• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Monopterus albus Zuieuw) dan belut rawa (Synbranchus bengalensis). Belut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Monopterus albus Zuieuw) dan belut rawa (Synbranchus bengalensis). Belut"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Morfologi dan Media Pemeliharaan 2.1.1. Morfologi Belut Sawah

Ada dua jenis belut yang umum dikenal di Indonesia, yaitu belut sawah (Monopterus albus Zuieuw) dan belut rawa (Synbranchus bengalensis). Belut merupakan binatang melata yang termasuk bangsa ikan dan bukan sejenis ular (Sundoro, 2003). Belut merupakan hewan air yang tidak bersirip, bentuk badannya bulat memanjang dan berlendir banyak sehingga sulit di tangkap. Belut sawah memiliki mata kecil dan sipit, bermulut kecil seperti lipatan kulit, serta bergigi halus dan runcing. Belut berjalan dengan mengesotkan badan serasa berlenggok-lenggok dengan cepat.

Menurut Saanin (1968, 1984), klasifikasi belut sawah adalah sebagai berikut: Phylum : Chordata Classis : Pisces Subclassis : Teleostei Ordo : Synbranchoidea Familia : Synbranchidae Genus : Monopterus

(2)

Belut sawah (Monopterus albus Zuieuw) tergolong dalam famili Synbranchidae yaitu ikan-ikan yang tidak mempunyai sirip atau rongga untuk bergerak. Tubuhnya panjang mirip ular, tetapi belut tidak memiliki sisik, kulitnya licin mengeluarkan lendir. Belut mampu hidup di lumpur dan di air keruh. Kemampuan ini didapat karena belut memiliki alat pernapasan tambahan berupa kulit tipis berlendir yang terdapat di rongga mulutnya. Alat ini berfungsi menghirup oksigen langsung dari udara. Sementara itu, insangnya mengisap oksigen dari dalam air. Kebiasaan menghirup langsung dari udara tampak ketika belut menyembul dari liang tempat tinggalnya (Sundoro, 2003).

Belut sawah (Monopterus albus Zuieuw) dapat di temukan di daerah tropis seperti India, China bagian utara, Malaysia, dan Indonesia. Belut dapat hidup di kolam yang berlumpur, rawa-rawa, kanal, dan persawahan.

2.1.2. Media Pemeliharaan Belut Sawah

Menurut Sundoro (2003), pemilihan lokasi sebaiknya diawali dengan melakukan survai lokasi. Setelah lokasi dirasa cocok, barulah di bangun kolam pembudidayaan. Lokasi yang cocok untuk budidaya belut adalah lokasi yang dekat dengan sumber air. Kolam pembesaran harus di beri media pemeliharaan. Media ini merupakan tempat hidup belut, yang tersusun dari campuran tanah sawah ataupun lumpur kolam yang sudah dikeringkan, pupuk kandang, pupuk kompas (sekam/gabah padi/daun-daun yang sudah dibusukan), jerami padi, cincangan batang pisang, serta pupuk urea, dan NPK (Warisno, 2010).

Walaupun demikian, belut juga bisa hidup di air bening tanpa adanya lumpur. Hal ini memungkinkan belut untuk hidup di air bening, tetapi

(3)

lingkungannya harus dikondisikan dalam suasana yang nyaman dan merasa terlindungi serta selalu terpenuhi kebutuhan nutrisinya. Selain itu, bisa dilakukan dengan menjaga suhu dan derajat keasaman air selalu sesuai dengan yang dibutuhkan belut. Untuk mengurangi intensitas cahaya terutama di siang hari dapat menggunakan pelepah pisang, dan eceng gondok agar menciptakan rasa nyaman bagi belut. Hal inilah yang mendasari pemikiran untuk membudidayakan belut di air bening atau tanpa ada unsur lumpur di dalam medianya (Junariyata, 2012).

Menurut Sarwono (2011), sebelum pembesaran belut terlebih dahulu di aklimatisasi selama kurang lebih 2 minggu, yakni dengan cara menempatkan bibit belut di media air berlumpur. Selanjutnya, sedikit demi sedikit media diubah komposisinya sehingga semakin lama semakin bening dan pada akhirnya media menjadi air bening secara keseluruhan. Setelah kurang lebih 2 minggu di media karantina dan bibit belut sudah terbiasa hidup di air bening tanpa lumpur, hal yang perlu dilakukan adalah menyiapkan media pemeliharaan berupa air bersih. Hal ini karena kualitas air sangat menentukan kehidupan belut hingga masa pemanenan. Untuk mengetahui kualitas air dalam kondisi baik, dapat dilihat dari warnanya yang jernih (bening) dan tidak berbau. Air bersih tersebut bisa didapatkan dari air sumur atau sumber air lainnya.

Menurut Junariyata (2012) wadah yang akan disiapkan sebagai tempat pembesaran sebaiknya tidak langsung di isi penuh dengan air, tetapi cukup di isi kira-kira setinggi satu telapak tangan terlebih dahulu, kemudian baru ditambah

(4)

lagi setelah bibit belut dimasukkan (kurang lebih 5 cm dari tinggi tumpukan belut).

2.2. Morfologi Keong Mas

Keong mas (Pomacea canaliculata) adalah siput sawah dengan warna cangkang keemasan yang dianggap sebagai salah satu hama dalam produksi padi. Keong mas disebut hama karena dapat merusak langsung terhadap batang padi. Keong mas dapat merusak padi muda, sedangkan padi tua tidak dirusak. Keong mas merusak tanaman padi pada waktu mulai berkecambah sampai umur 30-35 hari, dengan tingkat kerusakan dapat mencapai 100% (Susanto, 1995). Keong mas memiliki karakteristik khusus yang dapat digunakan untuk membedakan dengan keong-keong jenis lain yang hidup pada habitat yang sama. Keong mas dewasa memiliki cangkang berwarna coklat dan daging berwarna putih krem hingga kemerah-merahan. Ukuran tubuhnya bervariasi dan tergantung pada ketersediaan makanan. Makanan keong mas umumnya berupa tanaman yang masih muda dan lunak, misalnya bibit padi, sayuran, dan eceng gondok (Departemen Pertanian, 2001).

Klasifikasi keong mas menurut Cowre (2006) adalah sebagai berikut: Phylum : Mollusca

Classis : Gastropoda Ordo : Mesogastropoda Familia : Ampullaridae Genus : Pomacea

(5)

Keong mas di Indonesia dapat ditemukan di pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Lombok, dan Irian Jaya. Keong mas senang hidup terutama di daerah persawahan, kolam, maupun perairan umum seperti rawa, sungai, dan saluran air (Departemen Pertanian, 2001).

2.3. Morfologi Cacing Tanah

Cacing tanah (Pheretima sp.) merupakan hewan tingkat rendah karena tidak memiliki tulang belakang atau avertebrata (Simanjuntak dan Waluyo, 1982). Hewan ini digolongkan kedalam filum Annelida karena seluruh tubuhnya tersusun atas beberapa segmen (ruas) yang berbentuk seperti cincin. Pada setiap segmen tubuhnya terdapat rambut yang keras dan berukuran pendek yang disebut chaeta (seta). Jumlah segmen dan seta ini menjadi tanda pada masing-masing jenis cacing (Khairuman dan Amri, 2009).

Cacing tanah banyak ditemukan di Indonesia dan seing dikenal dengan sebutan cacing kalung, cacing merah, dan cacing koot yang termasuk dalam genus Pheretima. Cacing tanah merupakan hewan asli dari Asia Tenggara yang mengembara ke daerah tropik, subtropik, bahkan sampai ke daerah beriklim sedang (Simanjuntak dan Waluyo, 1982).

Klasifikasi cacing tanah (Pheretima sp.) menurut Catalan (1981): Phylum : Annelida

Classis : Chaetopoda Ordo : Oligochaeta Familia : Megascolecidae Genus : Pheretima

(6)

Species : Pheretima sp.

Menurut Khairuman dan Amri (2009), cacing tanah (Pheretima sp.) mempunyai kadar protein yang sangat tinggi yaitu mencapai 50-78% dari bobot kering, dihitung dari jumlah nitrogen di dalamnya. Persentase ini lebih tinggi daripada protein yang terdapat dalam daging ternak seperti sapi, kerbau, dan kambing yang hanya sebesar 60%, ataupun telur, ikan, dan kacang kedelai yang hanya sebeser 45%.

Cacing tanah sangat sensitif terhadap panas dan akan mati jika dimasukkan ke dalam air hangat atau panas. Cacing tanah tidak memiliki hidung, sehingga oksigen yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di ambil melalui kulit. Anus terdapat pada ujung posterior (Simanjuntak dan Waluyo, 1982).

Menurut Budiarti dan Palungkung (1992), untuk membedakan cacing tanah jenis Pheretima dengan jenis cacing tanah lainnya dapat dilakukan dengan dua cara identifikasi. Secara mikroskopis yaitu dengan memperhatikan letak klitelum (penebalan pada kulit dan warna yang berbeda dari tubuhnya, biasanya lebih pucat), letak seta, banyaknya seta, dan segmen, serta dapat dilihat dari bentuk tubuhnya. Cacing tanah jenis Pheretima, segmennya bisa mencapai 95 sampai 150 segmen. Klitelumnya terletak pada segmen 14 sampai 16. Tubuhnya berbentuk gilik panjang dan silindris berwarna merah keunguan. Beberapa cacing tanah yang termasuk jenis ini antara lain cacing kalung, cacing merah, dan cacing koot.

(7)

2.4. Kebutuhan Nutrisi Ikan

Kebutuhan nutrisi ikan di pengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis, ukuran, dan aktifitas ikan, serta faktor lingkungan seperti suhu dan kadar oksigen terlarut (Djadjasewaka, 1990). Umumnya terdapat 6 macam nutrien utama untuk pakan ikan yaitu protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, dan air. Mineral dan air digunakan sebagai bahan-bahan struktural. Karbohidrat, lemak, dan protein digunakan sebagai sumber energi, sedangkan mineral dan vitamin yang larut dalam air berfungsi sebagai ko-enzim pada sistem biokimia (Suhartono, 1985).

Vitamin adalah senyawa organik yang sangat penting peranannya dalam kehidupan ikan. Walaupun tidak merupakan sumber tenaga, tetapi vitamin dibutuhkan sebagai katalisator (pemacu) terjadinya proses metabolisme di dalam tubuh. Jumlah yang dibutuhkan hanya sedikit, tapi bila kekurangan dapat mengakibatkan gangguan dan penyakit. Secara umum kita dapat membedakan vitamin-vitamin dalam dua golongan, yaitu vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E, dan K) dan vitamin yang larut dalam air (vitamin kompleks B dan vitamin C). Fungsi vitamin bagi ikan untuk pertumbuhan normal pemeliharaan kesehatan, dan reproduksi (Mujiman, 1999).

Mineral adalah bahan anorganik yang dibutuhkan oleh ikan untuk pembentukan jaringan tubuh, proses metabolisme, dan mempertahankan keseimbangan osmosis dan ketegangan sel. Makanan alami biasanya telah cukup mengandung mineral, sehingga tidak mengakibatkan gangguan dan penyakit. Adapun mineral yang dibutuhkan dalam mempertahankan proses metabolisme

(8)

adalah Natrium (Na), Kapur (Ca), dan Klor (Kl), sedangkan untuk proses asmoregulasi diperlukan juga mineral seperti Boron (Bo), Alumunium (Al), Seng (Zn), dan Arsen (As).

Protein (zat putih telur) sangat diperlukan oleh tubuh ikan, baik untuk menghasilkan tenaga maupun untuk pertumbuhan. Bagi ikan, protein merupakan sumber tenaga yang paling utama. Pada umumnya ikan membutuhkan protein lebih banyak dari pada hewan-hewan ternak di darat (unggas dan hewan menyusui). Selain itu, jenis dan umur ikan juga berpengaruh terhadap jumlah kebutuhan protein. Seperti halnya belut atau bisa dikatakan ikan pemakan daging (karnivora) membutuhkan protein yang lebih banyak daripada ikan pemakan tumbuh-tumbuhan (herbivora). Ikan membutuhkan makanan yang kadar proteinnya berkisar antara 20-60%, sedangkan kadar yang optimum berkisar antara 30-36%. Apabila protein dalam makanan kurang dari 6% (berat basah), maka ikannya tidak dapat tumbuh. Dengan sendirinya jumlah kebutuhan tersebut dipengaruhi oleh mutu proteinnya, sedangkan mutu protein tersebut dipengaruhi oleh kandungan asam aminonya (Mudjiman, 1999).

Air merupakan media kehidupan ikan, kandungan air dalam pakan ikan berkisar antara 70%-90% berat basah, tanpa menghiraukan kandungan bahan-bahan kerasnya (misalnya cangkang, tulang, duri, dan lain-lain) (Mudjiman, 1999).

2.5. Tepung Ikan

Tepung ikan merupakan salah satu bahan pembuatan pakan ikan terutama dalam bentuk pelet. Untuk menunjang pertumbuhan ikan, maka dalam pakan ikan

(9)

harus tersedia kandungan zat-zat gizi terutama protein dan sumber energi lainnya (Watanabe et al., 2001).

Tepung ikan biasa digunakan sebagai sumber protein hewani pada pelet. Protein merupakan sumber energi utama bagi ikan. Selain digunakan sebagai komponen pakan ikan, tepung ikan juga digunakan sebagai komponen pakan bagi ternak. Tepung ikan juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan biskuit (Priyono, 2009).

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk membuat tepung ikan dari ikan segar. Cara yang paling sederhana yaitu dilakukan penjemuran dibawah sinar matahari. Metode ini di beberapa wilayah masih digunakan dengan kualitas produknya yang lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan teknik modern. Sebagian besar proses pembuatan tepung ikan melalui tahap pemanasan, pengepresan, pengeringan, dan penggilingan menggunakan mesin yang telah dirancang sebelumnya. Meskipun prosesnya sederhana, akan tetapi pada prinsipnya membutuhkan keterampilan dan pengalaman khusus untuk menghasilkan produk tepung ikan dengan mutu tinggi (Priyono, 2009).

2.6. Pakan Ikan

Pakan merupakan komponen biaya terbesar dalam budidaya ikan. Komponen biaya pakan mencapai 60-80% dari biaya produksi. Jika dalam pemakaian pakan selalu mengandalkan pakan buatan pabrik, dapat mengurangi keuntungan pembudidayaan ikan bahkan merupakan kerugian karena harga pakan buatan pabrik selalu mengalami kenaikan. Oleh karena itu, diperlukan upaya

(10)

membuat pakan ikan sendiri. Dengan memanfaatkan bahan baku dari alam yaitu keong mas dan cacing tanah akan dapat mengurangi biaya pakan.

Berdasarkan macam makanan ikan dapat dibedakan menjadi 5 macam golongan, yaitu: (1) pemakan tumbuh-tumbuhan (herbivora atau vegetaris), (2) pemakan daging (karnivora), (3) pemakan segala atau campuran (omnivora), (4) pemakan plankton, dan (5) pemakan detrikus (hancuran bahan organik) (Mudjiman, 1999). Selain itu jenis pakan alami ikan yang berasal dari golongan hewan adalah berupa organisme invertebrata dan vertebrata. Organisme yang tergolong invertebrata anatara lain adalah copepoda, cladocera, larva insekta air, sedangkan yang tergolong vertebrata adalah anak ikan, kecebong, dan hewan dari daratan (Halver, 1972). Menurut Wirosaputro (1997) dari percobaannya tentang budidaya belut dalam bak mendapatkan bahwa jenis pakan alami yang tersedia adalah Basillariophyceae, Chlorophyceae, Chrysophyceae, Xanthophyceae, dan Cilliata.

Di alam, belut merupakan pemakan detritus yang berasal dari pembusukan bahan-bahan organik, kotoran hewan, dan cacing. Belut termasuk hewan yang aktif mencari makan pada malam hari. Belut sawah membuat lubang untuk berlindung dan bersembunyi serta mencari makan. Belut pada dasarnya bersifat karnivora. Pada saat masih kecil, belut memangsa jenis renik (zooplankton dan zoobentos), larva-larva serangga, cacing-cacingan, siput, berudu katak, dan benih-benih ikan yang masih lemah (Muljana, 2001).

Peningkatan produksi perikanan dapat dilakukan dengan pemberian pakan tambahan, sedangkan tingginya produksi yang dicapai tergantung pada

(11)

beberapa faktor, antara lain kualitas dan kuantitas pakan. Produksi ikan dapat meningkat tiga kali lipat jika diberikan pakan buatan. Pakan minimal harus mengandung protein, karbohidrat, dan lemak, tetapi ikan cenderung membutuhkan protein sebagai sumber energi utama untuk metabolismenya (Asmawi, 1983). Untuk mengatasi permasalahan tingginya biaya produksi dalam budidaya ikan terutama pakan dilakukan dengan menggunakan bahan baku pakan yang murah dan mudah didapatkan, salah satunya adalah keong mas dan cacing tanah yang masih banyak terdapat di alam.

2.7. Pertumbuhan

Pertumbuhan merupakan parameter penting dalam budidaya ikan terutama ikan yang bernilai ekonomis tinggi, karena pertumbuhan akan menentukan besarnya produksi. Pertumbuhan ikan adalah perubahan ukuran baik berat, panjang maupun volume tubuh dalam interval waktu tertentu dan setiap spesies mempunyai ciri-ciri yang berlainan. Bentuk tubuh ikan dari satu spesies dengan spesies lain pada umumnya berbeda dan pertumbuhannya lebih variabel dan fleksibel dibanding dengan hewan lain. Menurut Effendi (1979), pertumbuhan didefinisikan sebagai suatu ukuran, dapat berupa panjang atau berat dalam kurun waktu tertentu.

Pertumbuhan terjadi bila energi makanan yang di makan ikan lebih banyak dari pada yang diperlukan untuk pemeliharaan tubuh dan untuk mengganti sel-sel yang rusak (Djadjasewaka, 1990). Menurut Effendi (1979) terdapat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan diantaranya jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, faktor kualitas air, umur, dan ukuran ikan serta kematangan gonad.

(12)

Pertumbuhan mempunyai bentuk yang berbeda dari suatu spesies ke spesies lain. Brown (1980) mengatakan bahwa pertumbuhan bobot ikan hanya terjadi bila makanan yang dikonsumsi lebih banyak dari kebutuhan dasar untuk metabolisme basal dan penyediaan energi untuk menunjang aktivitasnya, misalnya untuk keseimbangan metabolisme yang rutin. Pakan yang dikonsumsi digunakan untuk pemeliharaan tubuh dan menggantikan alat-alat tubuh yang rusak. Setelah itu kelebihan pakan yang masih tersisa digunakan untuk pertumbuhan (Asmawi, 1983). Seperti halnya organisme lain, ikan maupun belut memerlukan zat makanan seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhannya. Protein merupakan zat utama yang mempengaruhi pertumbuhan (Khairuman, 2002).

2.8. Efisiensi Pakan

Efisiensi pakan merupakan pengukuran yang digunakan untuk mengetahui besarnya kenaikan berat basah tubuh ikan dengan pakan yang dikonsumsi sebanyak satu gram. Nilai efisiensi pakan digunakan sebagai indikator untuk menentukan efektivitas pakan yang dikonsumsi oleh ikan (Zonneveld et al., 1991).

Efisiensi pakan menggambarkan pertambahan berat basah per jumlah pakan yang dikonsumsi (Watanabe et al., 2001). Jika efisiensi pakan rendah maka laju pertumbuhan ikan akan rendah pula. Efisiensi pakan untuk pertumbuhan dipengaruhi oleh daya cerna pakan, jenis, dan jumlah pakan yang dikonsumsi serta laju pencernaan dan penyerapan zat makanan dan frekuensi pemberian pakan (Mudiyanto et al., 1996). Kemampuan pemanfaatan pakan oleh ikan disebabkan

(13)

intensifikasi pemanfaatan energi oleh ikan. Kemampuan peningkatan efisiensi pakan pada ikan berarti bahwa pakan yang diberikan digunakan dengan baik dalam tubuh ikan. Semakin besar nilai efisiensi pakan maka semakin bagus kualitas pakan tersebut.

2.9. Sintasan

Sintasan merupakan indikator untuk menghitung tingkat kehidupan hewan peliharaan dari sekian populasi dalam waktu tertentu. Faktor yang mempengaruhi sintasan ikan adalah kondisi lingkungan yang baru, stress, dan adanya bibit penyakit yang timbul, sedangkan faktor dari dalam tubuh ikan adalah kemampuan ikan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan umur ikan (Zonneveld et al., 1991).

Salah satu kendala dalam budidaya ikan adalah tingginya tingkat mortalitas. Faktor dari dalam tubuh ikan dapat mempengaruhi mortalitas yaitu kemampuan ikan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan umur ikan (Zonneveld et al., 1991).

2.10. Kualitas Air

Kualitas perairan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pertumbuhan makhluk hidup di air. Untuk dapat menjadi lingkungan yang baik bagi hewan dan tumbuhan air harus memenuhi persyaratan tertentu antara lain; mengandung oksigen terlarut yang layak untuk kehidupan organisme, suhu yang optimum, dan bebas dari bahan buangan yang dapat menurunkan kualitas perairan. Air untuk kehidupan ikan dipengaruhi beberapa aspek fisik, kimia dan biologi (Asmawi, 1983).

(14)

Kualitas air untuk pemeliharaan belut harus bersih, tidak terlalu keruh dan tidak tercemar bahan-bahan kimia beracun, dan minyak/limbah pabrik. Kondisi tanah dasar kolam tidak beracun. Pada prinsipnya kondisi perairan adalah air yang harus bersih dan kaya akan oksigen terutama untuk benih yang masih kecil yaitu ukuran 1-2 cm, sedangkan untuk perkembangan belut dewasa tidak memilih kualitas air dan dapat hidup di air yang bersih (Wardoyo, 1978).

Pada dasarnya belut mengeluarkan ledir untuk menjaga agar tubuhnya tetap licin sehingga dapat membantu gerak belut dan menjadi sarana melepaskan diri dari musuh-musuhnya. Namun, dalam pemeliharaannya lendir belut yang terus-menerus dikeluarkan dalam jumlah banyak akan mempengaruhi kualitas air, terutama akan meningkatkan derajat keasaman atau pH air. Untuk itu, kualitas air menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Walaupun tidak ada persyaratan khusus, tetapi idealnya air yang digunakan sebagai media pembesaran belut tanpa lumpur harus jernih, memiliki suhu antara 25-28 0C, tidak mengandung bahan kimia berbahaya, serta kandungan pH-nya tidak lebih dari 7. Bila pH air melebihi 7, belut bisa mengalami keracunan, bahkan bisa menyebabkan kematian (Junariyata, 2012).

Sebagai parameter untuk pemeliharaan atau budidaya ikan air tawar adalah karakteristik sifat fisika dan kimia air. Karakteristik fisika dan kimia air ini sangat mendasar dan sangat berpengaruh pada ikan. Adapun karakteristik tersebut meliputi derajat keasaman (pH), kekerasan (dH), salinitas, karbondioksida (CO2) terlarut, oksigen terlarut (O2), kandungan nitrogen, gas lain, material biologi, dan partikel organik atau material tersuspensi (Wardoyo, 1981).

Referensi

Dokumen terkait

Secara kuantitatif, peningkatan berbicara dengan metode bercakap-cakap melalui media boneka jari pada siklus pertama ini adalah 7 orang anak telah memenuhi kriteria

Dengan adanya etika maka seseorang dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, pada PT PLN (Persero) UIP RING SUM I, masih banyak Sekretaris menggunakan kata- kata

[r]

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara perilaku asertif dan tingkat stres kerja pada karyawan.. Subjek penelitian adalah karyawan

Suhu telah konstan kemudian ikan manyung yang telah siap untuk diasapi dimasukkan ke dalam smoking cabinet untuk dilakukan proses pengasapan.. Pada setiap

a. Keruntuhan tarik yang diawali dengan luluhnya tulangan tarik dimana Pn < Pnb. Keruntuhan tekan yang diawali dengan kehancuran beton dimana Pn > Pnb. Kondisi balance

Pada sesi ke 15 subjek mengalami peningkatan frekuensi membalas senyum, dengan frekuensi kemunculan senyum sosial yang diperoleh sebanyak 15, dan pada sesi ini subjek

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode convenience sampling , yaitu pengambilan sampel secara nyaman