• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. yang dihadapi masyarakat kian meningkat. Salah satu masalah yang dihadapi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. yang dihadapi masyarakat kian meningkat. Salah satu masalah yang dihadapi"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak krisis moneter yang menimpa Indonesia pada tahun 1997, persoalan yang dihadapi masyarakat kian meningkat. Salah satu masalah yang dihadapi adalah kondisi kekurangan pangan yang disebabkan meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok. Peningkatan harga kebutuhan pokok tersebut tidak dibarengi oleh peningkatan penghasilan masyarakat, sehingga berdampak pada berkurangnya tingkat pemenuhan kebutuhan pokok sementara kebutuhan akan pangan merupakan kebutuhan primer sebagai syarat hidup secara biologis bagi manusia.

Pola konsumsi pangan sangat ditentukan oleh faktor sosial ekonomi rumah tangga seperti tingkat pendapatan, harga pangan, selera dan kebiasaan makan. Pola konsumsi pangan juga dipengarahui oleh karakterestik rumah tangga yaitu jumlah anggota rumah tangga struktur umum jenis kelamin, pendidikan dan lapangan pekerjaan. Pemenuhan pangan bukan hanya sekedar makan dalam pengertian kenyang tetapi juga harus terpenuhi unsur protein, karbohidrat dan mineral sesuai kebutuhan tubuh. Kebutuhan tubuh yang dimaksudkan adalah untuk dapat bergerak dan bekerja, sehingga jenis pekerjaan tertentu akan membutuhkan porsi makanan tertentu pula, oleh karena itu masyarakat sekarang pada umumnya telah beralih mengkonsumsi bahan pangan. yang lebih bergizi, sehingga kesehatan masyarakat secara umum dapat diperbaiki.

(2)

2

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, tersedianya pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi, sehat serta halal merupakan syarat utama guna mewujudkan masyarakat yang bermartabat serta sumberdaya yang berkualitas. Sebagai kebutuhan pokok, pangan harus dicukupi dan tersedia setiap waktu di setiap rumah tangga. Untuk memenuhi kebutuhan pangan dapat dilakukan dengan mengusahakannya sendiri dengan cara bercocok tanam dan juga dengan membelinya di pasar. Bagi mereka yang tinggal di daerah pedesaan kedua cara ini dapat dilakukan, namun tidak bagi warga kota dimana lahan pertanian sudah sangat terbatas seiring dengan perkembangan zaman. Karena keterbatasan tersebut maka orang cenderung untuk memilih makanan yang tersedia disekitarnya dan hanya sesekali mencari bahan makanan lain sebagai selingan sebagai solusi dari masalah tersebut.

Karena apa yang tersedia di lingkungan berbeda-beda, maka setiap masyarakat memiliki ciri khas tersendiri dalam memanfaatkan apa yang ada disekitarnya sebagai bahan pangan. Faktor kepercayaan juga menjadi salah satu faktor penentu dalam mengkonsumsi bahan pangan, terutama dalam hal menyaring bahan pangan yang sesuai dengan kepercayaannya. Demikian pula dengan pendapatan, selera, dan kemudahan memperolehnya. Untuk itu perlu menggali dan mengembangkan pangan lokal suatu daerah. Dalam perspektif strategi pangan lokal dapat dijadikan komplementer atau memberi ruang alternatif bagi konsumen guna memilih selain atau dikombinasikan bersama beras sebagai makanan pokok yang murah dan terjangkau konsumen. Berdasarkan fakta

(3)

3

tersebut, maka penulis tertarik mengadakan penelitian dengan judul : “Pola Konsumsi Pangan Masyarakat Toraja Utara”.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang dikemukakan maka dapat dirumuskan permasalahannya yaitu:

1. Bagaimana Tradisi orang Toraja dalam mengkonsumsi bahan pangan. 2. Faktor yang mendukung bertahannya tradisi konsumsi pangan.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini berdasarkan perumusan pokok kajian diatas sebagai berikut:

1. Untuk menggambarkan Tradisi orang Toraja dalam mengkonsumsi bahan pangan.

2. Untuk menjelaskan faktor mendukung bertahannya Tradisi konsumsi pangan.

2. Kegunaan penelitian

Hasil penelitian tersebut diharapkan dapat berguna antara lain sebagai: 1. Secara teoritis, penelitian ini mampu memberi sumbangsih yang

berarti terhadap ilmu pengetahuan khususnya tentang pola konsumsi pangan masyarakat.

2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi kepada pihak-pihak terkait khususnya pemerintah dan

(4)

4

masyarakat daerah setempat, guna memberikan perhatian yang lebih terhadap pangan agar dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. D. Kerangka Konseptual.

Makanan dan pola konsumsi masyarakat merupakan salah satu bagian dari fenomena budaya masyarakat yang menentukan arah dan rancangan akan hidupnya mengenai makanan ke dalam bentuk pola makan. Sistem pengetahuan dan norma-norma berkenan dengan makanan tentunya tidak terlepas akan pemahaman mereka dari segi emik. Foster (1968:315) mengartikan makanan sebagai sesuatu yang tumbuh di ladang–ladang, yang berasal dari lauk yang muncul dimeja kita pada waktu makan. Dapat berarti pula bahwa yang dikategorikan sebagai makanan adalah bahan yang ada di lingkungan tersebut.

Dalam mengkonsumsi makanan, masyarakat atau manusia dipengaruhi oleh kepercayaan dan pengetahuan tentang makan. Pengetahuan dan kepercayaan terhadap makanan secara emik ke dalam bentuk penggolongan makanan itulah yang nantinya melahirkan klasifikasi makanan dari segi sosial budaya. Cecil Helman (dalam Apomfires 2002: 10) mengklasikasi makanan dari segi sosial budaya ke dalam lima kategori pokok:

1. Makanan yang sakral dan profan

2.Makanan yang digunakan sebagai obat dan obat sebagai makanan 3. Makanan sebagai simbol status sosial

(5)

5

Begitu pentingnya pembahasan mengenai makanan disadari jauh lebih banyak menyita perhatiannya ketimbang masalah lain Audrey Richards,(dalam Rakbi 2006). Pola konsumsi makanan dapat dikenal atas beberapa peristilahan atau sebutan yang kesemuanya merujuk pada pengertian yang sama seperti pola pangan, pola makanan, kebiasaan makan dan kebiasaan pangan. Mamoer (dalam Rakbi, 2006), mengertikan pola makanan dan kebiasaan makan sebagai susunan konsumsi makanan yang dimakan setiap hari untuk mencukupi kebutuhan tubuh yang berdasarkan selera, kebiasaan juga agama, pendidikan dan pengetahuan tentang gizi, pendapat keluarga serta lingkungan sekitar.

Berbagai penelitian telah banyak dilakukan dan dikembangkan oleh beberapa tokoh dan mengetahui kebiasaan makan suatu negara, seperti halnya Apomfires (2002:13) menjelaskan kebiasan makan pada komunitas adat suku Jae (Papua). Manusia, keluarga dan bahkan masyarakatpun dicirikan oleh pluralistik dan keberagaman atas kebudayaan dengan salah satu wujudnya berupa pola makan yang berbeda antara satu atau daerah dengan suku atau daerah lainnya. Realitas yang demikian mengantar kita sebagai penjembatan untuk memahami bahwa erat sekali kaitannya antara pemahaman akan suatu kebudayaan terhadap pola makan masyarakatnya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa dari kebudayaanlah

pola makanan suatu masyarakat atau komunitas akan lahir dan terbentuk. Kedinamisan merupakan salah satu ciri kehidupan masyarakat manusia.

Kehidupan masyarakat manusia yang dinamis ditandai dengan perubahan-perubahan sosial dan budaya yang secara jelas dapat terlihat melalui berbagai benda hasil budaya dan aktivitas-aktivitas kehidupannya. Perubahan sosial budaya

(6)

6

yang dialami manusia dapat dijelaskan sebagai proses penyesuaian hidup manusia dengan konstelasi yang ada, seperti yang ditegaskan oleh Gillin dan Gillin (Rakbi 2006), perubahan sosial dapat dipandang sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, yang disebabkan baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebutuhan materil, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penumuan baru dalam masyarakat tersebut. Perubahan yang dialami manusia bukanlah suatu penyimpangan, karena pandangan tersebut adalah suatu mitos yang perlu dihilangkan dari pandangan mengenai perubahan.

Adat atau kebiasaan merupakan pola-pola perilaku bagi anggota masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Adakalanya adat dan kebiasaan begitu kuatnya sehingga sulit untuk diubah. Hal ini merupakan bentuk halangan terhadap perkembangan dan perubahan kebudayaan. Setiap perubahan sosial selalu mencakup pula perubahan budaya, dan perubahan budaya akan mencakup juga perubahan sosial.

Kebudayaan sebagai sebuah konsep yang menyatu dalam kehidupan manusia selalu berhubungan dengan kebutuhan hidupnya. Kebudayaan yang merupakan seperangkat sistem pengetahuan atau sistem gagasan yang berfungsi menjadi bagi sikap dan perilaku manusia sebagai anggota atau warga dari kesatuan sosialnya, tumbuh, berkembang dan berubah sesuai dengan kebutuhan hidup manusia. Secara sederhana Malinowski (dalam Sairin, 2002) mengatakan bahwa kebutuhan hidup manusia itu dapat dibagi pada tiga kategori besar yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan biologis, sosial dan psikologis.

(7)

7

Walaupun ketiga kebutuhan itu tampak terpisah namun sebenarnya ketiganya adalah tiga serangkai yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Untuk memenuhi kebutuhan akan makanan dan minuman yang merupakan salah satu dari kebutuhan biologis, manusia terikat dengan gagasan makanan yang dapat dikonsumsi dan makanan mana pula yang diharamkan untuk dikonsumsi. Gagasan tentang apa yang boleh dan tidak untuk dikonsumsi itu bukanlah pilihan individu itu menjadi anggotanya.

Adapun pengertian konsumsi sudah cukup jelas yaitu pemakaian kebutuhan sehari-sehari. Pengertian ini sesuai dengan pemahaman maksud khasanah dalam kamus populer (1990). Dalam kaitan dengan pola konsumsi maka cara pemenuhan kebutuhan pokok sehari-sehari adalah tergantung kepada kemampuan ekonomi masyarakat baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk lingkungan berdasarkan tata hubungan dan tanggung jawabnya didasarkan atas pola produksi, pola distribusi, dan sistem budaya yang memiliki yang sifatnya tercermin sebagai kebutuhan primer dan kebutuhan sekuder (Irma suryani 2000).

Mengenai pengertian sistem ekonomi sebagaimana yang dikemukan oleh Winardi yang dikutip oleh Irma Suryani 2000, bahwa sistem ekonomi merupakan sebuah organisasi yang terdiri dari sejumlah lembaga-lembaga atau pranata yang saling mempengaruhi satu sama lain yang ditunjukan kearah pemecah problem dasar setiap perekonomian. Berdasarkan kutipan tersebut apabila berbicara tentang sistem ekonomi ekonomi suatu masyarakat, maka terdapat suatu tata cara perilaku yang berpola dan saling terkait dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya seperti dikemukakan Gilarso (1994:7) yang dikutip oleh Irma Suryani

(8)

8

2000, tentang pengertian sistem ekonomi atau tata ekonomi (economic, Order) yang menunjukan kepada keselurahan tata cara untuk mengkordinasi perilaku masyarakat sedemikian rupa hingga menjadi satu kesatuan yang teratur dan dinamis, sehingga kekacauan tersebut dapat terhindarkan.

Produksi merupakan salah satu bagian dari organisasi ekonomi yang memperlihatkan bagaimana masyarakat bagaimana masyarakat menggunakan tenaga kerja dan teknologi untuk mengubah sumber daya alam menjadi bahan jadi yang setiap pakai untuk dikonsumsi pengertian produksi dalam kegiatan sehari-sehari atau dalam artian yang sempit adalah suatu kegiatan untuk menghasilkan barang-barang saja melainkan pula dapat menambah nilai suatu barang menjadi lebih berguna.

Berbicara mengenai produksi pangan dalam penyediaan pangan, hal mendasar yang menjadi pertanyaan kita adalah bagaimana aktivitas atau cara pengolahan lahan pertanian itu sendiri sampai bisa menghasilkan/berproduksi. Produksi disini bukanlah kebudayaan, tetapi cara mereka sampai bisa menghasilkan produksi bagian dari kebudayaan itu sendiri yang didalamnya terdapat sistem pengetahuan dan kebiasaan-kebiasaan. Taylor (dalam Koentjaraningrat 1987), bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan serta kebiasaan yang di dapat manusia sebagai masyarakatnya. Berbagai macam pengetahuan tentang proses pengolahan lahan pertanian guna memproduksi bahan pangan untuk keperluan konsumsi adalah merupakan kajian fenomena sosial budaya yang terbilang sangat sangat menarik, salah satu gambaran mengenai ketersedian pangan di Indonesia

(9)

9

dapat kita lihat seperti apa yang ditulis Suryana (2003: 127) yang dikutip oleh Rakbi 2006, walaupun secara makro ketersediaan pangan telah memenuhi standar kecukupan, namun kecukupan standar tingkat nasional tersebut tidak tercermin dalam tingkat konsumsi pangan perkapita atau secara mikro. Pernyataan tersebut menunjukkan bagaimana penyediaan pangan di tingkat masyarakat belum tertata secara optimal dan lebih baik, maka dianggap perlu menggalakkan beberapa program dan upayah peningkatan produksi pangan pertanian yang efisien dan berdayaguna bagi pemenuhan pangan dan kecukupan gizi masyarakat.

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan tipe penelitian

Seperti lazimnya penelitian Antropologi lainnya, untuk memperoleh data maka jenis penenelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan tipe deskriptif untuk menggambarkan berbagai kondisi sosial budaya dalam kehidupan masyarakat.

2. Penentuan Lokasi Penelitian

Lokasi yang dijadikan fokus dalam penelitian ini adalah Kab. Toraja Utara Kec. Rantepao. Adapun lokasi tersebut sengaja dipilih karena Toraja Utara merupakan daerah yang mempunyai pola konsumsi pangan yang tinggi karena adat istiadatnya.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi, yaitu melakukan pengamatan secara langsung berbagai macam situasi dan tingkah laku dalam kehidupan sosial budaya

(10)

10

masyarakat. Teknik ini bertumpu pada indra yang dimiliki, yakni penglihatan.

Kegiataan yang dilakukan dalam observasi ini adalah mengamati bagaimana perilaku masyarakat Toraja Utara yang berhubungan dengan tradisi dalam mengkonsumsi bahan pangan serta interaksi antara satu dengan lainnya yang dilakukan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dalam memenuhi kebutuhan.

b. Wawacara dilakukan pada informan yang dipilih dan dianggap dapat memberikan informasi tentang fokus masalah penelitian. Untuk melakukan wawacara terlebih dahulu dipersiapkan pedoman wawancara namun pada situasi tertentu dan waktu yang tepat, wawancara dapat dilakukan secara spontan seperti dalam pembicaraan sehari-sehari tetapi terfokus pada masalah penelitian mengenai “Pola Konsumsi Pangan Masyarakat Toraja Utara”.

c. Study literatur, yakni membaca beberapa buku yang relevan dengan penelitian. Dalam study literatur ditemukan beberapa data sekunder tentang kondisi geografis secara umum, teori-teori yang dapat dijadikan pisau analisis dalam melihat fenomena sosial budaya yang ada, serta definisi beberapa konsep yang menunjang penulisan laporan.

4. Teknik Penentuan informan

Pemilihan informan dalam penelitian ini berdasarkan data dan informasi yang dibutuhkan. Informan digolongkan kedalam dua golongan yakni, (1) Informan kunci yakni orang yang mengetahui dengan jelas

(11)

11

kondisi daerah penelitian dan mampu menunjukkan siapa-siapa saja yang dapat memberikan informasi mengenai masalah yang akan diteliti. Biasanya yang bertindak sebagai informan ahli adalah kepala desa ataupun tokoh masyarakat yang disegani dan berperan penting dalam kelangsungan hidup masyarakat . (2) Informan biasa, yakni orang yang mengetahui tentang masalah yang akan diteliti. Informan biasa yang diambil untuk masalah penelitian yakni orang yang terlibat dalam pola konsumsi pangan.

5. Teknik Analisa Data

Analisis data merupakan upaya menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Data yang diperoleh di Lokasi penelitian kemudian dianalisis setelah dikumpulkan dan dituangkan dalam bentuk laporan lapangan

Adapun data yang diperoleh terbagi atas dua jenis :

a) Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti (informan). Data primer diperoleh berdasarkan observasi dan wawancara.

b) Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari lembaga atau instansi tertentu misalnya Badan Pusat Statistik.

Dalam menganalisis data diperlukan beberapa tahap yakni :

1. Memilih-milih antara data yang menunjang dan tidak menunjang sesuai dengan fokus penelitian.

(12)

12

2. Memeriksa data dengan catatan lapangan sehingga dapat diketahui informasi yang telah diperoleh selama berada dilapangan.

3. Data yang diperoleh, baik pernyataan langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan fokus penelitian.

4. Keabsahan data melalui triangulasi, dimana yang dilakukan dalam proses ini adalah mencocokkan antara data dari informan yang satu dengan informan yang lain.

F. Sistematika Penulisan

Keseluruhan dari penulisan ini terdiri dari 5 bab yang keberadaannya satu dengan yang lainnya saling berkaitan serta tak bisa dipisahkan. Komposisi bab tersebut adalah:

1. Bab I berisikan Pendahuluan yang berisikan latar belakang, masalah penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, rumusan masalah, dan metode penelitian.

2. Bab II adalah Tinjauan Pustaka, yang didalamnya memuat tentang konsep-konsep serta hasil penelitian sebelumnya yang menunjang pembahasan tentang pola konsumsi pangan.

3. Bab III merupakan Gambaran umum lokasi yang menerangkan secara umum kondisi-kondisi geografis dan sosial lokasi penelitian.

4. Bab IV yakni bab Pembahasan yang terdiri dari sub-sub yang memuat penjelasan mengenai fokus penelitian

5. Bab V yang merupakan Penutup yang didalamnya terdiri dari kesimpulan dan saran penulis mengenai hasil dari penelitian yang telah diuraikan.

(13)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pola Perilaku Konsumsi Pangan

Perubahan perilaku hidup atau gaya hidup sangat mempengaruhi pola konsumsi masyarakat. Akibat perubahan masyarakat dalam gaya hidup yang kemudian berlanjut pada perubahan konsumsi makanan sehari-hari telah terbukti mempengaruhi kebiasaan makan masyarakat. Pada beberapa komunitas memiliki pola konsumsi pangan atau kebiasaan makan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan pola makan atau kebiasaan konsumsi pangan bagi setiap komunitas dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain kebiasaan, kesenangan, budaya, lingkungan alam (termasuk musim), agama dan sistem keyakinan, taraf ekonomi, umur, dan sebagainya.

Kebiasaan makan masyarakat dari golongan etnis yang berbeda umumnya tidak sama. Mereka mempunyai cara-cara yang berbeda di dalam menentukan dan memilih makanannya. Perbedaan kebiasaan konsumsi pangan antara golongan etnis dapat dijelaskan melalui suatu pandangan yang dijelaskan oleh beberapa ahli. Bahwa pemilihan makanan pada diri seseorang tidak begitu saja secara otomatis terjadi. Faktor sosial budaya hanyalah merupakan salah satu unsur disamping unsur-unsur lain dijadikan bagi seseorang didalam pemilihan makanannya.

(14)

14

Salah satu faktor sosial budaya yang terkait dengan pangan adalah kebiasaan konsumsi pangan. Berubahnya kebiasaan konsumsi pangan merupakan tugas yang luar biasa sulitnya karena kebiasaan konsumsi pangan telah terbukti paling menonjol perubahannya di antara semua kebiasaan. Apa yang kita suka dan yang tidak kita suka, kepercayaan terhadap apa yang kita makan yang berhubungan dengan kesehatan dan peristiwa ritual, telah ditanamkan sejak dari kecil. Hanya dengan susah payah orang dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan kebiasaan makan sejak kecil, untuk memulai dengan makanan yang sama sekalipun berlainan jenis.

Para ahli antropologi memandang kebiasaan makan sebagai suatu kompleks kegiatan memasak, masalah kesukaan dan konteks kearifan lokal, kepercayaan, pantangan-pantangan, dan tahyul-tahyul yang berkaitan dengan produksi dan konsumsi pangan, dengan kata lain pangan memiliki kategori budaya yang penting yang penting dan sebagai kategori budaya yang penting. Pangan berkaitan dengan banyak kategori budaya lainnya (Foster, 1986).

Secara umum pola konsumsi pangan di Indonesia memiliki satu ciri yang sama, yaitu terdiri dari 5 golongan : pertama, makanan pokok (beras atau pangan sumber karbihidrat lain), kedua, lauk pauk (dari pangan nabati dan hewani), ketiga, sayur mayur, keempat, kue-kue, jajanan atau buah-buahan yang dihidangkan kadang-kadang atau tetap antara waktu makan, juga biasa untuk suguhan tamu, kelima, air minum.

Faktor–faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi dan harga serta faktor sosial budaya dan religi. Lebih jauh di jelaskan,

(15)

15

kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang terpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan yang digunakan untuk dikonsumsi. Aspek sosial budaya konsumsi pangan adalah fungsi konsumsi pangan dalam masyarakat yang berkembang sejalan dengan kondisi lingkungan sosial budaya (agama adat istiadat) yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan kebudayaan menjadi fenomena tingkah laku masyarakat yang dimanifestasikan dalam cara-aspek hidup, cara bertingkah laku dalam pemenuhan setiap kebutuhannya. Setiap individu dapat menentukan apa yang akan dikonsumsi sebagai makanan. Kebudayaan juga menentukan kajian seseorang yang boleh atau tidak dimakan suatu makanan.

Ekspresi setiap individu akan berbeda satu dengan lain. Ekspresi tersebut akan membentuk pola perilaku makan yang disebut kebiasaan makan. Kebiasaan makan terakumulasi dalam berbagai kegiatan sosial ekonomi dan budaya yang berimplikasi pada terbetuknya pengaruh yang kuat terhadap apa kapan, dan bagaimana komunitas atau masyarakat konsumsi makan. Kebudayaan masyarakat dan kebiasaan konsumsi pangan yang mengikutinya berkembang ditempat sekitar arti konsumsi pangan dan cara-cara menggunakannya. Pola kebudayaan ini mempengaruhi orang dalam memilih makanan, jenis pangan yang harus diproduks, pengolahannya, penyiapan, dan penyajian.

Pola konsumsi pangan dapat dikenal atas beberapa istilah atau sebutan yang kesemuanya merujuk pada pengertian yang sama seperti pola konsumsi makanan, pola makan, kebiasaan konsumsi pangan, atau kebiasaan makan. Berkaitan dengan pola konsumsi atau kebiasaan makan, ada banyak hal atau

(16)

16

faktor yang berhubungan dan saling terkait didalamnya. Koentjaningrat mengatakan bahwa pola konsumsi antara lain dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya yang meliputi juga cara-cara seseorang berfikir atau berpengetahuan yang ada dalam pikiran, perasaan dan pandangan tentang makanan. Tetapi yang ada dalam pikiran, perasaan dan pandangan itu kemudian dituangkan dalam bentuk tindakan memilih makanan. Adaptasi menuntut pengembangan pola-pola perilaku yang akhirnya membantu suatu organisme agar mampu memanfaatkan suatu lingkungan tertentu demi kepentingannya, baik untuk memperoleh bahan pangan maupun menghindari diri dari bahaya.

Dilihat dari sisi budaya dan kebiasaan, sebagian orang Indonesia beranggapan belum lengkap atau belum merasa makan kalau belum makan nasi karena nasi dianggap begitu berharga, meskipun sudah menikmati berbagai jenis makanan pokok lainnya. Konsumsi makanan pokok merupakan proporsi terbesar dalam susunan hidangan masyarakat karena dianggap lebih penting diantara jenis makanan lain.

Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan 3 (tiga) kali sehari, frekuensi makan sebenarnya dapat menggambarkan keberlanjutan ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Dalam satu rumah tangga salah satu cara untuk mempertahankan ketersediaan pangan dalam waktu tetentu adalah dengan mengurangi frekuensi makan atau mengkombinasikan bahan makanan pokok (misal, beras dengan ubi kayu atau jagung) penelitian yang dilakukan PKK-LIPI di beberapa daerah juga menentukan

(17)

17

bahwa mengurangi frekuensi makan merupakan salah satu strategi rumah tangga untuk memperpanjang ketahanan pangan mereka.

Penggunaan frekuensi makan sebanyak 3 kali atau lebih sebagai indikatif kecukupan makan didasarkan pada kondisi nyata di desa-desa (berdasarkan hasil penelitian PKK-LIPI) dimana rumah tangga yang memiliki persediaan makanan pokok cukup pada rumahnya. Misalnya, hanya makan 2 kali sehari, kondisi ini semata-mata merupakan suatu strategi agar persediaan makanan pokok mereka tidak segera habis, karena dengan frekuensi makan 3 kali sehari, kebanyakan tidak dapat bertahan untuk tetap memiliki persediaan makanan pokok sehingga panen berikutnya.

Temuan-temuan ilmiah mengenai makanan pun seperti tak pernah berhenti mengalir. Kegiatan makan dan mencari makanan memang merupakan salah satu insting mendasar manusia. Sejak pertama kali manusia menjejakkan kaki di bumi bahkan sejak pertama kali ada kehidupan di bumi, kegiatan mengunyah, menelan dan biarkan sistem pencernaan mengurus sisanya telah menjamin keberlangsungan hidup manusia. Sehingga, bisa dikatakan bahwa mencari dan menikmati makanan adalah salah satu aspek mendasar kehidupan manusia.

B. Konsumsi Pangan Masyarakat

Pangan yang dikonsumsi oleh anggota rumah tangga tidak hanya dilihat dari segi kuantitas, tetapi juga sangat tergantung pada kualitas bahan pangannya. Kualitas konsumsi pangan meliputi jumlah makanan yang dimakan, sedangkan kuantitas meliputi ragam/jenis dan mutu biologi dari makanan yang dikonsumsi (Tarwojo, 1987). Bahan makanan yang dipilih sedapat mungkin bersumber dari

(18)

18

bahan pangan nabati maupun hewani yang mengandung beragam makanan yang diperlukan tubuh.

Perbaikan konsumsi pangan penduduk berarti meningkatkan jumlah, mutu dan konsumsinya. Upaya memperbaiki konsumsi pangan adalah memberi perhatian khusus kepada beragam faktor yang berpengaruh, seperti penyediaan (terutama produksi dan impor) dan faktor-faktor sosial, ekonomi, budaya dan teknologi (Suharjo, 1988).

Sementara Chen (1987), mengatakan bahwa kebiasaan makan keluarga dan susunan hidangan merupakan salah satu manivestasi kebudayaan dalam rumah tangga yang disebut gaya hidup. Gaya hidup ini, kebiasaan ini dipengaruhi oleh susunan keluarga, susunan hidangan (individu maupun masyarakat) dan kebiasaan-kebiasaan makan dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan lingkungan hidup. Kebiasaan ini dipengaruhi oleh susunan keluarga, susunan hidangan (individu maupun masyarakat) dan kebiasaan-kebiasaan makan di dalam rumah tangga. Kebiasaan makan juga dipengaruhi oleh faktor kesediaan pangan, ekonomi, keluarga dan politik. Variabel-variabel tersebut dapat mempengaruhi perilaku individu maupun lingkungan masyarakat.

Peningkatan perilaku pangan manusia adalah dengan meningkatkan adaptasi pada lingkungannya melalui pengetahuan tentang hal yang berpengaruh pada proses dalam pemilihan makanannya. Rendahnya pengetahuan, kebiasaan dan kepercayaan yang dipengaruhi oleh cara berfikir tradisional utamanya dalam peningkatan pangan merupakan penghambat terciptanya perilaku sehat di dalam masyarakat.

(19)

19

Lebih lanjut dikemukakan Chen (1987), bahwa budaya sebagai suatu gambaran bagaimana setiap individu memandang dunia ini termasuk makanan dan kebutuhan fisiknya serta cara memperoleh dan menggunakan makanan, nilai dan kesesuaian serta budaya sebagai satu kesatuan dalam sosial budaya dan tak dapat dipisahkan. Masalah pangan mencakup suatu lingkup yang cukup luas yaitu meliputi aspek produksi, konsumsi dan distribusi. Pada tingkat rumah tangga ternyata konsumsi energi dan protein bervariasi tergantung pada ciri-ciri demografis, sosial dan ekonomi serta potensi sumber daya setempat.

Secara umum dikatakan bahwa masalah pangan merupakan sebagian dari masalah kesejahteraan pribadi, keluarga dan masyarakat akibat adanya ketimpangan antara kebutuhan persediaan, permintaan pangan dan kesehatan. Permintaan pangan mempunyai kaitan erat dengan pendapatan, harga pangan dan non pangan, pendidikan rumah tangga terutama ibu serta adat (cultur) dan kebiasaan (Sukirman, 1988). Hal senada dikemukakan juga oleh Tarwojo (1987) bahwa secara mikro jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh produksi, ketersediaan pangan nasional atau ketersediaan pasar, tetapi dipengaruhi juga oleh daya jangkau ekonomi (daya beli), kesukaan, pendidikan dan nilai sosial budaya yang berlaku di masyarakat.

Makanan pokok pada umumnya memiliki fungsi-fungsi sosial tertentu, antara lain :

1. Memenuhi kebutuhan perut 2. Cara-cara identitas budaya 3. Fungsi-fungsi agama dan magis

(20)

20 4. Alat/cara komunikasi

5. Pernyataan status ekonomi dan kesejahteraan

6. Alat/cara mempengaruhi dan menunjukkan kekuatan / kekuasaan Fungsi sosial makanan pokok juga memberi cara kekhususan golongan etnik/suku bangsa tertentu, oleh karena masi terkait dengan hal-hal yang bersifat sakral dan sebagainya.

Alasan utama untuk memikirkan kondisi-kondisi tersebut terutama memikirkan kelangsungan hidup manusia, memikirkan pula bahwa disamping klasifikasi ilmiah tentang bahan pangan masyarakat juga masi memiliki cara-cara tradisional terhadap pengelompokan makanan sehingga perlu dikaji bagaimana karakteristik perilaku berkonsumsi yang berkaitan dengan aspek-aspek antropologi.

Kebiasaan makan dalam rumah tangga dan tingginya intervensi budaya dalam rumah sebagai salah satu faktor penentu budaya makan masyarakat Indonesia. Sebagai negara berkembang, Indonesia masih berusaha memecahkan masalah kurang pangan.

Makanan merupakan unsur penting bagi anak karena makanan penting untuk kesehatan saat ini dan akan datang. Semakin mudah umur seseorang semakin penting arti makanan buat mereka. Abunaim (1988) mengatakan bahwa tingkat keaktifan makan juga disebabkan oleh kebiasaan makan yang kurang memadai sedangkan faktor yang mempengaruhinya adalah sosial budaya dan ekonomi sebagai pengatur tidak langsung.

(21)

21

Hardiansyah (1998) mengemukakan pola kebiasaan makan disusun berdasarkan data jenis pangan, frekwensi penggunaan pangan serta banyaknya pangan (jumlah) yang dikonsumsi. Semakin sering suatu jenis pangan dikonsumsi maka semakin besar pula peluang jenis pangan tersebut tergolong kedalam pola konsumsi atau kebiasaan makan, sehingga derajat kesehatan ditentukan oleh tingkat kebiasaan makan dan kualitas hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan tersedianya semua pangan yang diperlukan oleh tubuh, baik dari sudut kualitas maupun kuantitasnya maka tubuh akan mendapat kondisi kesehatan yang prima.

Pola konsumsi pangan adalah kebiasaan makan rumah tangga berupa cara yang dipakai orang untuk memilih bahan pangan sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologi kebudayaan dan sosial yang terdiri dari :

1. Frekwensi makan keluarga

2. Penyediaan makanan kecil ( selingan ) untuk keluarga 3. Penyediaan buah-buahan untuk keluarga

4. Penentuan menu makan untuk belanja 5. Penyediaan dan menyajikan untuk keluarga 6. Prioritas dalam pembagian makan

7. Kebiasaan makan di luar dan jenis makanan yang dipesan

8. Kebiasaan ibu membawa oleh-oleh jika ada kegiatan di luar rumah Kebiasaan makan dipengaruhi oleh produksi ketersediaan pangan nasional ataupun ketersediaan pangan di pasar, daya jangkau/ekonomi konsumen,

kesukaan, pendidikan, sosial budaya yang berlaku di masyarakat. Sukirman (1987), mengemukakan bahwa pendapatan riil rumah tangga sebagai salah satu

(22)

22

faktor yang menentukan kebiasaan makan rumah tangga. Disamping itu, konsumsi pangan rumah tangga dipengaruhi oleh harga pangan dan faktor sosial budaya keluarga.

Jenis bahan pangan yang dikonsumsi dibagi kedalam beberapa kelompok pangan antara lain: 1) padi-padian dan umbi-umbian yang mengandung energi, 2) daging, ikan, nasi, dan telur yang mengandung protein, 3) kacang-kacangan dan 4) sayur dan buah yang banyak mengandung vitamin dan mineral.

Distribusi makanan dalam keluarga dipengaruhi oleh status yang terjalin antara keluarga atau pemenuhan makanan. Pengaruh lainnya dalam susunan makanan adalah efek dan kewajiban sosial. Pola makanan yang dihidangkan tiap harinya, serta jumlah, ragam dan bentuk bahan pangan yang terkandung di dalamnya, merupakan hal yang penting untuk mencapai kesehatan pangan. Pola hidangan biasa juga dipakai kriteria 4 sehat 5 sempurna dengan susunan sebagai berikut : nasi + lauk + sayur + buah dan susu.

Pada tahun 1953, Soedarmo mengembangkan konsep 4 sehat 5 sempurna lebih lanjut. Empat sehat terdiri dari sereal dan umbi-umbian, protein hewani/nabati (lauk), sayur-sayuran (pauk) dan buah-buahan dan disebut 5 sempurna karena ditambah dengan susu. Susu merupakan makanan sumber protein yang berkualitas tinggi dan mengandung asam amino essensial. Jika kita membiasakan makan dengan konsep 4 sehat 5 sempurna maka penganekaragaman bahan makanan dapat terjamin sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan dengan optimal (dalam Adam Sulaiman 2008).

(23)

23

Pengembangan dan penyempurnaan 4 sehat 5 sempurna yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1994 terdiri dari 6 kelompok pangan yaitu sereal, umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan, sayur-sayuran, buah-buahan dan susu. Pangan ini mengandung senyawa dalam pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.

Rimbauawan (1999), mengemukakan bahwa pangan dengan makanan yang cukup, seimbang serta mutu yang baik merupakan pilihan terbaik untuk dikonsumsi. Nilai mutu bahan pangan ditentukan oleh kandungannya sesuai yang dibutuhkan oleh tubuh. Pangan dengan kandungan yang lengkap secara proposional berpotensi menjadi pangan yang baik.

C. Mutu pangan dan Kebiasaan Makan

Pangan adalah segala bahan yang dimakan atau masuk ke dalam tubuh yang selanjutnya membentuk atau mengganti jaringan, memberikan tenaga atau mengatur semua proses dalam tubuh (Suhardjo, 1988, Handajani, 1994). Pangan juga mengandung nilai tertentu bagi kelompok manusia, suku bangsa atau perorangan sebagai unsur kesehatan, memberikan nilai yang dikaitkan dengan faktor-faktor emosi atau perasaan, tingkat sosial, agama atau kepercayaan dan lain-lain.

Selanjutnya, Handajani (1994), menjelaskan bahwa pangan adalah bahan yang mengandung karbohidrat, lemak/minyak, protein, vitamin dan mineral yang dimakan dan diserap oleh tubuh. Bahan tersebut diperlukan untuk pertumbuhan, penggantian sel yang rusak, dan semua proses tubuh yang vital. Makanan

(24)

24

bertujuan menyediakan tenaga untuk semua kegiatan. Apabila dalam sehari mengalami kurang makan maka tubuh kita terasa lemah, tak bertenaga, malas dan kurang semangat, sakit perut dan sebagainya. Perasaan lapar dan dahaga mendorong manusia untuk makan dan minum. Rasa lapar dan dahaga itu merupakan tanda pertama bahwa gizi yang diperlukan bagi kegiatan tubuh tidak mencukupi lagi.

Makanan yang beraneka ragam akan menjamin terpenuhinya kecukupan sumber tenaga pembangun dan pengatur bagi kebutuhan seseorang. Dengan mengkonsumsi makanan sehari-hari yang beraneka ragam, kekurangan pada jenis makanan yang satu akan dilengkapi oleh keunggulan pada jenis makanan yang lain, sehingga diperoleh masukan makanan yang seimbang (Anonim, 1995).

Menurut Susanto (2003), mutu pangan atas makanan adalah totalitas kandungan dari makanan yang dibutuhkan oleh manusia. Ini berarti bahwa komponen-komponen pangan tidak hanya ditentukan oleh kandungan energi, karbohidrat, lemak tapi juga kandungan vitamin dan mineral. Sejak itu konsep mutu pangan yang semula diartikan sebagai kandungan pangan, berubah menjadi tingkat kecukupan pangan yaitu persestase (%) konsumsi pangan terhadap kecukupan atau kebutuhan tubuh (Hardiansyah, 1988). Menurut undang-undang pangan (UU Nomor 7, Tahun 1996), mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan (makanan dan minuman).

Secara sederhana mutu pangan dapat diartikan sebagai nilai yang didasarkan pada jumlah atau kandungan pangan dalam kaitannya dengan

(25)

25

kebutuhan dan tingkat ketrsediaannya secara biologis bagi tubuh (bio-availablity). Oleh karena itu mutu pangan secara sederhana ditentukan oleh jumlah pangan yang tersedia untuk dikonsumsi relatif terhadap kebutuhan dan nilai biologis bagi tubuh. Konsep konsumsi pangan adalah makanan yang bernilai tinggi, yaitu makanan yang mengandung energi (yang dihasilkan oleh karbohidrat, protein dan lemak) (Hardiansyah, 1998). Konsep konsumsi pangan berbeda dengan konsep Mutu makanan. Makanan adalah pangan secara tunggal atas campuran/kombinasi beberapa pangan yang siap untuk dikonsumsi oleh karena itu mutu makanan tidak hanya ditentukan oleh bandingan dan nilai biologi yang dikandungnya secara proporsional tapi juga oleh faktor kebutuhan orang yang mengkonsumsi makanan tersebut.

Perilaku konsumsi pangan masyarakat merupakan kecendrungan seseorang melakukan tindakan tertentu yang berhubungan dengan makan. Seseorang yang bersifat positif terhadap makanan mempunyai kecendrungan berperilaku makan yang positif demikian pula sebaliknya. Perilaku (sikap) makan tertanam dalam diri seseorang akibat nilai sosial budaya yang dianut oleh masyarakat dan lingkungannya.

Perilaku individu meliputi segala sesuatu yang menjadi pengetahuannya (knowledge), sikapnya (attitudes) dan yang biasa dikerjakannya (action). Perilkau tidak muncul dalam diri individu tersebut (internal), melainkan merupakan interaksi individu dengan lingkungannya. Perilaku konsumsi pangan seseorang atau sekelompok masyarakat dipengaruhi oleh kebiasaan makan sehari-seharinya. Kebiasaan makan terbentuk dalam diri seseorang akibat proses (sosialisasi) yang

(26)

26

dipengaruhi dari lingkungannya dan meliputi aspek kognitif, efektif dan psikomotor (Berg, 1987).

Tahap pertama dari kebiasaan makan adalah penerimaan pangan yang terjadi secara individual. Walaupun unsurnya hanya pangan dan individu, namun faktor yang mempengaruhi individu tersebut tidak terhitung jumlahnya. Demikian pula halnya pada anak-anak sekolah, proses terbentuknya perilaku konsumsi pangan bukanlah hal yang sederhana, karena didalamnya ikut serta berbagai faktor tertentu.

Kebiasaan makan adalah budaya suatu rumah tangga, kelompok masyarakat atau negara yang kuat dari konsisten terhadap apa, kapan, dan bagaimana penduduk makan. Kebiasaan makan pada suatu kelompok masyarakat dipertahankan dan dikembangkan secara turun temurun. Pola ini mempengaruhi cara memilih bahan dan jenis pangan apa yang harus diproduksi, diolah, disalurkan, disiapkan hingga dihidangkan.

Analisis mutidisplin terhadap perilaku kebiasaan makan anak (Model Lund and Burk, dalam Sanjur, 1982), menjelaskan bahwa perilaku konsumsi anak tergantung dari motivasi / dorongan kebutuhan dan pemahaman (kognitif) tentang makanan. Pola konsumsi pangan dapat berfungsi sebagai cerminan (refleksi) dari kebiasaan makan. Pola konsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh adat istiadat setempat, pengetahuan dan sikap terhadap pola konsumsi pangan dapat dijadikan sebagai salah satu indikator perilaku pola konsumsi pangan.

Kebiasaan makan individu dapat terlihat dari pola konsumsi pangan sehari-harinya. Karena perilaku konsumsi pangan dipengaruhi oleh kebiasaan

(27)

27

makan, maka tingkat konsumsi pangan masyarakat, dapat juga dikatakan tolak ukur perilaku konsumsi pangan. Perilaku konsumsi pangan pada dasarnya merupakan bentuk penerapan kebiasaan makan. Perilaku makan anak dipengaruhi oleh lingkungan rumah tangga, keluarga serta lingkungan sekolah. Perubah-perubah lingkungan keluarga dan rumah tangga, keluarga serta lingkungan sekolah perubahan-perubahan lingkungan keluarga dan rumah yang perlu diperhatikan antara lain status ekonomi rumah tangga, pengetahuan dan sikap terhadap makanan, kepercayaan rumah tangga terhadap makanan serta keadaan dan sifat-sifat hidangan keluarga. Pada lingkungan sekolah maupun lingkungan keluarga perubahan-perubahan yang perlu diperhatikan meliputi pengalaman pendidikan anak seperti kegiatan makan bersama, pengetahuan dan sikap guru terhadap makanan (Sanjur, 1982).

Dari sudut padang ilmu antropologi dan ilmu sosiologi, faktor umum yang mempengaruhi perubahan perilaku pola konsumsi pangan individu dan sistem sosial rumah tangga adalah adanya perubahan sosial (Sanjur,1982). Perubahan sosial dicerminkan oleh adanya perubahan dalam 3 hal, yaitu: (1) posisi atau status dan peranan anggota-anggota rumah tangga, (2) struktur sosial rumah tangga dan (3) pola interaksi dalam sistem sosial keluarga dan masyarakat.

Dalam kebudayaan bukan hanya makanan yang dibatasi atau diatur, akan tetapi konsep tentang makanan, kapan dimakan, terdiri dari apa dan etiket makan. Diantara masyarakat yang cukup makanan, kebudayaan mereka mendikte, kapan mereka merasa lapar serta berapa banyak mereka mereka harus makan agar memuaskan rasa lapar. Jadi dengan demikian, nafsu makan dan lapar adalah suatu

(28)

28

gejala yang berhubungan namun bebeda. Nafsu makan dan apa yang diperlukan untuk memuaskan adalah suatu konsep budaya yang dapat berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya. Makanan selain penting bagi kelangsungan hidup kita, juga penting bagi pergaulan sosial.

Perilaku makan mempengaruhi prefensi seseorang terhadap jenis pangan yang menentukan kebiasaan makan sehari-hari. Hasil penelitian Pusat antar Universitas 1997 pada dua lokasi yang berbeda (kota dan desa) menyebutkan bahwa tidak ada pengaruh nyata antara perilaku makan ibu desa dan kota namun sebanyak 26,7 % ibu desa dan kota yang bersikap netral. Hal ini terjadi diduga akibat masih adanya benturan antara nilai-nilai lama yang telah menjadi kebiasaan dengan nilai-nilai baru yang diterima melalui media penyuluhan pangan dan percontohan makanan sehat.

(29)

29 BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak Geografis Dan Keadaan Alam

Kabupaten Toraja Utara yang beribukota di Rantepao terletak antara 2°-3° Lintang Selatan dan 119°-120° BujurTimur, dengan batas-batas wilayah :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten luwu dan Kabupaten Mamuju

b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Pinrang

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Barat

Kabupaten Toraja Utara dilewati oleh salah satu sungai terpanjang di Propinsi Sulawesi Selatan, yaitu sungai Saddang. Jarak ibukota Kabupaten Toraja Utara dengan ibukota Propinsi Sulawesi Selatan mencapai ± 329 km yang melalui kabupaten Tana Toraja Kabupaten Enrekang, Kabupaten Sidrap, Kota Parepare, Kabupaten Barru, Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Maros. Luas wilayah Kabupaten Toraja Utara tercatat 1.151,47 km persegi yang meliputi 21 Kecamatan. Kecamatan Baruppu dan Kecamatan Buntu Pepasan merupakan 2

(30)

30

Kecamatan terluas dengan luas masing-masing 162,17 km persegi dan 131,72 km persegi atau luas kedua kecamatan tersebut merupakan 25,52 persen dari seluruh wilayah Toraja Utara.

Sungai Sa’dan merupakan sungai yang utama di wilayah ini. Alirannya terpecah kedua lembah: Rantepao di Utara dan Makale di Selatan. Anak-anak sungainya mengaliri lembah-lembahnya yang lebih kecil. Dalam keadaan biasa kedalamannya hanya setengah meter. Sungai ini dipenuhi serakan batu-batu besar. Oleh sebab itu, sekalipun lebarnya berkisar 40.100 meter, hanya ada beberapa tempat saja disungai ini yang dapat dilayari dengan rakit namun pada saat sekarang ini sudah jarang ditemukan masyarakat yang menggunakan rakit karena sudah ada jembatan.

Wilayah Toraja Utara didominasi oleh jajaran pegunungan yang ketiggiaannya berkisar ± 600-2.176 meter, puncak tertinggi adalah gunung Sesean (2.176 m). Selain pegunungan, di wilayah ini terdapat juga bagian–bagian datar beberapa dataran tinggi dan dataran rendah, daerah berawa, delta dan jurang. Dataran ini merupakan lembah yang membentang di kaki pegunungan yang mengitarinya.

Di daerah dataran tinggi, pencapaian aliran sungai ini kira-kira 800 m karena kondisi wilayah ini yang terletak di pegunungan dan tanpa pengaruh angin laut, suhu dapat menunjukkan perbedaan yang mencolok siang panas dan malam dingin.

Musim hujan umumnya berlangsung pada bulan November-Juni. Kadang juga hujan turun sekitar bulan Maret - April. Musim kering biasa terjadi di bulan

(31)

31

Mei – Oktober. Tetapi sebagaimana musim kering pun dapat datang lebih awal atau lebih lambat.

Kabupaten Toraja Utara terdiri dari 21 kecamatan. Luas daerah, prosentase luas terhadap luas kabupaten dan letak daerah menurut ketinggiannya dari permukaan laut perkecamatan dapat dilihat pada tabel berikut :

TABEL I

Luas Daerah dan Persentase Luas Terhadap Luas Kabupaten Dirinci Per Kecamatan Di Kabupaten Toraja Utara Tahun 2008

Kecamatan District Luas Daerah Regional Area Luas Area (km2) Prosentase Percetage (1) (2) (3) 1. Sopai 47,64 4.14 2. Kesu’ 26,00 2.26 3. Sanggalangi 39,00 3.39 4. Butao 49,50 4.30 5. Rantebua 84,84 7.37 6. Nanggala 68,00 5.91 7. Tondon 36,00 3.13 8. Tallunglipu 9,42 0.82 9. Rantepao 10,29 0.89 10. Tikala 23,44 2.04 11. Sesean 40,05 3.48 12. Balusu 46,51 4.04 13. Sa’dan 80,49 6.99 14. Bangkele kila 21,00 1.82 15. Sesean Suloara 21,68 1.88 16. Kapala Pitu 47,27 4.11

17. Dende Piongan Napo 77,49 6.73

18. Awan Rante Karua 54,71 4.75

19. Rinding Allo 74,25 6.45

20. Buntu Pepasan 131,72 11.44

21. Baruppu 162,17 14.08

Jumlah/total 1.151,47 100.00

Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2008

Melihat wilayah Kabupaten Toraja Utara terdiri atas dataran tinggi yang meliputi daerah/kecamatan Barruppu’, Buntu Pepasan, Rinding Allo,Awan Rante

(32)

32

Karua, Kapala Pitu Dende’ Piongan, sa’dan,Sopai, Buntao’ dan dataran rendah, meliputi daerah Tikala, Rantepao, Tallunglipu, Tondon, Kesu’, Sanggalangi’.

Kabupaten Toraja Utara merupakan salah satu daerah pertanian dan perkebunan. Tanaman yang dibudidayakan masyarakat Toraja Utara seperti kopi, coklat, padi serta komoditas tanaman pangan andalan lainnya yang dihasilkan seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang-kacangan, dan sayuran-sayuran. Daerah pertanian dan perkebunan meliputi Kesu’, Sopai, Sanggalangi’, Nanggala, Tondon, Balusu, Sa’dan. Daerah-daerah tersebut strategis dan cocok untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan, sedangkan daerah pemukiman dilihat dari jumlah paling banyak penduduknya adalah Rantepao karena merupakan pusat kota Toraja Utara.

Sebagai sumber daya pengembangan, sub sektor perkebunan memiliki peran yang sangat besar dalam berbagai aspek: ekonomi, ekologi, dan sosial. Pada aspek ekonomi, sektor perkebunan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan daerah, yang berimplikasi pada aspek sosial. Adapun pada aspek ekologi, sektor ini berperan besar dalam menjamin keseimbangan lingkungan hidup yang juga berdapak pada aspek-aspek sosial pembangunan.

Dengan kondisi wilayah yang cukup luas yang terletak di areal strategis merupakan potensi ekonomi terutama disektor perkebunan. Untuk menunjang ini, diperlukan jangkauan pemasaran yang luas dan tepat. Sampai saat ini, hasil bumi yang dihasilkan berupa kopi, kakao, cengkeh, dll.

Dalam bidang kehutanan, Toraja termasuk sukses melalui program partisipasi dan peran aktif masyarakat dalam memelihara hutan. Data dari dinas

(33)

33

kehutanan (2008) menunjukkan daerah yang merupakan lokasi pemeliharaan (reboisasi), meliputi, Nanggala dengan luas area 50 ha, Bangkele Kila dengan luas area 100 ha, Dende Piongan Napo dengan luas area 50 ha, dan Sa’dan dengan luas area 120 ha.

B. Aspek Demografi

1. Kependudukan dan Etnisitas

Penduduk Kabupaten Toraja Utara berdasarkan data statistik tahun 2008 berjumlah 226.125 jiwa tersebar di 21 Kecamatan, dengan jumlah penduduk terbesar yakni 25.510 jiwa mendiami Kecamatan Rantepao sedangkan kecamatan yang tingkat kepadatannya paling rendah adalah Kecamatan Bangkele Kila dan Awan Rante Karua, yaitu 5.803 dan 4.870 jiwa. Secara keseluruhan, jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari penduduk yang berjenis kelamin perempuan, yang masing-masing 118.257 jiwa penduduk laki-laki dan 108.221 jiwa penduduk perempuan. Laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Toraja Utara pada tahun 2008 dibandingkan dengan tahun 2007 mencapai 1,02% persen. Data mengenai jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan seks rasio dirinci perkecamatan di kabupaten Toraja Utara tahun 2008 dapat terlihat pada Tabel II berikut:

TABEL II

Penduduk Menurut Jenis Kelamin Dan Seks Rasio Dirinci Per Kecamatan

Di Kabupaten Toraja Utara Tahun 2008

No Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah Seks Rasio (%)

(1) (2) (3) (4) (5)

(34)

34 2 Kesu’ 7.818 7.298 15.116 107 3 Sanggalangi 5.934 5.597 11.531 106 4 Buntao 4.898 4.478 9.277 111 5 Rantebua 4.909 4.478 9.387 109 6 Nanggala 5.315 4.644 9.959 114 7 Tondon 5.762 3.865 9.627 149 8 Tallunglipu 8.037 7.543 15.580 106 9 Rantepao 12.833 12.677 25.510 101 10 Tikala 5.675 5.224 10.899 108 11 Sesean 5.930 5.619 11.549 103 12 Balusu 3.769 3.909 7.678 96 13 Sa’dan 7.746 6.806 14.552 113 14 Bangkele Kila 2.983 2.806 5.803 105 15 Sesean Suloara 3.241 2.861 6.102 113 16 Kapala Pitu 3.510 3.368 6.878 104 17 Dende Piongan 5.329 4.495 6.878 118

18 Awan Rante Karua 2.585 2.285 4.870 113

19 Rindingallo 4.600 4.030 8.630 114

20 Buntu Pepasan 7.239 6.495 13.734 111

21 Baruppu’ 3.387 3.211 6.598 105

Jumlah 118.257 108.221 226.478 109

Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2008

Penyebaran penduduk di setiap kecamatan tidak merata, hal ini dipengaruhi oleh karena keadaan topografi yang berbeda-beda dan juga karena jenis pekerjaan atau mata pencaharian dari penduduk Toraja Utara.

Adapun data presentase penduduk berumur 15 tahun ke atas menurut jenis kegiatan utama dan jenis kelamin di Kabupaten Toraja Utara tahun 2008 dapat dilihat pada tabel berikut ini:

TABEL III

Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenis Kegiatan Utama dan Jenis Kelamin

Di Kabupaten Toraja Utara Tahun 2008

No Kegiatan Utama Laki-Laki Perempuan Jumlah

(1) (2) (3) (4)

1 Bekerja 107.511 76.336 183.847

2 Mencari Pekerjaan 4.915 5.552 10.467

(35)

35 4 % Bekerja Terhadap Angkatan Kerja 95.63 93.22 94.61 5 Sekolah 18.901 18.792 37.696 6 Mengurus Rumah Tangga 1.321 39.361 40.696 7 Lainnya 15.953 9.775 25.728

8 Bukan Angkatan Kerja 36.175 67.931 104.106

9 Jumlah 148.601 149.819 298.920

10 % Angkatan Kerja Terhadap Penduduk Usia Kerja

75.66 54.66 65.11

Sumber : Hasil Survey Angkatan Kerja Nasional 2008

Dari tabel tampak bahwa angkatan kerja yang paling banyak yaitu 194.314 jiwa, dimana laki-laki sebanyak 112.426 jiwa dan perempuan sebanyak 81.888 jiwa.

Pada umumnya penduduk Kabupaten Toraja Utara merupakan penduduk asli. Adapun pendatang adalah mereka yang menikah dengan penduduk setempat yang memilih untuk tinggal menetap disana atau mereka yang bekerja sebagai PNS, pedagang, buruh, dll.

Jumlah penduduk di Kabupaten Toraja Utara terdiri dari beragam suku, misalnya: Jawa, Bugis, Makassar, Manado, Ambon, Batak. Adapun warga asing seperti Cina, India, Barat, dan tentunya suku Toraja sendiri. Umumnya mereka tinggal dan menetap di wilayah Kecamatan Rantepao, yang menjadi pusat bisnis atau perdagangan dan perkantoran.

2. Pola Pemukiman

Penduduk Toraja Utara tersebar di 21 Kecamatan dengan keadaan pemukiman yang cukup kondusif, mereka sadar akan pentingnya hidup sehat dengan menciptakan lingkungan pemukiman yang bersih dan sehat sebagai salah satu syarat terciptanya masyarakat yang sehat. Setiap keluarga memiliki

(36)

36

pembuangan tinja dan tidak membiarkan ternak berkeliaran, mereka membuatkan kadang untuk ternaknya.

Perumahan penduduk khususnya di daerah perkotaan sudah didominasi bentuk rumah yang sudah permanen atau rumah batu sedangkan daerah pedesaan ada sebagian rumah batu dan sebagian lagi rumah panggung. Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan sebagian sudah berpindah ke daerah dataran rendah atau daerah pinggir jalan karena jarak yang ditempuh ke kota cukup lama dan jarang kendaraan.alasan lain mereka pindah karena fasilitas di sebagian daerah pegunungan belum memadai, jarak rumah penduduk ke sekolah cukup jauh.

3. System Kekerabatan dan Stratifikasi Sosial a. Sistem Kekerabatan

Masyarakat sebagai suatu kesatuan sosial yang hidup dan berkembang sebagai akibat dan perkawinan akan menjadi suatu kesatuan sosial yang disebut keluarga atau rumah tangga. Keluarga adalah tempat untuk membina dan memperoleh berkat demi masa depan. Keluarga batih dan keluarga inti terdiri dari atas ayah, ibu, anak.

Hubungan kekerabatan masyarakat Toraja Utara menampakkan suatu pola melalui hubungan darah (keturunan) maupun melalui hubungan perkawinan. Semuanya tercakup dalam rumpun keluarga yang disebut sangrapuan. Bentuk sistem kekerabatan yang dianut berupa bilateral yaitu sistem yang mengikuti garis keturunan pihak bapak maupun ibu.

(37)

37

Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan. Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.

Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.

Sebagai kepala rumah tangga, bapak bertanggung jawab atas ketentraman hidup dalam keluarga, memberi perlindungan atas segala macam gangguan yang mungkin terjadi dan memberikan kebahagiaan hidup baik jasmani maupun rohani. Misalnya hubungan baik perlu dipertahankan. Oleh karena itu orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat mempunyai peranan penting dalam memelihara nilai-nilai budaya melalui nasehat atau arahan-arahan agar terciptanya insan-insan bermoral baik.

(38)

38

Mengenai pewarisan harta pusaka tidak terdapat perbedaan antara pria dan wanita mereka memiliki hak yang sama untuk memperoleh warisan dengan ketentuan bahwa besar kecilnya warisan yang diterima oleh seseorang anak didasarkan atas pengabdian anak tersebut terhadap orang tuanya baik semasa hidup maupun pada saat diupacarakan dalam upacara rambu solo’ yang berhubungan dengan arwah orang tuanya.

Istilah-istilah kekerabatan mempunyai hubungan yang erat dengan sistem kekerabatan dalam masyarakat. Adapun istilah-istilah hubungan kekerabatan dalam masyarakat Toraja Utara adalah sebagai berikut:

1. Ambe : Bapak

2. Indo : Ibu

3. Siulu Baine : Saudara perempuan 4. Siulu Muane : Saudara laki-laki 5. Adi’ : Adik 6. Sampu : Sepupu 7. Matusa : Mertua 8. Muane : Laki-laki 9. Baine : Perempuan 10. Ipa’ : Ipar

11. Anak ure : Ponakan 12. Ampo Mammi : Cucu

13. Ne’ Uttu’ : Nenek Buyut b. Stratifikasi sosial

Toraja Utara adalah nama yang digunakan saat ini untuk kawasan yang dihuni oleh mayoritas orang Toraja. Secara tradisional, wilayah ini disebut sebagai Tondok Lepongan Bulan atau Tana Matari Allo. Makna yang dikandung dalam nama itu adalah negeri yang pemerintahan dan masyarakatnya bulat bagai bulan dan matahari.

(39)

39

Orang Toraja mengenal tiga tingkatan sosial dalam masyarakatnya baik itu dalam aktivitasnya pemeliharaan adat, upacara-upacara keagamaan, sikap maupun bahasa masing-masing mempunyai disiplin sendiri.

Tingkatan pertama TOKAPUA (Tana’ Bulaan). Tingkatan ini adalah golongan kelas atas dalam masyarakat Toraja. Golongan ini terdiri dari kaum bangsawan, pemimpin adat, pemuka masyarakat. Banyak istilah dalam bahasa Toraja untuk menyebutkan golongan ini. Istilah itu seperti: Anak Patalo, Kayu Kalandona Tondok, Todi Bulle Ulunna, dan lain-lain.

Semua istilah tidak lasim dipergunakan dalam bahasa sehari-sehari tetapi dipakai dalam acara resmi atau pertempuan formal lainnya. Kata Tokapua juga tidak pakai sehari-sehari, biasa diganti dengan kata Tosugi kalau golongan bangsawan ini termasuk kaya. Bahasa sehari-hari untuk golongan Tokapua ini berlainan ditiap tempat di Toraja. Di daerah bagian selatan yang dikenal dengan nama“Tallu Lembangna“ yang mencakup kecamatan Makale, Sangngalla’ dan Mengkedek. Golongan Tokapua disebut “Puang” misalnya “Puang Makale”. “Puang sangngalla“ dan “Mengendek”.

Di Daerah bagian sebelah barat Toraja, golongan Tokapua disebut “Ma’dika“ seperti “Ma’dika Ulusalu”, “Ma’dika Bittuang“.

Di daerah bagian tengah Toraja golongan Tokapua disebut “Siambe“ untuk laki-laki dan “sindo” untuk perempuan. Misalnya Siambe’ do Buntupune’, Siambe’ lan tandung Labo’, Sindo’ lan Nanggala, Sindo’ dio Ke’te’ dan lain-lain. Tempat-tempat tersebut adalah pusat keluarga bangsawan.

(40)

40

Di daerah bagian Utara golongan Tokapua disebut “Puang” seperti Puang Sa’dan, Puang Balusu. Ada juga bagian daerah yang menyebut golongan bangsawan ini dengan “Pong”, seperti “Pong Tiku do Pangngala“, Pong Massangka do Bori’.

Pada umumnya golongan bangsawan ini yang memegang peranan dalam masyarakat Toraja sejak dahulu dan mereka pula yang mengusai tanah persawahan di Toraja.

TOMAKAKA (Tana’ Bassi) golongan menengah masyarakat Toraja disebut “Tomakaka“. Golongan ini erat hubungannya dengan Tokapua. Mereka adalah golongan bebas mereka juga memiliki tanah persawahan, Tomakaka yang tidak memiliki harta benda disebut “Tomakaka Kandian“.

TO BUDA (Tana’ karurung dan Tana’ Kua-Kua) golongan terbanyak yang menjadi tulang punggung masyarakat Toraja ialah “To Buda“. Pada umumnya mereka tidak mempunyai tanah persawahan sendiri. Mereka adalah penggarap tanah bangsawan kaum tani dan pekerja yang ulet. Tekun, dan hidup sangat sederhana. Golongan ini tidak boleh kawin dengan golongan yang lebih tinggi seperti Tokapua dan Tomakaka.

Ketiga daerah adat yang telah disebut diatas menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam stratifikasi sosial tradisional. Serta aturan pelaksanaan upacara atau aluk dan perbedaan jumlah korban utama pada upacara pemujaan tertinggi.

Di daerah adat Pekamberan, jumlah dasar kerbau pada upacara pemujaan tertinggi sebanyak 2 (dua) ekor, daerah adat Kapuangan 24 (dua puluh empat) ekor kerbau harus dikorbankan sebagai dasar persembahan korban kerbau.

(41)

41

Didaerah adat Kama’dikan dalam upacara pemujaan tertinggi, mempersembahkan seekor kerbau sebagai dasar korban.

Keempat pelapisan sosial yang telah disebut diatas, berkaitan dengan peran, hak, serta kewajiban dalam pelaksanaan suatu ritual; sebab setiap kasta atau tana’ didasarkan pada mitos kejadian manusia. Mitos kejadian manusia ini juga merupakan dasar dari apa yang dikenal sebagai ada’ oto’ na, dalam masyarakat Toraja Utara.

Pengaruh kasta atau tana’ masyarakat Toraja Utara terutama pada masyarakat perkotaan sudah ditinggalkan. Hal tersebut dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian muncullah dasar stratifikasi sosial yang baru misalnya dulunya kebanyakan faktor keturunan, namun sekarang menjadi prestasi dan kemampuan pribadi.

C. Aspek Ekonomi

1. Mata Pencaharian Penduduk

Mata pencaharian sebagian besar masyarakat Toraja Utara adalah pegawai pemerintah, pedagang, pengusaha, POLRI, TNI, Rohaniawan, Peternak, Petani, buruh dan lain-lain.Toraja Utara secara umum wilayahnya sangat cocok dengan daerah pertanian dan perkebunan karena selain daerahnya subur, juga dapat dilihat dari komoditas pertanian dan perkebunan yang cukup besar seperti kopi, coklat, jagung, ubi, kacang, dll.

2. Sarana Dan Prasarana Ekonomi

Jalan merupakan prasarana angkutan darat yang penting untuk memperlancar kegiatan perekonomian. Usaha pembangunan yang semakin

(42)

42

meningkat menuntut adanya transportasi untuk menunjang mobilitas penduduk dari dan ke suatu daerah. Kabupaten Toraja Utara saat ini dilalui oleh sebuah jalan poros yang menghubungkan antara Kabupaten Tana Toraja, bahkan menghubungkan antara Kabupaten Enrekang dan juga Kabupaten Luwu.

Sarana angkutan umum yang tersedia di Toraja Utara adalah mobil kijang dan mikrolet atau yang akrab di sebut dengan pete-pete oleh masyarakat setempat. Mobil kijang merupakan angkutan antar kota sedangkan pete-pete secara umum hanya melewati jalan poros setiap hari yang merupakan angkutan dalam kota, sedangkan yang melewati jalan desa hanya pada waktu tertentu saja seperti pada hari pasar. Selain itu terdapat beberapa buah motor ojek untuk angkutan dalam desa yang biasanya beroperasi antar desa atau dari desa ke jalan poros. Sarana angkutan lain adalah sitor/bentor yang kerap dijadikan sebagai sarana transportasi oleh sebagian penduduk dalam kota.

Sarana lain yang paling penting dalam mendukung perekonomian yaitu pasar, di Toraja Utara terdapat 1 pasar induk tradisional atau kelas I yaitu pasar Bolu dan beberapa pasar kelas II dan III seperti pasar pagi, To’karau’ dll. Ada beberapa komoditas yang diperdagangkan di pasar tradisional Toraja Utara yaitu barang-barang impor seperti plastik, peralatan rumah tangga, alat-alat pertanian, pakaian, kain, daun tembakau, pinang, sirih , gambir, tembakau dan rokok kretek (diimpor dari sulawesi Selatan dan pulau Jawa bahkan dari Cina) dan juga sayur mayur, buah-buahan, serta ikan segar (dari Luwu dan Enrekang), sedangkan komoditas lokal seperti kopi, coklat, kacang dan yang paling tidak ketinggalan

(43)

43

setiap hari pasar bahkan diluar hari pasar adalah babi dan kerbau tetapi khusus di pasar Bolu dan tidak dijual di pasar yang kelas lebih rendah.

D. Agama dan Kepercayaan 1. Agama yang dianut

Pada umumnya sebagian besar masyarakat Toraja Utara menganut agama Kristen. Hal tersebut dapat dilihat pada Perkembangan pembangunan dibidang spiritual yaitu sarana peribadatan masing-masing agama. Tempat peribadatan agama Kristen yang terdiri dari Kristen Protestan dan Katolik pada tahun 2008 masing-masing berjumlah 1.210 dan 287 unit. Ditinjau dari jumlah pemeluk agama, pada tahun 2008 di Kabupaten Toraja tercatat 326.174 Umat Kristen Protestan, 73.338 Umat Katolik, 34.345 Umat Islam dan 12.785 Umat Hindu.Dapat dilihat pada tabel:

TABEL IV

JUMLAH PENDUDUK MENURUT AGAMA DAN KEPERCAYAAN DI KABUPATEN TORAJA UTARA TAHUN 2008

AGAMA DAN KEPERCAYAAN JUMLAH

Kristen protestan 326.174

Katolik 74.338

Islam 34.345

Hindu 12.783

Sumber : BPS Toraja Utara 2008

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja tidak melepaskan diri dari kepercayaan asli yang diwariskan secara turun-temurun sejak dahulu kala yaitu Aluk Todolo. Aluk Todolo terdiri atas aluk yang berarti aturan yang telah

(44)

44

ditetapkan dan tidak dapat diganggu gugat. Kata “To“ berarti orang dan “Dolo“ berarti terdahulu. Jadi Aluk Todolo berarti peraturan dari orang-orang terdahulu.

Berpangkal dari Aluk Todolo, manusia diwajibkan mempergunakan segala yang ada didunia dan sekaligus menyembah kepada 3 oknum yaitu:

1. Puang Matua

Puang Matua berdasarkan Aluk Todolo dipandang sebagai dewa tertinggi yang dianggap sang pencipta seluruh alam yang diyakini bersemayan dibagian Ulunna Lino ( bagian utara bumi). Bentuk penyembahan kepada Puang Matua adalah mempersembahkan hewan seperti kerbau, babi, ayam.

2. Deata-deata

Deata-deata berdasarkan Aluk Todolo dipandang sebagai dewa pemelihara. Penguasa dan pengatur kehidupan yang bersemayan dibagian Matallo (bagian timur bumi). Bentuk penyembahan kepada deata-deata adalah mempersembahkan hewan seperti kerbau, babi, ayam.

3. Tomembali Puang

Tomembali Puang berdasarkan Aluk Todolo dianggap sebagai pengawas yang bersemayam di Pollo’na Lino (bagian Selatan Bumi). Betuk penyembahan kepada Tomembali Puang adalah dilakukan oleh keturunannya untuk memperingati arwah nenek moyang dengan mempersembahkan hewan seperti kerbau dan babi (Tandilitin 1978:3-4). Demikian nilai-nilai tradisional yang ada dalam Aluk Todolo masih

(45)

45

dipegang erat oleh penduduk, seperti yang tampak dalam upacara Rambu Solo dan Rambu Tuka”.

2. Kegiatan keagamaan yang rutin dilakukan

Seperti yang telah dijelaskan bahwa agama-agama yang terdapat di Toraja Utara adalah Kristen Protestan, Katolik, Islam dan Hindu.Kegiatan-kegiatan keagamaan yang rutin dilakukan masyarakat Toraja Utara seperti kebaktian rumah tangga, Natal, Paskah bagi umat Kristiani sedangkan bagi umat Islam, mereka sering mengadakan sunatan, hakekah, ta’ziah, Idul Fitri dan pernikahan yang dilaksanakan oleh masing-masing agama.

Masyarakat Toraja Utara sangat rukun saling bertoleransi antara satu dengan lainnya tanpa memandang suku dan agama, terbukti setiap ada kegiatan keagamaan, masyarakat satu sama lainnya ikut membantu mereka yang melaksanakan acara, misalnya Natal, Idul Fitri, Pernikahan, mereka bekerja bersama-sama dalam mempersiapkan acara tersebut mulai dari dekorasi sampai makanan tetapi khusus bagi orang kristen, makanannya dikerjakan di tempat yang terpisah dengan makanan yang lainnya sedangkan makanan umum biasanya orang-orang tertentu atau tidak sembarang orang yang mengerjakan mengingat ada makanan yang diharamkan oleh agama lain.

3. Kepercayaan dan Ritual Adat Istiadat

Dalam kehidupan sehari-hari, sebagian masyarakat Toraja Utara masih percaya dengan pamali, misalnya tidak boleh potong ayam atau masak ayam dirumah kalau ada anggota keluarga di rumah yang meninggal dan tidak boleh mengangkat mayat dari kuburan/liang untuk dipindahkan atau mengganti

(46)

46

peti/bungkusan mayat yang sering diadakan orang Toraja yang dikenal dengan istilah ma’nene’ kalau musim tanam karena konon katanya padi atau tanaman yang ditanam busuk.

Salah satu wujud ritual dari adat istiadat masyarakat Toraja Utara yang masih menonjol adalah upacara Rambu Tuka’ dan upacara Rambu Solo’ atau yang dikenal dengan upacara kematian, bagi masyarakat Toraja Utara pelaksanaan acara tersebut bukan berarti menghamburkan uangnya akan tetapi apa yang mereka lakukan merupakan ungkapan rasa hormat dan tanda terima kasih kepada keluarga mengingat jasa-jasanya selama hidup.

Pada Upacara Rambu Tuka’ waktunya hanya 1 (satu) hari saja tetapi pada Upacara Solo’ biasannya waktu yang diperlukan paling kurang 1 minggu dan paling lama 1 bulan karena banyak ritual-ritual yang diadakan sebelum masuk acara puncaknya misalkan pertama, mayat diarak-arak keliling kampung bahkan keliling sampai ke kota dengan istilah Ma’palao, acara tersebut biasanya dirangkaikan dengan perpindahan mayat dari rumah yang ditinggali ke rumah Tongkonan bahkan ke lapangan atau Rante kemudian disemayamkan ± 3 hari di Alang/Lumbung yang biasanya tempat menyimpan padi orang Toraja kemudian diangkat ke Lakkian/tempat mayat yang khusus disediakan, lalu diteruskan dengan acara Ma’pasilaga Tedong atau aduh kerbau kemudian masuk dalam acara inti/puncak. Meskipun masyarakat Toraja pada umumnya telah memeluk agama baru yaitu agama kristen tetapi mereka tetap memelihara apa yang mereka anggap sebagai adat Toraja. Adat yang mereka anut itu sebetulnya adalah aluk yang dianggap netral terhadap iman Kristen atau upacara adat dimana isi dan bentuknya

Gambar

TABEL II
TABEL III
TABEL IV

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui yang menjadi kendala-kendala dalam menghadapi penyelenggaraan relokasi sebagai upaya penertiban Pedagang Kaki Lima ke Pasar Tanah Abang Blok G, Jakarta

Bab ketiga berisi tentang data lapangan yang terdiri dari profil Kota Madiun secara umum, latar belakang pembentukan peraturan larangan memberi

Dengan adanya gejala tersebut, maka penelitian ini hanya dibatasi pada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap mutu proses pembelajaran pasca sertifikasi yaitu

Provinsi Daerah Istimewa merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang memiliki berbagai macam budaya dan sebagai kota pelajar yang memiliki ciri khas tersendiri baik

13 Rumah Zakat adalah sebuah Lembaga Amil Zakat Nasional yang memfokuskan pada pengelolaan zakat, infaq, shodaqoh dan wakaf secara lebih profesional dengan

Analisis kesenjangan tabungan dan investasi mengemukakan bahwa modal asing diperlukan sebagai pelengkap atas kekurangan tabungan domestik dan akan dapat meningkatkan output, Q =

Stres muncul dalam berbagai cara, seperti yang dialami karyawan PT Indo Citra Mandiri gejala stres nampak dalam berbagai bentuk misalnya karena adanya perbedaan

Oleh karena itu penelitian ini akan memaparkan mengenai konstruksi media massa pada berita korupsi Ratu Atut Chosiyah dalam kasus pemilihan kepala daerah Lebak Banten dan pengadaan