• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Narapidana tentunya berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Narapidana tentunya berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lembaga Pemasyarakatan merupakan institusi yang menempatkan mereka yang bersalah untuk ditahan dalam jangka waktu tertentu sebelum menjalani proses persidangan dan dijatuhkan vonis bersalah oleh hakim. Kehidupan seorang Narapidana tentunya berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya. Ketika seseorang berada di LAPAS, hak - haknya dibatasi oleh peraturan dan norma yang berlaku di lapas tersebut. Ini karena kebebasan yang dimilikinya hilang saat hakim sudah menjatuhkan vonis dan menghilangkan kemerdekaan orang tersebut dimana hal tersebut sesuai dengan Dirjen Pemasyarakatan, Undang -Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Dalam konteks LAPAS, Sipir (Petugas LAPAS) merupakan orang yang memiliki kekuasaan penuh dalam menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan para Narapidananya. Pemenuhan kebutuhan setiap para Narapidana sudah diatur melalui aturan - aturan yang ketat. Pada dasarnya semua orang yang berstatus Narapidana memiliki hak yang sama dikarenakan mereka adalah sama -sama yang didakwa atau dijadikan tersangka karena melakukan pelanggaran hukum. Dengan kata lain, hukum pada dasarnya menjunjung tinggi asas berkeadilan serta tidak membeda - bedakan kedudukan atau kelas sosial seseorang, seperti yang tercantum dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945.

Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan merupakan ruang lingkup dari Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM

(2)

Sumatera Utara yang berdiri di atas tanah berstatus hak pinjam pakai dari Pemerintah Daerah Sumatera Utara dengan luas area. Di tanah tersebut, didirikan beberapa bangunan, mulai dari gedung perkantoran Petugas RUTAN, blok tahanan, blok karantina, blok isolasi narapidana, mushola, dapur, ruang serba guna Berta berbagai fasilitas lainnya seperti lapangan olahraga, poliklinik LAPAS, ruang kebaktian, kantin, salon, perpustakaan dan ruang keterampilan untuk Narapidana.

Berdasarkan data DIRJEN PAS KEMENKUMHAM Sumatera Utara per Januari 2015 (Lihat Tabel).

Tabel 1. Komposisi Narapidana Wanita Lapas Klas II Wanita Tanjung Gusta Medan berdasarkan Tindak Pidana (Per Januari 2015)

Jenis Kejahatan jumlah Narapidana (Frekuensi Persentase (%) Narkotika 297 83,20 Pembunuhan 14 4,00 Penggelapan 10 2,80 Penipuan 6 1,70 Korupsi 5 1,40 Pencurian. 5 1,40 Perlindungan anak 5 1,40 Perampokan 4 1,10 Trafficking 4 1,10 Perjudian 2 0,60 Penadahan 2 0,60

(3)

Mata Uang 1 0,20

Merusak barang 1 0,20

Penganiayaan 1 0,20

Total 357 100

Sumber Data : Dokumentasi KASUBSI Registrasi LAPAS Klas IIA Tanjung Gusta Medan, Tanggal 20 Januari 2015.

Catatan : Pidana > 3 Tahun : Jenis Kejahatan Mata Uang, Pembunuhan, Penganiayaan, Perampokan, Penggelapan, Penipuan, Merusak Barang, Narkotika, Korupsi, Perlindungan Anak, Trafficking

Pidana < 3 Tahun : Jenis Kejahatan Perjudian, Pencurian, Penggelapan, Penipuan, Penadahan, Narkotika, Korupsi

Tabel 2. Komposisi Petugas LAPAS Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan Jenis Pekerjaan Jumlah Petugas Lapas

(F) Persentase (%) Pengaman 32 43,20 Staf 42 56,80 Total 74 100

Sumber Data : Dokumentasi KASUBAG TU LAPAS Klas IIA Tanjung Gusta Medan, Tanggal 20 Januari 2015.

Dari tabel 2 terilhat bahwa Sumber daya manusia dalam hal ini Petugas LAPAS kurang maksimal sehingga tidak sebanding dengan apa tugas – tugas

(4)

yang mereka emban baik itu dalam hal memantau segala aktivitas yang dikerjakan oleh ditambah dengan jumlah Narapidana yang sangat besar. Narapidana, Sebagaimana terjadi di berbagai LAPAS di Indonesia, Lembaga pemasyarakatan Tanjung Gusta pun mengalami kelebihan kapasitas penghuni. Dari jumlah total penghuni lapas ini merupakan narapidana yang melakukan tindak pidana narkotika dan psikotropika dan sebagian besar warga binaan pengguna narkoba itu rata-rata berasal dari kalangan orang mampu yang seringkali merninta fasilitas tambahan kepada petugas rutan, misalnya berupa sel tahanan khusus, sementara sel biasa umumnya dihuni dua puluh hingga tiga puluh warga binaan. Keadaan seperti inilah yang terkadang membuat sel hunian di lapas seolah-olah penuh (kelebihan kapasitas) yang hanya dialami oleh warga binaan dari kelompok yang tidak mampu. Jadi, sisi lain dari kelebihan kapasitas adalah adanya ketidakadilan yang dilakukan petugas di lapas terhadap narapidananya. Ketidakadilan inilah yang menyebabkan perbedaan jumlah hunian yang tidak merata antara satu sel dengan sel lainnya (kelebihan kapasitas di sel hunian tertentu). Adapun pembagian sel dalam LAPAS Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan berjumlah 4 sel yaitu :

Tabel 3 Pembagian sel dalam LAPAS Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan

Nama Blok Jumlah Kamar Kapasitas

Kelebihan Kapasitas

Blok A 4 Kamar 4 Orang 20 Orang

Blok B 12 Kamar 30 Orang 207 Orang

(5)

Blok D 6 Kamar 4 Orang 20 Orang

Jumlah 29 Kamar 62 Orang 357 Orang

Sumber Data : Dokumentasi KASUBSI Registrasi LAPAS Klas IIA Tanjung Gusta Medan, Tanggal 20 Januari 2015

Dari tabel 3 terlihat bahwa kapasitas kamar di LAPAS tersebut tidak sesuai dengan kekentuan yang berlaku dimana dalam satu kamar yang seharusnya di tempatkan sebanyak 5 - 7 orang akan tetapi berubah bisa mencapai ratusan orang sehingga menimbulkan over kapasitas dan kekesakan yang berlebihan dari Narapidana yang berasal dari daerah yang berbeda dengan jenis kejahatan yang berbeda pula.

Selain itu, ketidakadilan di LAPAS juga terjadi dalam pemberian pelayanan atau pemanfaatan fasilitas. Mereka yang bisa menikmati pelayanan atau fasilitas adalah narapidana yang memiliki uang dan dekat dengan petugas. Mereka lebih diprioritaskan oleh Petugas untuk bisa menikmati pelayanan atau pembinaan yang ada di LAPAS dibandingkan penghuni lainnya. Temuan lapangan yang penulis dapatkan ini diperkuat dengan pernyataan DIRJEN Pemasyarakatan Kemenkum dan HAM Untung Sugiyono, yang mengatakan bahwa ia tidak membantah soal adanya “kongkalikong” antara petugas dan narapidana atau antara petugas dan pengunjung. Namun, Untung Sugiyono beralasan hal itu terjadi karena minimnya pengawasan akibat berlebihnya daya tampung lapas atau rutan: “Dari kelebihan kapasitas saja, untuk melakukan pengawasan itu setengah mati. Untuk melakukan pelayanan yang optimal, setengah mati” (dikutip dari www. bataviase.co.id pada 5 November 2014 pukul 20.30 WIB).

(6)

Dengan munculnya keadaan LAPAS yang mengalami kelebihan kapasitas maka terbentuklah suatu kesepakatan antara Petugas LAPAS dan Narapidana Dalam pengambilan keputusan di penjara tidak semata - mata diambil dari perilaku Narapidana tetapi bersama dengan keputusan resmi dan tak resmi Petugas. Kesepakatan — kesepakatan yang dibentuk secara bersama, dijaga dan dipelihara oleh para petugas lapas sesuai konteks pemenuhan kebutuhan dan kepentingan demi keberlanjutan dan keseimbangan kehidupan di dalam LAPAS. Kesepakatan tersebut melibatkan Narapidana dan Petugas LAPAS bekerja sama dalam unit – unit kerja maupun ruangan tertentu tetapi tidak semua Narapidana atau Petugas LAPAS ikut serta dan terlibat.

Berlakunya kesepakatan-kesepakatan ini membuat terhukum (narapidana) menjalankan kesetiaan untuk mendapatkan kepercayaan, perlindungan, demi terpenuhinya kebutuhan tertentu. Sebagai contoh, ada larangan menggunakan telepon genggam, praktiknya narapidana diam-diam menggunakan handphone. Hal ini mengambarkan bahwa mereka (narapidana) setia memberikan uang perlindungan kepada petugas tertentu demi kebebasan menelepon (handphone). Contoh lain, narapidana pembantu seharusnya membantu petugas mengawasi narapidana lain, tapi secara terselubung narapidana pembantu malah lebih setia pada sesama narapidana dibanding petugas dengan membiarkan saja perilaku melanggar dilakukan narapidana lain karena solidaritas bergaul sesama narapidana. Kesepakatan bersama marak terkait pemenuhan kebutuhan dasar seperti pemakaian handphone, interaksi dengan pihak keluarga, kebutuhan perut, membeli atau menjual rokok, roti, serta pemenuhan kebutuhan sekunder lain.

(7)

Kesepakatan bersama mempergunakan bahasa tersendiri (lokal) yang hanya dimengerti penghuni di balik tembok LAPAS. Bahasa pergaulan ini dipelajari terhukum atau narapidana (baru) untuk berinteraksi dan beradaptasi baik dalam kamar maupun blok selain untuk mempererat hubungan dengan petugas dan tamping. Bahasa lokal dalam LAPAS dipergunakan juga demi menjaga kerahasiaan aktivitas, dalam LAPAS dari amatan orang luar. Tiap narapidana mempunyai kebutuhan primer, sekunder dan tertier berbeda. Pemenuhan kebutuhan individu menjadi beragam, terwujud dalam kegiatan mengisi waktu luang, membuat kerajinan tangan, ikut pesantren, masuk anggota band, memakai handphone, memegang uang, mencari pemasukan, memenuhi kebutuhan seksual, sampai memasukkan barang terlarang dan seterusnya.

Kesepakatan bersama tampak dalam pemenuhan makan sebagai kebutuhan primer. Kesepakatan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan makan, dengan cara membeli makanan dari luar LAPAS bisa juga memesan melalui katering yang dibuat keluarga penghuni LAPAS, asalkan mampu membeli dan membayar saja. Untuk memperoleh masakan langsung dari dapur, kesepakatan dibuat dengan tamping dapur, tamping kebersihan, tamping keamanan, dimana makanan bisa didapat dan dipesan dari dapur berupa lauk pauk dan sayuran olahan. Pesanan ini sering diperjual-belikan tanpa ketahuan karena terkait kebutuhan-perut narapidana.

Makanan olahan dapur antara lain berupa sayur bening, tempe orek, tempe goreng, semur daging, oseng daging, nasi uduk atau nasi goreng. Makanan jenis ini tentu lebih menggugah selera dibanding nasi cadong. Bagi narapidana kurang mampu sering mensiasati makanan cadong dengan jenis makanan lain. Makanan

(8)

cadong dicampur lauk mie rebus atau goreng, dan campuran lauk ini menjadi makanan lumayan nikmat bagi mereka, meski terkadang harus berebut dahulu mendapatkan “tembakan” (alat memasak air) sebagai alat memasak untuk mie dan air dalam kamar. Berbeda dengan narapidana mampu (elit), narapidana tak mampu seringkali hanya bisa melihat sejumlah makanan nikmat yang tersedia di ruang para elit, tapi tak boleh mencicipi makanan tersebut, kecuali menunggu belas kasihan elit untuk berbagi dengan mereka.

Petugas dan narapidana tidak terlalu mementingkan identitas atau Tatar belakang berbeda, bahasa berbeda atau fisik berbeda tapi lebih menekankan pada kemampuan aktor memenuhi kebutuhan dan kepentingan. Arena-arena sosial dalam Lapas menggerakkan dan menjadikan lembaga penghukuman (Lapas) menjadi tempat mengadu (curhat), bekerjasama dan berkompetisi atas pemenuhan kebutuhan dan kepentingan baik petugas atau napi tertentu. Selain itu, menjadi tempat pertukaran informasi masa hukuman, kebutuhan pribadi maupun pemasukan pribadi. Kesepakatan-kesepakatan yang diciptakan, dibentuk dan dipertahankan aktor sesuai konteks tertentu menjadi acuan berperilaku dalam kehidupan sosial di LAPAS.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Mengapa terjadi perbedaan perlakuan terhadap Narapidana di LAPAS Tanjung Gusta Medan sehingga menimbulkan ketimpangan ?”

(9)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan perlakuan terhadap para Narapidana Wanita di LAPAS sehingga menimbulkan ketimpangan.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan termasuk menempuh Mata Kuliah Institusi Sosial dan Stratifikasi Sosial tentang perilaku Petugas LAPAS memperlakukan para narapidana wanita di Lapas Tanjung Gusta, Kelurahan. Tanjung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia, Medan sehingga menimbulkan ketimpangan kepada mahasiswa Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penulis agar dapat meningkatkan kemampuan akademisi terutama dalam hal pembuatan karya ilmiah tentang perilaku petugas lapas memperlakukan para Narapidana Wanita di LAPAS Tanjung Gusta, Kelurahan Tanjung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia, Medan sehingga menimbulkan ketimpangan dan diharapkan agar Pemerintah Pusat membenahi fasilitas yang dibutuhkan para Narapidana Wanita serta Petugas

(10)

LAPAS sebagai aparat penegak hukum mampu memperlakukan semua narapidana secara adil sehingga mewujudkan kehidupan aman dan nyaman.

1.5 Definisi Konsep

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa definisi konsep untuk mempermudah melakukan penelitian. Konsep adalah istilah yang terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan suatu gejala atau menyatakan suatu gagasan untuk memperjelas maksud dan pengertian konsep – konsep yang terdapat dalam laporan penelitian ini, maka dibuat batasan - batasan konsep yang dipakai sebagai berikut

1. Ketimpangan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ketimpangan Merupakan hal yang tidak sebagaimana mestinya (tidak ada, tidak beres) dilakukan oleh seseorang terhadap yang lainnya. Menurut Peter Blau, Ketimpangan merupakan diferensiasi berdasarkan stratifikasi sosial atau pelapisan sosial, seperti faktor ekonomi dan status atau jabatan. Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat ketimpangan dalam hal pemenuhan fasilitas, pemberian remisi, proses pembinaan, kebutuhan akan makanan serta pembagian tugas dalam LAPAS

2. Narapidana

Merupakan orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana. Menurut UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS. Adapun hak — hak yang diterima narapidana antara lain :

(11)

2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani. 3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.

4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.

5. Menyampaikan keluhan dan Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).

6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media masaa lainnya yang tidak dilarang

7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.

8. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya.

9. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga.

10. Mendapatkan pembebasan

3. Lembaga Pemasyarakatan.

Menurut UU No 12 tahun 1995 mengenai Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana.

4. Korve Blok merupakan jabatan tertinggi di dalam kamar atau yang bertanggung jawab di dalam kamar.

5. Tamping merupakan Narapidana yang dipekerjaan (pendamping atau perpanjangan tangan Petugas LAPAS

(12)

6. Sel tahanan merupakan suatu tempat bagi narapidana yang sering membuat keributan, melanggar aturan penjara serta membahayakan narapidana lainnya sehingga tidak dapat ditolerir oleh Petugas LAPAS.

7. Kekuasaan

Dalam konteks Sosiologi, kekuasaan adalah gejala kemasyarakatan yang umum sifatnya, dimana dan pada bentuk masyarakat bagaimanapun gejala ini selalu timbul namun yang lebih perlu digaris bawahi disini bahwa Sosiologi selalu memandang netral dari seperangkat gejala-gejala sosial yang menjadi obyek perhatiannya. Netral dalam arti tidak menilai suatu gejala itu baik atau buruk, yang pasti gejala itu ada hidup dalam masyarakat. Walaupun kekuasaan itu senantiasa ada dalam setiap masyarakat namun bukan berarti bahwa kekuasaan dapat dibagi rata para semua anggota masyarakat. Dengan ketidakmerataan ini justru kemudian timbul makna pokok dari kekuasaan yaitu sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar menurut pada kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan. Adanya kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang berkuasa dengan yang dikuasai atau dengan kata lain antara pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dan pihak lain yang menerima pengaruh ini dengan rela atau karena terpaksa.

Apabila kekuasaan itu diterjemahkan pada diri seseorang, maka biasanya orang itu dinamakan pemimpin dan mereka yang menerima pengaruhnya adalah pengikut-pengikutnya. Kekuasaan, dalam istilah umum disebut sebagai power, diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

(13)

mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut, kekuasaan itu juga mencakup baik suatu kemampuan untuk memerintah (agar yang diperintah itu patuh) dan juga untuk memberikan keputusan-keputuasan yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi tindakan-tindakan pihak lainnya. Max Weber mengatakan bahwa kekuasaan adalah kesempatan dari seseorang atau sekelompok orang-orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan dari orang-orang atau golongan - golongan tertentu.

8. Remisi

Remisi atau pengurangan hukuman selama narapidana menjadi hukuman pidana, juga berubah dari waktu kewaktu. Sistem kepenjaraan menempatkan remisi sebagai anugrah. Artinya remisi adalah anugrah dari pemerintah kepada narapidana. Dalam Gestichten Reglement, remisi hanya diberikan pada hari ulang tahun Ratu Belanda. Jadi remisi benar-benar anugrah belaka. Pada tahun 1950 berdasarkan keppres Nomor 156 Tahun 1950 remisi diberikan setiap ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Perubahan ini disambut dengan kelegahan hati rakyat Indonesia, sebab setiap ulang tahun. kemerdekaan Republik Indonesia banyak narapidana yang mendapat remisi. Sejak tahun 1950 remisi tidak lagi.

Dalam sistem pemasyarakatan remisi merupakan mata rantai dari suatu proses pemasyarakatan yang merupakan hak dari setiap narapidana. Dimana hak tersebut akan diterima apabila narapidana telah menjalankan kewajibannya yaitu menunjukan tingkah laku yang baik menurut penilaian TPP dan disamping itu

(14)

harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan — persyaratan yang dilandaskan kepada lamanya hukuman yang telah dijalankan. Pengertian remisi berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang — undangan Republik Indonesia Nomor: M.09.HN.02.01 Tahun 1999 pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana.

Yang dimaksud dengan narapidana yang berkelakuan baik ialah narapidana yang menaati perataturan yang berlaku dan tidak dikenakan disiplin yang dicatat dalam buku register F selama kurun waktu yang diperhitungkan untuk pemberian remisi. Buku register F adalah suatu buku yang khusus untuk mencatat perilaku dan tindakan dari narapidana apabila melakukan suatu dan tindakan yang menyimpang dari tats tertib dan peraturan Berta menjelaskan pula jenis sanksi yang dijatuhkan. Remisi dibagi atas 3 berdasarkan. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang — undangan Republik Indonesia Nomor: M.09.HN.02.01 Tahun 1999 pasal 1 ayat 2,3,4 terdiri atas :

1. Remisi umum yaitu pengurangan masam pidana yang diberikan kepada narapidana pada peringatan proklamasi kemerdekaan RI,

2. Remisi khusus yaitu pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana pada hari keagamaan yang dianut oleh yang oleh yang bersangkutan dan dilaksanakan sebanyak — banyaknya satu kali dalam setahun bagi masing — masing agama,

3. Remisi tambahan yaitu pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana yang berjasa kepada negara, melakukan perbuatan bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan atau melakukan perbuatan yang membantu kegiatan

(15)

lembaga pemasyarakatan Remisi tersebut diberikan oleh Menteri Hukum dan Perundang — undangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang pemasyarakatan yang didelegasikan kepada kepada kantor wilayah. Remisi tersebut diusulkan oleh kepada lembaga pemasyarakatan berdasarkan pengamatan sehari — hari pegawai lembaga pemasyarakatan.

Dimana remisi umum adalah remisi yang diterima oleh narapidana pada saat hari peringatan Proklamasi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus setiap tahunnya, sedangkan remisi khusus ialah remisi yang diperoleh oleh narapidana pada hari besar keagamaan sesuai dengan agama yang dianut oleh narapidana wajib dilakukan pendataan tentang agama. Menurut Pasal 3 (2) jika terdapat keraguan tentang hari besar keagamaan yang dianut oleh narapidana atau anak pidana. Menteri Hukum dan HAM mengkonsultasikannya dengan Menteri Agama pemberian remisi khusus ini dilaksanakan pada :

1. Setiap Hari Raya Idul Fitri bagi narapidana yang beragama Islam 2. Setiap Natal bagi narapidana beragama. Kristen atau Khatolik 3. Setiap Hari Raya Nyepi bagi narapidana yang beragama Hindu

Setiap Hari Raya Waisak bagi narapidana yang beragama Budha Jadi selain jenis hari rays di atas (seperti Hari Raya Haji, Paskah, Galungan) narapidana tidak mendapatkan remisi.

Dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, remisi merupakan hak narapidana. Tujuan pemasyarakatan adalah pembinaan pelanggaran hukum yang bertumpu kepada. Community Base Oriented (pelaksanaan pembinaan di tengahtengah masyarakat). Dalam hubungan ini pemberian remisi bagi narapidana yang memenuhi persyaratan merupakan salah

(16)

satu alternatif dalam rangka mempercepat proses reintegrasi, karena itu remisi merupakan manifestasi dari tujuan Pemasyarakatan dimaksud. Remisi merupakan salah satu bagian dari fasilitas pembinaan yang tidak bisa dipisahkan dari fasilitas pembinaan yang lainnya, di mana hakekat pembinaan adalah selain memberikan saksi yang bersifat punitif, juga memberikan reward sebagai salah satu dari upaya pembinaan, agar program pembinaan dapat berjalan dan direspon oleh WBP, sedangkan tujuan dari Sistem Pemasyarakatan adalah mengupayakan warga binaan untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya melanggar hukum yang pernah dilakukan dengan harapan kelak akan kembali dan diterima oleh masyarakat sekitarnya sebagai warga masyarakat serta dapat berperan aktif sebagaimana anggota masyarakat lainya.

9. Konsep pembinaan dalam sistem pemasyarakatan

Pembinaan narapidana adalah suatu sistem dimana didalam hal tersebut mempunyai yang saling bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Jika dilihat dari tujuan sistem kepenjaraan, tujuan pemidanaan adalah penjeraan dengan kata lain tujuan didirikannya penjara sebagai tempat menampung para pelaku tindak pidana dimaksudkan untik membuat jera dan tidak lagi melakukan tindak pidana sehingga peraturan – peraturannya bersifat keras bahkan sering tidak manusiawi. Dalam sistem pemasyarakatan, tujuan pemidanaan adalah pembinaan dan bimbingan dengan tahap — tahap yaitu tahap orientasi merupakan tahap dimana narapidana mampu mengenal cara hidup, peraturan dan tujuan dari pembinaan atas dirinya.

Di dalam pembinaan, narapidana dibina dan dibimbing agar tidak lagi melakukan tindak pidana dikemudian hari apabila keluar dari lembaga

(17)

pemasyarakatan. Narapidana diberikan pendidikan agama serta keterampilan. Pada tahap asimilasi, narapidana diasimilasikan ke tengah — tengah masyarakat di luar lembaga pemasyarakat dengan tujuan sebagai upaya penyesuaian diri agar narapidana tidak canggung lagi apabila keluar dari lembaga pemasyarakatan apabila telah habis pidananya atau bila mendapatkan pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas atau pembebasan karena mendapat remisi. Namun sistem pemasyarakatan tersebut belum dapat terlefas dari sistem kepenjaraan setelah dikeluarkannya Undang — undang No 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan.

Tujuan berubah menjadi meningkatkan kesadaran narapidana akan eksistensi sebagai manusia. Kesadaran tersebut dicapai melalui introspeksi, motivasi dan pengembangan diri. Kesadaran tersebut dimaksudkan agar narapidana sadar akan eksistensinya sebagai manusia yang memiliki akal dan budi. Perlakuan terhadap narapidana dalam konsep pemasyarakatan menempatkan kedudukan narapidana sebagai objek, dimana sebagai objek narapidana tersebut diperlakukan lebih rendah dari manusia lainnya. Sebagai objek, narapidana tidak diberi pembinaan tetapi tenaga sering dipergunakan untuk kepentingan penjara, pengurangan hukuman yang diberikan hanya sebagai anugerah.

Sistem pemasyarakatan telah mampu mengubah citra itu dengan memperlakukan sebagai subjek. Disinilah faktor manusiawi lebih banyak dipertimbangkan dengan cara menonjolkan harga diri dan kedudukannya sejajar dengan manusia lainnya. Perlakuan yang bersifat keras dikendorkan dan narapidana dibina agar setelah ia bebas kelak tidak lagi mengulangi perbuatannya dan dapat beradaptasi dengan masyarakat. Dalam proses pembinaan ada beberapa komponen pembinaan antara lain pembina, yang dibina, materi pembinaan,

(18)

tempat pembinaan dan saranan pembinaan. Jadi narapidana adalah subjek sekaligus objek pembinaan. Sering kali materi pembinaan bukan datang dari pembinanya tetapi berasal dari narapidana itu sendiri.

Hal ini disebabkan oleh karena tumbuh rasa kesadaran dari narapidana itu sendiri merubah dirinya. Dalam sistem pemasyarakatan, pekerjaan yang diberikan kepada narapidana adalah pekerjaan yang bersifat melatih narapidana agar setelah ia bebas nantinya dapat menerapkannya kepandaiannya sebagai bakal hidup tidak lagi melakukan tindak pidana. Narapidana memperoleh pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan tidak dirutan karena rutan hanya diperuntukan bagi para tahanan. Narapidana yang menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan pada dasamya selam menjalani masa pidana kehilangan kebebasan bergerak artinya narapidana tersebut hanya bebas bergerak dalam lembaga pemasyarakatan saja. Kemerdekaan dan kebebasan bergerak telah dirampas untuk jangka waktu tertentu namun pada kenyataannya buka saja kemerdekaan bergerak yang hilang, kemerdekaan lainpun ikut terampas. Pada awalnya tujuan pemidanaan adalah penjeraan terhadap pelaku tindak pidana untuk tidak melakukan kejahatan lagi. Tujuan tersebut berkembang menjadi perlindungan hukum baik kepada pihak yang dirugikan maupun pihak yang merugikan agar keduanya tidak melakukan tindakan hukum sendiri — sendiri. Dengan kata lain pelaku tindak pidana dalam menjalani pidananya mendapatkan perlakuan yang manusiawi mendapat jaminan hukum yang memadai. Dalam melakukan pembinaan kepada narapidana juga dibutuhkan sarana - sarana pendukung. Sarana — sarana yang diperlukan dalam pembinaan narapidana tersebut adalah :

(19)

2. Sarana porsonalia meliputi penambahan tenaga pembina ahli sosiolog, psikolog, teolog, Pengadaan pegawai melalui seleksi, pengangkatan dan penempatan, Kepangkatan melalui sistem promosi dan mutasi, kode etik, pendidikan dan latihan, tats usaha kepegawaian. Masalah kepegawaian adalah masalah penting karena sangat berperan dalam pembinaan narapidana. Berdasarkan standar keamanan 1 orang pegawai dapat dikatakan efisien dan efektif jika membina dan mengawasi 5 orang narapidana karena terjadi over kapasitas hampir di setiap lembaga pemasyarakatan di Indonesia maka standar keamanan dari segi kepegawaian tersebut tidak dapat terpenuhi lagi.

3. Sarana fisik meliputi gedung, ruangan kerja, peralatan perkantoran, perlengkapan keamanan kesehatan damn peralatan keamanan.

4. Sarana administrasi keuangan meliputi administrasi, penyusunan anggaran keuangan dan makanan. Makanan yang diberikan kepada narapidana biasanya disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Jumlah dan mute jatah makan narapidana harus memenuhi standar miniml dan sesuai anggaran yang tersedia namun kualitas dari makanan tersebut masih jauh dari standar kelayakan dari segi kesehatan. Metode pembinaan yang dilakukan dengan 2 cara yaitu :

1) Pembinaan perseorangan merupakan pembinaan yang dilakukan secara perseorangan oleh petugas dan harus diterapkan secara tersendiri karena masing — masing narapidana yang akan dibina memiliki tingkat intelektual, emosi dan logika yang tidak sama.

2) Pembinaan berkelompok merupakan pembinaan yang dilakukan secara kelompok dengan cara ceramah, tanya jawab dan pembentukan tim. Pemilihan metode tergantung pada tujuan yang hendak dicapai dari proses

(20)

pembinaan.

Remisi atau pengurangan hukuman selama narapidana menjalani hukuman pidana berubah dari waktu ke waktu. Sistem kepenjaraan menempatkan remisi sebagai anugerah yang diberikan pemerintah kepada narapidana. Selain syarat

berkelakukan baik, lama pidana bagi narapidana yang akan mendapat remisi tidak boleh kurang dari enam bulan dan narapidana yang dipidana seumur hidup

Gambar

Tabel 1. Komposisi Narapidana Wanita Lapas Klas II Wanita Tanjung     Gusta Medan berdasarkan Tindak Pidana (Per Januari 2015)
Tabel 2. Komposisi Petugas LAPAS Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan  Jenis Pekerjaan  Jumlah Petugas Lapas
Tabel 3 Pembagian sel dalam LAPAS Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan

Referensi

Dokumen terkait

5) Alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan untuk mencapai KD dan beban belajar dengan mempertimbangkan jumlah jam pelajaran yaang tersedia dalam silabus dan KD

Tahap kedua yaitu observasi lembaga. Dalam kegaitan mata kuliah PPL I, mahasisiwa diberi tugas untuk melaksanakan observasi di lokasi PPL, observasi yang dilaksanakan

(4) Pemindahan kendaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan ketempat lain yang tidak mengganggu pengguna jalan dan/atau pengguna jasa parkir lain ke

Pelajar dapat mengemukakan, menghurai dan menganalisis aktiviti utama yang dilaksanakan bersesuaian dengan konteks dalam 4 aspek dan mencapai tahap maksimum

dalam penelitian tindakan kelas ini, peneliti bermaksud untuk mencoba meningkatkan kemampuan anak tunagrahita ringan dalam pembelajaran aspek penjumlahan dengan

Tipe data yang telah didefinisikan terdiri dari 4-valued logic types (01XZ), bit/logic vector, arbitrary precision integer, fixed point dan tipe- tipe lain yang

Dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa secara keseluruhan Efektivitas Pelayanan Publik di Kecamatan Samarinda Kota belum berjalan dengan maksimal,

Alhamdullilah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan perkuliahan dan