• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSUMSI MAKANAN PENDUDUK INDONESIA DITINJAU DARI NORMA GIZI SEIMBANG (FOOD CONSUMPTION IN TERM OF THE NORM OF BALANCED NUTRITION)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSUMSI MAKANAN PENDUDUK INDONESIA DITINJAU DARI NORMA GIZI SEIMBANG (FOOD CONSUMPTION IN TERM OF THE NORM OF BALANCED NUTRITION)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KONSUMSI MAKANAN PENDUDUK INDONESIA DITINJAU DARI NORMA GIZI SEIMBANG (FOOD CONSUMPTION IN TERM OF THE NORM OF BALANCED NUTRITION)

Amalia Safitri1, Abas Basuni Jahari1, dan Fitrah Ernawati2

1Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Mayarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta, Indonesia

2Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Jl. Percetakan Negara No. 23 Jakarta, Indonesia

E-mail: twin_fit@yahoo.co.id

Diterima: 20-10-2016 Direvisi: 01-12-2016 Disetujui: 09-12-2016

ABSTRACT

Currently Indonesia is facing double burden nutrition problems, undernutrition and overnutrition.The Riskesdas, national basic health survey in 2013 the prevalence of underweight is 19.6 percent and 11.9 percent overweight. One of the causes of malnutrition is a problem in selecting healthy food that can lead to problems in food variety, proportion and adequacy required by the body. The purpose of this analysis is to assess food consumption pattern of the population in both quality and quantity which is a representation of the first pillar of balanced nutrition guide (Pedoman Gizi Seimbang). Data from the Individual Food Consumption Survey (SKMI) in 2014 was used for this analysis. The diversity of food is analyzed based on the types of food consumed, the proportion of consumption data obtained from the consumption of carbohydrate, protein and fat, and the adequacy energy consumption as evaluated based on total energy consumption of the sample compared to Dietary Allowances (RDA). The results showed that only food variety is in better situation than the proportion and energy adequacy Recommendation,nutrition education should be intensified either through formal channel (via schools or other institution) or informal channel (pengajian, arisan, karang taruna, majlis taklim, sekolah minggu di gereja) conveying the messages of balanced nutrition.

Keywords : adequacy, dietery diversity, proportion

ABSTRAK

Saat ini Indonesia disebut menghadapi permasalahan gizi ganda, yaitu adanya masyarakat yang kekurangan gizi, namun sebaliknya ada juga yang kelebihan. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 prevalensi underweight sebesar 19,6 persen dan kegemukan sebesar 11,9 persen. Salah satu penyebab dari kejadian ini adalah adanya kesalahan dalam pola makan yang tidak memperhatikan keragaman, proporsi dan kecukupan energi yang dibutuhkan oleh tubuh.Tujuan dari analisis ini adalah untuk melihat bagaimana pola konsumsi penduduk baik kualitas maupun kuantitasnya yang merupakan cerminan dari pilar pertama gizi seimbang. Analisis ini menggunakan data dari Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) tahun 2014. Keragaman makanan didapatkan dari data hidangan dan jenis bahan makanan, proporsi konsumsi didapatkan dari data konsumsi bahan makanan sumber karbohidrat (KH), protein dan lemak dan data kecukupan didapatkan dari total energi yang dikonsumsi dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG). Hasil yang didapat dari analisis ini secara umum keragaman konsumsi makanan penduduk di Indonesia sudah baik, namun pada proporsi dan kecukupan konsumsi masih kurang. Saran dari hasil analisis ini adalah perlu digalakkannya pedoman gizi seimbang dan lebih memahami pentingnya menjaga kualitas dan kuantitas konsumsi makanan agar sehat dan terhindar dari penyakit. [Penel Gizi Makan 2016, 39(2):87-94]

Kata kunci : kecukupan konsumsi, keragaman, proporsi

(2)

PENDAHULUAN

edoman gizi seimbang (PGS) saat ini digunakan sebagai acuan perilaku yang sehat. Pedoman ini untuk menggantikan slogan 4 sehat 5 sempurna dan sudah diimplementasikan sejak tahun 1955. Prinsip PGS memiliki 4 pilar yaitu, mengkonsumsi pangan beranekaragam, membiasakan perilaku hidup bersih, melakukan aktivitas fisik dan memantau berat badan normal5.

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang masih memiliki masalah gizi. Permasalahan gizi yang dihadapi cukup kompleks yaitu kurus (wasting), pendek (stunting) dan obesitas1. Ini tidak hanya terjadi pada masa anak-anak, namun terjadi juga pada usia dewasa. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, di Indonesia prevalensi

underweight sebesar 19,6 persen dimana

prevalensi balita kurus sebesar 12,1 persen yang artinya masih menjadi masalah yang serius karena menurut WHO 2010 masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi kurus antara 10-14 persen dan kritis bila ≥15 persen. Prevalensi stunting di Indonesia tahun 2013 menurut data Riskesdas sebesar 37,2 persen. Hal ini menunjukan permasalahan gizi yang sudah cukup kronis di Indonesia. Sedangkan prevalensi kegemukan tahun 2013 sebesar 11,9 persen2, menurut data semakin bertambah usia, prevalensi kegemukan juga bertambah.

Permasalahan gizi yang terjadi saat ini akibat dari kesalahan dalam pola makan dimana banyak orang tidak memperhatikan keragaman konsumsi makanan, kebutuhan tubuh terhadap energi dan proporsi makanan yang seimbang. Sebagian masih beranggapan “asal kenyang” padahal sebenarnya kenyang yang dirasakan belum tentu memenuhi kebutuhan tubuh yang berakibat kekurangan gizi. Sebaliknya kita tidak menyadari energi yang didapat dari makanan yang “asal kenyang” tersebut melebihi kebutuhan tubuh sehingga potensial menyebabkan obesitas yang erat kaitannya dengan penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, hipertensi dan stroke. Perilaku ini sudah banyak dijumpai pada usia anak-anak, terutama usia sekolah yang banyak mengonsumsi jajanan dengan nilai densitas energi yang tinggi yang tinggi karbohidrat ditambah gula dan lemak sehingga lebih lezat namun murah15.

Kesalahan dalam pola konsumsi dapat diperbaiki apabila seseorang mengikuti PGS. Menurut data Riskesdas tahun 2010 konsumsi pangan di Indonesia masih belum sesuai dengan pedoman gizi seimbang3, dimana

konsumsi sayur, buah dan protein masih rendah sedangkan konsumsi garam, gula dan lemak cukup tinggi.

Analisis ini bertujuan untuk melihat pola konsumsi makanan penduduk ditinjau dari pilar pertama gizi seimbang yaitu keanakeragaman dan kecukupan makanan yang dikonsumsi.

Data SKMI yang sama juga telah digunakan pada beberapa artikel antara lain, Kontribusi Asupan Zat Gizi Sarapan Pagi terhadap Total Energi protein Usia Anak Sekolah, Karakteristik Konsumsi Gizi Makro berdasarkan Status Obesitas, Besaran Keragaman dan Kualitas Konsumsi Bahan Makanan pada Ibu Hamil di Indonesia dan Kontribusi Beberapa Kelompok Bahan Makanan terhadap Asupan Energi dan Protein pada Anak Usia 5-18 Tahun, namun artikel-artikel tersebut tidak membahas kualitas dan kuantitas konsumsi secara keseluruhan yang dilihat dari pilar pertama pedoman gizi seimbang.

METODE

Analisis ini menggunakan data dari hasil Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) tahun 2014. Sampel adalah penduduk yang mempunyai data konsumsi makanan dan minuman berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, wilayah, tingkat ekonomi dan tingkat pendidikan. Data dianalisis untuk menentukan keragaman, proporsi dan kecukupan makanan yang dikonsumsi.

Data hasil SKMI berupa jenis hidangan dan bahan makanan, konsumsi karbohidrat, protein dan lemak serta kecukupan energi dianalisa untuk menentukan kualitas dan kuantitas konsumsi. Kualitas konsumsi yaitu keragaman dan proporsi didapatkan dari jenis hidangan dan bahan makanan sedangkan proporsi konsumsi dilihat dari jumlah konsumsi karbohidrat, protein dan lemak sebagai kontributor terhadap energi. Kuantitas makanan yaitu kecukupan energi didapatkan dari analisis kecukupan energi yang dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG).

Data keragaman konsumsi, proporsi karbohidrat, protein dan lemak dan kecukupan energi disajikan berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, wilayah tempat tinggal, tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi.

Keragaman bahan makanan dibagi berdasarkan kelompok 1) Serealia, umbi dan makanan berpati lainnya; 2) Sayuran; 3) Buah-buahan; 4) Kacang-kacangan dan hasil olahannya; 5) Daging, unggas, ikan, telur, susu dan hasil olahannya; 6) Minyak, lemak dan gula12. Keragaman yang baik apabila

P

(3)

mengonsumsi ≥4 kelompok bahan makanan sedangkan kurang baik bila mengonsumsi ≤3 kelompok bahan makanan.

Proporsi makanan merupakan

perbandingan komposisi terhadap karbohidrat, protein dan lemak yaitu 60:15:25 persen. Proporsi akan dinilai baik bila komposisi karbohidrat 50-70 persen, protein 10-20 persen dan lemak 20-30 persen sebaliknya dinilai kurang baik bila komposisi karbohidrat <50 dan >70 persen, protein <10 dan >20 persen dan lemak <20 dan >30 persen.

Kecukupan berdasarkan persentase konsumsi energi terhadap Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan. Kecukupan dinilai baik bila persentase 80-120 persen AKG dan kurang baik bila persentase <80 persen dan >120 persen AKG.

HASIL

Keragaman Konsumsi

Keragaman konsumsi bila dilihat berdasarkan kelompok umur secara umum baik. Pada kelompok umur 6-12 tahun keragaman yang dinilai baik sebanyak 81,05 persen, 13-19 tahun sebanyak 83,94 persen, 20-45 tahun sebanyak 87,84 persen, 45-55 tahun sebanyak 89,66 persen dan 85,21 persen. Berdasarkan jenis kelamin keragaman konsumsi yang baik lebih banyak pada perempuan yaitu 87,29 persen sedangkan laki-laki sebanyak 85,86 persen. Keragaman konsumsi bila dilihat berdasarkan wilayah tempat tinggal lebih banyak pada wilayah perkotaan yaitu 90,73 persen, sedangkan di pedesaan sebanyak 82,39 persen. Berdasarkan tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin baik keragaman konsumsi. Pada tingkat pendidikan SD kebawah sebanyak 83,53 persen, SMP/SMA sebanyak 89,79 persen dan perguruan tinggi 95,19 persen. Berdasarkan tingkat ekonomi keragaman yang baik paling banyak pada tingkat ekonomi teratas yaitu 92,15 persen selanjutnya tingkat ekonomi menengah atas sebanyak 90,85 persen, menengah sebanyak 88,07 persen, menengah bawah sebanyak 85 persen dan ekonomi bawah sebanyak 72,01 persen.

Proporsi Konsumsi

Proporsi konsumsi karbohidrat, protein dan lemak yang baik berdasarkan kelompok umur, paling banyak pada kelompok umur 46-55 tahun yaitu 27,94 persen, disusul kelompok umur 20-45 tahun yaitu 27,13 persen, kelompok umur ≥56 tahun yaitu 25,96 persen, kelompok umur 13-19 tahun 24,89 persen dan

yang paling sedikit kelompok umur 6-12 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, proporsi yang baik lebih banyak pada laki-laki yaitu 27,47 persen, sedangkan pada perempuan 25,39 persen.

Berdasarkan wilayah tempat tinggal, proporsi konsumsi yang baik lebih banyak di wilayah perkotaan yaitu 28,03 persen, sedangkan perdesaan 24,82 persen.

Bila dilihat dari tingkat pendidikan proporsi konsumsi yang baik, paling banyak pada penduduk yang berpendidikan perguruan tinggi (PT) sebesar 27,83 persen disusul pendidikan SMP/SMA yaitu 27,52 persen dan pendidikan SD ke bawah sebesar 25,55 persen.

Berdasarkan tingkat ekonomi, proporsi konsumsi yang baik paling banyak terdapat pada kelompok ekonomi menengah atas yaitu 28,38 persen, disusul kelompok menengah yaitu 28,07 persen, kelompok menengah bawah yaitu 26,32 persen, teratas yaitu 26,29 persen dan paling sedikit pada kelompok terbawah yaitu 21,30 persen.

Kecukupan Konsumsi

Kecukupan konsumsi yang baik, bila dilihat berdasarkan kelompok umur paling banyak pada kelompok umur 6-12 tahun sebesar 38,07 persen, disusul kelompok umur ≥56 tahun sebesar 32,95 persen, 46-55 tahun sebesar 31,43 persen, 20-45 tahun sebesar 28,60 persen dan paling sedikit kelompok umur 13-19 tahun yaitu 27,06 persen.

Berdasarkan jenis kelamin, kecukupan konsumsi makanan yang baik lebih banyak pada laki-laki dibanding perempuan, yaitu pada laki-laki sebesar 30,87 persen dan pada perempuan 29,93 persen.

Berdasarkan wilayah tempat tinggal, kecukupan konsumsi yang baik lebih banyak ditemukan pada penduduk yang tinggal di daerah perkotaan yaitu 32,81 persen dan pada daerah pedesaan sebanyak 27,98 persen.

Berdasarkan tingkat pendidikan, kecukupan konsumsi yang baik lebih banyak didapatkan pada penduduk yang berpendidikan PT yaitu 35,66 persen, disusul penduduk yang berpendidikan SMP/SMA sebesar 30,70 persen dan paling sedikit pada penduduk yang mempunyai pendidikan SD ke bawah yaitu 29,68 persen.

Kecukupan konsumsi yang baik berdasarkan tingkat ekonomi paling banyak ditemuai pada tingkat ekonomi teratas yaitu 34,36 persen disusul menengah atas 32,42 persen, tingkat menengah 310,32 persen, tingkat menengah bawah 28,40 persen dan paling sedikit pada tingat ekonomi terbawah sebesar 24,46 persen.

(4)

Tabel 1

Persentase Keragaman, Proporsi dan Kecukupan Energi Konsumsi Makanan berdasarkan Karakteristik Penduduk di Indonesia

Karakteristik Penduduk Keragaman Konsumsi (%) Proporsi Konsumsi (%) Kecukupan Konsumsi (%)

Baik Baik Baik

Kelompok Umur - 6-12 th 81,05 23,47 38,07 - 13-19 th 83,94 24,89 27,06 - 20-45 th 87,84 27,13 28,6 - 46-55 th 89,66 27,94 31,43 - ≥56 th 85,21 25,96 32,95 Jenis Kelamin - Laki-laki 85,86 27,47 30,87 - Perempuan 87,29 25,39 29,93 Wilayah Tempat Tinggal - Perkotaan 90,73 28,03 32,81 - Perdesaan 82,39 24,82 27,98 Tingkat Pendidikan - SD kebawah 83,53 25,55 29,68 - SMP/SMA 89,79 27,52 30,7 - PT 95,19 27,83 35,66 Tingkat Ekonomi - Terbawah 72,01 21,3 24,46 - Menengah Bawah 85 26,32 28,4 - Menengah 88,07 28,07 30,32 - Menengah Atas 90,85 28,38 32,42 - Teratas 92,15 26,29 34,36

Kualitas dan Kuantitas Konsumsi

Kualitas dan kuantitas konsumsi penduduk didapatkan dari penilaian terhadap keragaman, proporsi dan kecukupan konsumsi. Bila dilihat berdasarkan kelompok umur, kualitas dan kuantitas konsumsi yang baik paling banyak didapatkan pada kelompok umur 46-55 tahun yaitu 1,74 persen, disusul kelompok umur ≥56 tahun 1,56 persen, 20-45 tahun sebesar 1,34 persen, 6-12 tahun sebesar 1,30 persen dan paling sedikit pada kelompok umur 13-19 tahun sebesar 1,09 persen.

Berdasarkan jenis kelamin kualitas dan kuantitas konsumsi yang baik lebih banyak didapatkan pada laki-laki dibandingkan perempuan yaitu 1,50 persen pada laki-laki dan pada perempuan sebesar 1,30 persen.

Berdasarkan wilayah tempat tinggal kualitas dan kuantitas konsumsi yang baik lebih

banyak didapatkan pada penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan yaitu 1,57 persen dan pada wilayah pedesaan sebesar 1,23 persen.

Kualitas dan kuantitas konsumsi yang baik berdasarkan tingkat pendidikan paling banyak didapatkan pada penduduk yang berpendidikan PT yaitu sebesar 1,99 persen, pendidikan SMP/SM sebesar 1,47 persen dan pendidikan SD ke bawah sebesar 1,30 persen.

Berdasarkan tingkat ekonomi, kualitas dan kuantitas konsumsi yang baik paling banyak didapatkan pada tingkat ekonomi teratas yaitu sebesar 1,72 persen, disusul tingkat ekonomi menengah sebesar 1,53 persen, menengah atas sebesar 1,39 persen, menengah bawah sebesar 1,15 persen dan paling sedikit pada tingkat ekonomi terbawah yaitu sebesar 1,10 persen.

(5)

Tabel 2

Persentase Kualitas dan Kuantitas Konsumsi Makanan berdasarkan Karakteristik Penduduk Indonesia

Karakteristik Penduduk RKPKCK RKPKCB RKPBCK RKPBCB RBPKCK RBPKCB RBPBCK RBPBCB Kelompok Umur 6-12 th 12,31 6,15 0,27 0,22 47,24 30,39 2,11 1,30 13-19 th 12,52 3,19 0,31 0,05 57,55 22,74 2,56 1,09 20-45 th 10,19 1,75 0,18 0,04 57,77 25,47 3,25 1,34 46-55 th 08,20 1,85 0,24 0,06 56,99 27,78 3,15 1,74 ≥56 th 11,75 2,69 0,25 0,10 52,33 28,60 2,73 1,56 Jenis Kelamin Laki-laki 11,12 2,73 0,21 0,08 54,84 26,57 2,96 1,50 Perempuan 10,06 2,34 0,24 0,07 56,82 26,22 2,95 1,30 Wilayah Tempat Tinggal Perkotaan 07,05 1,93 0,23 0,05 56,61 29,26 3,29 1,57 Perdesaan 14,15 3,15 0,22 0,10 55,04 23,50 2,61 1,23 Tingkat Pendidikan SD kebawah 12,91 3,18 0,28 0,10 54,40 25,11 2,73 1,30 SMP/SMA 08,17 1,84 0,17 0,04 57,71 27,36 3,25 1,47 PT 03,82 0,87 0,09 0,04 57,28 32,77 3,15 1,99 Tingkat Ekonomi Terbawah 23,04 4,55 0,30 0,10 49,63 18,70 2,57 1,10 Menengah Bawah 11,85 2,84 0,21 0,12 56,61 24,30 2,93 1,15 Menengah 09,50 2,15 0,23 0,06 57,01 26,58 2,93 1,53 Menengah Atas 06,80 2,04 0,26 0,05 57,26 28,94 3,27 1,39 Teratas 05,86 1,78 0,16 0,04 56,72 30,81 2,90 1,72 Keterangan :

- RKPKCK : keragaman kurang baik, proporsi kurang baik, kecukupan kurang baik - RKPKCB : keragaman kurang baik, proporsi kurang baik, kecukupan baik - RKPBCK : keragaman kurang baik, proporsi baik, kecukupan kurang baik - RKPBCB : keragaman kurang baik, proporsi baik, kecukupan baik - RBPKCK : keragaman baik, proporsi kurang baik, kecukupan kurang baik - RBPKCB : keragaman baik, proporsi kurang baik, kecukupan baik - RBPBCK : keragaman baik, proporsi baik, kecukupan kurang baik - RBPBCB : keragaman baik, proporsi baik, kecukupan baik

BAHASAN

Pola konsumsi makan berpengaruh terhadap status gizi dan kesehatan atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “you are

what you eat”. Pola konsumsi yang baik akan

meningkatkan status kesehatan baik individu maupun masyarakat. Sebaliknya pola konsumsi yang buruk menjadi faktor risiko terjadinya berbagai masalah gizi seperti

underweight, overweight, wasting, obesity, dan stunting, penyakit tidak menular (PTM) seperti

stroke, penyakit kardiovaskuler, diabetes dan kanker5. Selain itu berkaitan erat dengan status pertumbuhan dan perkembangan terutama pada masa balita, karena berdasarkan penelitian di Bangladesh keragaman konsumsi makanan yang baik pada anak dapat menurunkan prevalensi stunting10.

Dilihat dari keragaman, pola konsumsi makanan berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, wilayah tempat tinggal, tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi didapatkan bahwa rata-rata semuanya baik yaitu 86,50 persen. Hal ini disebabkan karena wilayah Indonesia yang merupakan daerah agraria sehingga ketersediaan pangan seperti sayuran dan buah-buahan cukup banyak. Keragaman pangan sebelumnya dimaknai keragaman pangan sumber karbohidrat, protein dan lemak4. Keragaman makanan dibutuhkan karena tidak ada satupun jenis pangan yang mengandung semua jenis zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh untuk pertumbuhan, perkembangan dan pertahanan daya tahan tubuh. Kecuali untuk bayi berusia 0-6 bulan, hanya membutuhkan ASI sebagai makanan tunggalnya.

(6)

Keragaman konsumsi pangan yang baik dimungkinkan karena pada keluarga tersebut secara ekonomi sudah cukup baik, sehingga alokasi dana untuk kebutuhan pangan cukup besar dan bisa membeli pangan yang beragam. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hascaryorini didapatkan 55,2 persen pendapatan keluarga digunakan untuk membeli kebutuhan pangan, sehingga semakain besar pendapatkan keluarga semakin besar pula daya beli terhadap kebutuhan pangan8. Penelitian yang dilakukan oleh Meitasari pada keluarga nelayan mendapatkan 21,54 persen saja yang mengonsumsi makanan beragam9.

H

asil analisis yang dilakukan semakin tinggi tingkat ekonomi, maka semakin baik keragaman konsumsi makanannya. Sama halnya dengan pengaruh ekonomi, pendidikan orang tua juga berpengaruh terhadap konsumsi makanan yang beragam. Meskipun pada saat ini banyak ibu yang bekerja di luar rumah, namun karena pengetahuan gizi yang baik, maka mereka dapat memilih makanan yang baik dan berguna bagi kesehatan. Hal ini sesuai dengan hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin baik keragaman konsumsi makanan pada individu tersebut.

Proporsi konsumsi makanan individu yang baik dilihat dari kelompok umur, jenis kelamin, wilayah tempat tinggal, tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi berdasarkan hasil analisis didapatkan masih cukup rendah yaitu sebesar 26,26 persen. Hal ini kemungkinan masih kurangnya pengetahuan masyarakat terkait proporsi makan yang baik. Masih banyak masyarakat yang berpikir “asal kenyang” sehingga tidak memperhitungkan proporsi makanan yang mereka konsumsi. Secara umum konsumsi makanan pada masyarakat proporsi karbohidrat jauh lebih besar dibandingkan dengan protein dan lemak. Ini terjadi pada daerah yang penduduknya pada tingkat ekonomi terbawah, karena daya beli terhadap makanan sumber protein dan lemak rendah. Selain itu makanan sumber karbohidrat mudah ditemukan dan harganyapun murah. Berbeda dengan masyarakat di wilayah perkotaan banyak individu yang mengonsumsi makanan sumber protein dan lemak. Hal ini disebabkan kecenderungan masyarakat perkotaan yang lebih memilih makanan cepat saji sebagai bagian dari gaya hidup dan akses mendapatkan makanan tersebut mudah. Peraturan Menteri Kesehatan No. 30 tahun 2013 tentang pencantuman informasi kandungan gula, garam dan lemak menyebutkan bahwa konsumsi lemak yang

dianjurkan seharusnya tidak boleh lebih dari 67 gram (5 sendok makan) per hari5.

Kecukupan energi yang baik berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, wilayah tempat tinggal, tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi secara umum cukup rendah yaitu sebesar 30,92 persen. Pada kelompok umur ≥56 tahun cenderung lebih banyak yang kecukupannya baik dikarenakan asupan dan aktivitas mereka seimbang. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Risonar MG dkk yang menyatakan bahwa meskipun asupan mikronutrien pada lansia kurang tetapi karena aktivitas fisik mereka tidak banyak maka kecukupannya terpenuhi11. Kecukupan energi yang tidak baik mempunyai dua kemungkinan, yaitu kekurangan atau kelebihan energi. Kurangnya kecukupan energi dimungkinkan akibat proporsi konsumsi yang tidak seimbang atau karena ketersediaan pangan di keluarga kurang, begitu juga dengan kelebihan energi dimungkinkan karena adanya proporsi konsumsi yang tidak seimbang dan berlebihan jumlahnya. Keadaan ini kemungkinan besar terkait masalah ekonomi dan pengetahuan mereka dalam memilih makanan.

Kecukupan energi bagi penduduk Indonesia diatur dalam Angka Kecukupan Gizi (AKG) berdasarkan Permenkes RI No. 75 tahun 2013. Aturan ini bertujuan untuk menilai kecukupan gizi berdasarkan konsumsi, sebagai acuan untuk pemberian makanan tambahan, pendididkan gizi dan pelabelan pada makanan kemasan.

Kualitas dan kuantitas konsumsi makanan merupakan gambaran dari gizi seimbang yaitu keragaman, proporsi dan kecukupan yang baik. Dari hasil analisis terhadap kualitas dan kuantitas secara bersamaan menunjukkan hanya 1,43 persen yang baik pada semua kelompok umur, jenis kelamin, wilayah tempat tinggal, tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi. Hal ini terjadi karena masih kurang baiknya proporsi konsumsi karbohidrat, protein dan lemak serta kecukupan konsumsi yang masih rendah walaupun keragamannya sudah baik. Hal ini kemungkinan terkait dengan kecenderungan masyarakat salah dalam menentukan makananya terutama remaja yang lebih banyak mengonsumsi sumber lemak dibandingkan sumber protein dan karbohidrat. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2011, Hardinsyah, dkk telah melakukan analisis data konsumsi makanan yang menunjukan bahwa rata-rata proporsi energi dari lemak penduduk Indonesia adalah 25-29 persen dari total konsumsi energi6. Ini menunjukkan bahwa proporsi konsumsi lemak lebih tinggi diban-

(7)

dingkan angka yang dianjurkan yaitu 10-15 persen5. Selain itu menurut Soon dan Tee, ketersediaaan, aksesibilitas dan keterjang-kauan pangan tidak menjamin kualitas gizi seseorang14. Kualitas konsumsi juga tergantung dengan pengetahuan akan pemilihan makanan yang tepat serta gaya hidup aktif dan sehat13.

KESIMPULAN

Konsumsi makanan penduduk Indonesia secara umum masih belum memenuhi pilar pertama pesan gizi seimbang. Ini dilihat dari kualitas dan kuantitas konsumsi makanan penduduk dari usia 6 tahun ke atas yang baik keragaman, proporsi dan kecukupannya didapatkan hanya 1,43 persen. Meskipun keragaman sudah baik, namun dari segi proporsi dan kecukupan persentasenya masih kecil.

SARAN

Perlu diintensifkan upaya edukasi gizi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang gizi seimbang, baik melalui saluran formal (TK, SD, SMP, SMA, KUA) maupun non formal (pengajian, arisan, majlis taklim, sekolah minggu di gereja). Pesan gizi seimbang yang menyarankan agar makanan kita harus dipenuhi sumber karbohidrat, protein, lemak dan mineral, masih melekat di sebagian penduduk kita, hal ini cukup berhasil karena persentase penduduk yang baik keragaman makanannya cukup tinggi. Terkait hal tersebut, perlu kiranya sektor terkait lebih menggalakkan lagi pesan dalam pedoman gizi seimbang terutama pilar pertama, sehingga tidak hanya keragaman yang terpenuhi tetapi proporsi yang seimbang dan kecukupan yang baik juga terpenuhi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI yang sudah memberikan kesempatan untuk melakukan analisis data SKMI tahun 2014, juga kepada semua pihak yang sudah membantu dalam analisis ini.

RUJUKAN

1. International Food Policy Research Institute. Global nutrition report 2014:

action and accountability to accelerate the world’s progress on nutrition. Washington

DC: International Food Policy Research Institute, 2014.

2. Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Laporan riset kesehatan

dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan

Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan, 2013.

3. Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Studi diet total: survey

konsumsi makanan individu 2014. Jakarta:

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2014.

4. Hardinsyah. Review faktor determinan keragaman konsumsi pangan. Jurnal Gizi

dan Pangan. 2007;2(1):55-74

5. Indonesia, Direktorat Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kementerian Kesehatan RI. Pedoman gizi seimbang. Jakarta: Direktorat Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kementerian Kesehatan RI, 2014.

6. Hardinsyah, Riyadi H, dan Napitupulu V. Kecukupan energi, protein, lemak dan karbohidrat. Jurnal Gizi dan Pangan. 2014;9(2):55-74.

7. Indonesia, Kementerian Kesehatan RI.

Peraturan Menteri Kesehatan No. 75 tahun 2013 tentang angka kecukupan gizi.

Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2013. 8. Hascaryorini LW. Analisis hubungan proporsi pengeluaran dan konsumsi pangan dengan ketahanan pangan rumah tangga petani Kabupaten Sragen. Skripsi. Surakarta: Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2012.

9. Meitasari D. Analisis determinan konsumsi pangan pada keluarga nelayan. Skripsi. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, 2008.

10. Rah JH, Akhter N, Semba RD, Pee SD, Bloem MW, Campbell AA et al. Low dietery diversity is predictor of child stunting in rural Bangladesh. Eur J Clin

Nutr. 2010;64:1393-1398.

11. Risonar MD, Solon PR, Ribaya JD, Solon JA, Cabalda AB, Tengco LW, et al. Phsycal activity, energy requerements, and adequacy dietary intakes of older persons in a rural Filifino community. Nutr

J. 2009;8(19).

12. Indonesia, Departemen Kesehatan RI, Panduan makan untuk hidup sehat. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat, Departemen Kesehatan RI, 2002.

13. Rimadianti DMA, Daryanto A, Baliwati YF. Strategi peningkatan ketahanan pangan

(8)

Dinas Pertanian dan Ketahananan Pangan Kota Tangerang Selatan. Jurnal

Gizi dan Pangan. 2016;11(1):75-82

14. Soon JM, and Tee ES. Changing trend in dietary pattern and implication to food and nutrition security in association of south east Asian nations (ASEAN). International

Journal of Nutrition and Food Science.

2014;3(4):259-269.

15. Nuzrina R, dan Wiyono S. Biaya bahan makanan, densitas energi makanan dan status gizi wanita pedagang pasar Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Nutrire. 2010;2(1):1-10.

Referensi

Dokumen terkait

MERUJUK Pernyataan Kehendak antara Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur, Republik Indonesia dan Pemerintah Rakyat Kota Jinan, Provinsi Shandong,

Hasil pengamatan berat kering total tanaman dari data Tabel 8 menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi larutan daun pepaya yang diberikan hingga 100%, dapat

Menurut penelitian yang dilakukan Yando (2018) Pertumbuhan Perusahaan dapat memoderasi pengaruh struktur modal terhadap nilai perusahaan untuk meningkatkan nilai

Kaki diabetik terutama terjadi pada penderita diabetes melitus yang. telah menderita 10 tahun atau lebih dengan kadar glukosa

Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keberhasilan proses pembelajaran yang telah diberikan oleh guru pelajaran bahasa indonesia, oleh karena itu perlu

Karena peneliti ingin mengetahui tingkat kepatuhan membayar pajak di daerah tempat tinggalnya dengan empat variabel independen yang mungkin mempengaruhi, yaitu

[r]

lebih efektif daripada plasebo dan kombinasi ekstrak jahe dengan piridoksin lebih efektif daripada plasebo dalam menurunkan derajat mual dan episode muntah pada emesis gravidarum,