DISTRIBUSI SPASIAL FITOPLANKTON
DI PERAIRAN SELAT BALI
DWI YUNI WULANDARI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011RINGKASAN
Dwi Yuni Wulandari. C24070036. Distribusi Spasial Fitoplankton di Perairan Selat Bali. Dibawah bimbingan Enan M. Adiwilaga dan Niken T.M. Pratiwi. Selat Bali merupakan perairan yang memisahkan antara pulau Jawa dan pulau Bali. Perairan Selat Bali memiliki kesuburan yang tinggi. Salah satu indikasinya adalah keberadaan fitoplankton yang melimpah. Fitoplankton memiliki peran sebagai produser primer pada ekosistem akuatik. Keberadaan fitoplankton di suatu perairan, ditentukan oleh interaksinya dengan faktor fisika dan kimia perairan. Fitoplankton terdistribusi di semua perairan, baik secara vertikal maupun horizontal. Distribusi fitoplankton secara horizontal banyak dipengaruhi oleh faktor fisik dan kimia. Faktor fisik dan kimia itulah yang menyebabkan kelimpahan fitoplankton berbeda dan distribusi horizontal yang tidak merata. Penelitian mengenai distribusi fitoplankton di perairan Selat Bali belum banyak diketahui. Penelitian fitoplankton di Selat Bali selama ini hanya melihat distribusi vertikal tanpa melihat distribusi horizontalnya. Karenanya penelitian ini berfokus pada distribusi spasial fitoplankton secara horizontal. Pada penelitian ini distribusi horizontal tersebut dilihat berdasarkan perbedaan karakteristik fitoplankton (kelimpahan dan jumlah jenis) di perairan bagian nearshore (perairan dekat pantai) dan perairan offshore (perairan laut terbuka). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola distribusi spasial secara horizontal fitoplankton di perairan Selat Bali dan melihat perbedaan antara perairan nearshore dan offshore berdasarkan komposisi jenis dan kelimpahan fitoplanktonnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dasar mengenai potensi kesuburan perairan di Selat Bali. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2011 di perairan Selat Bali yang dibagi menjadi dua wilayah yaitu perairan dekat pantai (nearshore) dan perairan laut terbuka (offshore). Metode pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu sample survey method, yaitu pengumpulan data dari sejumlah individu dalam waktu yang sama yang akan menghasilkan keadaan umum atau generalisasi bagi lingkungan yang diteliti. Analisis data yang dilakukan ialah pola distribusi fitoplankton yang diketahui dengan menggunakan Indeks Dispersi Morisita (Iδ) dan pengelompokan stasiun berdasarkan kelimpahan fitoplankton menggunakan Indeks Bray-Kurtis. Kedua analisis tersebut menggunakan software Minitab versi 15.0. Berdasarkan hasil pengamatan, fitoplankton di perairan Selat Bali secara umum terdiri dari tiga kelas, yaitu kelas Bacillariophyceae, kelas Dinophyceae, dan kelas Cyanophyceae, dengan komposisi dan kelimpahan fitoplankton tertinggi dari kelas Bacillariophyceae. Kelimpahan tertinggi berada pada stasiun offshore-1 dengan 1.566.766 sel/m3 dan yang terendah pada stasiun nearshore-3 dengan 123.308 sel/m3. Pola distribusi fitoplankton di perairan Selat Bali berdasarkan Indeks Morisita adalah berkelompok. Pengelompokan stasiun berdasakan kelimpahan fitoplankton di peraian bagian offshore membentuk 3 kelompok, sedangkan untuk perairan nearshore membentuk 2 kelompok. Sebaran fitoplankton berdasarkan komposisi jenis dan kelimpahan fitoplanktonantarstasiun tidak sama walaupun letak stasiun berdekatan. Jumlah jenis dari fitoplankton di bagian offshore lebih tinggi dibanding bagian nearshore, tetapi untuk kelimpahan, fitoplankton di perairan bagian nearshore secara umum lebih tinggi dan seragam.
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : Distribusi Spasial Fitoplankton di Perairan Selat Bali adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari skripsi ini. Bogor, Desember 2011Dwi Yuni Wulandari C24070036
DISTRIBUSI SPASIAL FITOPLANKTON
DI PERAIRAN SELAT BALI
DWI YUNI WULANDARI C24070036 Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011PENGESAHAN SKRIPSI
Judul : Distribusi Spasial Fitoplankton di Perairan Selat Bali Nama Mahasiswa : Dwi Yuni Wulandari Nomor Pokok : C24070036 Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui: Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. NIP 19481207 198012 1 001 NIP 19680111 199203 2 002 Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya PerairanDr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. NIP. 19660728 199103 1 002
Tanggal ujian : 21 November 2011
PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Distribusi Fitoplankton di Perairan Selat Bali”. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan pada bulan Maret 2011 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga dan Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. selaku komisi pembimbing, dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil. selaku komisi pendidikan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan yang telah banyak membantu memberikan bimbingan, saran, dan masukan sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Di samping itu, Penulis berterimakasih kepada Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti salah satu kegiatan penggelaran kabel telekomunikasi bawah laut dalam rangka menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dari tulisan ini karena keterbatasan pengetahuan penulis. Meskipun demikian, Penulis berharap bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak. Bogor, Desember 2011 PenulisUCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga dan Dr. Ir. Niken TM Pratiwi, M.Si. selaku komisi pembimbing atas segala bimbingan, saran dan masukan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. 2. Ir. Zairion, M.Sc. selaku pembimbing akademik. 3. Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil. selaku Ketua Komisi Pendidikan Departemen MSP dan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku penguji tamu. 4. Staf Tata Usaha Departemen MSP khususnya Mba Widar dan Mba Maria, Staf Laboratorium Bio Mikro 1 khususnya Ibu Siti atas arahan selama Penulis melakukan penelitian serta seluruh civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas bentuannya kepada Penulis. 5. Seluruh awak kapal Baruna Jaya VIII dan Bapak Iwan Muluk atas pengetahuan dan ilmu yang didapat Penulis selama sampling. 6. Keluarga tercinta, Bapak Budi Abdulrahman dan Ibu Sri Suharyati yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materil, Teh Unik dan Amon serta keluarga besar Mustafa Badri dan keluarga besar Sumar atas dukungannya. 7. Teman satu penelitian Arif Nurcahyanto dan Adang Supardan atas kerja sama dan kekompakan selama penelitian. 8. Tim larva (Ipul, Furry, Rini), Alim, Endah, Ari, Nunu, Cemay, Mega, Eci, August, Zulmi, Omen, Ica, Tim Lido 1 dan 2 (Ayu, Amanah, Eki, Arif, Iboth, Hendry, Adek, Dita, Ade Willy), dan teman-teman seperjuangan MSP 44 lainnya atas kebersamaan selama ini. 9. Terima kasih CINGO, atas semangat dan persahabatannya. 10. Teman-teman Wisma Mega 1 lantai 2 atas dukungannys (Umy, Henong, Ipul, Ima, Dian).RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung, tanggal 2 Juni tahun 1989, merupakan anak kedua dari Bapak Budi Abdulrahman dan Ibu Sri Suharyati. Riwayat pendidikan Penulis dimulai dari TK Bandung Raya (1994-1995), SDN Perumnas Cijerah II (1995-2001), SLTP Negeri 1 Bandung (2001-2004), dan SMA Negeri 9 Bandung (2004-2007). Pada tahun 2007 Penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), kemudian diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, Penulis pernah aktif menjadi reporter di Koran Kampus IPB (2007/2008), aktif di Himpunan Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) periode 2008/2009 sebagai anggota divisi Public Relation (PR), periode 2009/2010 sebagai anggota divisi Hubungan Luar Dalam dan Teknologi Informasi, serta mengikuti kepanitiaan dari beberapa kegiatan di linkungan kampus IPB. Penulis juga berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Avertebrata Air (2009- 2011), Planktonologi (2010), dan Iktiologi Fungsional (2011). Selain itu, Penulis juga pernah menjadi salah satu pemenang Program Kreativitas Mahasiswa Artikel Ilmiah (PKM-AI) yang berjudul “Kajian Mengenai Kandungan Total Coliform dan E. coli pada Air Sumur di Pemukiman Padat Penduduk (Babakan Raya dan Babakan Doneng, Darmaga, Bogor)”, serta pernah mengikuti magang di Instalasi Pengolahan Air Limbah Bojong Soang, Kabupaten Bandung pada tahun 2008. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Penulis menyusun skripsi yang berjudul “Distribusi Spasial Fitoplankton di Perairan Selat Bali”.DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ...iii DAFTAR GAMBAR ...iv DAFTAR LAMPIRAN ...v1.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1 1.2 Rumusan Masalah ...2 1.3 Tujuan dan Manfaat ...2 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Selat Bali ...3 2.2 Fitoplankton ...3 2.2.1 Kelas Bacillariophyceae (Diatom) ...4 2.2.2 Kelas Dinophyceae (Dinoflagellata) ...5 2.2.3 Kelas Cyanophyceae ...5 2.2.4 Kelas Crysophyceae ...5 2.3 Distribusi Fitoplankton ...6 2.4 Parameter Fisika-Kimia Perairan ...7 2.4.1 Suhu...7 2.4.2 Salinitas ...7 2.4.3 Oksigen terlarut ...7 2.4.4 Kekeruhan... 8 2.4.5 Nutrien ...8 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ...11 3.2 Alat dan Bahan ...11 3.3 Prosedur Penelitian ...12 3.2.1 Penentuan stasiun ...12 3.2.2 Pengambilan contoh fitoplankton ...12 3.2.3 Pengambilan contoh kualitas air...13 3.4 Analisis Data ...13 3.3.1 Analisis pola penyebaran individu fitoplankton...14 3.3.2 Indeks kesamaan antar stasiun ...14 3.3.3 Regresi linear sederhana dan korelasi ...15 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.4 Hasil...17 4.1.1 Komposisi fitoplankton ...17 4.1.2 Kelimpahan fitoplankton ...20 4.1.3 Suhu...21 4.1.4 Salinitas ...22 4.1.5 Oksigen terlarut ...234.1.6 Kekeruhan... 24 4.1.7 Kandungan nutrien ...25 4.1.8 Pola distribusi fitoplankton... 27 4.1.9 Pengelompokan stasiun berdasarkan kelimpahan jenis fitoplankton ...27 4.1.10 Regresi linear sederhana dan korelasi ...29 4.2 Pembahasan ...30 4.3 Distribusi Fitoplankton Bagi Pengelolaan Sumberdaya Perairan di Selat Bali ...33 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...35 5.2 Saran ...35 DAFTAR PUSTAKA ...36 LAMPIRAN...40
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Alat dan bahan untuk melakukan pengamatan (Eaton et al. 2005) ...12 2. Jumlah dan komposisi jenis fitoplankton ...17 3. Nilai kandungan nitrat-nitrogen pada stasiun offshore dan nearshore...26 4. Nilai kandungan fosfat pada stasiun offshore dan nearshore ...27DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Diagram alir penelitian mengenai distribusi fitoplankton ...2 2. Lokasi penelitian di perairan Selat Bali ...11 3. Komposisi jumlah jenis fitoplankton ...18 4. Komposisi fitoplankton berdasarkan kelimpahan ...18 5. Komposisi diatom berdasarkan kelimpahan di perairan bagian offshore...19 6. Komposisi diatom berdasarkan kelimpahan di perairan bagian nearshore...19 7. Kelimpahan fitoplankton di perairan offshore (A) dan nearshore (B) ...21 8. Nilai suhu di perairan offshore (A) dan nearshore (B) ...22 9. Kadar salinitas di perairan offshore (A) dan nearshore (B) ...23 10. Oksigen terlarut di perairan offshore (A) dan nearshore (B)...24 11. Kekeruhan di perairan offshore (A) dan nearshore (B) ...25 12. Dendogram pengelompokan stasiun di perairan offshore ...28 13. Dendogram pengelompokan stasiun di perairan nearshore ...29DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Stasiun pengambilan contoh... 41 2. Alat yang digunakan selama penelitian...42 3. Kelimpahan fitoplankton di perairan bagian offshore...43 4. Kelimpahan fitoplankton di perairan bagian nearshore...44 5. Jenis-jenis fitoplankton yang ditemukan ...45 6. Nilai kualitas air ...47 7. Matriks similaritas Bray-Kurtis di perairan bagian offshore dan nearshore...48 8. Analisis data penelitian dengan regresi linear sederhana ...49 9. Rataan nilai indeks dispersi morisita (Iδ) masing-masing genera di perairan bagian offshore dan nearshore ...51
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Selat Bali merupakan perairan yang memisahkan antara pulau Jawa dan pulau Bali. Selain itu, Selat Bali juga menghubungkan dua perairan, yaitu Laut Bali di bagian utara dan Samudra Hindia di bagian selatan. Selat Bali termasuk daerah perairan yang relatif sempit sekitar 960 mil2. Mulut selat di bagian utara lebih sempit (1 mil) dan dangkal, sedangkan mulut selat di bagian selatan lebih lebar (28 mil) dan dalam, dengan demikian perairan Selat Bali lebih dipengaruhi oleh massa air dari Samudra Hindia. Perairan Selat Bali memiliki kesuburan yang tinggi. Salah satu indikasinya adalah keberadaan fitoplankton yang melimpah (Burhanudin and Praseno 1982). Fitoplankton merupakan organisme mikroskopis yang bersifat autotrof atau mampu menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik melalui proses fotosintesis dengan bantuan cahaya. Oleh karena itu, fitoplankton memiliki peran sebagai produser primer pada ekosistem akuatik. Nielsen (1975) menyatakan bahwa kurang lebih 95% produksi primer di laut berasal dari fitoplankton. Keberadaan fitoplankton di suatu perairan ditentukan oleh interaksinya dengan faktor fisika dan kimia perairan. Beberapa faktor yang penting ialah intensitas cahaya, suhu, dan nutrien. Lapisan permukaan pada perairan laut lepas memiliki intensitas cahaya dan suhu yang cukup namun miskin akan kandungan nutrien. Konsentrasi nutrien di laut sangat dinamis yang dipengaruhi oleh arus dan musim; demikian pula dengan kelimpahan plankton yang dinamis tergantung konsentrasi nutriennya (Nontji 2007). Fitoplankton terdistribusi di semua perairan, baik secara vertikal maupun horizontal. Distribusi fitoplankton secara horizontal banyak dipengaruhi oleh faktor fisik seperti pergerakan massa air dan kimia, misalnya nutrien. Oleh karena itu kelimpahan fitoplankton lebih tinggi pada daerah dekat daratan yang dipengaruhi oleh estuari karena memiliki nutrien yang lebih tinggi dibandingkan di daerah oseanik. Faktor fisik dan kimia itulah yang menyebabkan distribusi horizontal fitoplankton tidak merata dan kelimpahan fitoplankton yang berbeda. Penelitian mengenai distribusi spasial fitoplankton di perairan Selat Bali masih belum banyak dilakukan. Seperti diketahui bahwa distribusi fitoplankton danproduktivitasnya sangat menyebar baik secara spasial maupun temporal. Penelitian fitoplankton di Selat Bali selama ini hanya melihat distribusi vertikal saja tanpa melihat distribusi horizontalnya. Oleh karena itu, penelitian ini berfokus pada distribusi spasial fitoplankton secara horizontal. 1.2. Rumusan Masalah Fitoplankton dalam perairan berperan sebagai produser primer. Pada umumnya keberadaan fitoplankton di suatu perairan didukung oleh ketersediaan cahaya, nutrien, serta kualitas air yang optimal. Sebagian besar nutrien di laut lepas terdapat pada lapisan perairan yang lebih dalam. Hal ini menyebabkan kelimpahan fitoplankton di bagian permukaan laut lepas menjadi sedikit. Perubahan secara fisika dan kimia suatu perairan seperti peristiwa naiknya massa air, keberadaan nutrien, dan pergerakan arus akan mempengaruhi distribusi fitoplankton baik komposisi jenis maupun kelimpahannya. Hal ini tergambar pada diagram alir penelitian (Gambar 1). Hidrodinamik • Distribusi spasial Kualitas Air Suhu, salinitas, oksigen, nutrien (N, P) Kelimpahan Fitoplankton Nutrien (N,P,Si) fitoplankton • Kaitan distribusi spasial fitoplankton dengan parameter kualitas air Fitoplankton Gambar 1. Diagram alir penelitian mengenai distribusi fitoplankton 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari distribusi spasial fitoplankton secara horizontal di perairan Selat Bali berdasarkan komposisi jenis dan kelimpahannya. Penelitian ini merupakan penelitian dasar yang diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi mengenai potensi kesuburan perairan di Selat Bali.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali Selat adalah sebuah wilayah perairan yang menghubungkan dua bagian perairan yang lebih besar, dan karenanya pula biasanya terletak diantara dua daratan (Priyono et al. 1992). Salah satu selat yang ada di Indonesia yang memiliki peranan yang sangat penting adalah Selat Bali. Selat Bali memisahkan antara pulau Jawa di sebelah barat dan pulau Bali di sebelah timur. Perairan ini menghubungkan Laut Bali di bagian utara dan Samudra Hindia di bagian selatan. Selat Bali merupakan perairan yang relatif sempit, dengan luas sekitar 960 mil2. Mulut di bagian utara lebih sempit (1 mil) dengan perairan yang dangkal sedangkan mulut di bagian selatan lebih lebar (28 mil) dengan perairan yang dalam, sehingga perairan Selat Bali lebih dipengaruhi oleh massa air dari Samudra Hindia (Burhanudin and Praseno 1982). Perairan Selat Bali memiliki kesuburan yang tinggi, dengan produktivitas tertinggi pada musim timur yang disebabkan oleh fenomena upwelling di perairan Samudra Hindia. Saat terjadi upwelling, nutrien di perairan seperti nitrat dan fosfat yang sangat penting bagi perkembangan fitoplankton, meningkat tajam. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan kelimpahan fitoplankton (Arinardi 1989). Karena kesuburan perairannya, Selat Bali juga kaya akan potensi perikanan seperti ikan lemuru (Sardinella lemuru). Ikan lemuru merupakan ikan plankton feeder atau ikan pemakan plankton. Menurut Pradini et al. (2001), ikan lemuru termasuk ikan pemakan fitoplankton terutama dari kelas Bacillariophyceae seperti Coscinodiscus sp., Pleurosigma sp., Nitzschia sp., dan dari kelas Dinophyceae seperti Peridinium sp., dan Ceratium sp. 2.2. Fitoplankton Plankton merupakan organisme air baik hewan (zooplankton) atau tumbuhan (fitoplankton) yang hanyut secara bebas yang pergerakan atau penyebarannya bergantung pada pergerakan massa air seperti arus dan gelombang. Fitoplankton memiliki peranan yang penting dalam ekosistem laut karena berperan sebagai produser primer yang akan menunjang kehidupan di laut, sehingga fitoplanktondisebut juga sebagai dasar dari jaring-jaring makanan dalam suatu ekosistem perairan. Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil akan melakukan fotosintesis. Melalui proses ini, air dan karbondioksida dengan bantuan sinar matahari serta nutrien akan menghasilkan senyawa organik (Raymont 1984; Nybakken 2005). Kelimpahan fitoplankton di perairan juga dapat menggambarkan kondisi lingkungan perairan termasuk kesuburan (Venrick 1982). Menurut studi yang dilakukan oleh Primakov and Nikolaenko (2001), menyatakan bahwa plankton merespon setiap perubahan yang terjadi di lingkungannya, terutama perubahan bahan organik. Kategori plankton berdasarkan ukuran sel umumnya terbagi menjadi empat kelompok, yaitu ultraplankton (< 5 µm), nanoplankton (5-70 µm), mikrofitoplankton (70-100 µm), dan makrofitoplankton (>100 µm). Sebagian besar fitoplankton merupakan ultraplankton dan nanoplankton (Kennish 1990). Bentuk dari fitoplankton bervariasi sesuai dengan strategi mempertahankan daya apung tubuhnya di kolom perairan. Bentuk fitoplankton yang umum ditemukan adalah bentuk jarum, benang, bola, dan cakram (Nybakken 2005). Fitoplankton sebagai produsen utama di laut terdiri dari diatom (kelas Bacillariophyceae), dinoflagellata (kelas Dinophyceae), coccolithopores (kelas Prymnesiophyceae), silikoflagellata (kelas Chrysophyceaea), dan alga hijau biru (kelas Cyanophyceae). Fitoplankton yang umum terdapat di laut biasanya berukuran besar dan terdiri dari dua kelompok yang mendominasi yaitu diatom dan dinoflagelata. 2.2.1. Kelas Bacillariophyceae (Diatom) Diatom merupakan kelompok terbesar fitoplankton di lautan yang berperan dalam produktivitas primer (Kennish 1990). Umumnya diatom berukuran 5 µm–2 mm. Karakteristik utamanya adalah dinding sel yang mengandung silikat. Sel-sel diatom memiliki bentuk yang bervariasi antar spesies dan memiliki ukuran bervariasi di dalam satu spesies (Grahame 1987; Nontji 2008). Apabila Diatom mati, maka cangkangnya akan tetap utuh dan mengendap menjadi sedimen. Pada umumnya Diatom berupa sel tunggal, tetapi ada beberapa yang hidup berkoloni. Diatom terdapat di semua bagian lautan, tetapi melimpah di daerah permukaan dan lintang tinggi, karena terdapat air dingin yang penuh nutrien apabila terjadi
upwelling terutama saat musim timur (April-Oktober). Menurut Odum (1971), Diatom cenderung mendominasi fitoplankton di perairan dingin, sedangkan Dinoflagellata lebih banyak di perairan subtropis dan tropis. Jika Diatom melimpah di daerah dekat pantai, maka pada daerah oceanik keberadaan Diatom akan digantikan oleh Dinoflagellata. Namun keadaan seperti ini tidak berlaku untuk perairan pantai di daerah tropis (Raymont 1984). Distribusi plankton diatom bervariasi secara temporal dan spasial, yang banyak ditentukan oleh faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Sebaran horizontal misalnya banyak ditentukan oleh faktor suhu, salinitas, dan arus (Nontji 2008). Contoh dari Diatom ialah Coscinodiscus, Chaetoceros, Eucampia, dan Rhizosolenia. 2.2.2. Kelas Dinophyceae (Dinoflagellata) Dinoflagellata merupakan kelompok terbesar di perairan laut, setelah Diatom. Ciri khas dari kelas ini adalah bersel tunggal, berwarna coklat muda mempunyai sepasang flagella yang digunakan sebagai alat gerak dalam air dan tidak memiliki cangkang luar (Nybakken 2005). Menurut Kennish (1990), umumnya Dinoflagellata berukuran 5 sampai lebih 200 µm. Genera Dinoflagellata yang sering ditemui di perairan antara lain Ceratium, Peridinium, dan Dinophysis. Beberapa Dinoflagellata memiliki bioluminescent, berkilau di perairan pada malam hari. 2.2.3. Kelas Cyanophyceae Selain kelompok Diatom dan Dinoflagellata, fitoplankton yang sering dijumpai di laut adalah kelompok Cyanophyceae. Ciri umum dari kelas ini adalah sel berbentuk bola atau silinder dengan ukuran 0,2-2 µm dan mempunyai pigmen fikosianin berwarna biru dan pigmen fikoeritrin berwarna merah (lebih dominan) Kelas Cyanophyceae atau biasa disebut kelompok alga biru umumnya ditemukan di perairan dangkal, perairan pantai tropis, namun dengan kelimpahan yang rendah (Kennish 1990). Cyanophyceae yang umum dijumpai di perairan laut, di antaranya Oscillatoria sp., Trichodesmium sp., Spirullina sp., dan Anabaenopsis sp. (Nybakken 2005). 2.2.4. Kelas Crysophyceae Kennish (1990) menyatakan bahwa kelompok fitoplankton dari kelas Crysophyceae terdiri dari satu sel, memiliki satu atau dua flagella dan umumnya
berdiameter kurang dari 30 µm. Sebagian besar dari kelas ini adalah tumbuhan fotosintesis dan beberapa adalah heterotrof. 2.3. Distribusi Fitoplankton Pada suatu perairan sering terdapat kelimpahan plankton yang berlimpah pada satu titik pengamatan, sedangkan pada titik lain jumlah individu plankton sangat sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi plankton di suatu perairan tidak merata (Haumahu 2004). Lalli and Parson (1997) in Haumahu (2004) juga menyatakan bahwa distribusi plankton yang tidak merata di perairan terjadi karena plankton merupakan organisme yang memiliki pola distribusi “patchy” (mengumpul) dan juga memiliki kemampuan bergerak yang lemah sehingga distribusinya akan bergantung pada pergerakan massa air. Distribusi fitoplankton secara horizontal lebih banyak dipengaruhi oleh faktor fisik seperti pergerakan massa air. Oleh karena itu, pengelompokan (patchiness) plankton banyak terjadi pada daerah neritik terutama yang dipengaruhi estuari dibanding daerah oseanik. Faktor-faktor fisik yang mempengaruhi distribusi fitoplankton tidak merata, di antaranya adalah arus, kandungan nutrien, suhu, cahaya, kecerahan, angin, pH, kekeruhan, dan migrasi diurnal dari plankton itu sendiri (Sediadi 2004). Distribusi vertikal fitoplankton sangat berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitasnya, selain kemampuan pergerakan atau faktor lingkungan yang mendukung plankton mampu bermigrasi secara vertikal. Laut terbuka biasanya sangat terstratifikasi dan beragam, baik secara vertikal maupun horizontal. Dibandingkan dengan ekosistem pesisir, perairan laut terbuka umumnya memiliki produktivitas biologis yang lebih tersebar dengan keragaman spesies yang jauh lebih rendah (Dahuri 2003). Setiap individu dalam suatu populasi memiliki pola penyebaran yang berbeda- beda di suatu perairan. Michael (1984) in Noeratilova (2006) menyebutkan bahwa ada tiga bentuk atau pola penyebaran individu dalam suatu populasi, yaitu: 1. Penyebaran secara acak, dengan individu-individu yang menyebar dalam beberapa tempat dan mengelompok pada tempat lain. 2. Penyebaran secara seragam, dengan individu-individu yang menyebar dengan merata di setiap tempat dalam suatu ekosistem.
3. Penyebaran secara mengelompok, dengan individu-individu yang berada dalam kelompok-kelompok dan jarang ada yang terpisah. 2.4. Parameter Fisika Kimia Perairan 2.4.1. Suhu Suhu merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi dalam suatu perairan. Perbedaan penerimaan radiasi matahari menyebabkan perbedaan suhu. Selain panas matahari, fakor lain yang mempengaruhi suhu permukaan laut adalah arus, keadaan awan, upwelling, dan kondisi meteorologi seperti penguapan, curah hujan, suhu udara, serta kelembaban (Wrytki 1961). Sverdrup et al. (1946) menyatakan bahwa suhu di sekitar perairan Samudera Hindia ada kecenderungan untuk sama pada kedalaman antara 0 meter sampai dengan 70 meter atau 100 meter. Menurut Nontji (2007) suhu air permukaan di perairan Indonesia umumnya berkisar antara 28-31 °C, namun pada lokasi yang terjadi kenaikan massa air suhu air permukaan dapat menurun hingga 25 °C. Berdasarkan hasil penelitian Arinardi (1989), kisaran suhu permukaan laut di perairan Selat Bali berkisar antara 27-30 °C. 2.4.2. Salinitas Salinitas menggambarkan kandungan garam-garam terlarut dalam satu kilogram air laut dan dinyatakan dalam satuan perseribu (Nybakken 2005). Pada perairan terbuka kadar salinitas umumnya bersifat lebih konstan dengan kadar salinitas rata-rata 35,5 PSU serta berfluktuasi antara 34-37 PSU. Perubahan salinitas di laut terbuka juga relatif lebih kecil dibandingkan dengan di perairan pantai yang memiliki masukan air tawar dari sungai (Davis 1955). Nybakken (2005) menyatakan beberapa jenis organisme ada yang bertahan dengan perubahan nilai salinitas yang besar (euryhaline) dan ada pula organisme yang hidup di kisaran salinitas yang sempit (stenohaline). Menurut Odum (1971) pada umumnya organisme samudera bersifat stenohaline. 2.4.3. Oksigen terlarut Oksigen merupakan salah satu gas terlarut dalam perairan. Gas oksigen mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan dan pertumbuhan organisme laut (Hutabarat and Evans 1985). Menurut (Eaton et al. 2005) oksigen
terlarut dalam perairan umumnya berasal dari hasil fotosintesis oleh fitoplankton dan difusi dari udara. Sverdrup et al. (1946) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut relatif lebih tinggi di lapisan permukaan karena adanya penambahan oksigen melalui proses fotosintesis dan difusi udara. Menurut Rochford (1962) in Herlisman (1996), kisaran konsentrasi oksigen terlarut di perairan Samudra Hindia berkisar antara 4,00-5,79 mg/l. Menurut Arinardi (1989), konsentrasi oksigen terlarut di perairan Selat Bali berkisar antara 6,17-7,83 mg/l. 2.4.4. Kekeruhan Kekeruhan merupakan gambaran sifat optik air oleh adanya bahan padatan terutama yang tersuspensi dan sedikit dipengaruhi oleh warna perairan. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme air (Eaton 2005). Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terhambatnya penetrasi cahaya ke dalam air yang selanjutnya dapat mempengaruhi kandungan oksigen terlarut di perairan. Pengaruh lain dari meningkatnya kekeruhan adalah berkurangnya penetrasi cahaya yang berdampak pada menurunnya produktivitas primer seperti fitoplankton (Sverdrup et al. 1946). Kekeruhan di perairan Selat Bali relatif rendah karena masukan dari daratan sedikit yang ditandai dengan sedikitnya jumlah sungai yang bermuara ke Selat Bali (Priyono et al. 1992). 2.4.5. Nutrien Organisme di laut, khususnya fitoplankton dalam pertumbuhan dan perkembangan hidupnya memerlukan nutrien seperti nitrat dan fosfat. Kandungan nutrien di lapisan permukaan perairan Indonesia mencerminkan kondisi perairan tropis yang berkadar nutrien rendah. Rendahnya konsentrasi ini disebabkan oleh penyinaran matahari yang berlangsung setahun penuh sehingga metabolisme biota air berlangsung cepat (Nontji 2007). Namun, Arinardi (1989) menjelaskan bahwa kandungan nutrien tinggi di perairan disebabkan oleh dua faktor yaitu : 1) Adanya penambahan zat hara yang berasal dari daratan dan terbawa oleh aliran sungai.
2) Adanya pengadukan air di laut dangkal sehingga memungkinkan zat hara di dekat dasar terangkat kembali ke perairan. Nybakken (2005) juga menjelaskan mengenai sumber nutrien di perairan. Keberadaan nutrien dalam perairan dapat juga berasal dari daratan yang dibawa oleh aliran sungai, maupun melalui proses kenaikan massa air. Senyawa nitrat dan fosfat merupakan nutrien yang dapat dijadikan sebagai petunjuk kesuburan perairan dan dibutuhkan organisme (fitoplankton) dalam pertumbuhan dan perkembangan hidupnya. Oleh karena itu, kedua unsur ini merupakan faktor pembatas bagi produktivitas fitoplankton (Hecky dan Kilham 1988). Pada perairan laut biasanya yang menjadi faktor pembatas adalah nitrat, sedangkan untuk perairan tawar sampai estuari fosfatlah yang menjadi faktor pembatasnya (Gao and Song 2005). a. Nitrat Senyawa nitrogen di perairan terdapat dalam tiga bentuk utama yang berada dalam keseimbangan yaitu amonia, nitrat, dan nitrit. Keseimbangan tersebut dipengaruhi oleh kandungan oksigen. Pada saat kadar oksigen rendah, keseimbangan akan bergerak menuju amonia, sedangkan saat kadar oksigen tinggi keseimbangan akan bergerak ke nitrat. Oleh karena itu, nitrat merupakan hasil akhir dari oksidasi nitrogen dalam air (Grasshof et al. 1983). Nitrat juga merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan fitoplankton dan algae. Pemanfaatan nitrat oleh fitoplankton berlangsung saat proses fotosintesis dan bergantung pada intensitas matahari. Grasshof et al. (1983) juga menyatakan jika penetrasi cahaya matahari cukup, tingkat pemanfaatan nitrat oleh produsen primer biasanya lebih cepat daripada transpor nitrat ke lapisan permukaan. Oleh karena itu, konsentrasi nitrat di hampir semua perairan pada lapisan permukaan mendekati nol. Kadar nitrat akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman. Pada distribusi horizontal kadar nitrat akan semakin tinggi ditemukan di perairan muara atau mulut sungai (Hutagalung 1997 in Puspitasari 2003; Ilyash and Matorin 2007). b. Fosfat Fosfat yang terkandung di laut berada dalam bentuk terlarut maupun tersuspensi. Fosfat terlarut berasal dari penguraian tumbuhan dan hewan oleh
bakteri dan erosi batuan (Nontji 2007). Menurut Sidjabat (1973) in Hermana (2007) konsentrasi fosfat di perairan dipengaruhi oleh faktor lintang, musim, dan aktivitas plankton. Fosfat merupakan salah satu senyawa nutrien yang penting. Hecky dan Kilham (1988) menjelaskan bahwa kadar fosfat akan semakin meningkat dengan masuknya limbah domestik dari daratan. Kandungan fosfat akan semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Kisaran kandungan fosfat di lapisan permukaan sekitar 0,2 µg-at P/l. Fitoplankton dapat tumbuh dengan baik pada konsentrasi fosfat antara 0,01-0,1 ppm. Apabila konsentrasi fosfat di atas 0,1 ppm, umumnya pertumbuhan fitoplankton menurun.
3. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2011 dengan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VIII milik Pusat Penelitian Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI), mengikuti salah satu kegiatan Penggelaran Kabel Telekomunikasi Bawah Laut di perairan Selat Bali. Pengambilan contoh fitoplankton dan parameter kualitas air dilakukan satu kali pada lokasi yang telah ditentukan (Gambar 2 dan Lampiran 1). Lokasi pengambilan contoh dibagi menjadi dua bagian, yaitu perairan dekat pantai (nearshore) dan perairan laut terbuka (offshore). Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Biologi Mikro 1 dan Laboratorium Fisika-Kimia Perairan, Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK, IPB. Legenda : Titik pengambilan contoh bagian offshore Titik pengambilan contoh bagian nearshore Gambar 2. Lokasi penelitian di perairan Selat Bali 3.2. Alat dan Bahan Parameter utama yang diukur dalam penelitian ini adalah fitoplankton. Parameter pendukung yang berpengaruh terhadap parameter utama juga turutdiamati, yaitu suhu, salinitas, Disolve oxygen (DO), kekeruhan, nitrat-nitrogen, dan fosfat. Jenis parameter, alat, bahan, dan metode untuk analisis kualitas air yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Alat dan bahan untuk melakukan pengamatan (Eaton et al. 2005)
Parameter Unit Alat/Bahan/Metode Keterangan
Fisika
Suhu °C CTD (Conductivity, Temperature, Depth) In situ Salinitas PSU CTD (Conductivity, Temperature, Depth) In situ Kekeruhan NTU Rossete/Turbidimeter Laboratorium
Kimia
DO mg/l Peralatan titrasi/Modifikasi winkler In situ Nitrat Nitrogen (NO3-N) mg/l Brucine/Spektrofotometer λ = 410 nm Laboratorium Fosfat (Ortofosfat) mg/l Ascorbic/Spektrofotometer λ = 880 nm Laboratorium
Biologi
Plankton net, Botol contoh (250 ml),
Fitoplankton Sel/m3 Formalin, Mikroskop, SRC/Pencacahan Laboratorium (Strip) 3.3. Prosedur Penelitian 3.3.1. Penentuan stasiun Lokasi pengambilan contoh dalam penelitian ini terdiri dari 9 stasiun di bagian selatan Selat Bali atau di bagian laut terbuka (offshore). Untuk perairan dekat pantai (nearshore) terdapat 10 stasiun, dengan 5 stasiun (nearshore 1-5) di perairan dekat pulau Bali dan 5 stasiun (nearshore 6-10) di perairan dekat pulau Jawa (Gambar 2). Pengumpulan data pada 9 stasiun (offshore) dilakukan dengan mengambil contoh fitoplankton dengan menggunakan plankton net dan contoh air dengan menggunakan alat CTD (Conductivity Temperature Depth) yang memiliki 12 tabung. Pada 10 stasiun nearshore, pengambilan contoh fitoplankton dan air dilakukan secara langsung di permukaan. Metode pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu sample survey method, yaitu pengumpulan data dari sejumlah individu dalam waktu yang sama yang akan menghasilkan informasi mengenai keadaan umum dari lingkungan yang diteliti. 3.3.2. Pengambilan contoh fitoplankton Pengambilan contoh fitoplankton pada stasiun offshore dilakukan dengan cara menarik (hauling) plankton net dari kedalaman 10 meter sampai ke permukaan,
V A Aa sedangkan untuk pengambilan contoh air diambil dengan menggunakan tabung yang terdapat pada CTD di kedalaman 10 meter. Pengambilan contoh fitoplankton pada stasiun nearshore dilakukan sengan cara langsung mengambil air dari permukaan kemudian disaring dengan plankton net. Botol contoh berisi contoh fitoplankton kemudian diberi pengawet berupa formalin 4% untuk kemudian dianalisis di laboratorium. Kelimpahan fitoplankton dihitung menggunakan alat Sedgwick Rafter Counting Chamber (SRC) pada perbesaran 10x10 dengan 15 strip setiap pengamatan. Pencacahan dilakukan dengan menggunakan mikroskop binokuler model Olympus CH-2. Identifikasi morfologi fitoplankton menggunakan acuan buku Yamaji (1979). Kelimpahan fitoplankton dinyatakan dalam individu per m3 yang dihitung dengan rumus sebagai berikut (Eaton et al. 2005): N n Vt 1 Vd Keterangan : N = Kelimpahan fitoplankton (sel/m3) n = Organisme yang teramati (sel) Vd = Volume air yang disaring (m³) Vt = Volume air tersaring (ml) Vsrc = Volume satu SRC (1 ml) Asrc = Luas penampang SRC Aa = Luas amatan 3.3.3. Pengambilan contoh kualitas air Pengambilan contoh kualitas air dilakukan di kedalaman yang sama dengan pengambilan contoh fitoplankton. Untuk stasiun offshore pengambilan dilakukan dengan menggunakan CTD yang memiliki 12 tabung (rosette), sedangkan untuk stasiun nearshore air langsung diambil di permukaan. Setelah air contoh diambil kemudian air dimasukkan ke dalam botol contoh 500 ml dan diberi pengawet. 3.4. Analisis Data Terhadap contoh air yang diambil dilakukan pengamatan kelimpahan fitoplankton setiap genus. Untuk mengetahui pola distribusi fitoplankton digunakan Indeks Dispersi Morisita. Selain itu, dilakukan analisis tingkat kesamaan fitoplankton berdasarkan kelimpahan menggunakan indeks Bray-Kurtis untuk
X2 n Xi2 melihat pengelompokan-pengelompokan antarstasiun. Selain itu, untuk melihat hubungan fitoplankton dengan parameter kualitas air (kekeruhan dan nitrat-nitrogen) digunakan pendekatan analisis statistik regresi linear sederhana dan uji korelasi Pearson. 3.4.1. Analisis pola penyebaran individu fitoplankton Pola penyebaran fitoplankton digunakan Indeks Dispersi Morisita (Iδ). Penghitungan Iδ mengikuti rumus dari Brower et al. (1990), yaitu: Iδ n X2 N N N 1 Keterangan : Iδ = Indeks Dispersi Morisita n = Jumlah unit pengambilan contoh N = Jumlah seluruh individu setiap organisme ∑X2 = Jumlah kuadrat seluruh individu dalam suatu staiun Pola sebaran fitoplankton dalam lokasi penelitian diduga dengan menggunakan kriteria nilai berikut : Iδ = 1 ; pola sebaran acak Iδ < 1 ; pola sebaran seragam Iδ > 1 ; pola sebaran berkelompok Kebenaran nilai indeks yang diperoleh dari perhitungan diuji dengan menggunakan uji statistik Chi-kuadrat dengan persamaan (Walpole 1993) sebagai berikut : N N Nilai Chi-kuadrat yang diperoleh dari perhitungan dibandingkan dengan nilai Chi-kuadrat tabel pada selang kepercayaan 95% (α=0,05). Jika nilai χ2 hitung < χ2 tabel maka tidak ada perbedaan yang nyata dengan acak. 3.4.2. Indeks kesamaan antar stasiun Indeks kesamaan digunakan untuk melihat kesamaan antar stasiun berdasarkan parameter-parameter tertentu contohnya parameter biologis seperti kelimpahan fitoplankton (Yoshioka 2008). Analisis ini dilakukan dengan menggunakan software Minitab versi 15.0. Tingkat kesamaan ini ditentukan dengan indeks Bray- Curtis (Brower et al. 1990) :
IBC
1
n i 1 n i 1 Xi Yi Xi Yi100%
Keterangan: IBC = Indeks Kesamaan Bray-Curtis Xi – Yi = Nilai Kelimpahan genus i pada stasiun yang berbeda n = Jumlah genus yang dibandingkan Pengelompokan data dilakukan dengan mencari nilai indeks Kesamaan antar stasiun yang selanjutnya disusun dalam sebuah matriks yang disebut dengan Matriks Similaritas Bray-Curtis. Nilai indeks kesamaan antar stasiun kemudian disajikan dalam bentuk dendrogram, garis similaritas yang digambar terlebih dahulu adalah stasiun-stasiun dengan nilai indeks kesamaan yang paling tinggi dan dilanjutkan sampai dengan stasiun dengan nilai indeks kesamaan paling rendah. Setelah semua stasiun diplotkan akan terbentuk sebuah kelompok besar yang terdiri dari kelompok kecil dengan tingkat similaritas yang berbeda. Hasil pengelompokan yang digambarkan dalam dendrogram digunakan untuk melihat kesamaan antar stasiun pengamatan berdasarkan kelimpahan fitoplankton. Nilai pengamatan yang mendekati 100% memiliki tingkat kesamaan yang tinggi dan nilai yang mendekati 0 berarti memiliki nilai yang lebih rendah. 3.4.3. Regresi linear sederhana dan korelasi Pada penelitian ini akan dilakukan pendugaan terhadap hubungan antara kelimpahan fitoplankton dipengaruhi oleh kekeruhan dan kelimpahan fitoplankton dipengaruhi oleh nitrat-nitrogen. Model dugaan regresi dinyatakan sebagi berikut (Walpole 1993). y a bx Keterangan : = Nilai dugaan yang dihasilkan garis regresi = Intersep atau perpotongan dengan sumbu tegak b = Kemiringan/gradien Analisis korelasi digunakan untuk mengukur hubungan antara parameter kualitas air dengan kelimpahan fitoplankton, melalui sebuah bilangan yang disebut Koefisien Korelasi (r). Untuk korelasi yang paling banyak digunakan adalah Koefisien Korelasi Pearson. Perhitungan uji statistik ini dilakukan dengan menggunakan software Minitab versi 15.0. Koefisien korelasi dihitung dengan rumus sebagai berikut:n ni 1 X2i i 1 Xi i 1 Xi i 1 Yi i 1 Yi
r
n ni 1 Xi Yi n n n ² n ni 1 Y2i n ² Keterangan : r = Koefisien korelasi x = Parameter kualitas air (nitrat-nitrogen; kekeruhan) y = Kelimpahan total fitoplankton n = Jumlah stasiun i = Stasiun ke-1,2,3,...,n Dari persamaan tersebut, akan didapat nilai r sebagai berikut. Jika r mendekati atau sama dengan 1, maka korelasi positif antara kedua variabel. Jika r mendekati atau sama dengan -1, maka korelasi negatif antara kedua variabel. Hipotesis untuk membandingkan antar variabel dengan pengambilan keputusan berdasarkan nilai probabilitas (tingkat signifikan) pada selang kepercayaan 95 % H0 : r = 0 H1 : r ≠ 0, dengan r adalah hubungan antara dua variabel. Pengukuran kuantitatif lain dalam koefisien korelasi Pearson di antara dua variabel adalah P-Value. P-Value digunakan sebagai nilai hipotesis. Hubungan antar variabel dapat diterima atau ditolak terhadap hipotesis yang diberikan, jika nilai P-Value semakin kecil (< 0,05) maka menolak hipotesis (tolak H0).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil 4.1.1. Komposisi fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa komposisi fitoplankton berdasarkan jumlah jenis di perairan Selat Bali terdiri dari tiga kelas, yaitu kelas Bacillariophyceae, Dynophyceae, dan Cyanophyceae. Pada bagian offshore (bagian selatan Selat Bali) terdiri dari kelas Bacillariophyceae (23 genera), kelas Dinophyceae (3 genera), dan Cyanophyceae (satu genus). Untuk bagian nearshore terdiri dari tiga kelas dengan jumlah genera yang berbeda yaitu kelas Bacillariophyceae (11 genera), kelas Dinophyceae (3 genera), dan Cyanophyceae (satu genus) (Tabel 2 dan Gambar 3). Fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae (Diatom) merupakan kelas yang paling banyak ditemukan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nontji (2007) bahwa umumnya fitoplankton yang terdapat di perairan laut adalah dari jenis diatom (Bacillariophyceae), diikuti dengan dinoflagellata (Dinophyceae) dan alga biru (Cyanophyceae). Tabel 2. Jumlah dan komposisi jenis fitoplankton Perairan Jumlah Genus dan komposisiBacillariophyceae Dinophyceae Cyanophyceae Bagian offshore 23 (85,2%) 3 (11,1%) 1 (3,7%) Bagian nearshore 11 (73,3%) 3 (20%) 1 (6,7%) Gambar 3 memperlihatkan komposisi fitoplankton berdasarkan jumlah jenis dengan N merupakan total jumlah jenis yang ditemukan di setiap lokasi. Dari kedua lokasi tersebut, fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae selalu lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan kedua kelas lainnya yaitu Dinophyceae dan Cyanophyceae. Berdasarkan Gambar 4 diperoleh bahwa berdasarkan kelimpahan, komposisi fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae mendominasi dengan persentase lebih dari 70%. Kelimpahan tertinggi dari kelas Bacillariophyceae terdapat pada perairan nearshore dengan persentase 82,25%.
Bacillariophyceae 85,19% N=27 Bacillariophyceae 73,33% N=15 Cyanophyceae 3,7% Dinophyceae 11,11% Offshore Cyanophyceae 6,7% Dinophyceae 20% Nearshore Gambar 3. Komposisi jumlah jenis fitoplankton Bacillariophyceae 76,44% Dinophyceae 3,64% Bacillariophyceae 82,25% Cyanophyceae 19,92% Offshore Cyanophyceae 11,65% Dinophyceae 6,10% Nearshore Gambar 4. Komposisi fitoplankton berdasarkan kelimpahan Berdasarkan kelimpahan, komposisi fitoplankton yang tertinggi juga ada pada kelas Bacillariophyceae. Fitoplankton yang umum terdapat di laut biasanya berukuran besar dan terdiri dari dua kelompok yang mendominasi, yaitu diatom (kelas Bacillariophyceae) dan dinoflagelata (Kennish 1990; Skaloud and Rezacova 2004). Stasiun yang memiliki kelimpahan Bacillariophyceae tertinggi ada pada lokasi
nearshore dengan persentase sebesar 82,25%. Hal ini diduga terjadi karena fitoplankton dari kelas ini mampu beradaptasi dengan lingkungan tempat hidupnya dibandingkan dengan genera dari kelas yang lainnya (Nybakken 2005). Berdasarkan Gambar 5, genus fitoplankton yang mendominasi di perairan bagian offshore yaitu Bacteriastrum sp., Chaetoceros sp., Hemialus sp., Thallasionema sp., dan Thallasiotrix sp. Pada perairan bagian nearshore (Gambar 6) juga ditemukan beberapa genus yang mendominasi, diantaranya Bacteriastrum
Kel impaha n Kelim pah an sp. Diatom lainnya Rhizosolenia sp.sp. sp. sp., Chaetoceros sp., Coscinodiscus sp., Rhizosolenia sp. dan Thallasiotrix sp. Terdapat tiga genus fitoplankton yang ditemukan di kedua perairan yaitu Thallasiotrix sp., Bacteriastrum sp., dan Chaetoceros sp. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Stasiun Diatom lainnya Hemialussp.sp. Thalassiothrix sp. Bacteriastrum sp. Thalassionemasp.sp. Chaetocerossp.sp. Gambar 5. Komposisi diatom berdasarkan kelimpahan di perairan bagian offshore 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Stasiun Rhizosolenia Coscinodiscus sp.
Thalassiothrix sp. Bacteriastrumsp.sp. Chaetoceros sp. Gambar 6. Komposisi diatom berdasarkan kelimpahan di perairan bagian nearshore Jenis fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae yang selalu ditemukan di semua stasiun pengamatan dan dalam jumlah yang melimpah ialah Chaetoceros sp. Hal ini berkaitan dengan bentuk tubuh Chaetoceros sp. yang membentuk rantai atau kumpulan sel serta mempunyai chaeta sehingga memiliki laju penenggelaman yang rendah serta kurang disukai oleh pemangsa herbivora. Jenis lain yang selalu ditemukan dengan jumlah lebih banyak ialah Bacteriastrum sp., Thallasiotrix sp., Thallasionema sp. dan Rhizosolenia sp. Nontji (2007) menyatakan bahwa beberapa
jenis Diatom yang banyak ditemukan di perairan laut adalah Chaetoceros, Bacteriastrum, Rhizosolenia, dan Biddulphia. Jenis Dinoflagellata yang ditemukan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jenis dari Dinoflagellata lainnya ialah Peridinium dan Ceratium. Hal ini diduga karena keduanya mempunyai metode pengapungan dari tiga buah tanduk panjang yang dianggap dapat meningkatkan gesekan air seperti halnya pada Diatom yang memiliki rambut dan duri. Jenis fitoplankton dari kelas Cyanophyceae yang ditemukan di setiap stasiun, yaitu dari genera Trichodesmium sp. dengan kelimpahan yang rendah. Menurut Madhav and Kondalarao (2004), salah satu jenis fitoplankton yang dapat hidup di perairan miskin nutrien adalah Trichodesmium. Alga ini berupa filamen dengan ukuran 0,001 mm yang tersebar luas dan cukup banyak, serta diduga merupakan makanan zooplankton kecil. Gerombolan Trichodesmium umum dijumpai di Laut Jawa dan Samudra Hindia, terkadang hanyut beberapa kilometer sejajar pantai. Terdapat beberapa jenis fitoplankton yang ditemukan pada stasiun offshore namun tidak ditemukan di stasiun nearshore diantaranya Astrionella sp., Asteromphalus sp., Coconeis sp., Ditylum sp., Eucampia sp., Fragillaria sp., Hemialus sp., Melosira sp., Phyrocystis sp., Skeletonema sp., dan Triceratium sp. Namun demikian, tidak ada jenis fitoplankton yang ditemukan di stasiun nearshore namun tidak ditemukan di stasiun offshore. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kebiasaan hidup dan faktor lingkungan yang mendukung kehidupan dari plankton tersebut. 4.1.2. Kelimpahan fitoplankton Gambar 7 memperlihatkan kelimpahan total fitoplankton pada setiap stasiun dengan kelimpahan total tertinggi terdapat pada stasiun offshore-1 sebesar 1.566.766 sel/m3 dan terendah di stasiun nearshore-3 dengan kelimpahan sebesar 123.308 sel/m3. Kelimpahan total fitoplankton di perairan bagian nearshore secara umum memiliki kelimpahan yang tinggi dan cukup merata dibanding pada stasiun offshore. Kelimpahan fitoplankton secara keseluruhan lebih melimpah di perairan bagian nearshore atau perairan dekat pantai. Hal ini diduga karena faktor lingkungan dari perairan bagian nearshore tersebut yang mendukung kehidupan fitoplankton. Kandungan oksigen terlarut dan nutrien yang mencukupi merupakan
Kelimpaha n( sel/m 3 ) salah satu penyebab dari lebih tingginya kelimpahan fitoplankton di perairan nearshore dibandingkan dengan di perairan offshore. Seperti yang dikemukakan oleh Haumahu (2004), distribusi dan sebaran fitoplankton tidak merata di setiap perairan karena dipengaruhi oleh faktor-faktor fisika dan kimia perairan seperti angin, arus, dan kandungan nutrien. 1800000 1600000 1400000
A
1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1000000 800000B
600000 400000 200000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Stasiun Gambar 7. Kelimpahan fitoplankton di perairan offshore (A) dan nearshore (B) 4.1.3. Suhu Perubahan suhu permukaan laut dipengaruhi oleh jumlah panas yang diterima dari matahari dan bertambahnya kedalaman. Pada musim barat (kemarau) lapisan permukaan laut di wilayah Indonesia akan menerima panas lebih tinggi dibanding pada musim lainnya sehingga pada musim ini suhu permukaan laut akan lebih tinggi (Pariwono et al. 1988). Berdasarkan hasil pengukuran yang diperoleh, nilai suhu permukaan berkisar antara 27-30 °C di perairan offshore dan 29-30 °C di perairannearshore (Gambar 8). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Arinardi (1989), bahwa kisaran suhu permukaan laut di perairan Selat Bali berkisar antara 27-30 °C.
Suh u(°C ) Berdasarkan hasil pengamatan, suhu terendah terdapat pada stasiun di perairan bagian offshore. Rendahnya suhu ini dikarenakan waktu pengukuran yang berbeda- beda, sedangkan pada bagian nearshore pengukuran dilakukan pada waktu yang sama. Kinne (1970) menyatakan bahwa kisaran suhu untuk pertumbuhan fitoplankton secara optimal berbeda-beda tiap jenis atau spesies, namun rata-rata berkisar antara 20-30 °C. 31 30 29 28 27 26 25 31 30 1 2 3 4 5 6 7 8 9
A
B
29 28 27 26 25 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Stasiun Gambar 8. Nilai suhu di perairan offshore (A) dan nearshore (B) 4.1.4. Salinitas Salinitas yang tercatat berkisar antara 33-35 PSU di perairan bagian offshore, sedangkan di bagian nearshore nilai salinitasnya yaitu 30 PSU (Gambar 9). Kadar salinitas yang diperoleh di perairan bagian nearshore lebih rendah dan cenderung seragam karena daerahnya yang dekat daratan dibandingkan dengan di perairanoffshore yang cenderung bervariasi karena letaknya di perairan terbuka. Kadar salinitas yang diperoleh di perairan bagian nearshore lebih rendah dan cenderung
Salin it as (PS U ) seragam. Hal ini dikarenakan di perairan ini banyak mendapat masukan massa air dari muara-muara sungai di sekitarnya. Perbedaan kadar salinitas terjadi karena adanya perbedaan dalam penguapan dan presipitasi. Milero and Sohn (1952) menyatakan bahwa fitoplankton laut dapat berkembang pada salinitas di atas 15 PSU dan optimum pada salinitas 35 PSU. 40 35 30 25 20 15 10 40 35 1 2 3 4 5 6 7 8 9
A
B
30 25 20 15 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Stasiun Gambar 9. Kadar salinitas di perairan offshore (A) dan nearshore (B) 4.1.5. Oksigen terlarut Oksigen terlarut dalam perairan dibutuhkan oleh semua biota untuk proses metabolisme tubuhnya. Hasil pengukuran oksigen terlarut di perairan Selat Bali bagian offshore berkisar antara 5,61-6,61 mg/l, dan untuk di bagian nearshore memiliki nilai kandungan oksigen yang berkisar antara 7,1-8,2 mg/l (Gambar 10). Kandungan oksigen di perairan bagian nearshore lebih tinggi dibandingkan dengan di perairan offshore. Hal ini sesuai dengan tingginya kelimpahan fitoplankton di perairan bagian nearshore. Untuk bagian offshore, nilai kandungan oksigen terlarutOks igen ter la ru t(mg/ l) lebih tinggi pada bagian permukaan karena pada umumnya kandungan oksigen menurun dengan bertambahnya kedalaman, sesuai dengan pernyataan Sverdrup et al. (1946) bahwa konsentrasi oksigen terlarut relatif lebih tinggi di lapisan permukaan karena adanya penambahan oksigen melalui proses fotosintesis dan difusi udara. 8,0 7,5 7,0 6,5 6,0 5,5 5,0 4,5 4,0 8,5 8,0 7,5 1 2 3 4 5 6 7 8 9
A
B
7,0 6,5 6,0 5,5 5,0 4,5 4,0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Stasiun Gambar 10. Oksigen terlarut di perairan offshore (A) dan nearshore (B) 4.1.6. Kekeruhan Kekeruhan merupakan gambaran sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang masuk ke perairan. Selain itu, kekeruhan juga disebabkan oleh adanya bahan tersuspensi dan terlarut seperti lumpur dan pasir halus di perairan. Berdasarkan hasil pengamatan nilai kekeruhan di perairan bagian offshore berkisar antara 0,27-0,40 NTU, sedangkan di perairan nearshore berkisar antara 0,20-0,60 NTU (Gambar 11). Kekeruhan yang tinggi terdapat pada perairan bagianKekeruhan (NT U) nearshore karena letak stasiun yang dekat dengan daratan sehingga diduga masukan dari daratan yang berupa bahan tersuspensi lebih tinggi. Nilai kekeruhan di perairan Selat Bali secara umum memiliki nilai yang rendah, hal ini disebabkan oleh rendahnya input dari daratan yang ditandai dengan jumlah sungai yang bermuara ke Selat Bali relatif sangat sedikit (Priyono et al. 1992). 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 0,60 0,50 1 2 3 4 5 6 7 8 9
A
B
0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Stasiun Gambar 11. Kekeruhan di perairan offshore (A) dan nearshore (B) 4.1.7. Kandungan nutrien a) Nitrat Nitrogen di laut terdapat dalam berbagai bentuk, baik sebagai senyawa anorganik maupun senyawa organik. Nitrat merupakan senyawa anorganik utama dalam air laut dan menjadi faktor pembatas bagi kehidupan fitoplankton. Berdasarkan hasil pengukuran yang didapat, konsentrasi nitrat pada perairan bagian offshore memiliki nilai yang sangat kecil sehingga tidak terbaca dengan alatpengukuran. Nilai tersebut kurang dari 0,001 mg/l. Hanya di stasiun offshore-10 yang memiliki nilai, karena letak stasiunnya yang mendekati daratan sehingga nilai nitrat masih cukup tinggi. Nilai nitrat pada perairan bagian nearshore berkisar antara 0,003-0,037 mg/l (Tabel 3). Tabel 3. Nilai kandungan nitrat-nitrogen pada stasiun offshore dan nearshore Stasiun Kandungan Nitrat (NO3-N) Offshore Nearshore 1 <0,001 0,003 2 <0,001 0,010 3 <0,001 0,020 4 <0,001 0,02 5 <0,001 0,031 6 <0,001 0,014 7 <0,001 0,02 8 <0,001 0,024 9 0,024 0,037 10 - 0,045 Nilai kandungan nitrat di perairan nearshore lebih besar dibanding dengan perairan offshore. Hal ini didukung dengan pernyataan Hutagalung (1997) in Puspitasari (2003), bahwa kadar nitrat yang semakin tinggi ditemukan di perairan muara atau mulut sungai. Pada stasiun nearshore, kandungan nitratnya lebih besar karena letaknya yang dekat dengan daratan atau di sekitar muara sungai yang biasanya memiliki kadar nitrat yang tinggi. Nilai nitrat di kedua perairan sangat kecil, hal ini sesuai dengan pernyataan Grasshof et al. (1983), bahwa jika penetrasi cahaya matahari cukup, tingkat pemanfaatan nitrat oleh produsen primer biasanya lebih cepat daripada transpor nitrat ke lapisan permukaan. Oleh karena itu, konsentrasi nitrat di hampir semua perairan pada lapisan permukaan mendekati nol. Sidjabat (1973) in Hermana (2007) juga menyatakan bahwa distribusi nitrat pada lautan terbuka dapat dikatakan seragam baik vertikal maupun horizontal. b) Fosfat Umumnya kandungan fosfat di laut lepas lebih rendah dibandingkan dengan kandungan fosfat di perairan pantai atau teluk yang memiliki banyak masukan dari daratan. Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat nilai kandungan fosfat di perairan bagian offshore juga pada perairan nearshore memiliki nilai yang sangat kecil sehingga