DISERTASI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Hukum
Oleh
CIPTONO,S.H.,M.H. NIM : PDIH.03.10.17.0539
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2019
3
MOTTO
“Direndahkan tidak mungkin jadi sampah, disanjung tidak mungkin jadi rembulan, maka jangan risaukan omongan orang, sebab setiap orang membacamu dengan pemahaman dan pengalaman yang berbeda;
Teruslah melangkah selama engkau di jalan yang benar, meski terkadang kebaikan tidak selalu dihargai;
Tidak usah repot- repot menjelaskan tentang dirimu, sebab yang menyukaimu tidak butuh itu dan yang membencimu tidak percaya itu;
Hidup bukan tentang siapa yang terbaik, tetapi siapa yang mau berbuat baik; Jika didzalimi orang jangan berpikir untuk membalas dendam, tetapi berpikirlah cara membalas dengan kebaikan;
Jangan mengeluh, teruslah berdoa dan berikhtiar, sibukan diri dalam kebaikan hingga keburukan lelah mengikutimu”.
DESERTASI INI DIPERSEMBAHKAN UNTUK :
Institusiku, Kepolisian Negara Republik Indonesia tempat aku mengabdi; Bapak Alm. Soebiat dan Almh Isrokhayah yang telah memberikan contoh dan mengajariku untuk selalu tegar dan tabah dalam memaknai arti kehidupan;
Guru- guruku, yang telah membukakan jendela pengetahuan untuk dapat melihat, menatap dan menyongsong masa depan;
Istriku yang tercinta Wuryanti MPd;
Anak- anakku Rina kurniawaty SH; Rian Sacipto,SH,MH,
Menantuku Dul Rohman,SH; Aprilia Herdhiyani, S.Stp., M.Si;
Cucu-cucuku Kanesha Najia Rahman, Keandra Satya Baiturahman,
Hafidz Yulyan Baihaki, yang telah memberikan dorongan moril dan semangat serta motivasi untuk berubah menjadi maju;
Teman- teman seprofesi, se- Angkatan Caba Wamil Polri Tahun 1981/1982, Secapa Reguler XIX Tahun 1991, Selapa Polri XXXIII Tahun 2005 dan Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Angkatan X Tahun 2017 Universitas Islam Sultan Agung ( Unissula) Semarang.
6
RINGKASAN DESERTASI
REKONTRUKSI KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS BERDASARKAN NILAI- NILAI
KEADILAN PANCASILA
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, pembangunan hukum diarahkan pada makin terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap bersumber pada Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( UUD 1945), bahwa pembangunan hukum nasional merupakan bagian dari sistem pembangunan mencakup pembangunan materi hukum, struktur hukum termasuk aparat hukum, sarana dan prasarana hukum; perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran dan budaya hukum yang tinggi dalam rangka mewujudkan negara hukum; serta penciptaan kehidupan masyarakat yang adil dan demokratis. Pembangunan sistem hukum nasional perlu memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Perhatian tersebut merupakan hal yang wajar, karena sistem hukum yang saat ini berlaku di Indonesia diantaranya KUHP/WvS disusun berdasarkan nilai-nilai kemasyarakatan yang liberal individual dan tentu berbeda dengan nilai-nilai kemasyarakatan yang religius bersifat kekeluargaan, monodualistik dan kolektif.
Kecelakaan Lalu Lintas yang terjadi di jalan raya merupakan peristiwa pidana karena di dalam Kecelakaan Lalu Lintas tersebut terdapat unsur tindak pidana sebagaimana terumuskan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang UULAJR tanggal 22 Juni 2009
maka dalam Kecelakaan Lalu Lintas pelakunya dapat
dipertanggungjawabkan berdasarkan Pasal 310 sampai dengan Pasal 312 UULAJR. Dengan melihat proses penanganan pemberian sanksi pidana Kecelakaan Lalu Lintas yang kurang memberikan rasa keadilan dan cenderung aparat penegak hukum dapat melakukan penyalahgunaan wewenang dalam rangka penanggulangan tindak pidana Kecelakaan Lalu Lintas, maka diperlukan adanya upaya pencegahan kejahatan yang harus dilakukan secara integral atau sistematik.
Teori pemidanaan secara tradisional dapat dibagi dalam dua
kelompok yaitu (1) teori absolut atau teori pembalasan
(retributive/vergelding theorieen), menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang
7 melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri, (2) teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/ doeltheorieen), menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun sering
juga disebut teori tujuan (Utilitarian theory). Dalam
perkembangannya tujuan pidana meliputi teori gabungan dan teori kontemporer sebagai berikut (3) teori gabungan, Vos secara tegas menyatakan bahwa selain teori absolut dan teori relatif juga terdapat kelompok ketiga yang disebut teori gabungan. Di sini terdapat suatu kombinasi antara pembalasan dan ketertiban masyarakat “... de
derde groep, de verenigingstheorieen. Hier vindt men een combinatie van de gedachten der vergelding en der bescherming van de maatschappelijke orde). Masih menurut Vos, selain titik berat pada
pembalasan, maksud dari sifat pembalasan itu dibutuhkan untuk melindungi ketertiban hukum (... men kan als uitgangspunt de
vergelding nemen en deze dan beperken in die zin, dat niet verder mag worden gegaan dan voor de handhaving der rechtsorde nodig is).
Sebagai penganut teori gabungan, Vos menyatakan titik berat yang sama pada pidana adalah pembalasan dan perlindungan masyarakat (….. dat de straf tegelijk voldoet en aan de eis van vergelding en aan
die der maatschappelijke bescherming). Dengan demikian, Vos
memberi bobot yang sama antara pembalasan dan perlindungan masyarakat, (4) teori kontemporer, selain teori absolut, teori relatif dan teori gabungan sebagai tujuan pidana, dalam perkembangannya terdapat teori-teori baru yang penulis sebut sebagai teori kontemporer. Bila dikaji lebih mendalam, sesungguhnya teori-teori kontemporer ini berasal dari ketiga teori tersebut di atas dengan beberapa modifikasi. Wayne R. Lafave menyebutkan salah satu tujuan pidana adalah sebagai deterrence effect atau efek jera agar pelaku kejahatan tidak lagi mengulangi perbuatannya. Demikian juga pidana bertujuan sebagai edukasi kepada masyarakat mengenai mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk. Tujuan pidana sebagai
deterrence effect pada hakikatnya sama dengan teori relatif terkait
prevensi khusus.
Pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh harus meliputi pembaharuan hukum pidana material ( hukum pidana substantif ), hukum pidana formil ( hukum acara pidana ) dan hukum pelaksanaan pidana ( strafvollstreckungesetz ). Ketiga bidang hukum itu harus bersama-sama diperbaharui, kalau salah satu bidang saja yang diperbaharui sedang yang lainnya tidak, maka akan timbul kesulitan dalam pelaksanaannya dan tujuan dari pembaharuan tidak akan
8 tercapai seluruhnya. Keinginan dan usaha untuk melakukan kajian-kajian/ penggalian hukum yang hidup (yang bersumber dari nilai-nilai hukum agama dan hukum tradisional/ adat) telah sering dikemukakan dalam berbagai forum ilmiah. Keinginan itu menunjukan kesadaran, perlunya digali norma hukum yang bersumber dan berakar pada nilai-nilai budaya, moral dan agama.
Kajian atau diskusi mengenai pokok-pokok pemikiran atau ide dasar ini menjadi sangat penting karena membangun atau melakukan pembaharuan hukum (law reform) khususnya penal reform pada hakikatnya adalah membangun atau memperbaharui pokok-pokok pemikiran/ konsep/ ide dasarnya, bukan sekedar memperbaharui atau mengganti perumusan pasal (undang-undang) secara tekstual. Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul: “Rekontruksi Kebijakan Sanksi Pidana Tindak
Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Berdasarkan Nilai - Nilai Keadilan Pancasila”.
2. Fokus Studi dan Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka dalam penelitian diajukan rumusan masalah sebagai berikut :
a. Mengapa kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas belum dapat terlaksana secara adil?.
b. Bagaimana kelemahan- kelemahan kebijakan saksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas saat ini?.
c. Bagaimana rekontruksi kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang berdasarkan nilai- nilai keadilan Pancasila?.
3. Tujuan Penelitian Disertasi
a. Untuk mengungkap dan menganalisis kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas berdasarkan hukum positif saat ini.
b. Untuk mengungkap dan menganalisis kelemahan- kelemahan kebijakan saksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas saat ini.
c. Untuk menemukan rekontruksi kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang berdasarkan nilai- nilai keadilan Pancasila.
4. Kegunaan Penelitian Disertasi
9 1) Dapat membangun teori baru tentang kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas berdasarkan nilai- nilai keadilan Pancasila.
2) Diharapkan dapat jadi bahan pemikiran bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas berdasarkan nilai- nilai keadilan Pancasila.
b. Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penelitian yang berkaitan dengan rekontruksi kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas berdasarkan nilai- nilai keadilan Pancasila.
5. Metode Penelitian
a. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode yuridis sosiologis dengan metode kualitatif yang didukung oleh data primer dan sekunder. Penggunaaan pendekatan yuridis sosiologis, dilakukan karena kajian dalam penelitian ini untuk melihat secara langsung fakta- fakta yang ada dilapangan dalam kaitannya dengan hukum yang hidup dalam masyarakat berperan menyelesaikan tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Kalau mempelajari hukum dalam kenyataannya yang demikian itu, maka harus keluar dari batas- batas peraturan hukum dan mengamati praktik-praktik dan/ atau hukum sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang di dalam masyarakat. Pendekatann ini sering disebut dengan pendekatan yuridis empiris.
b. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif
analisis, yaitu menggambarkan peraturan- peraturan yang
berlaku (hukum positif) kemudian dihubungan dengan teori- teori hukum. Bersifat deskriptif artinya penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan gambaran tentang rekonstruksi kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas berdasarkan nilai- nilai keadilan Pancasila. Bersifat analitis artinya dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menguraikan berbagai temuan data baik primer maupun sekunder langsung diolah dan dianalisis dengan tujuan untuk memperjelas data tersebut secara kategori, penyusunan dengan sistematis dan selanjutnya dibahas atau dikaji secara logis.
10
c. Metode Analisisa Data
Teknik analisis data terhadap data primer, peneliti menggunakan teknis analisis data tipe Strauss dan J. Corbin, yaitu dengan menganalisis data sejak peneliti berada dilapangan
(field). Selanjutnya peneliti melakukan penyusunan,
pengkatagorian data dalam pola/thema. Setelah data divalidasi, peneliti melakukan rekonstruksi dan analisis secara induktif kualitatif untuk dapat menjawab permasalahan. Data akan dianalisis menggunakan model interaktif yang dikemukakan oleh Mattew B. Miles and A. Michael Huberman yang meliputi 3 (tiga) kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan simpulan atau verifikasi.
d. Kerangka Teori :
Dalam menganalisis ke tiga permasalahnan digunakan teori keadilan sebagai grand teori; teori Penegakan Hukum dan
Alternative Dispute Resolution sebagai middle teori serta teori
hukum progresif, perlindungan korban, ganti kerugian dan harmonisasi hukum sebagai applied teori.
Hukum dan keadilan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ketika membicarakan masalah hukum maka secara jelas maupun samar- samar, kita akan menukik sampai kepada masalah keadilan. Itu berarti hukum tidak dalam konteksnya sebagai suatu bangunan yang formal belaka, melainkan sebagai bagian dari ekpresi cita- cita masyarakat.
II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Kebijakan Sanksi Pidana Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Berdasarkan KUHP (WvS)
Masih adanya dualisme perundangan yang digunakan dalam penegakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas yaitu KUHP dan UULAJR Pasal KUHP yang digunakan dalam kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lu lintas yaitu Pasal 338, 359, 360, 361.
Kejahatan dalam Pasal 338 KUHP dinamakan “makar mati” atau “pembunuhan” (doodslag). Disini diperlukan perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain, sedangkan kematian itu disengaja, artinya dimaksud, termasuk dalam niatnya. Apabila kematiannya itu tidak dimaksud, tidak masuk dalam pasal ini, mungkin masuk Pasal 359 KUHP ( karena kurang hati- hatinya, menyebabkan matinya orang lain), atau Pasal 353 sub 3 KUHP penganiayaan dengan direncanakan lebih dahulu, berakibat mati), atau
11 Pasal 354 sub 2 (penganiayaan berat berakibat mati ), atau Pasal 355 sub 2 KUHP (penganiayaan berat dengan direncanakan lebih dahulu, berakibat mati). Sebaliknya pembunuhan itu harus dilakukan segera sesudah timbul maksud untuk membunuh itu, tidak dengan dipikir- pikir panjang.
2. Kebijakan Sanksi Pidana Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Berdasarkan UULAJR
Dalam UULAJR digunakan Pasal 310, 311 dan 312 dengan sanksi pidana dan denda, sedangkan dalam UULAJR ini ada pemberian ganti kerugian pada korban kecelakaan lalu lintas jalan raya baik tanpa pidana pokok atau pidana tambahan, yang diatur dalam Pasal 236 UULAJR Ayat (1) :” Pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 wajib mengganti kerugian yang besarnya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan. “ Selanjutnya dalam Ayat (2) : kewajiban mengganti kerugian sebagaimana pada Ayat (1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 Ayat (2) dapat dilakukan diluar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai diantara para pihak yang terlibat.
Hal ini dihubungkan dengan kebijakan operasional yang dilaksanakan dalam proses penyidikan peristiwa kecelakaan lalu lintas, penyidik kecelakaan lalu lintas pada Kesatuan Lalu Lintas yang melakukan proses penyidik selalu mengedepankan pemberian ganti kerugian dari tersangka kepada korban maupun ahli warisnya. Meskipun dalam UULAJR yang berlaku sekarang ini tidak terdapat rumusan tujuan pemidanaan tetapi dalam perkembangan sekarang ini telah disadari bahwa tujuan pemidanaan itu sangat penting terkait dengan kerelaan korban untuk menerima kesalahan yang telah dilakukan oleh pelaku pidana dan memberikan maaf merupakan unsur utama meniadakan konflik dengan memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
Dalam ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP maupun UULAJR yang sekarang berlaku belum bisa mendukung upaya memberikan perhatian pada korban karena jenis sanksi yang ada secara langsung dapat memberikan perlindungan pada korban. Ketiadaan jenis pidana yang memberikan perlindungan kepada korban khususnya yang menyangkut pemberian ganti kerugian pada korban, mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dalam rangka untuk memberikan perlindungan pada korban khususnya yang menyangkut perintah pemberian ganti kerugian. Namun selama ini hakim belum pernah menjatuhkan putusan pidana bersyarat sehubungan dengan kecelakaan lalu lintas, karena dalam UULAJR
12 sanksi pidana kecelakaan lalu lintas yang diatur dalam Pasal 310 sampai 312 tidak ada sanksi pidana ganti kerugian.
3. Perbandingan Hukum Kebijakan Sanksi Pidana Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Negara Asing
Dalam disertasi ini promovendus membandingkan Undang-undang Lalu Lintas diberbagai negara yang ada kaitannya dengan pelaksanaan kebijakan sanksi pidana kecelakaan lalu lintas, antara lain Belanda, Inggris, Portugal dan Yugoslavia. Dan secara umum negara asing tersebut menggunakan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memberikan perlindungan terhadap korban.
Tidak secara eksplisit negara- negara tersebut menerapkan sanksi ganti kerugian, namun kewajiban membayar sejumlah uang kepada negara untuk kepentingan korban, yang kemudian dikirimkan kepada korban tanpa penundaan ( Pasal 36f KUHP Belanda)
.
4. Putusan Hakim Tentang Sanksi Pidana Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas
No. Perkara Psl Yang
Disangkakan
Putusan 1 Laka ka Lntas Metro Mini Tanjung Priok tgl. 6
Maret 1994,Tsk Marojahan Silitonga, korban 32 MD, 13 LB
338 KUHP PN Jakarta Utara, 15 TH PENJARA
2 Laka Lantas Tugu Tani, tgl. 22 Jan 2012, Tsk Afriani Susanti, korban 9 MD
311 Ayat (5) UULAJR
PN Jakarta Pusat, 29 Agt 2012, 15 TH PENJARA
3 Laka Lantas Tol Jagorawi, tgl 2 Jan 2013, Tsk Rasyid Amrullah Rajasa, korban 2 MD, 3 LB
311 Ayat (4) UULAJR
PN Jakarta Timur, 23 Maret 2013, 5 Bln Penjara dg masa perc 6 Bln dan Denda 12 Jt
4 Laka Lantas Mikrolet Tamansari, tgl. 23 Feb 2017, Tsk Hery Tomy Chistian, korban 1 MD
310 Ayat (4) UULAJR
PN Jakarta Barat, 14 Agt 2017, 2 TH PENJARA dan Denda Rp. 5jt 5 Laka Lantas di Karang Anyar, tgl. 21 Sept 2009,
Tsk Lanjar Sriyanto, korban 1 MD (Saptaningsih)
359 dan 360 Ayat (2) KUHP
1. PN Karang anyar 4 Maret2010 (bebas)
2. PT Jateng, kurungan penjara 1(satu) bln 7 hari 6 Laka Lantas di Tol Cipularang tgl. 3 Sept 2011,
Tsk Syaiful Jamil, korban 1 MD Virginia Anggraeni
310 UULAJR PN Purwakarta, 19 Sept 2012, Hukuman Penjara 5 Bln dg Masa Percobaan
7 Laka Lantas di Kendal, tgl. 25 Maret 2015, Tsk Purwanto, korban 1 MD dan 1 LR
310 Ayat ( 1) dan Ayat (4)
PN Kendal , 15 Agt 2015, Hukuman Penjara 25 hari dan Denda 500 rb.
8 Laka lantas di Rembang, tgl. 20 Juni 2017, Tsk Budi Santoso, Korban 1 MD dan 1 LB
310 Ayat (1), (3) dan (4) UULAJR
PN Rembang, 24 Feb 2017, Hukuman Penjara 1 Th 6 Bln 9 Laka Lantas di Surakarta, tgl. 22 Agt 2018, Tsk
Iwan Andranacus , Korban 1 MD
311 Ayat (5) UULAJR
PN Surakarta, 29 Jan 2019, Hukuman Penjara 1 Th.
Bahwa perkara kecelakaan lali lintas dikepolisian banyak yang diproses dengan penyidikan (jalur penal) tetapi lebih banyak dengan non penal terutama dalam menangani kecelakaan laum lintas korban luka ringan atau kerugian materiil. Hasil penelitian promovendus terhadap kasus kecelakaan lalu lintas dan wawancara dengan responden terhadap penelitian ini diperoleh keterangan kebijakan sanksi pidana kecelakaan lalu lintas Polri lebih banyak penyelesaian
13 kecelakaan lalu lintas khususnya untuk korban luka-luka ringan dan kerugian materiil diselesaikan dengan restorative justice. Hal ini promovendus ketahui dari data penyelesaian kecelakaan lalu lintas Polda Jawa Tengah dan Polres tertentu dalam periode 5 (lima) tahun terakhir 2013 sampai dengan 2017.
Data Kejadian dan Penyelesaian Laka Lantas di Wilayah Polda Jawa Tengah Tahun 2013 – 2017
No Kesatuan Jumlah Kejadian Penyelesaian Prosentase Penyelesaian RJ SPP RJ 1 POLDA JATENG 81.159 8.522 72.637 89,49 2 POLRES KENDAL 1.988 404 1.584 79,67 3 POLRES BREBES 3.007 278 2.729 90,75 4 POLRES REMBANG 2.236 168 2.068 92,48 5 POLRES MAGELANG 3.392 380 3.012 88,79
Sumber: Diolah dari berbagai data di Polda Jateng, Polres Kendal, Polres Bresbes, Polres Rembang dan Polres Magelang Awal Tahun 2018.1
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas di Polres Brebes, Polres Kendal, Polres Rembang dan Polres Magelang, sebagian besar lebih mengarah kepada bentuk penyelesaian
Restorative Justice yaitu penyelesaian berdasarkan atas dasar permintaan para
pihak yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas yang sudah menyelesaikan secara kekeluargaan (berdamai) karena masing-masing telah menemukan keadilannya. Hal tersebut dapat dilihat dari kejadian kecelakaan lantas yang terjadi di Polres Brebes jumlah kejadian 3.007, Restorative Justice 2.729 (90,75 %); Polres Kendal jumlah kejadian 1.998, Restorative Justice 1.584 (79,67 %); Polres Rembang jumlah kejadian 2.236, Restorative Justice 2.068 (
1
Data Kejadian Kecelakaan lulintas dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2013-2017) dengan penjelasan
1. Jumlah Kejadian, adalah menerangkan jumlah kejadian kecelakaan lalulintas di masing-masing wilayah hukum Polres;
2. Penyelesaian SPP, merupakan penyelesaian kecelakaan lalulintas berdasarkan ketentuan hukum (Sistem Peradilan Pidana/KUHAP) dalam bentuk disidik dan Berkas Perkara diserahkan ke Penuntut Umum (P-21) dan atau dihentikan proses penyidikannya/SP3 (tidak cukup bukti/tidak memenuhi unsur/demi hukum) dan atau dilimpahkan ke Instansi samping; 3. Penyelesaian RJ (Restorative Justice), merupakan penyelesaian kecelakaan lalulintas
berdasarkan permohonan dari pihak yang telah melakukan perdamaian karena telah dicapai keadilan dan kemanfaatan, bentuk penyelesaian berdasarkan Restorative Justice di tingkat penyidikan tidak dikenal secara yuridis formal tetapi secara yuridis praktis telah dilakukan karena permintaan para pihak yang terlibat dalam kecelakaan, sehingga untuk kepastian hukum maka bentuk administrasi penyelesaiannya adalah penyelesaian terhadap pelanggaran yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas berupa proses Tilang (tindak pelanggaan), proses Berita Acara Cepat (BAC) atau Berita Acara Singkat (BAS) dan diserahkan instansi lain.
4. Prosentase, merupakan jumlah prosentase penyelesaian kecelakaan lalu lintas secara
14 92,48 %); Polres Magelang jumlah kejadian 3393, Restorative Justice 3.012 ( 88,79 %), sedangkan untuk data penyelesaian kecelakaan lalu lintas di seluruh jajaran Polda Jawa Tengah (35 Polres) jumlah kejadian 81.159, Restorative
Justice 72.673 (89,49 %).
Penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas secara Restorative Justice ini disamping dikehendaki oleh para pihak yang terlibat dalam dalam kecelakaan lalu lintas sebagaimana hasil wawancara dengan warga masyarakat sebagai pihak yang pernah terlibat dalam kecelakaan lalu lintas di wilayah hukum Polres Kendal atau keluarganya, dimana mereka lebih memilih perkaranya diselesaikan melalui Restorative Justice daripada menjalani sidang di pengadilan, alasannya bahwa perkara tersebut dirasa lebih efektif, cepat selesai dan lebih dirasakan keadilannya.
Pendapat warga masyarakat tersebut adalah senada dan didukung oleh ulama/tokoh agama an. KH. Ali Nurudin yang menyatakan bahwa kalau antara pelaku dan korban dalam kecelakaan lalu lintas sudah saling memaafkan maka telah dicapai kebaikan antara kedua pihak, maka untuk perkaranya tidak perlu lagi disidangkan di pengadilan dan selesai, demikian pula pendapat Anggota DPRD Kabupaten Kendal Mastur Samlawi dari Fraksi P3 menyatakan bahwa apabila kejadian kecelakaan lalu lintas telah diselesaikan berdasarkan kesepakatan para pihak maka kesimbangan sosial di tengah masyarakat telah pulih kembali, oleh karenanya tidak diperlukan lagi perkaranya diteruskan ke pengadilan, demikian pula pernyataan Dr. Sudarmadji, SH,MH (Pemalang) menyatakan bahwa perdamaian diantara para pihak yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas mempunyai nilai filosofi keadilan yang sangat tinggi, bahkan melebihi nilai keadilan yang dilahirkan oleh hakim dalam putusannya, maka tidak perlu lagi perkara tersebut dibawa ke ranah sidang pengadilan karena pemidanaan tidak menimbulkan efek jera, dan menurut Rian Sacipto, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Ngudi Waluyo ( UNG) Ungaran menyatakan sependapat bahwa apabila dalam perkara kecelakaan lalu lintas telah dicapai penyelesaian secara kekeluargaan (perdamaian) maka tidak perlu lagi perkaranya diteruskan ke sidang pengadilan, hal tersebut didasarkan atas pertimbangan proses pemidanaan itu adalah ultimum remedium yang merupakan senjata pamungkas dalam penyelesaian perkara pidana, apabila mekanisme lain masih dimungkinkan (misalnya musyawarah mufakat) maka mekanisme dimaksud dapat dilaksanakan untuk menyelesaikan terlebih dahulu karena penyelesaian tersebut memberikan manfaat baik bagi kedua pihak, mengacu pendapat Jeremy Bentham bahwa bagaimana menilai baik atau buruk kebijaksanaan sosial, politik dan budaya penegakan hukum itu bertumpu pada tiga pilar, yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, apabila aspek kepastian hukum yang diutamakan maka akan mengorbankan aspek keadilan, demikian pula sebaliknya, akan tetapi kalau dipilih aspek manfaat maka aspek kepastian hukum dan aspek keadilan secara serta merta sudah tercakup di dalamnya, hal tersebut sejalan dengan Teori Hukum Progresif Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa hukum itu untuk manusia bukan untuk dirinya sendiri, kalau terjadi permasalahan dengan hukum maka yang dikalahkan adalah hukum, bukan manusianya, hal ini senafas dengan diskresi
15 kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002.
Permasalahan hukum pidana di Indonesia semakin berkembang seiring dengan makin pesatnya pertumbuhan masyarakat. Berbagai permasalahan tersebut membutuhkan penyelesaian yang tepat untuk mengembalikan kondisi seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Akan tetapi pemahaman masyarakat di Indonesia mengidentikkan penyelesaian permasalahan hukum dengan aparat penegak hukumnya antara lain, polisi, jaksa dan hakim. Ketiganya merupakan bagian dari sistem peradilan pidana. Penyelesaian perkara pidana ditempuh melalui sistem peradilan yang diatur dalam KUHAP, yaitu hal yang pertama dilakukan adalah membuat laporan polisi. Melalui laporan polisi ini korban berharap ada keadilan dimana pelaku akan dijatuhi pidana. Namun, akhir dari sistem peradilan tersebut seringkali belum tentu menjamin rasa keadilan dalam masyarakat. Berat ringannya vonis yang dijatuhkan hakim terhadap terdakwa belum mewujudkan keseimbangan dan mengembalikan situasi sosial dalam masyarakat. Ini berarti bahwa kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas belum sesuai dengan nilai- nilai keadilan Pancasila.
5. Kelemahan- Kelemahan Sanksi Pidana Tindak Pidana
Kecelakaan Lalu Lintas
Kelemahan- kelemahan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas saat ini dalam bentuk perundang-undangan yaitu adanya tumpang tindih peraturan perundang- undangan dalam penegakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas yaitu KUHP dan UULAJR. Sejak berlaku UULAJR tanggal 22 Juni 2009 yang mengatur tentang lalu lintas dan angkutan jalan raya termasuk kecelakaan lalu lintas semestinya dalam penerapan sanksi pidana sudah tidak menggunakan KUHP karena berlaku asas lex spesialis derogat lex
generalis.
Akibat dari adanya tumpang tindih peraturan, yang keduanya tidak mencantumkan sanksi pidana ganti kerugian, maka kelemahan sanksi pidana kecelakaan lalu lintas pada UULAJR sebagai berikut :
a. Tidak ada pedoman pemidanaan untuk denda yang tidak dibayar (baik kesengajaan atau kelalaian).
b. Sulit untuk melacak pelakunya. c. Belum ada kwalifikasi yuridis.
Disamping itu masalah penegakan hukum yaitu praktik penyelesaian perkara di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya dan hanya berkembang dalam dimensi praktik maka lazim terjadi suatu kasus secara informal telah dilakukan penyelesaian damai namun tetap diproses ke pengadilan sesuai hukum positif yang berlaku, sehingga sungguh sangat menciderai rasa keadilan bagi para pihak.
Restorative Justice sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara di
bidang hukum pidana menunjukkan bahwa perbedaan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar. Dalam prakteknya Polri telah menerapkan restorative justice terhadap Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban materiil
16 atau luka ringan yaitu mengacu pada UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) yang dijabarkan dalam : a. Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember
2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolusion (ADR),
b. Program Polri tentang Pemolisian Masyarakat (Comunity Policing) sebagaimana diatur dalam Perkap Nomor 3 Tahun 2015,
c. Program Prioritas Rencana Aksi 100 (seratus) hari Kapolri Jendral Drs. Tito Karnavian, M.A.,Ph.D,
d. Perkap Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas, yang dijabarkan dalam Surat Telegram Kapolri Nomor : ST/2981/XII/ 2017 tanggal 19 Desember 2017, hanya digunakan pada Kecelakaan Lalu Lintas Sedang dan Ringan.
Namun dalam prakteknya Polri masih menyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas luka berat dan meninggal dunia sebagaimana diatur dalam Pasal 229 Ayat (4) UULAJR diselesaikan dengan ADR, hal ini lebih mudah dalam menyelesaikan perkara dibanding penyidikan (SPP) karena masih ada bolak balik perkara.
6. Rekontruksi Kebijakan Sanksi Pidana Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Berdasarkan Nilai- Nilai Pancasila
A. Kebijakan Sanksi Pidana Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Dalam Sistem Peradilan Pidana
Secara fungsional sistem peradilan pidana akan melibatkan minimal 4 (empat) faktor saling terkait yaitu :
1) Rekonstruksi Kebijakan Perundang- undangan
Dalam merekonstruksi kebijakan peraturan perundang-
undangan perlu harmonisasi hukum. Harmonisasi hukum sebagai suatu proses dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mengatasi hal- hal yang bertentangan dan kejanggalan diantara norma- norma hukum didalam peraturan peraturan perundang-undangan, sehingga terbentuk peraturan perundangan- undangan nasional yang harmonis dalam arti selaras, serasi, seimbang, terintegrasi dan konsisten serta taat asas.
Kebijakan peraturan perundang- undangan terutama adanya tumpang tindih perturan yaitu KUHP dan UULAJR. Langkah sistemik harmonisasi hukum nasional adalah bertumpu pada paradigma Pancasila dan UUD 1945 yang melahirkan sistem ketata negaraan dengan dua asas fundamental yaitu asas demokrasi dan asas negara hukum yang diidealkan mewujudkan sistem hukum nasional dengan tiga komponen yaitu substansi hukum, struktur hukum beserta kelembagaannya dan budaya hukum.
17 2) Kebijakan Rekonstruksi Penegakan Hukum
Karena keterbatasan penal maka dalam penanggulangan kejahatan ( politik kriminal ) hendaknya dimanfaatkan dua kebijakan yaitu kebijakan penal dengan menggunakan sanksi pidana ( termasuk politik hukum pidana ) dan kebijakan non penal. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan penegakan hukum pidana masih diperlukan melalui pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (
policy oriented approach ). Oleh karena itu penggunaaan hukum
pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan merupakan kebijakan juga yang sering disebut dengan kebijakan hukum pidana.
Kebijakan atau politik hukum berarti orang mengadakan penilaian dan melakukan penilaian dari sekian banyak alternatif yang dihadapi, sedangkan melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang- undangan pidana yang paling baik dalm arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Mengacu pada teori Lawrence M Friedman dalam hal penegakan hukum didasarkan pada legal structure, legal substance
dan legal cultural. Hal inilah dilakukan apabila kebijakan penal
dengan menggunakan sanksi pidana tidak ada penyelesaian. Di sisi lain penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.
3) Rekontruksi Kebijakan Aparat Penegak Hukum
Aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum tidak terlepas akan suatu faktor-faktor yang mempengaruhinya, hal tersebut penting karena dalam menegakkan hukum, seorang Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokad langsung berhadapan dengan masyarakat, sehingga dalam menegakkan hukum kadang aparat penegak hukum mempunyai masalah ataupun dampak positif serta negatif dalam menegakkan suatu norma positif di masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto, masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya.2 Faktor- faktor tersebut mempunyai arti netral sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor- faktor tersebut, antara lain : a. Faktor hukumnya sendiri (misalnya Undang-Undang).
b. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. c. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
d. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup
2
Moh. Hatta, Menyongsong Penegakan Hukum Responsif; Sistem Peradilan Terpadu
18 Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan, dimana proses penegakan hukum itu akan berpuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum.
4) Rekontruksi Kebijakan Patisipasi Masyarakat
Sebagaimana yang telah diungkapkan dalam uraian diatas bahwa selain aparat penegak hukum yang berperan penting dalam penegakan hukum adalah peranan masyarakat dimana penegakan hukum atau sebagai sosial kontrol. Masyarakat haruslah sadar bahwa proses penegakan hukum bukanlah hanya tugas dari aparat penegak hukum saja, melainkan juga tugas dari masyarakat juga dalam menanggulangi, mengahadapi segala bentuk upaya merugikan masyarakat.
Apabila hal ini terwujud yaitu antara masyarakat dan aparat penegak hukum saling membantu dalam proses penegakan hukum, maka kami yakin lambat laun tindakan- tindakan kriminal yang terjadi khususnya peristiwa kecelakaan lalu lintas akan berkurang. Dalam hal ini Polri menerapkan Perkap Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat.
A. Rekontruksi Kebijakan Sanksi Pidana Tindak Piadan Kecelakaan Lalu Lintas Berdasarkan Nilai- Nilai Keadilan Pancasila
Pada bagian lain, dalam kaitannya dengan fungsi hukum dan lembaga hukum dalam masyarakat, Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa: Pengkajian terhadap hukum dari sudut studi hukum dan masyarakat, selalu ingin menegaskan fungsi apa yang sesungguhnya dijalankan oleh hukum atau lembaga hukum itu di dalam masyarakat. Penegasan mengenai fungsi ini tidak hanya dilihat dari sudut ketentuan hukum yang mengaturnya, melainkan juga dari apa yang ditentukan oleh masyarakat sendiri mengenainya.
Hukum merupakan mekanisme yang mengintegrasikan kekuatan-kekuatan dan proses-proses dalam masyarakat, dengan demikian maka pengadilan pastilah merupakan lembaga yang menjadi pendukung utama dari mekanisme itu, karena dalam lembaga inilah nantinya sengketa-sengketa yang terdapat dalam masyarakat tersebut akan diselesaikan, agar tidak berkembang menjadi pertentangan yang membahayakan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Untuk mendapatklan kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas, yang berdasarkan rasa keadilan, kemanusiaan, dampak yang lebih luas, kepentingan umum, edukasi pembelajaran dan pencerminan etika moral maka perlu merekontruksi Pasal 310, 311 dan
19 312 UULAJR yang merupakan Sanksi Pidana Kecelakaan Lalu Lintas sistem perumusan sanksi pidana alternatif sebagai berikut :
Rekontruksi Peraturan Perundang- Undangan
No. Pasal Sebelum
Rekontruksi Kelemahan Sesudah Rekontruksi
1. 310
UULAJR
Setiap orang yang mengemudikan
ken-daraan bermotor
yang karena
kela-laiannya
mengaki-batkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan:
(1)Kerusakan ken-daraan dan/ atau barang, dipidana
dengan pidana
penjara paling
lama 6 (enam) bulan dan/ atau
denda paling
banyak Rp.1.000. 000,- (satu juta rupiah).
(2)Korban luka ri-ngan dan keru-sakan kendaraan dan/ atau barang, dipidana dengan
pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau denda pa-ling banyak Rp. 2.000. 000, (dua juta rupiah). (3)Korban luka
be-rat, dipidana de-ngan pidana pen-jara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda
paling banyak Rp.10.000. 000,- (sepuluh juta 1.Tidak ada pedoman pe-midanaan ji-ka denda tidak dibayar, 2.Tidak ada kwalifikasi yuridis.
Setiap orang yang
mengemudikan
ken-daraan bermotor yang
karena kelalaiannya
mengakibatkan
Kecela-kaan Lalu
Lintas dengan:
(1)Kerusakan
kenda-raan dan/ atau
barang, dipidana
dengan pidana
ganti kerugian
paling banyak
Rp.10.000. 000,-
(sepuluh juta rupi-ah) dan /atau pen-jara paling lama 6 (enam) bulan (2) Korban luka ringan
dan kerusakan
kendaraan dan/
atau barang, dipi-dana dengan pida-na ganti kerugian
paling banyak
Rp.50. 000. 000,- (lima puluh juta rupiah) dan/ atau
penjara paling
lama 1 (satu) tahun (3) Korban luka berat,
dipidana dengan
pidana ganti
ke-rugian paling
banyak Rp. 150. 000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah),dan/ atau
20 rupiah), dalam hal kecelakaan tersebut menga-kibatkan orang lain meninggal dunia dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling
ba-nyak Rp.12. 000. 000,- (dua belas juta rupiah).
lama 5 (lima)
tahun, dalam hal kecelakaan terse-but mengakibatkan orang lain mening-gal dunia dipidana
dengan pidana
ganti kerugian
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan/ atau penjara paling
la-ma 6 (enam)
tahun.
2 311
UULAJR
(1)Setiap orang yang
dengan sengaja
mengemudikan Kendaraan Bermo-tor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau
barang dipidana
dengan pidana
penjara paling
lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 3.000. 000,- (tiga juta rupiah).
(2)Dalam hal
per-buatan sebagai-mana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan
Kenda-raan dan/ atau
barang sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara 1.Tidak ada pedoman pe-midanaan jika denda tidak dibayar, 2. Tidak ada kwalifikasi yuridis.
(1)Setiap orang yang dengan sengaja me-ngemudikan Kenda-raan Bermotor
de-ngan cara atau
keadaan yang mem-bahayakan bagi nya-wa atau barang di-pidana dengan pida-na ganti kerugian paling banyak Rp 10.000. 000,- (sepu-luh juta rupiah). Atau penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2)Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimak-sud pada ayat (1) mengakibatkan Ke-celakaan Lalu Lintas
dengan kerusakan
Kendaraan dan/ atau barang sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana de-ngan pidana ganti
kerugian paling
ba-nyak Rp 50.000. 000,- (lima pulu juta rupiah) atau penjara
21
paling lama 2
(dua) tahun atau
denda paling
banyak Rp 4.000. 000,- (empat juta rupiah).
(3)Dalam hal
per-buatan
sebagai-mana dimaksud
pada ayat (1)
mengakibatkan
Kecelakaan Lalu
Lintas dengan kor-ban luka ringan
dan kerusakan
Kendaraan dan/
atau barang seba-gaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku
dipidana dengan
pidana penjara pa-ling lama 4 (em-pat) tahun atau
denda paling
ba-nyak Rp 8. 000. 000,- (delapan juta rupiah).
(4)Dalam hal
per-buatan
sebagai-mana dimaksud
pada ayat (1)
mengakibatkan
Kecelakaan Lalu
Lintas dengan
kor-ban luka berat
sebagaimana
di-maksud dalam
Pasal 229 ayat (4),
pelaku dipidana
dengan pidana
penjara paling la-ma 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 20. 000.000,- (dua
paling lama 2 (dua) tahun.
(3)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimak-sud pada ayat (1) mengakibatkan Ke-celakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusak-an Kendarakerusak-an dkerusak-an/ atau barang sebagai-mana dimaksud da-lam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana ganti
kerugian paling
banyak Rp 150.000. 000,- (seratus lima juta rupiah) atau penjara paling lama 4 (empat) tahun. (4)Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimak-sud pada ayat (1) mengakibatkan Ke-celakaan Lalu Lintas dengan korban luka
berat sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana de-ngan pidana ganti
kerugian paling
ba-nyak Rp 500. 000. 000,- (lima ratus juta rupiah) atau penjara paling lama 10 tahun.
(5)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimak-sud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain mening-gal dunia, pelaku dipidana dengan pi-dana ganti kerugian
22 puluh juta rupiah).
(5)Dalam hal
per-buatan
sebagai-mana dimaksud
pada ayat (4)
mengakibatkan
orang lain
me-ninggal dunia, pe-laku dipidana de-ngan pidana pen-jara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling ba-nyak Rp 24. 000. 000,(dua
pu-luh empat juta
rupiah).
paling banyak Rp 2.000.000.000,- (duamilyard rupiah) atau penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
3. 312
UULAJR
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan bermotor yang terlibat Kece-lakaan Lalu Lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan perto-longan atau tidak melaporkan Kecela-kaan Lalu Lintas
kepada Kepolisian
Negara Republik
Indonesia terdekat tanpa alasan yang patut dipidana de-ngan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 75. 000.000,- (tujuh
puluh lima juta
rupiah)”. 1.Sulit untuk melacak pelaku, 2.Tidak ada kwalifikasi yuridis
(1) Setiap orang yang mengemudikan
ken-daraan bermotor
yang terlibat Kece-lakaan Lalu Lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan perto-longan atau tidak
melaporkan
Kece-lakaan Lalu Lintas
kepada Kepolisian
Negara Republik
Indonesia terdekat tanpa alasan yang patut dipidana de-ngan pidana ganti
kerugian paling
ba-nyak Rp. 500.000. 000,- (lima ratus juta rupiah)” atau penjara paling lama 3 (tiga) tahun ditam-bah 2/3 penjara.
4. 312 A UULAJR
============ =========
=
(1) Jika terpidana tidak membayar ganti ke-rugian sebagaima-na dimaksud Pasal
23
310, 311 dan 312 paling lama dalam waktu 1 (satu) bu-lan sesudah putus-an pengadilputus-an yputus-ang telah memperoleh
kekuatan hukum
tetap, maka harta
bendanya dapat
disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang
ganti kerugian
tersebut.
(2) Dalam hal terpi-dana tidak memiliki harta yang mencu-kupi untuk memba-yar ganti kerugian sebagaimana di-maksud ayat (1) maka dipidana de-ngan pidana pen-jara yang lamanya tidak melebihi an-caman maksimum dari pidana pokok-nya sesuai dengan ketentuan undang- undang ini. 5. 312 B UULAJR ============ ========= = Bahwa Pasal 310, 311 dan 312 adalah kejahatan. III. PENUTUP
Bertitik tolak dari uraian bab terdahulu, maka pada akhir penulisan penelitian ini, dapat dikemukakan beberapa simpulan dan saran- saran sebagai berikut :
1. Simpulan
a. Kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas diatur dalam Pasal 310, 311 dan 312 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya jo Peraturan Kapolri ( Perkap) Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas.
24 b. Kelemahan - kelemahan kebijakan sanksi pidana kecelakaan lalu lintas saat ini yang mengacu UULAJR yaitu tidak ada pedoman pemidanaan untuk denda yang tidak dibayar baik kesengajaan atau kelalaian, sulit untuk melacak pelaku dalam perkara tabrak lari dan belum ada belum ada kwalifikasi yuridis; dalam penegakan hukum banyak menggunakan Restorative Justice; ada aparat penegak hukum dengan sumber daya manusia tidak profesional, bermental buruk; serta partisipasi masyarakat yang tidak tertib.
c. Rekontruksi kebijakan sanki pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas berdasarkan nilai- nilai keadilan Pancasila, meliputi : 1) kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas
dalam sistem peradilan pidana dengan merekontruksi Pasal 310, 311 dan 312 UULAJR dengan mengganti sanksi pidana denda menjadi ganti kerugian.
2) adanya nilai- nilai Pancasila dengan ide keseimbangan antara pelaku dan korban sebagai wujud kepastian hukum, manfaat dan keadilan dengan memberikan perlindungan kepada korban.
2. Implikasi Kajian
Berdasarkan penelitian tersebut diatas, maka dihasilkan implikasi teoritis dan implikasi praktis :
a. Implikasi Teoritis
Terjadi pergeseran kebijakan sanksi pidana kecelakaan lalu lintas yang melindungi masyarakat, pelaku dan korban secara berimbang dengan saksi pidana denda diganti ganti kerugian.
b. Implikasi Praktis
1) Perlunya harmonisasi peraturan perundang-undangan
antara KUHP dan UULAJR yang menyangkut masalah sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas dengan memperhatikan hukum yang hidup di masyarakat dalam menyelesaikan kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas.
2) Bahwa kebijakan sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas membutuhkan pemahaman yang menyeluruh dari semua pemangku kepentingan (stakeholders) dari tingkat pusat sampai daerah, meliputi masyarakat dan penegak hukum (Polri, Jaksa, Hakim, Pengacara dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan) dalam upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sesuai amanah UUD
25 1945 dan kerangka Negara kesatuan Pancasila yang berfalsafah Pancasila.
3) Bahwa ganti kerugian tidak diberikan kepada negara namun diberikan kepada korban dalam perlindungan.
3. Saran-Saran
a. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu mengamandemen Pasal 310, 311 dan 312 UULAJR mengenai sanksi pidana tindak pidana kecelakaan lalu lintas.
b. Diharapkan adanya penelitian lanjutan mengenai kebijakan sanksi pidana kecelakaan lalu lintas, mengenai pidana pokok (penjara, kurungan, denda dan tutupan) dengan pidana tambahan ( ganti kerugian).
26
SUMMARY OF DISSERTATION
RECONSTRUCTION OF CRIMINAL SANCTIONS FOR THE CRIMINAL ACTIONS OF TRAFFIC ACCIDENTS BASED ON PANCASILA JUSTICE
VALUES I. INTRODUCTION
1. Background
National Long-Term Development Plan 2005-2025, legal development is directed at the realization of a solid national legal system based on the Pancasila and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (1945 Constitution), that the development of national law is part of the development system including development legal material, legal structure including legal apparatus, legal facilities and infrastructure; the realization of a society that has a high awareness and legal culture in the context of realizing a rule of law; and the creation of a just and democratic society. The development of the national legal system needs to pay attention to the legal values that live in society. Such attention is reasonable, because the legal system currently in force in Indonesia, including the Criminal Code / WvS, is based on social values that are liberal individual and certainly differ from social values that are religious, monodualistic and collective.
Traffic Accidents that occur on the highway are criminal events because in the Traffic Accident there is an element of crime as formulated in Law Number 22 Year 2009 concerning UULAJR dated June 22, 2009, then in the Traffic Accident the perpetrators can be accounted for under Articles 310 to with Article 312 UULAJR. By looking at the process of handling traffic accidents that do not provide a sense of justice and tend to law enforcement officials can abuse authority in the context of handling traffic accidents, it is necessary to prevent crime that must be carried out integrally or systematically.
Penalty theory traditionally can be divided into two groups, namely (1) absolute theory or retributive / vergeldingtheorieen theory, according to this theory criminal imposed solely because people have committed a crime or a crime (quiapeccatumest). Criminal is an absolute consequence that must exist as a retaliation to someone whocommit crime. So the basis of justification of the
27 criminal lies in the existence or occurrence of the crime itself, (2) the theory of relative or theory of purpose (utilitarian / doeltheorieen), according to this theory the conviction is not to satisfy the absolute demands of justice. Vengeance itself has no value, but only as a means to protect the interests of society. Criminal is not just to retaliate or reward people who have committed a crime, but has certain useful purposes. Therefore, even this theory is often called the goal theory (Utilitarian theory). In its development the criminal objectives include joint theory and contemporary theory as follows (3) joint theory, Vos explicitly states that in addition to absolute theory and relative theory there is also a third group called joint theory. Here there is a combination of retaliation and public order "...
dederdegroep, de verenigingstheorieen. Hiervindt men eencombinatie van de
gedachten der vergelding en der bescherming van de maatschappelijkeorde). Still
according to Vos, in addition to the emphasis on retaliation, the purpose of the nature of the retaliation is needed to protect legal order (... men alsuitgangspunt de vergeldingnemen en deze and beperken in die zin, datnietverder mag wordengegaan and voor de handhaving der rechtsordenodig is). As an adherent of the combined theory, Vos stated that the same emphasis on crime is retaliation and community protection (... .. men kanalsuitgangspunt de vergeldingnemen en dezedanbeperken in die zin, datnietverder mag wordengegaandanvoor de
handhaving der rechtsordenodig is). Thus, Vos gives the same weight between
vengeance and protection of society, (4) contemporary theory, in addition to absolute theory, relative theory and combined theory as criminal objectives, in its development there are new theories which the authors call contemporary theories. When examined more deeply, in fact these contemporary theories are derived from the three theories mentioned above with some modifications. Wayne R. Lafave said that one of the criminal objectives is as a deterrence effect, so that the perpetrators of crimes no longer repeat their actions. Likewise, criminal aims to educate the public about which actions are good and which actions are bad. The criminal purpose as a deterrence effect is essentially the same as the relative theory related to special prevention.
28 Renewal of criminal law as a whole must include renewal of material criminal law (substantive criminal law), formal criminal law (criminal procedural law) and criminal implementation law (strafvollstreckungesetz). The three areas of law must be jointly renewed, if one of the fields is renewed while the other is not, then there will be difficulties in its implementation and the purpose of the reform will not be achieved entirely. The desire and effort to conduct studies / excavation of living law (sourced from the values of religious law and traditional / customary law) has often been expressed in various scientific forums. That desire shows awareness, the need to explore legal norms that are rooted and rooted in cultural, moral and religious values. The study or discussion of basic ideas or basic ideas is very important because it builds or reforms the law (law reform) in particular the penal reform is essentially building or renewing the basic ideas / concepts / ideas, not just renewing or replacing the formulation article (law) textually. Based on this, the authors are interested in conducting research with the title:
"Reconstruction Of Criminal Sanctions For The Criminal Actions Of Traffic Accidents Based On Pancasila Justice Values".
2. Study Focus and Problems
Based on the description on the background of the problem above, the problem formulation of the research is proposed as follows:
a. Why hasn't the criminal sanction policy for traffic accidents been implemented fairly?
b. What are the current weaknesses in the witness policy of the crime of traffic accidents?
c. How do you reconstruct the policy of criminal sanctions for traffic accidents based on the values of Pancasilajustice ?.
3. Objectives
a. To uncover and analyze the criminal sanctions policy on traffic accidents based on current positive law.
29 b. To uncover and analyze the weaknesses of the current witness policy of
traffic accidents.
c. To find a policy of reconstructing criminal sanctions for traffic accidents based on the values of Pancasila justice.
4. The Purpose of the Research
a. Theoretical, with this research, then:
1) Can build new theories about the policy of criminal sanctions for traffic accidents based on the values of Pancasila justice.
2) It is expected to be a material for thought for law enforcement officials in carrying out the policy of criminal sanctions for traffic accidents based on the values of Pancasila justice.
b. Practically, this research is expected to be able to increase research knowledge relating to the reconstruction of policies on criminal sanctions for traffic accidents based on the values of Pancasila justice.
5. Research Methods
a. Research Approach
This study uses sociological juridical methods with qualitative methods supported by primary and secondary data. The use of a sociological juridical approach is carried out because the study in this study is to look directly at the facts in the field in relation to the law that lives in the community's role in resolving traffic accidents. If you study the law in such reality, it must go beyond the limits of the rule of law and observe practices and / or laws as practiced by people in society. This approach is often called the empirical juridical approach.
b. Research Specifications
The research specification used is descriptive analysis, which is describing applicable regulations (positive law) and then related to legal theories. Descriptive means that this research is expected to be able to explain the picture of the reconstruction of the policy of criminal sanctions for traffic accidents based on the
30 values of Pancasila justice. Analytical means that the results of this study are expected to be able to decipher the various data findings, both primary and secondary, which are directly processed and analyzed with the aim of clarifying the data in categories, compiling systematically and subsequently discussed or logically examined.
c. Data Analysis Method
Techniques of data analysis of primary data, researchers used technical data analysis types Strauss and J. Corbin, namely by analyzing data since researchers were in the field (field). Furthermore, researchers conducted the preparation, categorization of data in a pattern / theme. After the data has been validated, researchers conduct qualitative inductive reconstruction and analysis to be able to answer the problem. Data will be analyzed using an interactive model proposed by Mattew B. Miles and A. Michael Huberman which includes 3 (three) activities, namely data reduction, data presentation and drawing conclusions or verification.
d. Theoretical framework
In analyzing the three problems justice theory is used as the grand theory; Law Enforcement and Alternative Dispute Resolution theories as middle theories and progressive legal theories, victim protection, compensation and legal harmonization as applied theories.
Law and justice are two things that cannot be separated. When talking about legal issues, then clearly and vaguely, we will dive right up to the issue of justice. That means the law is not in its context as a mere formal building, but rather as part of the expression of the ideals of society.
II. RESEARCH RESULTS AND DISCUSSION
1. Traffic Accident Criminal Sanction Policy Based on the Criminal Code (WvS)
31 There is still a dualism of legislation used in the enforcement of criminal sanctions for traffic accidents namely the Criminal Code and UULAJR Article of the Criminal Code used in the policy of criminal sanctions for traffic accident accidents namely Article 338, 359, 360, 361.
Crimes in Article 338 of the Criminal Code are called "treason" or "murder" (doodslag). Here an action is needed which results in the death of another person, whereas the death was intentional, that is to say, included in his intention. If his death is not intended, not included in this article, it may be included in Article 359 of the Criminal Code (due to lack of caution, causing the death of others), or Article 353 sub 3 of the Criminal Code of persecution planned premeditated, resulting in death), or Article 354 sub 2 (severe persecution results in death), or Article 355 sub 2 of the Criminal Code (severe persecution planned in advance, results in death). Instead the murder must be carried out as soon as the intention to kill it arises, not with much thought.
2. Traffic Accident Criminal Sanction Policy Based on UULAJR
In UULAJR Article 310, 311 and 312 are used with criminal sanctions and fines, whereas in this UULAJR there are compensation payments for road traffic accident victims without any main or additional crimes, which are regulated in Article 236 UULAJR Paragraph (1): " The party who caused the Traffic Accident as referred to in Article 229 is obliged to compensate the loss in the amount determined based on a court decision. "Furthermore, in Paragraph (2): the obligation to compensate as referred to in Paragraph (1) on a Traffic Accident as referred to in article 229 Paragraph (2) may be carried out outside the court if there is a peace agreement between the parties involved.
In the existing provisions in the Criminal Code and UULAJR that are currently in effect cannot support efforts to give attention to victims because the types of sanctions that exist can directly provide protection to victims. The absence of a criminal type that provides protection to the victim, especially in relation to providing compensation to the victim, influences the judge in passing a criminal decision in order to provide protection to the victim, especially in relation
32 to the order to provide compensation. But so far the judge has never handed down a conditional criminal verdict in connection with a traffic accident, because in UULAJR the criminal sanctions for traffic accidents provided for in Articles 310 to 312 there are no criminal penalties for compensation.
3. Legal Comparison of Criminal Sanctions for Foreign Countries
In this dissertation, the researcher compares the Traffic Laws in various countries that are related to the implementation of traffic accident sanction policies, including the Netherlands, England, Portugal and Yugoslavia. And in general these foreign countries use the Criminal Code (KUHP) which provides protection for victims.
This is related to the operational policies carried out in the process of investigating traffic accidents, the traffic accident investigators at the Traffic Units who conduct the investigation process always prioritize the provision of compensation from suspects to victims and their heirs. Although in the current UULAJR there is no formulation of the objective of punishment, in the current development it has been realized that the purpose of punishment is very important in relation to the willingness of the victim to accept the wrongs committed by criminal offenders and forgiveness is the main element of eliminating conflict by restoring balance and bring a sense of peace in society.
These countries do not explicitly apply compensation sanctions, but the obligation to pay a sum of money to the state for the benefit of victims, which is then sent to victims without delay (Article 36f of the Dutch Penal Code).
4. Judge's Decision Regarding Criminal Sanctions for Traffic Accidents
No. Case Chapter Putusan
1 AccidentkaLntas Metro Mini TanjungPriok date. March 6, 1994, Tsk MarojahanSilitonga, victim 32 MD, 13
338 KUHP PN North Jakarta, 15 TH PRISONS
33
LB
2 AccidentLantasTuguTani, date. 22 Jan 2012, Tsk AfrianiSusanti, victim 9 MD
311 Paragraph (5) UULAJR
PN Jakarta Pusat, 29 Aug 2012, 15 TH PRISONS 3 AccidentJagorawi, on 2nd Jan 2013
Tsk Rashid AmrullahRajasa, victim 2 MD, 3 LB
311 Ayat (4) UULAJR
East Jakarta District Court, March 23, 2013, 5 months in prison with a 6 month government term and a 12 million fine
4 Accident Then MikroletTamansari, date. Feb 23 2017, Tsk
HeryTomyChistian, victim 1 MD
310 Ayat (4) UULAJR
PN West Jakarta, 14 Aug 2017, 2 TH PRISONS and Fines Rp. 5M
5 AccidentLantas in KarangAnyar, date. September 21, 2009, Tsk LanjarSriyanto, victim 1 MD (Saptaningsih) 359 and 360 Paragraph (2) of the Criminal Code 1. PN Karanganyar March 4, 2010 (free) 2. PT Jateng, imprisonment for 1 (one) month for 7 days
6 AccidentLantas on the Cipularang Toll on. 3 Sept 2011, Tsk SyaifulJamil, 1 MD Virginia Anggraeni victim
310 UULAJR PN Purwakarta, 19 Sep 2012, 5-Month Prison Term with a Trial Period
7 Accident So in Kendal, date. March 25, 2015, Tsk Purwanto, 1 MD and 1 LR victims
310 Paragraph (1) and Paragraph (4)
Kendal District Court, 15 Aug 2015, 25-day Prison Term and 500 Rb Fine. 8 Then in Rembang, dated. June 20,
2017, Tsk Budi Santoso, Victim of 1 MD and 1 LB 310 Paragraphs (1), (3) and (4) UULAJR PN Rembang, 24 Feb 2017, Prison Sentence 1 Th 6th Month
9 AccidentLantas in Surakarta, date. 22 Aug 2018, Tsk IwanAndranacus, Victim 1 MD
311 Paragraph (5) UULAJR
Surakarta State Court, 29 Jan 2019, Prison sentence 1 year.
Many cases of traffic accidents in the police are processed by investigation (by the penalties) but more by non-penalties, especially in dealing with accidents involving minor injuries or material losses. The researcher research results on cases of traffic accidents and interviews with respondents to this study obtained information on police traffic accident sanctions policies more settlement of traffic
34 accidents, especially for victims of minor injuries and material losses completed with restorative justice. This the researcher is aware of data from the settlement of traffic accidents in the Central Java Regional Police and certain Police district in the period of 5 (five) years 2013 to 2017.
Data of Accidents and Settlement of Traffic Lights in the Regional Police of Central Java in 2013 - 2017
No Unity Number of events completion RJ Completion Percentage SPP RJ 1 POLDA JATENG 81.159 8.522 72.637 89,49 2 POLICE DISTRICT KENDAL 1.988 404 1.584 79,67 3 POLICE DISTRICT BREBES 3.007 278 2.729 90,75 4 POLICE DISTRICT REMBANG 2.236 168 2.068 92,48 5 POLICE DISTRICT MAGELANG 3.392 380 3.012 88,79
Source: Processed from various data in Central Java Regional Police, Kendal Regional Police, Bresbes Regional Police, Rembang Regional Police and Magelang Regional Police Early in 2018.3
Based on the above table, it can be seen that the settlement of traffic accident cases at Brebes, Kendal, Rembang and Magelang Regional Police Offices, mostly leads to the restorative justice settlement, which is settlement
Traffic Accident Data in the past 5 years (2013-2017) with explanation
1. Number of Events, is explaining the number of traffic accident incidents in each of the police jurisdictions;
2. SPP Settlement, is the settlement of traffic accidents based on legal provisions (Criminal Justice System / KUHAP) in the form of investigation and Case Files submitted to the Public Prosecutor (P-21) and or the investigation process / SP3 is terminated (insufficient evidence / does not meet the elements / by law) and / or delegated to the side agency;
3. Settlement of RJ (Restorative Justice), is the settlement of traffic accidents based on requests from parties who have made peace because justice and benefits have been achieved, the form of settlement based on Restorative Justice at the investigation level is not known as a formal juridical but practically juridical has been carried out because of the requests of the the parties involved in the accident, so for legal certainty, the administrative form of the settlement is the settlement of the violations that cause traffic accidents in the form of a traffic ticket (act of subscribing), the process of a Fast Minutes (BAC) or a Short Minutes (BAS) and submitted by an agency other.