• Tidak ada hasil yang ditemukan

kepala, sakit perut, dan luka pada mulut/bibir, menyakiti diri dan mempunyai pemikiran bunuh diri, serta merasa dikucilkan dari sekolah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "kepala, sakit perut, dan luka pada mulut/bibir, menyakiti diri dan mempunyai pemikiran bunuh diri, serta merasa dikucilkan dari sekolah."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PENGANTAR

Bullying yang terjadi pada siswa di sekolah merupakan masalah utama kesehatan masyarakat nasional maupun internasional (Nansel, Craig, Overpeck, Saluja, & Ruan, 2004; Hamburger, Basile & Vivilo, 2011). Data dari U.S Department of Education (dalam Lessne & Cidade, 2015) menyebutkan sejumlah siswa berusia 12-18 tahun menjadi korban bully di sekolah dan media sosial, dan satu dari empat siswa (22%) mengaku menjadi korban bully di sekolah selama satu tahun terakhir. Penelitian yang dilakukan di Inggris didapatkan hasil bahwa 75% dari 4700 anak usia 11 – 16 tahun pernah mengalami tindakan bullying secara fisik (Glover, Gough, Johnson, &Cartwright, 2000). Hasil penelitian yang dilakukan Rigby (2007, 2012) di Australia pada 38.000 anak dengan rentang usia 7-16 tahun menunjukkan lebih dari 30% subjek penelitian mengakui bahwa mereka pernah menjadi korban bully di sekolah.

Pada tahun 2008, Indonesia mendapat peringkat ke dua di dunia setelah Jepang dalam kasus bullying di sekolah. Data menyebutkan bahwa sebanyak 3,5 juta siswa Indonesia menjadi korban bully setiap tahun, dan 71% siswa menganggap bahwa bully sebagai sebuah masalah di sekolah (Indra, 2015). Selama tahun 2011-2014, KPAI mencatat 369 pengaduan terkait masalah bullying. Jumlah tersebut berkisar 25% dari total pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1480 kasus. Bullying sebagai bentuk kekerasan di sekolah mendapat peringkat pengaduan tertinggi mengalahkan tawuran pelajar, diskriminasi pendidikan atau aduan pungutan liar (Setyawan, 2014). Dalam perilaku bullying disebutkan bahwa sebanyak 84% anak pernah mengalami kekerasan, sedangkan 70% anak pernah menjadi pelaku kekerasan. Selain itu, jumlah anak sebagai pelaku kekerasan di sekolah mengalami kenaikan dari 67 kasus pada tahun 2014 menjadi 79 kasus di tahun 2015 (Rostanti dan Hazliansyah, 2015).

(2)

Tumon (2014) melakukan penelitian kepada 188 siswa SMP di Surabaya, memperoleh hasil bahwa sebanyak 28,1 % subjek penelitian yang mengalami tindakan bullying mengaku mulai mengalami tindakan bullying sejak masuk SMP. Sementara itu, Halimah, Khumas, dan Zainuddin (2015) melakukan penelitian kepada 48 siswa SMP di Makassar dan diperoleh hasil bahwa siswa maupun siswi cenderung bersikap agresif dalam bentuk menghina, mendorong, dan sebagainya. Hasil survei yang dilakukan pada subjek menunjukkan bahwa sebesar 83,7% siswa menghina dengan nama julukan, 53,48% menjahili, 32,55% mengancam akan melakukan hal buruk, 48,8% menjadikan teman bahan tertawaan, 53,48% mengucilkan, 32,55% merusak barang milik teman, 62,79% memukul, 65,11% tidak bicara padanya, 25,5% menulis sesuatu yang buruk tentangnya, 44,1% „menggunjingkan‟, dan 65,11% mendorong korban.

Berdasarkan data Praktek Kerja Profesi Psikologi yang dilakukan oleh Desvianti (2015) pada siswa SMP Negeri di kota Yogyakarta, ditemukan hasil bahwa bullying yang umum terjadi adalah ejekan, hinaan, dipermalukan di depan umum, menjadi bahan gurauan, dibentak, dijegal, diikat di kursi, dan mengambil barang milik teman. Sementara itu, hasil preeliminary yang dilakukan peneliti pada tanggal 2-23 Februari 2016 kepada 198 siswa di dua SMP Negeri Yogyakarta, menunjukkan bahwa perilaku bullying yang banyak terjadi antara lain menjadikan bahan tertawaan/menyoraki (13,3%), menyebar kejelekan teman (9,7%), mengejek (8,75%), menyebar hal yang tidak benar tentang seseorang (8%), memukul (6,88%), dan melakukan ejekan, hinaan, atau ancaman pada media sosial (4,14%).

Bullying merupakan serangan atau intimidasi secara fisik, verbal atau psikologis dengan niat untuk membuat takut, stress, atau menyakiti korban; terdapat kekuatan yang tidak seimbang, baik secara psikologis maupun fisik, antara pelaku dan korban (Farrington, 1993; Olweus, 1993; dan Roland, 1989; dalam Farrington & Ttofi 2009). Ketidakseimbangan ini biasanya sangat jelas terlihat, misalnya korban lebih kecil secara fisik, lemah, atau ketika sekumpulan orang bergabung untuk

(3)

meneror individu; dan merupakan kejadian yang berulang dengan siswa yang sama yang terjadi dalam jangka waktu yang lama. Hal tersebut senada dengan pendapat yang disampaikan oleh Hamburger, Basile dan Vivilo, (2011) bahwa tanda terjadinya bullying adalah adanya perilaku agresif (baik fisik, relasional, atau verbal), perilaku tersebut berulang atau sering terjadi, dan melibatkan ketidakseimbangan individu yang terlibat, misal power atau kekuatan. Tidak dinamakan bullying jika terdapat dua individu/siswa dengan kekuatan yang sama saling menyakiti satu sama lain (Ttofi dan Farrington, 2011). Selain itu, tidak dikatakan bullying jika perilaku mengganggu yang dilakukan dibarengi dengan sikap candaan atau untuk bahan bergurau satu sama lain (Olweus, 2012).

Olweus (1993) mendefinisikan bullying dengan menggunakan situasi di mana siswa yang ditindas atau menjadi korban bully memperoleh perlakuan negatif secara berulang dan terus menerus oleh satu atau beberapa siswa lain. Maksud dari perlakuan negatif menurut Olweus (1993) adalah ketika seseorang sengaja untuk menimbulkan ketidaknyamanan atau luka kepada orang lain. Bullying mempunyai karakteristik yang utama yaitu 1) adanya perilaku agresif, 2) terjadi secara berulang dan terus-menerus, dan 3) terdapat kekuatan yang tidak seimbang antara pelaku dengan korban (Olweus, dalam Elinoff dkk, 2004), 4) bullying biasanya terorganisir, sistematis, dan tersembunyi, 5) biasanya terjadi dalam periode waktu yang lama, 6) korban bullying mengalami rasa sakit secara fisik, emosi, dan psikologis, 7) semua bentuk perilaku bullying memiliki dimensi emosi atau psikologis (Sullivan, Cleary, dan Sullivan, 2005).

Bullying sering dikaitkan dengan kemarahan, agresi, kekerasan, hiperaktifitas dan masalah eksternal yang nantinya dapat mengarah pada kriminalitas dan memiliki efek negatif baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Dampak bullying bagi siswa (Rigby, 2007) yaitu meningkatkan level kecemasan siswa, hilangnya rasa percaya diri serta harga diri, meningkatkan simptom psikosomatik seperti sakit

(4)

kepala, sakit perut, dan luka pada mulut/bibir, menyakiti diri dan mempunyai pemikiran bunuh diri, serta merasa dikucilkan dari sekolah.

Bagi pelaku, efek jangka pendek yang ditimbulkan oleh perilaku bullying adalah munculnya simptom-simptom ADD, depresi, dan OCD (Kumpulainen, dalam Smokowski & Kopasz, 2005), dan munculnya sikap positif terhadap kekerasan fisik (Olweus, 1993). Siswa yang menjadi pelaku bullying pada masa remaja diprediksikan akan melakukan tindak kriminal dan kejahatan di usia dewasanya (Olweus, 1993; Rigby, 2007; Lodge, 2014). Senada dengan hal tersebut, studi yang dilakukan oleh Robert (dalam Smokowski & Kopasz, 2005) menunjukkan bahwa pada usia 30 tahun, pelaku bullying akan melakukan tindakan kriminal dan pelanggaran lalu lintas lebih banyak dibanding rekan seusianya yang tidak melakukan bullying. Efek jangka panjang yang ditimbulkan oleh perilaku bullying bagi pelaku adalah menjadi underachiever yang kemudian akan menampilkan performa kerja cenderung rendah dalam lingkungan kerja (Smokowski & Kopasz, 2005).

Bagi individu yang menjadi korban bullying mengalami permasalahan pada kesehatannya, well-being, dan prestasi akademik di sekolah yang kurang baik (Kowalski, Limber, & Agatston, 2012). Rigby (2007) menambahkan bahwa korban bullying akan memiliki self-esteem yang rendah, merasa terisolasi dari lingkungannya, dan menghindari masuk sekolah. Korban bullying dengan self-esteem yang rendah biasanya akan terlihat sedih dan tidak gembira yang mengindikasikan adanya respon yang kurang adaptif. Dengan adanya dampak negatif bagi pelaku dan korban pada bullying, hal tersebut semakin menguatkan bahwa penting untuk melakukan upaya pencegahan tindakan bullying.

Perilaku bullying merupakan siklus yang dalam lingkaran siklus tersebut dipengaruhi oleh faktor motivasional atau intensi (Ulfah, 2015). Intensi merupakan faktor utama dalam theory of planned behavior yang dapat secara akurat memprediski kecenderungan perilaku dari individu. Teori planned behavior ini berdasar asumsi

(5)

bahwa setiap manusia merupakan makhluk rasional yang mampu menggunakan informasi secara sistematis yang memungkinkan bagi dirinya sendiri. Individu akan memikirkan implikasi dari tindakan mereka sebelum mereka memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu (Ajzen, 2005) Jika asumsi tersebut dikaitkan dengan perilaku bullying, maka faktor penentu yang terpenting dari bullying adalah intensinya. Intensi didefinisikan sebagai faktor motivasional yang dapat mempengaruhi perilaku. Intensi mengindikasikan seberapa keras individu mencoba, usaha individu dalam merencanakan dan mengusahakan munculnya suatu perilaku (Ajzen,1991).

Intensi memiliki tiga aspek, yaitu attitude toward behavior, subjective norm, dan perceived behavior control (Ajzen, 2005). Aspek pertama, attitude toward behavior, merupakan evaluasi positif atau negatif terhadap perilaku yang ditentukan oleh beliefs mengenai konsekuensi dari perilaku yang dimunculkan. Keyakinan yang menonjol pada individu mengenai perilaku tertentu disebut dengan behavioral beliefs. Setiap behavioral beliefs menghubungkan perilaku dengan hasil tertentu atau dengan atribut tertentu sehubungan dengan ditampilkannnya perilaku tersebut.

Aspek kedua, subjective norms, berhubungan dengan beliefs individu terhadap tuntutan dari lingkungan sosialnya untuk perilaku tertentu. Subjective norms berkaitan dengan persepsi individu terhadap persetujuan lingkungan sosial mengenai perilaku tertentu yang membuat individu melakukan atau tidak melakukan perilaku tersebut. Keyakinan pada subjective norms berbeda dengan attitude toward behavior. Keyakinan pada subjective norms lebih menekankan pada kesetujuan atau ketidaksejutuan lingkungannya. Keyakinan yang ada pada subjective norms disebut juga dengan normative beliefs.

Aspek ketiga, perceived behavioral control, yang juga diasumsikan sebagai fungsi beliefs. Keyakinan pada perceived control behavior berkaitan dengan ada atau tidaknya kemudahan atau hambatan terhadap perilaku yang ditampilkan. Keyakinan

(6)

ini berdasarkan hasil pengalaman yang terjadi sebelumnya. Individu akan merefleksikan kemudahan yang diperoleh serta hambatan-hambatan yang diantisipasi hingga terjadi proses perceived control behavior.

Menurut Bandura (1986), intensi merupakan suatu kebulatan tekad untuk melakukan aktivitas tertentu atau menghasilkan suatu keadaan tertentu di masa depan. Intensi (dan perilaku) adalah fungsi dari tiga faktor penentu, yaitu individu dalam lingkungannya, refleksi pengaruh sosial, dan adanya kontrol terhadap suatu perilaku (Ajzen, 2005). Armitage dan Conner (2001) menambahkan bahwa ketiga faktor penentu tersebut dalam intensi merupakan proses kognitif yang menjadi dasar dalam proses mental terhadap terjadinya suatu perilaku.

Salah satu contoh bahwa lingkungan mempengaruhi intensi dan perilaku seseorang yaitu adanya penelitian Tumon (2014) yang menunjukkan sebanyak 61,7 % subjek penelitian mengaku bahwa lingkungan sekolah merupakan lingkungan pertemanan yang saling mempengaruhi. Selain itu, sebanyak 17% subjek penelitian mengaku melakukan tindakan bullying karena mengikuti teman dan sebanyak 53% mengaku agar diterima oleh kelompok sebayanya. Hal tersebut memperlihatkan dua hal yaitu: 1) perilaku bullying yang ada di sekolah tidak bisa terlepas dari pengaruh teman sebaya, 2) adanya persetujuan dari lingkungan terhadap bullying mempengaruhi subjective norms dalam menilai dan niat (intensi) untuk melakukan tindakan bullying.

Pada banyak remaja, bagaimana mereka dipandang oleh teman sebaya merupakan aspek yang terpenting dalam kehidupan mereka (Santrock, 2003). Hal tersebut merupakan bagian dari konformitas remaja. Konformitas muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata atau yang dibayangkan oleh mereka (Santrock, 2003). Namun, konformitas terhadap teman sebaya pada remaja dapat menjadi positif atau negatif (Camarena, 1991, dalam Santrock, 2003). Konformitas menjadi negatif ketika remaja terlibat dalam perilaku

(7)

kekerasan serta menggunakan bahasa yang kurang baik. Tindakan bullying di sekolah merupakan bentuk dari konformitas yang kurang baik dan mengakibatkan dampak yang kurang baik bagi pelaku maupun korban sehingga perlu ditangani.

Penanganan bullying dapat dilakukan tidak hanya bersifat kuratif namun juga preventif. Penanganan secara preventif dilakukan karena bullying merupakan perilaku yang tidak bisa diterima serta memiliki dampak secara emosional dan akademik (Orpinas dan Horne, 2006). Upaya preventif merupakan salah satu cara yang terbukti berhasil menurunkan perilaku bullying baik untuk individu, relasional (hubungan antara remaja dengan teman sebaya dan orang dewasa yang lain), serta pada level komunitas atau sosial (Rigby, 2012).

Penelitian ini menggunakan teman sebaya sebagai perantara untuk mengurangi kejadian bullying di sekolah karena perilaku awal bullying sangat dipengaruhi oleh teman sebaya pada jenjang SMP (Cunningham, 2007; Adilla, 2009), selain itu jika bullying terjadi pada remaja awal, biasanya akan diperparah di jenjang sekolah selanjutnya (Sullivan, Cleary & Sullivan, 2005). Teman sebaya dalam program anti-bullying bertugas memberi informasi untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan tindakan siswa dalam rangka memerangi bullying melalui proses komunikasi, informasi, dan edukasi. Ajzen (dalam Losey, 2009) menjelaskan faktor sosial dan kognitif mempengaruhi perilaku yang dipilih seseorang. Seseorang dapat mengambil peran dalam situasi bullying mempertimbangkan kerugian dan keuntungan yang diperolehnya dalam kerterlibatan peristiwa bullying. Pertimbangan kerugian dan keuntungan yang diperoleh seseorang tersebut tentunya dipengaruhi oleh informasi yang dimiliki tiap individu. Dalam penelitian Salmivalli (dalam Dake, Price, dan Telljohann, 2003) menyebutkan bahwa perlunya pelatihan kepada pendidik teman sebaya agar dapat mengambil tindakan dalam memerangi bullying.

Thompson dan Smith (2012) salah satu capaian berhasilnya program antibullying adalah dukungan teman sebaya yang dapat dilakukan untuk mencegah

(8)

dan merespon bullying, menambah pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman siswa dalam merancang secara terstruktur dalam upaya mencegah dan mengurangi bullying. Teman sebaya dianggap penting dalam proses pencegahan dan pengurangan perilaku bullying karena banyak remaja yang menjadi korban tidak akan menceritakan pengalamannya kepada orang yang lebih tua seperti guru atau orangtua mereka (Cross dkk, 2009), mereka lebih senang untuk menceritakan pengalamannya kepada teman (Rigby, 2012). Guru juga merasa bahwa siswa lebih merasa aman jika bercerita kepada teman sebayanya (Marangu, Bururia, dan Njonge, 2012). Selain itu, beberapa peneliti meyakini bahwa intervensi dalam anti-bullying akan berhasil jika lebih menekankan pada level peer-group daripada individual seperti korban atau pelaku (Salmivalli, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2014) menunjukkan bahwa metode kelompok dukungan pada teman sebaya dapat meningkatkan self-efficacy siswa-siswi SMP yang terkena bullying. Hal tersebut menunjukkan bahwa dukungan teman sebaya merupakan kunci interaksi interpersonal yang baik yang dapat mengembangkan terbentuknya karakter siswa-siswi yang positif sehingga mereka akan menggunakan pendekatan perilaku yang sesuai ketika menghadapi bullying. Selain itu, penelitian yang dilakukan Aldilla (2009) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat, siginifkan dan positif antara kontrol sosial yang dilakukan oleh teman sebaya pada siswa SMP dengan perilaku bullying. Dalam hal ini berarti bahwa teman sebaya mempunyai hubungan yang signifikan dalam mengontrol dan mengurangi perilaku bullying di sekolah.

Palladino, Nocentono, dan Menesini (2012) melakukan penelitian kepada 144 siswa kelas 9 sampai 13 dengan menggunakan program Noncadiamointrappala 2nd atau NoTrap! Program edisi kedua yang berbasis teman sebaya, memperoleh hasil yang signifikan untuk mengurangi perilaku bullying dan cyberbullying di Italia. Selanjutnya, pada tahun 2015 Palladino, Nocentono, dan Menesini (2016)

(9)

Noncadiamointrappala3rd atau NoTrap! Program edisi ketiga dengan menambahkan beberapa kali trial sebelum melaksanakan penelitian agar mendapat evidence yang tepat dan sesuai. Selain itu follow up yang diberikan setelah penelitian pada edisi kedua adalah 1 bulan, sedangkan pada edisi ketiga adalah 6 bulan. Tujuan program NoTrap! Program edisi kedua dan ketiga secara umum mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mengetahui peran teman sebaya dalam mengurangi perilaku bullying dan cyberbullying di Italia. Hasil penelitian yang dilakukan Palladino, Nocentono, & Menesini (2016) menunjukkan bahwa peer educator secara konsisten signifikan dapat menurunkan perilaku bullying dan cyberbullying pada siswa SMP di Italia. Peer educators dapat menjadi agen perubahan di sekolah, termasuk dalam mencegah tindakan bullying. Dalam penelitian tersebut, peer educator diberikan pelatihan yang fokus pada komunikasi, empati, strategi coping, serta ketrampilan sosial dalam interaksi nyata dan virtual.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti memanfaatkan teman sebaya sebagai fasilitator yang dapat dijadikan agen dalam mengurangi tindakan bullying di sekolah. Ditinjau dari sisi perkembangan remaja, teman sebaya dapat dijadikan tempat untuk saling bertukar cerita, pendapat, dan pikirannya seputar dunia sekolah atau kegiatan sehari-hari dan dapat mempengaruhi remaja untuk membuat keputusan dalam bertindak. Dengan saling bertukar informasi dan materi mengenai bullying di sekolah antar teman sebaya, diharapkan dapat mengurangi kejadian-kejadian bullying di sekolah.

Program berbasis teman sebaya ini, peneliti sebut dengan Program Remaja “STOP” (Sadar, Tolong, dan Perangi) Bullying. Secara garis besar, Program Remaja “STOP” (Sadar, Tolong, dan Perangi) Bullying memiliki tiga hal utama, yaitu: 1) membuat fasilitator sadar, --yang secara harfiah dapat diartikan mengerti dan memahami keadaan tertentu--, bahwa bullying mempunyai dampak yang kurang baik, 2) dengan kesadaran akan dampak bullying tersebut, diharapkan fasilitator sebaya dapat menolong (tolong) dan memberikan bantuan berupa pengetahuan kepada

(10)

korban, pelaku, atau teman-teman di lingkungan sekolah terhadap kejadian bullying, 3) sehingga fasilitator sebaya dan teman-teman di lingkungan sekolah dapat bersama-sama memerangi (perangi) bullying di sekolah dan perilaku bullying di sekolah dapat stop (berhenti). Terdapat dua tahap dalam penelitian ini yaitu, 1) trainer melatih fasilitator sebaya mengenai pengetahuan bullying dan ketrampilan presentasi berdasarkan komunikasi verbal dan nonverbal, dan 2) fasilitator sebaya setelah memperoleh pelatihan mempresentasikan materi bullying kepada siswa dengan intensi perilaku bullying dengan harapan perilaku bullying yang ada di sekolah menjadi berkurang.

Program Remaja “STOP” (Sadar, Tolong, dan Perangi) Bullying merupakan suatu rangkaian kegiatan pelatihan, di mana kegiatan pelatihan yang dilakukan ditulis dalam sebuah buku. Program Remaja “STOP” Bullying ini disusun dengan dua tema utama yaitu, 1) tema bullying yang disusun berdasarkan modifikasi dari materi Bully Buster Program (BBP) (Newman-Carlson dan Horne, 2004) dan 2) ketrampilan presentasi berdasarkan komunikasi verbal dan nonverbal (Book, Albrecht, Atkin, Bettinghaus, dkk., (1980); Hargie (2011)). Selain itu, program ini terdiri dari dua proses pelatihan, yaitu: 1) trainer melatih fasilitator sebaya supaya terampil dalam mempresentasikan materi bullying, dan 2) fasilitator sebaya yang telah dilatih mempresentasikan pengetahuan bullying kepada siswa lainnya. Peneliti menggunakan presentasi untuk metode penyampaian materi karena biasa digunakan untuk menyampaikan informasi atau pelatihan kepada peserta. Metode presentasi cocok digunakan di depan peserta dengan jumlah yang besar, informasi yang disampaikan bersifat pasti, serta waktu dan biaya yang cukup efisien Davis (2005). Selain itu, metode presentasi dianggap mudah dipelajari oleh siswa, karena berkaitan dengan proses belajar yang sudah pernah dilakukan di kelas (Supratiknya, 2011).

Menurut Russel (1974) dalam pembuatan sebuah modul, setelah menentukan teori dan menyusun media yang akan digunakan, maka perlu juga menguji validitas dan reliabilitas untuk mengetahui efektivitas modul yang dibuat. Jika modul (setelah

(11)

digunakan) mampu mencapai tujuan serta menghasilkan dampak yang diinginkan, maka modul tersebut dapat disimpulkan memenuhi syarat pembuatan modul dan dapat diimplementasikan. Proses validasi program Remaja “STOP” Bullying dilakukan melalui beberapa langkah. Sugiyono (2015) menyebutkan bahwa proses validasi modul dilakukan dengan pengujian internal dan eksternal. Pengujian internal dapat dilakukan beberapa kali hingga ditemukan rancangan yang dianggap sempurna. Pada penelitian ini, pengujian internal dilakukan dengan meminta penilaian kepada beberapa professional judger terkait kesesuaian antara isi, materi, dan tujuan modul. Pengujian eksternal dilakukan dengan pengujian lapangan yang dilakukan dengan mencobakan modul tersebut pada situasi nyata, yaitu kepada subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Pada penelitian ini, pengujian eksternal dilakukan dengan menjalankan pelatihan kepada subjek terkait modul yang sudah disusun dan dinilai oleh professional judger.

Modul pelatihan yang dibuat dalam penelitian ini menggunakan pendekatan observational learning (pembelajaran melaui pengamatan). Penelitian Groenendijk dkk (2011) menunjukkan bahwa metode observational learning dapat berpengaruh kepada performansi, proses dan motivasi seseorang. Metode tersebut meningkatkan hasil kreativitas khususnya pada bidang seni visual. Hasil penelitian ini menguatkan bahwa observational learning dapat digunakan untuk mempelajari sesuatu yang baru dalam bentuk pengetahuan maupun ketrampilan.

Trainer merupakan „model‟ yang diobservasi oleh fasilitator sebaya tentang cara menyampaikan materi bullying dengan metode presentasi. Dengan dihadirkannya model tersebut, fasilitator sebaya akan meniru trainer dan siswa akan meniru fasilitator sebaya melalui proses observational learning. Bandura (1986) dalam Teori Belajar Sosial Kognitif, menyebutkan empat proses dalam observational learning melalui modeling, yaitu attention, retention, production, dan motivation. Proses awal dalam observational learning yaitu attention. Pada proses ini, perhatian fasilitator sebaya dan subjek diarahkan pada „materi‟ (dalam hal ini merupakan

(12)

perilaku) yang akan dikembangkan. Hal ini dapat dilakukan dengan menyajikan materi secara jelas dan menarik, memberikan penekanan pada bagian penting atau dengan mendemostrasikan suatu kegiatan. Model yang dihadirkan memiliki daya tarik bagi pengamat. Untuk memperkuat atensi dari pengamat, modul disusun dengan menggunakan media video, gambar, games, serta fasilitator yang berpengalaman dalam melatih kelompok remaja. Dalam setiap sesinya dirancang dengan menggunakan film pendek untuk menjelaskan materi yang akan disampaikan

Proses yang kedua retention, adalah mengorganisir secara kognitif dengan rehearsing, coding, dan transforming informasi yang dimodel untuk disimpan di dalam memori. Informasi bisa disimpan dalam bentuk image (gambaran), verbal form (bentuk kalimat), atau keduanya. Imaginal coding secara spesifik penting untuk aktifitas yang tidak mudah dijelaskan dalam kata – kata. Di akhir setiap sesi peserta diminta untuk menulis pada lembar diary. Tujuanya adalah fasilitator sebaya menuangkan dalam bentuk tulisan pemahaman yang didapatnya dari setiap sesi yang diberikan, sehingga fasilitator sebaya mampu mengcoding kembali informasi yang baru diterimanya dalam bentuk kalimat.

Proses yang ketiga adalah production. Pada proses ini, fasilitator sebaya akan menerjemahkan konsep simbolik yang telah ia koding ke dalam perilaku nyata. Pada pelatihan Program Remaja “STOP” Bullying, fasilitator sebaya diberi penugasan untuk melakukan simulasi presentasi materi bullying. Simulasi yang dilakukan merupakan bentuk perilaku nyata dari konsep simbolik yang dipahami fasilitator sebaya setelah mengobservasi model. Fasilitator sebaya diminta untuk melakukan simulasi presentasi materi bullying yang telah diperoleh pada sesi sebelumnya. Teknik presentasi yang digunakan fasilitator sebaya diharapkan sesuai dengan konsep komunikasi verbal dan non verbal yang telah diajarkan.

Proses yang fasilitator sebaya bersama dengan siswa yaitu motivation. Pada fase ini fasilitator sebaya termotivasi untuk meniru model (trainer), sebab dengan

(13)

berbuat seperti trainer pengamat memperoleh penguatan. Memberikan penguatan untuk suatu tingkah laku tertentu akan memotivasi pengamat untuk melakukan perbuatan yang diinginkan. Dalam pelatihan, pengamat (dalam hal ini adalah fasilitator sebaya) akan mendapatkan umpan balik dari trainer terhadap simulasi presentasi yang telah dilakukannya. Selain itu, trainer memberikan pujian dan apresiasi dari simulasi presentasi yang telah dilakukan oleh fasilitator sebaya. Hal ini memotivasi fasilitator sebaya bahwa ia mampu melakukan apa yang “dimodelkan” tersebut. Trainer juga menyampaikan manfaat yang didapatkan bagi seorang fasilitator antibullying. Dengan menyampaikan manfaat tersebut pengamat termotivasi melakukan tugasnya dengan baik.

Berdasarkan uraian di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan validasi modul Remaja “STOP” Bullying yang disusun untuk memberikan pengetahuan mengenai teori bullying dan ketrampilan presentasi materi antibullying pada fasilitator sebaya. Program Remaja “STOP” Bullying digunakan fasilitator sebaya untuk menyampaikan materi mengenai bullying pada teman sebaya, dengan harapan dapat menurunkan intensi perilaku bullying pada siswa. Pada Gambar 2. dapat dilihat alur pada penelitian ini:

(14)

Studi Pendahuluan Studi Literatur

Penyusunan Modul Remaja “STOP”

Bullying Validasi Isi Modul

Remaja “STOP”Bullying Perbaikan Modul Remaja

“STOP” Bullying

Tahapan dalam Validasi Isi Modul

Remaja “STOP” Bullying

Pelatihan Remaja “STOP” (Sadar, Tolong, dan Perangi) Bullying oleh trainer kepada fasilitator sebaya dengan empat sesi, yaitu:

1) I know you so well  sesi perkenalan

2) Radar Bullying  materi bullying (pengertian, dinamika, dampak bullying, bentuk dan cara mencegah bullying)

3) Remaja Tolong Bullying  materi ketrampilan presentas berdasar komunikasi verbdal nan nonverbal

4) Remaja Perangi bullying  simulasi presentasi oleh fasilitator sebaya Pengetahuan bullying dan

ketrampilan presentasi fasilitator sebaya

Pengetahuan bullying dan ketrampilan presentasi

fasilitator sebaya meningkat

Presentasi materi bullying oleh fasilitator sebaya kepada subjek dengan

materi bullying

Intensi perilaku bullying subjek

menurun Intensi perilaku

bullying subjek pada kategori sedang Tahapan trainer fasilitator sebaya Tahapan fasilitator sebaya  siswa Tahapan dalam Validasi Eksternal Modul Remaja “STOP” Bullying

(15)

Manfaat penelitian ini adalah untuk menghasilkan suatu instrumen dalam mencegah dan mengurangi perilaku bullying di sekolah dengan memanfaatkan teman sebaya sebagai agen sekolah. Selain itu, penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan teori mengenai fasilitator sebaya sebagai agen sekolah, khususnya dalam pencegahan dan mengurangi tindakan bullying di sekolah. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah program Remaja “STOP” (Sadar, Tolong, dan Perangi) Bullying valid untuk meningkatkan pengetahuan antibullying dan ketrampilan presentasi pada fasilitator sebaya, serta valid untuk mengurangi intensi perilaku bullying pada siswa SMP.

Referensi

Dokumen terkait

Kelemahan sistem yang baru adalah untuk melihat jumlah larutan yang tersedia ketika input penggunaan larutan harus membuka menu penyediaan larutan sehingga belum

Penentuan Resolusi Spasial Fungsi Sebar Sisi Resolusi spasial dari suatu sistem pencitraan dapat diturunkan dengan menentukan lebar setengah puncak ( fwhm ) melalui

Analisis regresi merupakan suatu analisis untuk mengetahui arah hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen apakah masing-masing variabel independen

Sistem ini diharapkan dapat membantu perpustakaan kota dalam memantau distribusi koleksi baik yang dihibahkan maupun yang dipinjamkan ke perpustakaan binaan secara

Dalam pelaksanaan instruksional yoga, pertama ada instruksi teknik pernafasan yang mengutamakan pengaturan nafas perlahan di setiap gerakan yoga, kedua instruksi

Sedangkan pada siklus II pertemuan pertama 85% dan pertemuan kedua 95% dengan kategori baik sekali.Berdasarkan keterangan di atas hasil penelitian menunjukkan seluruh

Gelombang yang dihitung pada pembahasan sebelumnya merupakan tinggi gelombang pada laut dalam yang datanya merupakan hasil analisis dari kecepatan dan arah angin

Menurut UU No 23 Tahun 2011 Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat