PENDIDIKAN KERAKYATAN BAGI GURU SEKOLAH DASAR
Oleh : Ki Supriyoko
A
. PENGANTARApakah persamaan dan perbedaan antara guru Sekolah Dasar (SD) di Indonesia, Malaysia dan Jepang? Persamaannya terletak pada pengabdian;
artinya baik guru SD di Indonesia, Malaysia maupun Jepang sama-sama mengabdi untuk kepentingan sang anak. Di samping itu guru SD di tiga negara tersebut sama-sama dihormati masyarakat.
Perbedaannya? Salah satu yang menyolok pada kesejahteraan. Guru SD di Indonesia relatif lebih tidak sejahtera dibanding guru SD di Malaysia dan Jepang apabila kesejahteraan diukur dengan penghasilan atas pekerjaannya.
Konkretnya penghasilan guru SD di Malaysia lebih memadai daripada guru di Indonesia; demikian pula penghasilan guru SD di Jepang jauh lebih
“menjanjikan” dibanding guru SD di Indonesia dan di Malaysia umumnya.
Guru SD di Malaysia dan Jepang banyak yang memiliki mobil pribadi atas penghasilan keguruannya. Di luar itu banyak guru yang memiliki rumah atas keringat keguruannya. Bagaimana dengan guru di Indonesia? Ada!
Memang ada guru SD di Indonesia yang memiliki mobil atau rumah, akan tetapi hal itu tidak semata diperoleh dari jasanya menjadi guru. Kalau pun ada guru yang memiliki mobil atau rumah atas jasanya menjadi guru maka jumlahnya pun relatif sangat terbatas.
Penghasilan guru di Indonesia, khususnya guru SD, memang relatif rendah. Banyak guru SD yang harus berjuang keras untuk dapat menyeko- lahkan anaknya di sekolah-sekolah bermutu. Lebih banyak lagi guru SD di Indonesia yang harus “membalik pagi menjadi malam dan malam menjadi
pagi” agar dapat membiayai anaknya yang kuliah di perguruan tinggi berkualitas dengan biaya tinggi.
Itulah sebabnya guru SD kita memerlukan pendidikan kerakyatan yang kalau diimplementasikan dapat menolong rakyat banyak pada umumnya;
termasuk guru SD yang penghasilannya pas-pasan.
B.
PENDIDIKAN KERAKYATANBanyak sekali pengertian yang dapat ditampilkan tentang pendidikan kerakyatan; meskipun demikian dalam tulisan ini pendidikan kerakyatan dimengertikan sebagai pendidikan yang bisa diakses oleh rakyat banyak.
Adapun yang dimaksud diakses dalam hal ini adalah diterima, dijalankan dan dinikmati oleh rakyat banyak tanpa membedakan suku, agama, golong- an dan strata.
Aksesabilitas pendidikan oleh rakyat tersebut menjadi penting karena Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Pada sisi yang lain Pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; sedangkan ayat (5) pasal yang sama menyebutkan setiap warga negara berhak mendapat kesempatan mening- katkan pendidikan sepanjang hayat.
Pentingnya aksesabilitas pendidikan menjadi lebih terasa karena meski pendidikan merupakan hak setiap warga negara Indonesia akan tetapi dalam realitasnya masih banyak rakyat Indonesia yang belum dapat mengakses pendidikan itu sendiri, khususnya pendidikan formal. Kiranya sudah men- jadi rahasia umum, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin sulit diakses rakyat banyak.
Menurut catatan Balitbang Depdiknas (2004) Angka Partisipasi Kasar (APK) di TK sebesar 22,12 persen, sebanyak 1.845.983 siswa TK dari 8.345.700 penduduk usia TK; SD dan MI 113,32 persen (29.050.834 siswa dari 25.636.300 penduduk); SMP dan MTs sebesar 77,06 persen (9.930.748 siswa dari 12.887.500 penduduk); SM dan MA 46,64 persen (5.941.786 siswa dari 12.739.100 penduduk); dan PT, PTAI, dan PTK sebesar 13,93 persen (3.441.429 mahasiswa dari 24.706.000 penduduk). Dari angka-angka ini tergambarkan masih banyak rakyat Indonesia yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan.
Bagi penduduk yang sudah mendapatkan pelayanan pendidikan bukan berarti semuanya sudah belajar di sekolah, madrasah atau perguruan tinggi yang bermutu; kebanyakan dari mereka justru belum mendapatkan pela- yanan pendidikan yang bermutu. Gedung sekolah yang sangat sederhana, bahkan sebagian rusak berat, guru yang tidak profesional, dosen yang underqualified, dan sebagainya.
C.
MUTU SDM BANGSAPotensi anak Indonesia sebenarnya tidak kalah dibanding anak-anak manca negara pada umumnya; hal ini terbukti dengan adanya beberapa anak Indonesia yang berprestasi dalam forum internasional; misalnya Hendra Suratno Tju dalam IMO 2004 di Athena, Yunani, Yudistira Virgus dalam APhO 2004 di Pohang, Republik Korea, Andika Putra, dkk. dalam APhO 2005 di Salamanca, Spanyol, Eric G.S. Rumainum dalam APAO 2005 di Siberia, Rusia, Yoshua Michael Maranatha, dkk. dalam IJSO 2005 di Yogyakarta, Indonesia, dan sebagainya.
Meski potensi anak Indonesia tak kalah dibanding anak manca tetapi karena pelayanan pendidikan bermutu belum didapatkan pada kebanyakan siswa dan mahasiswa maka prestasi akademis siswa kita umumnya belum memuaskan. Dalam Ujian Nasional 2005 misalnya; berdasarkan catatan Balitbang Depdiknas tingkat kelulusan SMP dan MTs hanya 86,38 persen dari 2.988.733 peserta ujian, tingkat kelulusan SMA dan MA hanya 79,04 persen dari 1.248.808 peserta ujian, dan tingkat kelulusan SMK hanya 77,42 persen dari 658.492 peserta ujian. Untuk SMP kelulusan terendah di Pegunungan Bintang Papua, SMA di Kabupaten Sarmi Papua, dan SMK di Kepulauan Riau dan Natuna
Prestasi kolektif siswa Indonesia di berbagai forum internasional juga rendah. Di dalam forum Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2003 misalnya, prestasi matematika dan IPA siswa SMP Indonesia ternyata relatif rendah. Dari 44 negara partisipan ternyata siswa Indonesia hanya berada di peringkat ke-35; sebagai perbandingan siswa Australia (ke-14), Malaysia (ke-10), Jepang (ke-5), dan Singapura (ke-1) dalam hal prestasi matematika. Untuk IPA, siswa Indonesia hanya di rank- ing ke-37; sedangkan Malaysia (ke-20), Australia (ke-10), Jepang (ke-6), dan siswa Singapura (ke-1).
Untuk tingkat SMA, prestasi kolektif siswa Indonesia di forum sejagat juga rendah. Meskipun ada beberapa siswa yang secara individual bisa
menunjukkan prestasinya, tetapi secara kolektif prestasi siswa Indonesia lebih banyak gagalnya; hal ini terjadi antara lain pada forum International Mathematics Olympiad (IMO), International Physic Olympiad (IPhO), dan Asia Pacific Astronomy Olympiad (APAO). Sedangkan untuk SD kiranya tidak jauh berbeda dengan SMP dan SMA; dengan kata lain mutu SD kita relatif rendah di forum internasional.
Berbagai keterpurukan prestasi tersebut menyebabkan rendahnya mutu SDM bangsa Indonesia, yang ditunjukkan oleh Human Development Index (HDI), dibandingkan negara-negara lain pada umumnya. Dari laporan UNDP dalam “Human Development Report 2004” (2004), Indonesia berada di posisi ke-111 dari 177 negara. Sementara Thailand (ke-76), Malaysia (ke-58), Brunei Darussalam (ke-33), Singapura (ke-25), Australia (ke-3), dan Norwegia (ke-1).
Dari berbagai ilustrasi tersebut di atas jelas ditunjukkan bahwa belum dapatnya banyak warga negara mengakses pendidikan bermutu dikare- nakan berbagai alasan bukan saja menyebabkan kinerja pendidikan nasional yang rendah; tetapi lebih daripada itu SDM bangsa Indonesia pun akhirnya menjadi rendah pula. Rendahnya mutu SDM bangsa merupakan masalah serius yang perlu segera ditangani.
D
. MEMBAYAR MURAHSalah satu faktor penyebab masih banyaknya anggota masyarakat atau rakyat yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan bermutu adalah sangat terbatasnya kemampuan ekonomi keluarga untuk membayar biaya pendidikan yang dituntut oleh sekolah dan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Terbatasnya kemampuan ekonomi keluarga ini yang menyebabkan mereka tidak bersekolah atau berkuliah.
Hasil studi Abbas Ghozali, dkk (2004) tentang analisis biaya pendidik- an dasar dan menengah di Indonesia telah menemukan adanya sebelas jenis Biaya Satuan Pendidikan (BSP) yang harus dibayar oleh orang tua; masing- masing adalah biaya (1) buku dan ATS, (2) pakaian dan perlengkapan sekolah, (3) akomodasi, (4) transportasi, (5) konsumsi, (6) kesehatan, (7) karya wisata, (8) uang saku, (9) kursus, (10) iuran sekolah, dan (11) forgone earning.
Besarnya BSP yang harus ditanggung orang tua sangat bervariasi bila dicermati dari satuan dan penyelenggara pendidikan. BSP di MI swasta
“hanya” Rp 5.367.000,-, sedangkan BSP di SMK negeri mencapai angka Rp. 11.154.000,-. Artinya, setiap orang tua dari siswa MI swasta harus mengeluarkan dana sebesar Rp 5.367.000,- per tahun, sementara orang tua dari siswa SMK negeri harus mengeluarkan dana sebesar Rp 11.154.000,- per tahun.
BSP Keseluruhan (BSPK), yaitu BSP yang harus ditanggung orang tua dan pemerintah, juga sangat bervariasi besarnya. Contoh konkretnya kalau BSPK SD negeri hanya Rp 8.115.000,- maka besar BSPK SMK negeri mencapai Rp 15.966.000. Artinya, kalau untuk mendidik siswa SD negeri hanya diperlukan biaya sebesar Rp 8.115.000,- per siswa per tahun;
sementara itu untuk mendidik siswa SMK negeri diperlukan biaya sebesar Rp 15.966.000,- per siswa per tahun. BSPK pada satuan pendidikan lainnya sangatlah bervariasi; apalagi kalau dibandingkan antara satuan pendidikan negeri dengan swasta.
BSP yang dibayar pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, ternyata relatif kecil kontribusinya terhadap BSPK; hanya berkisar sekitar 10 s/d 40 persen dari nilai riil BSPK. Misalnya di SD swasta, BSP yang dibayar pemerintah hanya Rp 2.003.000,- atau 22,2 persen dari BSPK yang bernilai Rp 9.030.000,-. Sementara itu di MTs negeri, BSP yang dibayar pemerintah mencapai Rp 4.122.000,- atau 40,0 persen dari BSPK yang bernilai Rp 10.314.000,-.
Relatif rendahnya BSP yang dibayar pemerintah pusat dan pemerintah daerah itu yang menyebabkan sulitnya merealisasi konsep pendidikan murah. Adapun konsep pendidikan murah di sini adalah pendidikan dengan biaya satuan pendidikan yang dibayar orang tua siswa adalah rendah atau murah, baik secara relatif maupun secara mutlak.
Rendahnya BSP yang dibayar pemerintah pusat dan daerah itu disebab- kan alokasi dana pendidikan pemerintah sangat kecil. Misalnya alokasi dana pendidikan dalam APBN tahun 2004 hanya Rp 15,2 trilyun, tahun 2006 37,6 triliun. Untuk menyelenggarakan SD dan MI (negeri dan swasta) saja diperlukan dana sbb: 29.050.834 (siswa) dikalikan Rp 8.115.000,- (diambil BSPK terendah di antara SD dan MI negeri dan swasta) diperoleh angka Rp 235,7 trilyun. Jadi dana pendidikan dari APBN untuk menyelenggarakan SD dan MI saja tidak cukup.
Seandainya dana pendidikan dari pemerintah, baik dari APBN maupun APBD, cukup untuk menyelenggarakan pendidikan di sekolah maupun di perguruan tinggi dengan besaran BSPK yang sama; itu belum menuntaskan permasalahan. Dengan dana seperti itu baru cukup untuk menyelenggarakan pendidikan sebagaimana yang ada sekarang, atau pendidikan yang bahasa ekstreemnya berkualitas rendah; belum merupakan pendidikan bermutu yang hasilnya sanggup berkompetisi dalam persaingan global. Ini sebuah realitas yang harus kita sadari bersama.
E.
BAGI GURU SDMahkamah Konstitusi baru saja mengabulkan uji material terhadap UU No.13 Tahun 2005 tentang APBN Tahun 2006 yang diajukan oleh Pengurus Besar PGRI dan ISPI. Dengan keputusan ini sebaiknya pemerintah segera memenuhi kewajibannya mengalokasi anggaran pendidikan, tak termasuk gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan, sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD.
Pemenuhan kewajiban ini dipakai membantu rakyat yang mempunyai kesulitan ekonomi untuk membayar pendidikan; dengan demikian pelan tapi pasti rakyat Indonesia akan mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu. Hal ini sekaligus merupakan pencerminan atas pemenuhan hak pendidikan warga negara.
Apakah hubungan pemenuhan kewajiban pemerintah tentang anggaran pendidikan dengan eksistensi guru SD? Kalau pemerintah memenuhi kewa- jiban mengalokasi anggaran pendidikan setidak-tidaknya 20 persen dari APBN dan ABDB; dan pemenuhan kewajiban ini didistribusikan kepada rakyat yang memerlukan bantuan finansial untuk membiayai pendidikan anak atau keluarganya maka makin banyak anggota masyarakat yang peng- hasilannya pas-pasan akan menjadi terbantu. Dalam hal inilah guru SD yang penghasilannya pas-pasan akan ikut terbantu. Dan, dalam hal ini pula lah guru SD memerlukan pendidikan kerakyatan !!!*****
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Prof. Dr. Ki Supriyoko, M.Pd. adalah Ketua Majelis Luhur Tamansiswa, Pengasuh Pesantren “Ar-Raudhah” Yogyakarta, dan Wakil Presiden Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE) yang bermarkas di Tokyo, Jepang
KAPASITAS: 1.700 KATA (WORDS)