• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN PENILAIAN CT-SCAN DAN MRI DENGAN PENEMUAN OPERASI PADA PAPILOMA INVERTED SINONASAL TESIS. Ashadi Budi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBANDINGAN PENILAIAN CT-SCAN DAN MRI DENGAN PENEMUAN OPERASI PADA PAPILOMA INVERTED SINONASAL TESIS. Ashadi Budi"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

PERBANDINGAN PENILAIAN CT-SCAN DAN MRI

DENGAN PENEMUAN OPERASI PADA

PAPILOMA INVERTED SINONASAL

Penelitian Pendahuluan untuk Prediksi Lokasi Asal Tumor, Keterlibatan Sinus Paranasal, dan Stadium Tumor Papiloma Inverted

TESIS

Ashadi Budi

0906647425

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

BIDANG STUDI ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK JAKARTA

(2)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis isi adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Ashadi Budi

NPM : 0906647425

Tanda Tangan :

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh:

Nama : Ashadi Budi

NPM : 0906647425

Program studi : Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, Leher Judul tesis : Perbandingan penilaian CT-scan dan MRI dengan penemuan

operasi pada papiloma inverted sinonasal (Penelitian

pendahuluan untuk prediksi lokasi asal tumor, keterlibatan sinus paranasal, dan stadium tumor papiloma inverted

Akan diuji di hadapan dewan penguji sebagai bagian dari persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar dokter spesialis pada Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.

Dr. dr. Trimartani, SpTHT-KL(K)

Ketua Departemen THT-KL FKUI/RSCM ... dr. Nina Irawati, SpTHT-KL(K)

Ketua Program Studi ... Departemen THT-KL FKUI/RSCM

Dr. dr. Susyana Tamin, SpTHT-KL(K)

Koordinator Penelitian dan Pengembangan ... Departemen THT-KL FKUI/RSCM

Dr. dr. Retno S. Wardani, Sp.THT-KL (K)

Pembimbing THT Rinologi ... dr. Marlinda Adham, SpTHT-KL (K)

Pembimbing THT Onkologi ... dr. Vally Wulani, SpRad (K)

Pembimbing Radiologi 1 ... dr. Aviyanti Djurzan, Sp.Rad (K)

Pembimbing Radiologi 2 ... Dr. dr. Saptawati Bardosono, M.Sc

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah, puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia DR. dr. Ratna Sitompul, SpM, serta Dr. dr. C.H. Soejono, SpPD-KGer, MEpid, FACP, FINASIM sebagai Direktur Utama RSUPN Cipto Mangunkusumo (CM) serta Prof. DR. dr. Akmal Taher sebagai Direktur Utama RSCM periode lalu, dr. Omo Abdul Madjid, Sp.OG(K) selaku Direktur Umum & Operasional RSCM, Dr. dr. Ratna Dwi Restuti, Sp.THT. KL (K) sebagai Direktur Medik dan Keperawatan RSCM, dr. Ayi Djembarsari. MARS sebagai Direktur Pengembangan & Pemasaran, dr. Sumaryono, SpPD-KR sebagai Direktur Sumber Daya Manusia & Pendidikan, serta dr. Mohammad Ali Toha Assegaf, MARS selaku Direktur Keuangan, saya ucapkan terima kasih atas izin dan kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan dokter spesialis di Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher (THT-KL) FKUI/ RSCM.

Pada kesempatan yang baik ini, saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada DR. dr. Trimartani, Sp.THT-KL sebagai Ketua Departemen THT-KL FKUI/ RSCM serta DR. dr. Ratna Dwi Restuti, Sp.THT-KL yang semasa beliau menjabat sebagai Ketua Departemen THT-KL FKUI/ RSCM telah memberi kesempatan kepada saya untuk belajar di Departemen ini, serta atas didikan, bimbingan, nasihat, teladan, dan dorongan yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan ini.

Terima kasih yang tulus saya haturkan kembali kepada dr. Nina Irawati, Sp.THT-KL sebagai Ketua Program Studi Departemen Ilmu Kesehatan THT-FKUI/ RSCM

(5)

dan dr. Harim Priyono, Sp THT-KL sebagai Sekretaris Program Studi, serta dr. Fachri Hadjat, Sp.THT-KL dan DR. dr. Trimartani, Sp THT-KL yang semasa menjabat sebagai Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi periode lalu, telah memberikan bimbingan, arahan, nasihat, dukungan, serta kemudahan selama mengikuti pendidikan. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya saya sampaikan kepada DR. dr. Susyana Tamin, Sp.THT-KL sebagai Koordinator Penelitian dan Pengembangan Departemen THT FKUI/ RSCM telah memberikan dukungan dan bimbingan dalam penulisan karya ilmiah dan telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengembangkan diri.

Kepada dr. Ronny Suwento, Sp.THT-KL sebagai Koordinator Pelayanan Masyarakat Departemen Ilmu Kesehatan THT-FKUI/ RSCM, dr. Semiramis Z , Sp.THT-KL sebagai Koordinator Administrasi Keuangan Departemen Ilmu Kesehatan THT-FKUI/ RSCM saya ucapkan terima kasih atas nasihat, bimbingan, dan dukungan yang telah diberikan selama pendidikan.

Demikian pula kepada Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan THT-FKUI/ RSCM baik yang masih aktif, maupun yang telah memasuki masa purna bakti, Prof. dr. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT-KL, Prof. dr. Hendarto Hendarmin, Sp.THT-KL, Prof. dr. Hartono Abdoerrachman, Sp.THT-KL, PhD, Prof. dr. Masrin Munir, Sp.THT-KL, Prof. dr. Zainul A. Djafaar, Sp.THT-KL, Prof dr. Bambang Hermani, Sp.THT-KL, Prof. dr. Helmi, Sp.THT-KL, Prof. dr. Efiaty Soepardi, Sp.THT-KL, dan Prof. DR. dr. Jenny Bashiruddin, Sp.THT-KL, saya ucapkan terima kasih atas bimbingan, pengarahan, dorongan, nasihat, suri tauladan yang amat berharga bagi saya dalam menyelesaikan pendidikan ini.

Kepada para Ketua Divisi THT-KL FKUI/RSCM dr. Zanil Musa, Sp.THT-KL, dr. Alfian Farid Hafil, Sp.THT-KL, dr. Umar Said Dharmabakti, Sp.THT-KL, Prof. dr. Bambang Hermani, Sp.THT-KL, dr. Ronny Suwento, Sp.THT-KL, dr. Widayat Alviandi, Sp.THT-KL, DR. dr. Dini Widiarni, Sp.THT-KL, dr. Nina Irawati, Sp.THT-KL dan DR. dr. Susyana Tamin, Sp.THT-KL, saya sampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya.

(6)

Saya sampaikan terima kasih kepada seluruh staf pengajar Departemen THT-KL FKUI/RSCM, baik yang masih aktif maupun yang telah memasuki masa purna bakti, Prof. dr. Zainul A. Djafaar, Sp.THT-KL, dr. Indro Soetirto, Sp.THTKL, dr. Syarifuddin, Sp.THT-KL, dr. Entjep Hadjar, Sp.THT-KL, dr. Rusmaryono, KL, dr. Averdi Roezin, KL, Prof. dr. Efiaty Soepardi, Sp.THT-KL, dr. Damayanti Soetjipto, Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Mariana Yunizaf, Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Endang CH Mangunkusumo, KL, dr. Umar Said Dharmabakti, Sp.THT-KL, dr. Sosialisman, Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Alfian Farid Hafil, Sp.THT-Sp.THT-KL, Prof. DR. dr. Jenny Bashiruddin, Sp.THT-KL, DR. dr. Trimartani, Sp.THT-KL, dr. Armiyanto, Sp.THT-KL, dr. Zanil Musa, Sp.THTKL, DR. dr. Dini Widiarni, Sp.THT-KL, dr. Semiramis Z, Sp.THTKL, DR. dr. Susyana Tamin, Sp.THT-KL, DR. dr. Ratna D. Restuti, Sp.THT-KL, dr. Widayat Alviandi, Sp.THT-KL, DR. dr. Retno S. Wardani, Sp.THT-KL, dr. Syahrial, Sp.THTKL, dr. Marlinda Adham. Y, KL, dr. Arie W. Cahyono, KL, dr. Brastho Bramantyo, Sp.THT-KL, dr. Rusdian Utama, Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Niken Lestari, Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Elvie Zulka KR, Sp.THT-KL, dr. Tri Juda Airlangga, Sp.THT-KL, dr. Rosmadewi, dr. Mirta Hediyati, Sp.THT-KL, dr. Fauziah Fardizza, Sp.THT-KL, dr. Rahmanofa Yunizaf, Sp.THT-KL dr. Harim Priyono, Sp.THT-KL, dr. Fikry Hamdan Yasin, Sp.THT-KL dan dr. Ika Dewi Mayangsari, Sp. THT-KL atas segala bimbingan dan dukungan yang diberikan selama saya menjalani pendidikan ini.

Khusus dalam rangka penelitian dan penyelesaian karya ilmiah ini, dengan tulus dan rasa hormat tak terhingga saya ucapkan terima kasih kepada seluruh pembimbing saya DR. dr. Retno S Wardani, Sp.THT-KL, dr. Marlinda Adham, Sp.THT-KL, dr. Vally Wulani, Sp.Rad, dr. Aviyanti Djurzan, Sp.Rad, DR. dr. Saptawati Bardosono, MSc yang selalu meluangkan waktu dan bersusah payah untuk membimbing, memberi dukungan, arahan, dorongan semangat dan menguatkan hati saya dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Dengan rasa hormat yang mendalam saya ucapkan terima kasih kepada Bp. Asep Awaludin, Bp. Momod, Bp. Richard (Alm.), Ibu Siti, Ibu Ellyse, Bp. Waspada, Mba Yuni, Mas Dul, Mba Trias, Pak Sam, Bu Euis, Bu Iis, Bu Sam, mbak Ida, Mba Emi, Mas Heru dan rekan-rekan karyawan, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu

(7)

yang telah memberi kontribusi yang sangat besar terhadap penelitian saya dan dalam menyelesaikan masa pendidikan saya. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh paramedis IGD RSCM , perawat ruang rawat THT gedung A lantai 7 serta serta petugas kebersihan Departemen THT-KL FKUI/RSCM atas bantuan kerja sama yang telah diberikan kepada saya dalam melaksanakan tugas sehari-hari selama masa pendidikan ini.

Kepada Ketua Departemen THT-KL RSUP Fatmawati, dr. Syafruddin, Sp.THT-KL dan seluruh staf pengajar RS. Fatmawati, dr. Sri Susilawati, Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Sita A. Rasyad, KL, dr. Abduh, KL, dr. Diana Rosalina, Sp.THT-KL, dr. Heditya Damayanti, Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Vicky Riyadi, Sp.THT-KL dan dr. Rully Ferdiansyah, Sp.THT-KL saya ucapkan terima kasih atas segala bantuan, bimbingan, didikan, nasihat, arahan yang diberikan selama saya menjalani pendidikan di RSUP Fatmawati. Ucapan terima kasih juga kepada seluruh para medis, karyawan dan karyawati RSUP Fatmawati atas bantuan dan kerja sama yang diberikan.

Kepada Ketua Departemen THT RSUP Persahabatan dr. Purna Irawan, SpTHT-KL, dan seluruh staf pengajar RS. Persahabatan dr. Hatmansyah, Sp.THT-SpTHT-KL, dr. Dody Widodo, Sp.THT-KL, dr. Desy Anggraeni, Sp.THTKL, dr. Yulvina, SpTHT-KL, dr. Arfan Noer, SpTHT-KL dan dr. Kartika Dwiyani, SpTHT-SpTHT-KL, dr. R. Ena Sarikencana, Sp.THT-KL, saya ucapkan terima kasih atas segala bantuan, bimbingan, ajaran, nasihat dan arahan yang diberikan selama saya menjalani pendidikan di RSUP Persahabatan. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh paramedis, karyawan dan karyawati RSUP Persahabatan atas bantuan dan kerja sama yang diberikan.

Terima kasih kepada rekan-rekan seangkatan saya, dr. Adila Hisyam, dr. Arinda Putri Pitarini, dr. Bintari Nareswari, dr. Sesanti Hayuningtyas, dr. Meristiana Christiane, dr. Muslim, atas kebersamaan dan persahabatan yang terjalin selama ini serta untuk dukungan dan dorongan kepada saya untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini. Kepada seluruh kakak-kakak senior saya, khususnya kepada dr. Agieta Zulkifli Sp.THT-KL, dr. Respatih R, Sp.THT-KL, dr. Alvin R, Sp.THT-KL, dr.

(8)

Unggul, Sp.THT-KL, dr. M. Iqbal Sp.THT-KL, dr. Dian Nurul, SpTHT-KL, dr. Tina Qadarina, SpTHT-KL, dr. Evita Fitria E Sp.THT-KL, dr. Riza Rizaldi, SpTHT-KL, dr. Ena Sarikencana, SpTHT-KL, dr. Stivina Azrial Sp.THT-KL, dr. Febriyani, SpTHT-KL, dr. Arroyan W Sp.THT-KL, dr. Dina Putri Sp.THT-KL, dr. Meila S, Sp.THT-KL, dr. Daneswarry, Sp.THT-KL, dr. Nurul, Sp.THT-KL, dr. Yus Ukrowiyah, Sp.THT-KL, dr. Risdawati, Sp.THT-KL, dr. Dina Alia, Sp.THT-KL, dr. Fairuz Sp.THT-KL, dr. Hably Warganegara, Sp.THT-KL, dr. Fahmi Zaglulsyah, dr. Andre Iswara KL, dr. Eriza, dr. Putri Anugerah Sp.THT-KL, dr. Gustav S, Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Sakina U, Sp.THT-KL , dr. Yadita Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Dina Nurdiana, dr. Yassi, dr. Rina, dr. Hastuti, dr. Dwi Agustawan, dr. Riski, dan kepada teman-teman serta adik-adik, dr. Karisma, dr. Michael, dr. Indah S, dr. Tissa, dr. Novra, dr. Rossa, dr. Vindina R, dr. Junicko, dr. Anggina, dr. Jarot, dr. Dadan, dr. Ayu, dr. Dora, dr. Elisabeth, dr. Karina, dr. Evin, dr. Ikhwan, dr. Irma, dr. Adisti, dr. Nimim, dr. Rangga, dr. Meiri, dr. Hamida, dr. Fiza, dr. Indah, dr. Fariza, dr. Arum, dr. Wresty, dr. Windy, dr. Sevi, dr. Sofi, dr. Natasya, dr. Fatia, dan dr. Olvi, atas bantuan, kerja sama dan dukungan moril yang diberikan selama saya berada dalam program studi hingga menyelesaikan penelitian saya. Kepada seluruh teman sejawat peserta Program Studi Departemen THT-KL FKUI/RSCM, terima kasih atas doa, bantuan, kebersamaan, kerja sama, dukungan serta persahabatan dalam suka dan duka, yang terjalin selama mengikuti pendidikan ini dan insya Allah akan tetap terjaga untuk masa yang akan datang.

Tesis saya persembahkan khusus untuk keluarga yang saya cintai, terima kasih dan rasa sayang yang tiada terhingga untuk ayah tercinta dr. Asbudi, Sp.THT-KL dan ibu tercinta Yulita Dewi Iwawo, atas cinta kasih, kesabaran, kasih sayang dan segenap doa yang tidak pernah putus dalam membesarkan, mendidik dan mendukung setiap langkahku, semoga saya bisa menjadi anak yang dibanggakan dan selalu membahagiakan orang tua. Rasa terima kasih dan sayang yang tak terhingga juga saya persembahkan untuk ayah mertua Drs. Telmis Yantosa, Ak. dan ibu mertua Yasye Elvira atas dukungan dan doanya, dan selalu hadir setiap waktu selama saya menjalani pendidikan spesialis. Untuk istriku tercinta dr. Tania Febrina, terima kasih atas pengertian dan kesabarannya dalam mendampingi dan

(9)

selalu menyemangatiku agar bisa menyelesaikan pendidikan ini, serta untuk ketiga anakku Syakirah Alika Budi, Syakirah Alisa Budi, dan Shafiya Andhara Budi, yang selalu menungguku dan menjadi penyemangat saat tiba di rumah, maafkan untuk hari-hari yang terlewati tanpa papa di samping kalian. Kasih sayang yang tak terhingga untuk Kakak tercinta Astini Budi, SE, Golfried Chandra, ST. Adik-adikku Astrid Budi, SDs., Astari Budi, dr. Shelly Agustin, Andini Ramadhani, atas segala dukungan di setiap waktu.

Akhir kata, izinkanlah saya memohon maaf yang sedalam-dalamnya atas kesalahan-kesalahan saya atau kekhilafan yang telah saya perbuat selama masa pendidikan ini baik yang disengaja maupun tidak. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Semoga ilmu yang saya dapatkan akan lebih menyadarkan saya atas kekurangan saya dan lebih mengingatkan saya atas kebesaran-Nya, sehingga dapat saya amalkan untuk kepentingan umat dan masyarakat luas. Semoga Allah SWT selalu melindungi dan membimbing setiap langkahku serta memberikan Hidayah-Nya dalam setiap keputusanku. Amin, amin, Yaa Robbal Alamin.

Wassalamua’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xv BAB 1. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar belakang ... 1 1.2 Masalah penelitian ... 4 1.3. Hipotesis penelitian ... 5 1.4 Tujuan penelitian ... 5 1.4.1 Tujuan umum ... 5 1.4.2 Tujuan khusus ... 5 1.5 Manfaat penelitian... 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Papiloma Inverted ... 7

2.1.1 Etiologi dan Epidemiologi ... 8

2.1.2 Gambaran histologi PI ... 9

2.1.3 Diagnosis klinis ... 10

2.2 Pemeriksaan radiologi papiloma inverted ... 10

2.2.1 Pemeriksaan CT-scan ... 11

2.2.2 Pemeriksaan MRI ... 13

2.3 Penilaian pre-operatif tumor PI ... 14

2.3.1 Prediksi lokasi asal tumor PI ... 15

2.3.2 Penentuan keterlibatan sinus paranasal ... 17

2.3.3 Penentuan stadium tumor PI ... 19

2.4 Penatalaksanaan PI ... 20

2.5 Follow up papiloma inverted ... 24

2.6 Kerangka teori ... 26

2.7 Kerangka konsep ... 27

BAB 3. METODE PENELITIAN... 28

3.1 Desain penelitian ... 28

3.2 Tempat dan waktu penelitian ... 28

3.3 Populasi dan subjek penelitian ... 28

3.4 Subjek dan cara pemilihan subjek ... 29

3.5 Kriteria penelitian ... 29

(11)

3.7 Metode pemilihan subjek ... 30

3.8 Prosedur penelitian ... 31

3.9 Alur penelitian ... 35

3.10 Manajemen dan analisis data ... 36

3.11 Batasan operasional... 37

3.12 Hambatan penelitian ... 40

3.13 Etika penelitian ... 41

3.14 Organisasi penelitian ... 41

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 42

4.1 Sebaran karakteristik subjek papiloma inverted sinonasal ... 42

4.2 Sebaran lokasi asal, keterlibatan sinus paranasal dan stadium tumor berdasarkan pemeriksaan CT-scan, MRI dan penemuan saat operasi .. 44

4.3 Prediksi lokasi asal tumor PI ... 45

4.4 Prediksi menentukan keterlibatan sinus paranasal ... 47

4.5 Prediksi menentukan stadium tumor ... 50

4.6 Uji diagnostik CT-scan & MRI, dibandingkan dengan penemuan saat operasi ... 51

4.7 Alur tata laksana tumor PI ... 52

4.7.1 Memprediksi lokasi asal tumor ... 52

4.7.2 Mengetahui keterlibatan sinus paranasal ... 53

4.7.3 Prosedur operasi untuk mengetahui lokasi asal tumor ... 54

BAB 5. PEMBAHASAN ... 63

5.1 Keterbatasan penelitian ... 63

5.2 Karakteristik pasien papiloma inverted sinonasal ... 64

5.3 Prediksi lokasi asal tumor PI ... 66

5.4 Prediksi menentukan keterlibatan sinus paranasal ... 70

5.5 Prediksi menentukan stadium tumor ... 72

5.6 Kesesuaian periksaan CT-scan, MRI dan penemuan saat operasi ... 73

5.7 Manfaat pemeriksaan pre-operatif dalam alur penatalaksanaan ... 74

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN... 77

6.1 Kesimpulan ... 77

6.2 Saran ... 78

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Gambaran klinis papiloma inverted ... 7

Gambar 2.2. Gambaran koilosit ... 9

Gambar 2.3. Perbedaan gambaran PI pada CT-scan dan MRI... 13

Gambar 2.4. Gambaran hiperostosis menyerupai kerucut pada sinus maksila .. 14

Gambar 2.5. Gambaran hiperostosis pada pemeriksaan CT-scan, perlekatan tumor (kiri) dibandingkan dengan hiperostosis difus karena sinusitis (kanan) ... 15

Gambar 2.6. Gambaran dari serpentine cerebriform filamentous structure (SCF) pada pencitraan MRI, pangkalnya berupa asal tumor ... 16

Gambar 2.7. Perluasan tumor yang sentrifugal dengan pusat peluasan merupakan lokasi awal perlekatan tumor ... 17

Gambar 2.8. Perbedaan pemeriksaan MRI T1-weighted dengan kontras (kiri) dan T2-weighted tanpa kontras (kanan) ... 18

Gambar 2.9. Teknik rinotomi lateral ... 21

Gambar 2.10. Bedah eksternal maksilektomi medial ... 22

Gambar 2.11. Tumor yang melekat pada konka media dilakukan konkotomi ... 23

Gambar 2.12. Reseksi mukosa perlekatan dengan batas makroskopik jaringan mukosa sehat ... 24

Gambar 2.13. Gambaran PET-scan pada pasien dengan PI sinonasal ... 25

Gambar 4.1 Alur mendapatkan subjek penelitian ... 43

Gambar 4.2 Posisi reverse trendelenburg dengan fleksi kepala ... 54

Gambar 4.3 Pengaturan lapangan operasi ... 55

Gambar 4.4 Alat Surgical Cockpit Navigation Panel Unit Karl Storz ... 56

Gambar 4.5 Lokasi pengaturan marker pada NPU ... 57

Gambar 4.6 Pengaturan kamera sensor pada NPU ... 58

Gambar 4.7 Pengaturan marker titik registrasi pada pasien ... 59

Gambar 4.8 Tampilan menu pada NPU Karl Storz ... 60

Gambar 4.9 Hasil penggabungan CT-scan dan MRI T2-weighted ... 61

Gambar 5.1 Gambaran hiperostosis pada CT-scan. ... 66

Gambar 5.2 Perbandingan prediksi lokasi asal tumor dengan menggunakan CT-scan dan MRI... 68

Gambar 5.3 Perbedaan gambaran MRI dan CT-scan dalam ketelibatan sinus paranasal... 71

Gambar 5.4 Perbedaan prediksi stadium tumor PI pada CT-scan dan MRI pada subjek 6 ... 72

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Hasil uji diagnostik CT-scan dalam penilai perluasan massa

sinonasal oleh Annam dkk ... 12 Tabel 2.2. Ketepatan penentuan stadium tumor menggunakan CT-scan

dibandingkan dengan penemuan histopatologi ... 13 Tabel 2.3. Perbandingan sistem klasifikasi stadium tumor PI ... 20 Tabel 4.1 Sebaran karakteristik subjek papiloma inverted sinonasal ... 44 Tabel 4.2 Sebaran lokasi asal tumor, sinus paranasal berdasarkan pemeriksaan

CT-scan, MRI dan penemuan saat operasi... 45 Tabel 4.3 Kesesuaian prediksi lokasi asal tumor berdasarkan CT-scan dan

MRI dibandingkan dengan penemuan saat operasi ... 46 Tabel 4.4 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi lokasi asal tumor berdasarkan

pemeriksaan CT-scan dan MRI... 47 Tabel 4.5 Kesesuaian prediksi keterlibatan sinus paranasal berdasarkan

CT-scan dan MRI dibandingkan dengan penemuan saat operasi ... 48 Tabel 4.6 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi keterlibatan sinus paranasal

berdasarkan pemeriksaan CT-scan dan MRI ... 49 Tabel 4.7 Kesesuaian prediksi stadium tumor berdasarkan CT-scan dan MRI

dibandingkan dengan penemuan saat operasi ... 50 Tabel 4.8 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi stadium tumor berdasarkan

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Keterangan lulus kaji etik ... 85

Lampiran 2. Penjelasan penelitian kepada pasien ... 86

Lampiran 3. Surat persetujuan mengikuti penelitian ... 88

Lampiran 4. Status Penelitian ... 89

Lampiran 5. Dummy table ... 91

(15)

DAFTAR SINGKATAN

2D : 2 Dimension

3D : 3 Dimension

AJCC : American Joint Committee on Cancer

CCP : Convoluted cerebriform pattern

CD : Compact Disc

CT-scan : Computed Tomography scan

DICOM : Digital Imaging and Communications in Medicine

DNA : Deoxyribonucleic acid

DVD : Digital versatile disc

ENT : Ear Nose and Throat

HPV : Human papilloma virus

HU : Hounsfield units

KCT : Kesesuaian CT-scan dengan PSO

KMRI : Kesesuaian MRI dengan PSO

KOM : Kompleks ostio meatal

KSS : Karsinoma sel skuamosa

MPR : Multi-planar reconstruction

MRI : Magnetic Resonance Imaging

NPU : Navigation Panel Unit

NPV : Negative predictive value (nilai duga negatif)

PACS : Picture Archiving and Communications System

PET : Positron Emission Tomography

PI : Papiloma Inverted

POCT : Pre-operatif CT-scan

POMRI : Pre-operatif MRI

PPV : Positive predictive value (nilai duga positif)

PSO : Penemuan saat operasi

RS : Rumah sakit

RSCM : RS. Dr. Cipto Mangunkusumo

SCF : serpentine cerebriform filamentous structure

Sens : Sensitivitas

Spec : Spesifisitas

THT-KL : Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher

USB : Universal Serial Bus

WHO : World Health Organization

WL : Window level

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Papiloma merupakan tumor jinak epitelial yang dapat ditemukan pada daerah sinonasal. Papiloma sinonasal atau papiloma Schneiderian dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan gambaran histologinya, yaitu papiloma eksofitik atau everted

papilloma, papiloma sel silindrik atau oncocytic papilloma dan inverted papilloma.

Tumor ini memiliki karakter histologi berupa gambaran proliferasi endofitik epitel yang terbalik (inverted) ke dalam stroma dengan epitel membran basal yang utuh. Meskipun jinak, tumor ini memiliki angka kekambuhan yang tinggi dan sering dihubungkan dengan perubahan menjadi ganas, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai tumor papiloma inverted (PI) untuk menjamin reseksi yang adekuat dalam tata laksana tumor. 1-4

Gras-Cabrerizo5 dan Dammann6 mengutip dari data World Health Organization (WHO) mengenai tumor PI terjadi sebanyak 0,5 – 7% dari seluruh kasus tumor sinonasal, dengan angka insidens 0,52 – 1,5 kejadian per 100.000 kasus per tahun. Head7 mencatat terjadi 77 kasus PI sejak tahun 1972 sampai dengan 1992. Data tersebut diambil secara retrospektif di American Medical Center – University of

California Los Angeles (UCLA) dalam penelitiannya mengenai gambaran radiologi

PI pada sinus paranasal. Oikawa8 mencatat sebanyak 58 kasus PI sinonasal pada tahun 1990 sampai 2005 di Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery

Hokkaido University Hospital Japan.

Sampai saat ini belum ada data insiden PI di Indonesia. Kejadian PI di Poli Telinga Hidung Tenggorok – Bedah Kepala Leher (THT-KL) RS. Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) tercatat sebesar 54 kasus dari tahun 2008 sampai 2012, terbanyak pada usia dekade keempat dan kelima. Pria lebih banyak dibanding wanita dengan rasio 2,6 : 1.

(17)

Kosugi2 menuliskan bahwa lokasi asal tumor lebih sering pada dinding lateral kavum nasi terutama di meatus medius meluas ke maksila. Di Jepang, PI lebih sering pada pasien usia 50 sampai 70 tahun dengan rata-rata usia 53 tahun, pria lebih sering dibandingkan dengan wanita dengan rasio 4:1. Fukuda8 menjelaskan mengenai angka kekambuhan PI yang tergolong tinggi pada pengangkatan tumor dengan pembedahan eksternal yaitu hingga 78%. Mirza dkk9 menemukan dalam penelitiannya di Queens Medical Center Nottingham Inggris, tumor PI 7,1% sinkronus dengan karsinoma dan 3,7% metakronus dengan karsinoma, sehingga perlu dilakukan reseksi adekuat pada tumor PI.

Pasien datang berobat biasanya karena sumbatan hidung unilateral terus-menerus, sehingga diperlukan pemeriksaan fisik hidung hingga endoskopi hidung (nasoendoskopi). Massa tumor unilateral yang terlihat kemudian dibiopsi dan diperiksa secara histopatologi. Setelah ditegakkan diagnosis PI dari pemeriksaan histopatologi, selanjutnya dilakukan pemeriksaan pencitraan radiologik untuk mengetahui batas tumor serta jaringan sekitar yang terlibat seperti sinus paranasal, mengetahui lokasi asal serta untuk mengetahui stadium tumor jinak.

Patogenesis PI sangat erat dihubungkan dengan inflamasi kronis, yang kemudian dapat dihubungkan dengan fokus hiperostosis pada titik tertentu dan mudah dilihat pada pemeriksaan Computed Tomography scan (CT-scan). Fokus hiperostosis ini sangat khas menunjukkan lokasi asal tumor PI, yang tidak ditemukan pada jenis tumor lainnya. Perluasan tumor dapat menyebabkan sumbatan kompleks ostiomeatal (KOM) sehingga tumor ini juga sering dihubungkan dengan polip nasi dan sinusitis, karena tidak jarang polip atau sinusitis terjadi bersamaan dengan tumor PI. Batas-batas tumor, polip dan cairan dapat dengan mudah diperiksa dengan MRI. Walaupun tumor ini memiliki angka kekambuhan yang tinggi, penilaian pre-operatif berdasarkan CT-scan dan MRI dapat membantu membuat rencana operasi, sehingga mendapatkan reseksi yang adekuat.10-12

Penentuan stadium tumor jinak pada PI berguna untuk menentukan pendekatan operasi endoskopi dan mempersiapkan langkah-langkah jika memerlukan tindakan

(18)

khusus seperti maksilektomi medial, reseksi lamina papirasea, ligasi arteri sfenopalatina, penutupan kebocoran serebrospinal hingga persiapan jika memerlukan operasi dengan pendekatan eksternal. Krouse13 menjelaskan mengenai tata laksana pembedahan tumor PI sesuai dengan stadiumnya. Pada tumor stadium T1 dilakukan operasi melalui pendekatan endoskopi, sedangkan untuk tumor stadium T2 dan T3 dilakukan dengan pendekatan kombinasi dengan bedah eksternal jika lokasi asal tumor lebih memungkinkan dicapai dengan pendekatan eksternal, sedangkan stadium T4 seluruhnya di operasi dengan pendekatan kombinasi bedah eksternal dan endoskopi.11-18

Pemeriksaan pencitraan tomografi komputer atau Computed Tomography scan (CT-scan) dapat membedakan batas tumor dengan jaringan sekitarnya, namun lebih tidak spesifik dibandingkan pemeriksaan pencitraan resonansi magnetik atau

Magnetic Resonance Imaging (MRI). Hal ini disebabkan karena perbedaan densitas

yang dihasilkan oleh sinar X pada plat film CT-scan sulit dibedakan oleh mata manusia.6, 11, 16

Pemeriksaan MRI merupakan pemeriksaan pencitraan terbaik untuk mengetahui perluasan tumor jaringan lunak. Pemeriksaan ini dapat membedakan batas tumor dari jaringan sekitarnya dengan gambaran histologi papiloma menginvasi ke dalam stroma, disebut convoluted cerebriform pattern (CCP) yang khas pada PI. MRI juga dapat membedakan massa tumor dengan sekret yang terperangkap di dalam sinus. Nilai prediksi positif pada MRI sebesar 95,8% untuk mendeteksi lesi pola kolumnar pada PI, sehingga dapat memprediksi area diferensiasi PI dan karsinoma sel skuamosa. Akan tetapi belum ada penelitian mengenai ketepatan MRI dalam prediksi lokasi asal tumor, menentukan keterlibatan sinus paranasal, serta stadium tumor. Saat ini MRI belum umum menjadi permintaan Departemen THT-KL RSCM karena mahalnya harga pemeriksaan. Pemeriksaan yang umum dilakukan di RSCM adalah CT-scan. Penelitian yang dilakukan Sham19 menjelaskan peranan

CT-scan dalam memprediksi keterlibatan sinus sebesar 83 – 97%, penentuan stadium tumor sebesar 80%, dan prediksi lokasi asal tumor dari hiperostosis sebesar 100%. 14, 20-23

(19)

Hal-hal seperti tingginya angka kekambuhan PI, hubungan PI yang sering dikaitkan dengan transisi menjadi keganasan, namun memiliki ciri khas pada gambaran radiologi sehingga peneliti melakukan penelitian mengenai penilaian pre-operatif tersebut guna membuat perencanaan pembedahan. Telah banyak penelitian menyebutkan mengenai pentingnya memprediksi lokasi asal tumor, menentukan keterlibatan sinus paranasal, dan penentuan stadium tumor PI untuk merencanakan persiapan penatalaksanaan tumor sebelum dilakukan tindakan pembedahan. Walaupun demikian, sampai saat ini belum ada penelitian yang membandingkan CT-scan dengan MRI secara langsung sebagai pemeriksaan terbaik dalam menentukan penilaian pre-operatif PI.

Peneliti akan melakukan penelitian pendahuluan dengan membuat penilaian pre-operatif dengan modalitas CT-scan dan MRI. Penilaian pre-pre-operatif dibuat berdasarkan masing-masing modalitas tersebut dibandingkan dengan keadaan aslinya di meja operasi oleh dokter THT-KL untuk mendapatkan pemeriksaan mana yang paling baik dalam membantu pembedahan. Selanjutnya penelitian pendahuluan ini diharapkan akan digunakan dalam ruang lingkup yang luas dalam berbagai hal.

1.2 Masalah penelitian

1. Bagaimanakah gambaran penilaian pre-operatif dari tumor PI jika ditinjau dari pemeriksaan CT-scan dan MRI?

2. Manakah yang lebih baik dalam menentukan penilaian pre-operatif,

CT-scan atau MRI?

3. Apakah penilaian pre-operatif yang dibuat cukup akurat agar dapat menjadi dasar untuk pendekatan pembedahan?

(20)

1.3. Hipotesis penelitian

Penilaian pre-operatif yang dibuat berdasarkan MRI lebih akurat dibandingkan dengan penilaian pre-operatif CT-scan dalam menentukan prediksi lokasi asal tumor, keterlibatan sinus paranasal dan stadium tumor sistem Krouse.

1.4 Tujuan penelitian 1.4.1 Tujuan umum

Menilai kesesuaian antara penilaian pre-operatif CT-scan dan MRI dibandingkan baku emas penemuan saat operasi (PSO) untuk mendapatkan penatalaksanaan yang terbaik untuk tumor papiloma inverted.

1.4.2 Tujuan khusus

1. Mendapatkan prediksi lokasi asal tumor PI, menentukan keterlibatan sinus paranasal, dan penentuan stadium tumor PI melalui pemeriksaan CT-scan dan MRI.

2. Mendapatkan lokasi asal tumor PI, menentukan keterlibatan sinus paranasal, dan penentuan stadium tumor PI melalui penemuan saat operasi. 3. Mengetahui kesesuaian masing-masing modalitas pemeriksaan CT-scan dan MRI dalam memprediksi lokasi asal tumor PI, menentukan keterlibatan sinus paranasal, dan penentuan stadium tumor PI terhadap penemuan saat operasi.

4. Mendapatkan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, nilai rasio kemungkinan dari pemeriksaan CT-scan dan MRI dalam memprediksi lokasi asal tumor PI, menentukan keterlibatan sinus paranasal, dan penentuan stadium tumor PI.

5. Membuat rancangan alur kerja penatalaksanaan tumor PI berdasarkan penilaian pre-operatif.

(21)

1.5 Manfaat penelitian

1.5.1 Bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat membuat penilaian pre-operatif terbaik yang bermanfaat untuk penatalaksanaan pasien tumor PI.

1.5.2 Bidang akademik

1. Menambah wawasan mengenai karakteristik tumor PI secara radiologi dan histopatologi.

2. Menjadi penelitian pendahuluan untuk penelitian lain dalam skala lebih besar yang berkaitan dengan tumor PI.

1.5.3 Bagi Institusi

Menjadi data awal untuk penelitian skala nasional dalam mempelajari karakteristik tumor PI di bidang ilmu kesehatan THT-KL khususnya, serta bidang lain pada umumnya.

(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Papiloma Inverted

Papiloma merupakan tumor jinak epitelial yang dapat tumbuh pada daerah sinonasal. Papiloma Schneiderian dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan gambaran histologinya, yaitu papiloma eksofitik atau everted papilloma, papiloma sel silindrik atau oncocytic papilloma dan inverted papilloma. Papiloma inverted disebut juga papiloma Ewing, papiloma fibromiksoid, papiloma sel transisional, atau papiloma Ringertz secara klinis berupa massa pada kavum nasi yang berbentuk granuler dan menyerupai mulberry. PI merupakan tumor jinak epitelial yang berpotensi untuk bertransformasi menjadi ganas. Tumor ini dihubungkan dengan karsinoma sel skuamosa (KSS) pada 5-5% pasien. Secara lokal PI bersifat agresif dan menyebabkan erosi tulang. Angka kekambuhannya cukup tinggi, yaitu sampai dengan 78%. Hal utama yang menyebab tingginya angka kekambuhan PI adalah reseksi tumor yang tidak adekuat.2, 8

Gambar 2.1. Gambaran klinis papiloma inverted berupa gambaran granuler yang menyerupai mulberry.4

(23)

2.1.1 Etiologi dan Epidemiologi

Etiologi PI sampai saat ini tidak diketahui, namun beberapa penelitian menghubungkan kejadian PI dengan adanya human papillomavirus (HPV). Adanya HPV sering juga dihubungkan dengan transformasi PI menjadi karsinoma sel skuamosa. Inflamasi kronis juga sering dihubungkan dengan kejadian PI. Roh dkk24 membuktikan bahwa tingginya inflamasi stroma pada PI dibandingkan papiloma jenis lainnya.24, 25

Massa unilateral pada sinonasal lebih sering disebabkan oleh penyakit yang bukan neoplasma. Lathi26 mencatat 112 orang pasien dengan massa unilateral, 80 orang (71,4%) di antaranya bukan tumor, dan 32 orang (28,6%) merupakan tumor. Dari yang tercatat sebagai tumor, sembilan belas orang tumor jinak, sedangkan 13 orang tumor ganas. PI terjadi pada 7 orang pasien, yaitu 36,8% dari seluruh tumor jinak sinonasal.

Menurut World Health Organization (WHO) tumor PI terjadi sebanyak 0,5 – 7% dari seluruh kasus tumor sinonasal, dengan nilai insiden 0,52 – 1,5 kejadian per 100.000 kasus per tahun. Pria lebih sering terkena dari wanita sebanyak 4:1, umumnya pada dekade 5 hingga 7 dengan usia rata-rata 53 tahun.2-6

Head7 mencatat terjadi 77 kasus PI sejak tahun 1972 sampai dengan 1992. Data tersebut diambil secara retrospektif di American Medical Center – UCLA dalam penelitiannya mengenai gambaran radiologi PI pada sinus paranasal. Oikawa8 mencatat sebanyak 58 kasus PI sinonasal pada tahun 1990 sampai 2005 di

Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Hokkaido University Hospital Japan.

Sampai saat ini belum ada data insiden PI di Indonesia. Kejadian PI di Poli THT-KL RS. Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) tercatat sebesar 54 kasus dari tahun 2008 sampai 2012, terbanyak pada usia dekade keempat dan kelima.

(24)

Tumor ini lebih sering dilaporkan pada ras kaukasia. Lokasi asal tumor lebih sering pada dinding lateral kavum nasi terutama pada meatus medius ke dalam sinus maksila. Jenis tumor yang jinak namun agresif secara lokal sering menjadi faktor yang menghubungkan tumor ini sinkronus dengan karsinoma sel skuamosa. Tumor ini ditemukan 7,1% sinkronus dengan karsinoma dan 3,7% metakronus dengan karsinoma, sehingga perlu dilakukan reseksi adekuat pada tumor PI. 2-4, 8

2.1.2 Gambaran histologi PI

Papiloma sinonasal atau papiloma Schneiderian dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan gambaran histologinya, yaitu papiloma eksofitik atau everted

papilloma, papiloma sel silindrik atau oncocytic papilloma dan inverted papilloma. Papiloma Inverted (PI) pertama kali dipublikasikan oleh Ward pada tahun 1854.

Karakter histologi tumor ini berupa gambaran proliferasi endofitik epitel yang terbalik (inverted) ke dalam stroma dengan epitel membran basal yang utuh. Epitel kolumnar serta duktus kelenjar terjadi invaginasi, kemudian mengalami metaplasia sel skuamosa menjadi epitel sel skuamosa bertingkat yang menebal ringan di bawah epitel kolumnar hingga menjadi massa epidermoid dengan sekresi glikogen pada setiap sel.1

(25)

Penelitian hibridisasi in situ dan polymerase chain reaction mendeteksi HPV tipe 6, 11, 16, 18, 30, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59 dan 66 yang berhubungan dengan tumor PI sinonasal. Penelitian Oikawa8 mendeteksi HPV tipe 6,11,16 dan 18 hingga 86% dari pasien dengan tumor PI. Adanya deoxyribonucleic acid(DNA) HPV pada tumor ini sering dihubungkan dengan tingginya angka kekambuhan dan transformasi tumor jinak menjadi ganas. Hajdu27 menuliskan bahwa selain HPV tipe 16 dan 18, HPV tipe 31 dan 33 juga diasosiasikan dengan transformasi tumor jinak menjadi karsinoma sel skuamosa. Gambaran epitel skuamosa dengan inflamasi kronis dengan DNA HPV tampak sebagai sel halo pada perinuklear sel skuamosa yang disebut juga koilosit diketahui merupakan lesi. Faktor-faktor lain seperti merokok, pajanan zat kimia tertentu, alergi dan inflamasi kronis kadang disebutkan berperan menjadi faktor pendukung namun belum terbukti.4, 8, 27, 28

2.1.3 Diagnosis klinis

Gejala klinis PI yang paling sering adalah sumbatan hidung satu sisi yang progresif. Gejala lain yang sering terjadi berupa ingus, epistaksis, gangguan penciuman, serta keluhan-keluhan lain yang menyerupai keluhan rinosinusitis. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior atau dengan nasoendoskopi, tampak gambaran massa unilateral berbenjol-benjol menyerupai polip berwarna merah muda. Diagnosis PI ditegakkan dengan biopsi tumor dan melakukan pemeriksaan histopatologi dengan menemukan gambaran proliferasi endofitik epitel yang terbalik ke dalam stroma dengan epitel membran basal yang utuh.29

2.2 Pemeriksaan radiologi papiloma inverted

Pemeriksaan penunjang radiologi sangat membantu dalam diagnostik PI. Pada gambaran CT-scan tampak seperti gambaran massa yang tidak spesifik. Pemeriksaan radiologi yang ideal untuk PI adalah menggabungkan kedua pemeriksaan MRI dan CT-scan agar saling melengkapi, namun keterbatasan biaya sering menjadi alasan yang menjadikan CT-scan menjadi pemeriksaan rutin PI dilakukan di berbagai rumah sakit. Kesulitan dalam CT-scan adalah pemeriksaan

(26)

ini tidak bisa membedakan jaringan lunak massa dengan jaringan inflamasi seperti sinusitis yang terjadi akibat adanya massa di kompleks ostiomeatal. Kriteria analisis dan interpretasi untuk CT-scan pada PI sinonasal meliputi lokasi tumor, ukuran tumor, permukaan tumor, ada atau tidaknya kalsifikasi, destruksi tulang, penyangatan setelah penyuntikan zat kontras, serta keterlibatan struktur sekitarnya.6, 30, 31

Lokasi PI paling sering unilateral pada meatus medius (90%), dengan permukaan tumor berlobus. Kalsifikasi dapat terjadi pada 52% dari PI yang tampak berupa struktur tulang yang terperangkap dalam jaringan lunak. Destruksi tulang tampak berupa penipisan tulang, pelengkungan tulang, serta deviasi septum. Gambaran penipisan tulang berupa erosi dikaitkan dengan keganasan. Zat kontras beryodium yang disuntikkan secara intravena membuat gambaran massa menjadi heterogen. Hal ini membantu dalam membedakan massa dengan cairan, namun tidak membantu membedakan massa dengan mukosa yang inflamasi. Melalui gambaran CT-scan juga perlu dilakukan evaluasi struktur sekitar yang mungkin terlibat seperti perluasan tumor ke sakus lakrimalis, dasar otak, nasofaring, hingga ke mastoid.6

2.2.1 Pemeriksaan CT-scan

Sham19 menjelaskan dalam penelitiannya mengenai peran dan keterbatasan

CT-scan dalam mengevaluasi PI terhadap keterlibatan sinus paranasal. Nilai prediksi

positif CT-scan polos dalam ketepatannya memprediksi keterlibatan sinus sebesar 83 – 97%. Nilai prediksi positif dalam penentuan stadium tumor sebesar 80%. Keterlibatan tulang pada PI yang diperiksa menggunakan CT-scan memberikan nilai prediksi positif terbesar yaitu 100%. Hal ini berkaitan dengan memprediksi asal perlekatan tumor dengan tanda hiperostosis atau osteitis yang terjadi akibat proses inflamasi kronis.10, 11, 32

Annam dkk33 melakukan uji diagnostik CT-scan dalam menilai perluasan massa sinonasal dibandingkan dengan penemuan histopatologi. Pada penelitian ini

(27)

didapatkan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan akurasi CT-scan dalam menilai perluasan massa sinonasal pada area tertentu. Hasil akhir penelitian tersebut juga menilai stadium tumor dengan bantuan CT-scan menggunakan sistem klasifikasi TNM untuk keganasan sinonasal dari American

Joint Committee on Cancer (AJCC) edisi keenam tahun 2002. Dari 38 kasus tumor

sinonasal, ketepatan prediksi lokasi tumor menggunakan CT-scan dibandingkan penemuan histopatologi yang sama sebanyak 24 kasus. Dalam 14 kasus tersebut, 12 kasus memiliki stadium tumor (T) lebih kecil dibandingkan diagnosis CT-scan, sedangkan 2 kasus memiliki stadium tumor yang lebih besar dibandingkan diagnosis CT-scan. Kesalahan penentuan stadium tumor pada CT-scan tersering sebagai T4a, yang semestinya merupakan stadium T3 disebabkan penemuan positif palsu pada perluasan ke nasofaring, sinus frontal dan sfenoid.

Tabel 2.1. Hasil uji diagnostik CT-scan dalam penilai perluasan massa sinonasal oleh Annam dkk33

Sens : Sensitivitas Spec : Spesifisitas

PPV : Positive predictive value (nilai duga positif) NPV : Negative predictive value (nilai duga negatif)

(28)

Tabel 2.2. Ketepatan penentuan stadium tumor menggunakan CT-scan dibandingkan dengan penemuan histopatologi pada penelitian Annam33

T staging CT diagnosis Final Diagnosis

T1 2 3 T2 3 6 T3 14 18 T4a 10 8 T4b 9 3 2.2.2 Pemeriksaan MRI

Gambaran MRI pada T1-weighted memperlihatkan lesi yang isodens dengan otot,

sedangkan pada T2-weighted menunjukkan gambaran isu intens hingga hipo intens,

sehingga lesi PI tampak heterogen. Namun pada pemeriksaan MRI, gambaran PI yang menginvasi ke tulang sulit dinilai. Gambaran heterogen tumor lebih hiper intens dibandingkan otot. Area nekrosis dan obstruksi sekret akan tampak lebih terang pada T2-weighted. Dengan pemberian kontras pada T1 maka akan tampak

invasi massa.14, 30, 31

Gambar 2.3. Perbedaan gambaran PI pada CT-scan dan MRI. Pada sinus maksila pasien yang sama tampak gambaran radiopaq yang homogen pada pemeriksaan CT-scan (A), sedangkan pada gambaran MRI T2-weighted (B)

terlihat gambaran massa pada kavum nasi, sedangkan pada sinus maksila adalah retensi sekret.34

(29)

2.3 Penilaian pre-operatif tumor PI

Pencitraan radiologi dilakukan untuk mengetahui batas tumor serta jaringan sekitar yang terlibat seperti sinus paranasal, mengetahui lokasi asal serta untuk mengetahui stadium tumor jinak. Penentuan stadium tumor jinak pada PI berguna untuk menentukan pendekatan operasi endoskopi dan mempersiapkan langkah-langkah jika yang memerlukan tindakan khusus seperti maksilektomi medial, reseksi lamina papirasea, ligasi arteri sfenopalatina, penutupan kebocoran serebrospinal, hingga persiapan jika memerlukan operasi dengan pendekatan eksternal.10, 11, 28, 35, 36

Gambar 2.4. Gambaran hiperostosis menyerupai kerucut pada sinus maksila pada CT-scan (A). Terlihat gambaran sentrifugal tumor PI pada MRI (B).

Gambaran hiperostosis seperti plak pada sinus etmoid kanan yang dilihat pada pemeriksaan CT-scan potongan koronal (C) dan aksial (D).32

A B A C B A D B A

(30)

2.3.1 Prediksi lokasi asal tumor PI

Keterlibatan tulang pada PI yang diperiksa menggunakan CT-scan memberikan nilai prediksi positif terbesar yaitu 100%. Hal ini berkaitan dengan memprediksi asal perlekatan tumor dengan tanda hiperostosis. Fokus hiperostosis ditandai dengan penebalan tulang yang tampak jelas dan sklerosis yang terjadi pada hanya sebagian dari dinding sinus yang bersangkutan. Pada kasus yang melibatkan dinding lateral kavum nasi, tampak penebalan tulang dan sklerosis dari struktur tertentu seperti pada prosesus unsinatus atau pada konka. Gambaran hiperostosis yang dianggap paling bermakna adalah bentuk hiperostosis dinding tulang yang prominen dan menyerupai kerucut. Bentuk hiperostosis lain adalah bentuk yang menyerupai plak (Gambar 2.4). Hiperostosis yang terjadi secara konsentrik dan difus tidak digolongkan sebagai penemuan positif (Gambar 2.5). Bentuk hiperostosis lain berupa penipisan tulang, pelengkungan (bowing), erosi serta sklerosis akibat tekanan dan pertumbuhan tumor.10, 19, 32

Gambar 2.5. Gambaran hiperostosis pada pemeriksaan CT-scan, perlekatan tumor (kiri) dibandingkan dengan hiperostosis difus karena sinusitis

(kanan).19

Landsberg11 menjelaskan bahwa lokasi asal tumor biasanya tidak lebih dari 15 mm. Ketika melakukan diseksi tumor, mukosa yang tampak patologis harus dibuang bersama sebagian batas mukosa yang tampak normal. Pada penelitiannya, Landsberg melakukan frozen section untuk menentukan batas bebas tumor.

(31)

Pemeriksaan MRI juga mempunyai peran penting dalam memprediksi lokasi asal tumor PI. Iimura dkk37 menjelaskan bahwa pada pemeriksaan MRI pembobotan T2

(T2-weighted) tanpa kontras dan pembobotan T1 (T1-weighted) dengan kontras

terdapat gambaran convoluted cerebriform pattern yaitu gambaran hipointens dan hiperintens yang tersusun akibat gambaran epitel skuamosa yang menginvasi ke dalam stroma, yang merupakan gambaran khas tumor PI sinonasal. Iimura juga memperkenalkan istilah serpentine cerebriform filamentous structure (SCF), yaitu gambaran filamen yang tampak berasal dari lokasi awal perlekatan tumor. Struktur ini merupakan salah satu metode untuk memprediksi lokasi asal tumor pada MRI. Cara lain untuk memprediksi lokasi asal tumor jika tidak tampak serpentine

cerebriform filamentous structure (Gambar 2.6), adalah dengan mempelajari cara

PI meluas secara sentrifugal, sehingga pusat dari perluasan tersebut adalah lokasi awal tumor. Ostium sinus yang tertutup akan menyebabkan inflamasi kronis pada sinus yang terkait, sehingga rongga sinus tersebut biasanya bukan merupakan lokasi awal perlekatan tumor.14

Gambar 2.6. Gambaran dari serpentine cerebriform filamentous structure (SCF) pada pencitraan MRI, pangkalnya berupa asal tumor.37

Pertumbuhan tumor PI memiliki pola sentrifugal (Gambar 2.7), sehingga kadang perlekatannya dapat diprediksi dari cara tumor ini mendestruksi tulang sekitarnya. Hubungannya sangat erat dengan cara pengangkatan tumor, misalnya tumor yang diketahui perlekatannya pada kavum nasi dan mendesak hingga ke arah dinding

(32)

medial sinus maksila dan memenuhi antrum, tidak perlu untuk melakukan maksilektomi medial dan cukup membuang lokasi asal di kavum nasi termasuk fragmen tulang yang terkait.11

Gambar 2.7. Perluasan tumor yang sentrifugal dengan pusat peluasan merupakan lokasi awal perlekatan tumor.37

Tempat utama tumor lebih sering pada dinding lateral kavum nasi (52,6%) terutama pada meatus medius. Sinus maksila merupakan lokasi yang selanjutnya sering menjadi tempat perlekatan tumor (25,0%), diikuti dengan sinus etmoid anterior (21,1%), sinus sfenoid (6,6%), sinus frontal (6,6%), septum (2,6%), dan sinus etmoid posterior (2,6%).11, 32

2.3.2 Penentuan keterlibatan sinus paranasal

Struktur kompleks ostiomeatal (KOM) dibentuk oleh prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, sel etmoid anterior, ostium sinus etmoid anterior, ostium sinus frontal dan sinus maksila. Variasi anatomis dan lesi patologis yang menyebabkan penyempitan pada KOM dianggap berhubungan dengan patogenesis, kronisitas dan kekambuhan rinosinusitis. Adanya penyumbatan pada daerah ini kadang-kadang dapat dengan mudah dilihat menggunakan pemeriksaan rinoskopi anterior atau endoskopi. Adanya tumor yang menyempitkan daerah KOM dapat menyebabkan terjadinya rinosinusitis, sehingga tampak gambaran perselubungan pada rongga sinus yang bisa diinterpretasikan sebagai massa tumor yang telah

(33)

meluas ke dalam rongga sinus (dalam hal ini PI) atau sekret yang terperangkap di dalam rongga sinus. Gambaran ini sering terlihat pada CT-scan sinus paranasal dan dapat menyulitkan interpretasi CT-scan.38, 39

Nilai prediksi positif CT-scan polos dalam ketepatannya memprediksi keterlibatan sinus sebesar 83 – 97%. Gambaran massa tumor pada sinus dan sekret yang terperangkap terlihat berbeda dengan CT-scan dengan kontras, sehingga tampak gambaran perselubungan heterogen yang membedakan keduanya.19

Gambar 2.8. Perbedaan pemeriksaan MRI T1-weighted dengan kontras

(kiri) dan T2-weighted tanpa kontras (kanan). Tampak gambaran sekret yang

terperangkap pada lateral sinus maksila (panah tebal). Pada pertengahan sinus maksila tampak gambaran hipointens (kepala panah) dan hiperintens

(panah tipis) yang saling bergerombol membentuk gambaran convoluted cerebriform pattern (CCP).14

MRI memiliki nilai prediksi positif sebesar 95,8% untuk mendeteksi lesi pola kolumnar pada PI, sehingga dapat memprediksi area diferensiasi PI dan karsinoma sel skuamosa. Lesi pola kolumnar ini dapat membedakan batas tumor dengan jaringan sekitarnya dengan gambaran histologis papiloma yang menginvasi ke dalam stroma disebut convoluted cerebriform pattern atau septate striated

apperarance, khas pada PI. MRI juga dapat membedakan massa tumor dengan

(34)

2.3.3 Penentuan stadium tumor PI

Penentuan stadium tumor PI berhubungan dengan angka kekambuhan serta menentukan penatalaksanaan penyakit ini. Gagasan dalam mengklasifikasikan stadium PI telah dilakukan sejak tahun 2000 oleh Krouse, Han pada tahun 2001, dan sistem klasifikasi yang terbaru oleh Cannady pada tahun 2007.5, 13

Klasifikasi sistem Krouse membagi tumor menjadi 4 stadium. Klasifikasi stadium 1 jika tumor terbatas pada kavum nasi saja. Stadium 2 jika tumor melibatkan kompleks ostiomeatal, etmoid, atau keterlibatan dinding medial sinus maksila (dengan atau tanpa keterlibatan kavum nasi). Stadium 3 jika tumor telah meluas ke dinding sinus maksila selain dinding medial, atau telah meluas hingga ke sinus frontal atau sinus sfenoid. Klasifikasi stadium 4 jika tumor telah meluas di luar hidung dan sinus paranasal atau jika terdapat keganasan.4, 5, 13, 30

Sistem Han membagi PI menjadi grup I jika tumor terbatas pada kavum nasi, dinding lateral kavum nasi, dinding medial sinus maksila, sinus etmoid dan sinus sfenoid. Grup II pada sistem Han jika tumor telah meluas ke dinding lateral sinus maksila dengan atau tanpa kriteria yang termasuk dalam grup I. Pada grup III jika tumor telah meluas ke sinus frontal, dan grup IV jika tumor telah meluas keluar sinus paranasal atau kavum nasi.5

Klasifikasi sistem Cannady membagi menjadi grup A, yaitu tumor yang terbatas pada kavum nasi, sinus etmoid atau dinding medial sinus maksila. Grup B jika tumor telah meluas ke dinding sinus maksila selain dinding medial, atau meluas ke sinus frontal, atau perluasan ke sinus sfenoid. Grup C jika tumor telah meluas keluar dari sinus paranasal.5

(35)

Tabel 2.3. Perbandingan sistem klasifikasi stadium tumor PI

Krouse Han Cannady

Stadium 1:

Terbatas kavum nasi

Grup I:

Terbatas kavum nasi, dinding lateral nasal, sinus maksila, etmoid & sfenoid

Grup A:

Terbatas kavum nasi, sinus etmoid atau dinding medial sinus maksila

Stadium 2:

Pada KOM & dinding medial atau superior sinus maksila (dengan/ tanpa kavum nasi)

Grup II:

Meluas ke dinding lateral sinus maksila

Grup B:

Meluas ke dinding sinus maksila selain dinding medial, atau sinus frontal/ sfenoid

Stadium 3:

Meluas ke dinding sinus maksila selain dinding medial/ superior, atau meluas ke sinus frontal/ sfenoid

Grup III:

Meluas ke sinus frontal

Grup C:

Meluas ke luar hidung & sinus paranasal

Stadium 4:

Meluas ke luar hidung & sinus paranasal

Grup IV:

Meluas ke luar hidung & sinus paranasal

Gras-Cabrerizo5 membandingkan ketiga klasifikasi tersebut terhadap kegunaannya dalam ketepatan distribusi stadium dibandingkan dengan angka kekambuhan penyakit. Sistem Krouse dan Cannady dianggap memberikan distribusi data yang lebih baik dibandingkan sistem Han. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sistem Krouse sebab besaran distribusi data yang lebih merata, dan memiliki klasifikasi luas tumor lebih lengkap dibandingkan klasifikasi lainnya. Nilai prediksi positif CT-scan polos dalam penentuan stadium tumor diketahui sebesar 80%.19

2.4 Penatalaksanaan PI

Penatalaksanaan terbaik dari PI adalah pembedahan secara adekuat dengan eksisi cukup luas pada mukosa yang mengandung tumor. Pendekatan pembedahan dapat melalui eksternal berupa rinotomi lateral, Denker maupun Caldwell-Luc. Selain itu reseksi tumor juga dapat dilakukan secara endoskopi, serta gabungan teknik Caldwell-Luc dengan pembedahan sinus endoskopi. Teknik operasi yang akan digunakan sangat dipengaruhi oleh evaluasi tumor saat pre-operatif dengan bantuan pemeriksaan radiologi. Angka kekambuhan PI sangat berhubungan dengan residu tumor yang ada saat operasi.3, 8

(36)

Pendekatan eksternal memiliki kelebihan lapang pandang yang lebih luas namun secara kosmetik terdapat bekas insisi. Pendekatan bedah eksternal dapat dilakukan dengan teknik rinotomi lateral melalui insisi Moure. Insisi ini memotong garis imajiner pada lateral hidung mulai setinggi kantus media hingga vestibulum nasi mendapatkan ekspos yang cukup luas pada kavum nasi. Insisi ini dapat diperluas dengan teknik Weber-Ferguson yaitu memotong pertengahan bibir atas. Teknik ini memiliki kekurangan secara kosmetik yaitu bekas luka yang dapat menyebabkan jaringan parut hingga kontraktur. Untuk mengurangi efek kosmetik yang kurang baik, banyak teknik yang dilakukan. Salah satunya adalah pendekatan secara

midfacial degloving yaitu melalui insisi ginggivo-bukal dilakukan untuk

menghindari insisi kulit, namun akses ke arah sinus etmoid dan resesus frontal menjadi sulit.41, 42

Gambar 2.9. Teknik rinotomi lateral dengan insisi Moure

(A) dengan garis tegas, serta teknik bedah lanjutan yang dapat digunakan untuk mendapatkan lapang pandang yang luas

(B) pada garis putus-putus.41

Pendekatan eksternal dengan rinotomi lateral kemudian dilanjutkan dengan maksilektomi medial yaitu mengangkat dinding medial sinus maksila sehingga kavum nasi menjadi satu ruang dengan sinus maksila. Teknik ini memiliki

(37)

keuntungan lapang pandang yang cukup luas serta angka kekambuhan tumor yang cukup rendah, namun komplikasi yang terjadi adalah perdarahan pasca operasi, kontraktur, sumbatan duktus nasolakrimal.41

Gambar 2.10. Bedah eksternal maksilektomi medial.41

Pendekatan reseksi tumor secara endoskopi melalui lubang hidung saat ini lebih dipilih karena dapat menjangkau seluruhnya tanpa melakukan insisi kulit. Pemilihan pendekatan reseksi tumor sangat berhubungan dengan lokasi asal tumor. Pendekatan kombinasi eksternal dan endoskopi biasanya dilakukan pada tumor yang melekat pada dinding lateral sinus maksila atau pada dinding sinus frontal. Berbagai penelitian mengenai penggunaan endoskopi untuk reseksi tumor PI dari lokasi asalnya mencatat angka yang bervariasi mengenai angka kekambuhan tumor dari 0% hingga 24%.17, 35, 43-46

Tumor yang diketahui perlekatannya pada kavum nasi dan mendesak hingga ke arah dinding medial sinus maksila dan memenuhi antrum, tidak perlu untuk melakukan maksilektomi medial dan cukup membuang lokasi asal di kavum nasi termasuk fragmen tulang yang terkait. Pada tumor yang melekat di konka media perlu untuk dilakukan konkotomi (Gambar 2.11). Pada tumor yang melekat di dinding medial sinus maksila, operator harus melakukan maksilektomi medial untuk reseksi yang adekuat. Jika tumor berasal dari dalam sinus maksila misalnya dinding lateral, langkah tepat harus diperhitungkan untuk reseksi tumor seperti pendekatan ganda dengan Caldwell Luc.11, 13

(38)

Gambar 2.11. Tumor yang melekat pada konka media dilakukan konkotomi. S: Septum, MT: Konka media, LP: Lamina papirasea. BL: Bula etmoid,

MO: ostium sinus maksila11

Tumor yang melekat pada dinding medial sinus maksila dapat dilakukan maksilektomi medial dengan teknik endoskopi. Jika tumor melekat pada mukosa berdinding tulang tebal seperti dinding anterior, posterior atau lateral sinus maksila, resesus frontal dan dasar kavum nasi dilakukan reseksi mukosa perlekatan dan pengeboran tulang secara superfisial (Gambar 2.12). Daerah berbahaya seperti perlekatan ke lamina kribiformis dan lamina lateral berisiko untuk terjadi kebocoran cairan serebrospinal, atau daerah lateral sinus sfenoid yang berisiko menciderai nervus optikus dan arteri karotis. Pada kasus demikian sebaiknya tidak melakukan pengeboran tulang dan melakukan observasi tumor dengan endoskopi, mengingat tumor ini merupakan tumor jinak. Untuk tumor PI yang melekat pada dinding sinus frontal dapat dilakukan tindakan bedah endoskopi ke resesus frontal, sinotomi sinus frontal, operasi modifikasi Lothrop dengan endoskopi, atau bedah endoskopi dengan trepanasi sinus frontal.11, 32, 47

(39)

Gambar 2.12. Reseksi mukosa perlekatan dengan batas makroskopik jaringan mukosa sehat (A), lalu mengebor secara superfisial (B). MT: Konka

media, MS: Sinus Maksila, LP: Lamina Papirasea11

Krouse13 menetapkan tata laksana tumor berdasarkan stadium yang dibuatnya. Pada

stadium T1 seluruh tumor dioperasi secara endoskopi transnasal. Operasi endoskopi transnasal yang dilakukan pada stadium T2 dengan pendekatan eksternal jika saat operasi diperkirakan sulit membersihkan seluruh tumor. Pada stadium T3 dapat dioperasi dengan pendekatan endoskopi transnasal jika operator meyakini bahwa visualisasi serta kemampuan untuk reseksi tumor dapat dilakukan secara menyeluruh. Jika terdapat keraguan untuk reseksi tumor secara adekuat, maka pendekatan operasi sebaiknya dilakukan secara terbuka. Stadium T4 harus dilakukan dengan pendekatan terbuka agar reseksi tumor adekuat. Pendekatan terbuka dilakukan dengan berbagai cara seperti eksplorasi orbita atau prosedur bedah kraniofasial untuk menjamin reseksi tumor yang bersih. Pada tumor yang tidak dapat dioperasi, atau tumor residu setelah operasi dapat dilakukan adjuvan radioterapi.3

2.5 Follow up papiloma inverted

Angka kekambuhan PI sangat berhubungan dengan ada atau tidaknya residu pasca operasi. Hal lain yang berkaitan dengan tingginya kekambuhan PI adalah lokasi tumor, struktur histologi, metode operasi, tahap operasi, follow up pasien, kondisi demografi dan kondisi sosial ekonomi pasien.3

(40)

Kekambuhan sering terjadi dalam 2 tahun pasca operasi, namun follow up pasien jangka panjang sebaiknya tetap dilakukan setidaknya hingga 5 tahun pasca operasi, sebab PI sangat erat hubungannya dengan perkembangan menjadi karsinoma pasca operasi (metakronus karsinoma). Tumor yang kambuh kurang dari 1 tahun pasca operasi dianggap merupakan kasus yang residu. Daerah yang dicurigai masih terdapat tumor dapat dilakukan biopsi. Follow up PI akan menjadi akurat dengan melakukan pemeriksaan radiologi misalnya MRI atau CT-scan.6, 34

Gambar 2.13. Gambaran PET-scan pada pasien dengan PI sinonasal

Pada pemberian radio farmaka 18-FDG terjadi aktivitas glikolitik, sehingga pemeriksaan pencitraan Positron Emission Tomography (PET-scan) dapat bermanfaat dalam follow up PI untuk menilai kebersihan operasi atau memeriksa kemungkinan terjadinya rekurensi tumor PI. Pemeriksaan PET-scan pada PI memberikan gambaran intens menyangat pada daerah yang menyerap radio farmaka 18-FDG.3, 48, 49

(41)

2.6 Kerangka teori Hidung tersumbat unilateral Polip Curiga tumor Bukan tumor Tumor

Tumor Ganas Tumor Jinak

Papiloma Inverted

Perluasan tumor

Kavum nasi

Pemeriksaan pencitraan

Bedah eksternal Bedah Endoskopi

Bedah Endoskopi + Pendekatan

eksternal

Sinus paranasal Tulang

Hiperostosis, sklerosis Sumbatan KOM Hipoventilasi Inflamasi mukosa sinus Sekret terperangkap Biopsi Kelainan anatomi Faktor risiko:  HPV  Usia  Jenis kelamin  Merokok  Inflamasi  Alergi

(42)

2.7 Kerangka konsep

Variabel yang tidak diteliti Variabel yang diteliti

Hubungan yang tidak diteliti Hubungan yang diteliti

Papiloma Inverted

 Lokasi asal tumor

 Keterlibatan sinus paranasal dan sekitarnya

 Stadium sistem Krouse

(Pemeriksaan CT-scan dan MRI) Karakteristik:  Usia  Jenis kelamin  Merokok  Gejala klinis: o Hidung tersumbat o Unilateral/bilateral o Ingus o Gangguan penghidu o Mimisan o Sakit kepala  Gambaran histopatologi o Jenis sel o Koilosit

 Lokasi asal tumor

 Keterlibatan sinus paranasal dan sekitarnya

 Stadium sistem Krouse (Penemuan saat operasi) Pembedahan

(43)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain penelitian

Penelitian menggunakan desain penelitian potong lintang (cross sectional) dengan mengambil subjek penelitian secara konsekutif dalam waktu 1 tahun melalui 2 tahap (bipartite). Tahap pertama merupakan data dari bulan Desember 2012 sampai dengan April 2013, sedangkan tahap kedua pada bulan Mei 2013 sampai November 2013. Penelitian merupakan penelitian uji kesesuaian antara pemeriksaan penunjang CT-scan dan MRI dalam membuat penilaian pre-operatif terhadap baku emas. Baku emas penelitian ini adalah penemuan saat operasi. Penilaian pre-operatif yang dilakukan adalah memprediksi lokasi asal tumor, keterlibatan sinus paranasal serta penentuan stadium tumor PI metode Krouse.

3.2 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian akan dilakukan bersama di Divisi Rinologi dan Onkologi Departemen THT-KL FKUI RSCM, bekerja sama dengan Departemen Radiologi FKUI RSCM. Pengumpulan data penelitian dilakukan secara konsekutif selama 1 tahun dalam 2 tahap. Tahap pertama adalah data yang telah dikumpulkan bulan Desember 2012 hingga Februari 2013, sedangkan tahap kedua akan mulai pada bulan Maret 2013 sampai dengan bulan November 2013.

3.3 Populasi dan subjek penelitian 3.3.1 Populasi target

Populasi target penelitian adalah seluruh pasien dengan diagnosis awal papiloma

inverted yang telah atau akan menjalani operasi ekstirpasi tumor dan telah di periksa

(44)

3.3.2 Populasi terjangkau

Populasi terjangkau adalah seluruh populasi target yang datang saat periode penelitian.

3.4 Subjek dan cara pemilihan subjek

Subjek adalah data sekunder yang didapatkan dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria penelitian.

3.5 Kriteria penelitian 3.5.1 Kriteria inklusi

1. Pasien PI baru yang memiliki data pemeriksaan CT-scan dan MRI, yang akan dilakukan operasi ekstirpasi tumor.

2. Pasien PI yang telah dioperasi serta memiliki data pemeriksaan CT-scan dan MRI sebelum operasi, dengan data laporan operasi yang menjelaskan lokasi asal tumor, keterlibatan sinus paranasal, serta stadium tumor sistem Krouse sebelum operasi.

3. Pasien PI kambuh yang pernah dioperasi, dan memiliki data pemeriksaan CT-scan dan MRI terbaru, yang akan dilakukan operasi kembali.

4. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini dengan menandatangani surat persetujuan (informed consent).

3.5.2 Kriteria eksklusi

1. Pasien dengan kelainan kongenital maksilofasial.

2. Pasien PI yang tidak mau dioperasi atau tidak setuju untuk masuk ke dalam subjek penelitian.

3. Pasien yang memiliki kontraindikasi medis, sehingga tidak dapat dilakukan operasi.

(45)

3.6 Besar subjek minimal

Besar subjek ditentukan dengan menggunakan rumus subjek untuk penelitian potong lintang (subjek tunggal untuk uji hipotesis suatu populasi) yaitu:

𝑛 = (𝑧𝛼)2𝑃𝑄 𝑑2

Keterangan:

n : Jumlah subjek minimal yang diperlukan

P : Kesesuaian lokasi asal atau keterlibatan sinus paranasal atau papiloma

inverted pada pemeriksaan CT-scan dan MRI

Q : 1-P

: Tingkat kepercayaan 95%

d : Kesalahan (absolut) yang dapat di tolerir

Saat penelitian dibuat belum terdapat data sebelumnya yang membandingkan

CT-scan dan MRI sebagai penilaian pre-operatif sehingga jumlah subjek minimal yang

dibutuhkan belum dapat dihitung. Dari studi kepustakaan yang dilakukan peneliti didapatkan subjek minimal sebanyak 10 orang pasien pada penelitian retrospektif dilakukan oleh Ojiri14 mengenai gambaran MRI pada papiloma inverted sinonasal.

3.7 Metode pemilihan subjek

Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan, subjek penelitian dikumpulkan secara konsekutif selama 1 tahun dengan desain cross sectional. Tahap pertama merupakan data bulan Desember 2012 hingga April 2013, sedangkan tahap kedua selama 6 bulan dimulai pada bulan Mei 2013 sampai dengan November 2013. Setiap subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak terdapat kondisi sesuai dengan kriteria eksklusi diikutsertakan dalam penelitian sampai waktu penelitian berakhir.

(46)

3.8 Prosedur penelitian 3.8.1 Alat-alat penelitian

1. Catatan medik pasien

2. Formulir persetujuan penelitian 3. Formulir status penelitian

4. Set endoskopi video dan lightsource dengan endoskop rigid 0o, 30o, 45o dan 70o merek Karl Storz.

5. Hasil pemeriksaan patologi anatomi dengan kesimpulan papiloma inverted 6. Perangkat CT-scan Dual Source 128 slice SOMATOM definition flash

merek Siemens.

7. Perangkat MRI MAGNETOM Avanto 1,5 Tesla merek Siemens.

8. Hasil pemeriksaan CT-scan dengan dan tanpa kontras pasien sebelum operasi dalam bentuk format Digital Imaging and Communications in

Medicine (DICOM) tanpa kompresi, dimensi matriks 512 x 512 pixel, irisan

aksial minimal 1 mm.

9. Hasil pemeriksaan MRI dengan dan tanpa kontras pasien sebelum operasi dalam bentuk format DICOM tanpa kompresi, dimensi matriks 512 x 512 pixel, irisan minimal 3 mm. Protokol pemeriksaan MRI T1-weighted

sebelum kontras dengan dimensi aksial, T2-weighted sebelum kontras

dengan dimensi aksial, sagital dan koronal, serta fat suppressed T1-weighted

pasca kontras potongan aksial, sagital dan koronal.

10. Perangkat komputer yang memiliki piranti lunak Picture Archiving and

Communication System (PACS) workstation untuk membaca format

DICOM.

11. Surgical Cockpit Navigation Panel Unit (NPU) model 408000 01 merek Karl Storz.

Gambar

Gambar 2.1. Gambaran klinis papiloma inverted berupa gambaran granuler  yang menyerupai mulberry
Gambar 2.2. Gambaran koilosit 27
Tabel 2.1. Hasil uji diagnostik CT-scan dalam penilai perluasan massa  sinonasal oleh Annam dkk 33
Tabel 2.2. Ketepatan penentuan stadium tumor menggunakan CT-scan  dibandingkan dengan penemuan histopatologi pada penelitian Annam 33
+7

Referensi

Dokumen terkait