetisi beban kendaraan pada masa sekarang dan pada masa umur rencana. Metoda evaluasi kapasitas struktural kapasitas perkerasan eksisting, diantaranya dapat dilakukan dengan cara, sebagai berikut:
1. Survai visual dan pengujian material
Survai yang dilakukan untuk mengetahui semua informasi yang tersedia mengenai
desain, pelaksanaan konstruksi, dan pemeliharaan yang telah dilakukan dan
juga survai terinci untuk mengidentifikasi tipe, jumlah, kerusakan perkerasan atau kemerosotan struktur perkerasan, dan lokasi-lokasi yang berbahaya serta kondisi drainage.
2. Pengujian Lendutan
Pengujian lendutan perkerasan dilakukan diantaranya dengan menggunakan alat Falling Weight Deflectometer (FWD) untuk mengetahui kekuatan struktur perkerasan dan mengetahui Modulus Resilien tanah dasar.
3. Kelelahan akibat beban lalu 1intas
Kelelahan material lapis perkerasan yang secara berangsur-angsur diakibatkan, oleh repetisi beban kendaraan yang telah terjadi dan selama umur rencana sehingga dapat dihitung nilai umur sisa rencana.
Pemeriksaan struktur perkerasan dengan percobaan di lapangan yang tidak merusak (non destructive) semakin populer dan mulai banyak digunakan di berbagai negara, seperti alat FWD. Peralatan dengan pembebanan dinamis telah menjadi metoda yang dipilih karena operasional di lapangan relatif sederhana, cepat dan ekonomis.
Analisis data hasil percobaan dengan alat FWD merupakan hal yang terpisah diantaranya dengan menggunakan program komputer ELCON. Program ini mampu menganalisis cekung lendutan dari titik-titik pengamatan.
Hasil analisis data berupa nilai modulus lapis perkerasan sehingga dapat dihitung tebal overlay dan umur sisa.
Prinsip yang ada dalam prosedur perencanaan menggunakan data lendutan dari alat FWD adalah metoda analitis-empiris. Analitis berhubungan dengan besarnya angka yang didapat untuk menghitung tegangan, regangan atau. lendutan dalam sistem multilayer yang menjadi subjeknya dalam beban luar, dan pengaruh temperatur atau kadar air. Sedangkan empiris berkaitan dengan permodelan struktur perkerasan.
Metoda mekanistik berhubungan dengan kemudahan untuk menterjemahkan perhitungan
analitis dari respon perkerasan kepada kinerja struktur perkerasan, yang berhubungan dengan
kerusakan fisik seperti retak atau keriting (DANIDA, 1990).
Evaluasi kondisi dilakukan untuk mengetahui kemerosotan fungsional mengenai mutu pelayanan dan skid resistance-nya yaitu suatu kondisi yang berpengaruh kepada kenyamanan dan keamanan bagi pengguna jalan, juga untuk perencanaan tebal leveling.
II.2. Konstruksi Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)
II.2.1. Perkerasan Beton Bersambung Tanpa Tulangan (Jointed Plain Concrete Pavement)
Perkerasan beton tanpa tulangan, dibuat dengan sambungan kontruksi tertutup. Dowel atau ikatan agregat mungkin digunakan untuk penyaluran beban melintang sambungan. Fungsi penggunaan dowel dapat berbeda-beda di berbagai negara, tergantung pada jenis agregat, iklim, pengalaman sebelumnya, jarak sambungan antara 4,5 m dan 9,0 m telah digunakan.
Tetapi jika Jarak sambungan tambah besar maka ikatan agregat akan menurun sehingga mengakibatkan resiko retak yang semakin besar. Hasil survey, Nussbaum and Lokken (1970) merekomendasikan jarak sambungan maksimum 6,0 m untuk sambungan dengan dowel dan 4,5 m untuk sambungan tanpa dowel (Huang, 1993).
Beberapa kasus, dilakukan sambungan melintang yang diserongkan sekitar 1,2 m sampai 1,5 m, sehingga roda kendaraan tidak melintas pada sambungan secara bersamaan. Sambungan melintang dimiringkan akan mernperbaiki penampilan dan memperpanjang umur perkerasan tanpa tulangan. Sambungan yang diserongkan mempunyai beberapa keuntungan (Sormin, 1996):
• Mengurangi besarnya lendutan dan tegangan pada sambungan, dengan demikian menambah kapasitas beban yang dapat dipikul oleh perrkerasan dan menambah umur perkerasan
• Memberi pengaruh yang sedikit pada kendaraan saat melintasi sambungan. Oleh
karenanya perjalanan yang lebih lancar akan didapatkan jika sambungan mempunyai
kekasaran. Sambungan yang dimiringkan digunakan pada perkerasan tanpa tulangan
maupun pada perkerasan dengan perkuatan (reinforced pavement)
Gambar II.2. Perkerasan Beton Bersambung Tanpa Tulangan (JPCP) II.2.2. Sambungan pada Perkerasan Kaku
Ada beberapa jenis sambungan (Gambar II.3) yang digunakan pada Perkerasan kaku yang berguna untuk membatasi tegangan-tegangan yang disebabkan oleh perubahan suhu dan untuk memberikan sambungan yang baik antara dua bagian perkerasan yang berdekatan bila dikerjakan pada waktu yang berbeda.
Gambar II.3. Jenis sambungan pada perkerasan kaku
II.2.2.1. Sambungan Muai (Expansion Joints)
Sambungan muai dibuat untuk memberikan kesempatan pada pelat jika memuai. Apabila Perkerasan beton dikerjakan pada suhu yang meningkat, perkerasan akan mengembang, menyebabkan bertambahnya panjang pelat. Kalau suhu cukup tinggi memungkinkan pelat mengembang cukup panjang, sehingga jika tidak tersedia tempat untuk menyalurkan pertambahan panjang tersebut maka pelat akan menekuk atau patah.
II.2.2.2. Sambungan Susut (Contraction Joints)
Sambungan susut dimaksudkan untuk menanggulangi tegangan tarik akibat penyusutan. Jika
perkerasan beton dikerjakan pada suhu yang menurun, pelat akan berkontraksi jika pelat
cukup bebas untuk bergerak dan diharapkan penyusutan awal akan terjadi pada tempat
dibuatnya sambungan tersebut sehingga retakan dapat dikendalikan.
II.2.2.3. Sambungan Engsel (Hinge Joints)
Sambungan engsel atau sambungan lenting, (warping joints) digunakan terutama untuk mengurangi retak sepanjang garis tengah perkerasan. sambungan engsel cocok digunakan untuk lajur tunggal pada pelaksanaan sekaligus.
II.2.2.4. Sambungan Pelaksanaan (Construction Joints)
Sambungan pelaksanaan dibuat untuk menghubungkan dua pelat yang dicor pada waktu yang berbeda sehingga memberikan peralihan yang sesuai di antara beton lama dan beton baru.
Sambungan pelaksanaan diletakkan melintang sepanjang lebar perkerasan.
II.2.3. Pondasi Bawah ( Sub base)
LPB (Lapis pondasi bawah) yang digunakan pada perkerasan kaku bukan untuk memberikan kapasitas struktur yang kecil. Bila tanah dasar sangat jelek, maka perlu diperbaiki atau diberi lapis pondasi bawah sehingga diperoleh peningkatan nilai modulus reaksi tanah dasar (k).
Lapis pondasi bawah mempunyai fungsi sebagai berikut:
• Berfungsi sebagai lantai kerja selama pelaksanaan
• Mengendalikan kembang susut tanah dasar
•
Mencegah intrusi dan pemompaan pada sambungan (pumping)
• Memberikan daya dukung yang mantap dan seragam pada pelat
• Melindungi tanah dasar terhadap air
II.2.4 Tanah Dasar (Subgrade)
Kehandalan dan kemampuan kinerja dari perkerasan kaku berhubungan erat dengan kondisi daya dukung tanah dasar. Parameter yang digunakan untuk mengukur daya dukung ini adalah modulus reaksi tanah dasar (k). Nilai "k" tidak hanya tergantung, pada karakter fisik tanah, tetapi juga pada kandungan air dan kepadatannya.
Sehingga sekalipun kondisi fisik tanah dan daya dukung tanah dasar memiliki hubungan erat dengan pelayanan perkerasan jalan beton, namun elemen keseragaman daya dukung tanah dasar akan menjadi faktor pertama dalam perencanaan dan persiapan 1apisan tanah dasar (Sormin, 1996)
II.2.5. Modulus Reaksi Tanah Dasar (k)
Nilai "k" ditentukan dari beban yang terjadi dan lendutan pada pelat. Pendekatan ini
diasumsikan pelat adalah tidak dapat dipadatkan (incompressible) dan sebagai
konsekuensinya volume tanah atau material lain, atau keduanya, beban yang dipindahkan sama dengan lengkung lendutan.Jadi nilai ”k” dihitung sebagai berikut :
δ
k = P ……….. (II.1)
Dimana :
k = Modulus reaksi tanah dasar (psi/inch) P = Beban yang terjadi (psi)
δ = Lendutan pada pelat (inch)
Gambar II.4. Asumsi dasar perilaku modulus reaksi tanah dasar.
Sehingga Nilai "k" dapat diperoleh di lapangan dari hasil pengujian plate bearing. Nilai pengujian tergantung pada kondisi pengujian, umumnya menggunakan pelat diameter 30 inch. Nilai reaksi tanah dasar dihitung untuk beban satuan standar pada pelat 10 psi.
Penyederhanaan untuk menentukan nilai "k" telah dikembangkan dengan menghubungkan nilai modulus reaksi tanah dasar dengan percobaan CBR. CBR atau modifikasinya, adalah yang biasa digunakan dan cara yang dapat diterima untuk mengestimasi tegangan tanah dasar sekalipun nilai CBR sendiri dapat cukup variabel untuk tanah tertentu.
Oleh sebab perkerasan kaku mendistribusikan beban ke area yang luas, sehingga memberikan
tekanan yang rendah pada lapisan dibawahnya. Kesalahan kecil dalam penentuan dan
pemilihan nilai "k", tidak akan mempengaruhi desain tebal perkerasan. Sebagaimana hasil
dari kekurangpekaan ketebalan perkerasan terhadap modulus reaksi tanah dasar, kesalahan dalam mengkolerasikan nilai "k" ke CBR. dan asumsi garis lurus dari hubungan antara beban dan lendutan dalam persamaan nilai "k" dapat ditoleransi. Hubungan secara grafis antara nilai
"k" dan CBR dipakai oleh NAASRA ini ditunjukkan pada gambar berikut:
Gambar II.5. Hubungan antara Modulus Reaksi Tanah Dasar (k) dan nilai California Bearing Ratio
(Sumber : NAASRA) II.2.6. Modulus Resilien (MR)
Modulus Resillien adalah suatu respon tes dinamik ditetapkan sebagai perbandingan repetisi aksial tegangan deviator (σd) dengan regangan aksial pemulihan (εr). Modulus Resillien (MR) merupakan modulus elastis dengan menggunakan teori elastis.
Deformasi permanen terjadi setelah setiap beban bekerja tetapi, jika beban lebih kecil dibandingkan kekuatan material dan berulang untuk waktu yang lama , deformasi akibat setiap repetisi beban mendekati pemulihan kembali dan sebanding dengan beban dan dapat dianggap sebagai elastis
M
R =r d ε
σ
………..(II.2) Dimana :
σd = Tegangan deviator
εr = Regangan aksial pemulihan
Gambar II.6 menunjukan peregangan spesimen akibat beban test. Pada tahap awal beban bekerja dapat dianggap terjadinya deformasi permanen yang ditunjukan oleh regangan plastis. Selama penambahan jumlah repetisi, regangan plastis akibat setiap repetisi beban menurun. Setelah 100 sampai 200 repetisi regangan secara praktis pulih kembali yang ditunjukkan oleh εr (Huang, 1993)
Gambar II.6. Regangan akibat repetisi beban
Selain itu, Asphalt Institute memberikan hubungan Modulus Resilien (MR) dan California Bearing Ratio (CBR) yang merupakan hasil test pendekatan adalah sebagai berikut :
M
R =10,3 x CBR
……….(II.3) II.2.7. Hubungan Modulus Reaksi Tanah Dasar (k) dan Modulus Resilien
Terdapat beberapa hubungan antara k dan MR yang dapat berubah-ubah dan tergantung pada
apakah tegangan atau lendutan dibandingkan atau apakah beban bekerja pada interior, tepi
atau sudut pelat. Jika sub-base berada diantara pelat dan tanah dasar, modulus reaksi tanah
dasar komposit. dapat ditentukan dengan Gambar II.7. Modulus adalah berdasarkan pada
tanah dasar dengan kedalaman tidak terbatas (infinite depth) dan ditunjukkan oleh "k tak
terhingga", grafik dihasilkan menggunakan metoda yang sama bahwa pelat 30 in. yang
bekerja pada sistem dua lapis. Oleh karena itu, nilai "k" diperoleh dari grafik terlalu besar dan
tidak menunjukkan yang terjadi sebenarnya di lapangan
Gambar II.7. Grafik untuk menentukan modulus reaksi tanah dasar komposit
(Sumber AASHTO, 1993)
II.3. Analisis Tegangan Pada Perkerasan Kaku
Tegangan yang terjadi pada pelat beton disebabkan oleh perubahan temperatur, beban as kendaraan, keadaan cuaca dan kondisi tanah dasar. Tegangan akibat perubahan temperatur dan beban as hampir sama besar dan lebih penting bila dibandingkan terhadap, tegangan akibat keadaan cuaca. Sedangkan tegangan akibat kondisi tanah dasar (expansion &
contraction), adalah kecil untuk short slab dan menjadi penting untuk long slab.
II.3.1. Tegangan akibat Perubahan Temperatur
Tegangan lenting dalam perkerasan kaku berubah-ubah dengan perbedaan temperatur antara bagian atas dan bagian bawah beton. Perubahan temperatur udara adalah sebaaai berikut:
• Perubahan tinggi rendahnya temperatur yang lama pada, pelat, akan menyebabkan pelat melenting. Begitu melenting seluruhnya atau sebagian ditahan oleh berat pelat dan oleh reaksi batang dowel atau alat penyaluran beban lain pada, sambungan.
• Perubahan temperatur rata-rata menyebabkan pelat memuai atau menyusut. Pergerakan
ini mungkin seluruhnya atau sebagian ditahan oleh daya tahan sebagian tanah dasar atau
kekuatan sambungan.
II.3.2. Tegangan dan Lendutan akibat Beban Roda
Teori yang digunakan untuk menghitung tegangan pada pelat beton, yang paling sering digunakan adalah teori Westergaard. Teori ini diterapkan pada pelat dengan dimensi terbatas, dan tegangan dihitung pada tiga macam kondisi: sudut (corner), interior dan tepi (edge).
Asumsinya pelat beton bersifat homogen, mempunyai sifat elastis yang seragam dan reaksi tanah dasar berarah vertikal dan sebanding dengan besarnya lendutan pelat yang teijadi.
Teori ini sejak diperkenalkan 1927 dan telah mengalami beberapa kali modifikasi berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, sehingga pada akhimya memberikan hasil yang sesuai dengan berbagai eksperimen. Teori Westergaard dapat diterapkan baik untuk single static wheel load maupun multiple static wheel load dan moving loads
II.4. Modulus of Rupture
Beton semen dan material yang distabilisasi sering dievaluasi dengan menggunakan conventional beam-breaking tests. Kekuatan lentur atau tegangan maksimum serat beton di bawah beban yang menyebabkan keruntuhan disebut modulus keruntuhan (MR).
Balok beton (6 in. x 6 in. x 18 in.) dari mix design dites kekuatannya pada umur 7 hari, 28 hari dan 90 hari. Dari hasil tes tersebut akap mendapatkan hubungan kekuatan normal dan waktu sama baiknya dengan nilai desain. Pada umumnya digunakan modulus lentur pada umur 90 hari atau sekitar 110% dari modulus keruntuhan pada umur 28 hari. Besarnya nilai modulus keruntuhan (MR) dapat diperoleh dari persamaan berikut:
M
R=
2bd
PL ... (II.4) Dimana :
M
R= Modulus keruntuhan (psi) P = Beban maksimum (lb) L = Panjang (inch)
b = lebar rata rata sample (in)
d = Tinggi sample (in)
Pendekatan hubungan antara modulus lentur dan kekuatan tekan beton seperti pada persamaan berikut:
M
R= K fc ' ...(II.5)
Dimana :
M
R= Modulus lentur (psi) K = Konstan 8 sampai 10 Fc’ = Kuat tekan beton (psi)
Perdasarkan persamaan-persamaan di atas, untuk hubungan umur beton dan variasi modulus dapat dilihat pada pada gambar berikut:
Gambar II.8 Hubungan umur beton dengan kekuatan lentur.
II.5. Alat Falling Weight Deflectometer (FWD)
II.5.1. Umum
Falling Weight Deflectometer (FWD) merupakan alat untuk mengevaluasi kinerja perkerasan yang bersifat tidak merusak (non destructive) dan dinamis dengan mengukur lendutan permukaan perkerasan akibat suatu beban tertentu yang diberikan kepada perkerasan tersebut.
Pembebanan pada. FWD berupa beban impuls yang dijatuhkan pada pegas yang dibebani oleh pelat tunggal dengan tinggi jatuh dan beban dapat diatur.
Beberapa keuntungan dari FWD adalah, sebagai berikut (Nefiadi, 1990) :
• Beban pelat dan tinggi jatuh beban dapat diatur sehingga menyamai intensitas beban yang diinginkan, balk beban kendaraan ataupun beban roda pesawat.
• Dapat memberikan ide menyeluruh mengenal Pavement performance, melalui pengukuran lendutan, dan memberikan nilai layer modulus struktur perkerasan.
• Dapat melakukan pengukuran secara tepat, dengan ketelitian yang cukup tinggi, dan alat dapat dioperasikan secara relatif mudah.
Ada 3 (tiga) komponen utama dalam sistem pengujian FWD, yaitu:
• Alat (trailer) FWD, merupakan suatu unit pengukur lendutan yang pengoperasiannya dilakukan dengan komputer.
• Processor, merupakan suatu unit kontrol yang menghubungkan trailer FWD dengan komputer, berfungsi sebagai kontrol operasi trailer FWD dan mengubah hasil lendutan dalam analog menjadi digital. Komputer dan printer, untuk mengoperasikan alat FWD dengan memasukkan suatu program komputer lapangan (program FWD).
Beban pelat yang dilepaskan pada ketinggian tertentu dalam waktu singkat, maka
dikategorikan sebagai beban bergerak (dinamis). Sehingga hal ini diasumsikan serupa dengan
pengaruh beban roda yang sebenarnya.
Gambar II.9 Sistem alat Dynatest 8000 FWD (DYNATEST,1989)
Penelitian menunjukkan bahwa lendutan yang diukur dengan FWD kurang lebih sama dengan yang disebabkan oleh beban roda yang bergerak dengan kecepatan 60-80 km/jam.
Lendutan, tegangan dan regangan yang ditimbulkan beban roda bergerak seperti pada Gambar II.9.
Pengukuran lendutan di lapangan disediakan fasilitas komputer untuk menghitung modulus pada setiap titik deflector. Persamaan modulus permukaan adalah :
E
0= 2(1-v
2) x
0 0
d σ xa
...(II.6)
E
r= (1-v
2) x
2 0
rxd
rσ xa
...(II.7)
Dimana :
E
0= Modulus permukaan pada pusat pelat pembebanan
E
r = Modulus permukaan pada jarak r dari pusat pelat, pembebanan σ0 = Tegangan normal pada permukaan perkerasan
d
o= Lendutan pada pusat pelat pembebanan
d
r= Lendutan pada jarak r dari pusat pelat pembebanan
a = Jari jari pelat pembebanan
FWD sistem kerja Falling Weight Deflectometer (FWD) adalah beban perkerasan pada alat kontrol, beban bergetar serupa dengan pergerakan beban roda. Lendutan permukaan perkerasan pada jarak radial meningkat dari beban dicatat secara otomatis. Lendutan d1 merupakan lendutan pada pusat beban dan d7 lendutan terjauh dari beban
II.5.2. Pembebanan
Berat beban yang dijatuhkan dari ketinggian tertentu kepada pelat berdiameter 300 mm sebenarnya memrepresentasikan tekanan roda pada permukaan perkerasan yang menyebabkan lendutan pada perkerasan. Sistem pegas atau penyangga karet biasanya dibebani dalam batas elastis, sehingga gaya maksimum (P) yang diterima perkerasan (Claessen et al., 1976, Koole, 1979, Sebaaly et al., 1986) adalah:
P
= (2 x M x g x h’ x c)
0,5...(II.8) Dimana :
M = Massa FWD (kg)
g = Percepatan gravitasi (m/detik
2) h’ = Tinggi jatuh (m)
c = Konstanta pegas (N/m)
Metoda penentuan besaran gaya maksimum terdiri dari (Koole, 1979):
• Masa beban jatuh diubah hal ini tidak praktis untuk pemeriksaan perkerasan yang rutin.
• Tinggi jatuh diubah hal ini sesuai untuk pemeriksaan perkerasan yang rutin jika pengaturan tinggi jatuh pada alat yang digunakan memungkinkan
• Konstanta pegas diubah hal ini tidak sesuai untuk pemeriksaan perkerasan yang rutin.
Perubahan masa dan pegas juga mempengaruhi panjang pulsa dari gaya, sehingga pengaturan
besaran gaya yang paling praktis adalah dengan mengatur tinggi. (Nefiadi, 1990).
Gambar II.10. Komponen Falling Weight Deflectometer (FWD)
II.5.3. Deflector
Jarak antara dua deflector dapat diukur paling sedikit lebih besar dari jarak titik jatuh sama dengan tebal perkerasan. Mula-mula percobaan ini hanya dapat diperkirakan, tapi mengikuti prosedur akan memastikan layak mendekati keadaan. (Sormin, 1996)
Pengujian FWD pada pelat yang dievaluasi dapat dilakukan pusat pelat dan satu atau lebih pada sambungan dan sudut. Pada pengujian di sambungan dan sudut, posisi sensor seperti gambar di bawah ini:
Gambar II.11. posisi sensor deflector pada sambungan dan sudut dengan
FWD
Dengan menghitung tebal perkerasan ekivalen menggunakan metoda Equivalent menggunakan semua lapisan berubah bentuk menjadi satu lapisan ekivalen yang mempunyai kekakuan yang serupa sebagai pondasi atas. Dengan demikian tebal pelat sebagai perkerasan permukaan seakan-akan lebih besar daripada tebal perkerasan sebenarnya.
Sebagian besar perkerasan. di Indonesia mempunyai tebal perkerasan antara 700 mm sampai 1.000 mm, jarak deflector disarankan sebagai berikut :
d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 0 mm 300 mm 600 mm 750 mm 900 mm 1200 mm 1500 mm
Untuk tebal perkerasan lebih besar dari 1.000 mm, jarak deflector dapat dipakai sebagai berikut :
d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 0 mm 300 mm 600 mm 900 mm 1200 mm 1500 mm 1800 mm
Untuk tebal perkerasan kurang dari 500 mm, jarak deflector dapat dipakai sebagai berikut :
d1 d2 d3 d4 d5 d6 d7 0 mm 200 mm 300 mm 450 mm 600 mm 900 mm 1200 mm
II.6. Cekung Lendutan (Deflection Bowl)
Cekung lendutan yang terjadi basil pengukuran merupakan lendutan pada struktur perkerasan akibat beban yang efeknya ditangkap oleh 7 buah deflector. Bentuk cekung lendutan menyatakan integritas struktur perkerasan dan kapasitasnya menahan beban.
Bentuk cekung lendutan juga menyatakan karakteristik kekakuan perkerasan dan dapat
digunakan untuk mengevaluasi beberapa masalah atau untuk menilai kinerja struktural
perkerasan untuk merencanakan overlay
Gambar II.12. Cekung Lendutan (Deflection Bowl)
Kondisi subgrade mempunyai pengaruh yang sangat besar pada cekung lendutan. Lapisan perkerasan yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda dari cekung lendutan.
Pengaruh subgrade terhadap lendutan dijelaskan dengan variasi subgrade vertikal melalui suatu perkerasan khusus.
,.~ -1
II.7. Evaluasi Struktural
Evaluasi struktural dimaksudkan untuk mengetahui umur sisa dan perencanaan tebal overlay untuk maksud mengetahui umur sisa dan perencanaan tebal overlay, dengan demikian dapat memperbaiki kemerosotan struktural dan fungsionalnya. Secara struktural untuk meningkatkan umur sisa dan kapasitas struktural, sedangkan secara, fungsional untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan jalan (serviceability) bagi pengguna jalan baik pada masa sekarang dan yang akan datang.
I
II.7.1. Metoda Program ELCON
ELCON adalah akronim untuk Evaluation of Layer Moduli and Overlay Design for Concrete.
Merupakan komputer program yang dapat digunakan pada semua komputer IBM compatible,
dan digunakan untuk menganalisa hasil lapangan dari pengujian Dynatest Falling Weight
Defiectometer (FWD) (Dynatest, 1989). Program ELCON akan mengerjakan analisa struktur
secara otomatis dan merencanakan lapis perkerasan tambahan berdasarkan pengukuran
cekung lendutan yang diukur dengan FWD.
Perhitungan yang dilakukan mencakup penentuan modulus elastis dari material yang membentuk sistem perkerasan, dan berdasarkan modulus yang diperoleh dapat dihitung tegangan dan regangan pada perkerasan di bawah beban yang bekeja.
Dengan mengetahui parameter-parameter ini, program tersebut dapat menghitung, umur sisa perkerasan dan overlay yang dibutuhkan untuk kondisi-kondisi tertentu yang dijadikan masukan pada program tersebut.
Metoda ini bekerja berdasarkan pendekatan analitis (mekanik) dan empirik. Dua dan tiga lapis sistem dibolehkan oleh program, tapi pada umumnya perkerasan kaku harus diperlakukan sebagai dua lapis sistem, sebab lapisan pondasi atas dan bawah sangat kecil pengaruh dari bentuk cekung lendutan yang dibandingkan pengaruhnya dengan pelat PCC dan tanah dasar.
ELCON sama penggunaannya dengan prosedur ELMOD31 untuk menentukan. modulus PCC dan pendukung modulus tanah dasar. Penggunaan modulus PCC, modulus dari reaksi tanah dasar (nilai "k") kemudian dihitung dari persamaan Westergaard’s. Pada sambungan dan pojok, persamaan Westergaard's juga dipakai untuk mudah digambarkan.
Untuk memperoleh hasil yang cukup teliti, maka ada beberapa persyaratan dalam, program ELCON untuk menganalisis struktur perkerasan tersebut, yaitu:
• Struktur perkerasan harus mempunyai satu lapisan kaku, dengan E1/Es > 5, di mana Es adalah modulus elastis subgrade.
• Modulus elastis lapisan makin ke bawah semakin kecil, yaitu Ei/Ei+1 > 2
• Tebal dari lapisan kaku tersebut H1 > r/2, di mana r adalah radius pelat alas beban. Untuk sistem 3 (tiga) lapis, tebal lapis atas (H1) harus lebih kecil dari diameter pelat alas beban dan lebih kecil dari tebal lapis dibawahnya (H1< H2 ).
Jika penngukuran dilakukan dekat sambungan (joint) atau retak besar atau jalan kerikil, maka
struktur perkerasan harus dianggap sebagai sistem dua lapis.
Proses perhitungan dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
• Perhitungan modulus elastisitas untuk setiap lapisan perkerasan dibawah kondisi sebenarnya dari beban, temperatur, dan kondisi tanah dasar dengan membandingkan lengkung lendutan yang diukur di lapangan dengan teoritis dari sistem perkerasan yang diketabui tebal tiap lapisannya. lendutan teoritis dihitung berdasarkan Metoda Thicknes dan hubungan, tegangan regangan Boussinesq. Pengalaman menunjukkan bahwa beberapa material tanah dasar bersifat elastis non linier sebagai akibatnya untuk tanah dasar, dua konstanta CO dan N juga dihitung dan untuk., digunakan dalam persamaan yang memperhitungkan kondisi non linier.
E
m= CO x ( S ⎟
N⎠
⎜ ⎞
⎝
⎛ 1 , 0
1